Kemelut Di Majapahit 5
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Pada saat itu Sutejo siuman dari pingsannya.
"Ibuuuu"!"
Dia berteriak dan bangkit dengan binggung.
"Mbakayuuu"!"
Dia berteriak lagi ketika melihat api berkobar mengurung dirinya. Teringatlah dia akan segala peristiwa yang dialaminya, maka hatinya menjadi gelisah. Tiba-tiba dia melihat kakek berpakian putih itu dan dia berteriak.
"Eyanggggg"tolonglah"tolonglah ibu dan mbakayu""
Dengan satu gerakan saja kakek itu telah berada di dekatnya, dan memegang tangannya."
Berpeganglah padaku, angger. Kita harus cepat keluar dari tempat ini ! "
"Tidak, tidak"eyang, harap eyang suka menolong ibu dan mbakayuku"! Biar aku nanti saja, yang perlu adalah mereka"!"
Sutejo berteriak pula dan melepaskan tangannya.
Kakek itu tersenyum dan memandang dengan sinar matanya yang halus.
"bu dan kakakmu tak dapat ditolong lagi, kulup dan aku datang sengaja untuk menyelamatkanmu. Marilah"!"
Kakek itu memegang tangan Sutejo dan anak ini tidak jadi membantah karena dia sudah terkejut dan ngeri ketika merasa betapa tubuhnya meluncur dengan amat cepatnya menerjang api! Dia hanya merasakan hawa panas menyambar, akan tetapi tahu-tahu dia telah berada di luar rumah, kemudian dengan cepat sekali tubuhnya terasa dibawa meluncur oleh kakek itu seperti terbang saja cepatnya meninggalkan rumahnya yang masih terbakar dan menyala-nyala dengan dahsyatnya.
"Eyang"
Lepaskan aku"
Aku ingin menolong ibu dan mbakayu..!"
Suteko berteriak-teriak dan meronta-ronta.
Mereka telah tiba di sebuah hutan. Rumah terbakar itu sudah tidak tampak lagi dan kakek itu terhenti, lalu mngelus kepala Sutejo. Elusan ini demikian mesra, demikian halus sehingga seolah mendatangkan kesejukan luar biasa ke dalam kepala Sutejo, membuat anak itu menjadi tenang dan tidak meronta lagi.
"kehendak Hyang Widhi Wisesa tak mungkin dirobah oleh siapa pun juga, angger. Ibumu telah tewas atas kehendak Hyang Widhi melalui kekuasaan Hyang agni (Dewa Api)."
"Ibuuuu"!!"
Sutejo menutupi mukanya, menjatuhkan dirinya berlutut dan menangis.
"Tidak perlu dan tidak ada gunanya lagi ditangisi, kulup. Ibumu sudah sempurna dan terbebas dari penderitaan."
"Akan tetapi"bagaimana ibu bisa tewas dan"
Dan bagaimana pula rumah itu bisa terbakar, eyang"!"
Sutejo bertanya dengan hati penasaran.
Kakek itu menarik napas panjang.
"Kelak akan tiba saatnya engkau mengetahui sendiri, angger, sekarang bukan waktunya engkau mengetahui hal itu."
"Akan tetapi"mbakayu Lestari"di mana dia dia eyang? Apakah dia juga ter"
Bakar"?
Kakek itu menggeleng kepala "Hanya ibumu yang tewas, dan tentang kakakmu kelak engkau dapat mencarinya sendiri. Sekarang sebaiknya engkau ikut bersamaku ke tempat pertapaanku, angger. Hanya inilah jalan satu-satunya yang kulihat agar engkau dapat menyelamatkan diri dari pengejaran panewu Progodigdoyo."
"Si keparat itu! Si jahanam itu! Tentu dia yang telah membakar rumah kami!"
Tiba-tiba Sutejo bangkit berdiri dan mengepal tinjunya, matanya mengeluarkan sinar seolah-olah berapi-api.
"Eyang aku akan kembali ke sana, aku akan mencari panewu keparat itu, aku""
Sutejo lalu mencabut keris yangterselip di pinggangnya, kemudian hendak lari pergi.
Kakek itu memegang lengannya dan berkata halus.
"Angger, apakah dayamu terhadap seorang seperti panewu itu ? Engkau masih kecil dan dia adalah seorang panewu yang selain digdaya, juga mempunyai banyak anak buah, dia adalah kepercayaan Sang Adipati Ronggo Lawe. Apakah kau hendak mengantar nyawa dan menentangnya? Itu bukan perubahan gagah berani namanya, melainkan suatu kebodohan dan kesombongan belaka, berarti engkau akan membunuh diri."
Ucapan yang halus ini menyadarkan anak yang baru berusia sepuluh tahun itu dan tiba-tiba Sutejo menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil menangis. Kakek itu membiarkan saja Sutejo menangis, hanya mengangguk-angguk dan beberapa kali menarik napas panjang.
"Eyang"kumohon kepada eyang"sukalah eyang membantunya untuk membalaskan kematian ibu, untuk membalas kepada Progodigdoyo!"
"Oho, bocah bagus"permintaanmu itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin aku dapat membunuh seorang manusia lain, biar pun manusia itu sejahat Progodigdoyo sekalipun? Tidak, angger, seorang seperti aku tidak mungkin mau membunuh"!"
Sutejo sudah sering kali mendengar dongeng ibunya tentang orang-orang sakti dan orang-orang yang hidupnya mengasingkan diri, bertapa dan tidak mau mencampuri urusan perang dan bunuh membunuh. Kata ibunya, mendiang ayahnya dahulupun seorang murid dari pertapa sakti seperti itu. Maka dia teringat akan cerita ibunya dan dia lalu menyembah.
"Kalau begitu, eyang, saya mohon sudilah eyang menerima saya sebagai murid eyang""
"Ho-ho, bocah bagus, tanpa kau minta sekali pun engkau memang telah menjadi cucu muridku, angger."
Sutejo terkejut dan cepat dia menengadah, memandang wajah yang sudah amat tua dan yang tersenyum ramah dan mata itu memandang mesra.
"Kalau begitu"akahan eyang ini"eyang Penembahan Ciptaning seperti yang sering diceritakan oleh ibu"?"
Kakek itu mengangguk ramah.
"benar, cucuku. Aku telah mendengar akan kemarian ayahmu""
"Keparat Progodigdoyo""
"Sttt", tidak bijaksana menanam kebencian cucuku."
"Akan tetapi dia manusia jahat, eyang! membunuh ayah dengan curang, kemudian dia menghina ibu dan"tentu dia pula yang menyebabkan kematian ibu, dan mbakayuku""
"Seorang ksatria bertindak bukan untukm kepentingan diri pribadi, angger! Kalau engkau kelak menghadapi Progodigdoyo karena kebencianmu kepadanya disebabkan dendam pribadi, maka engkau berbeda banyak dari Progodigdoyo sendiri! Akan tetapi seorang kstaria akan menghadapi dan menentang bulu, dan tanpa membedakan apakah dia itu Pegodigdoyo ataukah keluargamu sendiri sekali pun. Yang jahat haruslah ditentang tau diingatkan, angger."
Sutejo tidak berani mebantah. Dia maklum bahwa eyang gurunya ini adalah seorang yang guntur tapa, seorang yang memiliki kesaktian hebat disamping juga seorang yang berbudi dan tidak mau mencampuri urusan duniawi yang serba ruwet oleh tingkah laku manusia. Maka dia yang merasa bodoh tidak berani lancang membantah, melainkan dengan masih berlutut dia berkata.
"Eyang, saya mohon petunjuk."
Tanpa disadari oleh Sutejo, fajar telah menyingsing dan sinar matahari pagi kemerahan membakar langit di ufuk timur. Sang panembahan memandang ke angkasa disebelah timur dan dia sejenak takjub akan keindahan pemandangan itu. Langit yang terbakar merah itu menciptakan penglihatan yang sukar dituturkan dengan kata-kata, awan-awan yang beraneka warna, ada warna merah tang bermacam-macam, warna biru yang bermacam-macam bercampur warna kuning yang bermacam-macam pula, diselang-seling sinar keemasan, semua itu begitu indah, membuat setiap kelompok awan menciptaa bentuk-bentuk yang amat laur biasa, keindahan yang hening, keindahan yang baru, keindahan yang merepesap kedalam jiwa dan pada saat itu sang begawan sudah kehilangan dirinya, si aku yang menjadi sumebr segala macam kemaksiatan dan kesengsaraan serta permusuhan. Dia seolah-olah merasa menjadi satu dengan semua keindahan itu, dari keindahan sinar lembayung dan keemasan di angkasa, sampai keindahan ujung rumput yang terhias mutiara embun berkilauan tersenyum cantiknya.
Kemudian kembali dia menarik napas-napas kelegaan yang memasukkan hawa murni di dalam tubuhnya, dan dia menunduk, memandang kepala cucu muridnya sambil berkata lirih.
"tengoklah ke angkasa timur, cucuku. Lihat, setiap pagi matahari muncul can mulai hidup baru. Engkaupun harus demikian, cucuku. Tinggalkan semua kenangan lalu, semua itu telah mati dan tiada gunanya mempertahankan yang mati. yang kemarin sudah mati. sekarang inilah hidup."
Anak berusia sepuluh tahun itu tentu saja tidak dapat menangkap arti dari wejangan yang sederhana namun mengandung arti amat mendalam itu. Sang panembahan lalu berkata lagi.
"Bangkitlah, mari kita duduk di atas batu itu, mengaso dulu karena keindahan seperti ini jarang kita temui angger, maka sudah selayaknya jika kita menikmatinya,"
Sutejo bangkit dan bersama kakek gurunya dia lalu duduk diatas sebongkah batu, berhadapan dengan kakek itu.
"Kesempatan ini akan kupergunakan untuk mendongeng kepadamu, angger, tentang Sang Prabu Yudistira, atau yang juag biasa dicebut dengan nama Samiaji, raja dari Ngamarta, dan yang sulung diantara lima saudara Pendawa Lima.
"
Pertapa tua itu lalu mendongengkan tokoh pewayangan yang amat terkenal itu, didengkarkan oleh Sutejo dengan penuh perhatian. Beginilah dongeng yang mengandung arti amat baik itu.
Pada suatu hari Yudistira melihat empat orang adik-adiknya telah tewas di tepi sebuah sumber air, mati setelah minum air beracum itu. Tentu saja Yudistira berduka sekali, dan tiba-tiba di amendengar suara tanpa rupa, yaitu suara setan penjaga mata air atau sumber air itu."Heh, Yudistira, aku akan menghidupkan lagi seorang di antara saudara-saudaramu ini jika engkau dapat menjawab pertanyaan-pertanyaanku dengan tepat."
Yudistira dengan tenang menjawab.
"Ajukanlah pertanyaanmu, Yakso (sebutan untuk bangsa raksasa atau setan), aku akan mencoba untuk menjawabnya."
"Apakah yang lebih berat daripada bumi? Apakah yang lebih tinggi daripada langit? Apakah yang lebih cepat daripada angin? Apakah yang lebih baik daripada binatang?"
"Ibu lebih berat daripada bumi. Ayah lebih tinggi daripada langit. Jiwa lebih cepat daripada angin. Pikiran lebih baik daripada binatang.
"Jawab Yudistira tanpa berpikir lagi karena jawaban-jawabannya bukanlah berdasarkan hasil pemikiran, melainkan merupakan jawaban langsung karena melihat kenyataan.
"Siapakah teman terbaik dalam perjalanan? Siapakah teman terbaik di dalam rumah? Siapakah teman terbaik di waktu sakit? Siapakah teman terbaik di waktu mati?"
"Kafilah adalah teman terbaik dalam perjalanan. Isteri adalah teman terbaik di dalam rumah. Tabib adalah teman terbaik di waktu sakit, dan kedermawaan adalah teman terbaik di waktu mati."
"Musuh apa yang paling sukar dikalahkan? Penyakit apa yang sukar disembuhkan? Orang apakah yang disebut baik? Orang apa pula yang disebut tidak baik?"
"Wahai, raja yang arif bijaksana! Apakah yang dinamakan buta? Apakah yang artinya sombong? Apakah yang dimaksudkan dengan terlambat? Dan apa pula penderitaan itu?"
"Yang sesungguhnya bisa adalah buta akhlak. Kecongkaan merasa diri pandai adalah yang dinamakan orang sombong. Tidak mengenal diri saat ini juga adalah suatu keterlambatan, dan kebodohan adalah penderitaan yang paling besar."
"Apakah yang disebut ketetapan hati? Apakah keberanian itu? Apakah kedermawaan itu? Dan apakah sebenarnya yang dinamakan seorang Brahmana sejati?"
"Pelaksanaan kebenaran dalam hidup adalah ketetapan hati. Menyadari keburukan diri pribadi lahir batin adalah kedermawaan sesungguhnya. Dan pertanyaanmu yang terakhir itu memerlukan jawaban yang agak panjang, Yakso."
"Duhai, sang raja yang budman, jawablah dan hamba akan mendengarkan!"
Suara yang tanpa rupa itu terdengar menggetar.
"Brahmana yang sejati bukan terletak dalam keturunan atau asal usulnya, bukan pula karena dia pandai membaca kitab-kitab Weda, bukan pula karena kepandaiannya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya, bukan pula karena nama besar dalam riwayatnya. Brahmana sejati adalah yang mengutamakan hidup hidup dalam kebenaran, yaitu kebaiakan. Selama hidupnya belum bercacat, dan dia tidak akan bercacat pula. Orang yang tidak dapat melenyapkan hawa nafsu sendiri, biar pun dia mengaku seorang yang cerdik pandai, sesungguhnya dia hanyalah seorang gila dan sama sekali tidak patut disebut seorang Brahmana sejati. Dia tidak pantas disebut Brahmana biar pun dia hafal akan isi semua kitab Weda utama yang empat jumlahnya, hafal diluar kepala, apabila munafik dan bertindak durjana di dalam hidupnya, dan orang begini derajatnya tidak lebih tinggi daripada seorang sudra! Dia yang bersih lahir batinnya, batinnya selalu hening dan lahirnya selalu mengatasi nafsu-nafsunya, dialah Brahmana sejati, Yakso!"
Mendengar semua jawaban ini, sang Yakso menjadi kagum dan tunduk, maka diberilah kesempatan kepada Yudistra untuk memilih siapa di antara saudaranya yang harus dihidupkan kembali. Saudara kandung Yudistra adalah Bima dan Arjuna. Sedangkan yang dua lagi, Nakula dan sadewa adalah saudara tiri, satu ayah lain ibu. Kalau menurutkan kepentingan di aku pribadi, sudah tentu dia akan memilih seorang di antara adik kandungnya. Akan tetapi Yudis tira adalah seorang manusia yang sudah tipis atau bersih dari cengkaraman keaku-annya. Dia lebih mementingkan keadilan daripada kesenangan pribadi, maka yang dipilihnya adalah seorang di antara dua orang adik tirinya! Sang Yakso mengerti akan isi hati Yudistira, maka dia menjadi makin kagum dan tunduk, dan dihidupkan keempat adiknya yang telah mati keracunan itu!
"Demikianlah, Sutejo, cucuku. Kebijaksanaan selalu akan menghasilkan kembang dan buah yang baik."
Sang panembahan mengakhiri ceritanya.
"Oleh karena itu, di dalam kehidupanmu, jangan engkau dibuai oleh cita-cita, oleh harapan-harapan, leh tujuan-tujuan. Semua itu adalah kosong, hampa dan khayali belaka. Yang lebih penting adalah cara hidup, sepak terjangmu dalam hidup, pada saat ini, pada hari ini, pada setiap detik. Kalau caranya benar, maka akhirnya pun tentu benar! Sebaliknya, kalau engkau selalu mementingkan tujuan, banyak kemungkinan engkau akan tersesat mengambil jalan yang keliru, mengambil cara yang sesat, angger. Tujuan atau cita-cita dapat membutakan matamu sehingga engkau tidak melihat lagi bahwa cara yang kau tempuh adalah jahat dan sesat, matamu akan buta dan silau oleh cita-cita yang kelihatannya amat menarik dan indah."
Sutejo mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat semua itu di dalam benaknya. Dia masih terlalu kecil untuk menangkap semua inti sari wajangan itu, namun nalurinya membisikkan dia sehingga membuka kesadarannya, menambah kewaspadaannya.
Tiba-tiba terdengar suara banyak orang dan lapat-lapat terdengar suara orang berkata.
"Agaknya dia lari ke sini. Kawan-kawan hayo kita kejar dan cari sampai dapat, kalau tidak gusti panewu tentu akan marah."
"Heran sekali, rumah itu terbakar habis, mengapa anak itu dapat menghilang? Jangan-jangan dia sudah menjadi abu!"
"Mana mungkin! Tulang-tulang ibunya yang hangus masih dapat dikenal, tak mungkin dia habis sama sekali. Tentu dia dapat melarikan diri, atau ada orang yang menolongnya!"
Mendengar ini, Sutejo terkejut dan cepat dia meloncat turun dari atas batu, kedua tangan dikepal. Dia sama sekali tidak takut, hanya mengkhawatirkan keselamatan". Kakek gurunya!"
Eyang, harap eyang bersembunyi", kalau ketahuan eyang menolong saya, tentu eyang akan celaka. Mereka itu orang-orangnya Panewu Progodigdoyo!"
Kakek itu tersenyum dan menggandeng tangan Sutejo.
"Tenanglah, angger. Tenanglah dan mari kau ikut denganku pergi dari sini."
Sutejo menurut dan sekarang barulah ia teringat bahwa kakek gurunya adalah seorang sakti! Kakek gurunya itu membawa berjalan menuju ke arah suara orang-orang itu! Jantung di dalam dada Sutejo tergetar dan berdebar keras saking tegangnya. Dia hanya mendengar eyangnya itu berkemak-kemik dan terengar suara bisikannya berulang kali.
"Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam".!!"
Kini mereka berpapasan dengan sepasukan perajurit Tuban yang terdiri dari dua losin orang. Mereka itu mencari ke sana-sini, menengok ke kanan kiri, akan tetapi sungguh aneh, mereka itu membiarkan kakek itu dan Sutejo lewat di depan mereka seolah-olah mereka tidak melihat kakek itu, atau andai kata melihat juga, seolah-olah mereka itu menganggap sudah semestinya kakek dan bocah itu lewat di situ, tanpa mereka ganggu sedikit pun! Tentu saja Sutejo menjadi terheran-heran dan makin kagum kepada kakek itu, karena dia mengerti bahwa eyangnya itu telah mempergunakan aji kesaktiannya sehingga para perajurit Tuban itu tidak dapat melihat dia dan eyangnya yang lewat begitu dekat dengan mereka!
Setelah jauh Sutejo bertanya.
"Eyang, apakah artinya ucapan eyang tadi? Saya sudah hafal eyang! Hong Iiaheng Awignam Astuna Masidam!"
"Itu hanyalah mataram sebagai doa untuk mohon keselamatan, angger. Akan tetapi jangan mengira bahwa setiap orang akan dapat memanfaatkan mantera ini, karena mantram apa pun juga di dunia ini hanya berguna dan menjadi sakti bagi orang-orang yang telah menghayati kebenaran di dalam hidupnya. Kalau setiap saat, setiap kata-kata ucapan, setiap pikiran, dan setiap perbuatan selalu beelandaskan kebenaran, maka kesaktian telah berada di dalam dirinya angger."
Demikianlah, mulai hari ini, Sutejo diajak oleh eyang gurunya, yaitu Panembahan Ciptaning, pergi ke lereng Gunung Kawi, selain untuk menghindarkan pengejaran Panewu Progodigdoyo, juga untuk mempelajari ilmu kesaktian dan hidup sebagai seorang petani di lereng pegunungan yang hawanya dingin sejuk dan udaranya bersih itu.
Dara itu menangis sesenggukan dengan hati pilu di dalam kamar yang indah itu. Cuping hidungnya yang mancung dan sepasang matanya yang bening sampai menjadi merah karena banyak menangis. Dia menelungkup di atas pembaringan, tidak menghiraukan dan bujukan dua orang emban (pelayan) yang berlutut di depan pebaringan.
"Sudahlah, den roro"
Tiada gunanya lagi menangis"
Setiap hari berduka saja sampai tubuh paduka menjadi kurus"."
Kata emban yang hidungnya pesek.
"Diamlah, gusti, diamlah, nanti hanya akan membikin marah gusti panewu saja. Beliau amat mencintai paduka", lihat ini, hamba disuruh memberikan pakaian yang serba indah dan baru""
Kata emban ke dua yang mulutnya lebar.
""
Dan ini hamba sudah menyediakan makanan dan buah-buahan untuk paduk,"
Sela si hidung pesek.
Akan tetapi dara remaja itu menggeleng-geleng kepala, bahkan ketika pakaian baru itu ditumpuk di dekatnya, dia lalu mengibaskan tangan sehingga tumpukan pakaian itu berantakan ke atas lantai.
"Eihh-eihhm bagaimana ini? Sayang, den roro, pakaian mahal dan bagus"!"
Si hidung pesek mengambil pakaian itu.
Dara itu bengkit duduk. Mukanya pucat dan agak kurus, akan tetapi tidak menyembunyikan wajahnya yang cantik jelita. Bahkan tambutnya dan pakaiannya yang kusut itu membuat kecantikannya makin aseli dan menonjol. Hidungnya yang kecil mancung menjadi merah ujungnya, matanya yang bening dan bersinar tajam itu sampai agak membengkak karena terlalu banyak menangis, kulitnya putih kuning dan kedua lengannya padat dan mulus. Seorang perawan yang cantik. Dia ini bukan lain adalah Lestari, puteri janda Galuhsari yang dilarikan oleh Panewu Progosigdoyo dan dikeram di dalam sebuah kamar di gedungnya. Kamar itu dijaga ketat oleh sepasukan pengawalnya dan selain dara remaja itu tidak diperkenankan keluar dan seperti orang hukuman dikurung di dalam keputren itu, juga tidak ada seorang pun boleh memasuki tempat ini kecuali dua orang emban itu yang memang ditugaskan untuk membujuk perawan itu.
Namun Lestari tetap menolak cinta kasih Panewu Progodigdoyo yang amat dibencinya. Biar pun dia belum diganggu oleh panewu itu yang sibuk menghadapi perang dengan Mojopahit, dan biar pun dia dilayani dengan penuh keramahan oleh para emban, tetap saja lestrai merasa berduka dan setiap hari hanya menangis. Betapa hatinya akan hancur kalau dia mengingat ibunya dan adiknya? Mereka mati terbakar! Dan bukan itu saja! yang membuat dara ini kadang-kadang seperti ingin menjerit-jerit ketakutan adalah kalau di mengenangkan betapa sebelum kebakaran rumah ibunya, dia diharuskan melihat ibunya digagahi oleh panewu itu, digumuli dan diperkosa di atas pembaringan, di depan matanya! Betapa dia melihat ibunya bercucuran air mata, menggigit-gigit bibir menahan penghinaan itu demi untuk mempertahankan kehormatan puterinya! Teringat dan membayangkan ini semua, Lestari mengalami guncangan batin yang hebat dan ketika dia menutupi mulutnya untuk menahan mulutnya menjerit-jerit, dia menganguk, kemudian duduk termenung seperti orang kehilangan semangat!
Setelah perang terjadi dan Tuban dikalahkan oleh Mojopahit, seperti telah diceritakan di bagian depan, Panewu Progodigdoyo yang pandai bermuka-muka dan pandai menjilat-jilat itu melaporkan kepada para pembesar di Mojopahit betapa dialah orangnya yang selalu berusaha untuk mencengah pemberontakan Ronggo Lawe. Kemudian dia pulalah yang memerintahkan semua pasukan Tuban untuk tunduk dan takluk, agar tidak melanjutkan perlawanannya terhadap Mojopahit.
Dalam usahanya mencari muka dan menjilat ini, dia memperoleh bantuan banyak dari Sang Resi Mahapati! Mengapa demikian? Hal itu tidaklah aneh karena sesungguhnya Sang Resi Mahapati yang menjadi seorang pembesar di istana Mojopahit itu masih terhitung paman gurunya sendiri. Panewu Progodigdoyo adalah murid Empu Tanjungpetak, seorang empu yang digdaya di pertapaan atau pesanggrahan Tanjungpetak di pantai Laut Jawa, tak jauh dari Tuban. Ada pun Empu Tanjungpetak ini adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati!
Progodigdoyo juga maklum akan cita-cita sang resi di istana Mojopahit itu, maka di antara keponakan dan paman guru ini antara keponakan dan paman guru ini terjalinlah kerja sama yang baik, maka tidaklah mengherankan kalau Resi Mahapati membantu murid keponakannya ini sehingga di dalam penumpasan pemberontakan Ronggo Lawe, Progodigdoyo dianggap "berjasa", bahkan dia lalu memperoleh kepercaaan untuk sementara menjabat "adipati"
Di Tuban, menggantikan kedudukan Ronggo Lawe sementara Tuban kosong dari seorang pejabat.
Dapat dibayangkan betapa besar kepala bekas panewu ini! Dia masih bersikap hormat kepada keluarga Ronggo Lawe, apa lagi kepada aryo Wirorojo yang dia tahu merupakan seorang terhormat dan berpengaruh di lingkungan istana Mojopahit. Terhadap mereka ini dia masih bersiap hormat sebagai seorang bekas pembantu Ronggo Lawe yang "setia".
Memang demikianlah sifat-sifat manusia yang terlalu tebal sifat akunya. Demi kepentingan pribadi yang selalu haus mengejar kesenangan, dia tidak malu-malu untuk melakukan apa saja! Demi mencapai cita-citanya, cara apa pun akan ditempuhnya. Dan seperti yang sudah menjadi anggapan umum yang biar pun hampa dan salah namun sejak dahulu sampai kini manjadi semacam pegangan mutlak adalah bahwa kesenangan ialah kedudukan, kemuliaan, kehormatan atau nama, dan harta benda! Demi untuk mencapai tiga macam "kesenangan"
Ini, seringkali manusia menjadi lebih kejam dan lebih ganas daripada binatang! Apa pun akan dilakukannya, dan semua cara ini, betapa pun kejamnya, dianggapnya benar karena semua itu dilakukan untuk mencapai cita-citanya! Pemujaan cita-cita itu lalu hanya mementingkan si cita-cita, tanpa menghiraukan lagi cara yang ditempuhnya, karena si cara itu hanya dianggap sebagai penyeberangan belaka. Padahal, bukan cita-citalah yang penting, melainkan cara itu sendiri! Cara inilah yang menentukan baik-buruknya, benar dan sesatnya. Cara ini pula yang menentukan akibat dan akhirnya. Di dalam benih yang ditanam itulah tercakup nilai buahnya kelak! Cara inilah yang penting, yang nyata yang harus kita perhatikan setiap saat agar tidak sampai menyeleweng!
Namun demi si aku yang selalu mengejar kesenangan, manusia menjadi lupa, seperti halnya Progodigdoyo. Dia merasa bangga sekali dengan kedudukannya. Masih berdebar kalau dia teringat akan peristiwa yang terjadi sebelum pemberontakan pecah, yaitu peristiwa di dusun Kembangsari. Tanpa disengajanya dia telah membunuh Galuhsari, janda mendiang sahabat baiknya, Lembu Tirta, dan hatinya berdebar menjadi agak gelisah kalau dia mengigat bahwa mayat anak laki-laki Lembu Tirta tidak dapat ditemukan di dalam rumah terbakar itu, juga usaha pencarian oleh pasukannya tidak berhasil. Akan tetapi, debar jantungnya ini lenyap dan berganti dengan debar kegembiraan yang penuh dengan bangkitnya gairah nafsu berahinya kalau dia mengingat akan Lestari, perawan mungil cantik jelita yang telah berada di tangannya. Makin dipandang, makin mirip perawan itu dengan ibunya di waktu muda, dengan Galuhsari, yang telah dirindukannya semenjak masih gadis dahulu, akan tetapi dalam memperebutkan cinta kasih gadis Galuhsari itu, dia kalah oleh Lembu Tirta. Tidak mengapa, ibunya pun setelah janda terdapat olehnya, biar pun tidak memenuhi selera hatinya. Kini anaknya yang menjadi gantinya. Lebih muda, lebih cantik, dan masih perawan!
"Ha-ha-ha, Lestari, tidak begitu risau lagikah hatimu, manis?"
Panewu Progodigdoyo memasuki kamar itu dan agaknya lega hatinya melihat perawan itu tidak menangis lagi seperti sudah-sudah. Sudah tiga bulan lamanya dia mengeram dara itu, akan tetapi setiap hari dara itu hanya menangis saja, makan pun hanya setengah dipaksa oleh para emban karena takut dara itu akan mati kelaparan, dan mengganti pakaian dan mandi juga dilakukan dengan setengah paksa. Malam hari ini, gadis itu duduk termenung, tidak menangis lagi! Melihat kedatangan Progodigdoyo, dua orang emban itu dengan kenesnya, sambil tersenyum-senyum dan saling lirik, meninggalkan kamar itu, membiarkan sang panewu yang kini menjadi pejabat adipati itu berdua saja dengan si perawan denok.
Progodigdoyo yang sudah berusia empat puluh tahun itu duduk di atas kursi yang ditariknya sehingga dia berhadapan dengan Lestari yang duduk bersimpuh di atas pembaringan. Sejenak dia menatap wajah yang menunduk itu dan dia tersenyum, terpesona karena perawan itu benar-benar mirip sekali dengan Galuhsari di waktu masih gadis! Betapa cantiknya! Sinom rambut yang berikal itu semrawut berjuntai di atas dahi yang yang melengkung dan halus. Alisnya seperti dilukis saja, melengkung hitam panjang kecil seperti bulan muda baru mlai tampak. Hidungnya kecil menggemaskan, cupingnya yang kemerahan bergerak-gerak menyentuh perasaan. Pipinya berkulit putih kuning halus kemerahan, segar dan mengar-mangar, dan mulutnya! Seperti setangkai mawar. Matanya dihias bulu mata yang panjang melengkung.
Pandang mata Progodigdoyo menurun, ke leher, ke dada yang tampak membusung kecil itu, ke pinggang yang ramping dan tanpa disadarinya tangan kanannya naik ke kumisnya yang panjang melintang, memutir-mutir kumisnya dengan keasyikan yang penuh gairah, membayangkan betapa akan nikmat dan senangnya kalau perawan ini mau menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela. Matanya yang lebar ini bersinar-sinar dan hidungnya yang mbengol (besar tidak mancung) kembang-kempis, hidung yang bentuknya menjadi ciri laki-laki yang gila perempuan, dan mulutnya bergerak-gerak dengan senyum dikulum.
"Lestari, cah ayu"
Malam ini"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hemm, kau tentu sudah insyaf dan mau melayani aku, bukan? Engkau akan kujadikan selir terkasih, atau"hemm, kalau kau menyenangkan hatiku, mungkin saja akan kucerai isteriku, atau kulorot dia menjadi selir tua dan engkau menjadi isteri adipati! Ha-ha-ha, engkau menjadi permaisuriku! Mau ya, manis?"
Bujuknya, seperti seorang tua membujuk seorang anak-anak yang akan dihadiahi kembang gula. Dan memang sikap ini tidak dibuat-buat oleh Progodigdoyo karena memang Lestari itu seorang perawan kecil, masih setengah kanak-kanak maka otomatis sikapnya seperti kepada seorang kanak-kanak!
Sudah bosan dan muak Lestari mendengar ucapan ini yang merupakan bujukan yang selama berbulan-bulan ini hampir setiap malam didengarnya, baik keluar dari mulut wajah yang amat dibencinya ini atau keluar dari mulut para emban. Akan tetapi saat itu dia menoleh dan merasa amat lucu mendengar ucapan itu, yang selama ini dibencinya! Dia teringat akan masa lalu, di waktu pria ini masih menjadi sahabat ayahnya, bahkan seperti seorang adik kandung ayahnya sendiri. Pria ini selalu bersikap manis terhadap dia dan ibunya, dan Sutejo, bahkan sering kali di waktu di masih kecil suka memangkunya, memondongnya. Dan diapun suka kepada paman Progo ini! Teringat akan semua itu, Lestari menjadi binggung dan merasa lucu! Konflik jiwa berkecambuk di dalam batin perawan ini dan dia mulai berkata dengan kata-kata halus, jauh berbeda dengan hari-hari kemarin di mana dia selalu berteriak-teriak tidak sudi dan marah-marah. sambil menangis.
"Paman"
Paman Progo""
Hampir terlonjak laki-laki itu saking girangnya. Ingin dia menubruk dan mendekap perawan itu dan menciuminya saking bungah hatinya, akan tetapi sebagai seorang laki-laki yang sudah banyak pengalamannya dengan wanita, entah sudah berapa puluh kali dia mendapatkan wanita-wanita muda, baik dan halus mau pun kasar, dengan suka rela mau pun dengan paksa, dia menahan kesabarannya dan berkata girang "Lestari, sayang, apakah yang kau hendaki manis?"
"Paman Progodigdoyo, bukankah paman adalah sahabat baik dari mendiang ayahku Lembu Tirta?"
Pertanyaan yang halus dan keluar dari bibir yang manis itu sungguh-sungguh tak pernah disangkanya, akan tetapi dengan wajah berseri Progodigdoyo menjawab halus.
"Tentu saja, denok, tentu saja. Mendiang ayahmu adalah sahabat baikku, sahabat karib."
"Kalau sahabat baik, kenapa enkau membunuh ayahku, paman?"
Mata Progodigdoyo terbelalak. Akan tetapi karena hal itu sudah diketahui pula oleh perawan ini, dia pikir menyangkal pun tidak ada gunanya.
"Karena kami berebutan, manis, memperebutkan ibumu. Karena aku cinta ibumu dan kemudian ayahmu yang berhasil memperisteri ibumu."
"Paman mencinta ibuku?"
"benar, benar , sayang. Aku cinta pada ibumu."
"Kalau paman Progo mencinta ibu, mengapa paman melakukan"
Melakukan itu kepada ibu dahulu itu"?"
Dia membayangkan peristiwa pemerkosaan itu dan matanya terbelalak.
Wajah Progodigdoyo menjadi merah sekali. Dia menjadi binggung sehingga tidak melihat perobahan pada wajah Lestari. Akan tetapi dengan lancar dai menjawab pula,"
Ahh, kau maksudkan aku menggauli ibumu? Karena aku cinta padanya, itulah! Karena aku cinta padanya, Lestari, seperti aku cinta padamu. Kau mirip sekali dengan ibumu di waktu muda, malah lebih manis, maka aku tergila-gila kepadamu, aku cinta padamu."
"Kalau cinta bukan begitu, paman."
"Habis bagaimana?"
Progodigdoyo menyerigai.
"Kalau paman mencinta ibu, tentu paman membiarkan ibu hidup berbahagia dengan ayah. Kalau paman mencintaku, tentu paman akan membebaskan aku."
Progodigdoyo menjadi jengkel. Kira-kira anak ini bersikap tenang hanya untuk membantah pula!"Lestari, jangan kau membikin aku kehilangan kesabaranku!"
Dia bangkit berdiri.
"Aku cinta padamu, tahukah kau? Karena kau mirip ibumu, karena kau lebih manis dari ibumu. Kalau aku tidak cinta padamu, apa kau kira aku sabar menunggu-nunggu dan membujuk-bujuk sampai berbulan-bulan lamanya? Kalau aku tidak cinta padamu, tentu sudah sejak malam pertama itu kau kupaksa. Apa kau kira aku bisa memaksamu, he? Lihat ini!"
Progodigdoyo menggerakkan tangannya dan di lain saat dia sudah mendekap tubuh Lestari, kedua tangan Lestari ditekuk ke belakang tubuh sehingga dada dara itu membusung ke depan. Lalu dengan buasnya Progodigdoyo menciumi kedua pipi itu, hidung itu, dan mengecup bibirnya lama-lama serta mengggigitnya.
"Nah, kalau aku mau memaksamu, apa sukarnya? Tinggal merobek-robek pakaianmu!"
Dia mendengus dan mendorong tubuh anak dara itu sehingga jatuh terlentang di atas pembaringan. Muka Lestari pucat sekali, matanya terbelalak lebar bibirnya berdarah karena digigit dengan gemasnya oleh laki-laki yang sudah kesetanan itu. Napas Progodigdoyo terengah-engah.
"Kalau kau tidak mau melayaniku, aku tunggu sampai besok, hemm"
Terpaksa aku akan memperkosamu, akan memaksamu dan akan membuat engkau menjadi barang permainanku! Akan tetapi kalau kau menyerahkan diri dengan suka rela, engkau akan menjadi isteriku yang terhormat. Mengertikah engkau?"
Bentaknya.
Lestari memandang dengan mata terbelalak tanpa berkedip, kemudian dia bangkit duduk, lalu menudingkan telunjuk kanannya ke arah muka Progodigdoyo dan tiba-tiba perawan ini tertawa!
"Heh-heh-hi-hi-hi, kau"kau lucu", paman Progo! Ha-ha, mukamu lucu seperti"
Seperti tikus werok"
Ha-ha! Kau cinta pada ibuku dan kau membunuhnya? Kau cinta padaku dan kau ingin melihat aku menderita, ingin mempermainkan tubuh ini? Heh-heh-hi-hi-hi, kau"
Kau gila, paman Progo! Aku sudah bersumpah bahwa sekali saja engkau menodai diriku, aku akan bunuh diri!"
Progodigdoyo memandang dengan mata terbelalak. Tahulah dia bahwa perawan itu mengalami tekanan batin, guncangan batin yang hebat sehingga ada bahayanya akan menjadi gila. Akan tetapi ucapan terakhir dari Lestari itu membuatnya marah.
"Kau mau membunuh diri? Huh, kau kira mudah? Para emban selalu menjaga dan aku mencegah kau membunuh diri!"
Perawan itu tertawa lagi dan suara ketawannya membuat Progodigdoyo bergidik. Kini Lestari turun dari pembaringan dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Progodigdoyo sambil menghampirinya. Progodigdoyo bergidik dan melangkah mundur.
"Kau kira aku tidak mampu? Hi-hi-hik, Progodigdoyo, dengan mengigit putus lidahku sendiri pun aku akan mati. Siapa bisa mencegah aku menggigit lidahku sendiri? Akan tetapi sebelum mati, aku akan lebih dulu membunuhmu, ha-ha-ha!"
Melihat keadaan perawan itu, lenyaplah nafsu berani Progodigdoyo yang tadi berkobar setelah dia mendekap tubuh yang gempal hangat dan mencium mulut yang manis itu. Kini dia menjadi ngeri dan khawatir. Celaka, pikirnya. Lestari telah mulai gila!
"Emban!"
Teriaknya dan dua orang emban yang tadinya mendengarkan di depan pintu sambil mesem-mesem mengharapkan untuk mendengarkan suara yang "mesra"
Seperti telah mereka bayangkan, terkejut dan cepat-cepat mendorong daun pintu dan masuk! "Jaga dia baik-baik, layani baik-baik!"
Katanya dan bergegeas Progodigdoyo meninggalkan kamar itu diiringi suara ketawa Lestari yang membuat kedua orang meban itu melongo. Betapa banyaknya manusia menyalah gunakan dan mengotori kata "cinta"
Yang sesungguhna amat indah dan suci itu! Hampir semua orang mempunyai pandangan Progodigdoyo, hanya saja bedanya, ada yang bersikap halus dan ada pula sebagian orang yang bersikap kasar seperti Progodigdoyo.
Cinta yang kita dengung-dengungkan selama ini, benarkah itu cinta namanya? Kalau kita berani bersumpah bahwa kita mencinta seseorang, selalu kita menginginkan agar orang yang kita cinta itu pun membalas cinta kita, bahkan lebih dari itu, kita menginginkan bahwa orang yang kita cinta itu menyenangkan kita, melayani kita, memenuhi hasrat kita dan juga kita menghendaki agar orang yang kita cinta itu jangan menoleh kepada orang lain! Kalau semua keinginan ini dilanggar satu saja, tidak dipenuhi satu saja.
"cinta"
Kita itu berubah menjadi kebencian yang penuh dengan cemburu dan kekecewaan! Apakah ini cinta? Ataukah ini hanya merupakan suatu cara untuk memenuhi keinginan hati kita, yaitu memenuhi kesenangan, baik kesenangan batin maupun lahir?
Di dalam urusan yang kita namakan "cinta"
Itu, selalu kita arahkan atau maksudkan kepada hubungan Sex (kelamin)! Seolah-olah dalam persoalan cinta kasih antara pria dan wanita, hanya sex itulah isinya semata-mata! benarkah ini? Ada pula yang mengatakan bahwa cinta kasih adalah pengorbanan, atau kewajiban, dan lain-lain sebutan lagi. Ada pula yang menganggap bahwa tanpa cemburu, tidak ada cinta kasih! Banyaklah anggapan-anggapan kacau-kacau dikemukanan dan semua anggapan itu hanya mempunyai satu dasar, yaitu untuk membela kepentingan si aku yang mengejar kesenangan! Mengapa kita tidak berani membuka mata melihat segala kepalsuan kita sendiri? Mengapa? Tanpa adanya kesadaran akan kepalsuan kita sendiri, betapa mungkin kita akan dapat mengalami perobahan?
Jelaslah bahwa nafsu birahi thok bukanlah cinta kasih, juga bahwa cemburu, kekecewaan, kebencian, dendam, kesengsaraan, permusuhan, semua ini tidak terkandung dalam cinta kasih dan bkan cinta kasih! Untuk dapat mengalami cinta kasih, semua penghalang berupa camburu, kebencian, kepentingan pribadi atau pengejaran kesenangan diri pribadi, semua ini haruslah lenyap sama sekali!
Hubungan Sex (kelamin) bukanlah sesuatu yang jahat, bukanlah sesuatu yag kotor! Sama sekali bukan. Bahkan merupakan sesuatu yang amat indah, sesuatu yang amat wajar, sesuatu yang amat suci apabila dilandasi oleh cinta kasih! Akan tetapi, apabila hubungan sex dijadikan pujaan, maka sesuatu yang murni itu akan berobah menjadi sesuatu yang amat kotor! Seperti halnya Progodigdoyo! Dia menjadi hamba dari nafsu berahi, didorong oleh nafsu berahinya, yaitu untuk mengulang-ulang lagi kesenangan dan kenikmatan yang dialaminya dari nafsu berahi ini, maka mulailah dia mengejar-ngejar dan dalam pengejaran kesenengan inilah terjadi kemaksiatan, terjadi CARA-CARA yang sesat dan kotor!
Di dalam cinta kasih yang murni tidak ada tidak ada unsur pendorong untuk kepentingan si aku, bahkan sama sekali tidak ada lagi si aku, tidak ada lagi pengejaran kesenangan untuk aku. Bukan berarti bahwa kita menolak kesenangan atau kenikmatan. Sungguh sama sekali tidak demikian. Bahkan siapa yang tidak lagi mengejar-ngejar kesenangan, dia penuh dengan kesenangan. Siapa yang tidak mengejar-ngejar kenikmatan, dia sudah penuh dengan kenikmatan!
Setelah tiba kembali di dalam kamarnya sendiri, Progodigdoyo disambut oleh isterinya, seorang wanita yang cukup cantik akan tetapi bagi Progodigdoyo si hamba nafsu, perempuan ini kelihatan membosankan. Dari isteri ini dia memperoleh dua orang anak, seorang laki-laki berusia dua belas tahun dan seorang perempuan berusia sembilan tahun. Akan tetapi adanya dua orang keturunan ini tidak mempererat hubungan batin antara Progodigdoyo dengan isterinya itu.
Isterinya sudah mendengar bahwa suainya mengambil seorang selir baru, yang bernama Lestari, akan tetapi dia tidak tahu bahwa Lestari adalah puteri mendiang Lembu Tirta,tidak tahu pula bahwa suaminya telah memperkosa bahkan menyebaabkan kematian janda Lembu Tirta, yaitu Galuhsari. Disangkanya bahwa Lestari, perawan berusia lima belas tahun ini, adalah seorang perawan dusun yang cantik. Maka sebagai isteri seorang bangsawan, isteri ini pun tidak berani membantah, bahkan ketika melihat suaminya datang, dia menyongsong dengan pertanyaan lembut.
"Sudah berhasilkah paduka mempersunting gadis itu, kakangmas?"
Berkerut alis Progodigdoyo, karena pertanyaan yang sejujurnya dan setulusnya ini diterimanya sebagai suatu ejekan!
"Diam, perempuan cerewet!"
Bentaknya dan dia menghempaskan dirinya di atas kursi.
Isteri terkejut lalu cemburu.
"Ditanya baik-baik malah marah,"
Gerutunya sambil pergi dari kamar menuju ke kamar anak-anaknya. Suaminnya akhir-akhir ini berobah sikapnya dan dalam keadaan seperti ini, ibu ini mencari hiburan pada anak-anaknya.
Di dalam hatinya Progodigdoyo malah girang melihat isterinya pergi meninggalkan seorang diri. Dia memutar otak, mencari akal. Dia memang tergila-gila kepada kecantikan Lestari yang mirip Galuhsari, akan tetapi setelah perawan itu memperlihatkan gejala penyakit gila, dan mengingat akan ancaman perawan itu, lenyaplah seleranya.
"Baik, aku tidak bisa menikmatinya untukku sendiri, akan tetapi aku harus dapat memanfaatkannya!"
Akhirnya dia mengepal tinjunya karena dia teringat kepada paman gurunya, Resi Mahapati!
Dia tahu bahwa paman gurunya itu, di samping ketamakan akan kedudukan dan kemuliaan, juga tak pernah melewatkan kesempatan untuk mendapatkan perawan-perawan muda dan cantik. Dan dengan kepandaiannya, tentu paman gurunya itu akan dapat "menjinakkan"
Lestari, pikirnya. Di samping dia dapat menyenangkan hati paman gurunya yang diharapkan untuk dapat menyokong dan mendukungnya agar dia dapat diangkat menjadi adipati di Tuban, menggantikan Ronggo Lawe, juga kalau dia teringat akan lenyaplah putera Lembu Tirta atau adik Lestari, di amenjadi agak khawatir, Oleh karena itu, kalau Lestari dia berikan kepada Mahapati untuk menjadi selirnya, kelak adik lestari kalau sampai menimbulkan keributan, tentu akan berhadapan dengan paman gurunya itu. Setelah memperoleh akal ini, lapanglah dada Progodigdoyo dan bergegas dia utusan seorang kepercayaan untuk menyampaikan undangan kepada Resi Mahapati ke Tuban dengan pesan Khusus bahwa dia mempunyai hidangan istimewa untuk paman gurunya itu.
Dua pekan kemudian, datanaglah Resi Mahapati berkunjung ke Tuban. Sebagai paman guru Progodigdoyo, tentu saja kunjungan ini tidak menimbulkan kedurigaan kepada aryo Wirorojo yang masih dalam keadaan berkabung sungguhpun puteranya, Ronggo Lawe, telah gugur hampir empat bulan lalu. Tidak ada pula yang menduga yang bukan-bukan di dalam istana Progodigdoyo, padahal malam itu terjadi hal yang akan membikin marah hati setiap orang yang masih percaya akan kebenaan dan kebajikan hidup.
Tepat seperti yang dibayangkan oleh Progodigdoyo, begitu melihat Lestari, Resi Mahapati menjadi tergila-gila dan dia merasa girang sekali atas "budi kecintaan"
Murid keponakannya yang telah memberinya "hadiah hidangan"
Sehebat itu! Lestari sendiri ketika dihadapkan dengan kakek bandot ini, merasa takut sekali, akan tetapi segera perawan ini menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika dia terpengaruh oleh sihir ilmu hitam yang diterapkan oleh sang resi! Dan pada malan hari itu, Lestari dalam keadaan seperti orang hilang ingatan, menyerahkan segala-galanya kepada sang resi! Terjadilah malam yang penuh kemaksiatan dan kekejian di dalam kamar itu dan pada keesokan harinya, barulah Lestari menangis sejadi-jadinya. Namun semua telah terlambat.
Resi Mahapati merangkul dan menghiburnya.
"Bocah ayu, mengapa menangis? Engkau akan menjadi selirku yang terkasih, engkau akan menjadi puteri terhormat dan hidup mulia di Mojopahit, engkau kelak akan mejadi selir terkasih dari orang yang berkedudukan paling tinggi di Mojopahit. Bergembiralah atas nasibmu yang baik karena engkau berkenan menggembirakan hati Resi Mahapati."
Tentu saja hiburan ini tidak ada artinya bagi Lestari dan dia tentu sudah membunuh diri kalau saja Resi Mahapati tidak membuatnya tidak berdaya di bawah pengaruh sihir dan ilmu hitamnya sehingga Lestari menjadi seperti seekor domba yang menurut saja digiring ke pejagalan! Bahkan dia tidak membantah lagi ketika tiga hari kemudian dia dibiyong ke Mojopahit oleh sang resi sebagai selir barunya yang tercinta!
Demikianlah, mulailah kehidupan baru bagi Lestari dan peristiwa yang menghancurkan hatinya ini bahkan membuatnya menjadi matang! Setelah beberapa bulan kemudian, Resi Mahapati tidak perlu lagi menggnakan ilmu hitamnya karena kini Lestari bukan lagi Lestari beberapa bulan yang lalu! Wanita muda ini sekarang malah kelihatan girang, setiap hari bersolek dan kini dialah yang menyihir Resi Mahapati dengan segala kecantikannya dan kemudaannya! Lestari telah mengorbankan seluruh perasaan hatinya, dan kini dia melihat terbukanya kesempatan baginya untuk membalas kepada semua orang yang telah menghancurkan keluarganya, melalui Mahapati! Oleh karena itu, lebih dulu dia harus menundukkan kakek ini dan biar pun dia tadinya hanya seorang perawan hijau dan bodoh, namun berkat anugerah alam yang dimilikinya berupa wajah cantik jelita dan tubuh muda, denok montok menggairahkan tidaklah terlalu sukar baginya untuk membuat Resi Mahapati yang sakti mandaraguna itu bertekuk lutut kepadanya.
Memang banyak peristiwa mengerikan dan menyedihkan terjadi di dunia ini. Semua itu ditimbulkan oleh ulah tingkah manusia yang selalu menuruti hawa nafsu pementingan diri sendiri, pengejaran kesenangan yang sesungguhnya hampa. Dunia berputar terus dan peristiwa demi peristiwa terjadilah!
Aryo Wirorojo atau Aryo Adikoro, lebih terkenal dengan sebutan banyak Wide, bekas Bupati Sumenep yang telah banyak berjasa terhadap Kerajaan Mojopahit, semenjak jaman Sang Prabu Kertanegara dia telah menjadi pengawal terpercaya bahkan dianggap murid oleh Sang Prabu Kertanegara, sampai ketika Raden Wijaya memperjuangkan raja bergelar Kertarajasa Jayawardhana, di waktu mana Aryo Wirorojo juga memiliki jasa yang amat besar sekali. Karena jasa-jasanya yang amat besar itulah, maka di waktu Raden Wijaya menjadi raja, beliau pernah berjanji bahwa kelak dia akan memberikan sebagian dari bumi Mojopahit kepada Aryo Wirorojo.
Setelah puteranya gugur dalam peristiwa pemberontakan atau lebih tepat dalam peristiwa pertikaian puteranya dengan Patih Nambi, Aryo Wirorojo menjadi kendur semangatnya. Maka pada suatu hari, menghadaplah Aryo Adikoro atau Aryo Wirorojo ini ke hadapan Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana dan mengingatkan sang prabu akan janjinya itu.
Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana menerima peringatan ini dengan hati iklas. Semenjak gugurnya Ronggo Lawe, hati sang prabu, selalu merasa menyesal dan berduka. Apalagi kalau dia teringat akan jasa Aryo Wirorojo dan ronggo Lawe sendiri, dan mengingat pula betapa dalam peristiwa itu, biar pun puteranya sampai gugur, Aryo Wirorojo tidak pernah memperlihatkan sikap melawan Mojopahit atau membela puteranya. Bahkan Lembu Sora, senopati yang menjadi adik Aryo Wirorojo, juga membela Mojopahit dan menentang keponakannya sendiri. Kini, mendengar peringatan Aryo Wirorojo, sang prabu menerimanya dengan hati terbuka dan segera dikumpulkannya semua pembantu dan penasihatnya dan beliau segera mengumumkan pembagian bumi Mojopahit! Wilayah Kerajaan Mojopahit sebelah timur, terus ke selatan sampai ke Laut Kidul, diserahkan kepada Aryo Wirorojo atau Aryo Adikoro atau Banyak Wide!
Maka berangkatlah Aryo Wirorojo membawa semua keluarganya, termasuk cucunya, Kuda Anjampiani atau juga disebut Raden Turonggo, ke Lumajang yangdijadikan kota raja dan di mana dia berdiri sendiri sebagai seorang adipati atau seorang raja muda yang merdeka. Dia tidak lagi menjadi kawula Mojopahit dan tidak lagi diharuskan menghadap Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana! Betapa pun juga Aryo Wirorojo selalu bersikap baik dan hormat kepada Mojopahit sehingga selama dia menjadi Adipati Lumajang, tidak pernah terjadi keributan antara dia pribdi dan raja di Mojopahit.
Peristiwa pembagian tanah di Mojopahit ini merupakan penghindaran malapetaka karena andaikata Sang Prabu Mojopahit tidak bijaksana, mka bahaya peberontakan kiranya tak dapat dihindarkan lagi! Maka setelah aryo Wirorojo memboyong keluarganya ke Lumajang dan menjadi Adipati Lumajang, kelihatan keadaan Kerajaan Mojopahit menjadi tentram dan penuh damai, seolah-olah tidak pernah terjadi pemberontakan Tuban dan tidak akan terjadi sesuatu untuk selamanya.
Akan tetapi, ketentraman itu hanyalah kelihatannya saja. Tanpa ada yang mengetahuinya, awan gelap sedang berkumpul mengancam kecerahan udara di atas Kerajaan Mojopahit! Awan tebal ini muncul dari dalam gedung tempat kediaman Resi Mahapati! Sebagai seorang di antara kepala-kepala agama, yaitu agama pemuja Dewa Syiwa, seperti kepala-kepala agama cabang lain, Resi Mahapati telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi. Akan tetapi cabang agama pemuja Dewa Syiwa ini bukan merupakan rolongan yang terbesar dan kuat, maka Resi Mahapati tidaklah puas dengan keduduka yang dipeolehnya. Diam-diam dia menanam cita-cita yang amat besar, yaitu untuk memperoleh kedudukan tertinggi di bawah kekuasaan sang prabu, mengatasi para ponggawa yang lain. Akan tetapi, dia melihat betapa kuatnya kedudukan para senopati di Mojopahit, dan betapa sulitnya mencapai cita-citanya kalau masih ada para tokoh Mojopahit yang setia dan tentu akan menghalangi semua cita-citanya itu.
Oleh karena itulah, maka di dalam peristiwa pemberontakan Ronggo Lawe, Resi Mahapati memegang peranan penting dan dia telah mempergunakan akalnya yang licik, tipu muslihat mengadu domba dengan cara yang curang, yaitu mempergunakan Maruto yang menjadi orang kepercayaannya. Seperti telah diceritakan di bagaian depan, Maruto ini membakar hati Ronggo Lawe, kemudian melaporkan kepada sang prau menyamar sebagai seorag perajurit penjaga tapal batas. Kemudian, karena tahu bahwa Maruto bukan seorang yang boleh dipercaya sepenuhnya, agar rahasiannya itu tidak ampai ada yang tahu, dengan kejamnya dia membunuh Maruto, pembantunya ini.
Sekarang, dengan mempergunakan kedudukannya dan terutama ilmu kepandaian yang tinggi, Resi Mahapati berhasil menghimpun banyak pembantu yang memiliki kepandaian tinggi. Mereka ini siap melakukan segala macam perintahnya dan Resi Mahapati dengan gerombolannya ini merupakan kekuatan rahasia yang bersembunyi di dalam kerajaan Mojopahit.
Di antara para pembantunya, murid keponakannya sendiri, Progodigdoyo merupakan orang yang paling dipercayakannya. Juga dalam rangka pelaksanaan cita-citanya itulah Resi Mahapati berjuang dan akhirnya berhasil mendukung murid keponakannya itu sehingga dapat diangkat menjadi Bupati Tuban!
Pada suatu malam, tanpa diketahui oleh siapapun juga, di dalam sebuah hutan di tepi Sungai Tambakberas, didalam rumah besar yang tampaknya hanya rumah seorang petani biasa, terjadilah pertemuan-pertemuan yang kalau ketahuan orang lain tentu akan menimbulkan keheranan karena yang hadir di situ adalah orang-orang penting dari Mojopahit!
Di antara para pembantunya, murid keponakannya sendiri, Progodigdoyo merupakan orang yang paling dipercayanya. Juga dalam rangka pelaksanaan cita-citanya itulah Resi Mahapati berjuang dan akhirnya berhasil mendukung murid keponakannya itu sehingga dapat diangkat menjadi Bupati Tuban!
Pada suatu malam, tanpa diketahui oleh siapa pun juga, di dalam sebuah hutan di tepi Sungai Tambakberas, di dalam rumah besar yang tampaknya hanya rumah seorang petani biasa, terjadilah pertemuan-pertemuan yang kalau ketahuan orang lain tentu akan menimbulkan keheranan karena yang hadir di situ adalah orang-orang penting dari Mojopahit! Yang memimpin pertemuan itu adalah Resi Mahapati sendiri, dibantu oleh Bupati Tuban, Progodigdoyo dan tampaklah Senopati Mojopahit yang bernama Singosardulo yang juga sudah terjaring oleh pengaruh Resi Mahapati, lalu nampak pula bebrapa orang tumenggung yang juga sudah menjadi anak buah resi. Tidak ketinggalan Klabang Curing, tangan kanan Progodigdoyo hadir pula beserta beberapa orang yang kelihatan serem-serem dan jelas memiliki kepandaian yang tinggi.
"Tidak ada jalan lain, Si Sora harus dilenyapkan dari Mojopahit, kalau tidak, dia merupakan orang yang berbahaya."
"Akan tetapi, kedudukannya amat kuat, paman Resi!"
Tumenggung Singosardulo membantah.
"Dia merupakan seorang tokoh lama, seorang demang yang terkasih oleh sang prabu. Mana mungkin main-main dengan dia?"
"Ha-ha-ha!"
Resi Mahapati tertawa sambil mengelus jenggotnya yang masih hitam.
"Engkau tidak tahu, Tumenggung Singosardulo. Nyawa dia berada di dalam genggaman tanganku! Betul tidak, Progodigdoyo?"
Bupati Tuban itu tertawa gembira dan mengangguk-angguk.
"Kakang Tumenggung Singosardulo harap jangan ragu-ragu, percayalah kepada paman resi!"
"Akan tetapi""
Singosardulo masih penasaran karena hatinya memang miris kalau harus ikut-ikut menggangu Lembu Sora yang selain berkedudukan tinggi, juga merupakan seorang tokoh yang disegani karena wataknya yang jujur dan keras, dan juga terutama sekali karena kedigdayaanya.
"Reksosuro! Darumuko!"
"Hamba siap, sang resi!"
Dua orang itu sudah cepat maju dan memberi hormat dengan sikap gagah.
"Reksosuro, engkau berhadapan dengan orang-orang sendiri, sekarang ceritakanlah apa yang kalian saksikan di Sungai Tambakberas ketika terjadi pertandingan antara Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang."
Dengan bangga Reksosuro lalu bercerita.
"Ketika itu, hanya hamba berdua tadi Darumuko saja yang masih memperhatikan mereka berdua tenggelam. Semua prajurit sudah bertempur kembali karena mengira mereka keduanya tewas dan tenggelam. Akan tetapi hamba berdua yang ketika itu aling bertaruh untuk kemenangan seorang di antara mereka, mengenal siapa adanya Senopati Kebo Anabrang yang terkenal ahli didalam air dan kabarnya kuat menyelam di dalam air sampai setengah jam lamanya. Benar saja, mereka muncul dan Adipati Rnggo Lawe berada dalam keadaan lemas karena kehabisan napas dan kepalanya dibentur-benturkan batu kali sampai pecah!"
Reksosuro menceritakan peristiwa itu dengan menggerak-gerakkan tagannya sehingga semua orang tertarik karena memang pertandingan antara dua orang senopati yang gagah perkasa itu selalu menjadi buah percakapan orang dengan kagum.
"Kemudian hamba berdua terkejut dan cepat bersembunyi ketika hamba melihat ada orang berloncatan di atas batu-batu kali sambil membawa sebatang keris terhunus. Orang itu dengan sigapnya meloncat ke belakang Senopati Kebo Anabrang. Kemudian menusukkan kerisnya ke belikat senopati itu sampai tembus dada. Hamba melihat sendiri, melihat betapa darah muncrat-muncrat dan Senopati Kebo Anabrang menoleh, terbelalak lalu terkulai di atas batu, lengannya masih memiting leher Ronggo Lawe yang juga sudah tewas! Mengerikan sekali!"
(Lanjut ke Jilid 06)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
"Siapa orang itu? Siapa yang membunuh Kebo Anabrang dari belakang?"
Singosardulo membentak dengan penasaran dan terkejut bukan main.
"Bukan lain adalah Gusti Demang Lembu Suro"."
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo