Kemelut Di Majapahit 6
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Ahhhh"!!"
Singosardulu melompat dan kelihatan tidak percaya.
"Duduklah, Tumenggung singosardulo""
Resi Mahapati menenangkannya dengan gerakan tangan.
"Sudah jelas, mengapa engkau tidak percaya? Dan sebabnya mudah sekali diduga. Lembu Sora menyaksikan betapa Ronggo Lawe dianiaya, disiksa oleh Kebo Anabrang, maka dia menjadi tidak tega, mata gelap karena amarahnya lalu membunuh Kebo Anabrang. Apakah anehnya itu?"
"sekarang aneh"
Dan hebat""
Singo sardulo masih penasaran dan belum hilang kagetnya. Berita ini baru saja didengarnya dan memang mengejutkan.
"Sekarang sudah tiba waktunya membuka rahasia ini.
"kata Resi Mahapati."
Maka kita harus membagi-bagi tugas, Tumenggung singosardulo, andika merupakan seorang yang dekat dengan Lembu Sora. Untuk menghilangkan keraguanmu, maka sebaiknya ansika menemui Lembu Sora, mengajaknya bercakap-cakap kemudian coba kemukakan berita yang andika dengar tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri Kebop Anabrang. Lihat saja bagaimana reaksinya! Kalau sudah yakin hatimu, nah, sebarkan berita itu secara berbisik-bisik di anatara para ponggawa kerajaan."
Singosardulo mengangguk-angguk, merasa setuju karena dia tadinya khawatir kalau dia disuruh menyebarluaskan berita yang belum tentu benar itu. Kalau berita itu palsu dan dia menyebarkannya, berarti fitnah dan melakukan fitnah atas Demang Lembu Sora bukan main-main ! Akan tetapi kalau dia boleh menjajangi dulu, bertanya lagsung, dia percaya bahwa seorang gagah perkasa seperti Lembu Sora tidak akan mengingkari perbuatannya.
"Selain itu ada satu hal lagi uang amat penting.
"kata Resi Mahapati kemudian."
Pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe belum juga dapat ditemukan. Sungguh aneh sekali mengapa mayat Sri Winarti itu lenyap begitu saja. Ini gara-gara dua monyet ini yang tidak becus menangkap Reksosuro dan Darumuko.
"Maafkan hamba berdua, bagaimana hamba berdua dapat berdaya setelah bertemu dengan Setan jembros? "
Bantah Darumuko dengan muka membayangkan kengerian.
"Setan"
Eh, maksudmu Ki Jembros?"
Tanya seorang tumenggung lain yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Nama Ki Jembros sudah terkenal maka mendengar nama manusia yang sakti dan aneh seperti setan itu disebut-sebut, dia terkejut. Hanya Progodigdoyo yang sudah diceritakan oleh paman gurunya yang tidak merasa heran. Juga Tumenggung Singosardulo memandang dengan mata terbelalak.
"Benar, gusti tumenggung,"
Kata Reksosuro yang suka sekali menceritakan hal-hal yang menarik.
"Ki Jembros sendiri yang menolong bocah itu dan hamba berdua dibuat main-main, hampir dibunuh!"
Dia bergidik kemudian menceritakan pengalaman mereka.
Tumenggung singosardulo dan para pembantu Mahapati yang lain, yang belum mendengar tentang peristiwa itu, mendengarkan dengan mata terbelalak penuh kengerian.
"Akan tetapi kita tidak perlu takut menghadapi Ki Jembros.
"kata Mahapati membesarkan hati para pembatunya."
Apalagi karena ternyata dia hanya mempermainkan Reksosuro dan Darumuko, buktinya dia tidak membunuh mereka ini. Aku sendiri ingin sekali waktu bertemu dan melihat sampai di mana kesaktiannya, apalagi aku akan mengundang kakak seperguruanku, yaitu Empu Tanjungpetak yang bertapa di pantai Laut Jawa. Dengan adanya kakak seperguruanku itu, biar ada lima orang Ki Jembos, aku tidak takut! Pula, dalam pelaksanaan tugas-tugas kita yang berat, kita haraus memperoleh bantuan banyak orang pandai. Betapapun juga, Kolonadah harus dapat kumiliki. Menurut penyelidikanku, pusaka Kolonadah itu diciptakan oleh Empu Supamandrangi khusus untuk seorang raja! Siapa yang memiliki Kolonadah akan kuat menjadi raja!"
"Akan tetapi, paman Resi Mahapati. Kalau memang pusaka Kolonadah sebuah pusaka untuk seorang raja, mengapa Ronggo Lawe yang baru berpangkat adipati saja sudah tewas?"
Bantah Tumenggung Singosardulo.
"Ha-ha, betapapun ampuh dan saktinya sebuah pusaka, namun yang menentukan adalah sepak terjang si manusia sendiri. Aku percaya, dengan Kolonadah di tangannya, tentu akhirnya Ronggo Lawe akan terus menaik kedudukannya, tidak hanya menjadi Adipati Tuban. Akan tetapi dia murka, dia hendak menentang sri baginda secara berterang, maka sebelum keampuhan pusaka itu mengangkatnya, dia telah tersandung oleh kelakukan sendiri. Pendeknya, aku percaya akan kesaktian Empu Supamandrangi dalam menciptakan keris pusaka itu dan aku takkan menghantikan usahaku mencari Kolonadah sampai dapat. Eh, Progodigdoyo! Karena lenyapnya Sri Winarti dan pusaka Kolonadah terjadi di Sungai Tambakberas yang menjadi daerahmu, maka aku menyerahkan tugas menemukan kembali Kolonadah ini kepadamu. Sebarlah orang-orangmu untuk menyelidiki dan mencari pusaka itu sampai dapat."
"Baik, paman resi. Akan saya usahakan sampai berhasil."
Jawab Progodigdoyo.
Setelah mengadakan percakapan semalam suntuk, membagi-bagi tugas, dan mengatur rencana "Perjuangan"
Mereka, menjelang pagi Resi Mahapati kembali ke Mojopahit, diiringi oleh beberapa orang pengawalnya. Setelah tiba di gedungnya, dia membubarkan pengawal-pengawal itu dan langsung memasuki kamarnya.
Lestari yang berdandan rapi menyambutnya dengan senyum yang cerah, secerah matahari pagi itu. Biar pun wanita muda ini telah beberapa bulan menjadi selirnya yang tidak pernah terpisah lagi setiap hari, namun untuk ke sekian kalinya Resi Mahapati terpesona oleh kecantikan dan kemudaan wanita ini, oleh sinar mata yang agaknya penuh dengan cinta dan kemesraan terhadapnya itu. Langsung saja dirangkulnya Lestari dan dikecup pipinya.
"Aduh diajeng"
Sungguh makin cantik saja engkau!"
Lestari tersenyum manis dan dengan sikap manja melepaskan diri dari pelukan, lalu dengan lenggat-lenggut seperti anak manja dia menjauhkan diri dari Resi Mahapati yang duduk di atas pembaringan yang harum itu.
"Ke sinilah manis, cah ayu, cah denok"
Aku rindu padamu, Lestari. Aih, berpisah satu malam saja denganmu rasanya seperti berpisah satu tahun ! Kesinilah, Lestari, aku cinta padamu""
Resi yang usianya sudah setengah abad itu ternyata masih pandai merayu. Tentu saja dia tidak mau menggunakan sihir sekarang, karena wanita yang ditundukkan dan menyerahkan diri kepadanya di bawah kekuatan sihirnya tidak wajar dan tidak memuaskan hatinya. Berbeda kalau wanita itu menyerahkan diri dengan suka rela, seperti yang dilakukan oleh Lestari selama ini. Penyerahan diri wanita muda belia ini secara suka rela tanpa pengaruh sihir lagi, membuat sang resi menjadi bangga, karena hal itu dianggapnya bahwa biar pun usianya sudah tua namun dia masih cukup "jantan"
Untuk menundukkan wanita dan meraih cinta kasihnya.
Dengan lenggang-lenggok yang dapat mencabut sukma pria, Lestari enggan mendekat, malah cemberut dan melerok, akan tetapi sikap ini malah menambah kemanisan wajahnya dalam pandang mata Mahapati yang benar-benar di luar kesadarannya telah terpesona di bawah kekuatan "sihir"
Kecantikan wajah, kemanjaan sikap, dan kepadatan tubuh muda itu.
"Ahh, siapa percaya rayuan pria? Di mulut menyatakan cinta, akan tetapi hatinya mengenangkan wanita lain yang semalam menemaninya tidur!"
Kata Lestari manja, sikapnya seperti seorang wanita yang kecewa karena pria yang dicintanya tidak setia kepadanya.
"Wah-wah"
Bagaimana kau bisa bilang begitu, diajeng Lestari? Ah, bagaimana sih kau ini? Dicinta orang, dirindukan setengah mati, sampai semalam suntuk badanku kesemutan semua karena rindunya akan sentuhanmu, eh, kau malah menyangka yang bukan-bukan."
"Ahhhh, kakangmas resi tidak perlu membohong kepadaku. Ke mana saja perginya seorang pria sampai meninggalkan kekasihnya semalam suntuk kalau tidak menemui wanita lain yang menjadi kekasih barunya? Paduka semalam bersenang-senang, tidur hangat dan nikmat, akan tetapi aku kedinginan dan kesepian, hanya bantal guling menyaksikan tangisku""
Sepasang mata yang indah itu mulai menjadi merah, tanda bahwa air matanya sudah hampir keluar.
"Diajeng"
Lestari kekasihku, pujaan hatiku, aku bersumpah tidak mempunyai kekasih lain kecuali engkau, manis. Aku bersumpah demi Hyang Bathara Syiwa, biar aku dikutuk kalau aku membohongimu."
Mahapati berkata dan dia sudah turun dari pembaringan, menghampiri Lestari dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang.
"Ah, kakangmas, siapa yang tidak tau bahwa sumpah seorang pria di depan wanita adalah seperti halilintar tanpa hujan."
"Eh, apa maksudmu, nimas?"
"Hanya keras suaranya, mengesankan, akan tetapi tidak ada ada buktinya."
"Wah-wah apakah kau tidak percaya kepadaku? Marilah, nimas, jangan mengodaku, aku benar-benar sudah rindu setengah mati."
Resi Mahapati menarik selirnya terkasih itu ke arah pembaringan.
Lestari tidak menolak, akan tetapi ketika dia sudah duduk di atas pembaringan dan sang resi hendak memeluknya, dia menggeser pinggulnya menjauhi lagi. Sikapnya seperti jinak-jinak merpati sehingga menambah gairah di hati sang resi yang seolah-olah mulai dibakar oleh nafsu berahinya.
"Lestari""
Suaranya gemetar penuh getaran nafsu.
Lestari menggoyang-goyang pundak dan kepala dengan manja.
"Aku masih belum percaya, kakangmas resi. Kau tentu main gila dengan perempuan lain semalam, maka engkau tidak pulang!"
"Ah, sungguh sumpah tujuh turunan! Aku pergi untuk urusan yang amat penting, nimas, sama sekali tidak bertemu dengan seorang pun perempuan."
"Mana aku bisa percaya? Paduka harus menceritakan dulu kepada saya tentang apa yang paduka lakukan semalam, baru saya percaya""
Mahapati menarik napas panjang, merasa bahwa dia sama sekali tidak berdaya menghadapi selirnya ini.
"
Baiklah, baiklah, sayang. Aku pergi ke Tuban""
"Oh, ke Tuban? Kenapa saya tidak diajak, kakangmas resi?"
"Ah, ada urusan penting, urusan negara, mana bisa mengajak wanita?"
Lestari merajuk lagi.
"Ceritakan kakangmas. Urusan apa yang demikian pentingnya itu. Ceritakan semua agar hati saya puas dan lega."
"Tak usah kuceritakan sejelasnya. Aku bertemu dengan Progodigdoyo, dengan teman-teman lain untuk membicarakan urusan negara, urusan kaum pria. Kuceritakan engkau tidak akan mengerti."
Lestari cemberut.
"Pasti urusan perempuan! Kalau tidak mengapa paduka enggan menceritakan?"
Mahapati hendak mencium bibir yang cemberut penuh masu itu, akan tetapi Lestari sengaja membuang muka sehingga hanya pipinya saja yang kena dicium.
"Eh, kau tidak suka dicium, Lestari?"
"Paduka tahu bahwa saya suka sekali, akan tetapi paduka menyimpan rahasia terhadap saya. Bukankah sudah sering kali saya katakan bahwa saya adalah milik paduka, bahwa saya menyerahkan jiwa raga saya kepada paduka? Kita dua badan satu hati, mengapa paduka menyimpan rahasia? Paduka hanya menyerahkan kepala akan tetapi masih memegangi ekornya, tidak sama sekali menaruh kepercayaan kepada saya."
Mahapati kehabisan akal, lalu dirangkulnya wanita itu.
"eh, ini rahasia, cah ayu. Rahasia, cah ayu. Rahasia besar!"
"Apakah kakangmas resi tidak percaya kepada saya? Saya yang sudah menyerahkan segala-galanya? Sungguh kejam""
Dan kini Lestari membiarkan air matanya menetes-netes menuruni kedua pipinya.
"Eh-eh", jangan menangis, sayang."
Mahapati memeluk dengan penuh iba.
"Baiklah kuceritakan. Akan tetapi"
Hemm, apa upahnya?"
Lestari menoleh, memandang, matanya masih basah akan tetapi mulutnya tersenyum dan dia lalu mengambung pipi yang ada cambangnya melintang itu.
"Upahnya cium""
Bisiknya manja.
"Hanya itu?"
"Selanjutnya terserah, apa pun yang paduka minta akan saya penuhi""
Ucapan ini disertai senyum dan kerling mata penuh janji.
"Ah, kekasihku, bagaimana aku dapat membohongimu? Kau begini cerdik""
Mahapati lalu merangkul dan menarik tubuh kekasihnya itu untuk rebah di atas pembaringan. Sambil merangkul leher Lestari dan rebah miring saling berhadapan, dia berbisik.
"Karena rahasia, kita harus hati-hati. Nah, dengarlah""
Sambil bebisik-bisik, tanganya sibuk menggerayangi dan membelai tubuh kekasihnya, kadang-kadang menciumi mulut, hidung, mata dan pipi yang sedemikian dekatnya, dengan suara tersendat-sendat didesak nafsu birahi yang makin memuncak, Sang Resi Mahapati lalu menceritakan semua peristiwa dan semua rencana yang di bicarakan di dalam pertemuan semalam kepada Lestari!
Tidak ada satu pun yang dirahasiakan terhadap wanita ini, karena dalam keadaan didesak nafsu yang menuntut pelepasan itu dia ingin cepat-cepat menyelesaikan ceritanya dan menuntut hadiahnya. Sampai lama mereka saling bisik-bisik dan terbukalah semua rahasia yang kalau terdengar orang lain amat berbahaya itu, semua dituturkan tanpa ragu-ragu lagi kepada Lestari yang mencatat hal-hal yang penting di dalam hatinya. Matahari telah naik tinggi ketika kamar itu menjadi sunyi untuk beberapa lamanya, kemudian terdengar suara mendengkur dari Resi Mahapati yang rebah pulas dalam keadaan lelah dan puas, dengan dahi masih berkeringat.
Perlahan-lahan Lestari turun dari pembaringan, menghapus keringatnya dari dahi dan leher dengan ujung tapih (kain), digosoknya muka dan lehernya kuat-kuat seperti orang hendak membersihkan kotoran, lalu mengerling ke arah Resi Mahapati yang tidur mendengkur itu dengan sinar mata penuh kebencian. Tentu resi itu akan terkejut sekali kalau dapat melihat sinar mata ini, yang bagaikan bumi dan langit bedanya dari pada sinar mata wanita itu ketika melayani cumbuannya.
Tak lama kemudian, setelah mandi dan bertukar pakaian, Lestari sudah duduk kembali di dalam kamar itu, wajahnya segar kemerahan, akan tetapi pandang matanya kepada tubuh yang masih rebah terlentang di atas pembaringan itu masih penuh kebencian dan kemukaan yang ditahan-tahan, lalu dia duduk di atas kursi, termenung. Kadang-kadang dia mengepal tinju, kadang-kadang mengerutkan alisnya yang berbentuk indah seperti dilukis, kadang-kadang dia tersenyum seorang diri, senyum yang membayangkan kemenangan.
"Bagus" "bisik hatinya.
"Ayahku, ibuku, adikku, mengalami penasaran, tewas oleh si jahanam Progodigdoyo perwira Mojopahit di Tuban, dan tidak ada seorang pun pejabat dan penguasa Mojopahit yang peduli! Sekaranglah tiba saatnya aku membalas dendam, aku tumpas habis semua penguasa Mojopahit, akan kudatangkan kemelut di Mojopahit sebagai balas dendam hancurnya keluargaku, melalui si tua bangka Mahapati! Setelah itu, akan kuhancurkan si Progodigdoyo, baru kemudian si Mahapati! Hidik, ya, begitulah, dan usahaku pasti berhasil baik! Ayah"
Ibu"
Adik Sutejo"
Tenang-tenanglah kalian di alam baka"
Jangan mengira Lestari akan diam saja! Tidak percuma aku mengorbankan tubuhku dan perasaanku, menerima perghinaan dan pemerkosaan dengan memaksa senyum di bibir! Kelak akulah yang akan tertawa dan kalian, menusia jahanam di Mojopahit, kalian yang akan menangis!"
Lalu terdengar isak tangis wanita muda itu. Akan tetapi hanya sebentar saja dia menangis karena begitu dia mendengar Sang Resi Mahapati menggeliat di atas pembaringan, dia lalu menghampiri dan mengambung pipi sang resi dengan hidungnya yang mancung, bibirnya tersenyum menyeringai dan mata yang basah itu berkilat-kilat.
Lembu Sora mengelus jenggotnya yang seperti jenggot Sang harya Werkudara itu, kemudian dia tenang kembali seperti memang telah menjadi sifatnya, lalu dengan suara halus, dia berkata.
"Dimas tumenggung, coba kau ulangi kembali desas-desus yang kau dengar itu."
Dengan lebih hati-hati tumenggung itu menjawab.
"Desas-desus terbawa angin yang saya dengar itu adalah bahwa kematian Kebo Anabrang bukanlah karena smpayuh (mati bersama) dengan Ronggo Lawe, melainkan ada yang membunuhnya, ada yang menusukkan kerisnya dari belakang pada saat Kebo Anabrang membentur-benturkan kepala Ronggo Lawe yang sudah kepayahan itu di tengah Sungai Tambakberas."
"Hemmm..., dan sudah jelas siapa yang membunuh Kebo Anabrang dengan tusukan keris itu?"
Kini lembu Sora menatap tajam sehingga sang tumenggung menunduk, tidak kuat menahan sinar mata tajam penuh selidik itu.
Singosardulo mengangguk.
"Manurut bunyi desas-desus itu, andaikanlah kakangmas Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang."
"hemmm..."
Lembu Sora sama sekali tidak kelihatan kaget.
"Karena khawatir akan desas-desus berbahaya itu, maka saya lalu cepat-cepat menjumpai andika untuk bertanya, kakangmas demang. Kalau berita itu hanya fitnah belaka, maka andika harus bertindak untuk memberantasnya. Kalau sampai berita ini terdengar oleh sang prabu, tentu tidak akan baik jadinya!"
Dia berhenti sebentar, lalu bertanya hati-hati.
"Sungguh pun saya sendiri tidak percaya akan isi desas-desus itu, akan tetapi belum lega hati saya kalau tidak mendengar sendiri jawaban andika, kakangmas demang. Benarkah desas-desus itu bahwa andika membunuh Kebo Anabrang?"
Kini singodardulo yang memandang penuh selidik karena untuk itulah sesungguhnya dia datang menghadap demang yang sakti ini.
"Sebelum aku menjawab, katalanlah apakah desas-desus itu menyatakan bahwa perbuatan Kebo Anabrang itu ada yang melihatnya?"
"Ada. Kabarnnya ada dua orang ponggawa yang ketika itu sedang berperang, yang melihat sendiri perbuatan itu. Kakangmas demang, jawablah bahwa berita itu bohong, bahwa andika tidak melakukan hal itu."
Lembu Sora menunduk dan menarik napas panjang, lalu berkata.
"aku tahu bahwa kenyataan tidak mungkin ditutup-tutupi. Seorang ksatria harus berani mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ya benar, adimas tumenggung. Akulah yang membunuh kebo Abarang!"
"Ahh...!"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tumenggung Singosardulo benar-benar terkejut sekali mendengar pengakuan yang tidak disangka-sangka ini dan dia memandang dengan mata terbelalak.
"akan tetapi mengapa...? Bukankah andika sendiri yang memimpin pasukan menghadapi barisan Tuban? Bukankah andika sendiri yang membela Mojopahit dan menentang Ronggo Lawe?"
"Benar, dan aku pun agaknya tidak akan mencampuri pertandingan antara mereka. Buktinya, sampai Ronggo Lawe kalah pun aku tidak membantunya. Hanya saja, aku melihat kecurangan yang dilakukan Kebo Anabrang dalam pertandingan itu. Dia sengaja memancing Ronggo Lawe ke tengah sungai Tambakberas dan mengandalkan kepandaiannya di dalam air, dia menyeret Ronggo Lawe ke dalam air dan menanamkannya, kemudian menyiksanya. Hatiku tidak kuat menyaksikan itu, maka kubunuh dia. Andaikata pertempuaran itu terjadi sewajarnya, di darat seperti seorang gagah menghadapi lawannya, biar pun bagaimana aku tidak nanti akan mencampurinya."
Tumengung singosardulo masih belum hilang kagetnya.
"Akan tetapi... desas-desus itu mulai terdengar ke mana-mana, bagaimana kalau terdengar oleh sang prabu...?"
Dengan tenang Lembu Sora menjawab.
"Aku sudah berani berbuat, tentu berani pula menangung segala akibatnya, dimas tumenggung. Hal itu sudah terjadi, dan apa pun yang akan menjadi akibat, akan kuhadapi sendiri."
Tumenggung Singosardulo lalu berpamit dan tergopoh-gopoh dia menghubungi Resi Mahapati untuk menyampaikan berita penting tentang pengakuan Lembu Sora itu. Resi Mahapati tertawa girang.
"Nah, kau tunggu apa lagi, Tumenggung Singosardulo? Sekarang engkau telah mendengar sendiri dari mulut Lembu Sora. Nah, sebarkanlah berita ini ke lingkungan istana. Ha-ha-ha, Lembu Sora nyawamu telah berada di tanganku, ha-ha!"
Akan tetapi, Tumenggung Singosardulo masih merasa segan terhadap Deman Lembu Sora, maka dia bertanya.
"Paman resi, untuk memperoleh kedudukan tinggi saya kira semestinya kalau kita menyingkirkan Patih Nambi, akan tetapi mengapa kakangmas Demang Lembu Sora?"
Tiba-tiba Resi Mahapati menghentikan ketawanya dan memandang bengis ke arah tumenggung itu.
"Singodardulo Engkau hanya tahu membantuku dan kelak akan kebagian kedudukan yang baik, mengapa banyak cerewet?"
Tumenggung itu terkejut. Dia memang takut kepada resi ini dan sudah berada di bawah pengaruhnya, maka cepat dia berkata.
"Harap maafkan, paman resi..."
Resi Mahapati tersenyum, lalau berkata, suaranya berubah halus.
"Kau percayakanlah saja kepadaku, Tumenggung Singosardulo. Bukan semata-mata aku memusuhi Lembu Sora tanpa sebab yang kuat. Sudah kuperhitungkan masak-masak. Kau tahu, andaikata kita berhasil menyingkirkan Patih Nambi, siapa yang menjadi calon terkuat untuk menggantikan kedudukan patih itu? Bukan lain si Lembu Sora itulah! Karena itu, dia harus disingkirkan lebih dulu karena kita mempunyai alasan kuat setelah dosanya itu berada di tangan kita. Untuk menyingkirkan nambi masih belum begitu mudah karena belum ada alasanya. Nah, sekarang berangkatlah dan sebarkan berita tentang pengakuan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang itu."
Setelah tumenggung itu pergi, Resi Mahapati kembali ke kamarnya di mana telah menunggu Lestari dan seperti biasa, kini resi itu menuturkan segala percakapannya dengan Tumenggung Singosardulo tanpa menyembunyikan sesuatu. Semenjak rayuan Lestari malam sekembalinya dari Tuban itu, Resi Mahapati mempercayai selirnya ini, bahkan dia mendapat kenyataan akan kecerdikan selirnya yang masih amat muda ini dalam mengatur siasat, maka dia tidak segan-segan untuk mendengarkan pendapat dan nasehat selirnya yang tercinta.
"Kakangmas resi,"
Kata Lestari setelah dia mendengarkan penuturan tentang pengakuan Lembu Sora itu.
"Saya mendengar bahwa Lembu Sora adalah seorang yang amat kuat kedudukannya, disayang oleh sang prabu dan mempunyai banyak pengikut. Oleh karena itu, paduka harus hati-hati, kakangmas dan sebaliknya jangan menentang secara berterang."
Resi Mahapati mendengarkan dengan kagum dan merangkul selirnya dengan hati bangga dan penuh kemesraan.
"Kalau menurut pendapatmu bagaimana baiknya, Lestari?"
"Sebaiknya kalau paduka bekerja ditempat gelap dan hanya dengan cara mengadu domba saja maka siasat paduka akan berhasil. Bukankah mendiang Kebo Anabrang mempunyai putera yang sudah dewasa?"
"Benar, namanya Joko Taruno,"
Jawab Mahapati.
"Nah, rahasia kematian Kebo Anabrang ini harus disampaikan kepada Joko Taruno itu agar bangkit dendamnya terhadap Lembu Sora."
"Akan tetapi, apakah yang dapat dilakukan oleh Joko Taruno itu agar bangkit dendamnya terhadap Lembu Sora."
"Setidaknya dia dapat menyalakan api permusuhan terhadap Lembu Sora, kakangmas resi. Dan sebaiknya kalau paduka membayangkan kepada sang prabu bahwa para ponggawa mereka tidak puas melihat betapa sang parbu bersikap baik terhadap Lembu Sora yang telah berkhianat dan membunuh Kebo Anabrang. Pendeknya, tentu paduka dapat mengorbankan kemarahan di hati sang prabu terhadap Lembu Sora. Di lain pihak, paduka dapat mengusik hati Lembu Sora dengan mengatakan bahwa putera Kebo Anabrang dibantu oleh Nambi akan membalas dendam. Pendeknya, dengan cara mengaduk sana-sini, tentu menimbulkan kekeruhan suasana itu, kiranya akan mudah saja untuk menyingkirkan Lembu Sora atau membuat Lembu Sora memberontak terhadap Mojopahit."
"Hebat..., hebat...!"
Resi Mahapati girang sekali dan mengelus rambut kepala yang hitam halus dan berbau harum itu.
"ah, agaknya Hyang Bathara Syiwa telah memberkahi aku dengan munculnya seorang seperti engkau dalam hidupku, Lestari. Engkau cantik jelita, cerdik pandai... ah, betapa bahagia hatiku."
"Saya hanya ingin melihat paduka memperoleh kedudukan yang tertinggi dan saya akan ikut merasakan kemuliaan paduka, kakangmas resi."
Hati sang resi makin menjadi girang dan dia segera mempersiapkan segala sesuatunya untuk menjalankan siasat yang direncanakan bersama selirnya itu. Dikumpulkannya para pembantunya yang setia dan dikirim banyak mata-mata untuk menyelidiki gerak-gerik orang-orang yang menjadi sasarannya, terutama sekali gerak-gerik Patih Nambi, Joko Taruno dan Lembu Sora.
Resi Mahapati tidak bertindak tergesa-gesa. Jaring itu mulai dipasangnya dengan teliti dan rapat, karena dia ingin agar sekali bertindak akan memperoleh hasil yang sebaiknya. Dia maklum bahwa dia sedang mainkan suatu pekerjaan yang amat berbahaya dan kegagalan berarti bunuh diri, maka dia memperhitungkannya masak-masak dan tidak mau bertindak secara sembrono, menanti saat dan kesempatan yang sebaik mungkin.
Sementara itu, secara halus pula, tidak kentara dan tidak menyolok sehingga tidak ada yang tahu atau menduga bahwa sumbernya dari dia, Tumenggung Singosardulo mulai menyebarkan berita tentang rahasia kematian Kebo Anabrang yang sesungguhnya tewas di tangan Lembu Sora. Hebat sekali desas-desus ini, seperti api dikipas angin, melanda seluruh istana, bahkan seluruh penduduk kota raja dalam waktu beberapa bulan saja sudah membicarakannya dengan bisik-bisik dan dengan penuh ketegangan, kemudian berita itu menjalar ke luar kota raja. Akan tetapi, tidak ada yang berani membicarakan desas-desus.
Lembu Sora sendiri yang tahu akan adanya desas-desus itu, hanya tenang dan dengan sikap gagah dan menanti akibat daripada perbuatannya itu. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan, tak lama kemudian, yaitu kurang lebih dua tahun setelah kematian Ronggo Lawe dan beberapa bulan setelah Aryo Wirorojo pindah ke Lumajang dan menjadi adipati di sana, Lembu Sora lalu mengungsikan keluarganya ke Lumajang sungguh pun dia sendiri masih tetap berada di Mojopahit dan setiap pertempuran selalu menghadiri di hadapan sang prabu dengan setia.
"Paman empu dan paman resi, matahari mulai condong ke barat, kita harus mempercepat perjalanan kalau tidak kita akan kemalaman di hutan itu,"
Kata Reksosuro yang jangkung bermata juling itu.
Mereka itu semua naik kuda. Reksosuro, pembantu resi Mahapati dan lima orang pengawal lain yang ke semuanya memiliki kepandaian tinggi. Enam orang ini mengiringkan dua orang kakek yang juga menunggang kuda dan melihat dua orang kakek itu menjalankan kuda perlahan-lahan sambil bercakap-cakap Reksosuro yang takut kemalaman di hutan itu membujuk mereka berdua agar mempercepat perjalanan.
Dua orang kakek itu adalah Empu Tanjungperak dan Resi Harimurti. Empu Tanjungperak adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati. Dia adalah seorang pertapa di pertapaan Tanjungperak yang terletak di Pantai Laut Jawa, di sebelah barat laut Tuban. Beberapa hari yang lalu, Reksosuro bersama lima orang kawannya datang menghadap kepada Empu Tanjungperak menyerahkan surat undangan Resi Mahapati untuk kakak seperguruannya ini. Kebetulan sekali pada waktu itu, di pertapaan Tanjungperak sedang kedatangan seorang tamu, yaitu Resi Harimurti, seorang sahabat baik Empu Tanjungpetak, bahkan sudah mengenal pula Resi Mahapati dengan baik. Oleh karena itu, Empu Tanjungpetak lalu mengajak Resi harimurti untuk bersama-sama pergi mengunjungi Resi Mahapati di Mojopahit.
Demikianlah, dua orang kakek yang terkenal memiliki kesaktian ini lalu diiringi oleh Resksosuro dan lima orang temannya, menuju ke Mojopahit dan pada sore hari itu mereka telah tiba di kaki Gunung Kendeng yang kaya akan hutan-hutan liar. Bagi Reksosuro dan kawan-kawannya, perjalanan itu terlalu lamban, akan tetapi agaknya dua orang kakek itu lebih suka melakukan perjalanan lamban sambil menikmati pemandangan alam yang indah di sepanjang perjalanan sambil bercakap-cakap.
"Reksosuro apa halangannya kalau kemalaman di dalam hutan?"
Empu Tunjungpetak menjawab.
"Melewatkan malam di hutan lebih menyenangkan. Kalian pergilah lebih dulu ke hutan itu, menanti kami di sana kalau perjalanan kami terlalu lambat bagi kalian."
"Baik, paman empu,"
Jawab Reksosuro yang memang tidak sabar mengikuti perjalanan yang seenaknya dan perlahan-lahan itu. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan menggeprak kudanya, maka membedalnya enam ekor kuda itu di depan, ke arah hutan yang nampak bergerombol dari situ. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan dua orang kakek itu.
Setelah tiba dihutan, Reksosuro dan teman-temannya meloncat turun dari atas panggung kuda masing-masing membiarkan tunggangan-tunggangan mereka makan rumput dan mereka sendiri duduk beristirahat melepaskan lelah. Lembu Sora sendiri yang tahu akan adanya desas-desus itu, hanya tenang dan dengan sikap gagah dan menanti akibat daripada perbuatannya itu. Bahkan untuk menjaga segala kemungkinan, tak lama kemudian, yaitu kurang lebih dua tahun setelah kematian Ronggo Lawe dan beberapa bulan setelah Aryo Wirorojo pindah ke Lumajang dan menjadi adipati di sana, Lembu Sora lalu mengungsikan keluarganya ke Lumajang sungguh pun dia sendiri masih tetap berada di Mojopahit dan setiap pertempuran selalu menghadiri di hadapan sang prabu dengan setia.
"Paman empu dan paman resi, matahari mulai condong ke barat, kita harus mempercepat perjalanan kalau tidak kita akan kemalaman di hutan itu,"
Kata Reksosuro yang jangkung bermata juling itu.
Mereka itu semua naik kuda. Reksosuro, pembantu resi Mahapati dan lima orang pengawal lain yang ke semuanya memiliki kepandaian tinggi. Enam orang ini mengiringkan dua orang kakek yang juga menunggang kuda dan melihat dua orang kakek itu menjalankan kuda perlahan-lahan sambil bercakap-cakap Reksosuro yang takut kemalaman di hutan itu membujuk mereka berdua agar mempercepat perjalanan.
Dua orang kakek itu adalah Empu Tanjungperak dan Resi Harimurti. Empu Tanjungperak adalah kakak seperguruan dari Resi Mahapati. Dia adalah seorang pertapa di pertapaan Tanjungperak yang terletak di Pantai Laut Jawa, di sebelah barat laut Tuban. Beberapa hari yang lalu, Reksosuro bersama lima orang kawannya datang menghadap kepada Empu Tanjungperak menyerahkan surat undangan Resi Mahapati untuk kakak seperguruannya ini. Kebetulan sekali pada waktu itu, di pertapaan Tanjungperak sedang kedatangan seorang tamu, yaitu Resi Harimurti, seorang sahabat baik Empu Tanjungpetak, bahkan sudah mengenal pula Resi Mahapati dengan baik. Oleh karena itu, Empu Tanjungpetak lalu mengajak Resi harimurti untuk bersama-sama pergi mengunjungi Resi Mahapati di Mojopahit.
Demikianlah, dua orang kakek yang terkenal memiliki kesaktian ini lalu diiringi oleh Resksosuro dan lima orang temannya, menuju ke Mojopahit dan pada sore hari itu mereka telah tiba di kaki Gunung Kendeng yang kaya akan hutan-hutan liar. Bagi Reksosuro dan kawan-kawannya, perjalanan itu terlalu lamban, akan tetapi agaknya dua orang kakek itu lebih suka melakukan perjalanan lamban sambil menikmati pemandangan alam yang indah di sepanjang perjalanan sambil bercakap-cakap.
"Reksosuro apa halangannya kalau kemalaman di dalam hutan?"
Empu Tunjungpetak menjawab.
"Melewatkan malam di hutan lebih menyenangkan. Kalian pergilah lebih dulu ke hutan itu, menanti kami di sana kalau perjalanan kami terlalu lambat bagi kalian."
"Baik, paman empu,"
Jawab Reksosuro yang memang tidak sabar mengikuti perjalanan yang seenaknya dan perlahan-lahan itu. Dia memberi isyarat kepada teman-temannya dan menggeprak kudanya, maka membedalnya enam ekor kuda itu di depan, ke arah hutan yang nampak bergerombol dari situ. Sebentar saja mereka telah jauh meninggalkan dua orang kakek itu.
Setelah tiba dihutan, Reksosuro dan teman-temannya meloncat turun dari atas panggung kuda masing-masing membiarkan tunggangan-tunggangan mereka makan rumput dan mereka sendiri duduk beristirahat melepaskan lelah.
"Wah, sialan!"
Reksosuro mengomel.
"Mengikuti orang tua bangka itu sungguh menjemukan. Tidur di hutan, makan seadanya dan kita sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengaso dan bersenang-senang. Celaka, sekarang kita harus bermalam di dusun kan kita bisa mencari anak perawan yang boleh disuruh memijati tubuh yang lelah."
"Yang ada di sini hanya lutung (monyet hitam)!"
Kawannya mengomel.
"Kalau kau telah boleh menangkap lutung betina, suruh memijati..."
Seorang teman menggoda.
"Memijati hidungmu!"
Reksosuro memaki "Aku heran sekali mengapa Sang Resi Mahapati mengudang kakek-kakek seperti itu!"
"Eh, kakang Reksosuro, apa kau lupa bahwa Sang Resi Mahapati sendiri juga seorang kakek-kakek?"
"Ah, kalau beliau lain lagi,"
Bantah si jangkung juling.
"Biar pun usianya sudah lanjut, akan tetapi tenaga dan semangatnya melebihi orang muda. Lihat saja, kalau tidak begitu masa selirnya yang cantik itu menjadi begitu tunduk dan mencinta? Wah, beliau hebat sekali... ha-ha!"
Dan mereka semua tertawa oleh kata-kata yang mengandung arti kecabulan itu.
"Siapa tahu kalau yang dua ini pun hebat!"
"Mestinya begitu karena paman Empu Tanjungpetak adalah kakak seperguruan Sang Resi Mahapati. Akan tetapi kelihatannya begitu loyo dan lemas, tidak seperti sang resi."
Mereka bercakap-cakap sambil melepaskan lelah dan menanti datangnya dua orang kakek yang tertinggal jauh sekali dan masih kelihatan jauh sekali dan masih belum kelihatan bayangannya itu. Tiba-tiba enam orang itu terkejut dan menoleh ke dalam hutan penuh perhatian, wajah mereka mendadak tidak lesu lagi, bahkan bersemangat. Mereka mendengar suara orang, suara wanita! Suara wanita yang merdu menembang! Tembang Asmaradana yang mengisahkan Prabu Ramawijaya menangis, meratap, mengeluh karena kehilangan Dewi Shinta.
Enam orang itu saling pandang dan mereka kagum sekali karena suara itu memang merdu dan terdengar amat janggal di dalam hutan yang lebat dan liar itu. Akan tetapi wajah mereka tegang dan gembira. Wanita yang dapat bertembang semerdu itu tentulah masih muda, dan sepantasnya cantik!
"Wah, dia tentu muda dan cantik...!"
Reksosuro berkata mengutarakan suara hatinya yang menduga-duga.
"Belum tentu, kakang Reksosuro. Sudah sering sekali aku keliru, mendengar suara yang amat merdu akan tetapi orangnya jelek!"
Bantah temannya.
Akan tetapi tidak ada yang menanggapi karena semua mata kini memandang ke dalam hutan. Suara tambang itu telah berhenti karena telah habis, akan tetapi kini muncul seorang dara remaja yang membuat enam orang itu menahan napas. Dara remaja itu usianya kurang lebih empat belas tahun dan tubuh yang dibungkus pakaian sederhana itu seperti buah mangga yang sedang ranum, matang belum akan tetapi mentah pun tidak, sedang segar-segarnya untuk dimakan dengan sambal pedas! Kulitnya kuning langsat dan halus, akan tetapi di balik kulit tipis halus bersih itu mengandung kepadatan yang berisi, dengan urat-urat merah halus membayang di balik kulit. Kakinya yang telanjang kelihatan bersih, seolah-oleh tidak pernah menginjak tanah becek.
Tangan kirinya memondong seikat kelapa muda dan pisang, sedangkan tangan kanannya membawa setangkai bunga mawar merah yang besar dan segar. Wajahnya bulat lebat dan panjang merupakan mahkota hidup yang indah menghias wajahnya. Sepasang matanya berkilat dan pandangnya tajam sekali, hidungnya kecil mancung dan mulutnya yang berbibir merah semringah itu selalu tersenyum. Pembawaan dara ini gembira dan jenaka, dapat dilihat dari senyum bibirnya dan sinar matanya, akan tetapi segala sesuatu di depannya, senyum sinis yang hanya dapat timbul dari seorang manusia yang telah banyak menderita kepahitan dan kekecewaan dalam hidupnya. Sukar mengatakan apakah dara remaja ini cantik dan manis, apakah ayu.
Pendeknya semua itu ada padanya! Pada lehernya nampak seuntai kalung emas yang disambung dengan tali lawe sehingga tergantung panjang, dan hiasan kalung tersembunyi di antara buah dadanya yang mulai membusung tersembunyi di balik kain. Enam orang yang memang selama dalam perjalanan diutus ke Tanjungpetak itu telah merasa kesepian dan kehilangan hiburan wanita yang ketika di kota raja hampir setiap malam mereka nikmati, tentu saja memandang ke arah dara remaja itu seperti pandang mata orang-orang kehausan melihat air sejuk jernih. Pandang mata mereka seolah-olah hendak menelan dara itu bulat-bulat!
"Amboii... cantiknya!"
"Ayu manis dan mulus...!"
"Denok montok menggairahkan!"
"Manis, mari ikut dengan aku dan aku akan menceraikan biniku!"
"Sayang, menembanglah lagi... suaramu merdu..."
Enam orang itu ribut memuji-muji, akan tetapi dara remaja itu seperti terpesona oleh Reksosuro dan sejak tadi dia terus memandang kepada si jangkung juling ini, bahkan kini dia melangkah perlahan menghampiri. Langkahnya ini membuat mereka menelan ludah karena begitu lemah gemulai lenggangnya sehingga menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya yang ranum dan belum matang benar namun setiap seginya menjanjikan bentuk-bentuk yang tentu amat mempesonakan dalam beberapa tahun lagi.
Kini dara itu berdiri dekat Reksosuro, wajah laki-laki itu terus diamatinya penuh perhatian, penuh selidik dan tak pernah berkedip sejak tadi setengah terbuka mengulum senyum, bergerak ketika bicara dan nampaknya sekilas deretan giginya yang kecil putih teratur rapi.
"Bukankah andika ini Reksosuro!"
Teriak seorang pengawal dengan kagum dan iri.
Reksosuro membusungkan dadanya yang kerempeng, mengurut kumisnya dengan bangga dan matanya yang juling itu sukar dikatakan melihat atau melirik ke mana karena mata ini selalu melirik ke arah yang tidak sedang dipandangnya. Kemudian dia berkata dengan suara digagah-gagahkan.
"ah, bocah ayu kuning... kiranya engkau telah mengenal namaku? Ha-ha, wajahmu yang manis ini memang tidak asing bagiku, akan tetapi aku telah lupa lagi di mana aku pernah bertemu dengamu, perawan ayu!"
"ah, benarkah engkau telah lupa, Reksosuro? Dan mana kawanmu itu yang bernama Darumuko?"
"Eh, kau mengenal dia juga? Siapa kau dan mau apa kau mencari kami?"
Reksosuro mengingat-ingat akan tetapi tetap saja dia lupa.
Dara itu tersenyum manis bukan main melebihi madumongso, lalu dia melangkah maju mendekat ke depan reksosuro sehingga pria ini menjadi makin tertarik.
"Aku ingin memberi hadiah ciuman!"
Teriak seorang temanya.
"Dan jangan pelit, kakang Reksosuro, beri bagian sedikit-sedikit kepada kami!"
Reksosuro yang sudah kegirangan itu menggerakkan tangan menyuruh teman-temannya diam, lalu dia bertanya.
"Cah ayu, hadiah apa yang hendak kau berikan kepadaku?"
Dara itu menggerakkan setangkai bunga mawar yang dipegang di tangan kanannya, lalu berkata.
"Hadiah ini..."
"kembang...?
Tiba-tiba dara itu menggerakkan tangan kanannya yang memegang bunga mawar dan tangan yang berkulit halus mulus dan bentuknya kecil mungil dengan jari-jari tangan panjang meruncing itu menyambar dengan kecepatan kilat ke arah muka reksosuro.
"Prakkkk...! Aduhhhh!!"
Tubuh reksosuro terpelanting dan dia terbanting roboh, mengaduh-aduh dan memegangi rahangnya yang ternyata telah pecah terkena sambaran tangan kecil itu. Tulang rahangnya patah dan bibirnya pecah-pecah berdarah!
"Itu untuk penghinaanmu kepadaku, jahanam. Dan kini nyawamu kucabut untuk membalaskan penghinaanmu atas jenazah mbakayuku!"
Dara itu berkata.
Sekarang teringatlah Reksosuro dan matanya yang juling itu tebelalak dan makin menjuling. Inilah Sulastri, adik Winarti yang dulu ditangkapnya akan tetapi ditolong oleh Setan Jembros itu!
"Bocah setan...!"
Dia memaki sambil memegangi rahangnya dan suaranya menjadi pelo.
"Kawan-kawan... tangkap dia!"
Reksosuro menahan rasa nyeri pada rahangnya dan dia sudah meloncat bangun. Lima orang pengawal yang menjadi anak buah Reksosuro terkejut bukan main melihat gadis cantik itu menampar muka Reksosuro sampai si juling itu terpelanting. Mereka merasa heran karena mereka maklum bahwa Reksosuro memiliki kepandaian tinggi dan memiliki kekebalan, kenapa sekarang ditampar seorang dara remaja seperti itu saja sampai terpelanting dan mulutnya berdarah? Mereka masih tidak tahu betapa Reksosuro menderita lebih hebat lagi karena tulang rahanya telah patah! Kini mendengar teriakan Reksosuro untuk menangkap dara yang cantik itu, tentu saja mereka menjadi girang dan seperti lima ekor kucing kelaparan melihat seekor tikus gemuk, mereka menubruk seperti berlomba untuk menangkap dan mendekap dara remaja menggairahkan itu.
Akan tetapi, dengan gerakan yang amat lincah, Sulastri bergerak cepat sekali dan semua tubrukan itu hanya mengenai tempat kosong, bahkan dua orang yang menubruk dari dua arah yang berlawanan saling tubruk sehingga mereka saling beradu, menimbulkan benjol sebesar telur ayam pada dahi mereka! Barulah mereka terkejut sekali dan cepat mereka membalikkan tubuh dan menubruk lagi dara yang tersenyum mengejek sambil bertolak pinggang itu. Kini Sulastri telah melemparkan kelapa dan pisang, juga kembang mawar merah ke atas tanah dan dia menanti mereka dengan kedua tangan di pinggang, sikapnya angkuh akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek.
Ketika lima orang menubruk lagi, dia tidak mengelak seperti tadi, melainkan menggerakkan kaki tangannya secara teratur menurut ilmu silat yang tinggi dan gerakannya itu selain cepat juga mengandung tenaga dahsyat.
"Palak-plak-plak-desss!!"
Lima orang itu terpelanting dan mereka cepat meloncat bangun dengan mata terbelalak. Mereka adalah jagoan-jagoan yang kuat, akan tetapi mereka hampir tidak melihat bagaimana mereka sampai terpelanting ketika tangan dan kaki dara itu menyambar-nyambar seperti halilintar mengamuk.
"Bunuh dia...! Dia adalah adik Sri Winarti itu yang dicari-cari oleh sang resi! Kalau bisa tangkap hidup-hidup, kalau tidak bisa bunuh...!!"
Reksosuro berteriak akan tetapi matanya yang juling melihat ke kanan kiri karena dia merasa ngeri dan takut memikirkan Ki jembros. Jangan-jangan kakek itu berada di situ! Dengan keris Kyai Bandot di tangannya.
Reksosuro lalu maju dan bersama-sama lima orang temannya yang kesemuanya sudah mencabut keris, dia mengurung Sulastri yang masih berdiri dengan sikap tenang. Bibir yang manis dari dara remaja itu tersenyum.
"Hemm, Reksosuro, kau pengecut besar! Tanpa mencarimu ke Mojopahit, sekarang engkau telah mengantar nyawa! Aku harus membunuhmu, mencongkel keluar matamu yang juling itu. Akan tetapi engkau mengandalkan pengeroyokan kawan-kawanmu. Heh, mundurlah kalian berlima, kalau tidak kalian juga akan mati konyol!"
Akan tetapi tentu saja lima orang pengawal jagoan itu tidak menjadi gentar. Mereka adalah jagoan-jagoan dan mereka berenam membawa keris, menghadapi seorang dara remaja tentu saja mereka tidak menjadi takut.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang Reksosuro, iblis betina cilik ini sungguh liar. Mari kita tangkap dia beramai-ramai menjinakkan dia. Kalau tidak kita jinakkan, dia tentu akan makin sombong dan bertingkah!"
Kata seorang di antara mereka yang bertubuh pendek dan berkepala besar.
Biar pun tulang rahang-rahangnya yang patah menimbulkan rasa nyeri bukan main, akan tetapi karena dia ingin menyerahkan dara ini hidup-hidup kepada resi Mahapati, Reksosuro berkata dengan suara pelo karena mulutnya terasa nyeri bukan main kalau bergerak untuk bicara.
"Sulastri, lebih baik kau menyerah kami tangkap dan kami haturkan kepada sang resi. Melawan pun akan percuma dan dari pada kau mampus atau terluka..."
"Monyet juling! Engkau yang sudah berada di ambang pintu neraka masih berani mengancam aku?"
Sulastri mengejek. Dara ini sungguh telah berobah banyak sekali. Empat tahun lebih dia menjadi murid Ki Jembros, hidup menentang banyak sekali kekerasan alam dan kesukaran, digembleng secara istimewa oleh Ki Jembros yang aneh dan kini, dalam usianya yang masih remaja, empat belas tahun, Sulastri telah mempelajari banyak sekali ilmu-ilmu yang aneh-aneh dan yang hebat-hebat, ilmu kedigdayaan dan gerakan-gerakan silat, juga bermacam ilmu kekebalan. Dara remaja yang pada dasarnya sejak kecil memiliki keberanian luar biasa ini, yang sejak kecil mengalami kesengsaraan dan rasa penasaran, kini berubah menjadi seekor singa betina muda yang berbahaya!
"Serbu...!"
Reksosuro membentak kaku dan teman-temannya mulai bergerak, memperketat lingkaran yang mengurung diri Sulastri. Keris di tangan mereka menodong ke arah Sulastri penuh ancaman. Dara itu melirik ke atas tanah, melihat betapa tanah di kaki pengunungan itu mengandung pasir, maka dia tersenyum lalu cepat tubuhnya bergerak merendah. Gerakan yang tiba-tiba ini membuat enam orang pengurungnya waspada, akan tetapi mereka tidak melihat gadis itu menyerang mereka, maka mereka lalu melangkah maju mendekati Sulastri yang masih berlutut dengan tangan menyentuh tanah itu.
"Aduhhh...!"
"Ahhh...!"
"Ihhh, mataku...!"
Dua orang di antara mereka yang kurang waspada terkena pasir matanya sehingga mereka menjadi bingung dan panik, untuk sementara mereka tidak dapat membuka mata dan hanya menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan kiri. Empat yang lain sempat memejamkan mata akan tetapi pasir-pasir halus itu seperti jarum-jarum saja memasuki kulit muka sehingga mereka juga gelagapan. Dan pada saat itu, tubuh Sulastri sudah menyerang ke depan, kedua kakinya bergantian bergerak.
"Dess! Bukk! Ngekkk!!!"
Kedua kaki yang kecil mungil itu bergerak menendangi mereka, membuat enam orang itu terlempar ke kanan kiri dan beberapa orang di antara mereka kehilangan keris mereka, ada pula dua orang yang tidak dapat bangun kembali, pingsan karena tanpa sengaja ujung kaki yang mungil itu telah menyepak bagian tubuh mereka yang berbahaya, yaitu di bawah pusar!
Reksosuro sendiri terlempar agak jauh karena ketika menendang orang yang dibencinya ini, Sulastri mengerahkan tenaganya. Reksosuro terbanting keras akan tetapi dia merupakan orang yang paling kuat di antara mereka, maka dia telah bangkit kembali, kepalanya agak pening dan rahangnya terasa makin nyeri. Ketika dia memandang, terkejutlah dia karena dara remaja yang luar biasa itu telah meloncat dan seperti seekor burung saja telah "melayang"
Dan tiba di depannya sambil tersenyum mengejek, senyum yang mengandung hawa maut!
Baru sekarang Reksosuro mengerti benar bahwa dara remaja ini adalah seorang manusia sakti. Akan tetapi dia tidak dapat lari lagi dan dia lalu menjadi nekad. Sambil mengeluarkan suara pekik dahsyat tanpa memperdulikan rasa nyeri di rahangnya, Reksosuro menerjang ke depan dengan keris Kyai bandot di tangannya, menusukkan keris berliuk sambilan itu ke arah perit Sulastri. Dara itu miringkan tubuhnya, menggunakan tangan kiri menangkis pergelangan tangan lawan dan berbareng dengan itu, lutut kanannya diangkat secara tiba-tiba sambil melangkahkan kaki kiri merapat sehingga lutut kanannya itu dari bawah menghantam pusar lawan.
"Ngekk!!"
Tubuh Reksosuro terjengkang dan pada saat itu, sebuah tangan yang kecil mungil namun yang mengandung kekuatan dahsyat telah merenggut lepas keris Kyai Bandot dari tangannya.
"Reksosuro, sekarang engkau harus mampus!"
Suara merdu Sulastri terdengar seperti suara iblis bagi Reksosuro yang sudah roboh terlentang dan matanya terbelalak melihat dara itu perlahan-lahan melangkah maju dengan keris Kyai Bandot di tangan kanan, mulutnya tetap tersenyum mengerikan bagi Reksosuro.
"Tidak... tidak... jangan...!"
Reksosuro berteriak-teriak penuh kengerian ketika dara itu melangkah maju makin dekat. Akan tetapi dari senyum dara itu, Reksosuro maklum bahwa tak mungkin dara itu mengampuninya maka dia lalu meloncat bangun dengan niat untuk melarikan diri.
"Desss!"
Sebuah tendangan membuat dia roboh terjengkang lagi, bahkan tendangan yang mengenai dadanya itu membuat dadanya terasa sakit dan napasnya sesak. Kini dengan mata terbelalak dan muka pucat si juling ini memandang dara itu yang kembali melangkah menghampirinya dengan tenang.
"Wirrr...!!"
Benda kecil menyambar dengan kecepatan luar biasa ke arah Sulastri pada saat dia mendengar bunyi derap kaki kuda mendatangi. Cepat dia menggerakkan keris Kyai Bandot menangkis benda yang menyambarnya itu.
"Cringgg...!!"
Sulastri terkejut bukan main. Benda itu ternyata hanya sebuah kerikil kecil sebesar kelungsu (biji asam) akan tetapi ketika mengenai keris yang dipegangnya dan dipergunakannya untuk menangkis, keris itu tergetar hebat dan tangannya menjadi kesemutan! Hal itu menjadi tanda bahwa kerikil itu disambitkan dengan tenaga sakti yang amat kuat dan bahwa penyambitnya adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Paman empu... tolong...!"
Terdengar Reksosuro berteriak dan sulastri cepat menoleh ke arah suara kaki kuda yang sudah tiba di tempat itu. Dia melihat dua orang kakek yang kelihatan lemah. Yang seorang adalah kakek tinggi dengan pipi kempot dan mulutnya tertutup segumpal tembakau susur kecil dan matanya sipit, rambutnya panjang putih semua, sikapnya halus namun membayangkan ketinggian hati. Kakek ke dua bertubuh tegap dan bersikap gagah, kumis dan jengotnya terpelihara rapi, tangan kirinya memegang sebuah kipas bambu yang bundar dan pinggangnya terselip sebatang pecut (cambuk) penggembala sapi yang amat panjang akan tetapi ujungnya dibelit-belitkan kepada gagangnya.
Tahulah sulastri bahwa dua orang kakek itu tentu orang-orang sakti dan sambitan kerikil tadi tentu dilakukan oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi begitu bertemu, dia merasa tidak suka kepada kakek ini mempunyai mata lebar yang pandangannya gelit dan tajam penuh kecabulan! Memang dugaan dara remaja yang biar pun masih amat muda namun sudah mengalami hal-hal yang hebat itu dan memiliki pandangan tajam, adalah benar. Kakek berambut putih yang sikapnya angkuh itu adalah Empu Tunjungpetak, seorang pertapa yang terlalu percaya akan kepandaiannya sendiri sebagai yang tak terkalahkan sehingga biar pun pada lahirnya dia kelihatan halus dan rendah hati, namun sesungguhnya hal itu hanya untuk menutupi batinnya yang angkuh dan tinggi hati.
Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang seperti Empu Tunjungpetak ini. Memaksa diri untuk kelihatan sederhana dan rendah hati, bersikap halus dan sabar, akan tetapi sayang, semua itu hanya seperti kedok belaka karena di sebelah dalamnya, batinnya penuh dengan perasaan angkuh dan sombong, merasa pintar sendiri, merasa yang paling suci, paling bersih, paling pandai, paling sakti. Kita lupa bhawa kerendahan hati, atau kesederhanaan atau kebajikan, bukankah terletak di pakaian sederhana, bukan pula di sikap sederhana atau halus, bukan pula dalam tata hidup yang sederhana melainkan jauh mendalam di dalam batin kita msing-masing! Pakaian, sikap, tata hidup yang kesemuanya nampak di luar hidup yang kesemuanya nampak di luar itu hanya untuk pamer dan untuk dinilai orang lain belaka, dan semua itu tidak ada gunanya karena palsu!
Yang penting adalah pengertian diri sendiri, karena kitalah yang mengerti dan mengenal diri kita sendiri, kepalsuan-kepalsuan dalam diri kita. Dan kita pula yang dapat merobah diri sendiri. Seorang pertapa di puncak gunung yang sunyi, yang hanya berpakaian sehelai cawat, yang tinggalnya di bawah pohon, yang kelihatannya saja seperti seorang yang paling sederhana, belum tentu memiliki batin sederhana dan semua kesederhanaan yang disengaja, yang dipergunakan hanya sebagai cara untuk mendapatkan sesuatu, bukanlah kesederhanaan namanya! Kesederhanaan adalah palsu dan dibuat-buat. Kalau batin sudah tidak mengejar apa pun juga, dialah namanya orang sederhana!
Kakek ke dua yang mengipas-ngipaskan kipas bambu di depan dadanya itu adalah Resi Harimurti. Kakek ini adalah seorang pertapa yang suka merantau, tidak suka tinggal di tempat tertentu, kepandaiannyajuga tinggi dan memiliki bermacam kesaktian dan aji-aji yang dahsyat. Akan tetapi, kakek ini memiliki suatu kelemahan, yaitu batinnya penuh dengan kecabulan. Setaip kali melihat wanita muda, terutama yang cantik, hatinya segera tergetar dan menggelora dan entah berapa banyaknya sudah wanita muda yang menjadi korban nafsu berani kakek ini. Maka, begitu melihat Sulastri yang memang cantik manis dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar, tentu saja jantung kakek ini sudah berdebar tidak karuan, seluruh syaraf di tubuhnya berdenyut-denyut, matanya berkilauan dan hanya karena di situ terdapat Empu Tunjungpetak, maka kakek cabul ini merasa sungkan dan dia menindih gelora nafsu berahinya dengan kipasan di depan dadanya, seolah-olah dengan kipasan itu dia dapat mendinginkan nafsunya yang terbakar.
Nafsu berahi mengusai orang tanpa pandang bulu, baik dia itu pria mau pun wanita, baik muda atau tua, nafsu berahi lahir dari kita sendiri, dari pikiran kita, dari ingatan atau kenangan kita. Maka kita melihat seorang wanita muda dan cantik dan kita tertarik, hal itu sudah wajar dan nafsu belum timbul di sini, kita memandang setangkai bunga mawar yang indah semerbak harum, atau memandang buah mangga yang sedang ranum menguning atau memandang apa saja yang memang indah dan sedap dipandang. Akan tetapi, begitu memandang, pikiran kita bekerja, ingatan kita mencampuri, pikiran mengenangkan pengalaman sex yang pernah dinikmati, pikiran membayangkan kesenangan-kesenangan yang dapat kita nikmati bersama wanita muda cantik yang kita pandang itu.
Nah, mulai saat itu lahirlah nafsu berahi yang kita kobarkan sendiri dengan bayangan-bayangan pikiran itu. Dan mulailah kita mengejar kesenangan yang dibayangkan itu, melalui si wanita yang kita pandang! Demikianlah sesungguhnya proses dari kecabulan yang bukan lain merupakan satu di antara ulah pikiran kita, yaitu kita sendiri! Resi Harimurti yang mula-mula dikuasai oleh pikirannya sendiri, yang mendorongnya ke arah kecabulan, lalu menjadi kecanduan dan menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri dan kalau sudah kecanduan seperti itu, kalau pemuasan nafsu telah menjadi suatu kebiasaan, maka manusia itu akan merasa sukar untuk membebaskan diri.
Sulastri bersikap tenang namun waspada karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang pandai. Dia berdiri dan memandang dengan penuh perhatian ketika dua orang kakek itu turun dari atas panggung kuda.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo