Kemelut Di Majapahit 4
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Aku tidak tahu!!"
Akan tetapi Reksosuro dan Darumuko juga bukan orang-orang bodoh. Sama sekali tidak. Biar pun mereka itu kasar dan kejam, namun sebagai pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Resi Mahapati yang bercita-cita besar, mereka selain memiliki ilmu silat yang kuat, juga memiliki kecerdikan. Melihat sikap sulastri ketika menjawab, begitu ketus dan keras, mereka menduga bahwa anak ini tentu tahu lebih banyak.
"Hemm, hayo katakan, di mana mayat mbakayumu?"
Reksosuro sudah mengancam dan melangkah maju mendekati.
"Tidak tahu!"
"Plakkk!"
Pipi Sulastri ditampar oleh Reksosuro sehingga anak itu terpelanting. Pipi yang halus itu menjadi bengkak kemerahan, rasa nyeri menggigit-gigit, kepalanya terasa penig, akan tetapi, Sulastri bangkit berdiri dan memandang dengan mata melotot kepada Reksosuro, sama sekali tidak menangis, tidak mengaduh, dan sedikit pun tidak takut.
Dua orang itu saling pandang dan merasa kaget dan heran juga. Selama hidup belum pernah mereka berhadapan dengan seorang anak kecil, perempuan lagi, yang sedemikian keras dan tabah sikapnya, sungguh amat luar biasa.
"Eh, manis, katakanlah baik-baik, di mana mayat mbakayumu. Nanti kami beri hadiah uang perak. Kalau tidak, engkau akan kami siksa sampai mati!"
"Persetan! Aku tidak tahu dan tidak takut!"
"Anak setan!"
Darumuko marah sekali dan kaki kirinya bergerak.
"Desss".!!"
Tendangannya mengenai pinggul anak itu, membuat tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak dan terbanting ke atas tanah, terguling-guling sampai jauh akhirnya terhenti karena menabrak batang pohon.
"Wah, jangan-jangan kau membunuhnya!"
Reksosuro menegur temananya dan cepat mereka berdua lari mengampiri anak itu.
Kembali mereka tertegun. Anak itu sama sekali tidak mati, bahkan pingsan pun tidak. Tubuhnya babak-bundas, barut-barut dan berdarah, akan tetapi sama sekali anak itu tidak mengeluh, bahkan kini bangkit susuk, memegangi kepalanya yang berdarah dengan tangan kiri kanannya yang lecet dan matanya mendelik dengan penuh kebencian kepada dua orang itu. Akan tetapi sama sekali tidak menangis, dan tidak takut!
Dua orang perwira Majapahit itu merasa serem.
"Eh, kakang Reksosuro, manusia atau ibliskah anak ini?"
Reksosuro juga penasaran.
"Manusia atau iblis, kita harus memaksakan membuka mulut!"
Dan dia sudah mencabut kerisnya sambil menghampiri Sulastri.
"Bocah setan, kau masih juga membandel? Apa kau tidak takut melihat keris pusakaku ini? Ini adalah Kyai Bandot, mengandung bisa ular, sekali kerat saja kulitmu akan melepuh dan bengkak-bengkak!"
Sulastri berjebi, bahkan meludah ke arah muka bermata juling yang didekatkan kepadanya.
"Cuhhhh!! Crottt".. !"
Air ludah itu tepat mengenal tengah di antara matanya yang juling sehingga mata itu makin menjuling memandang air ludah yang menempel di atas hidung. Lalu dia membanting kaki.
"Setan alas, kau minta disiksa!"
Reksosuro menubruk, kerisnya digerakkan untuk meyayat lengan anak itu dan untuk menyiksa dan memaksanya mengaku.
"Plak!"
Reksosuro terhuyung ke belakang memandang kepada seorang kakek yang pakaiannya serba hitam, juga ikat kepalanya hitam, mukanya tertutup brewok dan cambang bauk yang lebat, menyeramkan sekali apa lagi matanya besar dan ketika itu memandang penuh kemarahan. Kakek itu muncul dari balik batang pohon dan tadi menggunakan kakinya menendang sehingga Reksosuro terhuyung ke belakang dan sayatan kerisnya ke arah lengan Sulastri luput.
"Manusia-manusia tak bermalu, menggangu seorang kanan-kanan!"
Kakek itu membentak dengan suara yang dalam.
Reksosuro dan Darumuko mengenal kakek ini dan mereka saling pandang, akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah angota keluarga Tuban yang telah baru saja dikalahkan, dan mengingat bahwa mereka adalah abdi-abdi terkasih dari Resi Mahapati, Reksosuro mengangkat dada dan berkata.
"ah, kiranya paman Ki Ageng Palandongan yang datang!"
Ki Ageng Palandongan, kakek itu, adalah ayah dari mendiang Mertaraga, isteri pertama dari
(Lanjut ke Jilid 04)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
mendiang Ronggo Lawe. Dia seorang yang sederhana dan tidak suka pangkat, hidup seperti petani di pedusunan setengah pertapa, maka dia tidak mengenal dua orang ini.
"Andika adalah dua orang perwira Mojopahit yang diutus oleh sang prabu untuk menangkap anak ini!"
Darumuko yang cerdik itu mendahului temannya.
Ki ageng Palandongan mengerutkan alisnya yang tebal.
"Mustahil kiranya kalau sang prabu mengutus kalian menangkap seorang anak kecil. Aku lihat tadi kalian hendak menganiaya dia dan pergilah andika berdua dari sini, jangan membuat ribut di sini."
Reksosuro bertolak pinggang dan membetak.
"Paman Ki Ageng Palandongan! Ucapan apakah ini? Kami melakukan tugas kali, dan paman berani menghalagi kami?"
"Persetan dengan kalian!"
Kakek itu membentak marah.
"Kalau begitu paman hendak memberontak pula!"
Reksosuro membentak.
"Keparat bermulut lancang!"
Ki Ageng Palandongan marah, kakinya terayun dan untuk kedua kalinya Reksosuro terhuyung. Dia dan temannya cepat mencabut keris dan menyerang kakek itu. Akan tetapi, Ki Ageng Palandongan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu adalah bekas jagoan yang berilmu tinggi, maka biar pun dua orang lawannya memegang keris dan dia sendiri bertangan kosong, akan tetapi dengan mudah dia menghindarkan diri dari semua serangan, kemudian secepat kilat dia membagi-bagi tamparan sehingga Reksosuro dan Darumuko gelayaran. Kakek itu menyusulkan dua kali tendangan dengan kakinya yang besar dan kuat seperti mengaduh-aduh, terlempar dan jatuh terguling.
"Tahan, paman Palandongan".!!"
Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah Panewu Progodigdoyo!"
Eh, eh, saya lihat dua orang ini adalah pamong Mojopahit! Betulkah kalian ini"."
"Maaf sang panewu yang mulia, memang kami berdua adalah perwira-perwira Mojopahit yang mengemban tugas gusti sinuwun untuk menangkap anak perempuan ini. Akan tetapi paman Ki Ageng Palandongan menentang kami."
Panewu Progodigdoyo yang kini untuk sementara menjabat kepala di Tuban itu, menoleh ke arah Sulastri, kemudian memandang Ki Ageng Palandongan dan bertanya dengan sikap hormat namun penuh teguran.
"Benarkah, paman? benarkah paman Palandongan menentang utusan Sang Prabu Mojopahit?"
Karena kini bekas pembantu utama mantunya itu telah menjadi kepala, maka Ki Ageng Palandongan menyabarkan hatinya, lalu dia berdehem dan menjawab, suaranya dalam dan lantang.
"Benar, akan tetapi sebetulnya paman tidak menentang siapa pun juga, nak panewu. Karena melihat mereka berdua ini bersikap kasar dan menganiayanya seorang bocah, maka paman turun tangan melarang mereka."
"Ah, paman. Mengapa paman tidak bersabar? Baju saja Tuban diberi pengampunan oleh gusti sinuwun, bagaimana paman sekarang berani menentang dua orang utusan beliau? Bukankah hal itu akan mendatangkan kesan buruk sekali? Eh"., kisanak, saudara-saudara perwira yang gagah. Harap kalian maafkan atas kesalah pahaman ini, ya? Dan lupakan urusan ini, jangan terdengar oleh sang prabu."
Reksosuro dan Darumuko yang sebetulnya sudah mengenal baik Progodigdoyo itu mengangguk dan Reksosuro berkata.
"Tidak mengapalah. Kami akan kembali ke Mojopahit, membawa bocah ini!"
Reksosuro menggerakkan tangannya dan sebelum Sulastri dapat lari, anak itu telah dipengang kedua lengannya dengan satu tangan. Sulastri meronta-ronta, menendang-nendang.
"Lepaskan! Monyet juling! Lepaskan aku! Dan dia hendak menggunakan giginya untuk mengigit tangan yang memegangi kedua lengannya, akan tetapi Reksosuro menutir lengan itu dan kini memegangi kedua lengan anak yang ditarik ke belakang tubuhnya sehingga anak kecil iti tidak mampu berkutik lagi.
"Nanti dulu"."
Ki Ageng Palandongan berkata marah menyaksikan peristiwa ini.
"Mau diapakan anak itu? Mustahil kalau gusti sinuwun mengutus kalian menangkap seorang bocah".."
"Paman Palandongan, bukanlah semua rakyat adalah kawula (hamba sahaya dari Mojopahit) Lebih baik kita sebagai pamong yang setia tidak mencampuri urusan ini dan menyerahkannya kepada kebijaksanaan gusti sinuwun. Eh, kisanak, kalian pergilah dan bawa anak itu, hanya kuminta agar kalian tidak berlaku kasar terhadap anak itu di sini!"
Ucapan Progodigdoyo ini membuat Ki Ageng Palandongan tak dapat membantah lagi, dan dua orang itupun mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh mereka itu, maka Reksosuro lalu mengangkat dan memondong Sulastri, biar pun masih memegangi kedua lengannya, dan dengan sikap halus berkata.
"Marilah, anak manis, jangan takut dan jangan melawan. Gusti sinuwun memanggil, manis."
Maka pergilah mereka, diikuti oleh pandang mata kedua orang itu, Progodigdoyo tersenyum akan tetapi Ki Ageng Palandongan mendelik menahan kemarahan.
Reksosuro dan Darumuko melanjutkan perjalanan dan reksosuro masih terus memondong Sulastri sampai mereka menyeberangi Sungai Tambakberas. Setelah mereka tiba di daerah sendiri, yaitu daerah Mojopahit, Reksosuro melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah.
"Bruukkkk!!"
Sulastri yang setengah dibanting itu menyeringai kesakitan, akan tetapi tidak mengaduh.
"Sialan! Hayo kau sekarang mengaku di mana kau sembunyikan mayat mbakayumu itu!"
Bentaknya sambil menuding telunjuknya ke arah muka Sulastri.
Sulastri kini tidak mau menjawab lagi, malah membuang muka dengan sikap amenghina sekali.
"Heh-heh, kakang Rekso, bagaimana kalau dia kutelanjangi dan kupermainkan dulu? Biar pun masih kecil setelah kutundukkan agaknya dia baru akan mau jinak! Ha-ha-ha!"
"Hah, kau rakus sekali, adi Darumuko! Masa anak sekecil ini, dia tentu akan mampus tak kuat menahan, dan kita akan mendapat marah sang resi!"
Tukas Reksosuro.
"Kalau begitu, biar kucambuki dia agar mengaku!"
Darumuko lalu mematahkan sebatang ranting pohon kemlandingan di tepi jalan. Ranting kemlandingan adalah ranting yang ulet dan lemas Sambil terkekeh si bibir tebal ini merantasi daun-daun kemlandingan yang kecil-kecil itu sehingga berhamburan ke bawah.
"Ha-ha, bocah bandel. Apakah engkau masih juga tidak mau mengaku? Ataukah harus kupaksa dengan ini?"
Dia menamang-amangkan cambuk ranting mlandingan itu. Akan tetapi Sulastri bukanlah seorang anak kecil biasa. Jangankan baru diancam ranting kemlandingan, biar diancam tombak atau keris sekali pun, dia tidak akan merasa gentar. Sudah terlalu banyak orang-orang yang dicintanya mati di depan matanya, maka kematian bukanlah apa-apa bagi anak ini, bahkan berarti dia menyusul orang-orang yang dicintanya. Juga dia sudah mengalami banyak hal-hal ngeri. Sudah melampaui batas puncak kengerian sehingga dia kini tidak mengenal kengerian lagi, bahkan tidak takut apa-apa lagi! Maka ancaman Darumuko itu malah membuatnya tersenyum mengejek.
"Anjing bibir tebal, engkau pantasnya memang memegang cambuk menggembala kerbau!"
Makinya.
Muka Darumuko menjadi merah padam matanya yang liar tajam itu melotot dan bibirnya yang tebal karena cemberut, cuping hidungnya kembang kempis seperti hidung kerbau mencium bahaya.
"Bangsat, anak setan, kau pingin mampus, ya?"
Dengan marah sekali mulailah dia menggerakkan ranting kemlandingan itu, diayun sekuatnya dan bertubi-tubi ranting kemlandingan itu menimpa tubuh anak kecil itu.
"Siuuuuuttt".. prat!! Siuuuuttt". pratt-pratt-pratt!!"
Dihajar bertubi-tubi oleh cambukan ranting itu, Sulastri menyeringai dan bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas. Hampir saja dia mengeluh, maka cepat dia menggigit bibirnya kuat-kuat dan terus bergulingan, kedua tangannya meraba sana-sini di bagian tubuhnya yang terkena cambukan untuk mengusir rasa panas dan perih yang menggerogoti kulit-kulit tubuhnya. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mengaduh, bahkan kelihatan darah dari kanan kiri mulutnya, yaitu darah dari bibir bawahnya yang robek tergigit ketika dia menahan sakit.
"Cepratt-cepratt-pratt-pratt".!"
Darumuko terus mencambuki tanpa pilih tempat sehingga yang terkena cambuk adalah seluruh tubuh Sulastri dari kaki sampai kepala. Cambuk ranting kemlandingan yang ulet dan lemas itu mengigiti kulitnya, tidak sampai merobek kulit akan tetapi meninggalkan bekas merah kebiruan.
"Hayo mengaku kau, sundal kecil, hayo mengaku kau, keparat! Prat-prat-prat!"
Akan tetapi jangankan mengaku, mengeluh satu kali pun tidak dan anak itu hanya terus bergulingan dan menggeliat-geliat, makin lama makin lemah sampai akhirnya dia tidak berkutik lagi, rebah miring dan sama sekali tidak bergerak ketika cambuk ranting kemlandingan itu masih terus menimpa tubuhnya.
"Setop! Setop! Adi Darumuko, apa kau sudah gila? Apa kau hendak membunuhnya?"
Reksosuro berseru dan menahan lengan temannya yang masih terus mencambuki.
"Keparat"! Sedikit pun dia tidak minta ampun, tidak mengeluh. Menantang dia, keparat! Biar kucambuk dia sampai mampus!"
Darumuko terengah-engah dan keringatnya bercucuran.
"Hussh, bodoh! Sekarang kau boleh mencambuki sampai dia mampus, akan tetapi kelak kau yang akan dicambuki oleh sang resi sampao robek-robek semua kulitmu!"
Mendengar ini, Darumuko terkejut dan baru sadar. Dia memandang cambuk ranting itu, lalu membuangnya dan cepat dia menunduk dan berlutut.
"Wah, apa dia mampus?"
Reksosuro juga berlutut, memeriksa Sulastri.
"Tidak, dia masih bernapas, hanya pingsan saja."
"Dia keras kepala, anak luar biasa sekali dia, seperti setan. Bagaimana baiknya sekarang, kakang Reksosuro?"
"Sebaiknya kita bawa saja dia pulang dan kita serahkan kepada sang resi. Beliau tentu mempunyai daya upaya untuk membuka mulut anak ini. Dan karena kau yang mencambukinya sampai dia tidak bisa berjalan dan pingsan, kau pula yang harus memondongnya sampai ke gedung sang resi, Adi Darumuko."
"wah-wah sialan"!"
Darumuko mengomel, akan tetapi karena merasa bersalah, terpaksa dia memondong anak itu, disampirkan di pundaknya dengan kaki di depan dan kepala di belakang, merangkul kedua paha anak itu dan berangkatlah dua orang ini melanjutkan perjalanan mereka ke Mojopahit.
Hari telah menjelang senja ketika mereka harus melewati sebuah hutan yang cukup lebat.
"Wah, kakang Reksosuro, kita akan melewati hutan ini dan malam sudah hampir tiba."
Darumuko mengomel dan memandang khawatir juga.
"Uwaahh, masa kau takut? Malam ini terang bulan."
"Tapi hutan ini terkenal banyak orang jahat dan setannya""
"Huh, siapa berani merampok setelah baru saja terjadi perang itu? Kita kan perwira-perwira Mojopahit? Kalau ada perampok berani muncul, aku malah akan merampas semua miliknya, huh, aku Reksosuro adalah sahabat-sahabat setan!"
"Hushh! Bicaramu kok begitu?"
Darumuko menegur, merasa serem.
"Ha-ha, mengapa tidak? Apakah percuma saja setiap Selasa dan malam Jumat biniku membakar kemenyan sekepal besarnya dan menghindangkan kembang setaman? Percayalah, setan-setan tidak akan mengganggu kita, malah akan melindungi. Mereka semua sudah jinak kepadaku."
Biar pun ucapan Reksosuro itu sungguh-sungguh dan kelihatan meyakinkan, namun tetap saja meremang bulu tengkuk Darumuko ketika mereka memasuki hutan yang gelap itu. Si muka bulat bibir tebal ini memang seorang pemberani dan kejam, tidak pernah takut bertempur melawan siapa pun juga. Hanya dia mempunyai satu kelemahan yaitu amat takut terhadap setan yang belum pernah dilihatnya, takut dan ngeri sehingga setiap malam Jumat di rumahnya, kalau dia pada waktu malam terpaksa oleh kebutuhan badan harus ke kamar mandi untuk buang air kecil atau besar, dia selalu menggugah bininya untuk minta diantar! Andaikata ada lima orang maling mengganggu rumahnya, Darumuko tentu akan meloncat dan membawa tombaknya, siap menghadapi lima orang maling itu. Akan tetapi begitu mendengar tentang setan, atau diingatkan akan setan, dia menggigil dan cepat berkerudung selimut minta didekap bininya seperti anak kecil minta dilindungi!
Malam itu cuaca memang terang karena bulan purnama tidak terhalang mendung. Hawa udara dingin menyusup tulang, apa lagi di tengah-tengah hutan itu, karena banyaknya pohon-pohon yang lebat daunnya menambah dinginnya hawa, seolah-olah di sekeliling tempat itu, di kanan kiri depan belakang dan atas, terdapat air dingin yang mengurung.
"Ihhh, dinginnya"! Apa kita tidak berhenti dulu, kakang?"
Darumuko menggigil dan suaranya gemetar, entah oleh dingin saja atau juga oleh hal lain, karena jelas mukanya membayangkan ketakutan dan kengerian.
"Nanti kita berhenti di dekat belik (sumber air) sana sambil minum,"
Jawab Reksosuro.
"Ihhhh" "
Terdengar suara dari mulut Darumuko, seperti orang kedinginan.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau kenapa, adi?"
"Di"
Dingin"!"
"Sikapmu seperti orang takut! Hati-hati, anak itu agaknya sudah siuman."
"Ti"
Tidak takut". hanya dingin". hhiiii!"
"Ada apa?"
"Ssssttt, kakang"."
Darumuko memegang lengan temannya. Matanya terbelalak memandang ke depan.
"Kau lihat tadi"?"
"Uhh, melihat apa?"
Reksosuro membelalakkan mata, mencari-cari akan tetapi tidak melihat sesuatu yang aneh.
"Aku melihat bayangan orang""
"Hemm, kalau bayangan orang saja mengapa takut? Orang pun kita tidak takut! Pula, siapa ada orang di malam-malam begini dan tempat seperti ini? Mungkin bayangan setan yang kau lihat."
Reksosuro berkelakar, akan tetapi kelakar ini malah membuat Darumuko makin menggigil seperti orang terkena penyakit demam.
"Huh, penakut. Hayo!"
Reksosuro menarik tangan temannya dan melanjutkan perjalanan.
"Nguuuuukkk"!"
Darumuko melonjak kaget.
"Ihhh"!"
"Hemm, itu hanya suara lutung."
Reksosuro mencela temannya yang penakut itu.
Mereka berjalan terus, suasana sunyi sekali, membuat Darumuko merasa tengkuknya tebal.
"Huuuuukkkk-huk-hukkk!"
"Hiii"!!"
Darumuko hampir saja melepaskan tubuh kecil yang dipondongnya saking kagetnya dan dia memegang lengan Reksosuro dengan jari-jari menggigil.
"Apa"
Apa itu.. kakang?"
"Aah, penakut benar kau, adi. Itu hanya suara burung hantu! Kulu-kulu-hu-hu-huuukk!"
Reksosuro menirukan suara burung hantu itu sambil tertawa.
Darumuko menjadi malu pada diri sendiri, akan tetapi dia membela diri.
"Ah, tentu saja kau lebih tabah, kakang. Dahulu engkau sudah biasa berkeliaran di dalam hutan sebagai perampok."
"Hushh! Jangan gali-gali riwayat lama, kawan. Kini aku perwira Mojopahit, tahu?"
"Maaf, kakang Reksosuro."
Mereka berjalan lagi dan Darumuko memandang cemas ke depan. Dari jauh sudah nampak sebatang pohon beringin yang besar sekali sehingga keadaan di sekeliling pohon raksasa itu menyeramkan karena bawahnya gelap dan mereka agaknya akan lewat di bawah pohon beringin itu.
Reksosuro agaknya mengerti akan keseraman hati temannya. Temannya yang selalu ketakutan itu membuat hatinya menjadi tidak enak juga, maka dia berkata.
"Adi Darumuko, jangan takut. Takut akan setan sesungguhnya hanyalah permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal yang bukan-bukan."
"Baik, kakang aku akan berusaha agar tidak takut."
Mereka kini tiba di bawah pohon.
"Lepaskan aku"! Kalian manusia-manusia jahat dan keji! Lepaskan aku!"
Tiba-tiba Sulastri yang kini sudah siuman betiul itu meronta lemah dalam pondongan Darumuko.
"Diam kau, bocah setan. Atau". kucekik kau nanti!"
Darumuko membentak.
"Heh-heh, diamlah, manis. Nanti kau akan diberi hadiah yang enak-enak oleh sang resi."
Reksosuro juga membujuk dengan suara mengejek.
Mereka kini tiba di bawah pohon beringin yang agak gelap, suram muram. Tiba-tiba tubuh Darumuko terhuyung roboh, Sulastri yang tadinya dipondong terlepas dari pondongannya.
"Aduhh"
Kakang". tolong".. ssseee"
Ssseeetan".!"
Darumuko merintih dan telunjuknya menuding kearah batang pohon beringin.
"Apa"? Heii"
Aduhhhh".!"
Kini Reksosuro juga terhuyung ke depan dan terjelengup. Kedua tangannya dapat menahan tanah sehingga mukanya tidak sampai bertemu dengan tanah seperti halnya Darumuko. Akan tetapi dia kaget sekali karena tahu bahwa jatuhnya bukan sembarangan, melainkan dijegal orang! Cepat dia meloncat berdiri dan membalikkan tubuh ke arah batang pohon beringin yang amat besar itu.
"Tolong kakang". ada setan"!"
Kembali Darumuko merintih dan berusaha untuk bangkit akan tetapi dia mendekam kembali sambil menendang dengan tubuh gemetar ke arah bayangan hitam yang bersandar pohon beringin itu.
"Huh, adi, bangunlah! Setan apa? Dia seorang manusia yang sudah bosan hidup, berani mengganggu kita!"
Kata Reksosuro.
Mendengar ucapan ini, seketika timbul semangat Darumuko dan lenyaplah rasa takut dan ngerinya tadi. Sungguh tadi dia menyangka bahwa bayangan hitam yang bersandar pada batang pohon beringin itu adalah setan yang mengganggunya. Akan tetapi kini mendengar ucapan temannya, dia menjadi marah sekali.
"Apa? Manusia"?"
Dia lalu meloncat berdiri dan mendekati temannya yang sudah melangkah maju.
Setelah rasa takutnya hilang, kini Darumuko dapat melihat bahwa memang bayangan hitam yang bersandar di batang pohon beringin itu adalah seorang manusia. Keadaanya tidaklah segelap ketika dia ketakutan tadi. Sinar bulan purnama masih menerangi tempat itu. Kini dia melihat jelas seorang kakek yang pakaiannya serba hitam duduk bersandar batang pohon sambil melenggut, kakinya yang panjang dilonjorkan di depan tubuhnya. Sulastri yang tadi terlepas dari pondongannya, kini sudah lari ke dekat orang tua yang tertidur itu, agaknya minta perlindungan kakek itu.
Sejenak dua orang perwira Mojopahit pembantu Resi Mahapati itu mengira bahwa lagi-lagi Ki Ageng Palandongan yang menghadang mereka, karena orang itu pun sudah tua dan di dalam cuaca yang suram muram itu pakaiannya seperti hitam. Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka terkejut, terheran dan marah bukan main. Orang itu hanyalah jembel! Seorang pengemis tua! Seorang jembel pengemis yang pakaiannya hanya merupakan gombal-gombalan saking kotornya sehingga kelihatan hitam, rambutnya gimbal panjang terurai dan tak pernah dicuci sehingga ruwet dan kotor, kumis dan jenggotnya menutupi bagian bawah mukanya. Pakaiannya yang kotor itu hanya merupakan sebuah baju yang tidak ada kancingnya lagi, terbuka memperlihatkan dadanya yang penuh rambut, dan sebuah celana komprang (besar) sampai ke lutut, kemudian di pinggangnya dilibat kain yang kumal. Dari tempat mereka berdiri pun, dalam jarak dua meter, sudah tercium bau apak, bau pakaian yang sering terkena keringat dan tak pernah dicuci. Seorang jembel!
"Sialan! Jembel busuk!"
Darumuko yang tadi ketakutan setengah mati, menjadi marah dan mendongkol sekali bahwa yang membuatnya ketakutan sampai celananya basah sedikit karena tadi dalam takutnya tanpa disadarinya lagi dia "ngompol", kini menjadi "berani"
Luar biasa dan ia menyepak paha orang tua itu!
"Jembel tua bangka busuk! Berani kau menjegal kakiku?"
Kakinya menyepak.
"Plak!"
Dan tubuh orang itu terguncang, akan tetapi tetap saja dia masih tidur.
"He, kere tua mau mampus! Bangunlah!"
Reksosuro juga membentak, kakinya mencongkel sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu melayang kearah dahi kakek itu.
"Tukkk!"
Batu mengenai dahi dan menggelinding ke bawah. Akan tetapi tetap saja kakek itu tidak bangun!
Melihat ini, Sulastri lalu mengguncang pundak orang tua itu dan berbisik di telinganya.
"Kakek, bangunlah. Dua orang jahat ini akan mencelakakan engkau dan aku. Bangunlah, kek!"
Kakek jembel itu membuka mata sedikit, dikejap-kejapkan dan menggeliat, kedua tangannya direntangkan ke depan dan terdengar suara berkerotokan pada punggungnya seolah-olah semua tulang punggungnya patah-patah. Sulastri terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, lalu membuka matanya dan memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya, lalu menoleh kearah Sulastri, mulutnya yang tertutup kumis itu bergerak-gerak yang dapat diduga bahwa dia tersenyum! Sejenak matanya memandangi tiga orang itu bergantian, kemudian terdengar ada suara keluar dari balik kumis brewok itu.
"Ela-dhalah.. demi segala setan demit iblis bekasakan yang menjaga hutan ini! Dari mana datangnya dua ekor serigala dan seekor anak harimau ini?"
Jelas bahwa kakek jembel itu menganggap dua orang perwira Mojopahit itu dua ekor serigala, dan Sulastri disebutnya anak harimau. Itu merupakan hinaan yang amat hebat bagi Reksosuro dan Darumuko!
"Tua bangka bau busuk! Kami adalah dua orang perwira Mojopahit, tahu? Dan kau berani menganggap kamu serigala? Berapa rangkap sih nyawamu maka kau berani berlancang mulut seperti ini?"
Bentak Reksosuro.
"Gebuk mampus saja sudah, kakang!"
Kata Darumuko.
Kakek itu memandang kedua orang itu dan terkekeh dalam.
"Heh-heh, aku melihat orang bukan dari pakaian atau pangkatnya, melainkan dari sifat-sifatnya. Lihat anak perempuan ini, biar pun masih kecil dan perempuan, dia mempunyai sifat seperti seekor harimau, calon harimau betina yang ganas dan tangkas! Dan kalian.. hemm"
Kalian seperti serigala, licik dan hanya berani kalau sudah yakin menang, sebetulnya di dalamnya penakut. Srigala hanya akan menyerang binatang lain yang lebih lemah, atau kalau menyerang yang kuat tentu dengan keroyokan. Nah, itulah sifat kalian."
Tentu saja Reksosuro dan Darumuko menjadi marah bukan main. Jembel tua itu terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, telah menghina mereka! Seorang kere tua berani menghina mereka, dua orang perwira Mojopahit? Sungguh sialan!
"Dan engkau adalah calon bangkai yang sudah membusuk!"
Darumuko memaki.
"Hayo katakan, apa perlumu menghadang kami dan menjegal kaki kami?"
"Wah, wah, siapa yang menjegal siapa? Tidak ada jegal-jegalan disini seperti yang terjadi di Mojopahit! Di sini hanya ada aku yang tidak membutuhkan apa-apa, perlu apa menjegal orang?"
"Kakek hina! Jelas kau tadi menjegal kami!"
Reksosuro juga membentak, agak hati-hati karena dia dapat menduga bahwa mendengar bicaranya, kakek jembel itu tentulah bukan sembarangan orang."Nah, nah fitnah-memfitnah sudah menjadi watak semua orang di Mojopahit! Jangan dibawa-bawa ke sini, kisanak! Tadi aku sedang tidur di sini, enak-enak mimpi bercengkerama dengan para iblis bekasakan yang berpesta pora di hutan ini, eh, tahu-tahu kalian menginjak-injak kakiku dan bilang bahwa aku menjegal kalian. Mojopahit sekarangkah ini?"
Mendengar ucapan yang makin tidak karuan itu, Darumuko berkata.
"Kakang, dia tentu orang gila!"
Kakek itu cepat membantah.
"Nah, sudah biasa orang gila memaki orang lain gila!"
"Apa?"
Darmuko melotot.
"Kau memaki aku gila?"
"Bukan aku yang memaki, orang muda, melainkan engkau sendiri!"
"Kakek, dia itu memang orang ceriwis, suka memaki orang, lihat bibirnya sampai menjadi tebal karena terlalu sering memaki orang!"
Tiba-tiba Sulastri berkata, terbawa gembira oleh sikap kakek itu yang tabah dan seolah-olah menggoda dua orang itu.
"Ha-ha-ha-ha! Kau benar"
Ha-ha-ha! Bibirnya". ahhh, sampai menggandul begitu panjang. Aduh lucunya"!"
Kakek itu terbahak-bahak dan memegangi perutnya.
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Darumuko. Selama hidupnya, belum pernah dia dihina orang seperti ini.
"Kere busuk, kuhancurkan isi perutmu!"
Sambil membentak demikian, dia menerjang maju dan mengayun kaki kanannya, menendang dengan pengerahan tenaga sepenuhnya kearah perut kakek itu yang masih tertawa dan perutnya kelihatan karena bajunya terbuka. Perut yang agak gendut biar pun tubuhnya kurus itu tak terhindarkan lagi menerima tendangan kilat yang amat kuat.
"Bukkk!"
Sungguh aneh sekali. Sulastri yang melihat dengan mata terbelalak mengkhawatirkan keselamatan kakek itu melihat betapa wajah Darumuko berobah, sedangkan kakek itu tetap saja masih tertawa. Darumuko menyeringai, kemudian roboh terpelanting ke atas tanah dan menjerit-jerit, mengaduh-aduh memegangi perutnya.
"Aughh"
Waduh perutku"
Aduhhh, mulas sekali"
Aih, tak kuat aku..."
Dia menekan perutnya dengan kedua tangan, menggeliat-geliat seperti dalam sekarat, dan segera terdengar suara memberobot dan Darumuko cepat-cepat membuka tali kolor celananya dan melepaskan celana itu. Tercium bau yang amat tidak sedap dan begitu dia mengerti apa yang terjadi dengan orang yang dibencinya itu, Sulastri membuang muka dan mengomel.
"Huh, manusia tak tahu malu!"
Kiranya Darumuko yang diserang perut mulas dan sakit tak tertahankan itu, tanpa dapat dicegahnya lagi telah terberak-berak disitu!
Diam-diam Sulastri kagum sekali dan anak yang cerdas ini mengerti bahwa kakek jembel itu adalah ternyata adalah seorang manusia sakti. Dia duduk dekat kakek itu dan tadi dia melihat betapa ketika kakek itu ditendang perutnya, kakek itu tidak mengelak akan tetapi dia melihat tangan kiri kakek itu bergerak naik kearah perut orang yang menendangnya. Tendangan yang amat hebat itu mengenai perut si kakek, akan tetapi kakek itu tetap tertawa dan sebaliknya Darumuko yang kena "diraba"
Perutnya itu sampai terberak-berak!
Melihat hal kawannya ini, tentu saja Reksosuro menjadi malu dan marah sekali. Dia makin yakin bahwa kakek jembel ini tentu bukan orang smebarangan, maka dia lalu cepat mencabut kerisnya, keris pusaka yang dibangga-banggakan, yang dinamakan Kyai Bandot karena selalu dilumuri bisa ular Bandotan.
"Kere busuk, rasakan pusakaku Kyai Bandot ini!"
Reksosuro menerjang ke depan, menghunjamkan kerisnya yang panjang berluk sembilan itu kearah dada kakek yang telanjang.
Kakek itu tertawa geli.
"Kyai Bandot? Ha-ha-ha"
Memang bandot tua tak tahu malu"!"
"Cuss"!"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Keris itu tepat mengenai dadanya, akan tetapi Reksosuro memekik kesakitan, kerisnya terlepas dan dia terhuyung mundur memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Tangan kanannya itu nyeri sekali dan sudah membengkak, agaknya salah urat, kiut-miut rasanya membuat Reksosuro menggigil dan peluhnya memenuhi mukanya, sebesar-besar jagung! Dia menusukkan kerisnya ke dada orang, dan irang itu tidak mengelak tidak menangkis, akan tetapi tangannya sendiri malah keseleo (salah urat) dan bengkak-bengkak!
"Ha-ha-ha, Kyai Bandot tua"
Ha-ha"!"
Kakek jembel itu mengambil keris Kyai Bandot yang tadi terlepas dari pegangan pemiliknya. Dadanya tidak luka sedikit pun juga, dan kini dengan jari-jari tangannya yang kurus kecil, dia menekuk-nekuk keris itu seolah-olah keris itu terbuat daripada tembaga atau timah lemas saja! Pemiliknya yang masih mengaduh-aduh itu terbelalak melihat kerisnya yang terbuat daripada baja tulen itu ditekuk-tekuk seperti itu, kemudian dilemparkan ke atas tanah!
Sulastri tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil keris yang sudah ditekuk-tekuk itu dan menghampiri dua orang yang masih merintih-rintih kesakitan.
"Sekarang kalian mampus""
Anak itu berkata dengan kemarahan yang ditahan-tahan.
"Heiii"
Pengecut".!"
Kakek itu berseru tangannya bergerak ke depan dan Sulastri terjungkal! Anak itu bangkit lagi, meraih keris, akan tetapi untuk ke dua kalinya dia terjungkal dan kini dia memandang ke arah kakek itu.
"Kau mau apa? Mau jadi pengecut? Huh, aku yang mengalahkan mereka, bukan kau, tahu? Kalau kau yang mengalahkan mereka, boleh saja kau mau melakukan apa yang kau suka!"
Sulastri menjadi merah mukanya. Dia dapat mengerti dan dia lalu mengangguk.
"Maaf, eyang!"
Sementara itu, Reksosuro mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti sekali. Cepat dia menyambar kerisnya dengan tangan kiri, kemudian dia berkata kepada temannya.
"Adi Darumuko"
Cepat"
Lari"!"
Dan dia mendahului sambil memegangi tangan kananya yang ketika dipakai lari dan bergerak, nyerinya bukan alang kepalang.
"Kakang.u.. tungguuuuu"!"
Darumuko cepat meloncat dan tergopoh-gopoh lari.
"Kakooaaang.. tungguuuu...!"
Kakek itu melihat tahi kotoran yang ditinggalkan Darumuko, mengendus jijik, lalu menggunakan sehelai daun mengambil kotoran itu dengan tangan kirinya dan dia berteriak kepada Darumuko.
"Heii"
Bibir tebal"
Ini milikmu ketinggalan!"
"Ehh? Milik apa"?"
Otomatis Darumuko menengok ke arah kakek itu dan pada saat itu sebuah benda menyambar ke arah mukanya. Dia berusaha mengelak namun kurang cepat.
"Plokk..!!"
Kotorannya sendiri mengenai muka, memasuki mulut dan hidungnya.
"Uaakkk"huekkk"kakooaanngg"hueekkk, tunggu""
Darumuko lari pontang-panting seperti dikejar setan, kadang-kadang muntah-muntah, mengejar kawannya, diikuti suara ketawa, kini terdengar dua suara ketawa, yaitu suara ketawa yang parau dan dalam dari kakek jembel dan suara ketawa nyaring tinggi dari Sulastri. Baru sekarang terdengar suara ketawa anak itu.
Tak lama kemudian, tiba-tiba suara ketawa kakek itu berhenti. Sulastri juga berhenti tertawa. Anak itu masih duduk di atas tanah, dan kakek itu masih duduk bersandar batang pohon beringin seperti tadi. Keduanya saling pandang sampai lama sekali, sinar mereka menembus kesuraman dan akhirnya kakek itu berkata.
"Matamu seperti mata harimau!"
"Dan matamu seperti mata setan!"
"Uhh!"
Kakek itu senang.
"Benarkah?"
"Benar, eyang menyeramkan, tajam berpengaruh dan aneh!"
"Hemm, eh siapa namamu?"
"Sulastri."
"Bagus! Nah, Sulastri, lekas kau angkat kaki dan pergi dari sini!"
Anak itu mengangkat muka, memandang kakek itu dan menggelengkan kepalanya, lalu menjawab, suaranya tegas.
"Tidak, aku tidak mau pergi, eyang."
"Heh, kenapa?"
"Karena aku mau turut eyang saja."
"Aku bukan eyangmu."
"Akan tetapi aku menganggapmu eyang guruku."
"Wah, eyang guru? Kau mengangkat aku menjadi guru?"
Sulastri mengangguk.
"Gila! Aku orang miskin dan bodoh, kau mau belajar apa dari orang macam aku?"
"Belajar ilmu kesaktian, eyang."
"Ilmu kesaktian? Ha-ha-ha, kau kira mudah?"
"Kesukaran apa pun akan kutempuh, dan semua perintah eyang akan kulakukan."
Kakek itu memandang dengan alis berkerut.
"Anak luar biasa kau ini. Siapa sih orang tuamu dan kenapa kau tadi dibawa mereka?"
"Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda, sudah tidak mempunyai sanak keluarga. Aku seorang yatim piatu yang sebatangkara, eyang. Keluargaku menjadi korban orang-orang jahat itu. Untung ada eyang yang menolongku, dan aku ingin belajar kesaktian dari eyang agar kelak aku dapat membasmi orang-orang macam mereka tadi."
"Ha-ha-ha, mudah saja kaubicara. Sudah bangkitlah dan pergi!"
"Tidak, aku takkan mau pergi dan aku akan terus berlutut di sini sampai mati kalau eyang tidak mau menerimaku sebagai murid."
"Keras kepala kau!"
"Eyang juga!"
"Celaka, bertemu anak begini kurang ajar mau minta menjadi murid! Hendak kulihat sampai kapan kau kuat berlutut terus di sini."
Kakek itu lalu meraih sebuah bungkusan kain hitam dari balik batang pohon, kemudian dia pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Dapat dibayangkan betapa susah dan kecewannya hati Sulastri, akan tetapi anak ini maklum bahwa kalau kakek itu tidak mau membawanya, dia tentu akan jatuh ke tangan dua orang jahat tadi dan akan celaka. Maka dia sudah nekad tidak mau pergi dari situ, dan biar pun kakek itu sudah pergi, dia tetap berlutut di situ, hatinya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia tidak menangis. Udara malam makin dingin, dan tubuh sulastri yang tadinya mengalami siksaan masih sakit-sakit, perih dan panas rasanya seluruh tubuh, kepalanya masih pening, namun dia bertekad untuk berlutut di situ sampai mati. Kedua kakinya kesemutan, akan tetapi dia tetap tidak bergerak sampai akhirnya rasa kesemutan itu lenyap lagi. Dalam keadaan kelelahan, kelaparan dan kedinginan anak itu terus mendekam di situ sampai akhirnya, menjelang dia berada dalam keadaan setengah pingsan.!
Matahari pagi mulai mengusir embun dan hawa dingin. Sulastri masih berlutut di tempat semula, menghadap pohon berdingin seolah-olah dia sedang memuja pohon raksasa itu. Tubuhnya seperti beku, dan memang rasanya seperti hampir beku tubuhnya, begitu dingin dan kaku, dan lelah, dan lapar, dan pening. Dia sudah tiga perempat bagian pingsan ketika tiba-tiba terdegar orang tertawa di balik pohon itu. Kiranya kakek malam tadi tidak pernah pergi dari situ, hanya menyelinap ke balik pohon besar dan tidur di sebelah sana sehingga tidak kelihatan oleh Sulastri!
Dalam keadaan setengah pingsan itu, Sulastri mengangkat muka memandang. Kini cuaca sudah terang dan dia melihat kakek itu dengan hati terkejut. Kakek itu memang mirip setan! Tubuhnya kurus, tinggal tulang-tulang terbungkus kulit akan tetapi perutnya agak gendut, dan tulang-tulangnya besar. Rambutnya gimbal, ruwet dan kotor, panjang sampai kepinggang, dibelah tengah, matanya tajam bersinar-sinar dan bagian bawah mukanya tertutup brewok.
"Ha-ha-ha, kau ini bocah sungguh hebat. Kau lebih keras kepala daripada aku ketika aku masih sebesar engkau. Baiklah, aku kalah. Sulstri, kau boleh menjadi muridku""
"Terma kasih, eyang guru"!!"
Sulastri berseru girang, suaranya terhenti karena lehernya tercekik keharuan.
"Akan tetapi tidak demikian mudah! Engkau harus selalu menurut perintahku!"
"Aku berjanji, eyang."
"Nah, bangkitlah berdiri!"
Sukar sekali bagi Sulastri untuk bangkit berdiri. Otot-ototnya berbunyi dan dia berdiri dengan susah payah, beberapa kali terjatuh lagi karena otot-ototnya terasa kaku. Kakek itu hanya memandang saja acuh tak acuh, akan tetapi ketika untuk kesekian kalinya Sulastri jatuh lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat, tahu-tahu Sulastri merasa ada tangan mengangkat di bawah kedua ketiaknya dan ada hawa yang amat hangat menjalar memasuki tubuhnya, mengusir semua kelakuan ototnya dan dia berdiri!
Kakek itu memaksa tubuh Sulastri dengan teliti, melihat kulit yang bilur-bilur bekas siksaan cambuk ranting kemlandingan.
"Wah, kau telah mendapat latihan yang baik sekali!"
"Latihan?"
Sulastri bertanya tidak mengerti, meniru kakek itu memandangi tubuhnya yang penuh jalur-jalur merah menghitam.
"Pecut ranting kemlandingan, ya?"
Barulah Sulastri mengerti dan dia mengangguk.
"Si bibir tebal itulah yang mencambuki tubuhnya dengan pecut ranting kemlandingan, eyang."
"Bagus!!"
Kau harus berterima kasih kepadanya!!"
Sulastri melirik ke arah kakek itu. Celaka, pikirnya, mendapatkan guru seperti ini! Memang benar sakti, akan tetapi di samping sakti juga agaknya miring otaknya! Akan tetapi seorang bocah yang memiliki kecerdasan luar biasa, maka dia tidak memperlihatkan rasa mendongkolnya, bahkan dia lalu menjawab lancar.
"
Memang, eyang guru. Saya amat berterima kasih kepadanya dan kelak akan saya perlihatkan terima kasih itu dengan balasan yang sama berikut bunga-bunganya. Saya akan membalas kebaikan si bibir tebal itu!"
Kakek itu tertawa, kemudian melemparkan bantalan hitam itu ke dekat kaki Sulastri.
"Kau lapar, ya?"
Sulstri mengangguk.
"Nah, tunggu apa lagi? Kau anak perempuan tentu bisa masak, kan?"
"Bisa, eyang."
"Bagus, lekas kau membuat api, masak air dan nasi. Semua perabot dan berasnya air terdapat di dalam bantalan itu. Lekas kau masak nasi, perutku sudah lapar, aku mau tidur dulu karena semalam engkau membuatku tidak bisa tidur. Awas, setelah aku bangun nanti, nasi dan wedang teh harus sudah tersedia!"
Setelah berkata demikian, kakek itu merebahkan tubuhnya di bawah pohon beringin itu dan sebentar kemudian dia sudah tidur mendengkur. Sulastri membuka buntalan itu dan ternyata di dalam buntalan kain hitam itu terdapat perabot masak lengkap. Juga terdapat beras, bumbu masak, garam, teh, minyak kelapa dan lain-lain! Sulastri yang melihat kakek itu sudah tidur mendengkur, lalu membawa kwali dan pergi mencari air. Untung bahwa tak jauh dari pohon itu terdapat sebuah belik yang airnya jernih. Dia memenuhi kwali dengan air, kemudian menggodok air setelah membuat api unggun di bawah pohon itu. Mudah saja baginya untuk membuat api karena di dalam buntalan itu terdapat batu api berikut alat pengoreknya dan banyak pula di tempat itu daun-daun kering dan ranting-ranting kering.
Sulastri adalah seorang anak yang sudah ditinggalkan orang tuanya dan hidup berdua dengan kakaknya, maka biar pun usianya belum genap sepuluh tahun, dia sudah biasa menggodok air dan menanak nasi. Dengan cekatan dia membuat air teh, kemudian menanak beras di dalam kwali. Hanya dia merasa binggung harus memasak apa? di dalam hutan itu tidak terdapat sayur-mayur dan di dalam buntalan itu tidak terdapat ikan asin atau bahan masakan lain, kecuali hanya garam dan bumbu-bumbu. Maka setelah dia menanak nasi, dia lalu mendekati kakek itu dan dengan suara lirih dia memanggil,"
Eyang", eyang guru", eyang", bangunlah sebentar, eyang."
Kakek itu menggulet dan menggerutu,"
Bocah bodoh. Nasi belum matang sudah membangunkan orang."
"Yang, wedang teh sudah kubikin, nasi pun sudah hampr matang. Akan tetapi apa yang harus kumasak untuk teman nasi?"
"Heh, bodoh. Kau lihat lubang-lubang cacing di sebelah kiri pohon. Hayo kau cari cacing sebanyaknya. Cari yang besar-besar saja, yang kecil jangan!"
Lalu kakek itu tidur lagi mendengkur.
Sulastri bengong. Mau membangunkan lagi tidak berani, akan tetapi untuk apa dia harus mencari cacing? Dia lalu teringat. Ah, untuk apa kalau bukan untuk mancing ikan? Agaknya di dekat hutan itu ada sungainya atau telinganya, dan nanti kakek itu akan mancing ikan, maka suruh mencarikan cacing sebanyaknya. Akan tetapi kalau hanya untuk mancing saja mengapa banyak-banyak? Betapa pun juga, dia teringat bahwa kakek itu telah memesan bahwa dia mau menerimanya sebagai murid kalau semua perintahnya ditaati. Baik, dia akan mentaatinya. Sambil menanti liwetannya masak, dia akan mencari cacing sebanyaknya. Apa sih sukarnya mencari cacing?
Sulsatri lalu mencari cacing di sebelah kiri pohon. Biar pun dia seorang anak perempuan, akan tetapi karena dusun Gendangan di mana dia tinggal adalah dusun dekat kali dan dia biasa pula memancing ikan, maka dia pun tidak asing mancing ikan. Dia tidak merasa jijik ketika menggali dan mengumpulkan banyak sekali cacing-cacing besar yang panjangnya ada satu kilan (sejengkal) dan gemuk-gemuk, berkulit bersih hitam kemerahan. Cacing kalung yang besar-besar. Dia tahu bahwa untuk memancing ikan, sebaiknya kalau mendapatkan cacing ungker, yaitu sejenis cacing yang suka melingkar. Akan tetapi, di tempat itu yang ada hanya cacing kalung yang panjang dan gemuk kemerahan.
Akhirnya nasi sudah matang. Ketika dia membuka tutup wajah kwalinya, bau nasi masak yang sedap agaknya cukup untuk menggugah kakek itu yang segera mengulet dan menguap.
"Aahhhh"bau nasi sedap. Akan tetapi mana lauknya?"
"Lauk apa, eyang? Belum ada lauk apa-apa karena eyang keenakan tidur dan belum mancing ikan."
Jawaban ini membuat kakek itu seketika meloncat bangun.
"Memancing ikan? Siapa yang mau memancing ikan? Bodoh! Kau kusuruh mencari cacing tadi"mana?"
"Itu di sana, eyang, sudah dapat banyak. Tinggal membawa alat pancing dan pergi ke kali""Kakek itu membanting-banting kakinya, kelihatan gemas sekali.
"Wah, celaka tiga belas, dapat murid begini tolol! hayo lekas bersihkan cacing-cacing itu dan siapkan wajan dan minyak kelapa"
Sulastri melongo.
"Dicuci maksud eyang? Untuk memancing ikan mengapa cacing itu harus dicuci?"
"Wah-wah, benar-benar goblok! Lihat nih, begini kalau membersihkan lauk cacing!"
Mendengar kakek itu mengatakan "lauk cacing" , Sulastri bengong dan beberapa kali menelan ludah menahan kemuakan yang naik dari perutnya. Lauk cacing? Apa maksudnya? Dia memandang kakek itu mengeluarkan beberapa ekor cacing gemuk.
"Wah, kau pandai juga. Cacing-cacing ini gemuk sekali"hemm, tentu lezat!"
Sulastri terbelalak memandang kakek itu menggunakan kuku-kuku jarinya untuk memotong sedikit bagian kepala dan ekor cacing-cacing itu, kemudian dari satu ujung dia memijit tubuh cacing itu, dipelurutnya sampai ke ujung yang lain dan keluarlah benda kehitam-hitaman seperti tanah dari dalam tubuh cacing itu.
"Nah, begini, pijit dan pelurutlah yang kuat akan tetapi jangan terlalu kuat agar tidak putus, keluarkan tanah dari dalamnya."
sulstri mengangguk dan dengan perasaan jijik juga dia meniru perbuatan gurunya itu, memotong kepala dan ekor setiap cacing, memijit dan mengeluarkan isi tubuhnya yang seperti tanah dan ada sedikit darahnya. Cacing-cacing itu mati dan tinggal seperti kulit panjang yang sudah tidak ada isinya lagi.
"Sekarang sediakan bumbunya, bawang, garam dan merica yang agak banyak! "kakek itu memerintah. Sulastri menurut dan menyediakan apa yang diminta gurunya.
"Nah, sekarang goreng! Jangan sampai gosong, akan tetapi juga yang kering agar kemripik!"
Kembali Sulstri menelan ludah. Gurunya ini benar-benar seorang gila. Masa cacing digoreng dan dimakan?"
Tapi eyang"cacing bukan makanan"menjijikan"!
"Hush!"
Kakek itu mendelik dan matanya amat menakutkan, sebesar jengkol dan seperti mau meloncat keluar dari rongga mata, akan tetapi pandangnya tajam bukan main.
"Siapa bilang menjijikkan? Bangkai tetap bangkai, biar bangkai sapi, bangkai ayam atau bangkai cacing! Yang enak kan bumbunya! Bodoh, kau kira tidak enak goreng cacing? Kau belum pernah memakannya?"
Sulastri menggeleng kepala.
"Bodoh, kau masih harus banyak belajar. Hayo goreng, aku akan mencari lauk lainnya lagi!"
terdengarlah bunyi srang-sreng-srang-sreng ketika Sulstri menggoreng cacing-cacing yang sudah diredam bumbu itu. Dia memandang jijik melihat cacing-cacing itu agak mekar ketika terkena minyak panas, akan tetapi sungguh aneh, cacing-cacing yang digoreng itu mengeluarkan bau yang gurih!
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi dia hampir berteriak saking jijik dan ngerinya ketika kakek itu datang dan kedua tangannya menggengam banyak sekali binatang kelabang dan luwing! Sulastri agak takut melihat kelabang karena maklum bahwa binatang-binatang ini berbisa, dan sejak dulu dia memang jijik melihat luwing karena binatang ini memang menjijikan, kakinya banyak sekali dan selalu melingkar kalau disentuh!
"Itu"
Itu kelabang dan luwing juga di"
Dimakan eyang?"
"Wooohhh, ini paling enak, bodoh!"
Kakek itu berkata, membunuhi binatang-binatang itu dengan meremukkan kepalanya sekali tekan dengan kukunya, kemudian dia menggunakan air panas merendam bangkai-bangkai kelabang dan luwing itu. Tak lama kemudian, dia menguliti bangkai binatang-binatang itu dan setelah terkena air panas, ternyata kulit kelabang dan luwing itu dapat dikupas dengan mudah dan tinggal hanyalah dagingnya yang putih kemerahan seperti daging udang.
"Nah, goreng juga ini!"
Katanya kepada Sulastri. Anak itu menelan ludah menahan muak, lalu digorengnya daging kelabang dan luwing itu. Dan kembali dia terheran-heran ketika mencium bau yang gurih lagi, seperti bau udang digoreng!
"Wah, hayo makan, Sulastri. Mumpung masih panas-panas. Hemm, itu di dalam bungkusan daun jati, masih ada beberapa butir lombok rawit, bawa sini!"
Kakek itu makan di layani oleh Sulastri. Akan tetapi anak itu hanya mengambil nasi saja, lalu mengambul sejumut garam untuk makan dengan garam saja.
"Eih, ini gorengannya, hayo dimakan!"
Sulastri menggeleng kepala.
"Ushhh, bodoh, hayo makan. Enak sekali ini!"
Kakek tidak mendesak.
"Aku"
Aku tidak doyan", eyang"
Biarlah aku makan dengan garam saja, dan itu"untuk eyang saja."
"Mana bisa begitu? Kau yang sudah payah menggoreng, masa aku saja yang makan? Dan kau makan dengan garam saja, mana enak? Hayo cobalah, engkau belum pernah makan ini, kan? Lihat, betapa lezatnya!"
Kakek itu mengambil seekor cacing goreng dan memakannya. Terdengar suara keremus-keremus seperti orang makan goreng usus ayam dan kakek itu kelihan menikmati makanan ini.
"Bukan main! Gorenganmu ternyata amat sedap! Bumbunya pas, gorengannya juga sedang. Kalau aku yang menggoreng, selalu gosong dan terlalu asin! Ha-ha, kata orang kalau masak terlalu asin tandanya kepingin kawin. Ha-ha! Nah, ini daging kelabang, menguatkan badan dan membuat kita tahan racun. Enak sekali dan ini"
Daging luwing banyak gajihnya. Hemm, sedap!"
Kakek itu kini makan dengan daging kelabang dan daging luwing, memang kelihatan enak daging kedua binatang ini, seperti daging udang yang sudah dibuang kulitnya, putih kemerahan dan baunya gurih bukan main.
Sulastri tidak berani menolak, takut kalau-kalau gurunya marah dan tersingung. Dengan hati ngeri dia lalu mengambil seekor cacing goreng yang bengkak-bengkok itu, lalu dengan mata terpejam dia memasukkan ke mulutnya bersama nasi.
"Kriakkk..kriak""
Dan Sulastri membuka lebar matanya. Ternyata enak! Gurih sekali, seperti"hampir seperti kulit ayam goreng. Gurih dan baunya pun sedap! terus saja dimakannya cacing itu dan mendengar gurunya tertawa, dia memandang gurunya ikut pula tertawa.
"Nah, enak, kan?"
"Enak, eyang. Tak kusangka seenak ini goreng cacing!"
Sulastri mengambil seekor lagi dan mulai makan nasi dengan goreng cacing.
"Ah, coba kau makan goreng kelabang dan terutama goreng luwing itu, cobalah dan kau akan lebih terheran-heran lagi!"
Dengan agak memaksa diri Sulastri mengambil sepotong kelabang goreng dan memakannya. Benar, saja! Tiada ubahnya udang goreng! Tanpa ragu-ragu lagi kini dia memakan sepotong luwing goreng dan mulutnya mengecap-ngecap. Bukan main! Seperti udang goreng tetapi lebih berminyak dan manis! Maka lenyaplah rasa ragu dan muaknya dan anak itu makan dengan lahapnya dan durunya juga kelihatan girang, tertawa-tawa dan sebentar saja nasi dan semua gorengnya habis sama sekali!
Kakek itu mengelus perutnya yang agak gendut dan minum air teh panas.
"Cruupp! Ahhh, air tehnya pun sedap kalau kau yang membuat. Waduh untung sekali aku mempunyai murid seperti engkau, Sulastri. Sekarang kita ngomong-omong, akan tetapi harus mencari kutu. Kepalaku gatal bukan main!"
Sulastri berlutut di belakang gurunya yang kembali merebahkan dirinya, dan mulailah anak itu mencari kutu rambut di kepala kakek itu.
"Pantas saja kepalamu gatal-gatal, eyang. Habis kutunya banyak benar!"
Sebentar saja Sulastri sudah mendapatkan kutu rambut yang cukup besar.
"Ke sinikan!"
Kata kakek itu dan setelah muridnya meletakkan kutu itu ke atas telapak tangannya, dia lalu menggunakan lidahnya menjilat dan terdengar suara "Tess!"
Ketika kutu itu digigitnya!"
"Ihh, kau apakan kutu itu, eyang?"
"Aku balas gigit dia!"
Kurang ajar, habis-habis kulit kepalaku digigitnya!"
Sulastri geli hatinya. Gurunya ini orang aneh sekali. Akan tetapi kalau sampai kutu rambut digigit dan ditelan seperti itu, dia tidak akan menirunya.
"Sekarang kau ceritakan riwayatmu, Sulastri."
Anak itu lalu menceritakan riwayatnya dengan sejelasnya, bagaimana dia hidup berdua saja dengan kakaknya, kemudian betapa dia pernah ditolong oleh Adipati Ronggo Lawe kemudian betapa kakaknya membunuh diri membela pati karena cintanya kepada Ronggo Lawe. Betapa dia ditangkap oleh dua orang perwira Mojopahit itu karena dipaksa untuk mengaku di mana dia menyembunyikan mayat kakaknya.
"Dan kau memang menyembunyikan mayatnya?"
Tanya kakek itu.
"Sudah kukuburkan mayat mbakayuku, eyang."
(Lanjut ke Jilid 05)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
"Kenapa kau tidak memberi tahu mereka?"
"Mereka itu jahat. Aku khawatir mereka akan membongkar kuburan itu, maka aku tidak mau mengaku."
"Hemm, kau anak luar biasa.
"Kakek itu mengangguk dan tidak mau bertanya lebih lanjut lagi sehingga anak itu pun tidak mau bercerita tentang kundolo mirah yang tergantung di lehernya dan tetang keris pusaka yang sama-sama terkubur jenazah kakaknya.
"Dan siapakah nama eyang? Masa mempunyai guru tidak tahu namanya!"
"Aku? Ha-ha-ha, aku adalah Ki Jembros dan orang bahkan menyebutku Setan Jembros, ha-ha-ha!"
"Di manakah rumah eyang?"
"Rumahku? Rumahku di mana-mana, langit itu atapku, gunung-gunung itu dindingku, dan bumi ini lantaiku, ha-ha-ha ! Kau mau ikut aku terlantar dan berkeliaran tak tentu tujuan ?"
"Tentu saja bukankah aku murid eyang? Asal eyang jangan lupa mengajarkan kesaktian kepadaku!"Demikianlah, anak kecil itu semenjak saat itu ikut bersama kakek aneh itu, hidup penuh dengan kesukaran dan kekurangan, hidup seperti jembel yang tidak pernah mengemis, tidur di sembarang tempat, makan seadanya, akan tetapi penuh dengan kebenasan yang aneh.
Sudah terlalu lama kita meninggalkan keluarga janda Galuhsari yang kita kenal di dalam permulaan cerita ini. Seperti telah dituturkan di bagian terdepan dan cerita ini, nyi Galuhsari, janda cantik isteri mendiang panglima Mojopahit Lembu Tirta, setelah mengalami penghinaan digagahi secara keji di depan anaknya oleh Panewu Progodigdoyo, mengalami nasib yang mengeraikan. Rumahnya terbakar dan dia terbakar hidup-hidup di dalam rumahnya di mana terjadi kemaksiatan yang dilakukan oleh Progodigdoyo itu.
Seperti kita ketahui, Lestari, perawan remaja yang cantik itu setelah hampir pingsan saking ngerinya menyaksikan ibunya diperkosa oleh Progodigdoyo, lalu diculik dan dilarikan oleh Panewu yang telah gila oleh nafsu berahi itu. Ada pun anak ke dua janda itu, Sutejo, sejak tadi sudah rebah pingsan karena pukulan Panewu Progodigdoyo.
Ketika rumah itu terbakar, yang terancam maut adalah dua orang, yaitu Sutejo yang masih pingsan dan ibunya, janda Galuhsari. Justru karena pingsan, Sulastri belum dimakan, tidak seperti ibunya yang berusaha mengejar Panewu Progodigdoyo, malah kesambar api, kejatuhan atap yang ambruk dan lebih dahulu dimakan api, terbakar hidup-hidup.
Namun, kiranya hanya tinggal menanti saatnya saja bagi kematian Sutejo karena diapun sudah terkurung api dalam keadaan pingsan. Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan anak itu, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang kakek berpakaian putih, dengan rambut, kumis dan jenggotnya juga sudah putih, tahu-tahu telah berada di dalam rumah tang terbakar itu.
Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo