Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 3


Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 3



"Raden, tolonglah. DI kampung sana itu terdapat musuh yang mengganas dan merampok."

   Jarot segera melarikan kudanya. Benar saja, terdengar teriakan minta tolong seorang wanita.

   Ia balapkan Nagapertala memasuki kampung dan meloncat turun. Dalam sebuah pondok ia melihat seorang gadis muda meronta-ronta dalam pelukan seorang laki-laki brewokan. Jarot marah sekali dan sekali loncat ia telah berada di belakang laki-laki itu dan tangan kanannya bekerja! Laki-laki itu merasa pundaknya terkait dan ia tak dapat mempertahankan tubuhnya ketika ditarik ke belakang oleh sebuah tenaga yang kuat sekali. Dengan marah la melepaskan korbannya dan putar tubuhnya. Tapi sebelum ia jelas benar melihat pemuda yang berani mengganggunya tinju kiri Jarot sudah mampir ke pangkal telinganya, membuat kepalanya pening dan segala apa di depannya tampak berputar-putar! Sekali lagi Jarot ayun tangannya kali ini menumbuk dada, maka laki-laki biadab itu terpental jauh dan tubuhnya menabrak dinding hingga dinding bambu itu menjadi jebol.

   Dengan dua kali pukulan saja Jarot membuat lawannya rebah dengan napas empas-empis. Ia lalu meloncat keluar. Ternyata kampung itu dimasuki belasan perajurit musuh, yang bertugas sebagal pelopor penyelidik. Karena agaknya terpimpin oleh seorang yang berwatak rendah, maka regu musuh ini menyeleweng dari tugasnya dan mengacau kampung. Mereka inilah pula yang membunuh tiga orang penyelidik Mataram. Melihat seorang pemuda keluar dari pondok segera lima orang perajurit mengepungnya. Jarot bersikap tenang dan menanti serbuan musuh. Tanpa bertanya sesuatu kelima orang itu terus saja menghantam. Tapi alangkah terkejut mereka ketika kepalan mereka beradu dengan tubuh yang keras bagaikan waja hingga tangan mereka terasa sakit sekali. Sebelum mereka dapat tenangkan pikiran dari rasa heran dan bingung, Jarot sudah bergerak cepat.

   Kaki dan tangannya bekerja bagaikan empat daun kitiran angin dan kelima lawannya hanya dapat mengaduh kesakitan dan rebah, tak dapat bangun lagi! Teriakan teriakan ini terdengar oleh perajurit-perajurit lain. Seorang perajurit memberi tanda dan berkumpullah tujuh orang perajurit dengan tombak di tangan. Mereka membuat gerakan dan sebentar saja Jarot terkurung di tengah-tengah. Pemuda itu dengan mata tajam bergerak perlahan memutar-mutar tubuh ke kanan kiri dengan waspada, seakan-akan seekor harimau jantan yang dikurung. Ia tahu bahwa kali ini ia menghadapi tujuh perajurit yang bersenjata tajam sedangkan ia sendiri bertangan kosong, maka ia harus berkelahi mati-matian. Sementara itu, cahaya matahari telah mulai menggantikan kedudukan sang ratu malam yang turun tahta hingga cuaca menjadi remang-remang menyeramkan.

   "He, siapakah kau berani melukai kawan-kawan kami?"

   Pemimpin regu itu membentak dengan suara galak. Jarot tersenyum, karena dari irama ucapan itu tahulah dia bahwa para lawannya ialah orang-orang dari Jawa Timur.

   "Kita satu asal, tapi berlainan paham,"

   Katanya tenang. Ketujuh orang lawannya saling pandang,

   "Kamu juga orang wetan? Mengapa berani melawan kami?"

   "Aku bukan anak buahmu. Aku membela Mataram!"

   "Setan alas engkau! Beritahukan namamu sebelum putus lehermu!"

   "Namaku? Akulah Jarot anak Tengger, pembela keadilan dan kebenaran, sekarang bertugas sebagal penyelidik dari Mataram."

   Maka setelah mendengar keterangan ini marahlah ketujuh orang itu dan menyerbulah mereka dengan tombak mereka.

   Jarot menggerakkan tubuhnya dan sekali berkelebat ia telah menyerang ke depan, miringkan tubuh hindarkan tusukan tombak dari depan dan cepat bagaikan kilat kempit tombak itu di bawah lengan terus gerakkan kaki menendang. Terdengar jeritan ngeri dan lawannya Itu terlempar jauh dengan tombak tertinggal dalam tangan Jarot, Terjadilah kini perang tanding antara enam orang melawan seorang. Permainan tombak enam orang perajurit itu cukup kuat dan cepat, tapi menghadapi Jarot mereka itu bagaikan kanak-kanak yang baru belajar jalan! Kalau dibicarakan memang aneh dan tak masuk di akal tapi benar- benar tombak di tangan Jarot yang hanya sebatang itu telah membuat enam batang tombak lawan-lawannya hanya mampu menangkis saja tanpa kuasa menyerang sedikitpun! Jarot percepat gerakannya dan seorang demi seorang para lawannya berteriak dan roboh karena tendangan atau sabetan gagang tombak.

   Kepala regu melihat semua perajuritnya roboh, menjadi takut dan timbul watak pengecutnya. Ia lempar tombaknya dan berlutut menyembah meminta ampun. Jarot tersenyum menghina dan seret orang itu pada rambutnya. Dengan ringan ia kempit tawanannya dan meloncat ke atas punggung Nagapertala dan kaburkan kudanya kembali ke kota raja. Ternyata di alun-alun telah disiapkan perajurit-perajurit Mataram di bawah pimpinan para senapati. Pada saat itu Senapati Ki Ageng Baurekso sedang mengadakan rapat dengan para senapati lain untuk merundingkan cara yang sebaiknya untuk menahan serangan musuh dari Surabaya. Semua panglima dan senapati maju menyambut Jarot yarig datang dengan seorang perajurit musuh sebagai tawanan. Jarot melemparkan kepala regu musuh itu ke atas tanah dan berkata kepada Ki Ageng Baurekso,

   "Paman senapati, tawanan ini adalah seorang kepala regu musuh yang sengaja kutawan untuk ditanyai keterangan tentang keadaan barisan musuh."

   Ki Ageng Baurekso mengangguk-angguk senang dan ia merasa kagum ketika Jarot dengan ringkas menuturkan pengalamannya. Kemudian di bawah ancaman ujung keris, tawanan itu mengaku dan membuka rahasia kesatuannya yang sedang bergerak dalam penyerangan ke Mataram.

   Ternyata bahwa barisan dari Kadipaten Surabaya itu menggunakan siasat menyerang dari dua pihak! Sebagian barisan akan menyerang dari timur dan sebagian pula menyerang dari utara. Penyerangan dari timur merupakan serangan pancingan atau serangan palsu sedangkan sebenarnya tenaga terkuat dikerahkan dalam barisan yang menyerang dari utara. Ki Ageng Baurekso girang sekali mendengar pembukaan rahasia ini, dan setelah tawanan itu habis bicara, senapati yang terkenal gagah berani itu menggerakkan tangannya yang memegang keris, maka tawanan itu tak sempat berteriak dan matilah dia! Hal ini tak mengherankan para pahlawan lain karena mereka semua sudah kenal akan watak Ki Ageng Baurekso yang sangat benci akan segala macam pengkhianatan.

   Sekali waktu pernah tertangkap seorang penyelidik musuh yang bersikap gagah dan rela dibunuh daripada harus membongkar rahasia barisannya. Ki Ageng Baurekso tidak membunuh tawanan yang setia itu, bahkan memberinya seekor kuda dan membebaskannya! Tapi jika ada tawanan yang bersikap pengecut seperti tawanan dari Surabaya ini, biarpun keterangan-keterangannya menguntungkan Mataram, namun sikap tawanan itu demikian menjijikkan hati senapati hingga selalu dia sendiri yang turun tangan menghabisi nyawanya. Sikap ini sungguh cocok dengan sikap Sultan Agung yang menghargai kegagahan dan kesetiaan. Dengan cepat Ki Ageng Baurekso memberi perintah kepada para panglima untuk menjaga kedatangan musuh. Kemudian ia beri tanda kepada Jarot untuk mendekat. Setelah pemuda itu menghampirinya, senapati itu berbisik,

   "Nak Jarot, kau cepatlah pulang dan tengok Ki Galur serta anaknya. Kalau semua dalam keadaan baik, barulah kau bantu kami, Gusti Pangeran baru saja menuju ke kampungmu!"

   Mendengar kisikan ini, tanpa pamit lagi Jarot terus cemplak kudanya dan membalap ke arah kampung Ki Galur dengan hati tidak enak. Benar saja, ketika kudanya memasuki gerbang kampung, ia mendengar jeritan-jeritan ngeri dan melihat orang-orang kampung lari ke sana ke mari dalam keadaan kacau. Ia pegang seorang kampung yang lari di dekatnya lalu bertanya keras.

   "Apa yang telah terjadi?"

   Orang itu terkejut dan pucat ketika merasa lengannya ada yang memegang, tapi setelah dilihatnya bahwa yang memegangnya Jarot, ia jatuh berlutut dan

   "Den Jarot, celaka... celaka... Gusti Pangeran mengamuk... dia dan beberapa orang pengawalnya... marah-marah mencari Sekarsari, kami diamuknya, dikira menyembunyikan Sekarsari, bahkan ada beberapa orang kawan yang terbunuh. Tolong, den Jarot, tolonglah..."

   Jarot tak sempat menjawab, segera berlari ke arah pondok Ki Galur. Ia melihat segala barang isi pondok telah mawut dan rusak, pintu-pintu terbuka dan pondok itu kosong! Timbul kemarahan hebat di hati Jarot. Ia lari keluar. dan melihat betapa seorang pengawal Pangeran sedang menyeret seorang laki-laki dan membentak-bentak.

   "Hayo mengaku, di mana mereka?"

   Orang kampung itu menyembah-nyembah minta ampun, tapi pengawal itu menendangnya hingga ia roboh terjengkang. Jarot membentak.

   "Manusia rendah!"

   Pengawal itu cepat membalik sambil mencabut kerisnya, tapi Jarot yang sedang marah tak memberi waktu padanya, sekali serang saja pengawal itu terpukul roboh dan kerisnya terampas! Karena sedang bingung, maka Jarot menjadi kejam. Keris yang terampas itu diayun ke arah tubuh lawannya yang rendah. Keris menancap jitu di dada kiri dan pengawal Pangeran itu menjerit, berkelojotan dan diam, tak berkutik lagi! Jarot lalu lari pula ke arah di mana terdengar jerit wanita meminta tolong. Dilihatnya Pangeran Amangkurat memimpin enam orang pengawalnya menyeret-nyeret Sulastri kawan Sekarsari yang meronta-ronta dan berteriak-teriak minta tolong!

   "Jahanam kalian!"

   Jarot memaki keras. Suaranya demikian keras mengguntur hingga para pengawal terkejut. Ketika mereka menengok dan melihat wajah Jarot, mereka kaget sekali. Wajah pemuda yang biasanya tampan dan sabar itu kini sangat menakutkan. Sepasang matanya memancarkan cahaya ganas dan tajam hingga dengan rasa takut keenam pengawal itu mencabut keris masing-masing dan tak terasa pula mereka melepaskan Sulastri yang hendak dipaksa diboyong ke Keraton untuk dijadikan selir Amangkurat!

   Kemudian, sambil mengeluarkan suara geraman hebat, Jarot menerjang. Enam orang pengawal itu mengangkat senjata menyerang dan berbareng menghadapi terjangan Jarot, tapi mereka sendiri tak tahu entah bagaimana, tahu-tahu senjata mereka telah terlepas dari tangan dan cepat bagaikan kilat menyambar pukulan Jarot menimpa tubuh mereka. Pukulan-pukulan yang dilakukan dengan tenaga penuh dengan hawa marah ini hebat sekali. Enam orang pengawal Pangeran itu rebah tak dapat bergerak lagi dan empat orang di antara keenamnya mati di saat itu juga! Keder juga hati Amangkurat melihat kehebatan sepak terjang Jarot, tapi la tak dapat menghindari pemuda yang sedang kalap itu. Terpaksa ia cabut kerisnya dan menghadapi Jarot dengan hati berdebar.

   Jarot melangkah mundur dua tindak ketika melihat, keris itu. Ternyata keris itu adalah keris pusaka Margapati! Sinar kilat berapi keluar dari mata keris itu, hingga Jarot merasa bulu tengkuknya berdiri. Tapi hawa marah yang memenuhi dadanya lebih kuat lagi menguasai dirinya hingga tanpa memperdulikan bahaya ia loncat menerjang. Amangkurat mengangkat keris pusaka dan mengirim tusukan maut. Tapi Jarot gunakan kelincahannya berkelit cepat menghindari tusukan. Ia sama sekali tidak berani menangkis atau merampas keris itu karena ia maklum betapa ampuh dan jahat keris itu. Karena Amangkurat juga pandai sekali mainkan senjata keris, Jarot terdesak juga. Tiba-tiba Jarot mendapat akal. Ketika Amangkurat menyerangnya dengan tusukan bertubi-tubi, Jarot gulingkan tubuhnya di atas tanah dan sambil bergulingan itu tangannya mengepal tanah pasir.

   Kemudian ia meloncat bangun dan sambil berseru keras tangannya terayun ke arah muka Amangkurat! Pangeran itu sama sekali tidak menyangka akan mendapat serangan luar biasa ini hingga tak keburu berkelit. Tak ampun lagi kedua matanya terserang pasir hingga ia tak dapat membuka matanya lagi. Kesempatan ini digunakan oleh Jarot untuk mengirim tendangan keras ke arah pergelangan lengan Amangkurat hingga keris Margapati terlepas dari pegangan dan terpental ke udara. Jarot menyambut keris itu dengan cekatan sehingga kini Margapati berada dalam tangannya. Dengan pandangan penuh kegemasan ia menghampiri Amangkurat yang tidak berdaya. Maksudnya, dengan sekali tusuk saja tamatlah riwayat Pangeran itu. Tapi pada saat itu ia ditubruk orang dari belakang dengan jeritan halus.

   "Mas Jarot... jangan, Mas..."

   Mendengar suara Sekarsari, seketika itu juga lenyaplah semua napsu marah yang menguasai hati Jarot. Tubuhnya terasa lemas seakan-akan lolos semua urat bayunya. Ia pandang Pangeran yang telah pucat itu dan berkata lemah,

   "Pangeran, pergilah sebelum hamba berobah pikiran..."

   Dan Amangkurat lalu pergi dengan menundukkan kepala. Ia demikian malu hingga tiada muka untuk meminta kembali keris Margapati dari tangan Jarot. Jarot melihat tubuh para pengawal yang rebah malang-melintang di tempat itu, lalu menghela napas.

   Kemudian ia merasa betapa lengan tangannya menjadi basah. Ia menunduk dan melihat Sekarsari masih merangkul lengannya dan menangis. Juga Sulastri yang terlepas dari bencana berjongkok sambil menangis. Berangsur-angsur orang-orang kampung yang lari kini datang kembali dan tubuh serta mayat para ponggawa Pangeran diangkat orang. Tiba-tiba terdengar titiran dipalu keras. Semua orang maklum apa artinya ini. Perang! Musuh telah tiba dan mulai menyerbu. Peperangan dimulai! Jarot yang tadinya masih berdiri sambil tangan kanan menggenggam keris pusaka Margapati dan tangan kiri mengelus-elus rambut kepala Sekarsari dan merasa seakan-akan dalam mimpi, tiba-tiba tersadar dan insyaf bahwa tenaganya dibutuhkan. Keris pusaka Margapati tergetar dalam tangannya. Perlahan-lahan ia tunduk dan cium kepala Sekarsari.

   "Sari, lepaskan aku. Aku harus bantu mengusir musuh. Masuklah ke pondok.'' Sekarsari memandangnya sesaat dengan pandang mata mesra, lalu pergi. Jarot cemplak Nagapertala dan kerahkan kuda itu keluar kota. Ia menuju ke gerbang utara karena tahu bahwa di situlah adanya musuh yang terkuat.

   Dari jauh ia telah mendengar sorak-sorai yang ganas dari para perajurit yang bertempur hebat. Setelah tiba di tempat pertempuran, tiba-tiba Nagapertala si kuda iblis meringkik keras dan menyeramkan dan setelah mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, kuda itu lalu loncat menyerbu ke dalam medan pertempuran. Keris Margapati seakanakan telah mencium bau darah yang amis hingga menjadi haus dan tergetar-getar dalam tangan Jarot. Serbuan Jarot di atas kuda iblis Nagapertala dengan keris maut Margapati di tangan menimbulkan kegemparan di kalangan musuh. Keris pusaka Margapati menyambar-nyambar bagaikan halilintar, seakan-akan hidup dan menjadi liar dalam tangan Jarot, berpesta-pora darah dan daging manusia, tak terkendali lagi. Entah berapa banyak nyawa dilayangkan dari tubuh oleh keris maut ini.

   Mayat bertumpuk-tumpuk, jerit tangis dan pekik liar saling tindih, gaduh hiruk-pikuk bagaikan dunia kiamat! Barisan musuh tak kuasa membobolkan pertahanan tentara Mataram yang kuat di bawah pimpinan para pahlawan yang demikian sakti dan gagah berani. Maka barisan musuh segera mundur sambil meninggalkan mayat bertumpuk-tumpuk. Juga di gerbang timur musuh terpukul mundur. Barisan Surabaya mengalami kegagalan dan kekalahan, mundur dan kembali ke tempat asal dengan jumlah yang banyak berkurang. Para perajurit dan Senapati Mataram kagum dan ngeri melihat sepak terjang Jarot yang demikian hebatnya. Pada saat Jarot menusuk kanan kiri dengan Margapati yang berkilat-kilat dan seakan-akan berapi-api di tangan kanannya, pemuda itu tiada ubahnya seperti seorang malaikat maut sendiri mencabut nyawa para korban!

   Bahkan ketika pemuda itu bertempur dekat Ki Ageng Baurekso, panglima tua ini merasa seram melihat wajah dan pandangan mata Jarot! Namun, dalam perjalanan kembali dengan lagu-lagu kemenangan, tiada habisnya mereka bicarakan tentang kegagahan Jarot. Jarot sendiri setelah semua musuh terpukul mundur, segera bedal kudanya pulang. Sekarsari menyambutnya dengan senyum bangga, tapi ketika Jarot turun dari kuda dan berdiri di depannya, gadis itu tak tahan melihat pemuda yang seluruh tubuhnya berlumuran darah musuh dengan keris di tangan yang masih basah dengan darah pula! Sekarsari menengok ke arah Nagapertala, juga tubuh kuda itu penuh darah sampai ke bibir-bibirnya, seakan-akan kuda itu baru saja minum darah manusia! Sekarsari menggunakan kedua tangan menutup mukanya untuk melenyapkan pemandangan mengerikan itu.

   "Sari... aku... aku... kejam sekali!"

   Sekarsari membuka matanya memandang dan keraskan hatinya, lalu geleng-geleng kepala dan berkata keras.

   "Tidak... tidak, kau hanya menjalankan tugas kewajiban membela negara!"

   Jarot mencoba tersenyum dengan lemah.

   "Bukan, Sari..."

   Ia geleng-geleng kepala.

   "Ketika bertempur tadi, tiada teringat olehku tentang membela negara, yang teringat hanya darah, aku seakan-akan gila dan haus darah."

   Ia memandang ke arah keris di tangan kanannya.

   "Hm, Margapati telah menguasai jiwaku seluruhnya."

   Jarot masukkan keris itu dalam werangka yang dipungutnya dari medan pertempuran tadi, lalu tanpa berkata sesuatu ia bawa kudanya ke bengawan untuk mencuci bersih semua noda darah. Ketika ia kembali, Sekarsari dan Ki Galur telah menyediakan makan dan mereka makan tanpa banyak bercakap. Kemudian, setelah minum beberapa teguk air dari kendi, Jarot berpamit.

   "Kau hendak ke mana lagi, Mas Jarot?"

   Tanya Sekarsari dengan khawatir melihat wajah yang muram itu.

   "Aku... aku akan menyerahkan diri kepada Gusti Sultan."

   "Apa? Mengapa?"

   "Aku telah berdosa, telah berani melawan Pangeran, bahkan hampir saja membunuhnya dengan keris ini, dan telah membunuh beberapa orang pengawal Pangeran. Dosa ini besar sekali, Sari. Sudah sepatutnya aku dihukum mati."

   "Mas Jarot...!"

   Sekarsari menjerit sambil memandangnya dengan terbelalak takut.

   "Jangan... jangan kau menghadap Gusti Sultan. Larilah dari sini, Mas. Kau kuat, kau gagah, tak mungkin kau dapat tertangkap!"

   Jarot geleng-geleng kepala.

   "Gus Jarot, biarpun kau telah melawan Pangeran, tapi kau membela orang kampung. Tak perlu kau sesali perbuatanmu itu,"

   Ki Galur berkata, kemudian menghela napas.

   "Agaknya benar juga usul Sari tadi. Kau larilah saja, Gus Jarot."

   Sekali lagi Jarot menggeleng-geleng kepala.

   "Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, itulah sifat jantan. Dan aku percaya kalian tidak ingin melihat aku kehilangan sifat jantanku, bukan?"

   Ki Galur hanya menghela napas dan Sekarsari tak dapat menahan keluarnya air mata dari sudut matanya. Jarotpun merasa terharu, maka tidak mau duduk di situ, setelah berpamit sekali lagi, ia berjalan cepat ke kandang Nagapertala. Dengan tak ragu-ragu lagi Jarot naik ke atas punggung kudanya. Ki Galur dan Sekarsari mengantar ia sampai di luar.

   "Mas Jarot, aku selalu menanti kembalimu,"

   Sekarsari berkata perlahan dan Ki Galur hanya geleng-geleng kepala.

   Ketika Jarot meloncat turun dari kudanya di pintu gerbang Keraton, ia disambut dengan hormat sekali oleh penjaga gerbang yang telah mendengar akan kegagahannya. Suasana di dalam dan luar Keraton masih penuh diliputi kegembiraan dan pesta kemenangan. Sultan Agung telah memberi perintah untuk mengadakan perayaan tiga hari tiga malam guna merayakan kemenangan gemilang itu. Jarot dengan mudah saja diperkenankan menghadap karena kebetulan sekali Sultan Agung sedang membuka persidangan dengan segenap senapati dan hulubalang. Semua mata memandang ke arah pemuda yang gagah itu, juga Sultan Agung yang sudah mendengar akan perjuangan Jarot, memandangnya dengan senang. Tapi Pangeran Amangkurat menatap wajah Jarot dengan mata merah. Setelah menghaturkan sembah bakti, Jarot berkata,

   "Mohon diampunkan hamba telah berlaku lancang, menghadap tanpa dipanggil. Maksud hamba maka menghadap dan mengganggu persidangan paduka, tak lain ialah bahwa hamba hendak menyerahkan diri dan mohon diadili karena dosa-dosa yang telah hamba perbuat, Gusti."

   Tidak hanya Sultan Agung saja merasa heran, tapi semua senapati dan hulubalang juga terkejut sekali mendengar pengakuan ini.

   "Jarot, mengapa kau berkata demikian? Menurut yang kudengar, engkau tidak berdosa bahkan telah membuat banyak jasa dalam pertempuran tadi."

   "Hamba telah berbuat dosa sebelum terjadi pertempuran, Gusti, dan jika paduka belum dengar tentang dosa hamba itu, hamba persilakan bertanya kepada Gusti Pangeran Amangkurat."

   Sultan Agung merasa heran sekali dan ia pandang wajah puteranya dengan mengandung pertanyaan.

   "Amangkurat, coba ceritakan, apakah dosa yang dimaksud oleh Jarot? Apa yang telah terjadi?"

   

   "Hamba tak dapat menceritakan, kanjeng rama, biarlah Jarot sendiri yang bercerita,"

   Jawab Amangkurat. Mendengar ini Sultan Agung menjadi marah.

   "Apa artinya ini?"

   Bentaknya marah dan memandang berganti-ganti kepada Amangkurat dan Jarot. Tumenggung Suryawidura menyembah.

   "Ampunkan jika hamba lancang, Gusti. Bolehkah hamba menceritakan peristiwa yang dimaksud itu?"

   Sultan Agung mengangguk. Lalu dengan licin sekali Tumenggung Suryawidura yang membenci Jarot menuturkan betapa Jarot telah membunuh dan melukai pengawal-pengawal Pangeran dan bahkan hampir saja membunuh Pangeran Amangkurat. Selain dari itu Jarot juga merampas keris pusaka Margapati. Tentang kejahatan Pangeran dan kaki tangannya sama sekali tidak disebut-sebut oleh Tumenggung itu. Sultan Agung mendengar laporan ini dengan heran. Biarpun Tumenggung Suryawidura tidak menyebut hal kesalahan Pangeran, namun Sultan Agung dapat menduga bahwa tindakan Jarot itu pasti ada latar belakangnya dan ia hampir yakin bahwa betapapun juga Pangeran Amangkurat tentu telah melakukan suatu pelanggaran, maka diam-diam ia merasa menyesal mengapa ia telah kabulkan permintaan Pangeran Amangkurat untuk diberi ijin mengambil keris pusaka Margapati. Melihat Sultan Agung termenung, Tumenggung Suryawidura berkata lagi,

   "Menurut pendapat hamba, dosa Jarot sungguh besar. Pertama ia telah memberontak dan melawan Pangeran, kedua ia telah membunuh pengawal-pengawal Gusti Pangeran Amangkurat, ketiga ia telah berani merampas keria pusaka Margapati. Hamba usulkan untuk menghukum picis padanya."

   Sultan Agung agaknya baru sadar dari lamunannya. Ia maklum betapa berat dosa-dosa ini, tapi sebenarnya hatinya tidak tega untuk menghukum pemuda yang gagah perwira dan telah berjasa itu.

   "Jarot, kau kuberi kesempatan dan hak membela diri. Benarkah segala tuduhan yang dikemukakan oleh Tumenggung tadi?"

   Sultan Agung bertanya kepada Jarot. Jarot menyembah dan berkata tetap.

   "Benar, Gusti."

   "Mengapa Kau lakukan hal itu, Jarot?"

   Tanya pula Sultan.

   "Karena hamba telah gelap mata, terlampau menuruti dorongan napsu hati yang menggelora, Gusti."

   "Tapi mengapa kau menjadi gelap mata, apa alasanmu maka kau berani melawan Pangeran?"

   Sultan mendesak. Jarot menyembah hormat.

   "Ampun Gusti. Hamba hanya ingin menebus dosa, ingin menerima hukuman karena dosa-dosa ini. Hamba bersedia menerima hukuman apa saja yang paduka jatuhkan pada diri hamba."

   Diam-diam Sultan Agung menyesali puteranya sendiri, tapi karena Jarot sendiri yang tidak mau mengaku, iapun tak terlalu mendesak, karena ia yakin bahwa latar belakang peristiwa ini tentu sesuatu yang memalukan keluarga Keraton. Tiba-tiba Ki Ageng Baurekso tak dapat menahan hatinya yang gemas mendengar laporan Tumenggung Suryawidura yang berat sebelah itu dan ia maju menyembah.

   "Gusti Sultan, perkenankan hamba menyatakan pendapat hamba dalam hal ini. Hamba tidak tahu peristiwa apa yang terjadi antara Gusti Pangeran dan Jarot, tapi karena Jarot sendiri telah mengakui akan kedosaan-kedosaan yang dituduhkan padanya, hambapun tak dapat berkata apa-apa. Hanya hendaknya paduka tidak lupa bahwa Jarot telah berjasa besar dalam melawan musuh, bahwa dia telah membela Mataram dengan gagah beraninya. Maka, hamba sama sekali tidak setuju dan tak dapat menerima usul Tumenggung akan hukuman picis yang dijatuhkan kepada Jarot. Hamba mengharap keadilan paduka."

   Sultan Agung menghela napas. Biarpun dalam hati ia tak senang untuk memberi hukuman kepada Jarot, namun di depan sidang ia tak boleh memperlihatkan kelemahannya dan harus menunjukkan keadilan. Siapa yang berdosa, harus dihukum, betapapun besar jasanya yang telah dicurahkan demi kepentingan Mataram. Kalau keadilan ini tidak dilaksanakan, maka para pahlawan yang sudah berjasa tentu dapat melakukan penyelewengan dengan mengandalkan kedudukan dan jasa mereka.

   "Karena sudah nyata bahwa Jarot berdosa sebagaimana pengakuannya, aku jatuhi hukuman cambuk seratus kali dan pengasingan dari kota raja!"

   Mendengar keputusan hukuman ini, wajah Amangkurat dan Tumenggung Suryawidura berseri puas, tapi para senapati yang kagum dan sayang kepada Jarot menjadi pucat. Ki Ageng Baurekso cepat menyembah dan berkata,

   "Maaf, Gusti. Hamba merasa penasaran sekali jika Jarot diberi hukuman seberat itu. Bukan semata-mata rasa sayang hamba kepadanya yang mendorong hamba majukan keberatan ini, tapi terutama mengingat akan peri keadilan dan kepentingan Mataram sendiri. Jarot telah berjasa banyak dalam pertempuran dan biarpun dia telah berbuat dosa, namun belum tentu perbuatannya itu semata-mata berdasarkan hati jahat, hamba yakin bahwa tentu ada apa-apa yang membuat ia lupa dan mengamuk demikian rupa hingga tak ingat bahwa yang dilawannya adalah Gusti Pangeran sendiri. Mohon paduka jangan lupa pula bahwa kita masih banyak membutuhkan tenaga panglima-panglima gagah perkasa seperti dia ini, karena bukankah rencana paduka masih banyak dan luas? Tidakkah tenaga seorang pemuda seperti Jarot ini akan sangat dibutuhkan oleh Mataram kelak? Maka hamba usulkan sebuah pengampunan untuknya. Jika tidak mungkin dibatalkan semua hukuman yang dijatuhkan padanya, hamba mohon supaya hukuman pengasingan dibatalkan, supaya Jarot tetap diperkenankan tinggal di tempat ini. Adapun jika kelak dia melakukan pelanggaran-pelanggaran lagi, biarlah hamba Baurekso yang menanggungnya!"

   Ki Ageng Baurekso besar sekali pengaruhnya dan terkenal sebagai seorang senapati yang berjasa besar dan berwatak jujur dan keras, maka terhadap usul ini biarpun Tumenggung Suryawidura sendiri maupun Pangeran Amangkurat, tidak berani mencelanya. Sedangkan Sultan Agung sendiri yang memang tadi mengeluarkan keputusan hukuman itu hanya karena ingin memperlihatkan sikap adil, mendengar nasihat dan usul senapatinya, mengangguk-angguk dan berkata dengan suara tetap.

   "Mendengar usul dan pendapat Paman senapati, maka hukuman dikurangi menjadi hukuman cambuk seratus kali. Adakah pendapat lain di antara kalian?"

   Tapi tak seorangpun majukan usul hingga hukuman bagi Jarot sudah tetap, yakni dicambuk seratus kali. Sedangkan keris pusaka Margapati dirampas kembali. Ki Ageng Baurekso tersenyum puas ketika sidang dibubarkan dan ia mendekati Jarot.

   "Gusti Sultan sungguh bijaksana, bukan? Aku yakin beliau juga maklum bahwa hukuman seratus kali cambukan itu tiada artinya bagi kulitmu yang kebal! Bukankah kau memiliki aji kebal dan tidak dapat terluka oleh senjata tajam? Apa artinya cambukan pecut kulit bagi kulit tubuhmu atau kulit tubuhku? Ha-ha-ha!"

   Ki Ageng Baurekso tertawa bergelak-gelak sambil mengeluarkan air mata. Tapi Jarot hanya tersenyum dan tak terbawa gelombang kegembiraan senapati tua itu. Sementara itu, dua orang petugas yang biasa menjalankan hukuman yang dijatuhkan kepada seorang hukuman maju menghampiri dan bersiap hendak melakukan hukuman cambuk seratus kali kepada Jarot. Ki Ageng Baurekso berkata kepada mereka sambil tertawa geli,

   "Eh, kalian algojo tua! Sebelum mencambuk punggung Jarot, makanlah dulu kenyang-kenyang! Kalau tidak, kalian akan kehabisan tenaga. Cambuk yang keras, sekeras-kerasnya, ha-ha!!"

   Dan kedua algojo itu tersenyum, lalu tuntun Jarot dengan sikap hormat ke alun-alun untuk menjalankan tugas mereka. Semua senapati berkumpul untuk menyaksikan Jarot menjalani hukuman. Jarot diikat kedua tangannya ke atas, dihubungkan dengan sebuah tiang dan tubuhnya bagian atas telanjang.

   Kedua algojo sudah memegang dua batang cemeti, yakni pecut dari kulit kerbau yang panjang dan kuat. Setelah tanda dibunyikan, maka pecut-pecut itu berputaran di udara dan sambil mengeluarkan bunyi nyaring pecut pertama menyabet punggung Jarot yang telanjang. Para senapati memandang tenang karena mereka yakin akan kesaktian Jarot, tapi para rakyat yang melihat dari jauh merasa ngeri, bahkan terdengar pekik wanita di sana-sini. Ketika pecut yang menyabet kulit punggung itu terlepas, maka terdengar seruan kaget dan ngeri di kalangan senapati dan perajurit. Kulit Jarot yang putih kuning dan bersih halus itu mengeluarkan darah. Dari batas leher sampai ke pinggang tampak bekas pecut memanjang, berwarna merah mengerikan karena darah mulai mengucur keluar! Ki Ageng Baurekso meloncat dari tempat duduknya dan berdiri di depan Jarot yang menggigit bibir menahan sakit.

   "Jarot! Kau gila? Kenapa kau terima saja derita ini tanpa perlawanan? Betul-betulkah kau tidak memiliki kekebalan?"

   Kata-kata ini mengandung ketidakpercayaan dan keheranan. Namun Jarot hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala. Panglima-panglima lain yang dulu menjadi lawan Jarot dalam sayembara dan kini telah mendapat pangkat, yaitu Suro Agul-Agul yang telah menjadi Tumenggung, Madurorejo yang telah menjadi adipati, dan Uposonto menjadi adipati pula, juga berada di situ dan mereka mendesak kepada Jarot untuk gunakan kesaktian melawan siksaan hukuman itu. Tapi Jarot hanya berkata perlahan,

   "Aku telah berdosa, aku telah banyak membunuh dengan kejam, hukuman ini cukup ringan,"

   Dan berbunyilah cemeti itu berkali-kali, menimpa kulit punggungnya hingga kini menjadi matang biru dan penuh darah. Pada pukulan cambuk keseratus kalinya, Jarot jatuh pingsan! Orang-orang segera menolongnya dan melepas tali pengikat lengannya, lalu menggotongnya ke rumah Ki Galur. Alangkah kagetnya Ki Galur dan penduduk kampung melihat Jarot digotong pulang dengan mandi darah dan pucat lemah. Sekarsari melihat keadaan Jarot sedemikian itu, berlari-lari sambil menangis lalu menubruk tubuh yang berbaring di atas pikulan bambu dianyam.

   "Mas Jarot..."

   Katanya lirih dengan hati hancur luluh. Ia tak dapat menangis, hanya memandang keadaan pemuda itu dengan mata terbelalak dan wajah sepucat mayat, lalu buru-buru ia mendahului masuk pondok dan menyiapkan balai bambu di mana Jarot direbahkan orang. Belum juga Jarot sadar dari pingsannya. Menjelang senja Jarot siuman. Ia bergerak dan merintih lirih. Punggungnya terasa perih dari sakit, sedangkan seluruh tubuhnya terasa kaku. Ia buka matanya. Sekarsari berlutut di dekat pembaringannya sambil memandangnya sayu, air mata membasahi kedua pipinya.

   "Bagaimana, Mas...?"

   Jarot tersenyum. Hatinya girang bahwa hukuman itu telah lewat. Memang sakit dan perih, tapi perasaan dan hatinya lega karenanya. Dadanya terasa lapang. Ia telah berlaku salah tapi telah pula menjalani hukuman. Ia paksa diri bangun dan duduk. Sekarsari cepat-cepat membantunya. Sentuhan tangan yang halus itu mengurangi rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya. Air mata Sekarsari mengalir lagi ketika ia melihat punggung Jarot, Sambil menahan isak gadis itu menggunakan jari tangan yang dicelup minyak dengan ramuan jamu untuk mengobati luka-luka di punggung. Jarot menggigit bibir.

   "Bagaimana, Mas? Sakitkah??"

   Suara Sekarsari penuh iba. Sekali lagi Jarot tersenyum.

   "Sakit sedikit, tapi tanganmu lembut dan lunak, mengurangi rasa perih."

   Makin deras keluarnya air mata di mata Sekarsari, tapi isaknya ditahan di dada dan di bibirnya bergerak ke arah senyum.

   "Tidak sakitkah punggungmu kujamah?"

   "Tidak, Sari, bahkan kini hilang rasa panasnya dan hampir tak terasa lagi perihnya."

   "Kasihan kau, Mas Jarot! Jahat sekali Gusti Sultan!"

   Jarot bergerak cepat dan gunakan tangannya menutup bibir manis yang sedang cemberut itu.

   
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ssst... Jangan berkata demikian, Sari."

   "Baik... baik, aku takkan berkata begitu lagi. Tapi kau berbaliklah, jangan menghadap ke sini saja. Perlihatkan punggungmu."

   Jarot dengan hati gembira memutar tubuhnya. Ia merasa bahagia dan girang sekali hingga sudah terlupalah olehnya segala siksa yang dideritanya tadi.

   Sekarsari dengan hati-hati sekali dan dengan sentuhan jari tangan yang mengandung penuh rasa sayang dan iba, setelah melumuri seluruh punggung dengan minyak lalu menggunakan daun menutup luka-luka itu. Pada saat itu Ki Galur masuk mengiringkan seorang hulubalang utusan Sultan Agung. Ternyata utusan itu membawa sekantung emas dan sebungkus obat luka, hadiah dari Sultan Agung! Jarot merasa berterima kasih sekali. Harta pemberian Sultan Agung itu oleh Jarot diberikan kepada Ki Galur untuk membuat sebuah rumah yang agak besar dan pantas. Semua ini dilakukan oleh Jarot untuk menyenangkan hati Sekarsari. Karena mengandung harapan untuk memperisteri gadis itu, maka Jarot sampai pada waktu itu tak pernah mengandung niat untuk menyelidiki lebih jauh rahasia yang menyelubungi diri Sekarsari,

   Karena la khawatir kalau kalau terbongkar rahasia itu akan menjauhkan Sekarsari dari padanya! Senapati Ki Baurekso yang menghargai kejujuran merasa kagum dan sayang kepada Jarot. Panglima tua yang tadinya tidak sangat perdulikan keadaan anak muda itu, kini seringkali memanggil Jarot ke gedungnya dan kadang-kadang ia sendiri datang berkunjung ke pondok Jarot untuk bercakap-cakap. Jarot juga menaruh hormat dan kagum kepada senapati yang gagah berani itu. Mereka suka sekali bercakap-cakap tentang ilmu kesaktian dan keperwiraan. Dalam hal ilmu batin dan ketata negaraan. Jarot diam-diam mengakui keunggulan senapati itu dan dalam hati mengakui senapati sebagai guru. Pernah Ki Ageng Baurekso bentangkan tentang cita-cita dan politik Sultan Agung kepada Jarot.

   "Gusti Sultan sangat benci akan kelicikan bala tentara bule yang siwer matanya. Beliau selalu curiga dan tak pernah percaya kepada Belanda belanda yang mendatangi Pulau Jawa, sungguhpun mereka itu manis tutur sapanya dan halus gerak-gayanya. Memang, aku sendiripun tidak suka kepada orang-orang bule siwer matanya itu. Mereka bukanlah pedagang-pedagang biasa. Mereka menghendaki tanah kita yang loh jinawi. Mereka ini berbahaya!"

   Jarot yang masih hijau dalam hal keadaan tanah air, setelah mendengar ucapan ini serentak timbullah rasa bencinya kepada orang-orang asing yang bermaksud jahat Itu,

   "Bagaimana cita-cita Gusti Sultan?"

   Tanyanya tertarik.

   "Gusti Sultan cukup waspada dan maklum bahwa Belanda bukanlah lawan yang ringan, bahkan kuat sekali. Mereka mempunyai senjata-senjata api yang ampuh dan berbahaya sekali. Senapan-senapan dan meriam-meriam mereka bukanlah lawan tombak dan keris kita. Maka untuk melawannya, seluruh rakyat di Pulau Jawa harus bersatu-padu dan di mana-mana harus ada gerakan perlawanan terhadap Belanda hingga kerbau bule itu akan tidak betah tinggal lebih lama di pulau kita."

   "Tapi, saya mendengar bahwa banyak pula adipati yang bersahabat baik dengan mereka karena kata orang, orang-orang putih bermata biru itu memberi banyak hadiah barang-barang indah,"

   Kata Jarot. Ki Ageng Baurekso menghela napas.

   "Itulah celakanya! Belanda pandai mengambil hati, pandai membujuk para adipati dan bupati untuk memberontak terhadap rajanya, untuk saling pukul. Siasat mereka yang licik ini sudah diketahui oleh Gusti Sultan yang waspada, maka Gusti Sultan telah menetapkan untuk mempersatukan semua adipati dan bupati, dan mulai tahun ini atau tahun depan, Gusti Sultan akan mengirim bala tentara, menjelajah seluruh pulau dan mempersatukan seluruh kadipaten, memperkuat sekutu dan mentaklukkan mereka yang membangkang untuk maksud baik ini. Setelah kita bersatu-padu dan cukup kuat, barulah kita menyerang dan mengusir kerbau-kerbau bule itu!"

   Demikianlah, sedikit demi sedikit terbukalah mata Jarot dan pandangannya akan keadaan tanah air menjadi agak terang. Ia berjanji kepada Ki Ageng Baurekso untuk membantu perjuangan Mataram, Raden Mas Bahar, putera Tumenggung Suryawidura yang merasa dendam dan benci kepada Jarot, selalu masih ingin membalas sakit hatinya. Tapi melihat kedudukan Jarot demikian kuat ia tak berdaya dan dendamnya makin mendalam. Namun apakah yang dapat ia lakukan terhadap Jarot yang gagah itu? Tiada hentinya ia memutar otak mencari daya muslihat untuk membalas dendam dan mencelakakan Jarot, atau sedikitnya menghancurkan kebahagiaannya.

   Pada suatu senja, seperti kebiasaannya tiap hari, Jarot pergi mandi di bengawan. Karena ia telah memilih dan mendapat tempat yang agak jauh dan sunyi, maka ia boleh mandi dan berenang sesuka hatinya tanpa khawatir terganggu oleh kehadiran orang lain. Sambil bersenandung gembira ia tanggalkan pakaiannya lalu terjun ke air yang sejuk dan mengalir perlahan. Ketika ia tengah berenang hilir-mudik dengan hati senang dan perasaan segar, tiba-tiba ia melihat seorang wanita berdiri di tebing yang tinggi dan curam di pinggir bengawan. Jarot terkejut karena melihat sikap wanita itu mencurigakan sekali. Ia tengah menangis tersedu-sedu sambil menutup muka dengan kedua tangannya, kemudian ia bergerak hendak meloncat dan, membuang diri ke bawah! Jarot kaget sekali, lalu berteriak keras.

   "Hei! Tunggu dulu! Hati-hatilah!!"

   Mendengar seruan ini wanita itu berpaling dan Jarot melihat wajah seorang gadis muda yang cantik. Ketika melihat ada seorang lelaki di situ, gadis itu segera ayun dirinya, terjun ke dalam air yang menerima tubuhnya dengan percikan tinggi.

   "Celaka!"

   Jarot berseru dan segera berenang cepat ke arah di mana tubuh itu jatuh, la sama sekali lupa bahwa pada saat itu ia sedang bertelanjang bulat! Yang teringat olehnya di saat itu hanya bahwa ia harus bertindak secepat mungkin tanpa ragu-ragu lagi karena di depan ada jiwa terancam maut. Agaknya memang belum nasibnya gadis itu harus mati di bengawan. Ketika terjun tadi kainnya mengembung dan kemasukan hingga ketika tubuhnya tenggelam yang mengembung itu menariknya kembali ke permukaan air. Hal ini memudahkan Jarot untuk mendapatkannya. Kalau saja tubuh itu tenggelam terus akan sukarlah bagi pemuda itu untuk menolongnya. Jarot pegang lengan yang sudah lemas itu dan menarik tubuh itu sambil berenang ke pinggir.

   Dengan ringan ia pondong tubuh yang masih hangat dan lemah itu ke tepi, lalu dengan sekali loncat ia naik ke darat. Baru pada saat itu ia teringat dan merasa bahwa ia tak berpakaian sama sekal!! Dengan malu dan gugup ia pandang muka gadis yang berada dalam pondongannya. Tubuh gadis Itu bergerak dan mulutnya mengerang perlahan. Melihat betapa bulu mata yang lentik itu mulai bergerak gerak hendak terbuka, tanpa menanti sampai mata itu terbuka dan melihatnya, Jarot segera turunkan gadis itu dari pondongan dan meletakkan tubuh itu di atas rumput kemudian secepat kilat ia lari pergi bagaikan sedang dikejar setan! Setelah dengan cepat memakai kembali pakaiannya, Jarot lari kembali ke tempat gadis itu dan melihat bahwa ia telah siuman dan tengah duduk dengan wajah bingung dan memandang kedatangannya dengan mata terbelalak heran.

   "Siapa... siapa kau? Di mana aku berada...?"

   Ketika melihat pemuda itu memandang ke arah bengawan dengan mulut menahan senyum, gadis itu berkata lirih,

   "Oh... sudah...Sudah matikah aku...?"

   Jarot menghampiri dan duduk di atas rumput.

   "Tidak, nona. Kau tidak mati, belum lagi. Masih hidup seperti aku."

   "Bagaimana? Apa yang terjadi?? Bukankah aku tadi..."

   Ia pandang wajah Jarot dengan heran, lalu palingkan muka memandang ke arah bengawan.

   "Memang, kau tadi terjun ke sungai untuk bunuh diri, tapi sayang terlihat olehku hingga tak mungkin aku diam saja melihat kenakalanmu itu."

   Jarot mencoba berjenaka. Untuk sejenak tampak bayangan kecewa pada wajah yang cantik itu dan alis matanya yang hitam dan panjang melengkung di atas mata bintang itu bergerak-gerak. Kemudian ia menarik napas panjang.

   "Jadi... jadi aku masih hidup? Oh... mengapa kau begitu lancang dan suka mencampuri urusan orang lain?"

   Dan tiba-tiba saja dia menangis! Jarot bingung dengan muka bodoh! Ia memandang ke arah langit yang telah mulai gelap dan ia biarkan saja gadis itu menangis karena ia tahu bahwa menangis adalah jalan terbaik bagi seorang wanita untuk melepas sedihnya. Setelah isak tangis gadis itu mereda, Jarot bertanya,

   "Kalau aku boleh bertanya, siapakah namamu dan di mana kau tinggal?"

   Gadis itu gunakan sepasang mata bintangnya yang agak merah karena tangis Itu untuk menatap wajah tampan yang berada tak jauh di depannya.

   "Saya Maduraras dari kampung Duku."

   "Mengapa kau yang masih begini muda belia mengambil keputusan nekat dan terjun ke dalam sungai?"

   Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi merah dan cepat-cepat Maduraras menundukkan muka, tapi Jarot masih sempat melihat betapa sepasang mata itu kembali mengeluarkan air mata. Gadis itu menahan isak, tubuhnya bergoyang-goyang dan tak dapat berkata-kata.

   "Nona, tahanlah tangismu dan ceritakan padaku segala kesusahanmu. Segala macam kesulitan di dunia ini pasti dapat diatasi. Tiada persoalan yang tak dapat dipecahkan asalkan orang mau berikhtiar. Dan percayalah, aku takkan berlaku setengah-setengah dalam segala usahaku. Aku telah melepaskanmu dari cengkeraman maut di tengah bengawan, maka tentu aku akan melanjutkan usahaku membantu kau dan akan kucoba melepaskan kau dari segala kesulitanmu."

   "Raden, siapakah kau yang begitu baik hati dan sudi memperdulikan nasib gadis sengsara seperti aku ini?"

   "Namaku Jarot, nona."

   "Oh...!"

   Gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak heran.

   "Jadi Raden ini adalah pahlawan gagah berani yang terkenal itu?"

   "Ah, itu hanya omong kosong saja. Aku bukan pahlawan, hanya orang biasa. Nah, sekarang ceritakanlah padaku mengapa kau tadi hendak membunuh diri."

   Wajah gadis yang tadinya keruh dan sedih itu setelah mendengar bahwa pemuda yang menolongnya itu adalah Jarot, kini menjadi berseri-seri dan matanya yang indah bercahaya penuh harapan. Wajah yang memang cantik itu menjadi tambah jelita hingga diam-diam Jarot menjadi kagum memandangnya. Alangkah halus dan bersih kulit muka itu. Alangkah indah bentuk alisnya yang hitam panjang, sepasang mata yang bersinar bagaikan bintang pagi dengan bulu mata lentik panjang. Alangkah manis hidung yang bangir kecil dan bibir yang merah berbentuk gendewa terpentang itu. Potongan tubuhnya indah menarik, lebih nyata bentuknya yang menarik dengan lekuk lengkung yang menggairahkan karena pakaiannya basah.

   "Raden Jarot! Setelah bertemu dengan kau, maka besarlah harapanku. Hanya Kau lah agaknya yang dapat menolongku! Ibuku telah meninggal ketika aku masih kecil dan Ayah kawin lagi dengan seorang janda. Ibu tiriku ini kejam sekali hingga semenjak Ayah kawin, hidupku penuh derita dan sengsara, namun selama Ayah masih ada, setidak-tidaknya aku masih terlindung. Celaka bagiku, beberapa bulan yang lalu Ayah meninggal pula hingga nasib hidupku tergenggam dalam tangan ibu tiriku. Dan... akhirnya hal yang paling kutakuti terjadilah. Aku... dijual kepada Pak Demang Batuluwih,..."

   "Dijual...??"

   Jarot bertanya heran.

   "Maksudku... akan diserahkan sebagai selir yang entah keberapa belas, tapi karena hal ini semata-mata terjadi karena ibu tiriku menerima sejumlah uang, bukankah diriku sama saja dengan dijual?"

   Jarot mengangguk-angguk dan diam-diam ia merasa heran dan kagum akan keberanian dan kenekatan gadis yang berani memberontak kepada kehendak ibu tirinya.

   "Lalu apa yang terjadi?"

   Tanyanya.

   "Aku mengambil keputusan lebih baik mati daripada diselir pak Demang tua bangka yang lebih pantas menjadi kakekku itu. Maka malam tadi aku melarikan diri. Aku terlunta-lunta, tiada kawan tiada keluarga, tiada orang mau menolong hingga aku tiba di sini dan karena putus asa aku hendak membunuh diri..."

   Jarot mengangguk-angguk lagi, lalu berkata gemas,

   "Biar kuhajar pak Demang yang hendak memaksa anak gadis orang itu!"

   "Jangan, Raden. Apa gunanya? Kalau aku kembali ke rumah ibu tiriku, pasti aku akan mengalami banyak siksa. Aku tidak sudi kembali ke sana, lebih baik mati, Raden!"

   Jarot merasa bingung dan tak tahu apa yang harus dikerjakan untuk menolong gadis yang buruk nasib ini.

   "Habis, bagaimana baiknya? Bagaimana aku harus menolongmu?"

   "Raden Jarot. Kalau kau sudi, kalau kau kasihan kepadaku, kalau kau memang berhati mulia dan gagah sebagaimana kudengar disohorkan orang, bawalah aku, Raden. Aku hendak suwita kepadamu, aku lebih rela menjadi bujangmu, menjadi pelayanmu. menjadi pesuruhmu, rela kaujadikan apa saja asal aku jangan dipulangkan ke rumah Ibu tiriku..."

   Dan Maduraras menangis lagi dengan sedih. Jarot duduk bingung dengan wajah bodoh dan bingung. Kemudian ia geleng-geleng kepala dengan keras dan berkata,

   "Tidak bisa... tidak mungkin... tak bisa jadi!!"

   Jawabannya demikian keras, cepat dan kaku hingga Maduraras memandangnya dengan kaget dan khawatir.

   "Jadi kau tidak sudi, Raden? Ah nasib"

   Memang kau Benar... apa perlunya menolong seorang gadis hina-dina seperti aku ini...? Biarlah... biarlah aku mati saja..."

   Dan Maduraras bangun berdiri dan lari ke arah tebing lagi! Jarot dengan sekali loncat menangkap lengannya dan menariknya kembali duduk di atas rumput.

   "Jangan kau putus asa dulu, nona"

   Katanya bingung.

   "Jadi, maukah kau menerima aku Raden Jarot, jangan kau khawatir, aku pandai masak, pandai mencuci, rajin bekerja dan aku pandai memijit urat-uratmu kalau kau lelah, aku pandai bernyanyi dan menari untuk menghiburmu kalau kau bersedih, sedangkan aku tak mengharap upah apa-apa... hanya asal mendapat makan saja... dan makanku... makanku tidak banyak, Raden..."

   Mendengar kata-kata terakhir ini mau tak mau Jarot tertawa bergelak hingga sekali lagi Maduraras memandangnya heran.

   "Ah, jangan kau anggap aku begitu kikir hingga penolakanku akan suwitamu adalah karena takut kau makan terlalu banyak! Tidak demikian, Maduraras, tapi ketahuilah, aku sendiri masih mondok di rumah orang lain. Sedangkan aku adalah seorang pemuda yang belum berumah tangga, seorang jejaka yang hidup sebatang kara, maka kalau aku terima suwitamu, apakah akan kata orang nanti?? Aku menolak suwitamu bukan karena aku tidak suka menolongmu, tapi karena hal ini memang tak mungkin kuterima."

   Maduraras tunduk dengan muka muram.

   "Tapi, bukan hal yang aneh kalau seorang muda seperti Raden ini mengambil seorang dua orang selir sebelum kawin..."

   "Aku...? Mengambil selir...??"

   Jarot mengulangi dengan mata terpentang lebar.

   "Apa salahnya, Raden? Gusti Pangeran sendiripun telah mempunyai belasan orang selir sungguhpun beliau belum kawin..."

   "Ah, Gusti Pangeran lain lagi halnya..."

   "Barangkali aku terlampau buruk hingga kau tidak sudi menerimaku, Raden..."

   "Bukan... bukan begitu, Maduraras. Kau cukup cantik bahkan sangat cantik..."

   "Habis, mengapa kau tetap saja menolak?"

   "Belum waktunya bagiku, Maduraras. Sekarang baiknya begini, adakah kau mempunyai keluarga atau kenalan yang kiranya bisa Kau mintai tolong, dan yang suka menerimamu tinggal di pondoknya? Kalau ada, akulah yang akan memintakannya, dan berapa saja ia minta akan kubayar."

   Setelah tunduk dan geleng-gelengkan kepala sambil berkali-kali menghela napas akhirnya Maduraras menangis lagi. Tubuhnya mulai menggigil dan cuaca makin gelap. Melihat keadaan gadis itu, Jarot maklum betapa gadis itu menderita karena kedinginan. Dapat ia bayangkan betapa dinginnya dalam pakaian yang basah kuyup itu. Tiba-tiba ia mengambil keputusan.

   "Berdirilah, Maduraras, dan marilah kau ikut aku!"

   Gadis itu serentak bangun berdiri dan mengulurkan kedua lengan kepada Jarot sambil berkata lirih.

   "Den Mas Jarot... terima kasih.. terima kasih..."

   Gadis itu sungguh cantik jelita dan keadaannya demikian mengharukan hingga Jarot seakan-akan terpesona dan kedua kakinya tak terasa lagi bertindak maju. Ketika gadis cantik itu maju menubruknya Jarot terima tubuh hangat itu dalam pelukan dan merangkul dengan terharu. Beberapa lama mereka diam dalam keadaan saling peluk, tak bergerak bagaikan patung. Kemudian setelah rasa haru agak reda menguasai kalbunya, Jarot lepaskan pelukannya dan berkata perlahan,

   "Marilah kita pergi, pakaianmu basah semua, kau bisa terserang penyakit."

   "Kang Mas Jarot, kita... ke mana?"

   Jarot berdebar mendengar sebutan mesra ini.

   "Akan kucoba minta tolong kepada Mbok Rondo Gendingan. Ia seorang janda yang baik hati dan hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Sulastri. lapun seorang gadis yang baik. Kau tentu suka tinggal di sana."

   "Tapi... kau sendiri?"

   "Aku tinggal di rumah Ki Galur."

   "Jauhkah dari rumah mbok rondo itu?"

   

   "Dekat saja. Masih sekampung."

   Terdengar Maduraras menarik napas lega.

   "Kau tentu akan sering datang menengokku ya, Kang Mas?"

   Suaranya terdengar mesra dan manja, dan kembali dada Jarot berdebar, la hanya mengangguk dan percepat langkahnya sambil menggandeng tangan Maduraras yang hangat dan halus. Bukan main herannya Mbok Rondo Gendingan dan Sulastri ketika mereka membuka pintu dan melihat Jarot datang dengan seorang gadis cantik yang berpakaian basah dan rambut basah kusut tak karuan. Tapi setelah dengan singkat Jarot menceritakan keadaan Maduraras, Mbok Rondo dan Sulastri segera memeluk gadis itu, bahkan ketika gadis itu menangis, Sulastri Juga ikut menangis. Tentu saja mereka suka menerima Maduraras dengan suka hati hingga Jarot merasa terhibur dan lapanglah dadanya melihat persoalan ruwet itu akhirnya dapat terpecah dengan baik. Ketika ia hendak tinggalkan mereka, Maduraras berkata padanya dengan suara yang halus merdu penuh perasaan,

   "Kang Mas Jarot, jangan lupa untuk sering datang menjenguk ke sini."

   Melihat pandang mata Sulastri berkilat menggoda, Jarot hanya mengangguk kepada Maduraras dan segera bertindak pergi cepat-cepat tanpa menengok lagi! Sekarsari telah menanti-nanti dengan tidak sabar. Gadis itu telah siap dengan makan malam untuk Jarot. Ketika Jarot memasuki pintu Sekarsari biarpun ingin sekali bertanya, namun ditahannya perasaannya itu dan hanya melempar senyum lalu cepat pergi ke dapur menghangatkan sayur. Sebentar lagi keluarlah dia dan mengatur makanan di atas tikar.

   

   "Makanlah, Mas Jarot."

   "Mana Paman? Kita makan bersama,"

   Jawab Jarot.

   "Ayah pergi ke rumah kawannya dan tadi sudah makan lebih dulu karena terlalu lama menunggu-nunggu kau."

   Memang Jarot menghendaki agar Ki Galur tidak berlaku sungkan kepadanya dan menganggap ia seperti anak kemenakan sendiri. Maka tidak heran bila orang tua itu berani mendahului makan.

   (Lanjut ke Jilid 04)

   Keris Pusaka dan Kuda Iblis (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 04

   "Kau tidak makan, Sari?"

   Sekarsari menggeleng kepala dengan senyum, lalu berkata,"Lupakah kau ini hari apa, Mas Jarot?"

   Pemuda itu mengingat-ingat dan tahulah dia bahwa hari itu jatuh hari pasaran ketiga dan pada tiap hari ketiga dan kelima, Sekarsari selalu berpuasa sehari semalam penuh. Maka iapun tertawa.

   "Mas Jarot, mengapa kau agak terlambat tadi? Kemanakah kau pergi setelah mandi, Mas?"

   Pertanyaan ini wajar dan tidak mengandung penyesalan sedikitpun.

   "Aku telah menolong seorang yang hampir mati tenggelam, Sari,"

   Sekarsari terkejut dan ngeri,

   "Adu kasihan, siapakah dia, Mas? Laki-laki atau perempuan?"

   "Seorang gadis, Sari, seorang gadis dari kampung Duku."

   "Ah, kasihan sekali. Kenapa ia sampai hampir tenggelam, Mas? Mandikah dia? Atau sedang mencuci pakaian?"

   "Tidak, Sari. Ia memang sengaja terjun dari tebing, sengaja hendak bunuh diri."

   Sekarsari hampir menjerit dan menggunakan tangan menutup mulut. Matanya terbelalak memandang Jarot dengan ngeri.

   "Bunuh diri? Kenapa, Mas? Kenapa?"

   Maka sekali lagi dengan singkat Jarot menceritakan riwayat Maduraras yang ditolongnya. Sekarsari mendengarkan dengan penuh perhatian dan sementara itu hatinya merasa tidak enak. Entah mengapa, tapi pikirannya menjadi kacau dan bimbang, kasihan, bangga, curiga dan cemburu mengaduk-aduk perasaan dan hatinya. Setelah Jarot habis bercerita, maka bertanyalah Sekarsari,

   "Jadi Maduraras sekarang mondok di rumah Sulastri?"

   Jarot mengangguk. Sunyi sejenak, kemudian Sekarsari bertanya tiba-tiba,

   "Cantikkah ia, Mas?"

   Mendengar pertanyaan tiba-tiba dan tak tersangkasangka itu, Jarot agak gelagapan.

   Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Cantik? Siapa, Sari?"

   "Siapa lagi? Itu, lho, Maduraras! Cantikkah dia, Mas?"

   Jarot yang masih belum sadar akan perasaan gadis itu, mengangguk membenarkan.

   "Dia memang cantik, Sari."

   Sunyi lagi sejenak.

   "Kasihan betul nasibnya, ya Mas?"

   Kembali Jarot mengangguk.

   "Memang kasihan, Sari."

   "Dia tentu lebih cantik daripada aku, ya. Mas?"

   Kini Jarot dapat menangkap nada suara Sekarsari dan ia menengok. Ketika pandang mata mereka bertemu, Jarot terkejut sekali melihat betapa mata Sekarsari berkaca-kaca dan hampir meneteskan air mata!

   

Asmara Berdarah Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini