Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 4
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Sari... kau kenapa, Sari...?"
Pertanyaan ini bagaikan mendorong keluar air mata dari mata Sekarsari. Gadis itu serentak bangun berdiri dan lari ke kamarnya! Untuk kesekian kalinya semenjak pertemuannya dengan Maduraras, Jarot dibikin heran oleh wanita dan ia duduk bengong dengan muka bodoh, lebih bodoh daripada ketika dia menghadapi Maduraras tadi! Ia tak mengerti akan sikap Sekarsari. Maka ia lalu rebahkan diri telentang di atas balai-balai, sepasang matanya memandang langit-langit dan pikirannya melayang-layang jauh meninggalkan raganya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah mandi, Sekarsari tidak membuang waktu lagi, segera mengunjungi Sulastri untuk melihat sendiri Maduraras, gadis yang bernasib buruk. Ketika dilihatnya bahwa benar-benar Maduraras adalah seorang gadis yang cantik jelita, hatinya makin cemburu dan khawatir. Tapi ia tak dapat membenci gadis itu yang menerimanya dengan ramah-tamah dan yang sebentar saja dapat memikat hati gadis-gadis lain dan menjadi kawan baik. Mbok Rondo Gendingan yang berwatak peramah dan baik hati, menerima Maduraras dengan hati terbuka. Janda yang berkeadaan serba cukup dan punya sawah beberapa patok itu tidak mau menerima uang kerugian dari Jarot, bahkan ia menjawab tak senang.
"Gus Jarot mengapa demikian sungkan? Kau telah begitu baik untuk menolong seorang gadis yang sama sekali tidak kau kenal sebelumnya apa kau kira aku demikian kejam untuk menolak gadis yang demikian buruk nasibnya itu? Jasa baik jangan kau borong sendiri!"
Jarot tak dapat membantah apa-apa hanya menyatakan terima kasihnya. Maduraras ternyata seorang gadis lincah dan pandai bergaul hingga sebentar saja semua orang kenal padanya sebagai anak angkat Mbok Rondo Gendingan. Sulastri juga merasa suka dan bangga mempunyai seorang saudara yang selain cantik, juga pandai dalam seni tari dan seni suara, juga ahli dalam pekerjaan kerajinan tangan. Dengan cepat Maduraras dapat menyenangkan hati Sekarsari dan segera mereka menjadi kawan baik.
Hampir setiap hari Maduraras berkunjung ke rumah Sekarsari. Sikapnya kepada Jarot makin mesra dan secara terang-terangan ia perlihatkan perasaan hatinya kepada pemuda itu. Tentu saja sikap ini membuat Jarot merasa bingung dan likat, sedangkah diam-diam Sekarsari merasa sakit hati. Jarot dapat pula meraba dan memaklumi perasaan yang terkandung dalam dada Sekarsari, maka sedapat mungkin ia berusaha menjauhkan diri dari Maduraras yang seakan-akan mengejar-ngejarnya itu. Beberapa hari kemudian, Jarot berjalan perlahan sambil tuntun kendali Nagapertala. Telah beberapa hari kudanya itu gelisah saja, meringkik-ringkik dalam kandang dan tak suka makan. Sekarsari sengaja mencari rumput hijau yang gemuk segar dari seberang bengawan, namun tetap Nagapertala hanya mencium-ciumnya saja tapi tak mau memakannya.
"Barangkali dia sakit, mas!"
Kata Sekarsari cemas. Tapi Jarot tidak melihat tanda-tanda sakit pada tubuh kuda itu.
"Mungkin dia kesal karena terlalu menganggur di kandang saja. Biarlah besok akan kucoba dia berlari."
Benar saja, ketika Jarot meloncat ke atas punggungnya, kuda itu meringkik gembira dan lari ke depan dengan liarnya. Jarot belokkan kuda itu ke arah hutan dan Nagapertala dengan cepat sekali lari sekuat tenaga. Keempat kakinya seakan-akan tak menginjak tanah dan bulu surinya berkibar tertiup angin.
Kegembiraan Nagapertala itu mempengaruhi Jarot hingga ia pun menjadi gembira dan lupa pulang. Demikianlah, Jarot dan Nagapertala berlomba melawan angin. Setelah cuaca mulai gelap, barulah mereka menuju pulang. Kini berubahlah watak kuda itu, tidak gelisah dan lesu lagi. Ketika mereka sudah mendekati kampung, Jarot membiarkan Nagapertala berjalan congklang. Tiba-tiba kuda itu menahan kaki depannya dan mengeluarkan ringkik perlahan. Jarot memperhatikan keadaan sekitarnya dan tampaklah olehnya bayangan seorang wanita duduk di atas gelengan sawah sambil menutupi mukanya dengan tangan, menangis. Alangkah herannya ketika la melihat bahwa wanita itu bukan lain ialah Maduraras! Ia cepat turun dari punggung Nagapertala dan menghampiri gadis itu, membiarkan Nagapertala terlepas dan makan rumput di pinggir sawah.
"Maduraras, mengapa kau berada seorang diri dan menangis di sini?"
Maduraras tampak terkejut mendengar suara ini. Ketika ia angkat muka memandang dan melihat bahwa yang bertanya itu adalah Jarot, ia tutup mukanya lagi dan tangisnya makin menjadi. Jarot ikut duduk di atas gelengan.
"Maduraras, kau kenapakah? Siapa yang telah mengganggumu?"
Maduraras hanya geleng-geleng kepala, tapi tak menjawab.
"Bilanglah terus terang. Kenapa kau menangis?"
Jarot mendesak.
"Aku... aku... ah, biarlah, memang nasibku yang malang..."
"Apa maksudmu? Hayo kita pulang saja, mbok rondo tentu mencarimu."
"Aku tidak mau kembali, aku... aku malu"."
Jarot makin penasaran dan ingin tahu.
"Kau mengapakah? Apa yang telah terjadi?"
Tiba-tiba Maduraras angkat mukanya yang cantik dan pandang wajah Jarot dengan mesra.
"Kang Mas Jarot... kau... kau kasihankah padaku?"
Jarot mengangguk.
"Kau tahu betapa aku kasihan padamu."
"Dan... dan kau... cintakah kau padaku?"
Pertanyaan ini membuat Jarot merasa mukanya panas dingin. Ia tak berani bergerak untuk beberapa lama, pikirannya bingung. Kemudian ia tetapkan hatinya dan menjawab juga.
"Jangan kautanyakan tentang cinta, Maduraras. Aku... kasihan dan suka padamu, tapi tentang cinta...ah, aku tak dapat mencintaimu, Maduraras."
Maduraras palingkan muka seakan-akan hindarkan sebuah pukulan.
"Kalau begitu... dia berkata benar..."
"Dia siapa?"
"Sekarsari... dia... pagi tadi telah cekcok dengan aku..."
"Apa yang kalian ributkan?"
"Tentang... tentang kau!"
Jarot merasa mukanya panas.
"Apa? Tentang aku?"
"Kami bertemu di bengawan dan,... Sulastri menyindir dan menggodaku tentang hubunganku dengan kau... dan mengatakan bahwa... kau dan aku saling mencinta. Sekarsari yang mendengar godaan Sulastri itu hanya tampak marah tapi diam saja. Aku coba menghiburnya dengan berkata bahwa Sulastri menyangka salah, bahwa sebenarnya Sekarsarilah yang menjadi sasaran godaan itu. Tapi Sekarsari bahkan menjadi marah. Ia berkata persetan dengan engkau dan ia tidak perduli sedikitpun juga dengan siapa kau bercinta dan ia katakan aku... aku memikatmu, ia katakan aku tak bermalu, katanya aku gadis terlantar tak tahu diri, ia tuduh aku datang membuat kacau dan susah orang lain saja Aku menjadi marah dan... dan hampir berkelahi..."
Jarot bangun dan berdiri diam bagaikan patung. Ia bingung dan menyesal. Mengapa Sekarsari sebodoh itu? Tidak percayakah gadis itu padanya? Maka teringatlah olehnya bahwa selama itu belum pernah ia menyatakan cintanya kepada Sekarsari! Tiba-tiba sentuhan tangan halus pada lengannya menyadarkannya.
"Mas Jarot. benar-benarkan kau begitu kejam? Benarkah kau tidak mau terima persembahan hatiku? Mas... aku akan cukup berbahagia untuk menjadi... selirmu. Kau kawinlah dengan Sekarsari kalau itu yang kau kehendaki. Aku... aku... asalkan aku boleh ikut padamu, Mas. Biar aku menjadi pelayan Sekarsaripun akan kujalani, asal kau mau membalas kasihku..."
Jarot berkata lirih penuh haru,
"Maduraras, kau adalah seorang gadis yang cantik jelita. Banyaklah kiranya satria gagah dan tampan yang akan berbahagia untuk menyunting bunga seindah kau ini. Jangan kau curahkan perhatianmu padaku. Aku... aku miskin tak berharga, dan... terus terang saja aku hanya bisa mencinta seorang gadis di dunia ini, Maduraras."
"Sekarsari?"
Jarot mengangguk dan tiba-tiba Maduraras lepaskan pegangannya pada lengan Jarot seakan-akan lengan itu panas membara.
"Kau... kau kejam? Kalau begitu, mengapa kau tolong aku dulu? Untuk apa aku tinggal di sini menerima hinaan? Biarlah, biarlah aku pergi saja!"
Lalu dengan tak tersangka-sangka, gadis jelita itu dengan sigap dan cekatan meloncat ke atas punggung Nagapertala! Jarot berdiri kesima melihat gerakan terlatih itu, sungguh tak disangka bahwa gadis itu demikian gesit. Maduraras dengan gemas dan marah menarik kendali dengan sentakan keras hingga Nagapertala yang merasa asing dengan perlakuan kasar ini timbul sifat liarnya. Ia angkat kedua kaki depan, meringkik-ringkik dan menggoyang-goyangkan punggungnya hingga tak mungkin bagi gadis itu untuk bertahan lebih lama! Maduraras terlempar dari punggung kuda itu dan menjerit. Untung baginya, Jarot berlaku cepat dan dapat menyambar tubuh yang terlempar itu, tapi tidak urung kaki gadis itu masih membentur batu hingga berdarah.
"Sabar, Maduraras. Engkau hendak kemana?"
"Biarkan aku pergi! Biarkan aku pergi!!"' gadis itu menjerit-jerit dan meronta-ronta, Jarot lepaskan tangannya dan Maduraras lari pergi! Tapi baru saja maju beberapa tindak, ia mengaduh dan roboh terguling. Jarot cepat memburu.
"Kenapa, Maduraras... kau kenapa?"
"Aduh... kakiku..."
Gadis itu merintih. Jarot merasa betapa akan sia-sianya berunding dengan gadis yang sedang nekat dan panas hati itu. maka tanpa banyak cakap lagi ia pondong tubuh itu dan naikkan ke atas punggung Nagapertala. Kemudian ia sendiri lalu meloncat dan duduk di belakang gadis itu.
Maduraras hanya meramkan mata dan air mata membasahi kedua pipinya. Dengan perlahan Nagapertala berjalan menuju kampung mereka. Sementara itu Sekarsari duduk melamun seorang diri di kebun belakang rumahnya. Ia heran mengapa Jarot belum juga pulang. Hatinya makin tak senang, wajahnya makin keruh. Ia masih merasa marah semenjak pertemuannya dengan Maduraras pagi tadi. Tadi, pagi-pagi sekali ia telah pergi ke bengawan untuk mencuci pakaian dan mandi seperti biasa. Kawan-kawannya belum datang dan kesunyian di situ membuat ia duduk melamun, mendengarkah bunyi riak air dan kicau burung. Hatinya diliputi kesedihan dan keraguan. Ia tahu bahwa ada terjadi sesuatu pada diri Jarot semenjak Maduraras datang ke kampungnya. Mula-mula ia merasa marah, kecewa dan cemburu. Ingin ia dapat membenci Jarot.
Ingin ia dapat mengajak Maduraras berkelahi! Tapi cintanya yang selalu terpendam terhadap pemuda itu terlampau besar hingga tak mungkin ia dapat membencinya. Sedangkan untuk marah dan mengajak berkelahi Maduraras, ah, gadis itu terlampau baik dan ramah-tamah. Maka ia hanya dapat menyiksa hati sendiri dengan pikiran yang bukan-bukan karena cemburu. Ketika ia sedang melamun, datanglah Sulastri dan Maduraras. Memang gadis yatim-piatu ini seringkali membantu Sulastri mencuci pakaian. Maka mereka bertiga lalu mulai mencuci. Maduraras tampak gembira sekali dan dengan suaranya yang merdu gadis itu menembang lagu Sinom Parijoto. Kata-kata dalam tembang itu menceritakan kerinduan seorang gadis kepada kekasihnya. Setelah Maduraras selesai menembang. Sulastri menggodanya dengan tertawa.
"Aah, kalau Mas Jarot sedang berjalan kaki tentu akan tersandung-sandung dan kalau ia sedang makan tentu akan keseduan!"
Mendengar nama Jarot disebut-sebut, Sekarsari yang sedang berhati murung itu bertanya sambil lalu.
"Mengapa?"
"Tentu saja, karena barusan Maduraras merindukannya dalam tembang Sinom. Siapa lagi yang dirindukan oleh Maduraras selain Jarot??"
Sulastri tertawa dan Maduraras segera gunakan kedua tangannya menyiram muka gadis yang menggodanya itu dengan air. Sekarsari makin tak senang dan di dalam hati ia merasa panas dan mendongkol yang bukan-bukan! Maduraras dengan wajah merah tudingkan telunjuknya kepada Sulastri,
"Mengobrol? Kau hendak menyangkal? Tak tahukah aku betapa tiap malam kau bermimpi dan dalam mimpimu kau bertemu dengan Mas Jarot?"
"Ah, bohong...! Mana kau bisa tahu akan mimpi orang lain!"
"Mengapa tidak tahu? Dalam mimpi kau selalu mengigau dan menyebut-nyebut nama Mas Jarot!"
Maduraras tundukkan kepala dengan wajah merah, dan matanya yang jeli dan tajam itu mengerling ke arah Sekarsari, lalu berkata.
"Lastri, jangan kau terlalu menggodaku dengan Kang Mas Jarot, Sekarsari bisa marah..."
Sebutan "Kang Mas"
Yang diucapkan dengan gaya mesra itu menambah besar nyala api kemarahan dalam hati Sekarsari. Ia berhenti mencuci dan sambil bertolak pinggang ia menghadapi Maduraras dan berkata angkuh,
"Tutup mulutmu! Kenapa kau bawa-bawa aku dalam percakapanmu yang rendah tak tahu malu itu? Memang Mas Jarot itu apaku maka aku harus marah? Aku bukanlah wanita serendah engkau, mudah saja mengaku-aku seorang laki-laki sebagai kekasihnya!"
Senyum kesukaan menghias mulut Maduraras ketika ia melihat kemarahan Sekarsari. Jawabnya,
"Eh-eh, Sari, kenapa kau marah? Aku tidak mengaku-aku. Aku memang cinta kepada Kang Mas Jarot, tapi belum tentu ia mencintaku sungguhpun dari sikapnya aku tak ragu-ragu lagi. Tapi, boleh jadi dia mencintamu, karena bukankah kau serumah dengan ia?"
"Perempuan rendah! Perempuan terlantar yang hanya mengacau kebahagiaan orang! Kau anggap aku orang macam apa? Jangan kau berani singgung singgung namaku lagi dalam percakapan gila dan tak tahu malu ini!"
Maduraras pun timbul napsu marahnya. Ia turunkan cuciannya dan memandang lawannya dengan mata bernyala.
"Eh-eh, Sari. Mengapa kau memaki orang? Kau ini siapakah maka mau menghina orang seenaknya dan mau menang sendiri saja?"
Tegurnya. Sekarsari makin marah.
"Kau mau tahu aku siapa? Majulah! Kalau sudah kurobek mulutmu baru kau tahu aku siapa!"
Dan dengan sikap mengancam Sekarsari maju hendak menyerang. Sulastri cepat memisah mereka.
"Sudahlah, sudahlah, Sari, maafkan Maduraras kalau kau anggap dia menggodamu. Kenapa kau sekarang mudah sekali marah, Sari, Ada apakah? Sakitkah kau?"
Pertanyaan ini diucapkan oleh Sulastri dengan halus sambil pegang pundak gadis yang sedang marah itu hingga lenyaplah kemarahan dari hati Sekarsari, terganti oleh rasa sengsara hati. Sekarsari tutup muka dengan kedua tangan lalu menangis sedih.
"Sari, maafkan aku... aku berdosa padamu..."
Maduraras berkata lirih sambil peluk Sekarsari, lalu ia naik ke atas tebing dan lari meninggalkan tempat itu, membuat Sulastri heran sekali, karena ia sama sekali tidak mengerti akan sikap ini. Sehari itu Sekarsari tak dapat bekerja seperti biasa. Hatinya terlalu sakit dan pikirannya terlalu bingung. Mengapa ia harus marah kepada Maduraras dan seakanakan mengukuhi Jarot sebagai hak miliknya? Berhak apakah ia atas diri pemuda itu? Cintakah Jarot padanya? Belum pernah pemuda itu menyatakan cinta padanya dengan kata-kata, walaupun sikap dan perhatian Jarot terhadapnya tak meragukan lagi.
Tiba-tiba Sekarsari tersadar dari lamunan ketika mendengar ringkik kuda dari jauh. Itu ringkik Nagapertala tak salah lagi! Maka berlari-larilah ia ke arah bunyi itu datang. Tapi setelah bunyi kaki kuda terdengar dekat, ia merasa malu untuk menyambut kedatangan Jarot sedemikian rupa. Bagaimana kalau sampai terlihat oleh Maduraras atau Sulastri? Alangkah akan malunya dia! Pikiran ini mendorongnya untuk menyelinap ke dalam kegelapan bayang-bayang pohon. Matanya tajam memandang bayangan orang dan kuda yang makin mendekat. Hampir saja ia perdengarkan seruan terkejut ketika kuda itu lewat perlahan, tak salahkah penglihatannya? Tak mungkin! Jelas tampak olehnya Maduraras duduk di depan Jarot dan gadis itu sandarkan kepalanya di dada Jarot.
Biarpun cuaca sudah mulai gelap, namun masih tampak olehnya betapa Maduraras menangis perlahan dan betapa muram tampak wajah Jarot! Sekarsari tak merasa lagi detak jantungnya yang seakan-akan berhenti. Dadanya menjadi panas seakanakan hendak meledak. Pipinya terasa terbakar dan kepala pening. Cepat-cepat ia berpegang pada dahan yang tergantung rendah untuk mencegah tubuhnya yang limbung dan akan roboh itu. Jiwanya menjerit, hatinya hancur. Setelah dapat kumpulkan kekuatannya kembali, perlahan-lahan ia berjalan terseok-seok kembali ke pondoknya. Tapi Sekarsari adalah seorang gadis yang berhati kuat dan pada dasarnya ia berwatak angkuh dan tinggi hati. Biarpun merasa sengsara dan sangat bersedih, tak sudi ia memperlihatkan sikap lemah dan ia mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan kehancuran hatinya kepada Jarot.
Sebelum masuk pondok, ia pergi ke belakang rumah dan mencuci mukanya dari bekas air mata dengan air persediaan di gentong. Kemudian ia masuk rumah, dan menyiapkan hidangan malam untuk Ayahnya dan Jarot seperti biasa. Ki Galur yang cukup mengenal watak dan keadaan gadisnya, maklum bahwa tentu terjadi sesuatu yang luar biasa pada diri Sekarsari. Belum pernah ia melihat Sekarsari berwajah seperti itu, muram dan dingin. Ia tahu akan perasaan hati Sekarsari terhadap Jarot, bahkan ia merasa bersyukur kalau anak gadisnya dapat menjadi isteri Jarot, pemuda yang ia kagumi itu. Tentu kemuram-durjaan itu ada hubungannya dengan Jarot, pikir Ki Galur. Dipanggilnyalah anaknya mendekat dan mereka duduk di atas sebuah bale-bale.
"Sari, kulihat kau mempunyai ganjelan hati. Apakah yang kau sedihkan, nak?"
Sekarsari menggigit bibirnya dan sambil menunduk ia menggeleng kepala. Kemudian, bibirnya bergerak perlahan dan berkata lirih,
"Tidak apa-apa, Ayah."
Ki Galur memandang wajah yang menunduk itu dengan penuh perhatian dan kasih sayang, lalu berkata perlahan, suaranya penuh kesabaran,
"Sari, aku sudah tua, nak. Harapanku satu-satunya hanya ingin melihat kau berbahagia dan kalau mungkin... sebelum aku mati, aku ingin sekali melihat kau... kau duduk di samping Gus Jarot sebagai isterinya."
Sekarsari mengangkat muka dan memandang wajah Ayahnya dengan terharu, ia tahan-tahan hatinya, tapi kemudian bagaikan ada yang mendorongnya dari belakang ia menubruk Ayahnya dan menjatuhkan kepala di atas pangkuan Ki Galur sambil menangis terisak-isak.
"Ayah... Ayah.."
Suaranya membisikkan rintihan hatinya yang terluka. Ki Galur terkejut. Ia mengusap-usap rambut yang lebat halus di kepala anaknya sambil menghela napas dan diam-diam ia menyapu kering dua butir air mata yang menetes turun dari pelupuk matanya.
"Sari, anakku, apakah yang terjadi antara kau dan Gus Jarot? Bercekcokkah kalian?"
Kembali Sekarsari menggeleng kepala.
"Dia... dia... cinta kepada Maduraras, Ayah""
"Apa? Gadis yang ditolongnya itu? Ah, tak bisa jadi. Itu hanya dugaanmu saja. Gus Jarot bukanlah macam pemuda yang mudah jatuh hati."
Sekarsari tak menjawab, hanya menangis terisak-isak. Ia merasa terhibur oleh kata-kata Ayahnya dan dipangkuan Ayahnya ia merasa aman.
"Sari, kau cinta kepada Gus Jarot, bukan?"
Sekarsari gerakkan kepala mengangguk perlahan tanpa melihat Ayahnya.
"Dan". dia belum melamarmu?"
Kembali gadis itu menggeleng kepala, lalu berkata malu-malu dan perlahan,
"Kalau melamar juga tentu kepadamu, Ayah, bukan langsung padaku."
Ki Galur menghela napas.
"Aah, sebetulnya sudah waktunya bagi Gus Jarot untuk mengajukan lamaran. Biarlah, Sari, nanti kalau dia datang, aku akan bicarakan urusan ini dengan dia."
Serentak Sekarsari bangun dan memandang Ayahnya.
"Apa? Ayah hendak bicara padanya tentang aku? Tidak, tidak! Jangan kau lakukan hal itu, Ayah!"
Ki Galur memandangnya heran.
"Kenapa, Sari?"
"Perlukah kita merendah sedemikian rupa? Jangan, Ayah, aku tidak sudi ditawar-tawarkan, aku tak sudi memaksa dia mengawiniku! Aku tidak sudi seperti Maduraras, memikat-mikat hatinya!"
Dan dengan marah Sekarsari lari ke dalam biliknya. Ia tidak keluar lagi biarpun ia mendengar Jarot datang dan makan bersama Ayahnya. Ia mendengarkan baik-baik, siap untuk mencegah dan membantah, jika Ayahnya menawarkan dirinya. Tapi Ki Galur cukup kenal wataknya yang keras. Orang tua itu hanya bercakap-cakap tentang soal biasa dan tidak menyinggung-nyinggung dirinya. Penutup percakapan mereka adalah sebuah pertanyaan dari Jarot,
"Sari ke mana, Paman? Aku tidak melihatnya sejak tadi."
Pertanyaan itu dijawab oleh Ki Galur sambil lalu,
"Ia sudah tidur. Agak pusing barangkali, atau terlampau lelah."
Dan Jarot tak berkata apa-apa lagi, lalu masuk ke biliknya.
Malam itu keadaan Jarot dan Sekarsari sama. Mereka gelisah dan tak tenang. Baik Sekarsari maupun Jarot tak dapat meramkan mata barang sesaat. Hawa malam itu panas. Agaknya mendung tak juga mau memberi jalan kepada air yang hendak menghujan. Setelah dapat menenteramkan pikiran dan agak mereda gelisahnya, Jarot merasa betapa panas hawa dalam biliknya dan keluarlah dia dari bilik. Hawa di luar lebih sejuk karena angin malam bertiup perlahan bagaikan kipas raksasa yang bergerak tak tampak. Dengan tak sengaja kakinya melangkah ke arah bengawan. Cahaya ribuan bintang di langit yang suram tertutup mendung di beberapa tempat membuat pohon-pohon tampak bagaikan raksasa-raksasa mengerikan menghadang di tengah jalan. Ketika tiba dekat bengawan, tiba-tiba Jarot mendengar suara seorang wanita berkata marah,
"Tidak, tidak mau!"
Dan suara itu disusul tangisan sedih. Hati Jarot tercekat. Itulah suara Maduraras! Ia cepat bersembunyi di belakang alang alang dan mengintai. Alangkah herannya ketika ia melihat bahwa Maduraras sedang duduk di atas sebuah batu sambil menangis sedih, sedangkan di depannya berdiri seorang laki-laki yang bertolak pinggang. Ketika ia memandang tajam, ternyata bahwa laki-laki itu bukan lain ialah Raden Mas Bahar! Jarot menjadi marah sekali dan hasratnya besar sekali untuk segera meloncat dan memberi hajaran kepada laki-laki jahanam itu! Tapi karena ia tak melihat Bahar berbuat sesuatu yang jahat, maka ia sabarkan hati dan terus mengintai.
"Raras, apakah kau tidak mau membantu kakakmu? Bukankah di dunia ini hanya kau seorang yang mau membantuku, mau membelaku? Kalau bukan kau yang menolong, siapakah lagi, Raras? Ayah tentu tak sudi memperdulikan aku atau kau!"
"Kurang apakah aku membelamu? Kurang apakah aku membuktikan sayangku sebagai adikmu? Kau suruh aku lakukan sesuatu yang jahat, kau suruh aku bermain sandiwara, menipu Mas Jarot, merusak perhubungan Jarot dan Sekarsari, kau suruh aku menghancurkan hati Sekarsari, dan semua itu telah kulakukan! Bukankah itu sudah cukup membuktikan sayangku kepadamu, Mas Bahar? Tapi, untuk mencelakai jiwa Mas Jarot. Aah, jangan Mas. Jangan kau sekejam itu, aku... aku tak sanggup melakukan permintaanmu ini..."
"Raras! Tak tahukah kau betapa sakit hatiku kepadanya belum juga terbalas? Aku telah dipukulnya, dihinanya, direndahkannya di hadapan Sekarsari. Kau tahu betapa rinduku kepada gadis itu. Kalau Jarot tidak disingkirkan, ia merupakan rintangan besar, Raras. Tidak maukah kau berusaha membantu kakakmu supaya terlaksana keinginanku kawin dengan Sekarsari?"
Maduraras mendengarkan dengan menunduk dan masih terisak-isak. Sementara itu Jarot seakan-akan mendengar suara setan-setan berbicara dari neraka ketika ia mendengar percakapan itu. Demikian jahatkah Maduraras? Jadi selama ini, semua perbuatan gadis jelita itu hanya pura-pura dan gadis itu telah berusaha memikatnya, agar hubungannya dengan Sekarsari terputus? Ah, jahatnya! Jarot merasa betapa tubuhnya menggigil karena marah kepada kakak beradik jahanam yang tengah bercakap-cakap di depannya itu.
"Aku sudah berusaha, kak, tapi... apa dayaku? Kang Mas Jarot tidak... cinta padaku... Aku tak sanggup memisahkannya dari Sekarsari..."
"Nah, kalau begitu, tiada jalan lain, Raras. Mudah saja, besok kau pergi mengunjungi mereka dan carilah kesempatan untuk menyuguhkan minuman kepada Jarot. Kau masukkan saja bubuk ini ke dalam minumannya, dan... akan terbalaslah dendam hatiku!"
"Jangan...! Tidak mau, Mas Bahar! Aku tak sanggup!"
"Kau... setan alas! Kau beratkan dia daripada kakakmu sendiri?"
"Bukan demikian, tapi... aku... aku... Mas Jarot..."
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Bahar melayangkan tangan menempeleng kepala Maduraras.
"Keparat! Jadi rupa-rupanya kau jatuh cinta kepada pemuda jahanam itu, ya?"
Pada saat menerima pukulan itu, timbullah perlawanan dalam hati Maduraras. Memang sungguhpun ia sangat sayang kepada kakaknya, namun ia berani melawan jika merasa dirinya benar.
"Memang! Aku cinta padanya! Aku cinta padanya! Dan Kau lah yang kejam, Kau lah yang membuatku begini! Kalau bukan karena muslihatmu yang buruk, aku selamanya takkan kenal padanya! Sekarang aku telah mengenalnya, telah mengetahui kebaikannya, dan... dan aku jatuh cinta. Cinta sia-sia, Mas Bahar, cinta sengsara, karena dia tidak membalas cintaku! Dan aku, adikmu yang kau sayang ini sekarang menderita, selama hidup akan menderita karena kau! Ah, aku menyesal... bunuhlah saja aku, Mas Bahar...!"
"Kau juga cinta kepada Jarot? Ha ha! Sungguh gila. Kau yang menolak pinangan Pangeran sekarang jatuh hati kepada anak melarat itu?"
"Ya! Memang aku cinta pada Kang Mas Jarot! Ia lebih jantan daripada Pangeran, lebih jantan daripada kau, lebih bijaksana daripada siapa juga. Aku tidak malu jatuh hati padanya!"
Bahar mencabut kerisnya.
"Raras, lihat ini, masih ingatkah kau pusaka ini?"
"Kau bawa-bawa pusaka ibu mau apa?"
"Ketika akan menutup mata, ibu meninggalkan pusaka ini untuk kita. Ingatkah kau akan pesan beliau? Bahwa kita harus saling bantu, saling bela. Sekarang kau tidak mau membantuku, Raras. Inginkah kau melihat aku mati di ujung pusaka ini?"
"Mas Bahar... kau kejam, Mas. Mintalah yang lain, suruhlah aku menyerbu api menyelami samudra, akan kujalani dengan patuh. Tapi jangan... jangan minta aku membunuh Kang Mas Jarot..."
Ratap tangis Maduraras.
"Jahanam! Perempuan tak kenal budi...!"
Dengan wajah beringas Bahar maju dengan keris di tangan. Melihat sikap kakaknya, Maduraras tidak gentar bahkan ia maju setindak mengangkat dadanya.
"Kau mau membunuh aku? Bunuhlah, Mas. Aku rela mati di tangan kakak sendiri. Ini, tusuklah dadaku..., biar aku menyusul ibu..."
Melihat sikap Maduraras dan mendengar kata-katanya, lemaslah tangan Bahar. Kemudian dengan suara menyeramkan ia berkata,
"Baiklah, aku tak sampai hati membunuhmu, tapi aku takkan sudah sebelum Jarot mampus dan Sekarsari menjadi isteriku."
Sampai pada saat itu Jarot tak dapat menahan lagi kemarahannya. Dengan sekali loncat ia telah berdiri di depan Bahar sambil bertolak pinggang.
"Pengecut! Macam inikah watak seorang satria? Bahar, alangkah rendahnya budimu. Kau tidak malu menaruh dendam padaku, padahal permusuhan kita kau sendirilah yang membuatnya. Dalam dendam kesumatmu yang buta dan sesat ini kau bahkan menyeret-nyeret adikmu sendiri yang suci hingga membuatnya menjadi gadis penipu dan pemikat yang rendah!"
Terdengar jerit Maduraras disusul tangis mendengar kata-kata yang menusuk kalbunya ini.
"Jarot, jangan kau banyak tingkah!"
Bahar berseru marah lalu ia bertepuk tangan tiga kali. Dari belakang batang-batang pohon muncullah empat orang tinggi besar, kaki tangan Bahar! Tanpa banyak cakap mereka berlima menyerang Jarot dengan ruyung dan keris.
"Mas Bahar... jangan, Mas..."
Teriak Maduraras sambil maju menubruk kakaknya untuk menghalangi, tapi sekali dupak saja robohlah gadis itu. Jarot menjadi marah sekali.
"Kalian mencari mampus?"
Bentaknya dan dengan mengandalkan kegesitan tubuhnya dan kecepatan tangan kakinya ia melayani lima orang lawan yang bersenjata itu dengan tangan kosong! Biarpun Bahar dulu pernah merasai kekerasan tangan Jarot, namun kini ia tidak takut karena ia dibantu oleh empat orang yang terkenal cabang atas dan ahli-ahli silat kelas satu. Sambil mengirim serangan ia berseru,
"Pukul mati keparat ini. Habisi dia!"
Tapi Jarot tak gentar sedikitpun. Tubuhnya bergerak cepat hingga seakan-akan ia terpecah menjadi lima dan dapat melayani masing-masing lawannya. Kelima lawan itu berkunang-kunang melihat kecepatan Jarot dan seorang di antara.mereka menjadi gentar dan menyangka pemuda itu menggunakan ilmu iblis. Hal ini membuat gerakannya menjadi lambat dan sapuan kaki kiri Jarot membuat sambungan lututnya terlepas dan ia jatuh terduduk dengan meringis-ringis dan mengurut-urut dengkulnya yang tiba-tiba menjadi lumpuh! Ketika seorang lawan lain dari kanan mengayun ruyung ke arah kepala Jarot, pemuda ini dengan sigapnya berkelit ke kiri dan dengan jari tangan terbuka ia menyodok lambung lawan itu.
Orang tinggi besar itu berteriak kesakitan, ruyungnya terlepas dan ia menggunakan kedua tangan menekan-nekan perutnya karena sodokan jari tangan Jarot tadi membuat perutnya tiba-tiba menjadi mulas dan sakit sekali. Sambil mengerang dan merintih ia mundur, duduk di bawah sebatang pohon sambil memegangmegang dan menekan-nekan perutnya! Jarot tidak mau berlaku kejam kepada empat jagoan itu, karena ia maklum bahwa mereka ini hanya diperalat oleh Bahar. Kepada Bahar seoranglah kebenciannya meluap. Maka dengan beruntun ia robohkan dua pembantu Bahar yang lain dengan hanya memberi hadiah tendangan dan pukulan yang tidak membahayakan jiwa mereka tapi yang cukup membuat mereka rebah tak kuasa bangun lagi. Maka tinggal Bahar seoranglah yang masih berlaku nekat.
"Jarot, kalau bukan kau, tentu akulah yang hari ini menjadi mayat!"
Geramnya sambil maju menyerang dengan nekat.
"Kau yang mulai, bukan aku!"
Jawab Jarot sambil berkelit dengan mudahnya. Dengan keris pusaka ibunya Bahar menyerang bertubi-tubi, tapi sambil tersenyum mengejek Jarot mempermainkannya dengan berloncatan ke sana ke mari, kadang-kadang tangannya menowel pundak, menjiwir telinga dan menjambak rambut. Tentu saja dipermainkan demikian Bahar makin marah dan nekat. Dadanya terasa panas dan matanya gelap.
"Mas Jarot, ampunkan padanya, Mas..."
Tiba-tiba terdengar suara Maduraras memohon. Sambil berkelit Jarot berkata kepada Bahar,
"Kau masih tidak kapok? Hentikan seranganmu dan aku ampunkan padamu. Kalau bukan aku kasihan kepada Maduraras, tidak nanti aku sudi ampunkan jiwamu yang rendah."
Pada saat itu terdengar isak tertahan di balik batang pohon kelapa dan sesosok bayangan seorang gadis lari menyelinap ke dalam gelap. Dia ini bukan lain ialah Sekarsari! Gadis ini yang gelisah dan tak dapat tidur, keluar dari biliknya dan dengan pikiran ruwet ia menuju ke bengawan. Melihat Jarot sedang berkelahi dikeroyok dan ada beberapa orang lawan Jarot rebah merintih-rintih, ia terkejut sekali. Tapi tiba-tiba terlihatlah olehnya Maduraras menangis, maka diam-diam ia bersembunyi. Ketika ia melihat bahwa yang memimpin pengeroyokan itu bukan lain ialah Bahar, maka mengertilah ia. Tentu Maduraras diganggu oleh Bahar dan Jarot datang menolong!
Atau, pikirnya dengan hati panas, mungkin Jarot dan Maduraras sedang membuat pertemuan di situ dan diganggu oleh Bahar! Kini ia melihat betapa Jarot dengan mudahnya mengampuni Bahar hanya karena diminta oleh Maduraras. Sekarsari tak dapat menahan panas hatinya lebih lama lagi dan sambil menahan isak tangisnya, ia lari meninggalkan tempat itu! Bahar mendengar kata-kata Jarot bukannya menghentikan serangannya, bahkan ia mundur beberapa tindak dengan napas terengah-engah dan mata terbelalak marah. Kemudian, sambil mengeluarkan geraman hebat, ia ayun keris pusaka ke arah Jarot! Serangan ini berbahaya sekali karena Bahar memang mahir melempar keris. Keris pusaka itu dengan lajunya bagaikan anak panah menyambar leher Jarot. Jarot maklum betapa berbahaya serangan gelap ini karena cuaca yang gelap tak memungkinkan ia melihat datangnya keris dengan jelas.
Baiknya telinga Jarot sudah terlatih hebat hingga ia dapat menangkap suara angin yang terbawa keris itu. Karena sudah tiada waktu untuk berkelit pula, ia menggunakan jari tangan kanannya menyampok ke arah keris. Keris pusaka itu terpental sedemikian rupa hingga senjata itu membuat gerakan membalik dan langsung melayang ke arah Bahar. Terdengar teriakan ngeri ketika keris itu menancap di dada Bahar yang roboh berkelojotan dan menghembuskan napas terakhir setelah beberapa kali menyebut ibunya! Karena kelalimannya, pusaka mendiang ibunya telah menghabisi riwayatnya dengan tak terduga dan tak disengaja. Melihat kejadian ini Maduraras menyerbu tubuh kakaknya dan sambil menangis dan menjerit-jerit ia peluki tubuh itu. Dan Jarot berdiri kesima dan lesu. Ia menyesal sekali hingga ia hanya dapat memandang gadis yang menangis sedih itu tanpa dapat bergerak maupun berkata-kata.
Karena sedih dan putus asa, Maduraras jatuh pingsan di samping mayat kakaknya. Dan pada saat itu, jatuhlah air hujan menimpa dan membasahi segala apa di permukaan bumi. Kilat menyambar-nyambar, guntur menggelegar, dan udara penuh dengan gema hiruk-pikuk menyeramkan, seakanakan semua iblis, demit, dan setan bekasakan keluar dari tempat persembunyian masing-masing pada saat itu, siap untuk mencari korban. Jarot masih berdiri bagaikan patung. Kemudian ia mengambil keputusan untuk membawa mayat Bahar dan mengantarkan Maduraras ke Tumenggungan, tempat tinggal Tumenggung Suryawidura, yang ia kini tahu, adalah Ayah Maduraras! Tapi, pada saat kakinya bergerak maju, tiba-tiba dari belakangnya datang berloncatan tiga orang yang memegang tombak.
"Hordah! Berhenti kamu. Siapa di situ?"
Tiga orang membentak berbareng dan tiga batang tombak dipalangkan mencegat majunya Jarot! Jarot menggunakan kedua tangan menolak tombak itu, tapi alangkah terkejutnya ketika tiga tombak itu tidak terpental karena pemegang-pemegangnya ternyata bertenaga besar sekali. Semua urat dalam tubuh Jarot menegang dalam persiapan, karena ia maklum bahwa kali ini ia harus menghadapi lawan-lawan yang tak mudah dikalahkan! Secepat kilat ia loncat berbalik menghadapi ketiga pemegang tombak itu dan ia saling pandang dengan Adipati Uposonto dan dua orang pahlawan Keraton lain!
"Dimas Jarot!"
Uposonto berseru tercengang.
"Kau sedang apa di sini?"
Kemudian di antara menyambarnya kilat, tampak oleh adipati itu tubuh Bahar membujur kaku dan tubuh Maduraras yang rebah tak bergerak di dekatnya.
"Eh, mereka siapa dan kenapa?"
Tanya Uposonto kepada Jarot.
"Kang Mas Uposonto, sekarang bukan waktunya bicara, bantulah aku mengangkat mereka. Mereka adalah Denmas Bahar dan adiknya."
Tanpa banyak cakap lagi Uposonto dan dua orang kawannya mengangkat dua tubuh itu dan menaruh mereka di atas kuda.
"Dimas Jarot. Kami datang sengaja mencarimu atas perintah Paman senapati Baurekso. Kami disuruh memberitahumu, bahwa balatentara Mataram hendak mulai dengan penjelajahannya, pertama-tama ke Wirasaba. Kau tidak diharuskan, tapi kami akan merasa girang sekali kalau kau suka ikut."
Mendengar hal ini Jarot merasa girang sekali.
"Tentu saja, Kang Mas Uposonto, aku akan ikut. Nah, tolonglah kau antar mereka ini pulang ke Tumenggungan lebih dulu, aku hendak mengadakan persiapan. Bila kita berangkat?"
"Besok pagi-pagi pada saat fajar menyingsing."
"Baik."
"Tapi, dimas Jarot, bagaimana kalau nanti Paman Tumenggung bertanya tentang mereka ini? Apakah sebenarnya yang telah terjadi?"
"Kematian denmas Bahar ini karena berkelahi dengan aku. Lihatlah, kerisnya sendiri masih tertancap di dadanya. Ia sambitkan keris itu padaku, karena gelap, terpaksa aku menyampoknya dan dengan tak kusengaja keris itu tersampok kembali dan menancap di dadanya. Adapun Madu... eh, adiknya ini, kukira ia hanya pingsan karena sedih dan kaget."
Uposonto mengangguk maklum.
"Persoalan dapat diurus kemudian, kini yang perlu harus mengantar mereka ini ke Tumenggungan. Mari kita berpisah, dimas Jarot."
Kemudian, ketiga pahlawan Keraton itu membawa kedua tubuh itu sambil melarikan kuda mereka. melawan serangan angin dan hujan. Sedangkan Jarot dengan cepat berlari pulang. Dengan cepat ia menengok kudanya di kandang sebentar, lalu bertukar pakaian kering.
Ketika ia memasuki biliknya, tiba-tiba ia mendengar suara isak tangis tertahan dari kamar Sekarsari. Ia merasa heran sekali mengapa Sekarsari menangis pada saat lewat tengah malam. Mimpikah gadis itu? Tapi ia tak berani mengganggu. Ia lalu duduk bersamadhi. Besok ia akan pergi berjuang membela Mataram. Ia akan meninggalkan Sekarsari. Tapi, kepergiannya ini ada baiknya, karena pertama ia akan dapat bertempur melawan musuh, kedua ia akan menjauhkan diri dari segala hal yang tak menyedapkan hati, seperti urusannya dengan Bahar, dengan Maduraras, dan dengan Sekarsari yang kini agaknya berobah sikap terhadapnya! Biarlah ia meninggalkan kota raja untuk beberapa lama dan mudah-mudahan saja sekembalinya nanti keadaan akan menjadi lebih baik. Sementara itu Adipati Uposonto telah tiba di Tumenggungan dan menggedor pintu gerbang.
Penjaga muncul dengan marah, tapi ketika melihat siapa orangnya yang menggedor pintu, ia berlaku sangat hormat dan menanyakan maksud kedatangan Adipati Uposonto yang dijawab dengan singkat dengan perintah agar pintu dibuka dan Tumenggung Suryawidura diberi tahu akan kedatangannya. Penjaga itu merasa ragu-ragu dan takut untuk membangunkan Tumenggung pada saat seperti itu, tapi ketika ia melihat tubuh Raden Mas Bahar terkulai di atas punggung kuda, ia terkejut sekali dan, setelah membuka pintu gerbang, ia berlari-lari masuk sambil berteriak-teriak! Alangkah terkejutnya hati Tumenggung Suryawidura melihat mayat anaknya, dan ia heran melihat tubuh gadis yang pingsan itu, karena sesungguhnya ia lupa dan tidak mengenali Maduraras. Dengan singkat Uposonto menuturkan tentang perkelahian antara Bahar dengan Jarot.
"Anak bedebah itut Awas, besok akan kulaporkan kepada Sri Sultan!"
Tumenggung tua itu mengutuk.
''Saya rasa Paman Tumenggung hendaknya bersabar sedikit. Lebih baik tanyakan lebih dulu duduknya hal kepada puteri Paman jika ia telah siuman."
"Ia... Maduraras?"
Dan Tumenggung Suryawidura lari ke dalam untuk melihat Maduraras. Uposonto menanti sebentar dan tak lama kemudian Tumenggung keluar kembali, wajahnya tampak sedih dan marah,
"Ia telah siuman tapi belum mau bicara, hanya menangis saja."
"Paman Tumenggung, saya ulangi lagi bahwa sebaiknya Paman jangan mengganggu Sri Sultan pada waktu ini. Paman sendiri maklum betapa sibuk pikiran Sri Sultan dengan rencana penjelajahan bala tentara Mataram ini. Janganlah hendaknya Sri Sultan diganggu dengan urusan-urusan pribadi."
Tumenggung Suryawidura memandang marah,
"Habis, harus diam sajakah aku dihina oleh Jarot anak desa itu?"
"Bukan demikian, Paman. Urusan ini masih dapat diselesaikan kelak bila perjuangan ini sudah. dikerjakan dengan hasil baik. Ketahuilah bahwa dimas Jarot sendiripun ikut dengan kami membela Mataram. Maka, kalau Paman melaporkan hal ini sekarang, berarti Paman mendatangkan dua kerugian. Pertama, Sri Sultan akan terganggu dan kedua barisan kami akan kehilangan tenaga Jarot yang sangat kami andalkan itu. Ingatlah, Paman. Belum terlambat agaknya hal ini diurus lebih lanjut jika kami telah kembali kelak. Pula, belum tentu kesalahan berada di pihak dimas Jarot, hal ini sebaiknya Paman pertimbangkan dulu setelah Paman mendengar keterangan dari puteri Paman nanti."
Akhirnya Tumenggung Suryawidura hanya mengangguk-angguk dengan penasaran dan kecewa, dan Adipati Uposonto lalu minta diri untuk mengadakan persiapan guna pemberangkatan besok.
Hari itu, pagi-pagi sekali Jarot sudah sadar dari samadhinya dan ia segera mendahului Sekarsari ke bengawan, di mana ia sengaja bersembunyi dan menanti kedatangan Sekarsari. Betul saja, tak lama kemudian tampak gadis itu mendatangi dengan kelenting tempat air di tangan kanan dan pakaian cucian di tangan kiri. Jarot kaget juga melihat wajah yang muram dan sedih dengan tubuh yang kelihatan lemah-lunglai itu. Sekarsari tampak bagaikan seorang yang tidak sehat, mukanya demikian pucat dan matanya kemerah-merahan karena banyak menangis. Ketika tiba di pinggir bengawan, Sekarsari menurunkan bawaannya lalu pergi duduk di atas sebuah batu. Di situ ia duduk melamun, diam tak bergerak bagaikan patung sambil memandangi air bengawan yang mengalir tiada hentinya. Ia tidak mendengar betapa seorang pemuda menghampirinya dari belakang.
"Sari..."
Gadis itu tersentak kaget dan cepat ia menengok, tapi segera ia membuang muka ketika melihat Jarot.
"Sari, kau kenapa? Agaknya kau marah padaku."
Gadis itu tidak menjawab, tapi matanya telah penuh air mata yang ditahan-tahannya dengan menggigit bibir. Jarot meloncat ke atas sebuah batu di depan Sekarsari hingga mereka duduk berhadapan. Gadis itu menundukkan muka menyembunyikan air matanya.
"Sari, jangan kau marah padaku. Kalau aku bersalah, katakanlah terus terang, aku akan menerimanya dan minta maaf..."
Kata-kata ini dikatakan dengan halus hingga untuk beberapa lama gadis itu menatap wajah Jarot, kemudian ia menangis tersedu-sedu.
"Sari, kenapakah? Jangan kau terus marah padaku, Sari. Aku tak kuat menahan jika kau bersikap seperti ini..."
Gadis itu mengangkat muka dan dari sepasang matanya yang merah terpancar sinar kemarahan.
"Kau... kau kira aku,.,, akupun senang dan dapat menahan melihat... sikap dan kelakuanmu?"
Jarot mengerutkan kening.
"Kau maksudkan... Maduraras?? Kalau begitu, kau... kau... cemburu? Kalau begitu, kau...kau... cinta padaku?"
Wajah Jarot berseri, tapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat perubahan air muka gadis itu. Sekarsari menjadi pucat bagai mayat dan sepasang matanya bagaikan bernyala. Jarot insyaf dan menyesali kebodohannya. Ia terlampau jujur dan ceroboh hingga kata-katanya itu tentu saja menyinggung perasaan halus gadis itu.
"Apa katamu? Cemburu? Cinta...,.? Siapa... siapa yang cemburu? Apa perduliku akan hubunganmu dengan Maduraras? Aku tidak,... tidak berhak untuk merasa cemburu!! Dan cinta? Aku... aku...!"
Tiba-tiba Sekarsari menutup mukanya dan lari meninggalkan tempat itu, lupa untuk membawa cucian dan kelentingnya. Ia lari pulang sambil menangis.
"Sari... Sari..., aku cinta padamu, Sari...!"
Jarot berdiri dan berteriak-teriak. Tapi Sekarsari lari terus, bahkan isaknya makin mengeras. Pengakuan Jarot ini dilakukan bukan pada saat yang tepat, dan Sekarsari mendengar ucapan itu bagaikan bernada penuh ejekan.
"Sari... kembalilah, aku cinta padamu, Sari..."
Dan Sekarsari lari terus, kini menggunakan dua jari telunjuknya untuk dipakai menutupi telinganya! Setibanya di rumah, Sekarsari terus memasuki biliknya, membanting dirinya di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu. Tuduhan Jarot bahwa ia cemburu dan mencintai pemuda itu terlalu tepat dengan isi dadanya hingga sangat menusuk rasa keangkuhannya. Hatinya telah luka karena persangkaannya bahwa Jarot mempunyai hubungan dengan Maduraras kini Jarot memberi obat pada lukanya itu, tapi obat yang sangat perih hingga ia tak kuat menahannya. Jarot yang masih bodoh untuk dapat menyelami perasaan dan hati wanita, sangat canggung dalam pernyataannya tadi, hingga ia baru menyatakan cintanya setelah terlambat, setelah tuduhannya yang tepat itu menyinggung dan menyakiti hati Sekarsari.
Kalau saja ia menyatakan cintanya lebih dulu, takkan begitu jadinya! Kini melihat Sekarsari lari darinya dan tak mau menerima pernyataan cintanya, hatinya menjadi tawar dan dingin. Ia tersenyum pahit dan senyum ini membuat wajahnya tampak lebih tua dan matang. Tanpa diketahuinya, peristiwa ini menimbulkan garis-garis baru pada kulit mukanya. Dengan tubuh lesu ia kembali ke pondok, tak lupa untuk membawa pakaian dan tempat air Sekarsari yang ditaruhnya di depan bilik gadis itu. Kemudian ia pergi ke kandang, menuntun Nagapertala keluar dan sebentar lagi ia sudah berada di alun-alun di mana para perajurit telah siap berangkat, dikepalai oleh Uposonto dan beberapa orang panglima lain. Setelah mendapat doa restu dari Sri Sultan, maka berangkatlah bala tentara Mataram yang gagah itu, diiringi gamelan selamat jalan.
Rakyat berdesak-desakan di tepi jalan untuk mengucapkan selamat jalan dan menyampaikan doa-doa mereka. Di antara rakyat yang berdesak-desakan, Jarot melihat bayangan Maduraras disuatu tempat dan bayangan Sekarsari di tempat lain. Kedua orang gadis itu memandangnya dengan sinar mata yang sama, kedua-duanya mesra dan penuh api cinta! Expedisi penjelajah Sultan Agung tidak menemui rintangan, karena ternyata para kepala daerah kecil-kecil tahu sampai di mana kekuasaan dan kebijaksanaan Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung dan mereka ini dengan senang hati menyatakan tunduk dan taat. Tapi di Wlrasaba, Lasem, bala tentara menemui perlawanan yang hebat juga. Dalam pertempuran dengan mereka, selain para panglima yang gagah perkasa di bawah pimpinan Uposonto, Jarot pun berjasa besar.
Terutama ketika barisan Laseni mengeluarkan seorang pertapa dari Gunung Muria bernama Kyai Sidik Permono. Para panglima Mataram tidak ada yang kuat melawan Kyai ini, karena pertapa ini menggunakan aji kesaktian yang tak dapat dilawan dengan mengandalkan kekebalan kulit dan kekerasan tulang belaka. Bahkan Uposonto terpaksa mundur setelah mengadu kemahiran tenaga batin dengan Kyai Sidik Permono dan pertapa itu menggunakan ajinya Ciptoguno yang hebat. Apa saja yang dipegang oleh pertapa itu, baik batu, daun, atau kayu, setelah dilempar ke arah lawan lalu berubah menjadi tentara siluman yang mengerikan! Akhirnya Jarotlah yang maju menandingi pertapa itu. Melihat kedatangan pemuda yang tampan dan halus itu, Kyai Sidik Permono terkesiap juga karena dari sinar matanya ia maklum bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan.
"Satria perwira, belum pernah aku melihat panglima Mataram seperti kau. Siapakah namamu, Raden?"
Tanya Kyai Sidik Permono.
"Saya bernama Jarot dan bukan panglima. Saya perajurit sukarela biasa saja."
Maka heranlah pertapa itu mendengar jawaban Jarot.
"Hm, kau perajurit biasa? Kau lihat betapa semua panglima Mataram yang gagah perkasa tak kuat melawanku. Apakah kau juga hendak mencoba kesaktianku, Raden? Ah, kau takkan kuat, mundurlah saja, Raden Jarot, sayang kalau sampai kau kena bencana."
"Paman Kyai, kau menyuruh saya mundur. Mengapa tidak kau saja yang mundur? Betapapun juga, aku adalah seorang pemuda yang telah sengaja menjadi perajurit untuk berperang membela Mataram. Tapi kau, Paman Kyai, kau adalah seorang pertapa suci yang seharusnya menjauhi pertumpahan darah dan berdiam saja di padepokanmu menyucikan diri dan mengajar ilmu, memberi penerangan kepada yang kegelapan dan memberi nasihat kepada yang tersesat. Mengapa kau bahkan memperbesar peperangan ini dengan mengeluarkan aji kesaktianmu?"
Sepasang mata pertapa tua itu mencorong dengan kagum dan penasaran.
"Raden, pandanganmu biarpun ada benarnya tapi hanya memihak sebelah. Kau hanya mempersoalkan kedudukan seorang dan pekerjaannya. Itu kurang luas, Raden. Pandanganku lebih luas lagi. Aku adalah rakyat atau penduduk sini. Sudah menjadi kewajibanku untuk membela negeri di mana saya tinggal. Aku tidak mengurus tentang sebab dan akibat perang ini. Aku hanya patuh kepada panggilan tugas, tugas seorang kawula. Ingat, yang kulawan bukanlah kau dan kawan-kawanmu, tapi aku melawan penyerang Lasem, siapa saja mereka itu adanya."
"Kau betul, Paman Kyai. Kalau demikian luas pandanganmu, nah, sekarang kita sebagai petugas hanya memenuhi kewajiban saja. Majulah, aku akan mencoba untuk melawan kesaktianmu. Menang kalah itu hanya akibat kecil. Mati atau hidup itupun hanya perpindahan sederhana saja."
Kyai Sidik Permono tertawa bergelak.
"Ah, tak salah lagi. Kau panglima sesungguhnya. Aku takkan merasa malu jika nanti jatuh dalam tanganmu. Nah, majulah, Raden!"
"Kau dulu, Paman Kyai."
Melihat Jarot berlaku sungkan, Kyai Sidik Permono segera maju menyerang. Biarpun ia sudah tua, namun gerakannya gesit dan pukulan tangannya ampuh dan berat. Jarotpun tahu bahwa orang tua ini tak boleh dipandang ringan, maka ia melayaninya dengan hati-hati dan mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya.
Setelah bertempur puluhan jurus, Kyai Sidik Permono tak tahan lagi, dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Tiba-tiba Kyai Sidik Permono menyaut sebatang tombak dari tangan perajuritnya, dan Uposonto yang sudah siap lalu memberi Jarot sebatang pula. Kini pertempuran dilanjutkan dengan tombak di tangan. Para perajurit kedua pihak bersorak-sorak ramai untuk memberi semangat kepada jago mereka. Namun ternyata bahwa dalam permainan tombak, Kyai Sidik Permono bukanlah lawan Jarot. Pada satu saat terdengar bunyi keras dan tombak di tangan pertapa itu patah! Kalau saja saat itu digunakan oleh Jarot untuk menyerang dengan tombaknya, tentu celakalah pertapa itu. Tapi Jarot melempar tombaknya hingga tertancap di atas tanah, dan menghadapi pertapa itu dengan tangan kosong.
"Raden Jarot, kau sungguh gagah perkasa!"
(Lanjut ke Jilid 05)
Keris Pusaka dan Kuda Iblis (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
"Mari Paman Kyai, lanjutkanlah, saya layani!"
"Tapi aku belum kalah, Raden. Cobalah lawan ajiku ini!"
Dengan gerakan cepat Kyai Sidik Permono melempar potongan gagang tombak di tangannya ke atas dan aneh, potongan kayu itu lenyap dan tiba-tiba di depan Jarot berdiri seorang siluman tinggi besar yang menyeramkan, hingga para perajurit di pihak Jarot mundur ketakutan. Juga Uposonto yang tadi telah merasai kehebatan aji ini, mundur beberapa tindak dan mengkhawatirkan keselamatan Jarot. Namun Jarot hanya tersenyum dan berkata kepada pertapa itu,
"Aji ini hanya baik untuk menakut-nakuti anak-anak saja, Paman Kyai!"
Marahlah Kyai Sidik Permono mendengar ini. Ia menggunakan jari tangannya menunjuk kepada Jarot dan pada saat itu juga siluman itu menubruk ke arah Jarot dengan gerengan hebat. Tapi Jarot sudah siap. Kedua matanya mengeluarkan cahaya tajam dan sambil mengucap,
"Asal kayu kembali menjadi kayu"
Ia memukul dada siluman itu. Ajaib! Sambil berteriak kesakitan siluman itu lenyap ditelan bumi dan di atas tanah menggeletak potongan gagang tombak yang lenyap tadi. Kyai Sidik Permono merasa penasaran dan berkali-kali ia matak aji dan mencipta siluman-siluman dari batu, daun, dan tanah, tapi selalu Jarot dapat memunahkan dengan mudah! Akhirnya Kyai Sidik Permono mengalah.
"Raden Jarot, sungguh kau gagah. Aku mengaku kalah. He, para perajurit Lasem, dengarlah. Aku Kyai Sidik Permono bukan tak kenal kewajiban dan tidak mau membantu perjuangan kalian tapi hari ini aku dikalahkan oleh Raden Jarot. Aku telah membantu tapi gagal. Perkenankan aku kembali ke gunungku!"
Dan pertapa itu lalu meninggalkan medan pertempuran dengan langkah lebar, diikuti pandangan kecewa oleh para perajurit Lasem. Maka pecahlah pertempuran hebat. Tapi karena seperginya pertapa sakti itu semangat perajurit Lasem telah mengurang, mana mereka dapat menahan serbuan bala tentara Mataram yang bersemangat baja dan terpimpin oleh panglima-panglima gagah perkasa. Terutama Jarot di atas Nagapertala merupakan lawan berat hingga di mana saja pemuda itu tiba dengan kudanya, di situ bergelimpangan mayat tentara musuh.
Akhirnya, tanpa dapat mengadakan perlawanan yang berarti, Lasem jatuh ke dalam tangan bala tentara Mataram dengan mudah. Barisan Mataram pulang dengan gembira sebagaimana biasa tentara menang perang. Ketika memasuki kota raja, matahari telah naik tinggi. Jarot dan Nagapertala merasa lelah, terutama kuda itu yang telah lari tiada hentinya sepanjang malam. Tubuhnya yang kuat menjadi licin karena peluh dan ketika Jarot menghentikannya di depan pondok Ki Galur, dari punggung dan mulut Nagapertala keluar uap putih. Jarot heran melihat kampungnya sunyi. Pondok Ki Galur tertutup pintunya. Ia cepat meloncat turun dari punggung kudanya dan mengetuk pintu, lalu berjalan memutar dari belakang. Namun ternyata bahwa pondok itu kosong. Ketika ia sedang berdiri termenung di depan pondok, tiba-tiba seorang tetangga menegurnya,
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He, Den Mas Jarot, kau baru kembali?"
Jarot bagaikan tak mendengar teguran orang dan balas bertanya.
"Paman, ke manakah mereka pergi?"
Kakek yang ditanyanya tersenyum.
"Kau maksudkan Ki Galur dan Sekarsari? Belum tahukah kau? Pagi tadi mereka pindah ke Keraton!"
Terkejutlah hati Jarot.
"Ke Keraton? Mengapa??"
"Eh, bukankah Sekarsari diboyong oleh Pangeran? Hari ini pesta kawinnya,"
Jawab kakek itu dengan heran melihat perobahan muka Jarot.
"Apa katamu? Sekarsari diboyong oleh Pangeran? Celaka!"
Lalu tanpa memperdulikan kakek yang menjadi heran dan memandangnya dengan mata terbelalak itu, Jarot cemplak kudanya lagi dan membalapkan Nagapertala menuju ke istana. Benar saja, gapura-gapura di alun-alun telah dihias indah. Banyak orang hilir mudik memasuki gerbang halaman Keraton sambil membawa barang-barang antaran untuk memberi selamat. Bunyi gamelan menggema sampai ke alun-alun. Hati Jarot makin berdebar dan tubuhnya yang telah lelah gemetar di atas kuda. la tidak turun dari kuda seperti biasa kalau orang hendak menghadap ke istana, tapi terus saja memasuki pintu gerbang dengan Nagapertala.
Banyak orang mengikutinya dari belakang karena semenjak memasuki alun-alun, orang-orang telah heran melihat Jarot membalapkan kudanya hingga hampir-hampir menabrak orang-orang yang berada di situ. Penjaga pintu gerbang dengan tombak di tangan hendak mencegah Jarot memasukkan kudanya, tapi ketika penjaga itu melihat Nagapertala dan Jarot yang pada saat itu berwajah menyeramkan, ia mundur ketakutan! Jarot meloncat turun dan lari ke dalam istana, melewati beberapa orang pengawal Keraton yang tak kuasa mencegahnya karena merasa segan dan takut menghalang-halangi pemuda yang terkenal gagah berani itu. Pada saat itu, di ruang pesta sedang sibuk diadakan upacara sebagaimana layaknya jika Pangeran atau pembesar lain mengawini seorang gadis untuk menjadi selirnya.
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo