Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 37


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 37



Sutejo lalu meloncat dan lari meninggalkan kamar itu di mana Sulastri masih berdiri dengan muka pucat dan pandang mata kosong termenung. Sementara itu terjadi hal-hal yang juga amat menarik di Mojopahit. Kemelut Mojopahit bukan makin mereda, bahkan kini seolah-olah berkumpul awan gelap yang makin menebal, yang menggelapkan Mojopahit dan mengancam ketenangan negara itu.

   Setelah Sang Prabu yang sepuh meninggal dunia, setelah kini kekuasaan pemerintahan berada di tangan Pangeran Kolo Gemet yang telah menjadi raja dengan gelar Sang Prabu Jayanagara. Raja yang masih amat muda ini masih diembani oleh Ki Patih Nambi yang bijaksana dan pandai mengatur pemerintahan. Akan tetapi, adanya Ki Patih Nambi yang masih dipertahankan kedudukannya hanyalah berkat pesanan terakhir dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana saja. Dalam kenyataannya, Sang Prabu Jayanagara yang masih muda itu lebih percaya dan lebih bergantung kepada ibunya, yaitu yang kini menjadi ibu suri, Sang Dyah Sri Indreswari dan juga kepada para ponggawa lain yang setia kepadanya semenjak dia masih menjadi pangeran, yaitu mereka yang mendukungnya terhadap pihak lawan yang menjadi saingan. Mereka ini antara lain adalah Sang Resi Mahapati yang mempunyai banyak kaki tangan orang-orang pandai, Tumenggung Singosardulo, dan yang lain-lain.

   Biarpun dia masih menjadi patih yang resmi, namun di dalam hatinya, Ki Patih Nambi merasa gelisah dan tidak tenteram. Juga dia merasa tidak senang, karena memang pada hakekatnya dia tidak suka melihat sepak terjang Sang Prabu Jayanagara semenjak raja ini masih menjadi pangeran mahkota. Apalagi setelah terjadi peristiwa pembunuhan keponakan isterinya, Dyah Wulandari dan Sarjitowarman. Hanya karena terpaksa sajalah dia masih menjadi patih, terpaksa karena sudah kepalang tanggung, karena dia adalah seorang senopati yang amat setia kepada Mojopahit.

   Apalagi melihat perlakuan Raja Jayanagara terhadap para puteri dari mendiang Prabu Kertarajasa Jayawardhana, yaitu terutama sekali Puteri Tribuwanatunggadewi,dan Puteri Raja Dewi Maharajasa. Oleh ibu mereka, kedua orang puteri ini ditunangkan dengan pangeran-pangeran dari kerajaan lain yang lebih kecil. Akan tetapi, dengan cara yang amat kasar Raja Jayanagara telah menentang dan menolaknya!

   "Dalam keluarga kerajaan, kepentingan pribadi tidaklah ada lagi, semua harus dilakukan menurut hukum kerajaan!"

   Demikianlah antara lain dia berkata, kata-kata yang dihafalnya menurut ajaran para pembesar durna yang membisikinya.

   "Karena Ayunda Tribuwanatunggadewi dan Ayunda Rajadewi adalah puteri-puteri dari mendiang Kanjeng Rama, maka mereka adalah keluarga terdekat dari kerajaan, dan urusan jodoh mereka merupakan urusan kerajaan yang harus diputuskan oleh hukum.

   Dan karena pada saat ini, sayalah yang menjadi raja, maka sayalah pula yang berhak menentukan perjodohan mereka! Oleh karena itu, saya menuntut agar pertunangan di luar kehendak saya itu dibatalkan sekarang juga agar kedua ayunda tidak melanggar hukum kerajaan! Ingat, semua ini kita lakukan demi kepentingan kerajaan, urusan pribadi harus kita singkirkan sejauhnya!"

   Alasan yang dikemukakan oleh Raja Jayanagara ini hanya untuk menyelimuti kehendak hatinya yang penuh pamrih. Pertama, dia memang tidak rela melihat kedua orang ayundanya yang cantik jelita seperti bidadari itu terjatuh ke dalam pelukan pria-pria lain dan dia mengandung maksud untuk memperisteri sendiri mereka itu! Hal ini bukan hanya karena dia memang haus akan wajah cantik dan tubuh wanita yang indah menggairahkan, akan tetapi juga di baliknya terkandung niat untuk dapat menguasai Mojopahit seluruhnya secara mutlak. Kalau kedua orang Ayundanya itu menikah dengan pria lain, maka tentu saja terbukalah kemungkinan bagi pihak lain untuk menentang kekuasaannya. Sebaliknya kalau kedua orang puteri itu tetap berada di dalam kekuasaannya, maka boleh dibilang semua kedaulatan yang berasal dari mendiang Raja Kertanegara berada sepenuhnya di dalam tangannya.

   Semua hal ini amat tidak menyenangkan hati Ki Patih Nambi. Biarpun dia masih tidak mau meninggalkan tugasnya, namun hatinya telah merasa tawar dan dingin,dan hal ini tercermin di wajahnya yang kelihatan tua dan muram selalu. Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Resi Mahapati yang selalu awas akan terbukanya kesempatan baik untuk menumbangkan orang-orang yang dianggap menjadi penghalang bagi kemajuannya. Kesedihan hatinya karena kehilangan selirnya yang tercinta, kini telah mulai sembuh dan tentu saja tidaklah sukar baginya untuk mencari pengganti wanita-wanita muda lainnya, sungguhpun sampai selama itu belum pernah dia menemukan seorang wanita yang mampu menggantikan Lestari, baik dalam pelayanan di dalam kamar maupun bantuannya dalam mengatur siasat yang amat cerdik dalam segala urusan yang penting. Maka tentu saja Mahapati merasa kehilangan sekali.

   Namun, Resi Mahapati masih merupakan seorang yang amat cerdik dan banyak akal, sungguhpun dia telah kehilangan Lestari, bahkan akhir-akhir ini dia kehilangan Resi Harimurti yang tewas di tangan Sulastri. Ketika dia melihat sikap Ki Patih Nambi, maka pada suatu hari, menjelang senja, dia mengunjungi Ki Patih Nambi di istana kepatihan.

   Mendengar bahwa tamunya adalah Sang Resi Mahapati, biarpun di dalam hatinya dia merasa segan untuk menemui orang yang tak disukanya itu, namun karena dia maklum bahwa kakek itu memiliki kedudukan penting dan menjadi orang kepercayaan Sang Prabu, maka terpaksa Ki Patih Nambi keluar juga menemui tamunya di ruangan tamu.

   Setelah mempersilakan tamunya dan minuman dihidangkan oleh pelayan sebagai layaknya orang menerima tamu, Ki Patih Nambi lalu berkata.

   "Sungguh merupakan kehormatan besar dan juga merupakan hal yang mengherankan bahwa Paman Resi Mahapati datang mengunjungi saya pada saat ini. Tentu membawa keperluan yang amat penting maka Paman membuang waktu yang amat berharga untuk mengadakan kunjungan ini."

   Sang Resi tersenyum lebar.

   "Ah, tidak keliru pendapat Andika, Ki Patih. Selain merasa rindu dan ingin bercakap-cakap, juga saya selalu merasa kurang enak hati,tidak nyenyak tidur dan tidak enak makan sebelum hal ini saya sampaikan kepada Andika. Sesungguhnya, sudah lama sekali saya mendengar desas-desus kalau Sang Prabu mengadakan pembicaraan di luar kehadiran Andika. Saya yang ikut mendengarnya merasa kurang enak sekali. Maklumlah, saya dengan Andika merupakan rekan sepekerjaan yang telah bertahun-tahun mengabdi Mojopahit, senasib sependeritaan, berjuang bahu membahu. Kini, mendengar hal-hal yang tidak menyenangkan bagi Andika, tentu saja saya ikut merasa tidak enak maka makin lama urusan ini makin menghimpit hati dan tidak akan membebaskan hati saya sebelum saya sampaikan kepada Andika."

   Ki Patih Nambi mengerutkan alisnya. Dia tidak terlalu mempercaya omongan orang seperti Sang Resi ini, akan tetapi kalau ada persoalan penting tentang Sang Prabu yang hendak disampaikan, tentu saja dia merasa tertarik sekali. Dia membungkuk sebagai tanda hormat lalu berkata.

   "Terima kasih atas kebaikan hati Paman yang masih mengingat akan hubungan sesama rekan. Saya bersedia untuk mendengarkan, berita apakah kiranya yang membuat hati Paman merasa tidak

   enak itu?"

   Sang Resi menarik napas panjang.

   "Aihh, bagaimana saya harus menyampaikannya? Hal ini amat pahit bagi pendengaran Andika."

   Dengan wajah sungguh-sungguh Ki Patih Nambi menjawab.

   "Saya bersiap untuk menerima berita yang paling pahit sekalipun. Berita pahit yang benar jauh lebih berharga daripada berita manis yang palsu, Paman Resi."

   "Hemm, Andika benar bijaksana, Ki Patih. Baiklah, saya akan berterus terang saja bahwa dalam beberapa kali persidangan ini, di waktu Andika tidak hadir, Sang Prabu selalu membayangkan rasa tidak sukanya kepada Andika. Saya merasa tidak enak sekali, karena saya tahu betapa Andika adalah seorang yang amat setia, seorang ponggawa yang sudah mengorbankan segala-galanya untuk Mojopahit dan kini,Sang Prabu memperlihatkan sikap tidak menghargai dan kurang terima, bahkan kelihatan kurang suka kepada Andika."

   "Paman Resi saya tidak ingin mendengarkan pendapat siapa pun tentang sikap Sang Prabu, kalau Paman memang ingin menyampaikan berita kepada saya, harap suka menyampaikan berita yang nyata saja, bukan pendapat-pendapat yang kosong!"

   Jawab Ki Patih Nambi dengan suara tegas.

   Wajah pendeta itu menjadi merah, akan tetapi dia masih tidak malu-malu untuk tertawa dan berkata.

   "Maaf..., maaf, memang berita yang hendak saya sampaikan ini nyata, hanya betapa sukarnya membuka mulut, karena amat tidak enak bagi Andika. Begini, dalam beberapa kali persidangan, dengan terang-terangan Sang Prabu Jayanagara menyatakan bahwa sesungguhnya Beliau terpaksa saja mempertahankan kedudukan Paduka sebagai patih hamangkubumi, bahwa sesngguhnya Beliau tidak ingin lagi melihat Andika membantunya karena Beliau masih merasa tidak senang dengan peristiwa keponakan Andika tempo dulu. Nah, semua itu saya dengar sendiri keluar dari mulut Beliau, maka tidak enaklah hati saya selama ini sebelum saya sampaikan kepada Andika, karena dengan berdiam diri saja saya merasa seolah-olah mengkhianati hubangan persahabatan antara kita."

   Merah kedua telinga Ki Patih Nambi dan terasa panas pula mukanya. Dia bukan tidak percaya kepada omongan Sang Resi Mahapati ini karena memang dia sudah tahu bahwa Sang Prabu tidak suka kepadanya, apalagi semenjak peristiwa kematian Dyah Wulandari itu. Dia termenung dan sampai Sang Resi Mahapati berpamit, dia masih termenung, hanya mengucapkan beberapa perkataan yang menyatakan terima kasihnya kepada Sang Resi itu. Dan semalam itu Ki Patih tidak dapat tidur sama sekali.

   Ketika isterinya bertanya, dengan terus terang Ki Patih Nambi mengakui akan berita yang didengarnya itu.

   "Memang semenjak peristiwa Dyah Wulandari dan Sarjitowarman, antara aku dan Pangeran Kolo Gemet terdapat perasaan yang tidak baik, maka setelah Beliau menjadi raja dan aku terpaksa menjadi patih atas kehendak mendiang Sang Prabu yang sepuh, perasaan itu makin menjadi-jadi. Aku memang sudah mencari jalan untuk mengundurkan diri saja."

   Sebagai seorang wanita tentu saja amat mengagungkan kedudukan dan kemuliaan, isteri Ki Patih terkejut dan berkata.

   "Akan tetapi, Paduka telah mengerahkan seluruh kemampuan Paduka, seluruh kesetiaan Paduka untuk kerajaan, mana mungkin sekarang Paduka akan melepaskan begitu saja?"

   Ki Patih Nambi menarik napas panjang dan memandang langit-langit kamarnya dengan termenung, kemudian dia berkata.

   "Kita turun-temurun bersetia kepada keturunan Sang Prabu Kertanegara, bersetia semenjak Mojopahit didirikan! Untuk Mojopahit,aku selalu siap dan rela untuk mengorbankan apapun juga, bahkan nyawaku tak kuragukan demi Mojopahit. Akan tetapi, agaknya Sang Prabu yang sekarang ini hendak menyeleweng dari anggeran yang diutamakan oleh para raja yang bijaksana dari nenek moyangnya. Perlakuannya terhadap para puteri keturunan Sang Prabu Kertanegara sungguh tidak adil, dan sikapnya terhadap para ponggawa yang setia juga tidak semestinya. Beliau terlalu mendengarkan bisikan-bisikan beracun dari para pembesar durna dan penjilat sehingga dengan pimpinan Beliau ini dikhawatirkan Mojopahit akan menghadapi keruntuhannya. Inilah yang menjadikan kedukaan hatiku, dan yang mendorong aku untuk mengundurkan diri saja agar di waktu Mojopahit runtuh, aku bukan lagi bertanggung jawab sebagai seorang nara praja."

   Biarpun dihibur oleh isterinya, namun keputusan hati Ki Patih Nambi sudah tetap. Hanya dia belum dapat menemukan cara bagaimana dia harus mengundurkan diri. Kalau hanya menghadap Sang Prabu dan terang-terangan mohon berhenti, hal itu juga amat tidak enak dan dapat menimbulkan kesan bahwa dia tidak suka membantu raja yang baru itu.

   Akan tetapi secara kebetulan sekali, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali datang utusan dari Lumajang yang mengabarkan bahwa ayah Ki Patih Nambi, yaitu Aryo Pranorojo, sedang menderita sakit keras! Tentu saja hal ini amat mengejutkan hati Ki Patih Nambi. Ayahnya memang telah tua dan memang akhir-akhir ini sering kali menderita sakit. Kini, mendengar bahwa ayahnya menderita sakit keras, pagi hari itu juga Ki Patih Nambi lalu pergi menghadap Sang Prabu Jayanegara, mohon ijin untuk pergi ke Lumajang dan mengunjungi ayahnya yang menderita sakit. Permohonan ini diijinkan oleh Sang Prabu.

   Maka dengan tergesa-gesa Ki Patih dan sekeluarganya berkemas-kemas, lalu bersama-sama keluarganya berangkatlah Ki Patih Nambi menuju ke Lumajang untuk menengok ayahnya yang dikabarkan sakit keras itu. Dia memang mohon diberi cuti yang agak lama, yaitu satu bulan dari Sang Prabu, selain untuk menengok dan menjaga ayahnya, juga untuk menenteramkan batinnya yang banyak terguncang akhir-akhir ini. Maka diajaknyalah semua keluarganya sehingga nampaknya Ki Patih Nambi seolah-olah melakukan boyongan.

   Sesampainya di dusun Ganding, yaitu di dekat tapal batas antara wilayah Mojopahit dan wilayah Lumajang, dia disambut oleh pasukan Lumajang yang diutus oleh Sang Adipati Lumajang untuk menyambut Ki Patih Nambi dan rombongan Ki Patih Nambi ini dikawal dan diantar sampai ke Lumajang. Berita ini memang tidak bohong. Aryo Pronorojo memang sedang menderita sakit keras. Akan tetapi selain menjaga ayahnya yang sakit dan prihatin melihat keadaan ayahnya, juga Ki Patih Nambi yang sering kali bercengkerama dengan Adipati Lumajang, menuturkan keadaan di Mojopahit dan mereka semua bersepakat bahwa tindakan-tindakan Sang Prabu memang tidak tepat.

   "Tidak patutlah kalau Gusti Puteri keturunan Sang Prabu Kertanegara direndahkan seperti itu, dijadikan ratu-ratu di Kahuripan dan Daha seperti boneka saja! Bahkan urusan perjodohan saja hendak ditentukan oleh Sang Prabu Jayanegara yang hanya menjadi adik kedua Beliau itu! Betapapun juga, yang berhak menjadi Ratu di Mojopahit sebetulnya adalah keturunan langsung dari Sang Prabu Kertanegara,bukan keturunan Melayu!"

   Adipati Wirorojo berkata dengan muka merah. Kemudian dia melanjutkan.

   "Sudah sejak dahulu kita mendengar kelaliman Pangeran Kolo Gemet, akan tetapi karena ketika itu kita memandang muka ayahnya, yaitu Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana yang menjadi junjungan kita bersama, kita hanya menahan diri dan tidak berani menentang. Sekarang, anak Melayu itu telah dinobatkan menjadi Raja Mojopahit, kalau kita tidak turun tangan, Mojopahit akan dibawa kepada keruntuhan! Sang Puteri Tribuwanatunggadewi yang berhak atas Kerajaan Mojopahit, bukan anak Melayu itu."

   Pendapat pikiran para bekas Senopati Mojopahit yang berkumpul di Lumajang sama benar dengan pendapat Ki Patih Nambi, maka hatinya makin panas seperti dibakar rasanya. Dan hati yang panas ini ditimpa kedukaan hebat ketika ayahnya yang menderita sakit itu akhirnya meninggal dunia, hanya beberapa hari setelah dia tiba di Lumajang.

   Lumajang berkabung. Berita tentang kematian Aryo Pronarojo itu terdengar sampai ke Mojopahit. Atas nasehat Resi Mahapati yang selalu mengikuti peristiwa itu, dan juga para penasehat lainnya, Sang Prabu Jayanagara mengirim utusan ke Lumajang untuk menyatakan berbela sungkawa. Para utusan ini terdiri dari Resi Mahapati, Pamandana, Lasem, Jaran Lejong dan beberapa orang pembesar lagi. Kesempatan melayat atas nama Sang Prabu ini dipergunakan oleh Resi Mahapati sebaik-baiknya. Banyak dia menemui Ki Patih Nambi dan menyebar hasutan-hasutannya,mengatakan bahwa keadaan, kedudukan bahkan keselamatan Ki Patih akan terancam karena Sang Prabu benar-benar masih menaruh dendam karena Dyah Wulandari tidak mau melayani beliau dengan baik, dan bahwa penolakan dara itu dihubungkan dengan sikap memberontak dari Ki Patih sehingga kini Sang Prabu ingin sekali menyingkirkan Ki Patih.

   "Oleh karena itu, menurut pendapat saya, jauh lebih aman kalau Andika berada dulu di sini, Ki Patih. Terutama sekali untuk keselamatan para keluarga Andika. Nanti, kalau Sang Prabu sudah mereda kemarahannya, barulah Andika kembali ke Mojopahit". Karena pikirannya sendiri sedang ruwet dan bingung, pula dihimpit kedukaan, lama-kelamaan hasutan-hasutan itu termakan juga oleh hati Ki Patih Nambi yang menjadi makin panas.

   "Memang saya belum mempunyai ingatan untuk kembali ke Mojopahit, Paman Resi. Oleh karena itu, sekalian mumpung Paman Resi berada di sini, saya mohon bantuan Paman untuk menyampaikan permohonan saya kepada Sang Prabu agar saya diberi ijin tinggal lebih lama di Lumajang berhubung dengan kematian ayah, sedikitnya sampai seratus hari."

   Permintaan ini diterima dengan senang hati oleh Sang Resi. Akan tetapi, permintaan Ki Patih Nambi itu dipergunakan oleh Sang Resi Mahapati untuk menjalankan siasatnya mengadu domba. Begitu menghadap Sang Prabu,sepulangnya dari pelayatannya ke Lumajang, dia cepat memberi tahu kepada Sang Prabu bahwa di Lumajang telah dibuat persiapan untuk memberontak!

   "Si Nambi itulah biang keladinya, Gusti!"

   Antara lain dia berkata sambil menyembah.

   "Dialah yang menganjurkan kepada Adipati Lumajang untuk membuat benteng pertahanan, dan dengan alasan kematian Ayahnya dia minta perpanjangan izin tinggal di Lumajang, padahal jelas bahwa dia tidak akan kembali ke Mojopahit. Bahkan hamba sendiri dibujuknya untuk ikut bersekutu dengan mereka!"

   Tentu saja Sang Prabu yang masih muda itu marah sekali mendengar pelaporan ini.

   "Dan banyak hamba lihat punggawa Mojopahit yang datang melayat ke Lumajang tanpa perkenan Paduka. Mereka itu harus dicurigai karena siapa tahu bahwa mereka itu datang ke Lumajang memang bermaksud untuk bersekutu dengan Si Nambi. Mereka adalah para pengikut ibu-ibu tiri Paduka yang memang sejak dahulu telah mempunyai hati khianat!"

   "Keparat! Kalau begitu biar kusuruh tangkap mereka semua!"

   Resi Mahapati mengangkat kedua tangannya. Sudah cukuplah siasatnya untuk membakar hati Sang Prabu.

   "Harap Paduka bersabar, Gusti. Saat sekarang ini,sebaiknya kalau Paduka mengerahkan segenap perhatian, tenaga dan pikiran untuk menghadapi Lumajang. Urusan dalam negeri adalah urusan kecil dan biarlah hamba dan para pembantu hamba selalu memperhatikan gerak-gerik mereka dan turun tangan kalau perlu. Paduka percayalah kepada kesetiaan hamba."

   "Lalu bagaimana baiknya, Paman Resi? Apakah kita membuat pertahanan dan menanti datangnya penyerbuan dari Lumajang?"

   "Oooo, keliru, Gusti. Siasat menanti musuh menggempur merupakan siasat yang lemah dan tidak menunjukkan kewibawaan Paduka. Sudah jelas bahwa pihak Lumajang adalah pihak kawula dari Mojopahit. Semenjak dahulu, adipatinya tidak pernah datang menghadap ke Lumajang, hal itu saja sudah cukup menjadi alasan menggempur Lumajang dengan tuduhan memberontak. Apalagi sekarang Si Nambi berada di sana dan mengobarkan pemberontakan. Tidak, Paduka harus lebih dulu turun tangan, Gusti. Harap persiapkan semua senopati dan hamba yang sanggup untuk mengatur siasat agar Lumajang dapat dibumihanguskan dan ditundukkan dengan mudah".

   Sang Prabu menjadi girang sekali. Segera semua senopati dipanggil, persidangan darurat diadakan dan dibentuk serta disusunlah komandan-komandan pasukan yang kesemuanya diperbantukan kepada Resi Mahapati. Mulailah Resi Mahapati menjalankan peranannya yang penting di dalam pemerintahan raja yang masih muda ini. Persiapan-persiapan dilakukan dengan cepat dan siasat perang telah diatur.

   Tentu saja berita ini segera dapat ditangkap oleh para mata-mata Lumajang dan oleh mereka yang dalam hatinya memang condong kepada Lumajang. Juga mata-mata yang setia dari para puteri keturunan Sang Prabu Kertanegara tidak tinggal diam,cepat melaporkan kepada junjungan masing-masing yang di lain pihak juga mengutus kepercayaan mereka ke Lumajang untuk memberi kabar kepada Adipati Lumajang. Maka dalam waktu singkat, pihak Lumajang sudah mendengar bahwa Mojopahit telah siap untuk menyerbu Lumajang! Tentu saja mereka terkejut dan cepat membuat persiapan perang pula. Awan gelap yang berkumpul di atas Mojopahit kini berkumpul ke timur, ke atas Lumajang dan sebentar lagi hujan berupa perang saudara pasti akan pecah pula!

   Geger tentang persiapan perang yang akan terjadi antara Mojopahit dan Lumajang juga menggemparkan Puger. Sang Adipati di Puger tentu saja membela Lumajang. Begitu mendengar akan kegawatan keadaan, bahwa Lumajang akan diserang oleh Mojopahit, Sang Adipati sudah mempersiapkan pasukan dan dia lalu mengutus Pragalbo untuk memimpin pasukan ini dan membawa pasukan ke Lumajang untuk membantu Lumajang menghadapi penyerbuan dari Mojopahit.

   Mendengar ini, segera Joko Handoko juga mengajukan diri untuk memimpin pasukan, bahkan Sulastri juga segera mengajukan diri untuk membela Lumajang. Tentu saja Joko Handoko dan Sulastri tidak dapat membiarkan Lumajang diserang Mojopahit tanpa membantu, mengingat betapa baiknya Adiapti Lumajang terhadap mereka. Yang serba bingung adalah Sutejo.

   Pemuda ini sebetulnya ingin menjauhkan diri dari segala pertikaian. Dia teringat akan nasehat eyang gurunya dan dia ingin sekali pergi meninggalkan semua itu,hidup dengan tenang dan damai di lereng Gunung Kawi bersama eyang gurunya,menjauhkan diri dari segala keributan dan permusuhan. Akan tetapi betapapun juga,hatinya tidak dapat meninggalkan Sulastri! Dia tahu bahwa Sulastri masih mencinta dia, dan dia pun mencinta Sulastri, akan tetapi mereka tidak mungkin dapat melanjutkan cinta kasih mereka itu mengingat betapa Sulastri telah menjadi isteri Joko Handoko. Padahal dia pun tahu bahwa hubungan antara Sulastri dan Joko Handoko sama sekali tidak ada, yang ada hanya nama mereka sebagai suami isteri saja. Jadi serba salah dan serba membingungkanlah keadaannya di Puger itu. Ketika dia mengambil keputusan untuk pergi hari itu dengan hati berat, tiba-tiba saja terdengar berita tentang perang yang akan meletus antara Mojopahit dan Lumajang.

   Joko Handoko, Sulastri dan Sutejo bercakap-cakap di dalam taman. Mereka bertiga sengaja mengadakan pertemuan itu tanpa diketahui orang lain. Wajah Joko Handoko kurus dan masih pucat, sinar matanya layu dan mukanya muram. Semua orang menduga bahwa pria muda ini tentu masih berkabung dan berduka karena kematian adiknya.

   Memang hal ini ada benarnya juga, akan tetapi kedukaan tentang kematian adiknya ini menjadi makin berat terasa olehnya melihat keadaan isterinya, Sulastri dan Sutejo. Dia sengaja menemui Sulastri dan dengan terang-terangan dia menyatakan kerelaannya kalau Sulastri "kembali"

   Kepada Sutejo. Malam itu dia sengaja menemui Sulastri dan mengajak wanita ini bicara empat mata.

   "Diajeng, harap kau suka memaafkan kalau kata-kataku menyinggungmu. Akan tetapi aku bicara dari balik lubuk hatiku. Aku tahu bahwa semenjak dahulu Diajeng selalu mencinta Dimas Sutejo dan selalu mengharapkan akan dapat bertemu dengan dia. Dan sekarang, dengan cara yang amat aneh, agaknya Hyang Widhi Wasesa telah mengabulkan harapan Diajeng dan Diajeng telah dapat bertemu dan berkumpul kembali dengan Dimas Sutejo. Oleh karena itu, Diajeng Sulastri, aku masih selalu memegang teguh janji kita dan aku selalu memberi kesempatan kepadamu untuk bersatu kembali dengan Dimas Sutejo. Aku merelakan Diajeng untuk pergi dan berjodoh dengan Dimas Sutejo..."

   Bukan main terharu rasa hati Sulastri mendengar ucapan Joko Handoko itu yang dikeluarkan dengan suara gemetar. Saking terharunya, dia memegang kedua tangan pemuda itu dan menekan jari-jari tangan itu dengan lembut, lalu dilepaskan tangan itu dan dia pun berkata.

   "Kakangmas Handoko, betapa mulia hatimu, Kakangmas. Ah, kalau kuingat, betapa mulia engkau dan betapa tak kenal budi adanya aku ini. Dan sampai sekarang... ah, entah bagaimana, belum juga ada kata sepakat antara aku dan Kakang Tejo. Entahlah, apa akan jadinya dengan kami nanti..."

   Joko Handoko terkejut dan memandang penuh perhatian.

   "Mengapa, Diajeng...?"

   Dia bertanya penuh perhatian. Sulastri menggeleng kepalanya.

   "Jangan tanyakan hal itu, Kakangmas Handoko. Jangan tanyakan hal itu...!"

   Dan hanya sekianlah percakapan antara mereka karena Sulastri segera meninggalkannya dan Joko Handoko tahu betul bahwa "isterinya"

   Itu pergi meninggalkannya sambil menangis.

   Demikianlah, sejak malam itu, Joko Handoko mengandung kedukaan besar, bukan hanya duka karena kematian adiknya, melainkan juga duka memikirkan keadaan Sulastri. Dia tadinya menghibur diri bahwa dia akan merasa ringan hatinya kalau melihat Sulastri hidup bahagia di samping Sutejo. Akan tetapi, ternyata harapannya itu kosong belaka dan kini dia melihat Sutejo dan Sulastri tetap kelihatan murung dan berduka.

   Sebagai seorang yang cerdas, dia lalu mengerti bahwa tentu kehadirannya yang menjadi sebab. Dia mengenal Sutejo sebagai seorang satria sejati, maka sudah tentu Sutejo tidak akan mau merampas Sulastri yang telah menjadi isterinya! Sungguhpun dia percaya bahwa Sulastri tentu telah menceritakan keadaan mereka sebagai suami isteri pura-pura itu.

   "Dimas Sutejo,"

   Demikianlah katanya ketika mereka bertiga mengadakan pertemuan setelah terdengar berita menggegerkan bahwa Lumajang akan diserang oleh Mojopahit.

   "Kita telah mendengar akan ancaman Mojopahit terhadap Lumajang.

   Karena Lumajang merupakan tempat yang telah menampung kami sekeluarga, dan aku telah banyak berhutang budi kepada Adipati Lumajang, pila mengingat bahwa Mojopahit dipimpin oleh orang-orang yang lalim, dan betapa semenjak kematian Sang Prabu sepuh maka kini Mojopahit berada dalam kekuasaan orang-orang Melayu, maka sudah semestinya kalau aku ikut pula berjuang membela Lumajang."

   Dia berhenti sebentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sulastri untuk berkata pula.

   "Aku pun harus membantu Lumajang dan menghadapi musuh-musuh besarku, orang-orang lalim yang berkuasa di Mojopahit!"

   Melihat Sutejo diam saja, Joko Handoko berkata.

   "Kami tentu saja tidak dapat mengharapkan Adimas Sutejo untuk ikut berperang, mengingat bahwa Adimas pernah membantu Mojopahit dan Adimas mempunyai kakak perempuan yang...."

   "Cukuplah, Kakangmas Handoko. Aku telah menerima nasihat Eyang Guru, aku tidak mau lagi melibatkan diriku dalam perang antara siapapun juga. Aku sudah bosan dengan semua permusuhan ini, dengan semua kekerasan ini karena kekerasan yang kita lakukan hanya akan menimpa diri kita sendiri. Aku tidak akan mencampuri perang, Kakangmas. Dan tentang Diajeng Sulastri... jika boleh aku nasehatkan,apakah tidak lebih baik kalau Diajeng juga tidak mencampuri perang?"

   Sulastri menggeleng kepala.

   "Tidak mungkin, Kakang Tejo. Engkau tentu tahu sendiri akan riwayatku. Guruku yang pertama, Adipati Ronggo Lawe, tewas, oleh Mojopahit, kemudian Guruku yang ke dua, Ki Jembros, tewas pula oleh Mojopahit, bahkan Guruku yang ke tiga, Eyang Empu Supamandrangi, tewas pula oleh Mojopahit.

   Mereka semua adalah orang-orang yang kucinta, Kakang, dan mereka semua tewas oleh ulah orang-orang lalim yang kebetulan berkuasa di Mojopahit. Aku bukan membenci Mojopahit, melainkan orang-orang lalim yang menguasainya. Aku sudah membantu sampai keris pusaka Kolonadah terjatuh ke tangan yang berhak, yaitu Gusti Puteri Tribuwanatunggadewi. Kalau Beliau kelak yang menjadi Ratu di Mojopahit, barulah aku akan mencuci tagan. Akan tetapi sekarang, tidak, Kakang, aku harus membantu Lumajang."

   Sutejo menghela napas panjang.

   "Kalau begitu, aku akan ke Mojopahit, bukan untuk membantu Mojopahit berperang, melainkan untuk menengok Mbakayu Lestari, kemudian aku akan pergi ke Kawi mencari Eyang Guru. Sekali lagi, Diajeng Sulastri, apakah tidak lebih baik kalau engkau tidak ikut perang?"

   Tiba-tiba Sulastri bangkit dan memandang pemuda itu dengan sinar mata tajam,kemudian dengan kepala dan dada terangkat dia bertanya terang-terangan di depan "suaminya"

   Kepada Sutejo.

   "Dan kau akan mengajak aku pergi bersama ke Kawi?"

   Sutejo bangkit dan undur selangkah, mukanya berubah merah sekali dan dia menoleh kepada Joko Handoko yang hanya menunduk. Sutejo merasa tidak enak sekali mendengar betapa Sulastri berani bicara tentang hal itu demikan terang-terangan di depan Joko Handoko.

   "Ahh... tentang itu... tidak mungkin... Diajeng..."

   Kini Joko Handoko dan Sutejo saling pandang, kemudian Sutejo menarik napas panjang dan duduk kembali. Sampai lama keduanya hanya diam saja, ditelan keheningan yang menyelimuti hati masing-masing.

   "Dimas Sutejo, apakah... apakah yang terjadi antara Dimas dan Sulastri...?"

   Akhirnya Joko Handoko bertanya.

   Sutejo terkejut, mengangkat muka memandang.

   "Apa yang terjadi? Tidak apa-apa, Kakangmas Handoko. Seperti kau dengar sendiri, aku hanya mencegah dia ikut perang akan tetapi dia tidak mau, memang sejak dahulu hatinya keras sekali."

   "Akan tetapi dia amat berbudi, Dimas, biarpun keras akan tetapi dia selalu membela kebenaran, setia, dan gagah perkasa!"

   "Ya, mungkin benar, hanya dia keras hati dan keras kepala, tidak pernah mau menurut kata-kata orang..."

   Sutejo menghela napas panjang, lalu tersenyum, senyum masam kepada Joko Handoko.

   "Tidak pernah ada kecocokan antara dia dan aku, Kakangmas. Mungkin aku terlalu bodoh, atau aku pun keras hati. Betapapun juga, dia adalah isterimu, Kakangmas..."

   "Dimas Sutejo! Kita berdua tahu apa artinya ikatan suami isteri antara kami yang hanya pura-pura itu. Dan engkau sudah datang, Dimas. Engkaulah yang ditunggu-tunggunya selama ini. Kalau aku menjadi penghalang...!"

   Tiba-tiba Sutejo memegang tangannya.

   "Jangan mengira yang bukan-bukan, Kakangmas! Jangan mengira bahwa aku Sutejo adalah seorang yang hanya memikirkan diri pribadi belaka! Tidak! Aku tahu jalan pikiranmu. Engkau agaknya akan rela mengorbankan diri, akan sengaja berlaku nekat agar engkau tewas dalam perang ini, bukan?"

   Bukan main kagetnya hati Joko Handoko. Mukanya seketika menjadi pucat dan dia meloncat berdiri.

   "Kau... kau tahu?"

   Sutejo kembali memegang lengannya dan mengajaknya duduk kembali.

   "Aku dapat menduga dengan melihat sinar matamu, Kakangmas Handoko. Aihhh... apa saja yang takkan dilakukan orang demi cinta kasihnya! Aku tahu bahwa engkau sengaja akan menghilang agar Sulastri dapat kembali kepadaku. Akan tetapi, kalau engkau sengaja membunuh diri seperti itu, Kakangmas, engkau akan membuat kami berdua menjadi manusia-manusia yang serendah-rendahnya, sehina-hinanya kalau kami bersenang-senang di atas mayatmu, di atas kematianmu. Oleh karena itu, jangan melakukan hal yang bukan-bukan...."

   Joko Handoko memandang wajah pemuda di depannya itu dengan mata terbelalak dan sinar mata bingung. Sungguh dia tidak mengerti.

   "Akan tetapi... kalau begitu, hubunganmu dengan dia... menjadi terhalang dan aku ingin melihat dia berbahagia, Adimas."

   "Justeru kebahagian datang secara wajar, tidak mungkin dapat dibuat atau dipaksakan, Kakangmas. Biarkanlah segala hal berjalan sewajarnya. Aku sekarang mulai melihat bahwa selama ini kita semua hanya mengingatkan diri pribadi belaka, hanya ingin mendapatkan kesenangan lahir batin untuk diri sendiri, sehingga semua yang kita lakukan adalah untuk menaruh diri sendiri di tempat yang benar dan tinggi. Biarkanlah segala sesuatu berkembang sewajarnya dan nanti kita sama-sama lihat bagaimana kesudahannya, Kakangmas. Sekarang aku akan pergi, menengok Mbakayuku di Mojopahit."

   "Akan tetapi... ingatlah Sulastri, Adimas Sutejo!"

   "Siapa yang tidak ingat kepadanya? Aku cinta kepadanya, seperti juga engkau mencintanya, Kakangmas Handoko. Dan pesanku, jangan melakukan hal yang bukan-bukan!"

   Setelah berkata demikian, Sutejo lalu meninggalkan Joko Handoko yang masih nampak bingung.

   Joko Handoko adalah seorang yang benar-benar menaruh cinta kasih kepada Sulastri, isterinya yang sesungguhnya hanya menjadi isteri sebutan saja itu. Dia rela berkorban apapun juga, rela melakukan apapun juga, bahkan tidak memperdulikan perasaan hatinya sendiri yang sakit demi untuk kebahagiaan wanita itu. Rasa kehilangan di hatinya kalau dia sampai berpisah dari Sulastri tentu akan terobati kalau mengingat bahwa wanita itu hidup berbahagia di samping Sutejo,pria yang menjadi pujaan hati Sulastri. Akan tetapi, kini dia melihat betapa hubungan antara Sulastri dan Sutejo merenggang, bahkan terdapat pertentangan pendapat antara keduanya itu. Dia tahu bahwa hal itu mendatangkan duka dalam hati Sulastri dan juga dalam hati Sutejo.

   Dia tadinya rela untuk mengorbankan diri saja, karena dialah yang agaknya menjadi hambatan atau halangan bagi bersatunya kedua orang yang saling mencinta itu. Bahkan dia sudah mengambil keputusan untuk mati saja, seperti adik kandungnya, dan dengan kematiannya itu dia merasa yakin bahwa penghalang bagi bersatunya Sutejo dan Sulastri sudah hilang. Akan tetapi, kiranya Sutejo, pemuda yang luar biasa itu, telah mengetahui rencana hatinya untuk tewas saja dalam perang! Bahkan pemuda itu berpesan agar dia jangan melakukan rencana yang nekat untuk mengorbankan nyawa demi kebahagian Sulastri. Maka bingunglah pemuda ini setelah Sutejo pergi.

   Dia tidak dapat menyalahkan mereka, karena dia melihat kebenaran dalam pendapat mereka masing-masing. Sutejo yang hendak menjauhkan diri dari perang tidak dapat dipersalahkan karena memang perang merupakan suatu hal yang amat buruk, bahkan terkutuk sekali karena dalam perang manusia menjadi lebih buas daripada binatang yang paling buas, haus darah akan tetapi kalau binatang haus darah terdorong oleh lapar atau menyelamatkan diri dari maut, adalah manusia haus darah karena terdorong oleh kebencian dan dendam, oleh nafsu membunuh! Sebaliknya dia pun tidak dapat menyalahkan isterinya. Sulastri ingin terjun ke dalam perang menghadapi para pembesar lalim di Mojopahit yang telah membunuh guru-gurunya,dan juga untuk membela Lumajang yang telah melimpahkan banyak kebaikan kepadanya.

   Akhirnya Joko Handoko yang bingung memikirkan bagaimana agar Sulastri dapat berbahagia itu lalu mencari isterinya, mendapatkan Sulastri sedang rebah menelungkup di atas pembaringan di dalam kamarnya, sedang menangis lirih tanpa mengeluarkan suara, hanya tubuhnya saja kadang-kadang terguncang oleh isak.

   "Diajeng...."

   Tegurnya halus. Sulastri bangkit lalu duduk di tepi pembaringan menghadapi suaminya. Wajahnya pucat dan matanya merah, bantal di mana tadi dia menelungkupkan mukanya sudah basah, bahkan kedua pipinya yang pucat masih basah air mata. Joko Handoko merasa terharu dan kasihan sekali.

   "Boleh aku duduk untuk bicara denganmu, Diajeng?"

   Belum pernah selama menjadi suami Sulastri, pemuda ini memasuki kamar Sulastri yang tadinya ditempati oleh isterinya itu berdua dengan Roro Kartiko. Dan baru sekarang dia memasuki kamar itu dan mendengar betapa suaminya minta diijinkan duduk, Sulastri merasa terharu juga.

   "Tentu boleh, duduklah, Kakangmas..."

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Sulastri sambil menghapus air matanya dan memandang kepada suaminya itu. Sejenak mereka saling berpandangan. Hampir sama pandang mata mereka itu. Joko Handoko memandang penuh rasa kasihan, dan sebaliknya Sulastri memandang suaminya dengan perasaan kasihan dan tidak enak. Dia merasa betapa suaminya itu mengalami banyak kepahitan dan tekanan batin karena dia.

   "Diajeng Sulastri, baru saja Adimas Sutejo telah pergi, katanya hendak menengok Mbakayunya di Mojopahit."

   "Biarlah, biar dia membantu Mojopahit sekali agar kami dapat saling berhadapan sebagai lawan dan musuh!"

   Mendengar suara isterinya itu mengandung penasaran dan kemarahan, Joko Handoko menarik napas panjang.

   "Diajeng, harap kau suka berpikir panjang dan jangan terburu nafsu. Aku dapat mengerti akan pandangan Dimas Sutejo. Dia melihat kesia-siaan perang yang hanya merupakan bunuh-membunuh antara sesama manusia belaka, karena itu maka dia hendak mengundurkan diri dan menjauhi perang."

   Sulastri bersungut-sungut.

   "Kalau dia ingin begitu, biarlah!"

   Joko Handoko menarik napas panjang. Betapa dia amat mengenal watak isterinya ini! Segala isi hati dan gerak-gerik pikiran Sulastri seperti telah berada di telapak tangannya! Dia mengenal betul semua pandangan hidup isterinya ini yang berwatak gagah perkasa, seorang satria wanita yang amat hebat!

   "Diajeng, aku tahu benar betapa Dimas Sutejo amat mencintamu, dan aku tahu pula betapa Diajeng juga... selalu mencinta Dimas Sutejo. Oleh karena itu, mengapa kalian berdua tidak dapat saling mengalah? Mengapa...."

   "Kakangmas Joko Handoko! Engkau tentu telah mendengar sendiri ketika aku bicara dengan Kakang Tejo. Ketika dia membujuk agar aku tidak ikut perang, aku minta ketegasan darinya apakah dia mau mengajakku ikut ke Gunung Kawi bersamanya dan apakah jawabannya? Dia menolak! Nah, apalagi yang harus kuperbuat? Tak mungkin aku merengek-rengek mengharapkan... kasihan dan cintanya...!"

   Sulastri kembali menangis.

   "Ahhh... semua karena aku!"

   Joko Handoko berkata dengan hati pedih.

   "Diajeng, tidak tahukah engkau bahwa jawaban Dimas Sutejo itu membuktikan kebesaran hatinya? Sudah tentu dia tidak mungkin mengajakmu, mengingat bahwa engkau... menurut pendapat umum... adalah isteri orang lain! Kalau... kalau aku sudah tidak ada...."

   "Kakangmas Joko...!"

   Sulastri berseru dan menurunkan kedua tangan dari depan mukanya, memandang kepada "suaminya"

   Itu dengan mata terbelalak penuh kengerian. Joko Handoko tersenyum dan menggeleng kepala sambil menarik napas panjang.

   "Jangan salah sangka, Diajeng. Memang terus terang saja, tadinya timbul dalam pikiranku suatu keinginan gila, yaitu bahwa aku sengaja akan maju perang sampai mati, agar aku tewas dalam perang sehingga engkau dapat bebas dan tidak ada penghalang lagi antara engkau dan Dimas Sutejo...."

   "Kakangmas...!"

   Kembali Sulastri berseru kaget.

   "Jangan khawatir, Diajeng. Keinginan gila itu sebelum terlaksana, bahkan sebelum ada yang mendengar dari mulutku, ternyata telah diketahui oleh Dimas Sutejo yang arif bijaksana! Dia telah dapat mengetahuinya dan menegurku sehingga dia telah mengusir pikiran yang bukan-bukan itu dari dalam kepalaku. Maka nampaklah kemungkinan lain daripada ingatan gila itu. Kalau kita lebih dulu bercerai dalam keadaan hidup, bukankah ini juga berarti bahwa engkau telah bebas dari ikatan pernikahan dengan aku, Diajeng? Dan aku rela untuk membebaskanmu dari ikatan itu agar..."

   "Sudahlah, Kakangmas, jangan perpanjang lagi urusan itu. Ucapanmu hanya menambah bingung hatiku saja."

   "Akan tetapi, aku tidak mau melihat engkau menderita, Diajeng... aku... aku..."

   Sulastri memandang kepada suaminya itu melalui air mata yang mengembang di pelupuk matanya. Betapa mulianya pria yang menjadi suami pura-pura ini! "Kakangmas Joko Handoko, terima kasih atas segala budi kebaikanmu itu..., ah, entah bagaimana dan kapan aku dapat membalas segala budi kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi, sudahlah, jangan kita singgung lagi soal antara aku dan Kakangmas Tejo, biarlah terserah kepada kehendak Hyang Agung saja bagaimana nanti jadinya dengan kami...."

   Ketika Joko Handoko hendak membantah lagi, tiba-tiba datang seorang pengawal yang menyampaikan berita bahwa suami isteri itu dipanggil menghadap oleh Sang Adipati. Mendengar panggilan ayah angkatnya, Joko Handoko lalu cepat pergi menghadap bersama Sulastri. Sang Adipati di Puger ternyata telah mendengar tentang persiapan perang di Lumajang dan untuk membantu Lumajang itulah maka dia dipanggil putera angkatnya dan mantunya.

   "Agaknya perang sewaktu-waktu dapat meletus antara Lumajang dan Mojopahit,"

   Kata Sang Prabu Bandardento kepada mantu dan puteranya.

   "Oleh karena itu, sebaiknya kalau kalian berdua sekarang juga pergi ke Lumajang membawa pasukan dan menghadap Sang Adipati di Lumajang, menyampaikan salam hormatku dan menyerahkan pasukan sebagai bantuan dari Puger untuk Lumajang,"

   Demikian antara lain pesan Sang Adipati itu.

   "Kelak kalau perang sudah meletus, aku sendiri akan memimpin sisa pasukan untuk membantu."

   "Baik, Kanjeng Romo. Memang hamba berdua sudah bersiap-siap,"

   Jawab Joko Handoko.

   Demikianlah, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, berangkatlah Joko Handoko dan Sulastri, memimpin pasukan dari Puger menuju ke Lumajang untuk membantu Lumajang menghadapi ancaman Mojopahit. Kedatangan suami isteri ini disambut dengan gembira dan hormat oleh Sang Adipati di Lumajang dan mereka berdua langsung dipersilakan menghadap ke ruangan persidangan di mana Sang Adipati sedang berunding dengan semua senopatinya. Joko Handoko dan Sulastri memasuki ruangan itu dan disambut oleh Sang Adipati dan semua senopati Lumajang yang kagum akan kesaktian dara perkasa yang sudah banyak berjasa terhadap Lumajang ini.

   Akan tetapi berkerutlah alis yang hitam kecil di atas sepasang mata yang memandang marah ketika Sulastri melihat kehadiran Ki Patih Nambi di dalam ruangan itu. Ki Patih Nambi juga merasa akan pandang mata yang mengandung kemarahan itu. Dia tidak tahu mengapa dara ini marah kepadanya. Sebelum Sulastri memasuki ruangan itu, dia mendengar dari para senopati bahwa Sulastri adalah mantu Adipati Puger yang amat sakti dan gagah, yang sudah banyak jasanya terhadap Lumajang karena pernah menjadi tokoh Lumajang. Dan Patih ini merasa tidak pernah bertemu muka dengan Sulastri, maka tentu saja pandangan marah yang ditujukan kepadanya oleh sepasang mata yang jeli itu membuat dia terheran-heran. Juga para senopati lain yang melihat betapa Sulastri memandang kepada Ki Patih Nambi dengan alis berkerut dan mata marah itu menjadi heran.

   Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi dan tegang. Biar tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara, namun suasana yang tegang mencekam itu menyatakan kepada Sulastri bahwa sikap dan kemarahannya diketahui oleh semua orang. Maka dia pun lalu bertanya kepada Sang Adipati Wirorojo.

   "Mohon maaf kalau hamba bertanya kepada Paduka apakah persidangan ini untuk membicarakan tentang kemunafikan dan kelaliman para pembesar Mojopahit yang mengancam keselamatan Lumajang, Paman Adipati?"

   Adipati Lumajang tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Benar Sulastri."

   "Akan tetapi hamba melihat hadirnya seorang pembesar Mojopahit di sini, seorang pembesar yang paling menonjol dalam wataknya yang sewenang-wenang di Mojopahit dan kehadirannya di sini sudah pasti tidak akan membawa kebaikan untuk Lumajang"

   Semua orang terkejut dan Sang Adipati yang tua itu pun tersenyum maklum. Dia sudah dapat menduga yang dimaksudkan oleh dara perkasa yang keras hati itu,namun dia tidak mau menyatakan ini, bahkan bertanya.

   "Sulastri, apakah yang Andika maksudkan?"

   "Kiranya Paman Adipati sendiri tentu sudah maklum. Lupakah Paman akan kematian mendiang Adipati Ronggo Lawe ketika Beliau memberontak terhadap Mojopahit karena kelaliman pembesar Mojopahit? Justru biang keladi pemberontakan yang mengakibatkan gugurnya putera Paduka itu kini berada di sini dan hendak ikut berbincang tentang perlawanan kita terhadap Mojopahit! Bukankah hal ini amat ganjil?"

   "Ah, kiranya yang kaumaksudkan adalah kematian mendiang puteraku Ronggo Lawe dan kehadiran Ki Patih Nambi ini. Begitukah?"

   Sang Adipati bertanya dan semua orang mendengarkan dengan hati penuh diliputi ketegangan.

   "Maaf, Paman Adipati. Biarlah saya yang menjawab persoalan itu dan menghadapi Puteri perkasa ini!"

   Tiba-tiba Ki Patih Nambi memotong ucapan Sang Adipati. Sang Adipati tersenyum, mengangguk dan Ki Patih Nambi lalu memutar tubuhnya menghadapi Sulastri yang memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.

   "Maafkan, lebih dulu saya ingin bertanya, apakah gerangan hubungan Andika dengan mendiang Kakang Ronggo Lawe sehingga Andika merasa penasaran dan sakit hati atas kematiannya?"

   Dengan sinar mata masih bernyala marah, Sulastri menjawab sambil menekan perasaannya, karena di depan Sang Adipati dan para senopati Lumajang, di dalam persidangan agung itu, tentu saja dia tidak berani bersikap kasar.

   "Ki Patih Nambi, ketahuilah bahwa mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah Guruku. Semua orang tahu belaka bahwa pemberontakan Beliau adalah karena Andika, dan kematian Beliau juga membawa kematian Mbakayuku yang berbela pati. Oleh karena itu, kematian Adipati Ronggo Lawe dan Mbakayuku berada di tanganmu!"

   Ki Patih Nambi menghela napas panjang dan mengangguk-angguk.

   "Begitulah keadaan perang, selalu membawa korban. Akan tetapi kalau ada pihak yang lalim dan tersesat, bagaimana kita mungkin dapat menghindarkan perang?"

   Ucapan ini dikeluarkan dari mulutnya sambil menunduk, seolah-olah bicara kepada diri sendiri. Kemudian Ki Patih Nambi mengangkat muka memandang kepada Sulastri dan suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata,

   "Kematian Kakang Ronggo Lawe adalah karena kesalahannya sendiri karena dia telah berani memberontak terhadap mendiang Sang Prabu Kertarajasa yang sama-sama kita hormati dan cinta. Ketika itu, saya sebagai seorang senopati Mojopahit tentu saja menentang siapa pun juga yang memberontak terhadap Mojopahit. Bahkan Paman Wirorojo sendiri, sebagai ayah kandung Kakang Ronggo Lawe, juga melihat kekeliruan tindak dari Kakang Ronggo Lawe maka beliau tidak mau mencampuri. Memang semua orang tahu bahwa Kakang Ronggo Lawe marah dan memberontak terhadap Sang Prabu Kertarajasa oleh karena saya diangkat menjadi patih, akan tetapi apakah hal itu dapat dipersalahkan kepada saya?"

   Sulastri mengerutkan alisnya dan berkata dengan nada mengejek.

   "Kalau Andika benar merupakan seorang ponggawa yang sedemikian setianya terhadap Mojopahit, mengapa saat ini Andika berada di sini bersama-sama merundingkan pemberontakan terhadap Mojopahit?"

   Pertanyaan ini luar biasa keras dan tajamnya sehingga semua orang terkejut memandang ke arah Ki Patih Nambi.

   Akan tetapi Ki Patih Nambi hanya tersenyum pahit, lalu menjawab.

   "Wahai puteri yang gagah perkasa! Agaknya Andika memang belum mengerti benar akan duduknya perkara. Ketahuilah bahwa seluruh senopati Mojopahit adalah satria-satria utama yang tidak ragu sedetikpun juga untuk membela keturunan Sang Prabu Kertanegara dengan taruhan nyawa! Mojopahit dibangun oleh Sang Prabu Kertarajasa semenjak Beliau masih kami sebut sebagai Raden Wijaya! Kepada Beliau kami setia sampai mati, dan karena itulah maka ketika Kakang Ronggo Lawe memberontak terhadap Beliau, kami semua menentangnya. Akan tetapi sekarang? Andika bertanya mengapa kita semua kini hendak memberontak? Kami bukan memberontak terhadap Mojopahit,melainkan terhadap rajanya dan kaki tangannya yang lalim. Raja sekarang adalah keturunan Melayu, itulah sebabnya saya ikut berada di sini untuk bersama-sama menentang raja keturunan Melayu!"

   Mendengar uraian panjang lebar ini, Sulastri yang memang tadinya sama sekali tidak begitu memperhatikan tentang urusan kerajaan, menjadi bingung dan dia lalu memandang kepada Sang Adipati Lumajang. Adipati yang tua itu mengangguk dan tersenyum lalu berkata.

   "Semua ucapan Ki Patih Nambi benar belaka, Sulastri. Kita bukan menentang Mojopahit, melainkan menentang rajanya. Seharusnya, pengganti dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana adalah puteri Beliau, keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara, bukan keturunan Melayu itu."

   Sulastri menundukkan mukanya, lalu mengerling ke arah Ki Patih Nambi.

   "Karena saya kurang pengertian tentang itu semua, maka harap Ki Patih Nambi sudi memaafkan semua kelancangan saya."

   Ki Patih Nambi tersenyum dan berkata.

   "Andika sungguh hebat, gagah perkasa dan jujur. Memang seharusnya setiap orang gagah mengemukakan pendapat dan ganjalan pikirannya secara terang-terangan daripada menyimpan dendam dan sakit hati."

   Kini perundingan dilanjutkan. Siasat perang diatur dan dalam persidangan itu diputuskan bahwa mengingat akan kuatnya pasukan-pasukan Mojopahit, maka harus dilakukan siasat memancing musuh menyerbu Lumajang dan menyembunyikan pasukan-pasukan kuat di luar Lumajang yang kemudian akan menyergap musuh dari belakang. Untuk keperluan ini, ditentukan dua tempat penting sebagai benteng di mana pasukan-pasukan penyergap itu bersembunyi, yaitu di Pajarakan sebagai benteng pertama dan di Ganding sebagai benteng ke dua. Pasukan yang berada di Pajarakan dipimpin oleh beberapa orang senopati dan dibantu oleh Sulastri. Sedangkan Joko Handoko diperbantukan kepada pasukan yang berada di Ganding. Tentu saja Ki Patih Nambi sendiri yang memimpin langsung pasukan inti yang berada di Lumajang. Adapun Adipati Wirorojo sendiri yang sudah tua hanya bertindak sebagai penasehat saja.

   Banyak senopati setia yang ikut dalam persiapan perang melawan Mojopahit ini. Di antaranya adalah Pamandana, Maesa Pawagal. Panji Anengah, Jaran Bangkal, Semi,Lasem, Patih Emban dan masih banyak lagi senopati-senopati perkasa yang memperkuat pasukan Lumajang. Sulastri berpisah dari suaminya dan ketika dia menunggang kuda bersama para senopati lainnya, memimpin pasukan yang menuju ke Pajarakan, diam-diam dia memikirkan suaminya ini.

   Setelah Roro Kartiko meninggal, setelah dia berjumpa kembali dengan Sutejo, makin menonjol dan makin nampaklah kebaikan-kebaikan Joko Handoko dan diam-diam dia harus mengakui bahwa jarang di dunia ini terdapat seorang yang demikian mulia hatinya seperti Handoko yang benar-benar mencintanya dengan sepenuh jiwa raganya. Ngeri dia membayangkan betapa suaminya itu akan sengaja bertempur sampai mati hanya agar dia bebas dan dapat kembali kepada Sutejo. Teringat akan ini, jantungnya berdebar tegang penuh kekhawatiran. Akan tetapi agak lega hatinya ketika dia teringat akan penuturan suaminya betapa Sutejo telah mengetahui akan niat rahasia itu dan telah mencegah suaminya berbuat nekat seperti itu. Demikianlah, ketika melakukan perjalanan ini, Sulastri merasa gelisah, merasa kesepian, merasa nelangsa dan dia menghadapi peretempuran dengan semangat kendur dan tubuh lemas.

   Sementara itu Sang Prabu di Mojopahit yang marah mendengar hasutan Resi Mahapati bahwa Ki Patih Nambi mempersiapkan pemberontakan di Lumajang, segera memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan untuk menggempur Lumajang yang dianggapnya memberontak. Karena kepercayaan Sang Prabu terhadap Resi Mahapati makin membesar, apalagi karena Ibu suri, yaitu Puteri Sri Indreswari juga menaruh kepercayaan kepada Sang Resi, maka Resi Mahapati diberi kekuasaan oleh Sang Prabu untuk mengatur siasat menghadapi Lumajang. Resi Mahapati adalah seorang yang amat pandai mengatur siasat. Dengan cerdik sekali Sang Resi ini berhasil menyelundupkan mata-matanya ke Lumajang dan dari mata-mata inilah dia berhasil memperoleh keterangan tentang keadaan di Lumajang dan tentang pasukan Lumajang yang disembunyikan di Pajarakan dan Ganding.

   Setelah mendengar laporan ini, Mahapati lalu mengatur siasat. Dia mengerahkan pasukan besar, memecah pasukan menjadi dua, yang dua pertiga bagian dikerahkan untuk menyerbu Pajarakan sedangkan yang sepertiga bagian menyerbu Ganding. Penyerbuan kedua tempat itu dilakukan di waktu malam hampir serentak! Malam itu sunyi saja di Pajarakan. Akan tetapi tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh bunyi hiruk-pikuk dan dari sekeliling tempat pertahanan itu menyambar anak panah ke dalam benteng. Malam itu Pajarakan telah diserbu oleh pasukan Mojopahit yang amat besar jumlahnya!

   Para senopati yang memimpin Pajarakan bersama Sulastri adalah senopati tua yang gagah perkasa, yaitu Pamandana, Maeso Pawagal, dan Panji Anengah. Mereka bertiga lalu melakukan perundingan kilat dengan Sulastri, kemudian mereka memecah menjadi empat kelompok yang mempertahankan benteng itu di empat penjuru. Malam itu terjadilah perang anak panah dari dalam dan luar benteng Pajarakan. Akan tetapi tentu saja pihak pasukan Lumajang yang banyak mengalami rugi karena kalau pihak musuh dapat mengarahkan anak panah mereka ke tempat tertentu, yaitu di dalam benteng pertahanan itu, sebaliknya mereka yang tidak dapat melihat musuh hanya melepaskan anak panah keluar secara ngawur saja. Akan tetapi, tentu saja Pasukan Lumajang juga tidak mau membiarkan diri mereka menjadi sasaran anak panah yang datang bagaikan hujan. Mereka berlindung sedapat mungkin sehingga tidak begitu banyak jatuh korban hujan anak panah ini.

   Pada keesokan harinya, pihak musuh menyerbu dan menggempur pintu gerbang. Pihak Pasukan Lumajang segera membuat perlawanan dan terjadilah perang campuh yang amat seru dan mati-matian di depan empat pintu gerbang benteng pertahanan Pajarakan. Dalam perang ini, Sulastri mengamuk seperti harimau betina. Sepak terjangnya menggiriskan lawan dan banyaklah perajurit pihak musuh yang roboh oleh hantaman tangan kirinya atau sambaran keris di tangan kanannya. Akhirnya, tidak ada lagi perajurit yang berani mendekatinya dan mereka itu terpaksa mundur. Juga tiga orang senopati Lumajang mengamuk penuh semangat sehingga pihak musuh, biarpun jumlah mereka lebih banyak, dapat diusir mundur dan pintu-pintu gerbang benteng dapat ditutup rapat dan dijaga ketat. Malam tiba dan pertempuran dihentikan. Kedua pihak mengambil kesempatan ini untuk beristirahat dan merawat yang luka, menyusun kekuatan kembali untuk menghadapi pertempuran selanjutnya.

   

Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini