Ceritasilat Novel Online

Kemelut Di Majapahit 7


Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 7



(Lanjut ke Jilid 07)

   Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   "Elaadalah...!"

   Empu Tunjungpetak berseru kaget dan memandang ke sekeliling di mana enam orang pengawal itu berserakan dan mereka kini mencoba untuk bangkit sambil mengeluh kesakitan.

   "Sungguh sukar dipercaya! Reksosuro dan kawan-kawannya, enam orang laki-laki yang kuat, tidak kuasa menahan amukan seorang dara remaja? Hebat...! Eh, nini, siapakah kau dan kenapa engkau seorang dara remaja begini ganas mengamuk dan hampir membunuh ponggawa-ponggawa Mojopahit?"

   Sulastri sejenak memandang kepada Empu Tunjungpetak, sepasang matanya yang jeli dan tajam itu menentang penuh selidik dan dia dapat melihat kelembutan sikap kakek ini.

   "Eyang, saya hanya mempunyai urusan dengan si Reksosuro seorang, akan tetapi mereka itu mengeroyok saya. Harap eyang tidak mencampuri urusan pribadi antara saya dengan Reksosuro si jahanam, dan saya tidak perduli apakah dia itu ponggawa Mojopahit, karena bagi saya dia adalah ponggawa neraka jahanam yang harus dilenyapkan!"

   "Jagad Dewa Bathara...! Selama hidupku baru sekarang aku bertemu dengan seorang dara remaja seganas ini. Nini engkau hendak berbuat apakah terhadap Reksosuro?"

   "Hendak saya congkel kedua matanya dan saya penggal lehernya!"jawab Sulastri dengan berani.

   "Hemm, enak saja kau bicara, bocah lancang. Reksosuro adalah seorang ponggawa dan utusan dari Mojopahit. Apakah kau berani bicara selancang itu?"

   "Tidak perduli. Siapa pun yang membela jahanam ini, terpaksa saya lawan!"

   "Ha-ha-ho-ho! Kakang empu, serahkan saja bocah itu kepadaku.

   "kata Resi Harimurti sambil melangkah maju.

   "Terserah kepadamu, adi resi. Akan tetapi dia masih kanak-kanak, jangan membunuhnya."

   "Membunuh? Ha-ha-ha, eman-eman (sayang) kalau dibunuh, kakang.

   "Sambil tertawa-tawa Resi Harimurti melangkah maju menghampiri Sulastri yang berdiri tegak dan bersikap waspada.

   Mereka berhadapan. Pandang mata Sulastri tajam menusuk penuh keberanian, sedangkan Resi Harimurti sambil menggerak-gerakkan kipasnya memandang seperti pandang mata seorang tengklak kerbau sedang meneliti dan menaksir seekor kerbau betina muda yang akan dibelinya. Dia menganggul-angguk puas sekali.

   "Nini, engkau sungguh denok dan jelita. Janganlah nekad seperti itu, mari kau ikut bersamaku dan kalau kau memang suka akan ketangkasan, kau bisa menjadi murid Resi Harimurti dan kau pasti akan menikmati kesenangan hebat, ha-ha-ha!"

   "Resi menjemukan, kau pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku dengan Reksosuro!"

   Sulastri membentak.

   "Ha-ha, kau seperti seekor kuda betina muda yang binal! Kalau begitu, engkau harus ditundukkan dan jinakkan, baru menyenangkan, ha-ha!"

   Sulastri sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi mendengar ucapan-ucapan yang dianggapnya amat menghinanya itu.

   "Tua bangka busuk!"

   Dia memaki dan tubuhnya sudah bergerak cepat ke depan, tangan kirinya, menampar dari samping. Tamparan tangan kiri dara remaja ini bukanlah sembarangan karena dia telah menggunakan Aji Hasta Naga, yaitu semacam aji kesaktian yang mendatangkan tenaga mujijat di dalam telapak tangan kirinya yang halus itu sehingga dengan pukulan Aji Hasta Naga ini, dara remaja itu sanggup memukul hancur batu karang!

   Sang Resi Harimurti terkejut juga menyaksikan hebatnya angin pukulan tangan kini ini. Dia mengenal pukulan ampuh dan sama sekali tidak menyangka bahwa dara yang usianya baru belasan tahun ini memiliki aji pukulan yang sedemikian hebatnya. Dia pun tidak berani sembrono menerima tamparan yang dahsyat itu, maka dia cepat mengangkat tangan kanan menangkis.

   "Desss!!"

   Tangan kiri yang mengandung hawa sakti itu bertemu dengan tangkisan tangan kanan Resi Harimurti yang juga mengarahkan aji kesaktiannya dan akibatnya tubuh kakek itu tergetar hebat akan tetapi dara remaja itu terhuyung mundur dua langkah!! Resi Harimurti terkejut bukan kepalang, karena jarang ada lawan yang dapat menggetarkan dia sembarangan rupa, apalagi hanya seorang dara remaja. Untuk menutupi rasa kagetnya, dia tertawa dan hatinya makin tertarik oleh dara ini. Selamanya entah berapa ratus atau ribu orang wanita muda sudah dia dapatkan, baik dengan suka rela mau pun secara paksa, namun belum pernah dia mendapatkan seorang dara yang hebat seperti ini! Timbullah keinginannya untuk mendapatkan dara ini, hanya dia merasa binggung karena di situ terdapat Empu Tunjungpetak dan tentu saja dia merasa malu dan segan untuk memperlihatkan kelemahan atau kebiasaan yang sudah mencandu dan memalukan juga bagi seorang kakek seperti dia itu.

   "Ha-ha-ha, tamparanmu seperti Gudir (agar-agar) lunaknya, nini!"

   Tentu saja Sulastri menjadi semakin marah dan kini dia meloncat lagi ke depan, tangan kirinya sekali lagi menampar dan untuk kedua kalinya ini dia mengerahkan seluruh tenaganya dalam Aji Hasta Naga itu.

   Akan tetapi kakek itu pun cepat menggerakkan tangan kanannya, sekali ini bukan menangkis melainkan menangkap lengan kiri dara itu.

   "Cap...!"

   Dengan tepat pergelangan tangan kiri Sulastri dapat ditangkap oleh tangan kanan Resi Harimurti. Dara itu menjadi kaget dan marah, dia meronta dan mengerahkan tenaga untuk menarik kembali tangan kirinya, namun sama sekali tangannya itu tidak mampu terlepas dari pengangan tangan sang resi, bahkan Resi Harimurti masih dapat menggunakan telunjuk tangan kanan itu untuk mencolek pipi Sulastri sambil mulutnya berbisik.

   "Kau memang manis sekali, cah ayu...!"

   Tentu saja Sulastri menjadi makin marah. Tak disangkanya bahwa kakek ini oleh Reksosuro dalam hal kekurangajarannya. Dia baru teringat bahwa sejak tadi dia masih memegang keris pusaka Kyai Bandot milik Reksosuro yang tadi dirampasnya.

   "Tua bangka keparat!"

   Bentaknya dan tanpa berpikir panjang lagi, keris liuk sembilan itu ditusukkannya ke dada Resi Harimurti.

   "Takkkk!"

   Keris itu mengenai dada, menembus jubah akan tetapi tidak dapat menembus kulit dada sang resi yang sakti itu, yang hanya tersenyum mengejek.

   "Betina yang liar...!"

   Resi Harimurti berkata lirih kipasnya bergerak dan menyambar ke arah tangan Sulastri yang memegang keris.

   "Prattt!!! Aughhh...!"

   Sulastri menahan jeritnya. Tangannya terasa sakit sekali dan keris rampasan itu terlepas dari pegangannya, jatuh ke atas tanah. Akan tetapi Sulastri adalah seorang anak yang amat cerdik dan dia memang memiliki bakat baik sekali dalam ilmu silat. Begitu melihat keris itu tidak mempan, tahulah dia bahwa resi ini memiliki kesaktian tinggi dan tubuhnya memiliki kekebalan, maka akan percuma saja kalau dia melakukan penyerangan biasa.

   Dia harus memilih bagian yang tidak dapat terlindung kekebalan dan secara otomatis, karena tangan kirinya masih dipegang. Dia menyerang dengan tangan kanannya. Jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya menyambar ke arah sepasang mata resi itu, dengan kecepatan kilat sehingga sang resi terkejut bukan main. Betapa pun saktinya, tentu saja matanya tidak bisa dibikin kebal dan dia tahu bahwa dara remaja ini bukan seorang bocah biasa, jari-jari tangan itu mengenai matanya, sungguh akan berbahaya sekali. Dan pada saat itu, kaki Sulastri juga bergerak cepat, menendang ke arah selakangan lawan di bawah pusar, tempat yang merupakan kelemahan bahkan tempat kematian bagi setiap orang pria!

   "Ehhhh...!"

   Resi Harimurti makin kaget dan terpaksa untuk menyelamatkan dirinya dia melepaskan tangan kiri dara itu, menggunakan tangan kanan untuk menangkis tusukan ke arah matanya dan dia menggunakan kipasnya untuk menyambut tendangan kaki Sulastri. Akan tetapi dara ini memang cerdik. Di maklum bahwa kepandaiannya tidak akan mampu mengalahkan resi ini serangan-serangan tadi sesungguhnya hanya dia lakukan sebagai gertakan dengan maksud agar tangan kirinya yang tertangkap itu dilepaskan. Setelah kini tangannya terlepas, dan melihat kipas pusaka itu menyambar kaki, dia cepat menraik kembali kakinya, melempar tubuh ke belakang dengan kuat sehingga tubuhnya berjungkir balik tiga kali ke belakang dan kini dia sudah berdiri agak jauh dari Resi Harimurti yang sakti itu.

   "Hemm...!"

   Suara geraman ini seperti auman singa dan menggetarkan hutan itu sehingga semua orang menjadi terkejut. Akan tetapi itu bukan auman singa karena segera disambung suara manusia yang terdengar bergema dan mengandung getaran dahsyat.

   "Siapa berani menggangu muridku? Lestari mundurlah...!"

   "Eyangggg...!"

   Sulastri menjadi girang bukan main dan dia cepat mundur beberapa langkah menjuhi orang-orang itu, matanya tajam dan waspada memandang gerak-gerik mereka.

   Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti saling pandang. Mereka mengerti bahwa guru dara remaja itu datang dan mereka terkejut dan kagum sekali karena suaranya sudah begitu dekat namun orangnya belum nampak! Dari ini saja, apalagi merasakan getaran suara itu, mereka berdua sebagai orang-orang sakti mengerti bahwa yang akan datang ini adalah seorang luar biasa yang berilmu tinggi, maka keduanya tanpa bicara, hanya dengan pandang mata saja, sudah bersepakat untuk bersikap hati-hati. Sementara itu Reksosuro yang tadi sudah merayap dan mengambil kerisnya, ketika mendengar suara itu, mukanya menjadi pucat sekali dan dia menyelinap ke belakang Empu Tunjungpetak seperti seorang anak kecil ketakutan yang bersembunyi di belakang orang dewasa untuk minta perlindungan. Dia mengenal suara itu, suara orang yang amat ditakuti, dan yang mendatangkan kengerian di dalam hatinya.

   Betul saja, tidak lama kemudian muncullah seorang kakek raksasa yang amat menyeramkan dan yang amat dikenal oleh Reksosuro dan yang sering dijumpainya dalam mimpi sehingga membuat dia hampir mati ketakutan. Ki Jembros atau Setan Jembros! Kakek jembel yang usianya sudah enam puluh sembilan tahun, bertubuh tinggi besar, bajunya terbuka, dadanya berbulu dan mukanya separuh tertutup oleh cambang bauk yang lebat, sepasang matanya lebar mempunyai sinar yang tajam dan aneh, dan biar pun tubuh tinggi besar akan tetapi sesungguhnya dia kurus. Kakek ini telah tiba di situ, menoleh ke arah Sulastri dan pandang matanya melunak melihat dara itu tidak apa-apa, kemudian dia memandang kepada dua orang pendeta tua itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring nadanya gembira seperti orang main-main.

   "Heh, kalian ini dua kakek tua bangka dan enam orang laki-laki pengecut, kenapa hanya berani menggangu seorang bocah perempuan? Kalau mau main-main, inilah lawanmu, pria sama pria dan tua sama tua!"

   Menyaksikan sikap kakek ini, Reksosuro dan lima orang kawananya menjadi gentar, dan dua orang pendeta itu pun menjadi makin hati-hati. Empu Tunjungpetak melangkah maju dan memandang kakek itu dengan penuh perhatian dan dengan bibir tersenyum ramah, lalu pertapa pantai Laut Jawa itu bertanya.

   "Bukankah andika yang bernama Ki Jembros?"

   Dengan matanya yang terbelalak lebar, Ki Jembros menatap wajah Empu Tunjungpetak, dan melihat pipi yang kempot itu menyembunyikan sekepal tembakau susur di sebelah kiri sehingga nampak menjendol di pipi. Ki Jembros tertawa.

   "Ha-ha-ha, aku pernah mendengar akan seorang pertapa di pantai Laut Jawa yang mencoba untuk menundukkan segala nafsunya akan tetapi masih kalah oleh segenggam tembakau susur. Andikakah orangnya?"

   Wajah yang kurus dari empu Tunjung petak menjadi merah. Akan tetapi dia menahan kesabarannya karena pertapa ini memang sudah mendengar akan tokoh perantauan yang bernama Ki Jembros ini, yang kabarnya mempunyai watak ugal-ugalan dan aneh namun juga memiliki kesaktian yang hebat.

   "Kisanak,"

   Katanya lembut.

   "Kami tidak tahu bahwa gadis ini adalah murid andika, dan kami tadi hanya mencegah dia membunuh para prajurit Mojopahit."

   "Bohong, eyang!"

   Sulastri membantah dengan suaranya yang nyaring.

   "Eyang lihat siapa monyet juling itu!"

   Dia menuding ke arah Reksosuro yang menjadi makin ketakutan, mencoba untuk menyembunyikan diri di belakang tubuh empu Tunjungpetak dari pandang mata Ki Jembros.

   "Dia adalah seorang di antara dua orang keparat yang dahulu menghina saya. Saya tadi mengenalinya dan hendak membunuhnya, akan tetapi lima orang kawannya membelanya, maka terpaksa saya hajar mereka. Saya tidak akan membunuh yang lain-lain, hanya akan membunuh si lutung juling, akan tetapi lima orang kawannya membelanya, maka terpaksa saya hajar mereka. akan tetapi kakek setan itu menghalangi dan menyerang saya."

   Kini dia menudingkan telunjuknya ke arah Resi Harimurti.

   Pandang mata Ki Jembros beralih ke arah Resi Harimurti yang sejak tadi hanya memandang dengan senyum mengejek. Dia pun sudah pernah mendengar nama Ki Jembros, akan tetapi dia memandang rendah, apalagi setelah kini bertemu dengan orangnya dan mendapat kenyataan bahwa orang yang namanya amat terkenal itu ternyata bukan lain hanyalah seorang jembel tua! Di lain pihak, Ki Jembros juga menyelidiki wajah Resi Harimurti dan kakek ini segera dapat meneropong watak sang resi melalui sinar mata yang terpancar dari sepasang mata pertapa kelana itu.

   "Aha, aku tidak mengenal dia ini akan tetapi biar pun pakaianmu jubah pendeta seperti seorang resi, akan tetapi jelas bahwa dia ini seorang hamba nafsu berahi yang amat lemah!"

   Diam-diam Resi Harimurti terkejut dan malu sekali mendengar ucapan yang memang tepat itu. Dia sendiri mengakui bahwa dia amat lemah terhadap cengkeraman nafsu berahi, maka ucapan Ki Jembros itu membuat dia malu dan akhirnya marah. Sepasang matanya mengeluarkan pancaran sinar panas.

   "Ki Jembros tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, tata susila dan kebaikan untuk melayani nafsu-nafsu binatang yang mengeram di dalam tubuhmu? Ha-ha-ha, sungguh berani mati! Siapa sih andika ini?"

   Empu Tunjungpetak yang menjawab.

   "Kisanak, harap jangan menghina sahabat kami. Dia Resi Harimurti..."

   "Woooooohhhhh! Pantas... pantas....! Bukankah Harimurti yang dahulu pernah mengganggu isteri Empu Sangiran, membikin ribut di keputren istana Kediri, lalu mengganggu dan membunuh puteri ki lurah di Terung dan masih banyak lagi? Harimurti yang itukah?"

   Harimurti menjadi terkejut bukan main. Peristiwa-peristiwa yang disebutkan oleh Ki Jembros itu memang benar, akan tetapi peristiwa-peristiwa itu merupakan rahasia-rahasia yang ditutup rapat, bahkan Empu Tunjungpetak tidak mengetahuinya, maka kini Empu Tunjungpetak memandang kepadanya dengan sinar mata heran. Harimurti menutupi rasa malunya dengan kemarahan.

   "Keparat jembel tua! Jangan sembarangan membuka mulut! Andika melepas fitnah busuk. Apa sih yang andika kehendaki ?"

   Ki Jembros tertawa.

   "Ha-ha-ha, masih ada rasa malu? Harimurti, antara muridku dan lutung juling itu ada urusan pribadi, maka kalau sekarang muridku hendak melakukan apa pun terhadap dia, andika atau siapa pun tidak boleh mencampuri."

   "Enak saja bicaramu! Reksosuro adalah prajurit dan utusan Mojopahit, sudah tentu aku akan membelanya."

   Harimurti yang sudah marah membentak dan menggerak-gerakkan kipasnya ke arah dada seolah-olah hendak mendinginkan hatinya yang panas.

   "Kalau begitu, biar muridku bertanding dengan monyet juling itu, dan andika boleh maju, akulah tandinganmu, tua sama tua!"

   Ki Jembros tersenyum lebat nampak giginya berkilat di balik cembang bauknya yang lebat.

   "Babo-babo, jembel tua busuk yang sombong! Andika agaknya sudah bosan hidup dan hendak merasakan tangan Resi Harimurti. Majulah!"

   Resi Harimurti menantang.

   "Ha-ha-ha, bagus sekali! Sudah lama tidak ada yang menanyangku sehingga semua tulang dan ototku menjadi kaku. Eh, Empu Tunjungpetak, apakah andika juga hendak maju pula meijati tubuhku yang lelah?"

   Wajah Empu Tunjungpetak menjadi merah sekali dan kakek ini lalu menoleh ke arah pohon jati besar di sebelah kanannya.

   "Cuhh!! Cepp!!"

   Kakek itu menyemburkan tembakau susur dari mulutnya dan gumpalan tembakau basah itu menancap masuk ke dalam batang pohon jati! Dari peristiwa ini saja sudah dapat diukur betapa kuatnya tenaga sakti kakek ini yang membuat tembakau susur yang disemprotkan itu seperti peluru saja amblas ke dalam batang pohon jati yang kuat. Dia tidak menjawab ejekan Ki Jembros, hanya berkata kepada Resi Harimurti.

   "Waspadalah, adi resi, dan jangan pandang ringan lawanmu."

   Resi Harimurti mengangguk, lalu menudingkan kipasnya ke arah muka Ki Jembros sambil membentak.

   "Ki Jembros kalau andika sudah siap, majulah!"

   "Sudah sejak lahir aku telah siap, dan kau lah yang maju karena kau yang menantang, bukan aku,"

   Ki Jembros menjawab sambil tertawa, sikapnya seenaknya saja seolah-olah dia sedang bersendau gurau dengan sahabat, bukan sedang berhadapan dengan seorang lawan yang berbahaya.

   "Keluarkan senjatamu!"

   Kembali Resi Harimurti membentak.

   "Heh-heh, Resi Harimurti! Ketika andika lahir di dunia, alam telah memberi andika sepasang tangan, sepasang kaki, mata telinga dan segala sesuatu serba lengkap dan sempurna dan semua itulah senjatamu. Akan tetapi sekarang andika yang kurang menghargai semua itu malah mengandalkan senjata buatan manusia. Ha-ha, aku sih dari dulu mengandalkan anggota tubuhku."

   "Babo-babo, keparat tua bangka, sumbarmu seperti mampu memindahkan Gunung Semeru saja. Engkau yang sengaja hendak membunuh diri, Ki jembros, dan jangan salahkan aku nanti karena aku memperingatkanmu untuk menggunakan senjata. Nah, sambutlah ini!"

   Gerakan Resi Harimurti memang cepat bukan main. Sulastri melihat ini dan merasa khawatir mengapa gurunya semikian sembrono, menghadapi lawan yang tangguh dengan seenaknya saja tanpa menggunakan senjata. Dengan terkejut dara ini melihat betapa sekali bergerak, Resi Hawrimurti telah mengebutkan kipasnya yang mendatangkan angin dahsyat, kipas menyambar ke arah muka Ki Jembros, disusul dengan totokan gagang kipas ke arah tenggorokan sedangkan tangan kiri Resi Harimurti, dalam detik berikutnya telah mencengkeram ke arah pusar lawan harimau yang dahsyat!

   "Plak-duk-dukk!"

   Tiga kali Ki Jembros seenaknya menggerakkan kedua tangannya, akan tetapi ternyata gerakannya itu sudah cukup untuk dapat menangkis semua serangan lawan dengan tepat bahkan tangkisan terakhir membuat tubuh Resi Harimurti condong ke belakang oleh dorongan tenaga yang amat kuat.

   Resi harimurti terkejut dan menjadi penasaran, apalagi ketika melihat Ki Jembros masih berdiri seenaknya sambil tersenyum di balik cambang bauknya. Akan tetapi sebetulnya di balik sikapnya yang seenaknya itu, Ki Jembros juga waspada karena petemuan tenaga tadi saja sudah membuka matanya bahwa Resi Harimurti benar-benar bukanlah lawan yang boleh dipandang ringan begitu saja.

   Resi Harimurti mengeluarkan gerenangan seperti beruang marah, kemudian kembali dia menerjang maju, lebih cepat dan lebih kuat dari pada tadi, menggunakan kipas bambunya, tangan kirinya dan juga kakinya yang bertubi-tubi mengirim serangan. Terdengar suara bak-buk-dak-duk ketika Ki Jembros menangkis dan balas menampar atau memukul, akan tetapi serangan balasan ini pun dapat dihalau oleh Resi Harimurto dengan tangkisan-tangkisan dan elakan-elakan tubuhnya yang ternyata gesit sekali itu. Tejadilah pertandingan yang seru dan seimbang.

   Sulastri menonton dengan penuh perhatian. Selama dia berkelana mengikuti gurunya, baru sekali inilah dia melihat gurunya bertanding melawan musuh yang kuat dan dia merasa kagum. Resi Harimurti memang gesit sekali, gerakannya seperti burung kepinis saja, menyambar-nyambar dan sukar diikuti pandang mata. Namun gurunya amat tenang, terlalu tenang malah, berdiri di tengah dan menghadapi serangan lawan yang menyambar-nyambar dari sekeliling itu dengan seenaknya. Dia melihat gurunya mempergunakan Aji Pukulan Hasta Naga dengan tangan kiri setiap kali membalas serangan dan diam-diam dia bangga karena ternyata bahwa Resi harimurti gentar menghadapi tamparan Hasta Naga itu dan setiap kali menangkis tentu tubuhnya tergetar, maka resi itu lebih banyak mengandalkan kecepatan gerankannya untuk mengelak.

   Tiba-tiba terdengar Ki Jembros berseru.

   "Resi cabul, engkau menjemukan!"

   Dan dengan gerakan cepat sekali, dia mengubah caranya membalas serangan, bukan memukul ke arah tubuh lawan, melainkan tangan kirinya dengan jari terbuka dan penuh dengan Aji Pukulan Hasta naga menampar ke arah kipas bambu lawan.

   "Krakkk!!"

   Kipas itu hancur berkeping-keping dan tubuh Resi Harimurti masih terhuyung saking hebatnya pukulan itu. Akan tetapi sambil terhuyung sang resi diam-diam memegang gagang pecutnya dan tiba-tiba nampak sinar putih berkelebat dibarengi ledakan keras dan pecut itu telah menyambar ke arah Ki Jembros.

   "Tarrrr...!!"

   Ki Jembros miringkan tubuh sehingga mukanya terhindar dari pecutan cambuk, akan tetapi cambuk yang panjang itu masih mengenai punggungnya dan membuat bajunya robek.

   "Ehhh...!"

   Ki Jembros meraba punggungnya. Bajunya robek dan kulit punggungnya terasa panas. Pecut itu benar-benar amat dahsyat, pikirnya.

   "Tar-tar-tarrr...!!"

   Kembali pecut panjang itu meledak-ledak di udara dan bertubi-tubi melecut ke arah tubuh Ki Jembros, mengarah bagian-bagian yang berbahaya dan ujung pecut itu seperti patuk garuda saja atau seperti moncong ular yang mematuk-matuk. Ki Jembros menangkis dengan tangan, mengelak, namun karena kakek ini tidak menggunakan kecepatan untuk mengelak atau senjata untuk melindungi tubuh, maka kembali panggung dan lambungnya terkena sambaran ujung cambuk dan bajunya robek-robek.

   "Ehhhh??"

   Ki Jembros kelihatan terkejut dan matanya terbelalak, sinar matanya mengeluarkan cahaya yang menandakan timbul kemarahannya dan yang hanya diketahui oleh Sulastri. Dara remaja ini tahu bahwa eyang gurunya mulai marah. Akan tetapi, hal ini tidak diketahui oleh Resi Harimurti yang tertawa-tawa mengejek dan terus menggerakan cambuknya, melecut-lecut dan terdengar cambuk itu meledak-ledak menyambar ke arah tubuh lawan.

   Tiba-tiba tangan kiri Ki Jembros dapat menangkap ujung cambuk, lalu tangannya digerakkan berputar sehingga cambuk itu membelit-belit lengannya. Suara ledakan terhenti dan Resi Harimurti menari-narik cambuknya. Cambuk itu menegang, terjadi tarik-menarik dan tiba-tiba mulut Ki Jembros dan... tubuh Resi Harimurti terangkat ke atas dan terlempar seperti seekor ikan besar kena pancing, lalu terbanting ke atas tanah mengebulkan debu. Akan tetapi, tubuh Resi Harimurti terlindung kekebalannya dan biar pun dia terkejut bukan main karena tubuhnya terangkat melayang oleh tarikan lawan yang dahsyat dan tak tertahankan, namun dia dapat meloncat lagi bangkit berdiri dan kini, dengan kedua kaki terpentang dan dengan pengerahan tenaga sekuatnya sehingga kedua kakinya seperti berakar pada bumi, dia mempertahankan cambuknya dengan memegang gagang pecut erat-erat.

   "Ha-ha-ha!"

   Ki Jembros tertawa dan kembali kakek tinggi besar ini mengerahkan tenaganya menarik. Resi Harimurti mempertahankan sekuat tenaga. Pecut itu makin menegang dan tiba-tiba terdengar suara keras dan tubuh resi Harimurti terjengkang! Pecut itu telah putus di tengah-tengahnya, tidak kuat menahan tarikan dua tenaga dahsyat itu.

   "Ho-ho, resi cabul, terimalah hadiahku ini!"

   Ki Jembros melangkah lebar ke arah Resi Harimurti yang sudah meloncat bangun lagi, dan kakek tinggi besar ini sudah melakukan pukulan dengan tangan kirinya yang didorong ke depan dengan telapak tangan terbuka. Hanya pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah Resi harimurti. Melihat ini, Resi Harimurti juga cepat mendorongkan tangan kanannya menyambut serangan dahsyat itu, karena dia maklum bahwa mengelak pun tidak ada gunanya, bahkan membayangkan karena lawannya menggunakan pukulan sakti.

   "Plakkk!"

   Dua tangan sakti yang dahsyat melalui telapak tangan masing-masing bertemu di udara dan seolah-olah tempat itu tergetar hebat. Seperti tadi ketika saling memperebutkan pecut, mereka berdua kini juga mengadu tenaga, hanya bedanya kini mereka saling mendorong. Sungguh hebat dan menegangkan karena siapa yang kalah dalam adu tenaga sakti ini tentu terancam bahaya maut! Dan kedua kaki Resi harimurti yang mempertahankan diri itu mulai kelihatan gemetar, tanda bahwa dia mulai terdesak hebat, sedangkan Ki Jembros masih tertawa-tawa agaknya hanya mengerahkan tenaga seenaknya saja.

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Melihat kawannya terancam bahaya maut, Empu Tanjungpetak lalu meloncat kedepan, menghampiri Ki jembros dan berseru.

   "Jangan terlalu mendesak orang, Ki Jembros! tegurnya halus sambil menggerakkan tangannya untuk menyentuh pundak kakek raksasa itu. Sebetulnya maksud Empu Tanjungpetak hanya untuk melerai dan mencegah Ki jembros membunuh Resi Harimurti yang sudah terdesak. Akan tetapi melihat ini, Ki Jembros menyangka bahwa Empu Tunjungpetak hendak menyerangnya, maka dia membentak keras,

   "Enyahlah, empu Tunjungpetak!"

   Dan tangan kanannya menyambar ke arah Empu Tunjungpetak.

   "Ehhh...!"

   Empu Tunjungpetak tentu saja terkejut sekali dan cepat dia pun mendorongkan tangannya menyambut.

   "Plakk!"

   Dua telapak tangan yang mengandung tenaga dahsyat bertemu dan melekat.

   Kini terjadilah adu tenaga yang menegangkan sekali. Ki Jembros berada di tengah-tengah, tangan kirinya saling dorong dengan tangan kanan Resi harimurti, sedangkan tangan kanannya saling menempel dengan tangan kanan Empu Tunjungpetak, juga saling dorong dengan pengerahan tenaga sakti.

   Beberapa detik lamanya, tiga orang itu tidak bergerak seperti telah berobah menjadi arca. Tiba-tiba terdengar Ki Jembros mengeluarkan teriakan melengking nyaring yang menyeramkan, seperti bukan suara manusia lagi, dan semua orang yang mendengar lengkingan ini terguncang jantungnya dan mengigil kakinya. Ki Jembros mengerahkan tenaganya dan nampak tubuh Resi harimurti terlempar dan roboh ke atas tanah sambil muntahkan darah segar, sedangkan tubuh Empu Tunjungpetak terdorong ke belakang sampai jauh, wajah kakek ini pucat dan tubuhnya gemetar. Ki Jembros sendiri masih berdiri di tempatnya, matanya terbelalak dan tubuhnya bergoyang-goyang.

   "Eyang...!"

   Sulstri menghampiri gurunya, maklum akan keadaan gurunya yang tidak sewajarnya.

   "Lastri... mari kita pergi...! Suara gurunya terdengar aneh dan parau, lalu Ki Jembros memegang tangan muridnya dan membawanya pergi dari tempat itu dengan langkah lebar namun agak terhuyung sehingga Sulastri cepat mengerahkan tenaga dan memegang tangan gurunya kuat-kuat agar tubuh gurunya tidak sampai jatuh.

   Empu Tunjukpetak sendiri sudah cepat menghampiri kawannya dan berlutut di dekatnya, memijit tengkuk dan punggung lalu menempelkan telapak tangannya di dada temannya yang terluka parah di sebelah dalam itu. Reksosuro sudah tidak kelihatan mata hidungnya karena tadi diam-diam dia sudah lari bersembunyi saking takutnya melihat Ki jembros. Ada pun lima orang temannya tentu saja tidak berani mencegah Ki jembros dan dara yang sakti itu pergi dari tempat itu.

   Akhirnya Resi Harimurti siuman dari pingsannya dan mengeluh. Empu Tunjungpetak berkata lirih.

   "Untung andika dapat tertolong, adi resi... ahhh, sungguh bukan nama kosong belaka Ki Jembros yang dikabarkan amat sakti..."

   Resi Harimurti mengepal tinjunya.

   "Aku masih penasaran... kelak aku akan membalas kekalahan ini!"

   Empu Tunjungpetak menarik napas panjang, di dalam hatinya maklum bahwa akan sukarlah terlaksanannya dendam kawannya itu kalau hanya dilakukan seorang diri saja. Tingkat kesaktian Ki Jembros jauh lebih tinggi daripada seorang di antara mereka. Bahkan dikeroyok dua pun kakek jembel itu masih unggul dan untung saja tadi Ki jembros menyudahi urusan itu dan pergi. Sungguh aneh dan sukar diselami isi hati Ki Jembros.

   "Sudahlah mari kita melanjutkan perjalanan saja. Tidak baik bermalam di tempat ini,"

   Kata Empu Tunjukpetak dan tak lama kemudian muncullah Reksosuro dari tempat persembunyiannya setelah dia yakin benar Ki Jembros dan muridnya telah pergi. Rombongan itu lalu melanjutkan perjalanan berkuda perlahan-lahan.

   Sementara itu, Ki jembros dan Sulastri berjalan terus memasuki hutan. Malam tiba dan cuaca gelap sekali. Akhirnya, di tengah hutan. Ki Jembros berhenti dan mengeluh pendek, lalu berkata.

   "Kita berhenti di sini... buatlah api unggun..."

   Dia lalu merebahkan diri di atas rumput.

   Sulastri cepat membuat api unggun dan api yang bernyala tinggi mengusir hawa dingin dan cahayanya menembus kegelapan malam. Tiba-tiba terdengar suara muntah. Sulastri cepat mendekati kakek itu dan ternyata Ki Jembros muntahkan darah segar!

   "Eyang...!"

   Ki Jembros sudah bangkit duduk, menggerakkan tangan agar muridnya tidak menjadi panik.

   "mereka berdua... terlalu kuat..."

   Katanya lirih lalu dia duduk bersila dan memejamkan mata.

   Sulastri maklum bahwa gurunya menderita luka dalam tubuhnya dan kini gurunya itu sedang mengumpulkan lukanya, maka dia pun diam saja, hanya merasa gelisah dan cepat dia memasak air dengan alat-alat masak yang tak pernah ketinggalan berada dalam buntalan mereka. Dalam keadaan seperti itu, gurunya membutuhkan air panas.

   Ternyata bahwa kekuatan empu Tunjungpetak dan Resi harimurti digabung menjadi satu tadi terlalu kuat bagi Ki Jembros, apalagi dia telah tua sekali, usianya hampir tujuh puluh tahun. Biar pun dia dapat menolong diri sendiri dan dapat terhindar dari bahaya maut, namun tubuhnya menjadi lemah dan karena lukanya di sebelah dalam tubuhnya, kakek ini untuk sementara tidak berani mengerahkan tenaga karena hal ini akan membahayakan nyawannya.

   Tiga hari kemudian, setelah terhindar dari bahaya maut, kakek itu menghentikan samadhinya dan berkata.

   "Sulastri, hanya karena mengingat akan keselamatanmu, maka setelah terluka aku mengajakmu pergi karena aku tidak mampu lagi melindungimu. Ahh... pihak yang menjadi lawanmu mempunyai banyak orang sakti, Lastri..."

   Sulastri mengepal tinjunya yang kecil.

   "Akan tetapi saya tidak takut, eyang! Pada suatu hari, saya harus dapat membunuh Reksosuro, Darumuko dan berhadapan dengan majikan mereka yang bernama Resi Mahapati!"

   Ki Jembros menarik napas panjang, akan tetapi dia tidak kehilangan kegembiraannya, dan tersenyum memandang muridnya.

   "Engkau memang hebat dan patut menjadi muridku! Ah, engkau tidak tahu siapa Resi Mahapati! Dia selain sakti, juga mempunyai kedudukan tinggi mempunyai banyak pasukan dan pembantu-pembantu yang sakti. Seorang dara muda seperti engkau ini, bisa berbuat apakah terhadap dia?"

   "Saya tidak takut! Kalau perlu saya pun akan mengumpulkan banyak kawan untuk menyerbu tempat tinggalnya!"

   "Wah, kalau begitu sama saja engkau akan memberontak terhadap Mojopahit."

   "Tidak, eyang! Akan tetapi kalau mau dianggap demikian pun terserah. Saya hanya hendak membalas dendam terhadap memberontak Mojopahit masa bodoh! Guruku, mendiang Adipati Ronggo Lawe juga diperlakukan tidak adil oleh Mojopahit, terutama sekali Mahapati!"

   Ki Jembros tertawa bergelak, kembali kegembiraan seolah-olah dia tidak berada dalam keadaan sakit parah.

   "Ha-ha-ha, tentu saja anggapanmu demikian dan mengapa sebabnya engkau tidak suka kepada mereka? Karena kau merasa dirugikan, kau mengandung dendam. Coba kau diuntungkan, tentu akan lain lagi anggapanmu. Ha-ha, baik buruknya seseorang, baik perorangan mau pun kelompok, selalu ditentukan oleh untung rugi yang dirasakan. Akan tetapi sudahlah, engkau pun hanya seorang bocah yang masih mentah dan belum mengerti. Sekarang, demi keselamatanmu karena untuk beberapa bulan lamanya aku tidak mungkin dapat melindungimu, kita harus pergi ke Gunung Bromo."

   "Ke Gunung Bromo? Di mana itu, eyang dan untuk apa pergi kesana?""Ada seorang sahabatku di Gunung Bromo, letaknya jauh di timur. Sahabatku itu adalah seorang yang hidup dengan damai, tidak pernah mencampuri urusan dunia. Namanya Empu Supamandrangi dan karena engkau menganggap dirimu murid Ronggo Lawe, maka empu itu berarti masih eyang gurumu sendiri karena dia adalah guru Ronggo Lawe."

   Wajah Sulastri berseri.

   "Kalau begitu, beliau tentu suka mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian kepada saya dan suka membantu saya."

   Ki Jembros tersenyum.

   "Entahlah, kelak kau tanya kepadanya sendiri. Yang penting kalau kau berada disana, engkau akan terlindung dan aman, sedangkan aku sendiri akan mengaso, selain untuk mengembalikan kesehatan juga aku sudah bosan merantau."

   Demikianlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan ke selatan dan pada suatu hari tibalah mereka di kaki Pegunungan Pandan. Karena hari telah menjelang senja maka Ki Jembros mengajak muridnya untuk berhenti dan melewatkan malam di kaki gunung, di luar sebuah hutan. Kakek itu mengeluh dan sebelum bersamadhi, dia berkata.

   "Aahhh, sudah lama sekali aku tidak makan enak. Heran, beberapa hari ini aku ingin sekali makan ketan kelapa. Aih, sampai termimpi-mimpi olehku... akan tetapi di tempat seperti ini mana mungkin mendapatkan ketan kelapa...? Dasar mulut tua yang selalu rakus dan perut yang tak mengenal kenyang, ha-ha!"

   Biar pun kata-katanya mengandung keluhan, namun kakek itu masih tertawa-tawa gembira.

   Mendengar ini, hari Sulastri merasa terenyah sekali. Dia mulai mengenal watak gurunya ini dan bersemilah kasih sayang dan ibanya terhadap kakek itu yang juga amat kasih kepadanya. Kini, mendengar keluhan gurunya, dia merasa kasihan sekali. Dara itu tahu bahwa gurunya itu tidak mempunyai kesenangan lain lagi kecuai makan enak dan biasanya, apa pun yang dikehendaki tentu akan tercapai berkat kepandaiannya yang tinggi. Untuk memenuhi selera dan gairah mulutnya, kalau perlu gurunya itu tidak segan-segan untuk memasuki dapur istana dan mencuri makanan-makanan yang diinginkannya! Sering kali dalam perantauannya yang empat tahun lebih lamanya itu, dia diajak oleh gurunya untuk mencuri makanan-makanan lezat di dalam gedung-gedung dan istana-istana bangsawan tinggi, masuk ke dalam dapur dan menyikat makanan-makanan yang mahal-mahal.

   Bahkan pernah di rumah seorang panewu, gurunya yang kekenyangan itu sampai tertidur di dalam dapur dan pada keesokan harinya mereka konangan (ketahuan) dan dikejar-kejar! Akan tetapi tentu saja berkat ilmu kesaktian gurunya, mereka dapat menyelamatkan diri dan terhindar dari pengejaran para penjaga. Dan pernah pula gurunya mengajak dia mengunjungi pesta pernikahan tanpa diundang untuk menikmati hidangan dalam pesta itu! Pendeknya, sudah banyak hal-hal yang lucu dan berbahaya dia alami bersama gurunya itu dan kini, dalam keadaan sakit, keinginan makan ketan kelapa saja tidak tercapai!

   "Eyang saya mau pergi dulu,"

   Tiba-tiba dara itu berkata.

   Gurunya memandangnya dan sepasang mata yang lebar itu berseri.

   "Mau kemana, Sulastri?"

   Dia bertanya, pura-pura tidak tahu.

   "Mau ada keperluan sedikit, eyang. Harap eyang beristirahat sedikit dulu di sini, eyang. Saya pergi takkan lama."

   Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi ketika tubuh yang ramping itu sudah menyelinap lenyap di balik pohon-pohon, dia berteriak.

   "Heii, Sulastri jangan lupa..., gula kelapanya!"

   Terdengar suara dara itu tertawa.

   "Hik-hik, jangan khawatir, eyang!"

   Akan tetapi bayangan Sulastri sudah tidak nampak lagi.

   Pesan gurunya itu menambah semangat Sulastri. Gurunya tahu bahwa kepergiannya adalah untuk mencarikan ketan yang amat diinginkan gurunya itu. Hal ini menandakan bahwa Ki Jembros sudah mengenal detil isi hati dan gerak-geriknya, pikir Sulastri. Kasihan eyang guru, aku harus mendapatkan apa yang diinginkannya itu, kalau perlu aku akan mencuri beras ketan dan memasaknya sendiri!

   Karena tidak mengenal daerah Pegunungan Pandan, Sulastri lalu memanjat sebatang pohon randu alas yang tinggi untuk mencari di mana adanya dusun yang terdekat. Dari puncak pohon randu alas, dia memandang ke empat penjuru. Ternyata yang nampak ada kelap-kelip api penerangan amat jauhnya, dan yang terdekat adalah api penerangan yang berada di dalam hutan di lereng bukit itu! Setelah meneliti dan mengira-ngira di mana letaknya tempat yang ada api penerangan itu, Sulastri turun dan mulailah dia mendaki bukit menuju ke arah tempat yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon randu alas.

   Ternyata tempat itu tidak begitu jauh dan kini dia sudah memasuki sebuah hutan kecil yang sunyi. Untung malam itu bulan bersinar terang, hampir penuh, maka tidaklah begitu sukar untuk dara perkasa ini memasuki hutan dan melewati jalan setapak menuju ke lereng bukit.

   Ada beberapa buah bangunan di hutan itu, di tengah hutan. Hati dara itu kecewa karena agaknya bangunan-bangunan itu hanya merupakan bangunan darurat saja dan tidak menyerupai sebuah dusun. Jangan-jangan tidak ada orangnya, pikirnya. Akan tetapi tidak mungkin, karena ada lampu-lampu penerangan dinyalakan penghuni sebuah dusun, mana mungkin menyimpan beras ketan? Betapa pun juga, dia harus memeriksa dan mencari lebih dulu.

   Sulastri berindap-indap mendekati kelompok rumah-rumah itu dengan hati-hati, menyelinap di antara pohon-pohon dan bayangan-bayangan gelap. Dia merasa agak heran mengapa keadaannya begitu sunyi, padahal ada lebih dari sepuluh buah rumah di situ, rumah-rumah besar pula. Di tengah kelompok rumah itu terdapat bangunan terbesar yang agaknya terkurung oleh bangunan-bangunan lain, seolah-olah bangunan di tengah itu merupakan pintunya.

   Akan tetapi Sulastri tidak memperhatikan hal itu, juga dia tidak memperhatikan betapa rumah-rumah yang mengelilingi bangunan besar di tengah itu menghadap ke delapan penjuru, seperti penjaga-penjaga yang menjaga keamanan rumah besar itu! Sulastri malah menyelinap dan menghampiri rumah besar karena dia mengambil keputusan untuk mencuri saja beras ketan yang dikehendaki gurunya. Kalau dia melihat ada orang-orang di luar rumah itu, tentu dia tidak akan merasa segan untuk minta beberapa genggam beras ketan untuk gurunya. Akan tetapi karena dia mengambil keputusan untuk mencuri saja dan sama-sama mencuri, lebih baik mencuri dari rumah yang terbesar itu.

   Seperti seorang kucing, tanpa mengeluarkan suara Sulastri meloncat dari satu tempat gelap ke lain tempat gelap, menyelinap diantara bangunan-bangunan di sekitar bangunan besar itu dan akhirnya tibalah dia di tempat terbuka, di lapangan rumput yang menjadi dasar antara rumah-rumah lain dengan rumah besar itu. Karena di bagian ini tidak ada pohon-pohonnya, maka untuk menyeberang dari rumah biasa ke rumah besar itu harus melalui lapangan rumput yang diterangi sinar bulan. Berindap-indap Sulastri melangkah dan menoleh ke kanan kiri. Setelah dilihatnya bahwa benar-benar keadaan di situ sunyi tidak ada orang, dia lalu berloncat dan berlari sampai ke tengah lapangan rumput.

   Tiba-tiba terdengar suara orang. Sulastri terkejut, berhenti dan memandang ke sekelilingnya. Tampak olehnya banyak orang bermunculan dari balik pohon-pohon dan rumah-rumah itu, dan lapangan rumput itu telah dikepung orang yang lebih dari tiga puluh banyaknya. Sulastri terkejut bukan main dan sikapnya seperti seekor harimau terkepung. Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, tubuhnya agak merendah karena kedua lututnya ditekuk dan dia membalik-balikkan tubuhnya dengan gerak cepat ke depan belakang dan kanan kiri, siap untuk menghadapi segala kemungkinan! Sedikit pun dia tidak menjadi gentar atau takut, hanya merasa menyesal bahwa dia kurang hati-hati sehingga tidak tahu bahwa dia terjebak dan terkurung, bahwa kedatangannya telah diketahui orang sehingga sebelum dia berhasil mencuri beras ketan, dia telah terkepung!

   Diam-diam Sulastri harus mengakui bahwa gerakan orang-orang itu amat luar biasa. Rapi sekali cara mereka bersembunyi tadi sehingga kini telah mengepungnya, dan dia melihat bahwa pakaian mereka ringkas dan seragam, juga senjata di tangan mereka sama, yaitu tombak-tombak cagak yang bergagang panjang, bahkan cara mereka memegang tombak cagak itu pun sama, tanda bahwa mereka itu terlatih baik.

   "Tangkap mata-mata musuh!"

   Terdengar suara seorang laki-laki membentak dan Sulastri cepat menoleh ke kiri, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi lima orang laki-laki tinggi besar yang melihat pakaian dan senjatanya tentu merupakan pimpinan mereka. Lima orang ini berpakaian kembar dan mereka semua memegang sebatang parang atau golok yang mengkilap saking tajamnya. Bentakan itu keluar dari mulut seorang di antara mereka.

   "Tahan!"

   Sulastri mengangkat tangan kanan ke atas ketika beberapa orang bergerak hendak menangkapnya. Mendengar bentakan ini, seorang di antara lima pemimpin itu memberi isyarat dan beberapa orang itu mundur lagi.

   "Mata-mata, kau hendak bicara apa?"

   Bentak seorang di antara mereka yang berkumis tebal, sekepal sebelah, mukanya hitam dan matanya melotot besar. Agaknya dialah pemimpin pertama di antara lima orang itu.

   "Aku bukan mata-mata,"

   Jawab Sulastri dengan suara yang tabah dan nyaring. Terdengar suara tertawa menyambut di sana-sini tertawa yang menyatakan tidak percaya.

   "Hemm, melihat bahwa engkau hanya seorang bocah perempuan yang masih remaja, memang tidaklah pantas kalau engkau menjadi mata-mata. Akan tetapi melihat keberanianmu memasuki tempat ini, dan gerakanmu yang cekatan tanda bahwa engkau bukan anak perempuan sembarangan, dan engkau berindap-indap memasuki daerah ini dengan sembunyi-sembunyi, apa lagi engkau kalau bukan mata-mata Mojopahit?"

   "Kalian keliru. Aku bukan mata-mata Mojopahit!"

   Jawab Sulastri, suaranya tegas meyakinkan.

   "Sungguh luar biasa. Engkau bersikap tabah sekali, pasti engkau bukan seorang bocah dusun biasa! Eh, nini kalau engkau bukan mata-mata, habis mau apa engkau berkeliaran di sini dan bersikap seperti maling?"

   "terus terang saja, aku memang tadinya berniat untuk mencuri."

   terdengar seruan-seruan kaget.

   "mencuri?"

   Si kumis tebal bertanya.

   "Ya, karena kulihat tidak ada seorang pun yang bisa kumintai, maka aku terpaksa hendak memasuki dapur terbesar ini untuk mencuri."

   "Memasuki dapur? Eh, bocah aneh, kau mau mencuri apa di dapur?"

   "Mencuri beras ketan. Satu beruk (takaran batok kelapa) pun cukuplah."

   Tiga puluh lebih orang laki-laki yang bersikap gagah dan kuat itu tertawa, akan tetapi mereka memandang penuh keheranan dan bahkan di antara mereka ada yang menyangka agaknya perawan cilik yang cantik manis ini tidak beres otaknya!

   "Mencuri ketan? jangan main-main, nini. Engkau tentu mata-mata yang dikirim oleh Mojopahit atau oleh Progodigdoyo di Tuban. Hayo mengaku sajalah!"

   Bentak pemimpin ke dua.

   "Siapa main-main? Aku membutuhkan ketan dan karena tidak ada yang kumintai, maka aku hendak mencuri. Apa anehnya itu? Aku bukan mata-mata, baik mata-mata Mojopahit mau pun mata-mata Tuban dan kalian jangan menuduh aku sembarangan saja!"

   Sulastri mulai menjadi marah karena berkali-kali dituduh mata-mata.

   "Nini, apa pun adanya engkau, sikapmu mencurigakan sekali maka menyerahlah. Engkau harus ditangkap dan kami periksa sebelum ada keputusan,"

   Kata si kumis tebal.

   Tentu saja Sulastri enggan untuk ditangkap. Dia mengepal kedua tinjunya dan berkata marah.

   "Sudah kukatakan bahwa aku membutuhkan sedikit beras ketan. Kalau kalian mau memberiku, aku akan menghaturkan terima kasih. Akan tetapi kalau kalian begitu pelit untuk memberi, sudahlah. Aku tidak bersalah apa-apa, siapa sudi ditangkap? Hayo coba siapa yang berani menangkap aku?"

   Dia menantang.

   Terdengar pula suara ketawa di sana-sini. Mereka mulai merasa gembira menghadapi dara remaja yang kini kelihatan benar kecantikannya setelah ada beberapa orang yang menyalakan obor. Sikap dara ini yang begitu lincah, begitu berani bahkan berani menantang mereka ketika hendak ditangkap, benar-benar menggembirakan hati mereka. Bahkan lima orang pemimpin itu sendiri tersenyum dan saling pandang, diam-diam mereka menilai dan menduga bahwa bocah ini tentulah bukan bocah sembarangan sehingga makin yakinlah hati mereka bahwa anak perempuan ini tentulah seorang mata-mata dari Mojopahit, sungguh pun mereka belum pernah mendengar ada seorang prajurit wanita yang begini muda dan begini lincah. Timbullah keinginan mereka untuk mencoba kepandaian anak perempuan ini.

   "Gendro, kau tangkaplah bocah bengal ini!"

   Si kumis tebal memerintah seorang anak buahnya yang berusia empat puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan nampak kuat sekali.

   Gendro melangkah maju, mengurut kumisnya dan jelas bahwa dia merasa sungkan sekali.

   "Wah... wah... ini... seperti saya melawan anak sendiri. Wah, nini kenapa kau tidak menyerah saja? Percayalah, pimpinan kami adalah orang-orang gagah kalau memang kau tidak bersalah tentu akan dibebaskan kembali. Perlu apa engkau melawan kami? Hah, sungguh tidak enak bagiku..."

   Begitu melihat sikap orang ini, hati Sulastri sudah melunak. Orang ini jelas adalah seorang laki-laki yang gagah dan jujur, biar pun sikapnya kasar. Maka dia pun menjawab.

   "Paman, aku tidak merasa bersalah, kalau mau ditangkap tentu saja aku melawan. Siapa pun yang hendak menangkap aku, tentu saja akan kulawan. Terserah kepada kalian mau percaya atau tidak omonganku."

   Laki-laki yang bernama Gendro itu meragu, akan tetapi dengan lantang si kumis tebal yang ingin menguji anak perempuan yang luar biasa itu membentak.

   "Gendro, tangkap dia!"

   Gendro menggerakkan kedua pundaknya seperti orang binggung. Dia tidak mempunyai pilihan lain, maka dengan gemas dia lalu menancapkan tombaknya di atas tanah. Tombak itu menancap sampai setengahnya, tanda betapa kuatnya lengan yang kekar itu. Kemudian, dia pun melepaskan goloknya dan menyerahkan kepada seorang teman. Kemudian dia melangkah maju dan berkata.

   "Nini, kalau ada kepandaian, bersiaplah karena aku akan menangkapnya!"

   Melihat Gendro meninggalkan dua senjatanya, Sulastri merasa makin suka kepadanya orang tinggi besar ini.

   "Aku sudah siap, dan berhati-hatilah engkau menangkapku, paman. Jangan kira kau akan dapat menangkapku dengan mudah."

   Orang-orang tertawa, menganggap kata-kata anak perempuan itu terlalu tinggi sehingga menjadi lucu kedengarannya. Gendro lalu melangkah maju dengan mengembangkan kedua lengannya yang panjang, seperti hendak menangkap seekor ayam saja layaknya, dan dia ingin melihat bagimana sikap Sulastri. Akan tetapi, anak perempuan itu berdiri tegak, tak bergerak sedikit pun, hanya pandang matanya saja yang bergerak-gerak penuh ketelitian, dan kedua tangannya tergantung di pinggir tubuh dengan lepas. Sikap seorang pendekar yang tenang!

   "Awas...!"

   Gendro membentak dan tiba-tiba dia menubruk dengan langkah lebar ke depan karena dia memperhitungkan bahwa gadis cilik itu tentu akan mengelak ke belakang maka dia sudah mendahului melangkah lebar ke depan dan ditambah dengan panjangnya kedua lengannya, maka elakan itu tentu akan sia-sia belaka.

   "wuuuttt...!!"

   Gendro menubruk angin dan dia terkejut bukan main karena anak perempuan itu tiba-tiba saja lenyap dari depannya! Dia terbelalak ke depan, menengok ke kanan kiri dan di sana-sini terdengar seruan heran! Juga lima orang pimpinan itu terkejut bukan main melihat betapa dengan gerakan seperti terbang saja dara remaja itu tadi telah menloncat ke atas melalui kedua lengan lawan dan bahkan melewati kepala Gendro dan tiba di belakang si tinggi besar itu, agaknya tanpa diketahui oleh Gendro yang kebingungan. Lima orang itu maklum bahwa kalau dikehendakinya, tentu perempuan luar biasa itu dapat saja memukul roboh Gendro dari belakang selagi si tinggi besar itu kebingungan!

   "Paman engkau mencari apa di situ? Aku berada di sini!"

   Gendro cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak lebar ketika dia melihat bahwa dara remaja itu ternyata telah berada di belakangnya tanpa dia ketahui! Dia merasa heran sekali, akan tetapi suara ketawa kawan-kawannya membuat telinganya menjadi merah dan dia merasa penasaran sekali. Dia terkenal sebagai jagoan di antara kawan-kawannya, akan tetapi sekarang dia dipermainkan oleh seorang bocah, dan bocah itu perempuan pula! Gendro adalah seorang kasar yang hanya mengenal ilmu berkelahi yang kasar mengandalkan tenaga, maka dia belum sadar seperti lima orang pemimpinnya itu bahwa dia menghadapi seorang anak perempuan yang luar biasa!

   "Hemm, kau berani mencoba menyakiti aku?"

   Sulastri berkata dan kedua tangannya bergerak, yang kanan mendahului cengkraman ke arah kepala dan menangkis, sedangkan yang kiri menampar ke arah lengan yang besar itu dengan Aji Hasta Naga yang hanya dikerahkan sedikit saja.

   "Plakk... auuughhh... aduuuhhhh...!"

   Raksasa itu mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanannya yang kena tampar tadi, karena rasanya nyeri bukan main, myeri dan panas sampai menusuk tulang sumsumnya.

   Masih ada sebagian anak buah yang tertawa, mengira bahwa jagoan mereka itu hanya pura-pura kesakitan, karena mana mungkin lengan sebesar dan sekuat itu menjadi kesakitan kena ditampar tangan yang kecil mungil itu? Akan tetapi, si kumis tebal dan empat orang temannya sudah mengerti bahwa dara remaja itu benar-benar sakti. Mereka terkejut sekali dan makin tebal keyakinan hati mereka bahwa dara remaja itu pastilah seorang mata-mata Mojopahit yang sengaja diutus untuk menyelidiki keadaan mereka. Maka si kumis tebal memberi isyarat dengan pandang mata kepada empat orang temannya yang mengerti akan isyarat ini dan serentak mereka maju mengepung Sulastri! Para anak buah mereka ini baru mengerti bahwa Gendro tidak berpura-pura, maka mereka memandang dengan hati tegang dan terheran-heran melihat lima orang pemimpin mereka mengepung dara remaja itu. Sungguh merupakan penglihatan yang aneh dan ganjil sekali bahwa lima orang pimpinan mereka yang berkepandaian hebat itu harus mengepung seorang anak perempuan!

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Nini, kau menyerahlah untuk kami harapkan kepada pemimpin kami."

   Si kumis tebal yang betapa pun juga merasa malu kalau harus menggunakan kekerasan terhadap dara remaja itu, berkata membujuk.

   "Bocah sombong!"

   Si kumis tebal membentak dan bersama empat orang temannya dia maju menubruk untuk menangkap anak perempuan itu.

   Namun Sulastri mengelak ke sana-sini dengan amat cepatnya, kemudian dia membagi-bagi tamparan dengan Aji Hasta Naga. Terdengar mereka mengaduh-aduh dan tiga orang di antara mereka yang terkena tamparan ini terpelanting. Mereka sama sekali tidak bersiaga menghadapi tamparan yang sakti dan ampuh itu dan tadi terlalu memandang rendah maka sampai menjadi korban tamparan tanpa melindungi diri dengan kekebalan.

   Kini terkejutlah semua orang! Dalam segebrakan saja dara itu mampu membuat tiga di antara lima pimpinan itu terpelanting. Bukan main! Tiga orang itu hanya sebentar mengeluh dan cepat meloncat dengan muka merah. Kini lima orang itu mengurung dengan mata mulai menyinarkan kemarahan.

   "Mundur semua...!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dan lima orang itu cepat mundur dengan muka merah dan sikap malu.

   Sulastri mengangkat mukanya memandang dan ternyata dari dalam bangunan besar itu muncul dua orang laki-laki setengah tua yang bersikap gagah perkasa dan berwibawa. Semua anak buah yang mengepung tempat itu mundur dan tidak ada yang berani bersuara ketika dua orang itu maju menghampiri tempat itu. Yang seorang berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi kurus, alisnya tebal dan matanya tajam sikapnya tenang. Seorang lagi lebih muda beberapa tahun, bertubuh sedang dan berwajah tampan wajahnya berseri dan membayangkan sifat gembira.

   "Apa yang terjadi di sini? Apa artinya keributan ini dan apakah anak perempuan ini?"

   Si alis tebal bertanya, suaranya menggeledek dan agaknya dia marah dan menyangka bahwa anak buahnya mengganggu anak perempuan yang dia lihat amat cantik itu. Pandang matanya seperti kilat menyambar-nyambar ke wajah lima orang pembantunya.

   Si kumis tebal cepat memberi hormat dan menjawab.

   "Harap paduka maafkan. Kami menemukan anak ini dalam keadaan mencurigakan, seperti mata-mata hendak menyelidiki keadaan kita. Ketika kami bertanya, dia memberi jawaban tak masuk akal, katanya hendak mencuri beras ketan. Kami yakin dia adalah mata-mata musuh dan ternyata dia memiliki kepandaian tinggi, hampir mengalahkan kami berlima yang hendak menangkapnya."

   Dua orang pemimpin itu terkejut dan kini mereka memandang kepada Sulastri dengan penuh selidik. Orang ke dua yang berwajah gembira itu tersenyum dan melangkah maju.

   "ah, sungguh aneh kalau bocah sebesar ini, wanita lagi, memiliki kepandaian yang luar biasa, dan kalau memang demikian, patut dicurigai, kakangmas Juru Demang. Biarlah aku mengujinya."

   Si alis tebal yang disebut Juru Demang itu mengangguk setuju.

   "Tapi jangan kau deritakan dia, dimas, aku melihat dia bukan bocah sembarangan."

   Orang itu mengangguk lalu melangkah menghadapi sulastri.

   "Nini, apakah benar kau hendak mencuri beras ketan kemudian ketika hendak ditangkap kau merobohkan beberapa orang kami?"

   Sulastri merasa sudah kepalang tanggung karena sejak tadi memang dia sudah melawan. Dia mengangguk lalu berkata lantang.

   "aku belum mencuri ketan, baru akan, belum terjadi, akan tetapi orang-orangmu hendak memaksa aku menyerah untuk ditangkap. Tentu saja aku tidak mau siapa pun yang hendak menangkapku, pasti akan kulawan!"

   "Hemm, nini. Kalau engkau datang dari Mojopahit atau Tuban, tentu engkau mengenal kami. Andaikata belum pernah melihat orangnya, tentu engkau sudah mendengar namaku. Aku adalah Raden Gajah Biru. Nah, apakkah kau tetap hendak melawan dan tidak mau menyerah?"

   

Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Siluman Gua Tengkorak Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini