Kemelut Di Majapahit 8
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Sulastri yang teringat akan gurunya dan merasa mendongkol sekali, mencari ketan untuk gurunya belum dapat malah kini dihadang dan diganggu orang banyak, lalu menjawab marah.
"sudahlah, aku belum melakukan pencurian apa-apa, mengapa kalian begini cerewet dan tidak membiarkan aku pergi? Aku tidak mengenal segala macam Gajah Biru, Gajah Hitam atau Gajah Putih!"
Semua anak buah yang kini berdatangan dan makin banyak mengurung tempat itu, menahan senyum. Bocah itu tabah, lincah, liar dan juga lucu! Bahkan Juru Demang sendiri tersenyum, akan tetapi segera mengeraskan hati dan berkata.
"Hemm... bocah ini kurang ajar sekali!"
Akan tetapi Gajah Biru, yang berwajah gembira itu, tertawa.
"Ha-ha-ha, kau hebat! Selama hidupku, baru sekali inilah nama hadiah dari sang prabu dijadikan permainan dan ejekan orang! Jelas bahwa
(Lanjut ke Jilid 08)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
engkau belum pernah mendengar nama Gajah Biru dan Juru demang. Eh, nini, siapakah namamu dan dari mana kau datang?"
Sulastri membanting kaki kanannya, itulah tandanya kalau dia sedang menghadapi sekali hatinya dan habis kesabarannya.
"Sudahlah... sudahlah...! Kau mau apa sih? mau tangkap aku? Silahkan kalau kau berani!"
Gajah Biru adalah seorang bekas perwira Mojopahit yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia makin gembira menyaksikan dara remaja ini. Dia mengenal seorang yang memiliki keberanian besar, seorang yang patutnya berdarah ksatria, seorang yang berwatak pendekar. Dia tidak marah melihat kekasaran dara itu karena maklum bahwa dara itu merasa terganggu dan marah, maka dia berkata.
"Memang aku hendak menangkapmu. Jaga dirimu baik-baik!"
Dia menerjang maju, hendak menangkap lengan kanan dan pundak kiri dara itu.
"Wuuttt.... Plak-plak-plak-plakkk..."
"Eh...!"
Gajah Biru melangkah mundur dan terbelalak. Ketika hendak ditangkap, dara remaja itu mengelak dan balas menampar, gerakannya cepat dan mempunyai dasar gerakan silat yang hebat, dan luar biasa lagi, ketika dia menangkis sampai empat kali, dia merasakan betapa ampuh dan dahsyatnya tamparan-tamparan dara itu! Andaikata tamparan itu dilakukan oleh seorang yang lebih matang latihannya, tentu dia sendiri pun akan kewalahan menghadapinya! Akan tetapi, Gajah Biru adalah seorang perwira sakti, maka tentu saja dia mampu menangkis semua tamparan itu dan bahkan Sulastri merasa betapa tangannya panas ketika ditangkis.
Hal ini bukan membuat dara itu menjadi takut, bahkan dia makin marah.
"Bagus!"
Kiranya engkau seorang yang sakti! Akan tetapi kesaktianmu hanya kau remehkan untuk menganggu seorang perempuan! "Setelah membentak demikian, Sulastri kini menyerang dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua gerak silat yang dipelajarinya dari Ki Jembros, gerakannya cepat sekali dan setiap pukulan dia lakukan dengan pengerahan tenaga sakti.
"ah, hebat... ahhh...!"
Gajah Biru yang hendak menguji dara itu makin kagum dan cepat dia mengelak ke sana-sini dan menangkis karena dia memperoleh kenyataan bahwa biar pun dara itu masih remaja, masih muda sekali, namun benar-benar telah memiliki kepandaian yang dahsyat. Pantas saja kalau lima orang pembantunya tidak dapat mangatasi dara ini!
Saking marahnya dan saking cepat dan kuatnya gerakan tubuh Sulastri, kalung yang menjadi mainannya dan tadinya terselip di antara dada di balik kain, kini terkulai keluar dan tergantung di depan, berkilauan ketika bergoyang-goyang oleh gerakan tubuhnya. Tampaklah mainan kalung itu yang bukan lain adalah Kundolo Mirah, yaitu cincin telinga yang matanya mirah (batu merah) yang dulu dia terima dari Adipati Ronggo Lawe.
"Heii, tahan dulu...!"
Tubuh Gajah Biru mencelat ke belakang, gerakannya cepat sekali membuat Sulastri terkejut. Gajah Biru terbelalak memandang Kundolo Mirah yang tergantung di depan dada dara remaja itu, lalu dia menuding benda itu sambil bertanya.
"Bukankah itu Kundolo Mirah...?"
Sulastri menegakkan kepalanya.
"Kalau benar kau mau apa? Benda ini milikku sendiri, bukan hasil curian!"
Dengan mata masih terbelalak dan kini suaranya agak gemetar Gajah Biru bertanya.
"Nini... apa hubunganmu dengan mendiang kakangmas Ronggo Lawe...?"
Kini Sulastri yang memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Orang ini memiliki kepandaian hebat dan menyebut gurunya "kakangmas".
"Sebelum aku menjawab, ingin aku tahu lebih dulu siapakah engkau yang menyebut kakangmas kepada Adipati Ronggo Lawe?"
"Kakangmas Ronggo Lawe adalah kakak seperguruanku!"
"Ahhh...?"
Sulastri melongo dan memandang laki-laki di depannya itu dengan heran dan juga kagum.
"Dan beliau... beliau adalah guruku..."
"Apa...??"
Gajah Biru berseru kaget lalu membentak karena dia tidak percaya.
"Nini, jangan kau sembarangan bicara! Aku tahu bahwa engkau adalah murid orang pandai, akan tetapi tidak mungkin engkau murid kakangmas Ronggo Lawe yang sudah meninggal dunia empat tahun yang lalu!"
Sulastri menarik napas panjang dan tangan kanannya memegang Kundolo Mirah yang tergantung di lehernya.
"Memang aku belum pernah menerima pelajaran dari beliau, akan tetapi ketika aku masih kecil, aku pernah ditolong olehnya dan ketika aku minta dijadikan murid, dia menyerahkan Kundolo Mirah ini dan aku selalu menganggapnya sebagai guruku..."
Suara dara itu berobah menjadi gemetar karena dia terharu kalau teringat kepada gurunya dan mbakyunya.
Gajah Biru menghampirinya.
"Maaf, nini. Kalau begitu aku percaya. Orang seperti engkau ini tidak mungkin berbohong. Sekarang ceritakanlah, siapa gurumu dan mengapa kau sampai tiba di tempat ini?"
"Nanti dulu. Guruku, eyang Jembros menanti aku di sana..."
"Ki Jembros...??"
Gajah Biru dan Juru Demang terkejut bukan main mendengar ini.
"Jadi engkau murid Ki Jembros?"
Tanya Juru Demang.
"Aku murid Adipati ronggo Lawe, akan tetapi menerima pelajaran dari eyang guru Ki Jembros. Eyang mengutus aku mencuri beras ketan, maka aku datang ke tempat ini, karena tempat ini yang terdekat. Tidak tahunya, tempat ini bukan dusun..."
"Kalau hanya beras ketan saja, jangan khawatir, kami dapat memberimu berapa banyak pun. Mari kami antar aku menghadap beliau nini,"
Kata Gajah Biru.
"Jangan, nanti eyang marah. Biar aku kembali ke sana membawa beras ketan, dan akan kuceritakan bahwa di sini terdapat adik seperguruan Adipati Ronggo Lawe. Eyang sedang menderita luka dalam yang cukup parah."
"Akan tetapi, kami ingin bertemu beliau dan kami ingin bicara panjang lebar denganmu, nini... Siapakah namamu, nini...?"
"Namaku Sulastri."
"Sebaiknya kami mengantarmu ke..."
"Jangan paman. Jangan, karena eyang mempunyai watak yang luar biasa anehnya. Kalau paman sekalian datang ke sana, aku tidak tanggung kalau eyang marah dan membunuh paman sekalian."
"Ha-ha-ha-ha! Wah, wah, kau memperkenalkan aku sebagai seorang iblis, Sulastri! Akan lebih terkenal lagi julukan Setan Jembros, ha-ha-ha!"
"Eyang...!"
Sulastri membalikkan tubuhnya dengan girang ternyata kakek tua ini telah jongkok dan nongkrong di atas wuwungan rumah besar itu! Kiranya sejak tadi dia telah menonton segala yang terjadi di bawah tanpa ada yang mengetahuinya.
"eh, bocah bengal. Kau disuruh mencari ketan kenapa malah cekcok dengan banyak orang di situ?"
"eyang... harap suka turun, biar saya jelaskan."
"Dan ikut dengan kau cekcok dengan orang banyak? Huh, tidak sudi aku!"
Semua orang tadi terkejut bukan main melihat seorang kakek yang begitu menyeramkan nongkrong di atas wuwungan. Akan tetapi Juru demang dan Gajah Biru, sebagai dia orang sakti yang banyak mengenal orang pandai, sudah cepat memberi hormat dengan sembah ke arah kakek itu dan berkatalah Juru Demang.
"Mohon maaf sebanyaknya bahwa karena kami tidak mengetahui akan kunjungan paduka, maka kami tidak sempat menyambut, paman."
"Ha-ha-ha, selayaknya aku datang tanpa disambut dan pergi tanpa diantar..."
"Eyang saya sudah mendapatkan beras ketan. Mereka ini mempunyai beras ketan. Mari saya buatkan ketan kelapa dan gula!"
Ki Jembros tertawa dan tubuhnya melayang turun. Juru Demang dan Gajah Biru segera maju dan memberi hormat dengan sembah.
"Ah, tidak usah menyembah. Aku adalah orang biasa saja, Juru Demang dan Gajah Biru. Kalian adalah senopati-senopati Mojopahit, mengapa kalian berada di sini, seperti orang-orang bersembunyi bersama pasukan kalian?"
Juru Demang menarik napas panjang.
"Paman, ceritanya panjang. Marilah, kami mempersilakan paman untuk beristirahat di dalam, biar murid paman membuatkan ketan dan kita bicara dengan enak."
Sekali ini Ki Jembros tidak menolak. Hal ini adalah karena dia sudah mulai tertarik akan keadaan di Mojopahit setelah dia bertemu dan bertanding melawan dua orang kakek sakti beberapa hari yang lalu. Dua orang bekas senopati Mojopahit itu bersama lima orang pembantunya lalu mengiringkan Ki Jembros dan Sulastri memasuki bangunan besar. Lampu-lampu besar dinyalakan dan Sulastri lalu berpamit pergi ke dapur untuk memasak ketan, bukan hanya beberapa genggam, melainkan banyak juga untuk hidangan mereka semua. Tentu saja beberapa orang anak buah yang biasa bertugas di dapur membantunya dan mereka ini tiada habisnya mengagumi dara itu dan bercakap-cakap dengan ramah sambil sibuk memasak ketan, memarut kelapa dan lain-lain.
Setelah menghadapi ketan kelapa dan gula kelapa yang ditemani oleh minuman kopi, mereka mengelilingi meja. Kini Sulastri berkesempatan mendengarkan penuturan dua orang bekas senopati Mojopahit itu, semenjak pemberontakan Ronggo Lawe sampai sekarang.
"Kami tidak tahan menghadapi desas-desus yang ditiupkan oleh orang-orang yang tentu memusuhi kakangmas Lembu Sora,"
Kata Juru Demang menutupi ceritanya.
"Desas-desus itu berbahaya sekali, apalagi karena kakangmas Lembu sora tidak pernah membantahnya bahwa dialah yang membunuh Kebo Anabrang, ditusuknya dari belakang. Padahal semua orang tahu bahwa Kebo Anabrang mati sampyuh dengan dimas Ronggo Lawe."
"Hemm, itu semua fitnah belaka, fitnah yang dilepas oleh mereka yang tidak suka kepada kakangmas Lembu Sora. Oleh karena itu, melihat kakangmas Lembu Sora dengan tenang saja menghadapi desas-desus fitnah itu, kami lebih dulu melarikan diri untuk mengadakan persiapan dan sewaktu-waktu kakangmas Lembu Sora digempur, tentu kami akan turun tangan membelanya,"
Gajah Biru menyambung.
"Bagaimana andaikata berita desas-desus itu bukan fitnah melainkan kenyataan yang sebenarnya?"
Sulastri ikut bicara.
Gajah Biru memandang dara ini dengan mata terbelalak, lalu dia yang menjawab.
"Fitnah atau bukan, jelas bahwa penyebar desas-desus menghendaki agar kakangmas Lembu Sora tertimpa bencana. Dan bagi kami, baik kakangmas Lembu sora membunuh Kebo Anabrang atau tidak, kami tetap akan membelanya."
"Mengapa begitu?"
Kembali Sulastri bertanya.
"Karena kami sudah percaya sepenuhnya akan kemuliaan budi kakangmas Lembu Sora, akan kesetiaannya kepada sang prabu. Andaikata benar dia menikam mati Kebo Anabrang, hal itu tentulah dilakukan karena suatu sebab yang kuat. Bukan watak kakangmas Lembu Sora yang kami kenal sebagai seorang satria utama untuk berlaku curang."
Ucapan Gajah Biru ini dikeluarkan dengan penuh keyakinan.
"Ha-ha-ha..., ribut-ribut-ribut! Perang-perang-perang! Semua pihak tentu mempunyai pendirian dan alasan-alasan sendiri-sendiri dan ada saja yang mereka kemukakan untuk membela kebenaran masing-masing. Akan tetapi aku sudah mendengar bahwa Lembu sora adalah seorang laki-laki sejati."
Ki Jembros terdengar ikut pula bicara sambil minum kopinya setelah kenyang makan ketan dan gula kelapa.
"Desas-desus itu bukan fitnah!"
Ucapan tenang yang keluar dari mulut Sulastri itu bagaikan halilintar dan dua orang Senopati Mojopahit itu, juga lima orang pembantunya, bangkit serentak, memandang wajah Sulastri penuh selidik sampai beberapa saat lamanya suasana menjadi sunyi sekali. Namun Sulastri tetap duduk tenang, lalu minum air teh dari cangkirnya.
"Nini Sulastri, apa artinya ucapanmu itu?"
Juru Demang menuntut, suaranya agak gemetar karena berita yang disampaikan oleh dara itu benar-benar mengejutkan hatinya. Bagaimana setia pun mereka terhadap sahabat mereka Lembu sora, namun tadinya tidak seorang pun di antara mereka percaya bahwa Lembu Sora sudi melakukan kecurigaan seperti itu, membunuh Kebo Anabrang dari belakang.
"Heh-heh-heh, kalian duduklah dan dengarkan baik-baik. Muridku ini selama hidupnya tidak akan pernah mau membohong, dan apa yang diceritakan tentu benar. Aku menjamin hal itu!"
Ki Jembros juga berkata ketika melihat semua orang bersikap tegang seperti itu Juru Demang sadar dan dia lalu duduk diikuti oleh semua temannya.
"Nini, ceritakanlah semua apa yang kau ketahui,"
Katanya kemudian.
"Paman-paman sekalian, kiranya hanya aku dan dua orang lain yang menyaksikan peristiwa itu, juga mbakayuku yang telah meninggal dunia.
"dara remaja itu memulai."
Aku dan mbakayu bersembunyi di dalam alang-alang di tepi Sungai Tambakberas ketika terjadi pertandingan antara guruku. Adipati Ronggo Lawe melawan Kebo Anabrang. Pertandingan yang dahsyat! Bertapa hebatnya mendiang guruku itu! Akan tetapi, lawannya licik dan memancing guruku untuk bertanding di atas batu-batu di bagian sungai yang dalam. Mereka bertanding dan lawan guruku menyeret guruku masuk ke dalam air yang dalam. Lawannya ternyata ahli bermain di air, maka guruku kewalahan kehabisan napas dan dalam keadaan setengah pingsan dia disiksa dan kepalanya dibentur-benturkan ke batu kali sampai tewas. Lalu muncul Senopati Lembu Sora tidak membunuhnya di waktu itu, tentu sekarang aku akan mencari Kebo Anabrang untuk membalas dendam kematian Adipati Ronggo Lawe."
Semua orang mendengarkan dengan sunyi dan dengan muka pucat. Malapetaka tergantung di atas kepala Lembu Sora kalau begitu!
"Nini, lajutkan ceritamu. Lalu bagaimana selanjutnya?"
Suara Juru Demang memecah kesunyian setelah Sulastri menghentikan ceritanya.
"Senopati Lembu Sora lalu meloncat pergi dan mbakayuku yang melihat Adipati Ronggo Lawe tewas, lalu keluar dari tempat persembunyian kami, lari menghampiri dan menangisi jenazah adipati itu, kemudian mbakayu berbela pati, membunuh diri. Tak lama kemudian muncullah dua orang jahanam keparat itu. Akan kubunuh mereka karena mereka menghina jenazah mbakayuku! Dan dua orang itu agaknya tentu tahu pula akan peristiwa pembunuhan atas diri Kebo Anabrang oleh Senopati Lembu Sora."
"Brakkk!"
Gajah Biru menggebrak meja di depannya.
"Tidak salah lagi, pasti dua orang itu yang telah menyebar desas-desus ini!"
"Nini Sulastri, siapakah dua orang yang kau ceritakan itu?"
Juru Demang bertanya.
"Mereka itu bernama Reksosuro dan Darumuko."
Tujuh orang pimpinan pasukan yang melarikan diri dari Mojopahit itu saling pandang, akan tetapi tidak ada yang mengenal nama-nama ini.
"Siapakah mereka itu? Kami belum pernah mengenal nama mereka..."
Kata Juru Demang.
"Mereka adalah orang-orangnya Resi Mahapati. Karena itu, kelak aku harus membunuh dua orang itu dan Resi Mahapati."
"Ahhh...!"
Juru Demang dan Gajah Biru terkejut bukan main mendengar disebutnya Resi Mahapati. Resi Mahapati itu mereka anggap sebagai seorang yang amat baik dan setia kawan, juga setia kepada sang prabu. Maka keduanya termenung sejenak, kemudian berkatalah Juru Demang kepada Gajah Biru.
"Adimas Gajah Biru, tak dapat dielakkan lagi, kakangmas Lembu Sora pasti terancam bahaya maut. Oleh karena itu, dimas jangan berayal lagi, temulilah kakangmas Lembu Sora dan bujuklah agar dia suka cepat melarikan diri ke sini sebelum bahaya menimpa dirinya. Berangkatlah sekarang juga, dimas Gajah Biru dan karena tugas ini amat penting maka harus engkau sendiri yang melaksanakannya."
"Baiklah, kakangmas Juru Demang. Saya berangkat sekarang.
"Gajah Biru lalu berpamit dari semua orang dan pergilah dia malam itu juga menuju ke Mojopahit.
Sementara itu, Ki Jembros yang sejak tadi hanya mendengarkan saja, tiba-tiba berkata dengan suaranya yang nyaring kepada muridnya.
"Lastri, besok engkau harus melanjutkan perjalanan sendiri ke puncak Gunung Bromo, menghadap kakang Empu Supamandrangi."
Sulastri terbelalak memandang kakek itu.
"Dan eyang sendiri...?"
Ki Jembros menggeleng kepala...
"aku tinggal di sini, beristirahat dan berobat..."
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kalau begitu aku pun tidak mau pergi, eyang. Aku akan merawat eyang, memasakkan ketan untuk eyang."
Tiba-tiba Ki Jembros bangkit berdiri, matanya melotot lebar.
"Eh, jadi engkau mulai tidak taat lagi kepadaku, ya?"
Sulastri terkejut dan takut, cepat dia menyebah.
"Tidak, tidak... eyang, saya tidak berani membantah..."
"Nah, itu baru muridku yang baik. Kau harus pergi ke sana, menghadap kakang empu, kau ceritakan semua tentang dirimu, dan tentang Ronggo Lawe, juga katakan bahwa engkau adalah murid Ki Jembros. Selanjutnya terserah petunjuk kakang Empu Supamandrangi dan kau harus taat kepada eyang gurumu itu."
"Tapi... tapi..., eyang... kapan saya dapat berjumpa dengan eyang lagi?"
"Ha-ha-ha! Kalau aku masih hidup, apa sih sukarnya bertemu dengan aku? Hidup hanya berisi pertemuan dan perpisahan, apa anehnya? Kau besok harus berangkat, sendiri?"
"Besok eyang...?"
Sulastri nampak bingung.
"Akan tetapi saya belum mengenal jalan..."
Huh! Pantaskah muridku merasa takut hanya untuk melakukan perjalanan ke Gunung Bromo saja? Jangan membikin malu aku, Lastri. Kalau kau pergi ke timur, setelah memasuki daerah Kadipaten Lumajang, kau bertanya kepada siapa pun tentu tidak ada yang tidak tahu di mana letaknya Pengunungan Bromo."
"Baik, eyang..."
Kata Sulastri dengan sikap masih agak ragu-ragu karena memang selama ini dia tidak pernah melakukan perjalanan seorang diri.
Melihat keraguan dara remaja itu, agaknya Juru Demang merasa kasihan. Senopati ini sudah mengenal watak-watak aneh dari orang-orang sakti seperti Ki jembros, akan tertapi dia pun tahu betapa jauh dan sukarnya perjalanan dari situ ke Gunung Bromo, apalagi kalau ditempuh oleh seorang dara remaja seperti Sulastri itu. Selain amat jauh dan amat berbahaya, terutama bagi seorang wanita, muda dan cantik pula. Oleh karena itu, maka terdorong oleh rasa kasihan di dalam hatinya, Juru Demang berkata tenang.
"Harap paduka maafkan kelancangan saya. Paman. Bukan maksud saya untuk mencampuri urusan paman dan nini Sulastri, akan tetapi mengingat akan jauh dan sukar serta berbahayanya perjalanan dari sini ke Gunung Bromo, akan lebih amanlah kiranya kalau nini Sulastri menyamar sebagai seorang pria."
"menyamar pria? Aku...? Akan tetapi aku seorang wanita!"
Sulastri membantah.
"Ha-ha-ha, bagus! Itulah akal bulus yang cerdik sekali. Dan kau akan menjadi seorang pemuda yang amat tampan kalau menyamar sebagai pria, Lastri, ha-ha-ha!"
Memang Ki Jembros ini orangnya gembira dan dia suka akan hal yang aneh-aneh dan lucu-lucu. Maka mendengar usul itu hatinya menjadi gembira dan dia sudah dapat membayangkan betapa lucunya kalau muridnya itu menyamar sebagai seorang pemuda.
"Akan tetapi..."
Sulastri masih mencoba untuk membantah. Bagi dara yang biasanya bersikap wajar ini amat anehlah membayangkan bahwa dia harus berpura-pura menjadi seorang pria.
"Begini, nini,"
Juru Demang menjelaskan dengan sabar.
"Amatlah berbahaya bagi seorang wanita muda untuk melakukan perjalanan sejauh itu, apalagi melalui tempat-tempat yang asing bagimu, melalui pegunungan dan hutan-hutan di mana terdapat banyak gerombolan perampok. Lebih-lebih lagi di waktu suasana kacau seperti sekarang ini..."
"Aku tidak takut!"
Sulastri memotong cepat, matanya bersinar penuh rasa penasaran. Mengapa dia hendak ditakut-takuti?
"Tentu saja tidak takut, nini. Rasa takut merupakan pantangan besar bagi seorang gagah. Akan tetapi di samping keberanian, seorang gagah harus selalu waspada dan berhati-hati. Keberanian bukanlah berarti kenekatan, melainkan tidak takut menghadapi bahaya demi membela kebenaran. Namun, tanpa kecerdasan kita akan mudah tertimpa malapetaka dan mengandalkan keberanian saja belumlah cukup untuk menghindarkan malapetaka."
"Ha-ha, bagus, bagus! "Ki Jembros bertepuk tangan memuji.
"Maafkan saya paman. Bukan maksud saya untuk lancang memberi petuah kepada murid paman..."
"Lanjutkan, lanjutkan! Muridku ini memang keras batok kepalanya, dan baik kalau bisa menembus batok kepalanya yang keras itu agar dia mengerti, ha-ha!"
"Nini Sulastri, dengan gerakanmu yang tangkas, tidak akan ada orang dapat meyangka bahwa kau seorang wanita. Dan dengan dandanan pria, engkau akan dengan mudah, tanpa banyak gangguan, dapat melakukan perjalanan sampai ke Gunung Bromo dengan selamat. Sebaliknya, kalau engkau pergi dalam keadaan seperti itu saja, engkau akan menghadapi banyak sekali gangguan dan akan sia-sialah perjalananmu dan harapan paman jembros yang mengutus nini pergi ke Gunung Bromo."
Sulastri mulai dapat menerima nasihat itu, akan tetapi alisnya masih berkerut tanda bahwa hatinya masih penasaran dan belum puas benar.
"Akan tetapi dengan menyamar sebagai pria, bukankah itu berarti bahwa aku takut paman?"
"Takut atau tidak adalah urusan hati kita sendiri, dan takut atau tidak hanyalah kita sendiri yang mengetahuinya dengan jelas, bukan? Kalau kita sudah yakin bahwa tidak ada rasa takut di dalam hati kita, perduli apa dengan sangkaan orang lain? Yang penting, engkau yakin bahwa engkau menyamar bukan karena takut, melainkan untuk berhati-hati agar perjalananmu dapat lancar tanpa banyak rintangan di jalan."
"Akan tetapi, aku tidak biasa..."
"Jangan khawatir, nini. Sebagai seorang dara perkasa yang sejak kecil sudah digembleng berolah yuda, gerakan-gerakaanmu begitu gesit sehingga dengan sendirinya engkau sudah seperti seorang pria, maka penyamaranmu itu hanya mengenai pakaian belaka. Untuk keperluan penyamaranmu, ahli-ahli kami akan dapat mendadanimu dan kemudian melatihmu bagaimana harus bersikap sebagai seorang pria, nini."
"Ha-ha-ha, kau sungguh beruntung, Lastri! Kau akan memperoleh pengalaman hebat, bayangkan saja, menjadi pria, melakukan perjalanan seorang diri, bisa mempermainkan orang yang menyangkamu betul-betul pria. Wah, kalau ada wanita yang jatuh cinta padamu, he-he, dan hal itu bukan mustahil karena engkau tentu akan menjadi perjaka yang ganteng ha-ha, tentu lucu sekali! Ah, kau beruntung. Kalau saja aku berkesempatan menyamar sebagai seorang wanita tua, ha-ha-ha, betapa seneng dan lucunya, akan kupamerkan banyak orang, ha-ha-ha!"
Sikap dan ucapan gurunya ini membuat Sulastri juga tertawa-tawa. Memang lucu membayangkan gurunya yang tinggi besar itu bergelung dan berpakaian seperti seorang nenek tinggi besar! Timbul kegembiraannya dan malam itu juga Sulastri dilatih seorang ahli menyamar dalam pasukan Juru Demung untuk menyamar sebagai seorang pria, gurunya sendiri menjadi pangling! Dia telah merobah menjadi seorang perjaka yang tampan dan gagah, yang suaranya renyah dan sikapnya jenaka.
Pada keesokan harinya, setelah menyambah dan mohon doa restu Ki Jembros, berangkatlah Sulastri seorang diri meninggalkan hutan itu menuju ke timur. Dia menolak ketika diberi kuda karena dia tidak biasa menunggang kuda, akan tetapi dia tidak menolak ketika Juru Demung memberi bekal uang kepadanya. Juga buntalan gurunya berisi segala macam perabot dapur dibawanya dan dipanggulnya.
Ki Jembros berdiri tegak mengikuti bayangan muridnya sampai lenyap di tikungan. Kakek ini merasa seolah-olah semangatnya terbawa oleh murid yang amat dicintainya itu. Dia menghela napas panjang dan berkata kepada Juru Demung yang berdiri di sampingnya,
"Kalau saja dia lebih tua lima tahun, tentu dia akan kutahan di sini untuk membantu Lembu Sora. Sekarang terpaksa aku sendiri yang akan membantu dan biarlah muridku itu selamat di Bromo, Lapang hatiku sudah karena dia pasti aman di sana."
Juru Demung terkejut dan girang sekali mendengar ucapan ini.
"Jadi paman berkenan membantu kami...?"
Tanyanya penuh harap, khawatir kalau-kalau dia tadi salah dengar.
"Hemm, kalau tidak akan membantu apakah kau kira aku senang ditinggal muridku? Biarkan aku mengobati lukaku dan memulihkan tenaga, dan kelak akulah yang akan menghadapi Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, karena kurasa keduanya itu ke Mojopahit untuk urusan ini, untuk menghadapi Lembu Sora."
"Apa maksud paduka, paman?"
Ki Jembros lalu menceritakan tentang pertemuan dan pertempuran melawan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti yang diundang ke Mojopahit oleh Reksosuro. Juru Demung menjadi khawatir sekali, karena dia sudah mendengar akan kesaktian dua orang pendeta itu. Akan tetapi, mendapatkan bantuan seperti kakek jembel ini benar-benar membesarkan hatinya dan dia mulai mengadakan persiapan setelah mengatur dan menyediakan sebuah tempat peristirahatan untuk Ki Jembros yang akan memulihkan tenaga dan mengobati lukanya.
Sebetulnya apakah yang telah terjadi di Kota Raja Mojopahit? Banyak sekali! Dalam waktu beberapa tahun akhir-akhir ini semenjak pemberontakan Ronggo Lawe, telah terjadi banyak hal yang mendatangkan kekeruhan di atas Kerajaan Mojopahit. Pertama-tama dimulai dengan desas-desus tentang kematian Kebo Anabrang dalam pertandingan melawan Ronggo Lawe, yang didesas-desuskan bahwa Lembu Sora yang membunuh Kebo Anabrang dan membantu Ronggo Lawe secara diam-diam dalam pertandingan itu.
Dedas-desus ini mendatangkan kegemparan di seluruh Mojopahit dan otomatis terjadi perpecahan antara yang pro dan yang kontra Demung Lembu Sora, kekasih sang prabu itu. Sesungguhnyalah, Lembu Sora merupakan abdi terkasih dari sang prabu, karena semenjak mudanya Lembu Sora merupakan seorang di antara para senopati yang saling setia. Kesetiaan Lembu Sora sudah berulang kali teruji dan kepercayaan sang prabu kepada senopati ini adalah mutlak. Oleh karena itu, tentu saja desas-desus itu menimbulkan kegemparan besar.
"Hendaknya paduka ingat akan semua jasa Lembu Sora, kakanda prabu,"
Demikian antara lain Permaisuri dyah Tribuana berkata dengan halus ketika melihat kemurungan wajah suaminya dan maklum apa yang menyebabkan sang prabu kelihatan duka. Sang permaisuri juga sudah mendengar akan desas-desus itu, maka dia merasa khawatir dan cepat dia membela Lembu Sora dan membujuk sang prabu.
"Betapa Lembu Sora telah berkali-kali membela paduka dan membela Mojopahit dengan taruhan nyawa. Bukankah Lembu Sora sendiri yang memimpin pasukan menghancurkan pemberontakan Tuban? Dia menentang keponakannya sendiri, si Ronggo Lawe yang memberontak. Hal ini sudah jelas membuktikan kesetiaannya dan harap paduka tidak menjatuhkan hukuman kepada Lembu Sora."
"Itulah yang menyusahkan hatiku, adinda Tribuana,"
Kata sang prabu sambil menarik napas panjang.
"Kalau orang lain yang melakukan perbuatan itu, tentu dengan mudah saja kuhukum dia. Akan tetapi kakang Demung Lembu Sora? Heran sekali aku, sungguh tidak mengerti mengapa kakang Lembu Sora yang terkenal gagah perkasa dan sudah kukenal baik sebagai seorang jantan, dapat melakukan hal yang begitu rendah, membunuh orang secara pengecut dan keji."
"Akan tetapi, berita ini hanya desas-desus, hanya pergunjingan belaka, belum ada buktinya, kakanda."
"Kalau tidak benar, mengapa kakang Lembu Sora dia, saja? Kalau hanya fitnah kosong tentu kakang Lembu Sora sudah mengamuk dan mencari penyebar fitnah. Aku sudah mengenal benar wataknya,"
Bantah sang prabu.
"Benar atau tidak, hamba kira kakang Lembu Sora mempunyai alas dan yang kuat mengapa dia melakukan itu, kakanda. Dan benar atau tidak beraita itu, tegakah paduka menghukum orang yang pernah melakukan kesetiaan seperti yang dia buktikan itu kepada paduka? Lupakan paduka betapa dahulu, ketika kita berdua masih sengsara melakukan perjalanan yang amat sukar, Lembu Sora telah menyediakan tubuhnya di sawah yang berlumpur itu untuk menjadi tempat duduk kita... ah, kakanda, terlalu banyak kalau disebutkan jasa-jasa dan pengorbanan yang dilakukan oleh kakang Lembu Sora. Apakah semua itu akan kita lupakan saja?"
Sang prabu termenung. Tentu saja dia tidak melupakan semua kebaikan Lembu Sora. Terutama sekali ketika dia membawa Puteri Dyah Tribuana mengungsi ke Madura, yaitu ketika Kerajaan Singosari telah jatuh. Betapa dia dan sang puteri melakukan perjalanan yang amat sengsara dan Lembu Sora selalu mengawalnya dengan penuh kesetiaan, bahkan ketika mereka kehabisan tenaga dan mengaso di ladang yang becek, Lembu Sora terlentang di atas tanah becek dan mempersilakan sang prabu dan dyah Tribuana untuk menduduki perut dan dadanya!
"Tentu saja aku tidak melupakannya, adinda. Akan tetapi, mengapa dia melakukan kecurangan serendah itu, membnuh Kebo Anabrang dari belakang?"
Sang prabu terkejut. Kebo Anabrang adalah seorang di antara para senopati yang setia pula. Mengapa permaisurinya mengeluarkan ucapan seperti itu? Seolah-olah membenci Kebo Anabrang? Ketika mereka bertemu pandang, Dyah Tribuana menundukkan mukanya dan mengertilah sang prabu. Teringatlah beliau mengapa permaisurinya membenci Kebo Anabrang dan Sri Baginda menarik napas panjang. Tidak mengherankan. Kebo Anabrang adalah senopati yang mengepalai pasukan ke negeri Malayu, bahkan senopati itulah yang ketika pulang membawa Puteri Malayu yang kini menjadi selirnya yang terkasih, yaitu Dara Petak yang telah diberi nama Sri Indreswari, ibu dari pangeran Kolo Gemet. Karena inilah maka permaisurinya itu membenci Kebo Anabrang. Hal ini membuat sang prabu termenung dan makin ruwetlah pikirannya.
Demikian berhari-hari Sang Prabu Kertarajasa Jayawarana berwajah murung. Desas-desus makin santer dan hanya karena teringat akan jasa dan kesetiaan Lembu Sora saja maka Sri agenda menahan sabar dan tidak mau bertindak, bahkan di dalam persidangan tidak pernah menyinggung persoalan ini. Juga para ponggawa yang maklum akan kesetiaan Lembu Sora, maklum pula bahwa senopati ini menjadi ponggawa terkasih oleh Sri Baginda, tidak berani menyinggung-nyinggung persoalan desas-desus yang menghebohkan itu.
Betapa pun juga, sang prabu mengerti bahwa berita tentang dibunuhnya Kebo Anabrang oleh Lembu Sora itu telah menggoncangkan persatuan para pembantunya, bahkan mempunyai sifat memecah belah karena di antara para menteri dan hulubalangnya banyak yang memihak Kebo Anabrang dan ada pula yang memihak Lembu Sora. Yang lebih merisaukan hati sang prabu adalah pengaruh-pengaruh dari para isterinya sendiri. Empat orang isterinya, kesemuanya puteri-puteri mendiang Sang Prabu Kertanegara, dipimpin oleh Dyah Tribuana yang menjadi permaisuri, dan didorong oleh Dyah Gayatri atau Rajapatni yang merupakan selir terkasih, di satu pihak mereka ini membela Lembu Sora, adalah Dara Petak selalu membujuk sang prabu agar dijatuhkan hukuman atas diri Lembu Sora untuk membalas kematian Kebo Anabrang yang oleh Puteri Dara Petak dianggap sebagai seorang senopati yang paling besar jasanya. Tentu saja demikian, karena dia merasa bahwa keberangkatan ke Jawa Dwipa dibawa oleh Senopati Kebo Anabrang sehingga dia memperoleh kedudukan mulia di Mojopahit!
Resi Mahapati yang seolah-olah merupakan seorang penangkap ikan yang sengaja menumbulkan suasana keruh itu, tentu saja tak pernah melepaskan penyelidikan dan pengamatannya terhadap lubuk yang telah dikeruhkan untuk ditangkap ikan-ikannya! Maka resi yang cerdik dan penuh ambisi ini melihat kesempatan baik selagi sang Prabu Kertarajasa bingung dan murung. Kesempatan itu tidak dia sia-siakan begitu saja dan pada suatu senja dia mohon menhadap sang parbu di luar persidangan biasa.
Karena Resi Mahapati merupakan seorang pendeta yang dipercaya dan sudah seringkali memberi nasihat-nasihat yang berguna bagi sang prabu, maka sang prabu berkenan menerimanya, apa lagi karena pada saat itu sang prabu sedang murung dan berduka, maka kedatangan Resi Mahapati dianggap kebetulan sekali.
Setelah melewati segala upacara penghormatan yang telah menjadi tradisi di waktu menghadap raja, Resi Mahapati yang cerdik itu langsung saja berkata.
"Harap paduka sudi mengampunkan hamba yang dating menghadap tanpa dipanggil. Hamba melihat betapa paduka berada dalam keadaan bimbang dan berduka, dan telah dua kali paduka tidak mengadakan persidangan seperti biasa. Karena hamba khawatir akan keadaaan paduka, maka senja ini hamba bertindak lancang menghadap paduka untuk melihat kalau-kalau hamba dapat meringankan beban paduka."
Sang Prabu menarik napas panjang. Betapa banyaknya ponggawanya yang amat setia kepadanya, akan tetapi justru karena kesetiaan mereka itulah kini dia menghadapi keadaan yang sulit! Lembu Sora adalah seorang senopati yang setia, demikian pula Kebo Anabrang. Kini, urusan yang timbul di antara dua orang ponggawa setia ini telah membuat dia menjadi pusing! Andaikata seorang di antara kedua orang ponggawa itu ada yang tidak setia, betapa mudahnya mengambil keputusan!
"Kang Resi Mahapati, perlukah kiranya aku jelaskan lagi kepadamu? Kurasa kakang resi yang arif bijaksana telah mengerti apa yang menyebabkan risaunya hatiku dan binggungnya pikiranku, kakang resi,"
Kata sang prabu.
Resi Mahapati mengangguk-angguk.
"Sesungguhnyalah bahwa hanba telah mengetahuinya, akan tetapi hamba tidak berani lancang dan mengaku pandai. Apakah kedukaan paduka ada hubungannya dengan desas-desus yang santer bertiup di seluruh kerajaan sekarang ini?"
Sang parbu mengangguk-angguk.
"Benar kakang resi. Hal itulah yang membingungkan pikiranku karena aku selalu merasa ragu-ragu tindakan apakah yang harus kuambil. Akan tetapi yang lebih daripada itu, benarkah kakang Lembu Sora melakukan perbuatan yang hina dan keji itu?"
Dengan hati-hati Resi Mahapati menjawab.
"Menurut pendapat hamba memang demikianlah adanya karena andaikata tidak demikian, pasti dimas Demung Lembu Sora akan menjadi marah sekali. Pula, kabarnya malah dimas Lembu Sora telah mengakui akan kebenaran berita itu, sinuwun."
Sang prabu memukul telapak tangan kirinya sendiri.
"Sungguh aneh! Kakang Lembu Sora telah kukenal benar sebagai seorang satria utama yang gagah perkasa. Bagaimana mungkin dia melakukan perbuatan keji dan rendah itu?"
"Menurut pendapat hamba, hal itu tidaklah terlalu aneh, sinuwun. Betapa pun juga, Ronggo Lawe adalah keponakannya, maka anehlah kalau seorang paman membantu keponakannya melihat keponakannya itu terbunuh oleh Kebo Anabrang?"
"Akan tetapi kakang Lembu Sora adalah seorang yang amat setia kepadaku!"
"Hal itu tidak dapat disangkal pula, gusti. Akan tetapi ketika membunuh Kebo Anabrang, dimas Lembu Sora bukan bermaksud, memberontak atau berkhianat kepada paduka, melainkan karena perasaan pribadi melihat keponakannya terbunuh."
Sang prabu mengangguk-anggul, menyetujui.
"Kalau kupikir-pikir, memang wawasanmu itu agaknya tepat, kakang resi. Akan tetapi, lalu aku harus bertindak bagaimana?"
"Memang hamba akui amat sulit bagi paduka untuk mengambil tindakan. Akan tetapi hendaknya paduka ketahui bahwa banyak para ponggawa, menteri dan senopati merasa tidak puas dan penasaran karena melihat perbuatan keji dan curang dari dimas Lembu Sora itu tidak mendapatkan pengadilan dan hukuman. Timbul anggapan mereka bahwa paduka seolah-olah membenarkan tindakan Lembu Sora membunuh Kebo Anabrang secara keji demikian itu. Hal ini amatlah tidak baik sinuwun."
"Habis, bagaimana baiknya, kakang resi?"
Sang prabu makin tertekan hatinya.
"Yang terpenting dan terutama di antara segalanya adalah nama, kehormatan, dan kedaulatan paduka agar seluruh rakyat di Mojopahit tunduk dan menjunjung tinggi paduka sebagai seorang maha raja yang arif bijaksana dan adil! Oleh karena itu, dalam hal ini seyogianya kalau paduka mengesampingkan perasaan pribadi dan bertindak seadil-adilnya terhadap Lembu Sora yang jelas telah melakukan dosa besar itu. Sayangnya bahwa dimas Lembu Sora sendiri bersikap lengah, seolah-olah tidak menghargai paduka dan tidak terang-terangan saja menceritakan kepada paduka dan mohon kemurahan paduka."
Wajah sang prabu mulai merah. Terbakarlah hatinya dan timbul penasaran dan tidak senangnya kepada Lembu Sora.
"Hamba merasa heran sekali bahwa beberapa ponggawa yang masih membenarkan perbuatan Lembu Sora itu, bahkan dua orang di antaranya, yaitu Juru Demung dan Gajah Biru telah lolos dan tidak diketahui ke mana perginya, membawa pasukan yang berada di bawah asuhan mereka. Hal ini berbahaya, sinuwun. Kalau Gajah Biru berkhianat, masih tidak mengherankan karena dia adalah saudara seperguruan Ronggo Lawe, akan tetapi Juru Demung..."
"Juru Demung adalah tangan kanan kakang Lembu Sora!"
Sang prabu berkata marah.
"Kalau begitu biarlah sekarang juga kubebaskan Lembu Sora dan kaki tangannya itu dari tugas, kupecat mereka dengan tidak hormat!"
Sang prabu sudah mulai marah sekali.
Di sinilah nampak kecerdikan Resi Mahapati. Setelah dia berhasil membakar hati sang prabu, cepat dia merobah sikap agar perbuatannya mengeruhkan suasana itu tidak nampak bekasnya, dan agar peranannya yang amat besar dan penting itu tersembunyi demi keamanan dirinya sendiri.
"Ampun, sinuwun. Harap paduka suka bersabar dan tidak menuruti kemarahan hati. Kalau paduka mengambil tindakan yang amat tiba-tiba ini, hamba khawatir akan terjadi pemberontakan dan melihat betapa banyak sekali kawan-kawan Lembu Sora, maka tentu akan terjadi malapetaka melanda Mojopahit. Harap paduka tidak terburu nafsu dan mencari kesempatan yangbaik untuk menyingkirkan Lembu sora dan kawan-kawannya tanpa menimbulkan huru-hara dan yang akan merugikan kerajaan paduka sendiri."
Sang prabu menarik napas panjang dan memandang kepada pendeta tua itu dengan sinar mata bersyukur.
"Terima kasih, kakang Resi bahwa engkau telah mengingatkan aku. Memang pendapatmu benar, aku tidak akan gegabah dan terburu nafsu. Akan kupikirkan jalan terbaik untuk urusan ini."
Setelah merasa berhasil meracuni hari Sri Baginda sehingga timbul rasa penasaran dan tidak senang di hati Sri Baginda terhadap Lembu Sora, Resi Mahapati lalu mohon diri. Hatinya girang bukan main karena dia kini merasa yakin Sri Baginda tentu tidak akan ragu-ragu lagi mengambil tindakan. Akan tetapi masih banyak yang harus dia kerjakan untuk terlaksananya rencana siasatnya yang semalam telah dia atur dan rundingkan dengan selirnya terkasih yaitu Lestari! Betapa hebatnya, besar dan tingginya cita-cita Lestari, kekasihnya itu! Kalau dia sendiri hanya mengincar kedudukan patih kekasihnya itu malah mengincar kedudukan raja untuk dia dan permaisuri untuk kekasihnya itu! Bukan main! Akan tetapi, siapa tahu? Siapa tahu kalau-kalau Sang Hyang Bathara Syiwa akan memberkahinya sedemikian rupa sehingga cita-cita selirnya itu akan terlaksana!
Dengan hati yang besar Resi Mahapati lalu mengunjungi gedung Kebo Anabrang! Langsung dia menjumpai Kebo Taruno atau Juko Taruno, putera dari mendiang Senopati Kebo Anabrang. Joko Taruno ini sudah dewasa, usianya sudah dua puluh tahun lebih dan seperti juga mendiang ayahnya, pemuda ini bertubuh tinggi besar, pemberani dan semenjak kecil sudah digembleng dengan ilmu-ilmu kedigdayaan.
Ketika Resi Mahapati mengunjungi rumah Kebo Anabrang, dia disambut oleh Joko Taruno dan dipersilakan duduk di rungan tamu dengan hormat. Kemudian dengan lagsung Resi Mahapati bertanya apakah pemuda itu dan keluarganya sudah mendengar desas-desus tentang kematian ayah pemuda itu hampir lima tahun yang lalu?
Wajah pemuda yang tinggi besar itu menjadi merah, dan jelas bahwa dia menahan kemarahannya mendengar pertanyaan tentang ayahnya itu.
"Kami sekeluarga justru sedang risau mendengar berita itu, paman resi."
"Apakah andika menaruh dendam atas kematian ayah andika itu?"
"Tentu saja! Kalau ayah tewas dalam perang, kami merasa bangga dan menganggap bahwa hal itu sudah sewajarnya bagi seorang satria yang menjadi senopati seperti mendiang ayah. Akan tetapi, kalau kematiannya seperti itu dibunuh secara curang seperti dikabarkan dalam desas-desus itu, apalagi dilakukan oleh kawan sendiri, hal itu sungguh menyakitkan hati dan bagaimana pun juga, harus kami balas! Mungkin kami bukanlah lawan dari Demung Lembu Sora, akan tetapi kami dapat menuntut keadilan kepada sang prabu!"
Resi Mahapati mengangkat tangannya dan menarik muka sungguh-sungguh untuk menutupi rasa girang di hatinya.
"Jangan khawatir dan jangan bertindak semborono, orang muda. Percayalah kepada Sang Hyang Syiwa yang maha adil, yang menjadi korban kejahatan! Ketahuilah bahwa aku sendiri baru saja bertemu dengan sri baginda di istana, dan sri baginda sendiri sudah mendengar akan berita itu. Sri baginda masih berduka atas kematian ayah andika dan Sri baginda sedang mencari kesempatan untuk membalas kematian ayah andika itu dan membasmi Lembu Sora. Karena itu, harap andika bersabar dan jangan melakukan tindakan sendiri karena hal itu akan mengeruhkan suasana dari sang prabu. Tunggu sajalah kalau saatnya tiba, tentu andika akan berkesempatan membalas dendam dan jangan khawatir, aku sendiri pun tidak senang melihat perbuatan keji dari Lembu Sora dan akulah yang akan membantumu, angger, karena ayahmu dahulu adalah sahabat baikku."
Tentu saja hati penuda itu menjadi girang dan terharu sekali, maka dia lalu menyembah dan menghaturkan terima kasihnya kepada pendeta istana yang baik hati itu. Setelah menghibur sambil menaburkan racun dendam di dalam hati pemuda itu, Resi Mahapati lalu pulang ke gedungnya, disambut peluk cium oleh Lestari, selirnya yang sudah dirindukannya itu. Di dalam pelukan waniat muda itu, Resi Mahapati seperti biasa menceritakan segala yang telah dilakukannya selama ini dan betapa jaring-jaring yang dipasangnya untuk menangkap ikan berupa Lembu Sora makin diperketat dan hanya tinggal menanti saatnya saja! Dan hati Lestari menjadi girang dan puas. Ayahnya adalah seorang senopati atau perwira Mojopahit.
Akan tetapi ayahnya tewas karena kecurangan Progodigdoyo, kemudian ibunya dan adiknya tewas pula oleh Progodigdoyo, dan dia sendiri sampai rela mengorbankan tubuh dan perasaan menjadi benda permainan dan pemuas hawa nafsu Resi Mahapati. Dan semua itu, malapetaka yang menimpa keluarganya itu sama sekali tidak mendapat perlindungan dari Mojopahit, di mana ayahnya dahulu menghambakan diri. Maka kini semua bangsawan Mojopahit harus dibasmi! Caranya adalah mengadu domba di antara mereka, melalui suaminya yang cerdik itu, sampai habis! barulah tidak akan sia-sia semua pengorbanannya. Hanya inilah yang menjadi isi hati Lestari dan yang makin diperkuatnya dengan tindakan setiap harinya, yaitu dengan menyihir Resi Mahapati menggunakan kecantikan wajahnya, keranuman dan kehangatan tubuhnya, dan kehalusan rayuannya!
Resi Mahapati memang amat cerdik. Dia tidak hanya berhenti di situ saja untuk menyudutkan Lembu Sora. Dengan amat halus dia bahkan mencari kesempatan untuk menemui Lembu Sora sendiri! Dan apa yang dikatakannya ketika dia bertemu dengan Lembu sora?
"Dimas Demung Lembu Sora, hendaknya andika berhati-hati..."
Katanya dengan suara mengandung kegelisahan.
"Keselamatan andika terancam hebat...!"
Lembu Sora menerima berita ini dengan sikap tenang saja. Dia sudah malu akan adanya desas-desus tentang dirinya dan sebagai seorang satria, dia siap sedia menanggung semua akibat daripada tindakannya lima tahun yang lalu.
"Jika kakang resi mempunyai sesuatu yang hendak disampaikan kepada saya, silakan. Saya tidak gentar menghadapi ancaman bahaya apapun."
Memang pada hakekatnya Lembu Sora kurang suka kepada pendeta pemuja Bathara syiwa ini, yang dianggapnya seorang yang terlalu halus, sembunyi-sembunyi dan dia pun mendengar akan watak pendeta ini yang gila perempuan. Akan tetapi, sebagai teman sejak lama menghambakan diri kepada Mojopahit, dia tetap menghormatinya.
"Ketahuilah, Dimas Demung. Saya telah bertemu dengan keluarga Kebo Anabrang, dan Joko Taruno yang termakan hatinya oleh desas-desus tentang kematian ayahnya, bersumpah untuk membalas dendam kematian ayahnya kepada andika!"
"Hemm, hal seperti ini sudah sewajarnya dan saya tidak akan gentar menghadapinya, kakang Resi Mahapati."
Jawaban yang tenang ini membuat Resi Mahapati sejenak kehilangan keseimbangannya dan tidak tahu harus berkata apa lagi. Akan tetapi memang dia seorang yang cerdik dan banyak akal bulusnya banyak buslihatnya. Dia teringat akan pesan dan nasihat selirnya yang tercinta bahwa untuk dapat menguasai kedudukan Mojopahit harus dibikin lemah dulu dan untuk membikin lemah kerajaan, para senopati harus diadu domba lebih dulu. Teringat akan nasihat ini, dia lalu berkata dengan suara yang halus namun penuh pembelaan.
"Joko Taruno memang masih kanak-kanak, adimas Demung, dan dia sih boleh tidak usah dipikirkan. Akan tetapi mengingat akan permusuhan dan kebencian antara mendiang Ronggo Lawe dengan Patih Nambi, maka sudah pasti Joko Teruno akan minta bantuan Patih Nambi untuk menghadapi andika. Karena itu, maka hendaknya andika berhati-hati dan waspada."
Lembu Sora tersenyum tenang.
"Kakang Resi Mahapati, di Mojopahit ini, yang saya pandang dan saya hormati, yang saya junjung tinggi hanyalah Sri Baginda. Yang lain-lain saya tidak perduli dan kalau mereka hendak mengukur luasnya dada si Lembu Sora, boleh maju, saya tidak menjadi gentar!"
Diam-diam Resi Mahapati maklum bahwa ucapan ini bukan hanya kesombongan kosong belaka dan tanpa adanya campur tangan dari sang prabu sendiri, kiranya tidaklah akan mudah untuk menjatuhkan senopati gemblengan ini.
"Benar sekali sikapmu ini, dimas Demung! andaikata benar bahwa andika dahulu membunuh Kebo Anabrang, tentu ada alasannya dan karena itu tidak perlu takut terhadap mereka. Tentang Sri Baginda, saya percaya bahwa Sri Baginda akan mengingat jasa-jasa andika dan tidak membesar-besarkan urusan ini. Dan jangan lupa, kalau sampai terjadi sesuatu, Resi Mahapati tentu akan berdiri di pihak andika, dimas Demung Lembu Sora memperjuangkan di depan Sang baginda agar andika tidak sampai mengalami malapetaka.!"
"Terima kasih, kakang resi. Akan tetapi saya tidak ingin membawa orang lain dalam urusan pribadi saya."
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Biar pun di dalam hatinya dia tidak ingin sama sekali menerima kebaikan dan bantuan resi itu, namun tentu saja Lembu sora tidak mungkin menolak iktikat baik orang, maka terpaksa dia menghaturkan terima kasihnya ketika Resi Mahapati itu bermohon diri.
Untuk menemui orang-orang penting yang bersangkutan dalam politik adu dombanya, Resi Mahapati tidak mempercayakan kepada orang lain, melainkan dikerjakannya sendiri. Demikian pula, dia sendirilah yang menemui Patih Nambi dan di depan patih yang sebetulnya amat dibenci dan diirikan kedudukannya ini yang diincer untuk direbut pangkatnya, dia bicara secara berbeda sama sekali. Kepada Patih Nambi, Resi Mahapati mengatakan bahwa sang prabu marah sekali kepada Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara curang, akan tetapi sang prabu yang menganggap bahwa Lembu Sora merupakan senopati yang paling berjasa dan paling setia kepada sang prabu, maka tidak akan dihukum, melainkan akan dibebaskan dari tugasnya dan sebagai gantinya, sang prabu akan mengangkat Joko Taruno, putera Kebo Anabrang. Juga diceritakan bahwa joko Taruno hendak membalas dendam kematian ayahnya, namun maksud itu dicegahnya karena kalau hal itu dicegahnya karena kalau hal itu dilaksanakan di luar kehendak sang prabu, maka tentu akan terjadi perang saudara.
"Tidak ada lain jalan,"
Resi Mahapati membakar hati Patih Nambi.
"Hanya andika saja yang dapat membereskan si Lembu Sora itu, karena dipilihnya andika sebagai patih oleh sang prabu, dan bukan Lembu Sora, membuktikan bahwa sang prabu lebih sayang kepada andika dari pada kepada Lembu Sora. Kalau andika yang menghadap sri baginda untuk menjalankan tugas menangkap dan menghukum itu, tentu sang prabu tidak akan keberatan."
Terpikat Patih Nambi oleh cerita Resi Mahapati yang memang pandai bicara itu. Segera dia menghubungi Joko Taruno, kemudian mempersiapkan orang-orangnya, yaitu mereka yang berfihak kepada Dara Petak dan Pangeran Kolo Gemet, kemudian Patih Nambi pergi menghadapi sang prabu. Dengan tegas Patih Nambi mengemukakan bahwa semua menteri dan senopati mengambil keputusan untuk mohon perkenan sri baginda untuk menghukum Lembu Sora yang telah membunuh Kebo Anabrang secara keji dan curang.
"Demi keselamatan Negara dan agar tidak sampai terjadi pemberontakan karena rasa penasaran di dalam hati para senopati, maka demi keadilan pula, hamba mohon agar paduka mengijinkan hamba pergi menangkap dan menjatuhkan hukuman mati kepada Lembu Sora."
"Patih Nambi,"
Sang prabu berkata dengan suara berduka.
"Apakah engkau lupa betapa besar jasanya Lembu Sora kepada kerajaan? Bagaimana hati kami dapat tega membiarkan dia terhukum mati?"
Nambi menyembah dengan khidmat.
"Hamba mengerti, sinuwun. Haba sendiri amat kagum dan suka kepada kakang Demung Lembu Sora yang hamba anggap sebagai guru hamba sendiri. Akan tetapi, hamba mengajukan permohonan ini sama sekali bukan karena perasaan pribadi hamba. Hamba tetap sayang dan menghormat kepada kakang Lembu Sora. Akan tetapi hamba lebih mementingkan keselamatan Negara, karena kalau hanya menuruti perasaan pribadi dan membiarkan kakang Lembu Sora tidak terhukum, hal ini akan mengurangi kewibawaan paduka dan tentu akan timbul anggapan bahwa paduka kurang adil. Hal itu berbahaya sekali, gusti."
Sang Prabu Kertarajasa maklum akan kebijaksanaan Patih Nambi, maka dia pun percaya sepenuhnya bahwa apa yang terucapkan oleh mulut patihnya itu adalah suara yang murni dari hati Patih Nambi. Maka makin sedihlah hatinya dan akhirnya sang prabu berkata.
"Telah kupikirkan masak-masak dan telah kuputuskan Patih Nambi. Memang Lembu Sora telah berdosa dan untuk itu dia harus ditangkap kakang Lembu Sora, akan tetapi jangan dihukum mati. Dia harus dihukum buang, yaitu dibuang ke Tulembang. Nah, inilah keputusan kami, disaksikan oleh para menteri!"
Mendengar putusan sang prabu itu, Patih Nambi lalu mengadakan persiapan dan dan merundingkannya dengan para ponggawa dan senopati lainnya, karena tugas mengangkap Lembu Sora bukanlah merupakan tugas yang remeh!
Sementara itu, Resi Mahapati yang mendengarkan keputusan sang prabu ini, merasa kecewa. Kalau hanya dihukum buang saja, Lembu Sora kelak masih merupakan bahaya besar dan perintang dari cita-citanya. Juga Lestari tidak puas dan membujuk sang resi untuk mencari akal agar Lembu Sora dapat membinasakan.
Sang Resi Mahapati lalu cepat-cepat mengutus seorang kepercayaannya untuk pergi menghadap Senopati Lembu Sora dengan diam-diam. Pesuruh atau utusan itu disuruh mengabarkan kepada Lembu Sora bahwa Patih Nambi bersama Joko Taruno sedang mempersiapkan pasukan untuk menangkap Lembu Sora sebagai seorang penghkianat, dan hal ini disetujui oleh sang prabu! Dan Resi Mahapati berpesan agar Lembu Sora melarikan sesuatu. Dialah yang akan memperjuangkan ke hadapan sang prabu agar Lembu sora diampuni.
Mendengar berita ini, Lembu Sora menjadi berduka sekali. Dia tidak takut menghadapi ancaman Nambi dan Joko Taruno, akan tetapi merasa berduka mengapa sang prabu telah memberi ijin kepada dua orang itu untuk bertindak sendiri. Mengapa tidak sang prabu saja yang memanggilnya? Kalau demikian halnya, dia tentu akan menghadap dan menyerah tanpa perlawanan apa pun. Akan tetapi diserbu oleh Nambi dan Joko Taruno. Dia tidak mungkin mau menyerah. Mendengar nasihat Resi Mahapati, Lembu Sora merasa setuju karena kalau dia melawan penangkapan itu, berarti dia memberontak dan hal ini dia sama sekali tidak menghendakinya. Memberontak terhadap Mojopahit? Dalam mimpi pun tak pernah terpikirkan hal ini olehnya! Karena dia memang telah mengungsikan keluarganya semenjak ada desas-desus, dan kini setelah mendengar nasihat Resi Mahapati dan dia didatangi pula Gajah Biru yang menjadi sahabat baik dan pembantunya yang setia, akhirnya Lembu Sora lolos dari Mojopahit dan pergi bersembunyi di dalam hutan di tempat persembunyian Juru Demung, Gajah biru dan teman-teman lain serta pasukan mereka.
Kedatangan dua orang pertapa itu, Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, yang dijemput oleh Reksosuro dan teman-temannya, amat menggirangkan hati Resi Mahapati. Hatinya makin besar karena bantuan dua orang sakti ini amat dibutuhkannya. Dia maklum bahwa Lembu Sora adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat dan kiranya kalau hanya mengandalkan Nambi saja, akan sukar untuk membinasakan satria yang gagah perkasa itu. Kalau dia sendiri yang turun tangan, dia yakin akan mampu mengalahkan Lembu Sora, akan tetapi hal ini sama sekali tidak dikehendakinya. Belum waktunya untuk dia turun tangan sendiri, karena masih banyak rintangan-rintangan yang harus dilenyapkan dengan diam-diam sehingga dia akan selalu bertangan bersih dan leluasa bergerak sampai dia mendekati tujuan terakhir.
Malam itu dia menjamu kakak seperguruannya, Empu Tunjungpetak dengan hidangan-hidangan lezat, pakaian-pakaian indah dan benda-benda yang berharga mahal, sedangkan untuk Resi Harimurti, dia yang sudah tahu akan kesukaan resi perantauan ini segera menyuguhkan dua orang
Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Bajak Laut Kertapati Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo