Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 38


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 38



Tiga orang senopati Lumajang kembali berunding dengan Sulastri. Mereka semua maklum bahwa jumlah pasukan musuh jauh lebih besar dan bahwa Pajarakan sudah dikurung sehingga berada dalam keadaan berbahaya. Mereka lalu mengambil keputusan untuk mengirim utusan yang harus dapat menerobos keluar dari kepungan untuk menyampaikan berita ke Lumajang dan mohon bala bantuan.

   Akan tetapi, tiga kali mereka mengirim utusan, memilih perajurit-perajurit yang pandai untuk menerobos keluar dan hasilnya, mayat-mayat para utusan itu digantung di depan pintu gerbang, tanda bahwa usaha mereka itu sia-sia belaka dan para utusan itu menjadi korban penghadangan musuh! Ternyata Pajarakan telah dikurung rapat sekali sehingga tidak ada seorang dari dalam benteng itu dapat keluar tanpa diketahui oleh musuh! Tentu saja hal ini membuat tiga orang senopati itu menjadi panik. Dalam keadaan berbahaya ini, Sulastri mengajukan diri untuk menerobos keluar.

   "Ah, jangan...!"

   Senopati Pamandana yang memegang kekuasaan dalam benteng itu mencegat kaget.

   "Tenagamu amat dibutuhkan di sini untuk mempertahankan benteng ini! Menerobos keluar amat berbahaya!"

   Sulastri tersenyum.

   "Paman, kiranya Andika bertiga tidak perlu mengkhawatirkan saya. Dalam perang seperti ini, siapa sih yang takut akan kematian? Kalau sudah tiga kali utusan kita gagal, berarti bahwa keadaan di luar amat kuat, maka kiranya hanya saya seoranglah yang wajib menerjang keluar. Kalau saya gagal, yah sudahlah. Akan tetapi, tanpa datangnya bala bantuan dari Lumajang, agaknya kita semua tentu akan tewas juga. Harap Paman bertiga suka bertindak bijaksana dan membiarkan saya menyerbu keluar untuk minta bala bantuan ke Lumajang."

   Akhirnya tiga orang senopati itu menyetujui juga, dan menjelang fajar, Sulastri menyelinap keluar dari pintu gerbang sebelah timur seorang diri saja dengan keris di tangan. Masih gelap di luar dan dengan kecepatan kilat dia lalu meloncat dan berlari secepatnya menuju ke timur. Akan tetapi setelah agak jauh dia meninggalkan pintu gerbang itu, tiba-tiba saja muncullah banyak orang dari balik pohon-pohon dan semak-semak dan tahu-tahu dia dihadang oleh belasan orang yang bersenjata tombak dan yang segera mengurung dan dikeroyok!

   (Lanjut ke Jilid 38)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 38

   "Tangkap mata-mata!"

   "Bunuh...!"

   "Ah, dia Si Panglima wanita itu!"

   Ramailah para pengeroyok itu berteriak-teriak, akan tetapi teriakan itu mereka segera disusul oleh jerit-jerit mengerikan ketika beberapa orang di antara mereka roboh oleh tamparan tangan kiri Sulastri atau sambaran keris di tangan kanannya. Karena maklum bahwa dia tidak boleh lengah atau terlambat di tempat itu kalau ingin selamat, maka Sulastri sudah mempergunakan segala kepandaiannya,mengerahkan Ilmu Pukulan Hasto Bairowo dan bergerak dengan Aji Turonggo Bayu,mengamuk untuk dapat cepat meloloskan diri dari kepungan. Akan tetapi, teriakan-teriakan itu memancing datangnya lebih banyak perajurit dan tiba-tiba terdengar suara tertawa mengejek dan muncullah Resi Mahapati bersama beberapa orang senopati Mojopahit yang berkepandaian tinggi!

   "Ha-ha-ha, kiranya Si Pemberontak Cilik, Si Perempuan Liar ini lagi! Ha-ha-ha,engkau sudah terkurung, lebih baik menyerah, mungkin nyawamu masih dapat diselamatkan daripada harus mati dengan tubuh hancur di tempat ini!"

   Melihat orang yang amat dibencinya ini, sepasang mata Sulastri terbelalak, mukanya menjadi merah dan dia membentak.

   "Si Keparat Mahapati! Aku datang untuk membalas kematian Eyang Jembros dan Eyang Empu Supamandrangi!"

   Setelah berkata demikian, tangan kirinya melayang dan dia menubruk ke arah resi itu.

   "Dukk!"

   Mahapati menangkis dan keduanya terdorong ke belakang. Mahapati menjadi marah sekali.

   "Serbu! Bunuh perempuan liar ini!"

   Maka mengamuklah Sulastri. Kerisnya merupakan kilat yang menyambar-nyambar seperti maut yang haus nyawa, sedangkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Hasto Nogo tidak kurang berbahaya.

   Akan tetapi, pihak pengeroyok terlalu banyak baginya. Dia hampir tidak mempunyai kesempatan untuk balas menyerang ketika para senopati yang dipimpin oleh Resi Mahapati itu, dibantu oleh banyak perajurit pilihan, mulai menyerangnya dan senjata mereka itu seperti hujan saja menyambar ke arah tubuhnya. Dia hanya dapat menangkis atau mengelak dan hanya sekali-kali kerisnya atau tangan kirinya merobohkan seorang pengeroyok yang kurang kuat. Biarpun demikian, sama sekali Sulastri tidak menjadi gentar, bahkan dia ingin merobohkan sebanyak mungkin lawan, lupa bahwa dia adalah seorang utusan yang harus dapat meloloskan diri dari tempat itu untuk menyampaikan berita ke Lumajang.

   Yang menjadi lawan terberat bagi Sulastri adalah Resi Mahapati sendiri. Resi ini maklum bahwa wanita muda ini amat sakti dan berbahaya, maka tidak seharusnya dibiarkan meloloskan diri. Karena itulah maka Sang Resi ini sendiri turun tangan, ikut mengeroyok, bahkan dia selalu menyerang dengan dahsyatnya. Tidak seperti biasanya, kini menghadapi lawan yang dia tahu amat kuat, Sang Resi telah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang keris pusaka yang mengeluarkan cahaya kehijauan di tangan kiri sedangkan tangan kanannya dia mempergunakan sebatang tongkat kayu cendana yang juga merupakan sebuah senjata yang ampuh sekali, senjata yang telah ditapai dan dimantrainya sehingga mengandung kekuatan mujijat.

   Terdengar teriakan ganas ketika seorang senopati melakukan serangan berbareng dengan seorang perajurit pilihan Mojopahit, menyerang dari kanan kiri dengan senjata golok dan tombak mereka. Serangan ini hebat sekali karena tubuh Sulastri sedang terhuyung ketika dia menangkis tongkat Mahapati sehingga dia terdorong ke belakang, maka tubrukan dua orang itu benar-benar berbahaya baginya.

   "Yaaaaaahhhh...!"

   Tiba-tiba Sulastri mengeluarkan jerit melengking yang amat mengejutkan ini, lengan kirinya menangkis senopati itu dilanjutkan dengan tamparannya sedangkan kerisnya dia lontarkan ke depan, menancap ke dada perajurit yang sedang menombaknya!

   "Prakk! Cepp...!"

   Senopati itu roboh dengan kepala pecah dan perajurit itu roboh pula dengan dada tertembus keris! Sulastri meloncat ke atas ketika ada dua orang senopati menerjangnya dari belakang, memutar tubuhnya dan menggunakan kakinya menendang. Senopati yang kena tendang itu berteriak kesakitan dan tulang pundaknya patah tercium ujung kaki Sulastri!

   Akan tetapi pada saat itu, keris bercahaya hijau dari Mahapati menyambar perutnya dengan kecepatan kilat. Sulastri merasa ada hawa panas menyambar, dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga tusukan itu luput. Akan tetapi ketika dia menggulingkan tubuhnya, pundak kirinya kena disambar tongkat kayu cendana dari Mahapati.

   "Desss...!"

   Tubuh Sulastri yang sudah akan bangkit itu kembali rebah berguling-guling dan ketika dia meloncat bangun, dia menggigit bibir karena pundaknya terasa ngilu dan nyeri bukan main. Kini teringatlah Sulastri bahwa dia harus pergi ke Lumajang, maka sambil menggeram dan mengeluarkan lengking panjang, tubuhnya menerjang ke belakang, merobohkan dua orang perajurit, lalu dia meloncat lagi dan tubuhnya menyelinap di antara para pengepungnya. Di sana-sini terdengar teriakan para perajurit yang diamuknya dan roboh.

   "Kejar! Tangkap! Bunuh dia!"

   Mahapati berteriak marah dan dia sendiri melakukan pengejaran. Akan tetapi kini ternyata bahwa pengepungan yang amat rapat itu,dengan terlalu banyak anggauta pasukan yang memenuhi tempat itu, bahkan merupakan penghalang baginya untuk dapat menyusul buronannya.

   Dengan menyelinap dan mengamuk di antara para perajurit yang menjadi panik karena wanita yang melarikan diri di tengah-tengah mereka itu menyebar maut,akhirnya Sulastri berhasil lolos dari kepungan dan menghilang di keremangan cuaca pagi yang masih gelap, menahan rasa nyeri di pundaknya yang kena pukul tongkat Resi Mahapati, melanjutkan perjalanannya sambil berlari cepat menuju Lumajang.

   Sang Adipati di Lumajang dan Ki Patih Nambi yang memimpin pasukan pemberontak, menjadi marah mendengar betapa Pajarakan telah diserbu musuh. Cepat Ki Patih Nambi mengerahkan pasukan yang ditugaskan cepat menuju ke Pajarakan untuk membantu. Melihat bahwa Sulastri terluka pundaknya, Ki Patih Nambi mempersilakan Sulastri mengaso dan diangkatlah Ki Lasem dan Ki Jaran Bangkal untuk memimpin pasukan bala bantuan ini. Akan tetapi baru saja pasukan itu berangkat dengan tergesa-gesa, datang pula seorang utusan yang luka-luka parah dari Ganding,mengabarkan bahwa Ganding juga diserbu dan dikepung musuh. Dia berhasil lolos, akan tetapi dalam keadaan luka-luka parah dan begitu menyampaikan berita ini, utusan itu pun roboh dan tewas!

   Mendengar ini, Sulastri terkejut sekali. Dia mengkhawatirkan keselamatan suaminya di Ganding. Maka dia melupakan luka di pundaknya dan mengajukan diri memimpin pasukan yang akan membantu Ganding. Karena keadaan terdesak, dan melihat betapa luka di pundak Sulastri tidak payah benar, Ki Patih Nambi meluluskan permintaan itu. Dia sendiri harus memimpin sisa pasukan untuk mempertahankan Lumajang.

   Tanpa mengaso berangkatlah Sulastri memimpin pasukan bantuan menuju ke Ganding. Benar saja, Ganding sedang dikepung dan sedang terjadi perang tanding mati-matian antara pasukan Lumajang yang mempertahankan Ganding dan pasukan musuh dari Mojopahit yang dipimpin banyak senopati yang kuat. Melihat ini, Sulastri lalu mengerahkan pasukan untuk membantu dan terjadilah perang campuh yang amat hebat dan mati-matian. Sulastri sendiri menyerbu ke tengah dan akhirnya dia melihat Joko Handoko sedang dikeroyok oleh banyak perajurit. Melihat ini, Sulastri membentak marah dan mengamuk. Biarpun pundak kirinya terluka sehingga dia tidak lagi dapat mengerahkan Aji Hasto Nogo yang ampuh, akan tetapi dia masih dapat menggerakkan tangan kirinya dengan leluasa dan dia sudah menggerakkan kerisnya yang baru, yang dibawanya dari Lumajang, untuk mengamuk dan mendekati suaminya.

   "Diajeng...!"

   Joko Handoko berseru girang melihat isterinya masih dalam keadaan selamat dan munculnya wanita ini memperlipatgandakan tenaga dan semangatnya sehingga sepak terjang satria ini benar-benar menggiriskan musuh. Akan tetapi Joko Handoko tidak tahu bahwa isterinya itu semalam suntuk telah bertanding melawan musuh-musuh yang amat tangguh, bahkan telah menderita luka, kemudian lari secepatnya ke Lumajang dan tanpa istirahat kini datang untuk membantunya!

   "Syukur bahwa kau... kau masih selamat..."

   Ucapan ini keluar dari mulut Sulastri dan wanita itu tiba-tiba saja merasa lemas. Kiranya kalau tadi dia seperti lupa akan segala rasa lelah dan rasa nyeri adalah karena dorongan rasa gelisah memikirkan keadaan Joko Handoko. Akan tetapi kini setelah melihat suaminya itu selamat dan hatinya menjadi lega, tiba-tiba saja dia merasa betapa dia telah kehabisan tenaga! Dia terhuyung dan tidak mampu lagi mempertahankan diri ketika banyak musuh menerjangnya.

   "Wirrr..., ceppp... aughhh...!"

   Tiba-tiba tubuh Sulastri terguling roboh ketika sebatang anak panah meluncur dan menancap di dadanya sebelah kanan! Kiranya ada seorang senopati yang mengenal Sulastri, tahu akan kesaktian wanita ini maka diam-diam dia telah menyerang dengan anak panah selagi wanita itu terhuyung karena kelelahan.

   "Diajeng...!!"

   Joko Handoko yang sejak tadi tidak pernah lengah memperhatikan isterinya, berseru kaget, menggunakan tendangan dan hantaman merobohkan dua orang perajurit yang sudah akan menubruk Sulastri, kemudian menyambar tubuh isterinya yang pingsan itu, mengamuk dan menyelinap mundur, kemudian melarikan diri meninggalkan gelanggang pertempuran sambil memanggul tubuh isterinya yang masih pingsan!

   Biarpun Pajarakan dan Ganding memperoleh bala bantuan dari Lumajang, namun kekuatan pihak Mojopahit terlalu besar. Setelah dikurung dan diserbu terus-menerus,akhirnya pihak Lumajang tidak kuat bertahan dan terpaksa sisa pasukannya mengundurkan diri ke Lumajang. Pajarakan dan Ganding dapat dijatuhkan. Kini dengan seluruh kekuatan pasukannya, Resi Mahapati menuju ke Lumajang!

   "Oughhhh...!"

   Bibir itu bergerak lemah, mulut itu terbuka sedikit dan terengah-engah.

   Joko Handoko meneteskan air di mulut isterinya. Sulastri yang sudah setengah sadar itu menelan air itu sedikit demi sedikit, kemudian membuka matanya. Segera ditutupnya kembali matanya karena begitu dibuka, segala sesuatu yang dilihatnya berputaran. Tubuhnya panas sekali.

   "Diajeng... harap kau tahankan... panah itu beracun dan aku harus mengeluarkan racun dari lukanya..."

   Sulastri dapat mendengar suara Joko Handoko ini. Kini kesadarannya telah berangsur-angsur kembali dan ketika dia menghentikan keluhannya. Kegagahannya timbul kembali dan dia membuat gerakan dengan kepalanya tanda setuju.

   Ketika merasa betapa mulut suaminya menempel dan menyedot luka di dada kanannya,Sulastri menggigit bibirnya. Tak terasa lagi air matanya bertitik turun ketika dia miringkan kepala membuang muka. Hatinya diliputi keharuan besar. Suaminya selalu amat baik kepadanya, amat hormat, dan amat sayang kepadanya. Sampai lima kali Joko Handoko mengecup luka itu dan meludahkan darah yang mengandung racun.

   "Mudah-mudahan saja racunnya sudah habis, akan tetapi... kau harus beristirahat dan berobat, Diajeng..."

   Suara Joko Handoko jelas mengandung kegelisahan hebat.

   Sulastri membuka matanya. Kini melihat dia dapat menatap wajah suaminya dengan jelas. Agaknya matahari telah naik tinggi. Pandang matanya tidak berputar lagi,kepalanya masih berdenyut pening, tubuhnya masih panas, pundak kirinya masih ngilu dan dadanya yang terluka panas sekali, akan teapi pikirannya terang. Sejenak mereka berpandangan dan Sulastri melihat wajah suaminya pucat, matanya penuh dengan kegelisahan dan ada bekas air mata di bawah mata suaminya. Suaminya menangis.

   "Kakangmas... kau... kau tadi menangis?"

   Tanyanya heran. Joko Handoko menundukkan muka untuk menghindarkan pandang mata isterinya,kelihatan gugup dan malu, kemudian memandang lagi dan mengangguk. menyerbu ke Lumajang.

   "Aku khawatir sekali melihat keadaanmu, Diajeng. Kau pingsan, tidak mau sadar saja, badanmu panas sekali, dan ketika anak panah kucabut, keluar darah hitam tanda keracunan dan kau... ah, aku khawatir sekali, tak terasa lagi air mataku tumpah... dan..."

   Sulastri meraih tangan suaminya dan bergerak untuk bangun. Joko Handoko cepat membantunya sehingga dia dapat duduk. Kembali mereka saling berpandangan dan ada sinar aneh keluar dari tatapan mata Sulastri. Joko Handoko merasa kikuk oleh tatapan aneh ini, maka untuk membuyarkan perasaan kikuk itu, dia berkata lagi,

   "Mari,Diajeng Sulastri, mari kita mencari tempat di mana engkau dapat mengaso dan berobat."

   Sulastri seperti tidak mendengar ucapan itu, melainkan menatap wajah pria itu dengan pandang mata aneh.

   "Kakangmas... kau... kau baik sekali kepadaku..."

   Joko Handoko mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang.

   "Ahhh, Diajeng,dalam keadaan begini, mengapa engkau masih bersikap sungkan dan bicara tentang kebaikan? Engkau tahu, seluruh hidupku adalah untukmu, Diajeng, untuk kebahagianmu seorang. Apa pun akan kulakukan demi kebahagianmu, dan melihat engkau tadi pingsan seperti... seperti hampir mati..."

   Joko Handoko terisak,lalu menekan perasaan hatinya.

   "... melihat engkau seperti itu, tentu saja aku gelisah sekali...."

   Sulastri tersenyum! Dan wajahnya berseri! Dan sinar matanya bercahaya aneh! "Selama ini aku buta, Kakangmas...!"

   Joko Handoko memandang wajah isterinya dengan khawatir.

   "Sudahlah, jangan banyak bicara. Sejak pingsan tadi engkau mengigau yang bukan-bukan. Hayo kita pergi dari sini. Biar kau kupondong dan kucarikan tempat yang baik untuk mengaso."

   Sulastri menggeleng kepala.

   "Kau kembalilah ke Ganding, Kakangmas. Kau harus melanjutkan perjuangan, membantu Lumajang. Tinggalkan aku di sini, aku dapat menjaga dan merawat diri...."

   "Tidak! Sampai mati pun tidak! Ketahuilah, Diajeng. Sesungguhnya, aku pun sudah muak terhadap perang dan bunuh-membunuh itu! Aku hanya ingin membantumu dan sekarang aku tidak akan meninggalkanmu sebelum engkau mendapat perawatan yang layak."

   "Akan tetapi Pajarakan dan Ganding..."

   "Kiranya tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Sebaiknya kita kembali saja ke Lumajang di mana engkau dapat beristirahat dan memperoleh perawatan yang baik."

   Sulastri tidak membantah lagi dan dengan susah payah mereka melakukan perjalanan menuju ke Lumajang. Akan tetapi segera terdengar berita oleh mereka betapa Pajarakan dan Ganding sudah jatuh ke tangan musuh dan betapa kini musuh sedang menyerbu ke Lumajang.

   "Kalau begitu, kita pergi saja ke Turen, di sebelah timur Gunung Kawi,"

   Kata Sulastri.

   "Di sana ada seorang kenalanku yang baik, namanya Paman Kaloka. Kita mengaso di sana dan melihat perkembangan keadaan."

   Melihat keadaan isterinya yang lemah dan mengkhawatirkan, Joko Handoko tidak banyak membantah. Keadaan mereka memang tidak aman. Kalau mereka bertemu pasukan Mojopahit, tentu mereka akan ditangkap dan dengan keadaan isterinya seperti itu,tak mungkin dia dapat melakukan perlawanan dengan baik. Maka dia lalu memutar haluan dan cepat pergi menuju ke dusun Turen di dekat Gunung Kawi. Kadang-kadang dia memondong tubuh Sulastri, dan kadang-kadang wanita itu berjalan dengan dipapahnya.

   Kaloka bersama anak angkatnya, yaitu Warsini, menerima kedatangan Sulastri dengan gembira, akan tetapi juga khawatir ketika melihat betapa penolong mereka itu dalam keadaan luka dan sakit. Dengan cepat Kaloka lalu berusaha mencarikan obat dan dengan amat teliti ayah dan anak pungut itu merawat Sulastri. Seperti kita ketahui, Warsini adalah gadis yang telah diselamatkan oleh Sulastri dan Sutejo ketika gadis ini hendak dipaksa menjadi isteri ke lima dari seorang lurah di dusun Jati, dijual oleh Paman dan bibinya. Sedangkan Kaloka adalah kakek yang hampir menjadi gila karena kematian anak perempuannya yang bernama Katmi, dan yang kemudian hidup berbahagia lagi setelah Warsini diserahkan kepada kakek ini sebagai anak angkat pengganti anaknya yang mati dan yang kini hidup berdua sebagai ayah dan anak di Turen. Dua hari kemudian, di bawah perawatan yang amat tekun dari Kaloka dan Warsini, keadaan Sulastri sudah mendingan. Biarpun tubuhnya masih lemah, namun dia tidak lagi demam dan luka di dadanya sudah mengempis.

   "Kakangmas, harap kau suka menyelidiki keadaan di Lumajang. Biarpun aku sendiri masih lemah dan tidak dapat membantu Lumajang, akan tetapi sudah selayaknya kalau engkau berangkat membantu Lumajang, Kakangmas. Sungguh tidak enak hatiku mendengar betapa Lumajang diserang musuh dan kita tinggal enak-enak saja di sini, padahal para sahabat di Lumajang terancam bahaya maut."

   Sebetulnya, di dalam hatinya Joko Handoko merasa enggan untuk meninggalkan isterinya yang belum sembuh betul. Dia ingin terus melayani dan merawat Sulastri sampai sembuh betul. Selama Sulastri sakit, dia tidak pernah meninggalkan isterinya ini dan membantu ayah dan anak angkat itu merawat isterinya, menjaga dan melayani segala keperluannya. Akan tetapi dia mengenal kekerasan hati isterinya. Isterinya merasa kecewa tidak dapat membantu Lumajang, maka mewakilkannya dan isterinya akan terhibur kalau dia dapat mewakilinya membantu Lumajang.

   Aku cinta padamu, isteriku, atau suamiku, atau tunanganku! Aku cinta padamu dan kata ini disambung dalam hatiku, berbisik kepada diri sendiri, akan tetapi,engkau harus menjadi milikku seorang, engkau harus selalu menyenangkan hatiku,engkau harus tunduk kepadaku, engkau harus melayaniku, engkau harus ini harus itu demi untuk menyenangkan hatiku. Beginikah cinta? Ingin disenangkan, ingin menguasai, ingin dihibur, ingin dipuaskan, ingin mengikat? Dan tidaklah aneh kalau pada suatu hari si "dia"

   Yang kucinta itu berpaling kepada orang lain, aku lalu membencinya! Mengapa membenci? Karena dia mengecewakan, karena dia tidak lagi menyenangkan hatiku, karena dia tidak lagi mau menjadi milikku seorang,pendeknya, karena dia tidak menyenangkan hatiku. Ah, jelaslah sekarang! Yang kunamakan cinta itu pada hakekatnya hanyalah nafsu keinginanku untuk senang saja! Dan orang yang kucinta itu kujadikan alat untuk mencapai kesenangan itu! Maka kalau alat itu tidak berhasil memberi kesenangan kepadaku, aku lalu membencinya,dan tentu aku akan mencari alat lain!

   Tidak ada pula bedanya dengan kata "cinta"

   Yang kita tujukan kepada anak kita,kepada sahabat kita, kepada apa saja yang kita cinta! Semua itu kita cinta karena mereka memberi kesenangan kepada kita. Karena cinta kita didasarkan atas kesenangan yang kita dapatkan dari apa yang kita cinta, maka sekali kesenangan itu tidak kita peroleh lagi, sudah pasti cinta itu pun buyar dan lenyap! Karena itu, selama ada si aku yang ingin disenangkan, maka sudah jelas bahwa di situ tidak mungkin ada cinta!

   Yang ada hanyalah nafsu keinginan untuk memperoleh kesenangan yang diberi etiket "cinta"! Sudah pasti bahwa "cinta"

   Macam ini selalu menimbulkan konfilk dan kesengsaraan, seperti halnya semua nafsu keinginan. Nafsu keinginan timbul karena adanya si aku yang ingin senang, dan si aku yang ingin senang adalah pikiran yang mengenangkan hal-hal lalu,mengenangkan hal-hal yang menyenangkan dan menyusahkan maka muncullah si aku yang ingin mengulang hal-hal yang menyenangkan tadi dan ingin menghindarkan hal-hal yang menyusahkan. Si aku adalah nafsu, si aku adalah pikiran si aku adalah keinginan, dan si aku adalah "cinta"

   Yang berdasarkan pamrih kesenangan itu tadi!

   Perang! Puncak kebuasaan mahluk yang dinamakan manusia! Hal yang paling terkutuk yang dapat dilakukan oleh kita manusia! Peristiwa menyedihkan yang tidak terlepas dari kita semua, dari setiap orang manusia karena perang adalah persoalan kita manusia sehingga tak seorang pun dapat melepaskan tanggung jawab dari persoalan ini. Semua orang tahu apa yang diakibatkan oleh perang! Kesengsaraan apa, kekejaman bagaimana, penderitaan hebat macam apa yang diakibatkan oleh perang. Namun, sejak ribuan tahun yang lalu, sejak sejarah manusia dikenal, manusia terus-menerus mengulang permainan kotor yang dinamakan perang ini. Manusia melihat akibat yang mengerikan ini, maka manusia melakukan bermacam jalan untuk mencipta perdamaian, usaha-usaha ke arah perdamaian selalu diusahakan manusia sepanjang masa karena ngeri melihat akibat perbuatan mereka sendiri. Akan tetapi apa hasilnya? Perang masih terus berjalan, berhenti,meletus lagi, berhenti lagi, meletus lagi. Dan usaha damai masih terus juga diakukan, tanpa hasil yang nyata. Mana mungkin ada perdamaian kalau penyebab perang masih terus ada? Dan penyebabnya adalah diri kita sendiri, pada diri setiap orang!

   Perang hanyalah merupakan kelanjutan dari konflik yang pada diri setiap manusia. Konflik dalam diri mencetus keluar, menjadi konflik antar manusia, konflik antar manusia ini menyeret orang lain menjadikan konflik antar kelompok, lalu antar ras, antar golongan baik agama, politik, kepercayaan dan lain-lain yang menjadi membesar lagi, menjadi konflik antar bangsa, antar negara dan sebagainya! Perang terjadi karena masing-masing merasa benar, dan kebenaran yang diperebutkan sudah pasti adalah kebenaran yang didasarkan atas kesenangan!

   Kesenangan untukku, untuk negaraku, untuk bangsaku! Kesenanganku diganggu, maka terjadilah permusuhan, masing-masing yang merasa kesenangannya terganggu itu merasa diri masing-masing benar pula. Setelah meletus perang yang timbul dari memperebutkan kebenaran masing-masing, maka banyak faktor menyelinap di dalamnya. Dendam, iri, benci, dan sebagainya yang mendorong kepada kita untuk ingin menang,ingin mengalahkan musuh sebagai pemuasan rasa dendam dan benci.

   Tidakkah perang antar bangsa itu sama saja dengan perang yang ada pada diri kita masing-masing sebagai perorangan? Kita masing-masing pun mengejar kesenangan,ingin enak sendiri, ingin senang sendiri, maka kalau ada yang menghalangi kesenangan kita, maka kita lalu marah dan benci. Akibat perang memang mengerikan. Ketika Sulastri melakukan perjalanan dari Turen ke timur, ke Lumajang, maka nampaklah olehnya akibat perang itu. Akibat dari penyerbuan bala tentara Mojopahit ke Lumajang. Di sepanjang perjalanan itu dia melihat rakyat di dusun-dusun menderita dilanda oleh perang. Terjadilah perbuatan-perbuatan biadab.

   Perampokan harta benda, perkosaan terhadap wanita-wanita, pembunuhan-pembunuhan. Mengerikan! Ah, betapa mengerikan semua itu. Dan kalau kita mau jujur, membuka mata kepada diri-sendiri, apakah bedanya semua itu dengan kita? Dalam pikiran kita terdapat hal-hal yang jahat dan keji seperti semua itu. Betapa kita mengejar-ngejar harta benda, haus akan harta benda sehingga di dalam batin kita ini sudah menjadi perampok besar yang ingin menguasai seluruh harta benda sebanyaknya tanpa memperdulikan orang lain kelaparan dan miskin! Apa bedanya kita dengan para perampok itu? Dan betapa kita menjadi hamba dari nafsu berahi kita, membayangkan wanita-wanita cantik, betapa mata kita menelan wanita-wanita cantik dan kita juga pemerkosa-pemerkosa dalam pikiran.

   Betapa kita ini membenci kepada siapa saja yang merugikan kita,merugikan lahir batin, membenci kepada siapa saja yang menghalangi kesenangan kita, betapa kita sudah menjadi pembunuh-pembunuh dalam batin! Semua kekejian yang mengotori dan membebani batin kita itu tercetus keluar menjadi perbuatan-perbuatan di waktu ada perang karena perang membuka kesempatan untuk pelaksanaan semua beban pikiran itu! Betapa kita tiada bedanya dengan mereka! Dapatkah kita berubah? Tanpa adanya perubahan pada diri kita, mana mungkin ada perubahan pada bangsa dan dunia? Karena tanpa kita tidak akan ada bangsa, tanpa kita tidak akan ada kemanusiaan di dunia ini.

   Pada waktu Sulastri tiba di perbatasan kota Kadipaten Lumajang, tempat itu sudah terkepung oleh pasukan-pasukan Mojopahit, sudah mengalami gempuran-gempuran hebat. Perang telah terjadi dan pihak Lumajang masih mempertahankan Lumajang dengan mati-matian. Akan tetapi seluruh dusun di sekitar Lumajang sudah menjadi korban, hampir setiap hari, setiap malam terjadi hal-hal yang menjijikkan dan mengerikan.

   Para perajurit Mojopahit adalah terkenal sebagai perajurit-prajurit gemblengan lahir batin. Perajurit-perajurit yang segagah ini hanya mempunyai satu tekad, yaitu membela pasukannya sampai mati. Perajurit-perajurit seperti ini tentu saja tidak mau melakukan hal-hal yang tidak patut seperti merampok, memperkosa, membunuh secara sewenang-wenang tanpa sebab. Perajurit-perajurit juga manusia dan mereka yang baik seperti ini sungguh amat patut disayangkan bahwa mereka hanya menjadi alat-alat untuk memperebutkan kebenaran yang tidak benar sehingga nyawa mereka dikorbankan secara sia-sia belaka.

   Akan tetapi, di antara anak buah pasukan, ada pula perajurit-perajurit gadungan yang tidak mementingkan pembelaan terhadap pasukannya, melainkan mementingkan kesenangan diri sendiri belaka. Orang-orang yang hanya berpakaian perajurit namun sebenarnya adalah orang-orang tersesat yang jahat inilah yang berpesta pora setiap kali terjadi perang karena terbuka kesempatan selebarnya bagi mereka untuk memuaskan nafsu-nafsu mereka. Mereka merampok sesuka hati, memperkosa sepuasnya dan membunuh orang seenaknya.

   Apalagi pasukan yang dipimpin oleh Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Dua orang pembantu Ki Durga Kelana ini memang dahulunya adalah perampok-perampok yang kejam. Kini setelah mereka memperoleh kedudukan yang agak tinggi, menjadi perwira-perwira yang diperbantukan dan memimpin pasukan kecil, tentu saja melihat kesempatan yang terbuka lebar mereka lalu berpesta-pora mengumpulkan harta dan menculik wanita-wanita muda yang cantik untuk mereka permainkan bersama pasukan kecil mereka. Apalagi di waktu malam di waktu pasukan diberi kesempatan beristirahat setelah penyerbuan-penyerbuan ke Lumajang, kesempatan ini mereka pergunakan untuk memuaskan nafsu-nafsu mereka.

   Malam hari itu tidak begitu gelap karena bulan sepotong muncul di angkasa. Namun, kalau biasanya di waktu malam terang bulan suasana menjadi teduh gembira, malam itu terasa dingin menyeramkan bagi para penghuni dusun-dusun di sekeliling Lumajang yang telah dihantui oleh perang sejak beberapa hari yang lalu. Berbagai macam penderitaan mereka alami, penderitaan lahir dan batin akibat perbuatan orang-orang jahat yang menyelundup ke dalam pasukan-pasukan itu.

   Di dalam sebuah hutan kecil yang sunyi sebelah selatan Lumajang, malam itu nampak beberapa orang yang kelihatan sibuk, sungguhpun pada malam hari itu perang dihentikan untuk sementara seperti pada malam-malam yang lalu. Di antara kesibukan mereka kadang-kadang terdengar isak tangis wanita. Mereka itu adalah anak buah dari Warak Jinggo dan Sarpo Kencono yang mempergunakan hutan itu sebagai tempat mereka berkumpul dan menyimpan harta rampokan mereka. Para anak buah itu mengumpulkan harta rampokan dari pelbagai dusun di sekitar itu dan membawanya ke dalam hutan di mana Warak Jinggo dan Sarpo Kencono sudah menanti,dan di antara harta rampokan itu terdapat pula beberapa orang tangkapan, ada dua orang laki-laki setengah tua yang mereka seret ke tempat itu dan terdapat pula belasan orang gadis muda yang menangis ketakutan ketika digiring ke dalam hutan itu secara kasar oleh para perajurit yang menjadi anak buah dua orang perampok itu.

   Sarpo Kencono dan Warak Jinggo duduk di atas bangku kasar dalam sebuah pondok darurat yang mereka buat sebagai tempat penyimpanan harta rampokan. Mereka berdua tertawa girang ketika melihat gadis-gadis yang diseret masuk dan dihadapkan kepada mereka, akan tetapi mereka memandang dengan sikap keren kepada dua orang laki-laki setengah tua yang ikut pula diseret masuk.

   "Hemm, untuk apa kalian menangkap monyet-monyet tua ini? Kenapa tidak cepat dibunuh saja mereka?"

   Sarpo Kencana yang bermata lebar itu bertanya, matanya melotot bengis.

   Dua orang laki-laki setengah tua itu menjadi ketakutan mendengar ini dan mereka menyembah-nyambah minta ampun. Anak buah Warak Jinggo dan Sarpo Kencono memberitahu kepada dua orang kepala mereka itu bahwa seorang di antara mereka adalah hartawan dusun yang menyembunyikan simpanan hartanya, sedangkan orang ke dua telah menyembunyikan anak gadisnya yang menjadi kembang dusun. Mendengar ini, Warak Jinggo mengerutkan alisnya.

   "Kenapa repot-repot? Telanjangi mereka dan hajar punggung mereka dengan cambukan, cabik-cabik kulitnya kalau mereka tidak mau mengaku!"

   Sambil tertawa-tawa para anak buah itu lalu merobek baju dua orang laki-laki setengah tua itu dan terdengarlah suara pecut meledak-ledak ketika mereka menyiksa dua orang laki-laki itu. Para gadis yang hadir di situ hanya dapat memandang lalu menyembunyikan muka mereka sambil menangis. Siksaan hebat yang diderita oleh kedua orang itu membuat mereka tidak kuat bertahan dan akhirnya mereka berdua mengaku.

   "Harta itu... saya sembunyikan... di tepi sungai... di bawah pohon asem..."

   Kata Si Hartawan.

   "Mereka... mereka... menyamar sebagai pria dan sembunyi di rumah Bibi mereka..."

   Kata Ayah yang mempunyai dua orang anak perempuan yang terkenal sebagai kembang dusun.

   "Ha-ha-ha!"

   Warak Jinggo tertawa girang.

   "Buktikan omongan mereka dan seret mereka keluar. Cepat bawa dua orang dara itu ke sini!"

   Dua orang laki-laki itu diseret keluar dalam keadaan setengah pingsan. Dua orang kepala perampok yang kini menjadi perwira-perwira Mojopahit itu lalu meneliti para gadis yang diculik, akan tetapi mereka merasa kecewa karena gadis-gadis itu adalah gadis-gadis dusun yang berkulit kasar dan hitam, tidak menarik bagi mereka. Akan tetapi, Warak Jinggo adalah seorang yang haus akan wanita, maka dia memilih seorang di antara mereka yang termuda, menarik tangan gadis itu dan merangkulnya. Gadis itu menjerit ketakutan ketika muka penuh cambang bauk itu mencium pipinya. Warak Jinggo tertawa lalu bertanya kepada kawannya.

   "Adi Sarpo,engkau memilih yang mana?"

   Sarpo Kencono sedang asyik memeriksa barang-barang rampokan. Dia menoleh dan tertawa.

   "Ah, silakan kaupilih dua orang untukmu, Kakang, aku akan melihat-lihat ini saja, lebih menyenangkan daripada bocah-bocah dusun itu."

   Warak Jinggo lalu menoleh kepada belasan orang anak buahnya.

   "Bawa mereka keluar dan bagi rata antara kalian!"

   Anak buah mereka itu tertawa girang dan segera terdengar sorak-sorai mereka disusul jerit tangis wanita-wanita yang mereka seret keluar dan menjadi korban kebuasan mereka. Di dalam pondok itu sendiri, Warak Jinggo masih memangku,merangkul dan mencium gadis dusun yang menggigil ketakutan dan menangis dengan rintihan memilukan. Tak lama kemudian, muncul dua orang anak buah mereka, masing-masing menyeret seorang gadis yang cukup manis dan cantik, sedangkan dua orang anak buah lain memanggul sebuah peti. Itulah hasil penyiksaan terhadap dua orang laki-laki tadi. Dua orang gadis itu adalah dua orang kakak beradik yang menjadi kembang dusun, sedangkan peti itu adalah harta yang disembunyikan oleh hartawan tadi.

   Dua orang laki-laki itu setelah mengaku dan ternyata bahwa pengakuan mereka benar, telah dibunuh oleh para perampok ganas itu! Warak Jinggo dan Sarpo Kencono girang bukan main setelah membuka peti melihat banyak barang dari emas dan memang cukup berharga. Dan melihat dua orang gadis cantik itu, Warak Jinggo mendorong gadis yang dipangkunya ke arah anak buahnya.

   "Nah, ambil dia ini!"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dan dia sudah menangkap tangan seorang di antara dua orang gadis manis itu yang menjerit kesakitan dan juga ketakutan. Kini Sarpo Kencono tidak menolak setelah melihat gadis ke dua yang cukup manis. Akan tetapi pada saat itu, ketika empat orang anak buah itu menyeret gadis yang didorong oleh Warak Jinggo itu keluar pondok, mereka disambut oleh tendangan dan pukulan seorang pemuda tampan. Serangan pemuda itu hebat sekali, pukulannya membuat seorang anak buah perampok roboh tak dapat bangun kembali dan dua orang ke dua yang kena ditendang dadanya, juga roboh dengan tulang iga patah. Pemuda ini bukan lain adalah Joko Handoko! Mendengar teriakan-teriakan anak buahnya, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono terkejut, cepat mereka melepaskan gadis yang mereka geluti itu dan mereka berdua lari keluar.

   Marahlah dua orang ini melihat betapa seorang pemuda tampan sedang mengamuk dan dikeroyok oleh enam orang anak buah mereka yang sudah datang ke tempat itu tertarik oleh teriakan-teriakan kawan-kawan mereka. Joko Handoko dikeroyok, akan tetapi dia mengamuk terus, sungguhpun gerakannya tidak leluasa karena paha pemuda ini sudah terluka. Pemuda ini telah beberapa kali mencoba untuk menembus kepungan dan memasuki Lumajang, akan tetapi usahanya gagal bahkan siang tadi dia ketahuan dan dikeroyok dan akhirnya dia dapat melarikan diri akan tetapi pahanya telah terluka oleh bacokan golok. Dia dapat menyembunyikan diri di dalam dusun tak berjauhan dari situ. Tadi, ketika dia sedang merawat luka di pahanya sambil bersembunyi di belakang pondok seorang petani, dia mendengar ribut-ribut dan jerit dua orang wanita.

   Biarpun dia sendiri terluka, namun mendengar suara jerit wanita itu, Joko Handoko tidak dapat menahan hatinya dan dengan keris di tangan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan bertanya kepada janda pemilik pondok apa yang telah terjadi. Sambil menangis janda itu mengatakan bahwa dua orang gadis keponakannya yang bersembunyi di dalam kamarnya telah dilarikan oleh perajurit-perajurit Mojopahit ke dalam hutan. Mendengar ini, Joko Handoko lalu melakukan pengejaran sampai ke pondok dalam hutan itu dan karena tidak dapat menahan kemarahannya,dia lalu menerjang para perajurit yang sedang keluar dari pondok menyeret seorang gadis itu.

   Menghadapi pengeroyokan itu, repot jugalah Joko Handoko. Warak Jinggo dan Sarpo Kencono adalah dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Melawan seorang di antara mereka saja dia tidak akan menang, apalagi kini dia yang sudah terluka pahanya dikeroyok oleh belasan orang anak buah mereka, dan dua orang kakek raksasa itu sendiri hanya mempermainkan dia. Kalau dikehendaki oleh mereka berdua, tentu dengan mudah saja Joko Handoko dapat dirobohkan.

   "Ha-ha-ha, Adi Sarpo, jangan kita bunuh dia. Bukankah dia ini putera Si Progodigdoyo yang memerontak itu dan pernah menjadi senopati Lumajang yang menjaga benteng Ganding?"

   Kata Warak Jinggo sambil tertawa-tawa.

   "Benar... benar... dan kabarnya dia mempunyai adik kandung yang cantik sekali!"

   "Heh, pemberontak hina, lebih baik kau menyerah saja!"

   Warak Jinggo berkata lagi.

   Joko Handoko tidak menjawab, melainkan menyerang makin hebat dan agaknya dia sudah mengambil keputusan untuk melawan sampai mati, karena melarikan diri pun tidak akan ada gunanya. Dengan pahanya yang terluka, tentu dia tidak akan dapat lari jauh. Kerisnya menyambar dan dia sudah berhasil merobohkan seorang perajurit lagi. Akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Warak Jinggo juga telah menendangnya, mengenai pinggang dan tubuh Joko Handoko terguling! Dua orang perajurit menubruk untuk menangkapnya, akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka sendiri yang terlempar dan tak dapat bangun kembali! Kiranya mereka itu telah kena ditampar oleh seorang yang baru muncul, yang gerakannya tangkas seperti seekor harimau menubruk. Kalau Warak Jinggo dan Sarpo Kencono terkejut menyaksikan sepak terjang orang yang baru datang ini, adalah Joko Handoko yang menjadi girang sekali, akan tetapi juga khawatir ketika melihat yang muncul adalah isterinya yang beberapa hari yang lalu masih lemah dan sakit.

   "Diajeng...!"

   "Kau tidak apa-apa, Kakangmas?"

   Joko Handoko sudah meloncat bangun. Kini di dalam cuaca yang remang-remang itu, Sarpo Kencono dan Warak Jinggo dapat mengenal Sulastri maka keduanya berseru heran dan juga girang.

   "Ah, kiranya dia! Bagus, hayo kita tangkap dua orang mata-mata Lumajang ini hidup-hidup! Mereka merupakan tawanan-tawanan yang amat berharga! Sang Resi tentu akan girang sekali kalau kita bawa mereka ini menghadap sebagai tawanan!"

   Kata Warak Jinggo dan bersama Sarpo Kencono dia sudah menubruk maju dan menyerang Sulastri, sedangkan anak buah mereka telah mengepung dan menyerang Joko Handoko.

   Melihat gerakan suaminya kaku dan kakinya agak terpincang, Sulastri merasa khawatir sekali.

   "Kau terluka, Kakangmas?"

   Tanyanya sambil mengelak dari tubrukan Warak Jinggo, kemudian membalas dengan tamparan tangan kirinya yang juga dapat dihindarkan oleh lawan.

   "Tidak apa-apa, Diajeng, cuma luka sedikit di paha..."

   Kata Joko Handoko, akan tetapi ketika dia menangkis tusukan tombak dengan kerisnya, dia terhuyung. Luka di pahanya bukan hanya luka sedikit, melainkan luka yang cukup parah dan luka yang baru itu kini pecah lagi dan mengeluarkan banyak darah karena dipakai bertempur. Untung dia masih sempat menggulingkan dirinya ketika tombak ke dua melayang dan ketika dia berusaha meloncat bangun, dia terhuyung lagi.

   "Kau... kau luka parah...!"

   Sulastri kaget bukan main akan tetapi dia sendiri kini menghadapi pengeroyokan Warak Jinggo dan Sarpo Kencono yang amat digdaya sehingga dia tidak berhasil mendekati Joko Handoko yang makin payah menghadapi pengeroyokan perajurit itu.

   Sulastri yang merasa amat khawatir melihat keadaan suaminya, kini menjadi marah bukan main.

   "Keparat jahanam! Aku akan bunuh kalian semua...!"

   Bentaknya dan gerakannya menjadi dahsyat sekali sehingga dua orang pengeroyoknya terpaksa mundur karena dari kedua tangan dara perkasa itu menyambar hawa maut yang mengerikan.

   Dua orang kakek raksasa ini sudah tahu akan kehebatan gadis dari puncak Bromo ini, maka mereka pun bertempur dengan hati-hati sekali. Pertandingan itu ramai bukan main, seru dan mati-matian karena Sulastri tentu saja ingin lekas-lekas dapat menolong suaminya yang makin payah. Beberapa kali Joko Handoko roboh, akan tetapi setiap kali ditubruk dan akan diringkus, dia dapat meronta dan melepaskan diri lalu mengamuk terus pantang menyerah.

   Selagi Sulastri bingung karena tidak dapat menolong suaminya dan dua orang raksasa yang mengeroyoknya itu benar-benar tangguh, tiba-tiba muncul seorang kakek lain yang mengejutkan hati Sulastri. Kakek yang muncul ini bertubuh tinggi besar, membawa sebatang tongkat ular hitam dan kakek ini bukan lain adalah Ki Durga Kelana, kakek cabul yang pernah menyamar sebagai wanita mengelabuhi dan menyesatkan orang-orang dusun dengan penyembahan Sang Bathari Durga itu! Malam itu, Ki Durga Kelana mengunjungi dua orang pembantunya tentu saja dengan harapan untuk memperoleh "bagian"

   Dari keuntungan yang didapatkan oleh dua orang pembantunya itu. Ketika melihat ribut-ribut dan mendekat lalu mengenal Sulastri,dia terkejut. Akan tetapi melihat Sulastri terdesak dan Joko Handoko juga sudah hampir tertawan, dia tertawa mengejek.

   "Heh-heh, kuda betina ini makin liar saja! Betapa akan senangnya menjinakkan kuda betina liar ini! Adi Warak dan Adi Sarpo, lihat aku menaklukkannya!"

   Setelah berkata demikian, Ki Durga Kelana melontarkan tongkat hitamnya ke udara. Tongkat itu melayang dan tiba-tiba Sulastri melihat betapa tongkat hitam itu berubah menjadi seekor naga hitam yang dahsyat, dengan matanya berkilauan dan mulutnya ternganga menyemburkan api kepadanya, menubruk secara dahsyat dan mengerikan sekali! Akan tetapi, Sulastri adalah dara perkasa gemblengan seorang sakti di puncak Bromo, dan dia tahu siapa adanya Ki Durga Kelana ini. Dia tahu bahwa kakek ini selain digdaya juga pandai ilmu sihir, maka tahulah dia bahwa naga hitam itu adalah hasil permainan sihir kakek itu. Maka dia lalu mengerahkan seluruh tenaga batinnya, menahan napas dan ketika naga itu menyambar, dia mengeluarkan pekik dahsyat.

   "Haiiihhhhhh...!!"

   Sambil melengking nyaring, Sulastri menghantam ke arah naga hitam itu dengan pengerahan tenaga dan Aji Hasto Nogo.

   "Dukkk!"

   Tongkat hitam itu terlempar ke atas tanah dan naga hitam itu pun lenyap! Melihat betapa ilmu sihirnya dipunahkan orang, Ki Durga Kelana marah sekali. Dia menyambar tongkatnya yang terlempar itu lalu memutar tongkatnya dan maju ke depan, ikut mengeroyok Sulastri yang tentu saja menjadi makin repot. Menghadapi pengeroyokan Warak Jinggo dan Sarpo Kencono saja sudah amat berat, apalagi kini ditambah dengan Ki Durga Kelana yang lebih tangguh daripada dua orang kakek raksasa itu!

   Ketika melihat keadaan Joko Handoko dan Sulastri sudah amat repot dan berbahaya sekali, tiba-tiba Sulastri meloncat ke belakang, berjungkir balik dan tahu-tahu dia telah berada di dekat suaminya, lalu dia berdiri saling mengadu punggung dengan suaminya, berbisik lirih.

   "Kakangmas, jangan khawatir, kita mati bersama..."

   "Diajeng, larilah selagi ada kesempatan..."

   "Tidak, lebih baik mati bersamamu, Kakangmas..."

   Ucapan Sulastri ini mendatangkan perasaan girang yang amat besar dalam hati Joko Handoko sehingga dia seolah-olah memperoleh tenaga baru. Dia membentak keras dan kembali kerisnya menghunjam dan merobohkan seorang perajurit. Akan tetapi, dua pukulannya yang keras dari samping membuat dia terhuyung dan hampir roboh!

   "Kakangmas...!"

   Sulastri akan menolong akan tetapi sinar hitam menyambar ke arah kepalanya. Itulah tongkat ular dari Ki Durga Kelana yang tak boleh dipandang ringan, maka terpaksa dia mengelak dan menghadapi lawan tangguh ini dan dia sudah dikurung lagi oleh tiga orang kakek itu. Pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu empat orang perajurit yang sudah menubruk tubuh Joko Handoko, mencelat ke kanan kiri dan di situ telah berdiri Sutejo!

   "Kakang Tejo...!"

   Sulastri berseru girang bukan main.

   "Tenanglah, dan hati-hati menghadapi lawan-lawanmu!"

   Tejo berkata dan dia sudah melindungi tubuh Joko Handoko yang ternyata telah roboh pingsan. Kini Sulastri dan Sutejo mengamuk, menandingi tiga orang kakek raksasa yang dibantu oleh anak buah mereka yang kini tinggal delapan orang itu. Sutejo kini menghadapi Ki Durga Kelana, sedangkan Sulastri yang marah melihat suaminya roboh tak bergerak, menerjang dua orang kakek raksasa lainnya dengan sambaran keris dan pukulan tangan kirinya yang ampuh. Munculnya Sutejo amat mengejutkan tiga orang kakek itu. Mereka sudah mengenal Sutejo dan tahu akan kesaktian pemuda ini.

   "Sutejo, apakah kau hendak memberontak terhadap Mojopahit?"

   Bentak Ki Durga Kelana sambil memutar tongkatnya.

   "Hemm, manusia sesat, jangan bawa-bawa nama Mojopahit dalam kejahatanmu!"

   Jawab Sutejo dan dia sudah menyambut serangan Ki Durga Kelana dengan kedua tangan kosong.

   Pertempuran berjalan makin hebat. Gerakan Sutejo dan Sulastri demikian cepat dan kuatnya sehingga kini tidak ada lagi perajurit yang berani maju, hanya menonton pertempuran antara kedua orang muda perkasa melawan tiga orang kakek raksasa itu. Kalau Sutejo bertempur dengan tenang dan hanya mengimbangi terjangan-terjangan Ki Durga Kelana, tidak demikian dengan Sulastri. Wanita ini merasa khawatir sekali melihat suaminya yang menggeletak seperti telah tak bernyawa lagi, maka saking sedihnya dia menjadi marah bukan main dan sepak terjangnya, tidak mungkinlah untuk menangkapnya hidup-hidup, seperti orang harus menangkap hidup-hidup seekor harimau yang buas saja!

   Bagaimanakah Sutejo dapat muncul demikian kebetulan? Pemuda ini tadinya pergi ke Mojopahit untuk menjumpai mbakayunya, yaitu Lestari. Akan tetapi betapa kaget dan duka hatinya ketika dia mendengar berita tentang mbakayunya yang telah mati membunuh diri bersama seorang kekasihnya! Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada mbakayunya yang diracuni dendam sehingga akhirnya menuruti hati penuh dendam berubah menjadi orang yang kejam sekali dan akhirnya ketika menemui cintanya, harus menebus semua itu dengan nyawanya.

   Ketika Sutejo yang hendak pergi ke Gunung Kawi menyusul gurunya itu mendengar bahwa Lumajang diserbu oleh pasukan Mojopahit, dia segera menuju ke Lumajang. Sama sekali bukan untuk membantu perang, baik membantu Mojopahit maupun Lumajang, melainkan karena dia teringat kepada Sulastri dan ingin menyelamatkan wanita yang dicintanya itu. Akan tetapi ketika melihat Lumajang dikepung, dia menjadi bingung dan akhirnya dalam usahanya memasuki Lumajang dan mencari tempat yang agak lemah penjagaannya, dia melihat Sulastri dan Joko Handoko dikeroyok dan cepat membantu mereka.

   Sepak terjang Sulastri yang dahsyat itu membingungkan Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, juga membuat mereka penasaran sekali. Mereka adalah jagoan-jagoan yang digdaya dan jarang ada lawan yang mampu menandingi mereka, akan tetapi sekarang,mengeroyok seorang wanita muda saja mereka tidak mampu menang! Karena penasaran dan marah, tiba-tiba Warak Jinggo mengeluarkan gerengan dahsyat dan dengan sikap buas dia menubruk ke depan, seperti seekor beruang menyerang, tangan kirinya membentuk cengkeraman ke arah kepala Sulastri, sedangkan golok di tangan kanannya yang sudah dicabut untuk menghadapi lawan yang tangguh itu kini membacok ke arah pinggang Sulastri. Pada saat yang sama pula, Sarpo Kencono juga menusukkan kerisnya ke arah perut gadis itu dan tangan kirinya mencengkeram ke arah dada!

   Melihat serangan yang amat hebat ini, Sulastri mengeluarkan teriakan melengking nyaring, tubuhnya mencelat ke atas karena dia sudah menggunakan ajinya Turonggo Bayu dan ketika kedua lawannya itu tercengang melihat serangan mereka luput dan tubuh dara itu melayang ke belakang dan ke atas, tiba-tiba saja Sulastri mengayun tangan kanannya yang memegang keris, menyambitkan kerisnya ke arah Sarpo Kencono. Malam itu biarpun ada bulan, akan tetapi bulan hanya sepotong dan tempat itu agak gelap oleh bayang-bayang pohon, sedangkan sambitan keris ini dilakukan secara mendadak dan sama sekali tidak terduga-duga.

   "Crepp... aduhhhhh...!"

   Sarpo Kencono menjerit dan tangan kanannya mencengkeram ke arah lehernya di mana keris yang disambitkan oleh Sulastri tadi menancap sampai ke gagang sehingga ujung keris menembus leher itu. Dia terhuyung lalu roboh menelungkup, tewas seketika!

   Bukan main kagetnya hati Warak Jinggo melihat kawannya roboh dengan tiba-tiba itu dan pada saat itu, tubuh Sulastri dari atas sudah menyambar turun ke arahnya! Cepat Warak Jinggo lalu menyambutnya dengan bacokan goloknya, akan tetapi Sulastri yang sudah marah sekali itu tidak mengelak, sebaliknya dia malah menerima sambaran golok itu dengan tangkisan lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya menampar ke arah kepala lawan. Warak Jinggo girang sekali melihat wanita itu menangkis golok pusakanya dengan lengan kiri karena dia merasa yakin bahwa lengan wanita itu tentu akan terbabat buntung. Senjata pusaka yang kuat saja akan patah bertemu goloknya, apalagi lengan halus seorang wanita.

   "Dukkk! Plakk... aughhh...!"

   Warak Jinggo terkejut setengah mati ketika merasa betapa goloknya bertemu dengan lengan yang kerasnya melebihi baja murni! Dan pada saat itu, tamparan tangan Sulastri telah menyambar ke arah kepalanya.

   Untung dia masih mengelak dan menjatuhkan diri ke belakang sehingga tamparan itu mengenai pundaknya, akan tetapi cukup hebat untuk membuat dia terhuyung ke belakang! Dan Sulastri yang penasaran itu seperti seekor hariamau haus darah sudah menubruk maju! Warak Jinggo masih berusaha menyambut serangan itu dengan tusukan golok dan hantaman tangan kiri. Namun Sulastri benar-benar sudah nekat. Dengan mengandalkan ilmu kekebalannya Trenggiling Wesi, dia tidak menangkis maupun mengelak sehingga tusukan golok itu mengenai perutnya sedangkan hantaman lawan mengenai lehernya, akan tetapi aji kekebalannya melindungi tubuhnya. Andai kata Warak Jinggo tidak sekaget itu melihat lawannya menerima serangannya dengan tubuh, agaknya aji kekebalan dari Sulastri belum tentu cukup kuat untuk menandingi kekuatan Warak Jinggo. Akan tetapi kakek ini terlalu heran dan kaget maka tenaganya tidak sepenuhnya dan pada saat itu kedua tangan Sulastri sudah menyambar dari kanan kiri tepat mengenai kedua pelipis kepala Warak Jinggo.

   "Prakkk...!"

   Warak Jinggo terguling roboh dan tewas seketika tanpa sempat mengeluh. Kalau tadi ilmu kekebalan Sulastri tidak kuat menerima serangan lawan, biarpun andaikata Sulastri tewas oleh serangan itu, agaknya Warak Jinggo juga tidak akan dapat terbebas dari pukulan Hasto Nogo yang ampuh itu dan tentu mereka akan mati sampyuh. Akan tetapi karena kakek itu terkejut dan terheran, maka aji kekebalan Trenggiling Wesi cukup kuat untuk melindungi tubuh Sulastri. Sulastri menjadi makin beringas, seperti harimau kelaparan mencium darah segar.

   Dia cepat mencabut kerisnya dari leher Sarpo Kencono dan kini dia menubruk ke arah Ki Durga Kelana dengan dahsyat. Ki Durga Kelana sedang sibuk melawan Sutejo yang amat tangguh itu. Dia sudah merasa repot menghadapi pemuda itu dan dia sudah merasa gentar melihat robohnya dua orang pembantunya, maka kini ketika Sulastri secara tiba-tiba menerjangnya, dia makin gugup sehingga ketika tongkatnya menyambar, lengan kanannya kena dipukul oleh tangan Sutejo yang terbuka.

   "Desss...!"

   Tongkat ular hitam itu terlepas dari pegangannya dan pada saat itu Sulastri sudah datang menubruk. Ki Durga Kelana terkejut bukan main, berusaha meloncat akan tetapi gerakannya jauh kalah cepat oleh gerakan Sulastri yang menubruk seperti seekor harimau itu.

   "Crep-crep-crottt...!"

   Tiga kali keris di tangan Sulastri menikami perut dan dada kakek raksasa itu. Kakek itu mengeluarkan suara gerengan menyeramkan dan kedua tangannya masih berusaha mencekik leher Sulastri, akan tetapi dengan gesit dara itu menendang sehingga perut lawan kena tendang dan terjengkanglah tubuh kakek raksasa itu, berkelojotan di atas tanah dalam genangan darahnya sendiri! Sementara itu, Sutejo mengerutkan alisnya dan cepat melompat ke dekat Joko Handoko. Hatinya lega melihat bahwa pemuda itu tidak tewas, hanya pingsan saja. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat betapa Sulastri yang baru saja menewaskan tiga orang kakek sakti itu, masih mengamuk dengan buasnya!

   "Adi Bromatmojo!"

   Bentaknya nyaring. Mendengar Sutejo menyebutnya seperti itu, Sulastri terkejut dan menghentikan amukannya, membalikkan tubuh memandang ke arah Sutejo. Sejenak mereka saling pandang di bawah sinar bulan yang remang-remang.

   "Adi Bromo, engkau ternyata masih belum meninggalkan sifatmu yang keras dan ganas! Kuharap engkau insyaf dan menjauhkan diri dari segala kekerasan yang tidak artinya ini!"

   Tiba-tiba Sulastri merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Sutejo. Nampak jelas olehnya betapa antara dia dan Sutejo tidak akan ada kecocokan. Sutejo memang baik sekali, gagah perkasa dan sakti mandraguna. Akan tetapi dia melihat kelemahan dalam diri orang muda ini. Berbeda dengan Joko Handoko... teringat akan suaminya, tiba-tiba dia mengeluh dan cepat dia memandang ke arah tubuh yang membujur itu. Naik sedu-sedan dari tenggorokannya dan dia segera menubruk ke arah tubuh itu sambil menangis. Melihat ini, diam-diam Sutejo tersenyum. Dia seperti melihat cahaya terang dalam sikap Sulastri terhadap Joko Handoko ini.

   

Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini