Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 5
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Sekarsari duduk di atas sebuah bangku dalam pakaian pengantin yang indah dan rambut kepalanya terhias bunga-bunga dan cunduk beraneka warna dan ragam. Gadis itu duduk diam dan menundukkan kepala. Pangeran Amangkurat dengan wajah gembira dan lagak gagah duduk di sampingnya. Karena hendak memenuhi syarat dan permintaan Sekarsari, maka perkawinan itu diadakan secara sah dan dalam upacara itu dihadiri pula oleh Sultan Agung sendiri dan oleh semua penghuni istana! Peristiwa ini adalah luar biasa karena belum pernah seorang selir diboyong ke Keraton dengan upacara demikian resmi bagaikan mengawini seorang isteri atau permaisuri saja. Pada saat Upacara mencuci kaki pengantin pria dilakukan, dan Sekarsari sudah berjongkok dengan bokor kencana berisi air kembang, tiba-tiba seorang pemuda meloncat memasuki ruang itu dan suaranya keras menggema,
"Batalkan perkawinan ini!"
Sultan Agung tak senang melihat sikap Jarot ini. Dengan perlahan Sultan berdiri dan berkata tenang,
"Jarot, alangkah kurang ajar kamu!"
Jarot kaget mendengar suara Sri Sultan, karena tidak disangkanya sama sekali bahwa Sultan Agung berada pula di situ. Buru-buru ia maju berlutut dan menyembah.
"Ampunkan hamba, Gusti, hamba mengaku telah berlaku lancang, tapi mohon perkawinan ini ditunda dulu dan sudi kiranya paduka mendengar keterangan hamba."
Sultan Agung memberi tanda agar upacara ditunda sebentar dan sepasang mempelai duduk kembali di kursinya. Sekarsari menundukkan kepala makin dalam hingga dagunya menempel di dada, sedangkan Pangeran Amangkurat duduk dengan perasaan tegang dan memandang ke arah Jarot dengan marah.
"Sekarang, sebelum kau bicara tentang sebab-sebab kelakuanmu yang aneh ini, terlebih dulu ceritakanlah tentang hasil bala tentara Mataram. Kau baru kembali dari Lasem, bukan?"
Jarot merasa terpukul dan malu kepada diri sendiri. Nyata bahwa Sri Sultan yang bijaksana itu jauh lebih mementingkan persoalan negara daripada persoalan-persoalan pribadi yang remeh. Maka dengan singkat ia menuturkan tentang kemenangan bala tentara Mataram di Lasem dan bahwa barisan sedang menuju pulang. Wajah Sultan Agung berseri mendengar hasil baik ini, demikianpun seisi ruangan, di sana-sini terdengar tarikan napas lega.
"Untung bagimu kau membawa kabar baik, Jarot. Hal ini setidaknya mengurangi pengaruh buruk dari sikap dan tindakanmu yang lancang tadi. Nah, sekarang katakanlah terus terang, mengapa kau berani mengganggu upacara perkawinan Pangeran,"
"Ampunkan hamba, Gusti. Kalau tidak ada sesuatu yang akan mendatangkan aib dan mencemarkan nama baik kerajaan, tidak sekali-kali hamba berani mengganggu perkawinan ini. Tapi ada satu hal pelik yang harus paduka ketahui tentang diri pengantin wanita."
Terdengar suara-suara bisikan memenuhi ruang itu, Sekarsari mengangkat kepala sekejap lalu menunduk kembali, sedangkan Pangeran memandang penasaran.
"Jarot, kau sungguh berani mati. Jangan kau berani mengganggu nama baik Sekarsari!"
Pangeran membentak marah dan mencabut keris, tapi dengan sinar matanya Sultan Agung melarang puteranya, hingga Pangeran terduduk kembali dengan muka merah dan pandangan mata penuh kebencian.
"Jarot, apa maksudmu?"
Sri Sultan bertanya.
"Gusti Sultan,"
Jarot berkata dengan suara keras dan tetap hingga terdengar jelas oleh semua yang hadir,
"sesungguhnya, Gusti Pangeran adalah masih kakak sendiri dari mempelai wanita!"
Semua orang terkesiap dan untuk sejenak keadaan di ruang itu sunyi. Semua mata tertuju kepada sepasang mempelai itu yang kini saling pandang dengan heran. Sri Sultan memandang Jarot dengan heran dan tak senang, lalu cepat bertanya,
"Apa katamu? Alasan apa yang kau pakai untuk memperkuat omongan ini?"
"Hamba persilakan Gusti Ayu Bratadewi tampil ke depan."
"Eh-eh, apa maksudmu?"
Sri Sultan makin terheran.
"Hamba hendak memperlihatkan bukti, Gusti,"
Jawab Jarot tabah. Bratadewi yang hadir pula di situ dan yang sejak tadi sudah mendengar ucapan Jarot dengan hati berdebar, segera maju ke depan dan berlutut di depan Sri Sultan.
"Sekarang hamba mohon juga supaya mempelai wanita dipersilakan duduk di dekat Gusti Ayu Bratadewi dan membuka penutup mukanya supaya paduka dapat memeriksa persamaan mereka,"
Kata Jarot.
Sekarsari yang sejak tadi memandang wajah Bratadewi dengan terkejut dan heran, mendengar kata-kata Jarot ini, tanpa menanti perintah lagi dari Sri Sultan lalu maju dan berlutut di depan Sultan Agung sambil membuka penutup wajahnya. Sultan Agung terbelalak melihat wajah Sekarsari karena gadis yang sedang menyembah ini tiada bedanya sedikitpun dengan Bratadewi ketika masih gadis dan yang pernah menggoncangkan dan mencuri hatinya. Juga lain-lain orang yang berada di ruang itu menahan napas karena baru sekarang mereka dapat melihat persamaan wajah kedua wanita itu. Bratadewi sendiri memandang dengan tercengang dan muka pucat. Wanita setengah tua yang cantik ini menekan dada dengan kedua tangan dan bibirnya gemetar.
"Apa artinya ini?"
Kata-kata ini diucapkan hampir berbareng oleh Sultan Agung dan Bratadewi.
"Gusti Sultan, kalau hamba tak salah sangka, bukankah dulu beberapa belas tahun yang lalu, Gusti Ayu Bratadewi telah kehilangan puterinya yang masih kecil? Bukankah puterinya itu hilang tak meninggalkan jejak dan tak tentu rimbanya?"
"Benar, benar.... kau maksud gadis ini...."
Bratadewi bertanya sambil memandang tajam kepada Sekarsari yang juga memandangnya.
"Sabar, Gusti, hamba sendiripun belum tahu pasti karena belum tahu duduknya peristiwa, Tapi ada seorang yang akan dapat memecahkan rahasia ini."
"Siapa dia?"
Sultan Agung bertanya cepat.
"Bukan lain ialah Paman Galur yang kebetulan hadir pula di sini."
Kini semua mata tertuju kepada Ki Galur yang menjadi pucat dan tubuhnya gemetar karena kini terbukalah matanya akan kemungkinan dan kenyataan yang luar biasa ini.
"Ki Galur, majulah ke sini dan ceritakanlah sejujurnya, siapakah sebenarnya Sekarsari yang kau aku sebagai anakmu."
Ki Galur maju dan menyembah, lalu bercerita.
"Ampunkan, Gusti, tadinya hamba sama sekali tidak ada persangkaan sedikitpun bahwa Sari mempunyai hubungan dengan dalam Keraton. Memang, hamba bukanlah Ayah Sekarsari..."
Suaranya terdengar lemah terharu hingga Sekarsari maju menubruk padanya.
"Ayah..."
Ki Galur mengusap-usap rambut anaknya dan membiarkan gadis itu menangis sambil menyandarkan kepala di pundak Ayahnya.
"Tujuh belas tahun yang lalu, ketika hamba dan bini hamba sedang menjala ikan di bengawan pada senja hari, tiba-tiba hamba mendengar tangis seorang anak kecil. Ternyata anak itu berada dalam sebuah sampan kecil yang hanyut terapung-apung di tengah bengawan. Hamba berdua segera menolongnya dan ternyata dalam sampan itu terdapat seorang anak perempuan berusia kurang lebih satu tahun. Pada waktu itu juga hamba hendak melaporkan hal itu kepada yang berwajib, tapi bini hamba melarangnya karena kami memang tidak punya anak dan dia sayang sekali melihat anak yang cantik itu. Sayang sekali setahun kemudian bini hamba terkena penyakit dan meninggal dunia, hingga hamba harus memelihara anak itu seorang diri. Anak itu ialah Sekarsari yang hamba anggap sebagai anak sendiri. Sekali-kali hamba tidak tahu dan tidak ada persangkaan bahwa anak itu datang dari Keraton, kalau demikian halnya tentu hamba takkan berani tinggal diam saja. Maka ampunkanlah hamba, Gusti."
"Tapi apakah buktinya bahwa Sekarsari adalah puteri yang hilang itu? Bukankah itu hanya suatu hal yang kebetulan saja?"
Tanya Pangeran dengan penasaran.
"Aku juga tidak dapat yakin akan hal ini kalau tidak terdapat bukti-bukti, Jarot. Dapatkah kau membuktikan bahwa gadis ini benar-benar puteri yang hilang itu?"
Jarot berpaling kepada Bratadewi dan berkata,
"Gusti Ayu, dapatlah kiranya paduka ingat tanda-tanda yang ada pada tubuh puteri paduka yang hilang itu dan yang kiranya dapat dijadikan bukti bahwa gadis inilah puteri paduka? Dan tidakkah jiwa seorang ibu itu lebih dapat merasakan untuk mengenal anak sendiri?"
Bratadewi termenung sambil memandang wajah Sekarsari. Ia tak ragu-ragu lagi, tapi apakah buktinya? Ia mengingat-ingat. Jarot berkata lagi,
"Jika kiranya Gusti ayu tak dapat mencarikan tanda bukti, hamba masih mempunyai jalan, yakni hamba akan menangkap penculik-penculik itu dan memaksa mereka mengaku!"
Sambil berkata demikian Jarot memandang tajam ke arah Tumenggung Suryawidura. Tumenggung tua itu kebetulan memandang ke arah Jarot dan ketika mata mereka bertemu pandang, Tumenggung Suryawidura tiba-tiba menjadi pucat karena pandangan mata Jarot menudingnya dengan kata-kata,
"Kau lah penculiknya!"
Tumenggung Suryawidura menjadi gugup dan sambil memandang lemah kepada Bratadewi ia berkata,
"Angger Bratadewi, cobalah ingat-ingat barangkali kau masih ingat akan tanda-tanda anakmu dulu."
Suara ini bagi Bratadewi mengandung permohonan dan belas kasihan. Tiba-tiba biung emban yang selalu berada di belakang Bratadewi untuk melayaninya, berbisik perlahan,
"Gusti ayu, bukankah puteri kita dulu ada tanda tembong biru di telapak kaki kirinya?"
Maka teringatlah Bratadewi dan cepat-cepat ia berkata kepada Sri Sultan.
"Puteri kita yang hilang dulu mempunyai tanda tembong biru di telapak kakinya yang kiri!"
"Betulkah?"
Wajah Sultan Agung menjadi gembira, sementara itu Sekarsari yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka dengan perhatian mendalam, tiba-tiba melepaskan dirinya dari Ki Galur dan langsung berlutut memeluk kaki Bratadewi sambil menyebut dengan suara gemetar,
"Kanjeng ibu..."
Alangkah sedapnya sebutan itu bagi Sekarsari dan Bratadewi.
Namun kesabaran Bratadewi sudah cukup teruji selama belasan tahun itu hingga ia tidak buru-buru mengutarakan perasaan harunya, namun dengan halus ia pegang kaki Sekarsari dan membalikkan telapak kaki kirinya. Betul saja, di tengah telapak kaki itu terdapat tanda belang warna biru yang bundar. Sekarang, Bratadewi tak dapat menahan gelora hatinya lagi. Ia peluk Sekarsari dan menggunakan kedua tangan untuk memegang kepala gadis itu, menatapnya dan memandanginya bagaikan seorang memandangi barang pusaka yang tak ternilai harganya. Sekarsari membiarkan saja mukanya dipegang dan dipandang oleh ibunya, ia balas memandang dan dua wajah yang sama bentuknya itu saling pandang dengan mesra. Perlahan-lahan dari dua pasang mata itu mengalirlah air mata dan bagaikan tertarik oleh besi sembrani mereka saling peluk dan saling cium sambil menangis.
"Anakku... anakku... berilah hormat kepada ramamu."
Sekarsari memandang Sultan Agung yang merasa terharu juga.
"Anakku, majulah ke mari..."
Kata Sri Sultan. Sekarsari maju dan berlutut mencium ujung jari tangan Sultan Agung yang diulurkan.
"Kanjeng rama, hamba menghaturkan sembah bakti..."
Sultan Agung dengan mesra mengusap-usap rambut Sekarsari, sebagaimana tadi dilakukan oleh Ki Galur yang kini memandang kesemuanya itu dengan bibir gemetar dan air mata mengucur membasahi pipinya yang kempot.
"Amangkurat, tidak salah lagi, dia ini adikmu, dia adalah Susilawati yang dulu hilang diculik orang. Ah, baiknya Jarot segera datang membuka rahasia ini, kalau tidak..."
Amangkurat menyembah.
"Kanjeng rama, hampir saja hamba membuat dosa besar. Ah, hamba menyesal dan malu, rama, perkenankan hamba mengundurkan diri."
Ayahnya memberi perkenan dan calon pengantin yang urung kawin itu kembali ke dalam kamarnya dengan murung dan kecewa. Dendamnya kepada Jarot makin menjadi, karena ia menganggap Jarot telah menghancurkan kebahagiaannya, menghalangi citacitanya. Sultan Agung berkata kepada Jarot,
"Jarot, kini aku tahu mengapa kau sampai berani berlaku kurang ajar dan lancang. Ternyata kau benar dan kami berterima kasih kepadamu. Tapi, tadi kau bilang bahwa kau dapat menangkap penculik puteri kami, coba terangkan, siapakah penculik-penculik hina dina itu?"
Jarot memandang Tumenggung Suryawidura yang tampak gemetar ketakutan, tapi ketika ia mengerling ke arah Bratadewi, ia melihat puteri itu menggelengkan kepala.
"Perlukah hamba menyebutkan nama-nama penculik itu, Gusti?"
Biarpun pertanyaan ini ia ajukan kepada Sultan Agung, tepi sebenarnya ia maksudkan minta perkenan dari Bratadewi. Puteri inipun tahu akan maksudnya, maka segera ia berkata,
"Jarot, kurasa tak perlu kau sebutkan nama mereka. Janganlah kegirangan ini ternoda oleh pengaliran darah, biarpun hanya darah penculik-penculik hina. Tuhan telah memberi kurnia kepadaku dengan mempertemukan aku dengan anakku. Kurnia sebesar ini harus dibalas dengan amal perbuatan, maka biarlah amal pertama kulakukan dengan mengampuni mereka yang telah menculik anakku beberapa belas tahun yang lalu!"
Sultan Agung kagum mendengar ucapan selirnya itu dan menyetujui pendapatnya. Maka berdatanganlah para selir dan pembesar memberi selamat kepada orang tua dan anak yang telah bertemu kembali itu. Di antara sekalian pemberi selamat, Tumenggung Suryawidura dan anaknya yang juga menjadi selir Sri Sultan yaitu Maduningrum, memberi selamat dengan mesra dan terharu sekali. Bahkan Maduningrum memeluk dan menciumi ibu dan anak itu. Ketika memeluk Bratadewi, Maduningrum berbisik di telinganya,
"Terima kasih, Dewi."
Hanya tiga orang saja yang tahu atau sedikitnya dapat menduga bahwa Maduningrum dan Ayahnyalah yang dulu menculik Susilawati yang sekarang bernama Sekarsari. Ketika itu Sultan Agung belum menjadi raja, tapi sudah mempunyai beberapa orang selir. Di antaranya yang paling dicinta adalah Bratadewi dan Maduningrum. Tapi selir kedua ini terdesak ke pinggir oleh Bratadewi karena terlahirnya seorang puteri. Maduningrum merasa iri hati karena ia sendiri tidak mempunyai anak. Ia khawatir kalau-kalau cinta suaminya akan dicurahkan seluruhnya kepada Bratadewi dan ia dilupakan. Maka timbullah niat buruk di hatinya. Dan dalam hal ini dibantu oleh Ayahnya yang gila kedudukan.
Kebetulan pada waktu itu di situ terdapat seorang perampok jahat bernama Surobalelo yang terkenal karena perampok yang berani ini seringkali membawa anak buahnya untuk mengacau di kota raja! Kesempatan dengan adanya perampok ini digunakan oleh Maduningrum dan Tumenggung Suryawidura untuk menyuruh kaki tangannya menyerang biung emban yang mengasuh Susilawati dan menculik anak itu. Tentu saja hal ini lalu dihubungkan dengan perampok Surobalelo dan semua orang, termasuk Sultan Agung sendiri, menyangka bahwa penculikan itu adalah perbuatan anak buah perampok itu. Baiknya kaki tangan Suryawidura yang disuruh menculik anak itu masih menaruh belas kasihan dan tidak melempar tenggelam anak itu begitu saja ke dalam bengawan tapi memasukkan anak itu ke dalam sampan kecil dan melepaskan sampan bergerak mengikuti aliran air. Akhirnya Ki Galurlah yang menemukan dan memelihara anak itu. Kemudian Sultan Agung berkata kepada Jarot,
"Jarot, semenjak kau datang banyak hal telah Kau lakukan, sayang sekali tidak semua hal itu baik. Kau telah membela Mataram, kau telah berjasa dengan mempertemukan kembali kami dengan Susilawati, tapi ada juga hal-hal kurang baik yang kau perbuat. Misalnya perkelahian-perkelahianmu itu sungguh menggelisahkan kami. Paman Tumenggung telah melaporkan kepadaku akan hal perkelahianmu dengan Bahar hingga menewaskan jiwa Bahar. Namun, mengingat bahwa Bahar tewas di ujung pusakanya sendiri, kami berpendapat bahwa kau hanya membela diri, dan hal inipun diperkuat pula oleh keterangan Maduraras adik Bahar yang menjadi saksi perkelahian itu. Maka, melihat sikap Maduraras yang membelamu dan atas persetujuan Paman Tumenggung, kami bermaksud memberikan Maduraras untuk menjadi kawan hidupmu. Bagaimana pendapatmu, Jarot?"
Jarot menggigit bibirnya dengan bingung dan diamdiam ia mengerling ke arah Sekarsari yang memandangnya tak acuh.
"Kau boleh menerima usul ini dengan gembira, Jarot,"
Kata Bratadewi dengan ramah.
"Aku dapat meyakinkan kau bahwa Maduraras adalah seorang gadis yang baik, biarpun aku baru sekali bertemu dengan dia. Juga, untuk jasamu mempertemukan aku dengan anakku, katakan saja apa yang hendak kau minta, tentu akan kuberikan padamu!"
Untuk sesaat Jarot tak dapat menjawab, hanya menundukkan muka dengan hati sedih. Kemudian ia menyembah dengan hormatnya dan berkata perlahan,
"Hamba menghaturkan beribu terima kasih atas perhatian dan budi kecintaan Gusti sultan dan Gusti ayu. Sesungguhnya seorang gunung yang bodoh dan tak berharga seperti hamba ini sekali-kali tidak pantas mendapat kurnia paduka. Bukanlah hamba menampik kurnia paduka yang hendak menjodohkan hamba dengan puteri yang terhormat dari Gusti Tumenggung, tapi sesungguhnya hamba tidak ada keinginan untuk beristeri. Juga kepada Gusti ayu yang hendak memberi hadiah kepada hamba, bukan hamba tidak menghargai maksud yang mulia itu, tapi hamba tidak berani meminta sesuatu karena sebenarnya jasa apakah yang telah hamba lakukan? Sebaliknya hamba telah berdosa dan menghalangi dan mengacaukan kebahagiaan puteri paduka, Gusti Roro Sekar... eh, Susilawati. Jika diperkenankan, hanya satu hal yang hendak hamba ajukan sebagai permohonan."
"Apakah permintaanmu itu? Katakanlah,"
Sultan Agung bertanya.
"Tak lain yang hamba mohon ialah keris pusaka Margapati."
Sultan Agung terheran,
"Jarot, mengapa kau suka sekali akan keris itu? Mengapa kau tidak memilih lain pusaka? Di sini banyak sekali pusaka-pusaka ampuh yang lebih baik daripada keris Margapati itu."
"Memang tidak keliru sabda paduka, Gusti. Tapi, hamba berada di Mataram ini sebenarnya ada hubungannya dengan keris itu. Hamba telah menerima tugas untuk menjaga agar keris itu tidak menimbulkan bencana di kerajaan paduka. Kini, karena hamba hendak pergi, akan amanlah hati hamba jika keris maut itu hamba bawa serta."
Mendengar kata-kata terakhir ini, Sekarsari memandang wajah Jarot dan pada matanya terbayang kekecewaan besar.
"Pergi? Jadi kau hendak pergi meninggalkan Mataram, Jarot?"
"Betul, Gusti. Besok pagi hamba hendak meninggalkan Mataram dan pulang ke tempat asal hamba, jika paduka perkenankan."
Sultan Agung menghela napas.
"Aku tak dapat menghalangi kehendakmu, Jarot, sungguhpun kusayangkan sekali kamu ini. Baiklah, besok pagi-pagi akan kukirim keris Margapati padamu."
Setelah menyembah dan menghaturkan terima kasih, Jarot pamit undur. Sekarsari memandang kepergian pemuda itu dengan mata mengembeng air mata. Hal ini tidak terlepas dari pandangan mata Sultan Agung yang waspada dan Bratadewi yang memperhatikan puterinya. Keduanya bertukar pandang dengan penuh pengertian. Pada saat itu, Ki Galur maju menyembah pula dan mohon diri dengan kata-kata terharu,
"Hamba... hamba juga mohon diperkenankan pulang, Gusti, karena... karena hamba tidak... tidak diperlukan lagi kiranya dan... dan hamba ingin berkumpul dengan Gus Jarot untuk saat terakhir ini..."
Orang tua itu tak berani memandang ke arah Sekarsari karena ia yakin bahwa sekali pandang saja akan hancurlah hatinya dan ia takut kalau-kalau ia takkan dapat mengendalikan perasaannya. Sultan Agung berkata ramah,
"Baiklah kalau kau hendak pulang dulu, tapi kau takkan kulepas begitu saja, Paman. Mulai besok, setelah Jarot berangkat, kau tinggal saja di sini menjadi juru taman hingga kau akan selalu dekat dengan Susilawati."
Mata orang tua itu bersinar dan ia memandang kepada Sultan Agung dengan penuh rasa terima kasih. Ketika Ki Galur menyembah lagi dan hendak mundur, tiba-tiba Sekarsari memburu dan memeluknya,
"Ayah... Ayah..."
Bisiknya. Ki Galur kebingungan. Ia ingin sekali memangku dan memeluk gadis yang sejak kecil menjadi buah hatinya itu, tapi tidak berani. Ia hanya berkata gagap,
"Sudahlah, den roro... sudahlah... biarkan hamba pergi..."
Dan dengan cepat ia melepaskan diri lalu mundur. Setibanya di luar istana, orang tua ini tak dapat menahan lagi gelora hatinya dan la berjalan pulang sambil menangis! Ia merasa hancur hatinya karena mulai sekarang ia sudah bukan Ayah Sekarsari lagi!
Buah hatinya itu telah menjadi sekar kedaton, menjadi puteri sultan yang berkedudukan tinggi, dan ia yang sudah tua menjadi sebatangkara. Kesedihannya bertambah karena Jarotpun hendak pergi meninggalkannya, sedangkan sejak pertemuannya pertama kali dengan pemuda itu, ia sudah mengharap-harapkan untuk memungut mantu pemuda itu. Kini semuanya gagal, Sekarsari masuk Keraton, Jarot pulang ke gunungnya dan ia... ia hanya akan menyapu dan mencangkul di tamansari dan harus cukup puas dengan kadang-kadang melihat bayangan Sekarsari sebagai Gusti sekar kedaton, Den Roro Susilawati! Ketika tiba di pondoknya, ia mendapatkan Jarot tengah berdiri termenung sambil memeluk leher Nagapertala yang menggunakan lidahnya menjilat-jilat tangan pemuda itu. Hati Ki Galur makin terharu karena ia tahu betapa hebat penderitaan batin pemuda itu.
"Gus Jarot..."
Jarot sadar dari lamunannya dan ia berpaling.
"Gus Jarot, percayalah, aku menyesal sekali hal ini telah terjadi padamu, Gus..."
Jarot memandang muka tua keriputan yang memandangnya dengan penuh bayangan iba hati itu, dan tak terasa ia tersenyum getir.
"Paman, kau sungguh seorang mulia. Mengapa kau malahan kasihan padaku? O, Paman, bukankah aku yang telah menghancurkan hatimu? Bukankah kau yang kehilangan anakmu? Aku telah berdosa padamu, Paman. Tapi, aku yakin kau akan dapat mengampuni aku, karena sungguh Paman, sampai matipun aku takkan membongkar rahasia Sekarsari seandainya tak terjadi hal perkawinan itu. Betapapun juga, aku tidak akan tinggal diam dan membiarkan Sekarsari kawin dengan kakak sendiri!"
Kembali ada dua butir air mata mengalir turun dari mata Ki Galur ketika ia mengangguk-angguk.
"Kau benar, Gus Jarot. Aku sendiri takkan tinggal diam kalau kuketahui sebelumnya bahwa Sekarsari adalah puteri Sri Sultan."
"Tapi... tapi aku penasaran dan heran, Paman. Bagaimanakah asal mulanya maka Sekarsari sampai hendak kawin dengan Pangeran? Dilamarkah ia? Dan mengapa Sekarsari mau? Dipaksakah kalian oleh Pangeran?"
Suara Jarot terdengar mengandung ancaman. Ki Galur menggeleng-geleng kepala.
"Semua karena salah paham, gus. Karena salah paham, dan sebagian besar karena... salahmu."
"Salahku? Apa maksudmu, Paman? Dalam hal apakah aku bersalah?"
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jarot bertanya penuh penasaran.
"Kalau saja dari dulu kau kawini Sekarsari. Kalau saja dari dulu kau nyatakan perasaan hatimu terhadapnya... ah, takkan begini jadinya..."
Orang tua itu menghela napas kecewa.
"Tapi... tapi aku pernah mengutarakan perasaan hatiku padanya, Paman dan dia... dia bahkan lari pergi meninggalkan aku, dia"
Dia menolak cintaku, Paman."
Kembali Ki Galur menggeleng-geleng kepala dan menghela napas.
"Itulah kalau seorang muda seperti kau tak mengenal hati wanita. Sekarsari telah mengaku terus terang kepadaku dan ia ceritakan segala hal padaku. Pernyataanmu padanya itu terlambat datangnya, Gus Jarot, ia sudah terlampau terluka hatinya, terlampau sakit perasaannya."
"Terluka? Sakit? Mengapa?"
"Inilah pokok permasalahannya dan inilah biang keladi segala perkara ini. Mengapa ia takkan terluka hatinya melihat hubunganmu dengan Maduraras? Ia menganggap kau telah lupa padanya dan bahwa kau cinta kepada Maduraras!"
"Ooo... demikiankah? Mengapa ia menyangka demikian?"
Ki Galur dengan suara yang menyatakan penyesalannya lalu menceritakan betapa Sekarsari melihat Jarot berkuda dengan Maduraras di depannya dan melihat pula betapa Jarot membela Maduraras dari tangan penjahat-penjahat yang dikepalai oleh Bahar. Kini Jarot yang merasa kecewa dan penasaran.
"Tapi... semua itu terjadi bukan karena aku mencinta Maduraras, Paman."
Lalu ia menceritakan kepada orang tua itu betapa Maduraras terluka hingga terpaksa diboncengnya di atas kuda, dan bahwa ketika ia berkelahi dengan Bahar dan kaki tangannya, bukanlah karena menolong dan membantu Maduraras. Ia ceritakan pula bahwa Maduraras adalah adik Raden Mas Bahar! Maka jelaslah bagi mereka berdua duduknya persoalan dan mereka hanya dapat menghela napas menyatakan sayang dan sesal.
"Tapi, kalau hanya karena salah sangka, mengapa Sekarsari tidak menyatakan dengan terus terang padaku? Mengapa ia bahkan menerima lamaran Pangeran?"
"Kau agaknya belum mengenal betul watak Sekarsari, Gus Jarot. Ia memang seorang anak yang menurut dan berbudi halus selama hatinya senang. Tapi, sekali saja tersinggung perasaannya, maka timbullah keangkuhannya yang membuatnya keras kepala. Ini rupanya adalah pembawaan darah ningratnya. Ketika ia merasa bahwa kau sudah tidak suka padanya, ia menjadi angkuh dan sama sekali tidak suka memperlihatkan perasaan hatinya itu kepadamu walaupun di belakangmu ia selalu menangis dengan hati hancur. Semua ini ia ceritakan padaku dengan pesan agar aku tidak menyampaikan hal itu padamu. Ia tidak mau mengalah, lebih baik ia menderita daripada harus memperlihatkan kelemahannya padamu. Melihat kau berkelahi yang disangkanya membela Maduraras itu merupakan pukulan terhebat baginya dan menghancurkan seluruh pengharapannya. Timbullah sakit hati dan bencinya padamu dan ia menaruh dendam, ingin membalas dan membikin sakit hati padamu seperti yang telah kau lakukan padanya."
Jarot mengangguk maklum, hatinya sedih bukan main.
"Tapi, kalau hendak membalas... mengapa justru menerima Pangeran yang dibencinya itu?"
"Itulah! Ketika kau pergi, agaknya Pangeran menggunakan kesempatan untuk minta bantuan ramanya. Aku dipanggil oleh Gusti Sultan dan Sekarsari dipinang dengan resmi. Tentu saja hal ini merupakan kehormatan besar sekali terhadap aku, namun demikian, hatiku sedih karena sesungguhnya Kau lah orang yang kuharap-harapkan untuk menjadi suami Sekarsari."
"Dan Sekarsari menerima pinangan itu?"
Ki Galur mengangguk.
"Ya, dia menerima pinangan itu dengan menangis sehari semalam tanpa berhenti. Aku katakan bahwa jika ia tidak mau, aku takkan memaksanya dan tak seorangpun di dunia ini, biar Gusti Sultan sekalipun, akan dapat memaksanya selama aku masih hidup, tapi ia menerimanya! Ia berkata bahwa setelah kau tidak menghendakinya lagi, baginya tiada bedanya dikawin oleh laki-laki yang mana saja, dan ia tambahkan bahwa demi kebaikanku, lebih baik berbesan dengan Gusti Sultan daripada dengan orang lain."
Kembali Jarot mengangguk-angguk dan di dalam hatinya yang tadinya marah dan sakit hati sekali kepada Sekarsari, kini timbullah penyesalan kepada diri sendiri. Marahnya terhadap gadis itu lenyap, terganti oleh rasa sayang dan iba yang besar. Tapi apa yang dapat ia lakukan? Kini Sekarsari sudah tidak ada lagi di dunia ini, Sekarsari telah lenyap. Yang ada hanya Raden Roro Susilawati, sekar kedaton Mataram yang agung, mulia dan tak mudah didekati sembarang orang!
Demikianlah, hari itu Jarot duduk bercakap-cakap dengan Ki Galur, hatinya pilu dan sedih, lupa makan dan lupa mandi. Sampai hari telah menjadi gelap mereka masih saja bercakap-cakap tentang Sekarsari. Semenjak kembali ke gedung Tumenggungan, Maduraras tinggal bersama Ayahnya. Sebenarnya, Maduraras adalah anak dari isteri pertama Tumenggung Suryawidura, seorang gadis kampung dari Sukowati. Setelah mempunyai dua orang anak yakni Bahar dan Maduraras, Suryawidura menceraikan isterinya itu dan meninggalkan di Sukowati berdua dengan anaknya. Tumenggung itu kawin lagi dan ia mendapat kedudukan baik ketika Sultan Agung yang ketika itu belum menjadi Sultan mengambil Maduningrum sebagai selir. Maduningrum ini adalah anak angkat Suryawidura yang tadinya hendak diambil selir sendiri, tapi ia rela memberikan gadis cantik itu kepada Sultan Agung,
Karena ia mengharap kelak mendapat kedudukan yang baik apabila Pangeran Mas Rangsang telah diangkat menjadi sultan. Namun seringkali Suryawidura datang menengok kedua anaknya di desa Sukowati karena dari selir-selir lain ia tidak mendapat anak. Setelah agak besar, Bahar dibawa ke Tumenggungan, tapi Maduraras tidak mau ikut kakaknya, ia lebih suka tinggal dengan ibunya. Karena Sukowati terpisah hanya dekat dari Karta, maka Bahar seringkali datang mengunjungi ibu dan adiknya, hingga hubungan kakak beradik itu erat sekali. Lebih-lebih Maduraras, ia mencinta kakaknya hingga ketika ibunya meninggal, ia menganggap Bahar sebagai orang tua pula yang selalu ditaatinya, Namun ia tetap tidak mau ikut ke Tumenggungan karena isteri Tumenggung sering menyakiti hatinya. Ia tetap tinggal di Sukowati.
Ketika Bahar datang minta pertolongannya untuk menggoda Jarot, ia tak dapat menolak, walaupun dalam hati ia tidak setuju akan perbuatan itu. Setelah Bahar tewas dalam perkelahiannya dengan Jarot, Maduraras diharuskan tinggal di Tumenggungan oleh Ayahnya. Ketika dalam percakapan tentang Jarot yang hendak diadukan kepada raja oleh Tumenggung terlihat betapa Maduraras membela pemuda itu, tahulah Tumenggung Suryawidura apa yang terpendam dalam gadisnya. Ketika didesak, mengakulah Maduraras bahwa ia mencinta Jarot. Kenyataan inilah yang mendorong Tumenggung Suryawidura untuk meminjam tangan Sultan Agung menjodohkan anaknya kepada Jarot, tapi sungguh di luar persangkaannya, usul ini ditolak mentah-mentah oleh Jarot. Maka ia pulang dengari wajah muram. Kedatangannya disambut oleh Maduraras yang telah mendengar tentang perkawinan Sekarsari.
"Kanjeng rama, bagaimana dengan perkawinan Sekarsari dan Gusti Pangeran? Ramai dan indahkah?"
Tumenggung Suryawidura hanya menggeleng-geleng kepala, wajahnya makin muram.
"Apakah yang terjadi, kanjeng Rama? Mengapa rama bermuram durja?"
Dengan cekatan dan manis Maduraras menyiapkan minuman Ayahnya. Tumenggung Suryawidura menghela napas.
"Tidak ada perkawinan..."
"Apa... apa maksudmu, Rama?"
"Gadis yang kau sangka Sekarsari itu, sebenarnya ialah Gusti sekar kedaton, Den Roro Susilawati!"
Maduraras terkejut dan memandang Ayahnya dengan matanya yang lebar itu terbelalak.
"Sekar kedaton? Bagaimana maksudmu, Rama?"
"Jarot yang merusak segalanya. Perkawinan sedang berlangsung, tiba-tiba saja dia datang mengacaukan segala hal!"
Berkata Tumenggung Itu dengan sebal.
"Kang Mas Jarot?? Ia sudah kembali? Dan ia datang ke pesta perkawinan Sekarsari? Ya, Gusti! Lalu apakah yang terjadi, Rama?"
"Jarot membongkar rahasia... eh, rahasia Sekarsari yang ternyata puteri dari Bratadewi, jadi puteri Gusti Sultan sendiri dan masih adik sendiri dari Pangeran. Tentu saja perkawinan dibatalkan."
"Ya Jagat Dewa Batara! Jadi Sekarsari itu puteri Gusti Sultan malah... dan Kang Mas Jarot yang membongkar rahasia itu? Bagaimana ceritanya, Rama?"
Maduraras sangat ingin tahu.
"Dulu, ketika masih berusia satu tahun lebih, puteri Susilawati diculik berandal pengacau dan... dan dihanyutkan di bengawan dalam sebuah sampan. Sampan itu ditemukan oleh Ki Galur yang lalu memelihara anak itu dan diberi nama Sekarsari. Entah bagaimana, Jarot dapat membongkar rahasia ini hingga ia membatalkan perkawinan Pangeran."
"Dan... dan di mana Sekarsari kini berada dan dimana pula adanya Kang Mas Jarot?"
"Jangan kau sebut-sebut Sekarsari lagi, Raras. Dia adalah Gusti Den Roro Susilawati. Tentu saja ia tinggal di Keraton dan Jarot..."
"Bagaimana Kang Mas Jarot, Rama? Di mana dia??"
"Ah, anak kurang ajar itu! Ia... ia menolak ketika hendak dijodohkan dengan kau... dan ia bahkan hendak pergi meninggalkan Mataram besok!"
Wajah Maduraras memucat.
"Apa? Ia hendak meninggalkan Mataram? Meninggalkan Sekarsari?"
Dan gadis itu lari ke dalam kamarnya, diikuti pandang mata heran dan kasihan dari Ayahnya. Di dalam kamarnya Maduraras menangis sedih. Ia meratap menyebut nama ibu dan dewa.
"Ampunkan hamba, dewa yang agung, apakah yang telah hamba perbuat??"
Ia memukul-mukul dada sendiri dengan menyesal.
"Aku telah mencelakakan kehidupan dua orang manusia. Mas Jarot, kau benar-benar seorang, jujur. Kau laki-laki setia dan jantan. Cintamu terhadap Sekarsari suci dan mulia. Sekarang kau pergi membawa luka di hati yang mungkin akan mengantarmu ke lubang kubur! Ah, semua ini karena aku, karena aku..."
Demikianlah, sampai hari telah gelap Maduraras tidak keluar dari kamarnya, menangis dan menyesali perbuatan sendiri. Ketika Ayahnya mengetuk pintu kamarnya dan menyuruh ia makan malam, ia jawab bahwa ia tidak mau makan dan mohon jangan diganggu malam itu. Setelah hari menjadi gelap, Maduraras bangun dari pembaringan, mengambil pusaka ibunya yang menewaskan Bahar dulu lalu menyelipkan keris itu di sabuknya, lalu dengan hati-hati ia keluar dari jendela kamarnya, lari ke dalam gelap! Gadis yang terdidik baik dalam hal keperajuritan oleh Ki Ageng Bendomiring di Sukowati itu lari di dalam gelap menuju ke alun-alun! Setelah tiba di alun-alun dan hendak memasuki pintu gerbang Keraton, ia melihat dua orang penjaga di situ.
Dengan hati-hati Maduraras memutari tembok yang mengelilingi Keraton dan setibanya di belakang ia mengeluarkan tali yang telah tersedia dan yang tadi dibawanya. Ujung tali itu ia pasangi kayu bercabang yang kuat kemudian ia ayun kayu itu ke atas tembok. Beberapa kali kayu itu jatuh kembali hingga Maduraras gemas dan menggigit bibirnya. Ia ulangi dan ulangi lagi usahanya. Akhirnya ia berhasil dan kayu bercabang itu dapat terkait di atas tembok. Ia tarik-tarik tambang yang menggantung ke bawah dan mendapat kenyataan bahwa kaitan itu kuat, ia lalu merayap naik dengan menggunakan tambang itu! Hal ini mudah saja ia lakukan karena ketika kecil ia bersama Bahar sering sekali berlomba menaiki pohon melalui tambang, Dengan cara demikian pula ia menuruni tembok itu dan kakinya menginjak taman sari.
Sementara itu, seperti halnya Jarot dan Maduraras, Sekarsari juga merasa sedih dan menyesal. Seperginya Jarot, pesta dilangsungkan, hanya saja sifat pesta itu berobah, dari pesta perkawinan menjadi pesta penyambutan untuknya. Para ledek yang terpandai didatangkan untuk mengadakan pertunjukan dan Sekarsari dihujani makanan-makanan lezat yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya, apa pula dirasainya. Setelah pesta berakhir, ibunya mengajak ia mengaso di tamansari. Bratadewi meminta anaknya menceritakan segala pengalamannya dan Sekarsari walaupun merasa sayang dan bahagia mempunyai ibu yang demikian cantik dan bijaksana serta halus tutur katanya, tetapi masih merasa canggung dan kaku dan sikapnya terlalu menghormat hingga beberapa kali ditegur oleh Bratadewi.
"Susilawati, ingatlah, aku ini ibumu, ibu kandung yang selalu merindukan kau, nak. Jangan anggap aku seorang priyayi agung yang harus kau hormati sedemikian itu, Wati. Aku ibumu... ibumu sejati..."
Dan untuk kesekian kalinya Bratadewi memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang hingga Sekarsari merasa sangat terharu. Dengan sikap yang halus Bratadewi bertanya,
"Wati, karena kau anakku dan aku ibumu, janganlah ada rahasia di antara kita, nak. Katakan saja terus terang padaku dengan hati yang berani dan yakin bahwa aku selalu tentu akan membela dan menolongmu. Coba katakan, nak, adakah, adakah kau mempunyai... hubungan sesuatu dengan... Jarot?"
Tiba-tiba tubuh Sekarsari menggigil dan wajahnya pucat.
"Tidak, kanjeng ibu!"
Jawabnya tegas, lalu mengatupkan bibirnya erat-erat. Bratadewi menatap wajah anaknya dengan pandangan tajam.
"Betul-betulkah, anakku? Ingat. Dalam hal ini, mata orang tua lebih tajam daripada mata anak muda, Wati. Tidakkah kau menaruh... cinta kepadanya?"
Biarpun dengan bibir gemetar, dapat juga Sekarsari menjawab tegas,
"Tidak, ibu! Kalau benar saya mencintanya, mengapa saya mau menerima pinangan Pangeran Amangkurat?"
Ibunya mengangguk-angguk, tapi keningnya dikerutkan.
"Aku lihat tadi bahwa kau sama sekali tidak merasa bahagia ketika hendak dilakukan upacara perkawinan,"
Katanya perlahan. Sekarsari tak menjawab, hanya menundukkan mukanya karena tanpa dapat ditahan lagi dua butir air mata turut mengalir di kedua pipinya dan ia hendak menyembunyikan air mata itu dari pandangan ibunya. Biarpun cuaca telah mulai gelap, Bratadewi masih dapat melihat keadaan puterinya, maka ia berdiri dan untuk sesaat mengusap-usap rambut kepala Sekarsari, lalu berkata,
"Susilawati, anakku. Sudahlah kau mengaso. Kau tentu lelah, kamarmu berada di sebelah kiri kamarku, nak, itu yang dipasangi janur dan kembang di pintunya. Aku sebagai ibumu hanya berdoa siang malam semoga kau selalu berbahagia, nak."
Bukan main terharu hati Sekarsari mendengar katakata ini yang belum pernah didengarnya dari mulut seorang ibu, maka ia menubruk ibunya dan memeluknya sambil menyembunyikan mukanya di dada ibunya.
"Wati, jangan khawatir, anakku, apapun yang terjadi, ibumu selalu berada di pihakmu. Nah, tidurlah, nak, besok saja kita bercakap-cakap lagi."
Dan Sekarsari memasuki kamarnya yang serba indah dengan sebuah pembaringan yang mewah dan empuk, dihias alas yang indah dan ditaburi bunga-bunga harum. Namun semua itu tak dapat melenyapkan kesedihan dan keharuan yang memenuhi dadanya dan membuat ia membanting diri di atas pembaringan sambil menangis tersedu-sedu! Pada menjelang tengah malam belum juga ia dapat tidur. Tiba-tiba terdengar pintu kamarnya berbunyi dan dengan perlahan daun pintu itu terbuka. Sekarsari menyangka bahwa yang datang tentu ibunya, maka ia pura-pura meramkan mata dan tidur. Tapi alangkah terkejutnya ketika ia merasa tangannya dipegang orang dengan kuat-kuat dan orang itu memanggil dengan perlahan tapi dengan tegas,
"Sari, bangunlah!"
Ketika ia membuka matanya hampir saja ia berteriak karena heran dan kaget. Yang berdiri di situ dengan tangan kanan memegang keris dan tangan kiri memegang tangannya dan dengan wajah keren serta mata berapi bukan lain adalah Maduraras!
"Kau... kau... Maduraras??"
Mulut Maduraras menyeringai dengan mengandung hinaan.
"Hm, kau masih mengenal aku? Hayo bangun dan ikut dengan aku ke taman!"
Sambil berkata demikian Maduraras menarik tangan Sekarsari dan memaksanya keluar memasuki taman. Hawa pada malam itu dingin dan bulan bersinar terang. Setelah berada jauh dari kamar, Sekarsari bertanya,
"Maduraras, apa yang kau kehendaki?"
"Aku? Hm, aku datang hendak mengambil nyawamu!"
Tiba-tiba Sekarsari tertawa dengan suara tawa yang membuat bulu tengkuk Maduraras berdiri.
"Kau hendak membunuhku? Mari, cepat-cepat, Maduraras, ini dadaku, tusuklah dengan kerismu itu supaya cepat mengenai jantungku. Kau yang telah merusak hidupku, yang telah merampas kebahagiaan hidupku, yang telah membuat aku bosan hidup, Kau kira kau akan dapat menyiksa dan menakuti aku dengan kematian? Ini, Maduraras, bunuhlah aku, aku akan berterima kasih padamu!"
Sekarsari mengangkat-angkat dadanya dan mendekati Maduraras yang bertindak mundur dengan heran dari bingung.
"Kau... kau... apa maksudmu, Sari?? Masih cintakah kau kepada Kang Mas Jarot??" '
"Jangan sebut-sebut nama Jarot lagi! Kau telah merampasnya dariku! Kau telah memisahkan kami dan kau telah berhasil menggagalkan cita-cita kami. Ha, sekarang aku tahu, kau datang karena kau ditampik oleh Mas Jarot? Ha-ha-ha! Sungguh lucu! Kau memikat Jarot, kau memisahkannya dariku, setelah kau berhasil, kini kau sendiri ditampik olehnya! Ha-ha! Alangkah lucunya, aku mendengar penampikan Jarot dengan telingaku sendiri!"
"Sari, jawablah terus terang! Kenapa kau menerima pinangan Pangeran Amangkurat? Kalau kau benar masih cinta kepada Jarot, mengapa kau terima pinangannya?? Butakah matamu bahwa Jarot tidak cinta padaku, bahwa ia hanya mencinta kau seorang? Gilakah kamu maka kau mau menerima pinangan orang lain? Tidak tahukah kau bahwa hal itu menghancurkan hati Mas Jarot? Ah, Sari, di manakah kecerdasan otakmu?"
"Apa... apa katamu?? Mas Jarot tidak mencintamu?"
Tiba-tiba Maduraras melempar kerisnya ke tanah dan ia menangis.
"Aku... akulah yang tak tahu diri, Sari. Aku telah berdosa. Berdosa karena cintaku padanya. Aku... aku cinta padanya, Sari. Maka aku tidak tahan melihat ia sengsara, melihat dia hancur hatinya. Aku rela mengorbankan kebahagiaanku sendiri asalkan dia bahagia, Sari. Kau tahu, aku telah kehilangan kakakku yang kucinta, tapi kematiannya di tangan Mas Jarot tak dapat menghapus cintaku kepadanya. Aku telah mengorbankan kakakku, tapi ternyata Mas Jarot tak dapat membalas cintaku, buktinya dia telah menolakku. Kau..., kau seorang yang dicintanya, tapi kau bahkan menyakiti hatinya. Ah, mengapa hatimu sekejam itu, Sari?"
"Aku... aku masih tidak percaya, Raras."
Tiba-tiba Maduraras meloncat bangun dan memungut kerisnya, sikapnya menjadi keras dan beringas lagi.
"Sari, mudah saja bagiku untuk membunuhmu lalu membunuh diriku sendiri di sini. Tapi apa gunanya? Mas Jarot takkan bahagia karenanya. Bahkan mungkin ia akan makin bersedih. Kau tidak percaya bahwa ia cinta padamu? Ah, kau orang bodoh dan buta! Dia besok pagi-pagi hendak pergi, Sari. Pergi dengan membawa luka di hati. Ayoh, ikutlah aku. Kau harus tolong padanya!"
"Ikut padamu? Di tengah malam begini? Ke mana?"
"Ke rumah Jarot!"
"Ah, aku tidak sudi merendahkan diri macam itu!"
Maduraras memutar tubuh dan tangannya melayang. Sebuah tamparan keras memukul pipi Sekarsari.
"Aduh sombongnya. Sikapmu yang buruk macam inilah yang menyakiti hati Mas Jarot. Pendeknya, mau atau tidak, kau harus ikut, biarpun aku harus menyeretmu seperti domba!"
Akhirnya dengan cemberut Sekarsari menurut juga. Dengan susah pAyah Sekarsari merayap di tambang dengan bantuan Maduraras dan mereka lalu berjalan menuju ke kampung Ki Galur, Setelah tiba di dekat pondok Ki Galur, tiba-tiba Sekarsari berhenti.
"Jalan terus, Sari."
Maduraras mendesak.
"Tidak, Raras. Kau harus terangkan dulu padaku. Apa maksudmu membawaku ke sini? Apa yang harus kulakukan di hadapan Mas Jarot?"
"Kau harus mencegah kepergian Mas Jarot. Kau harus menyatakan cintamu kepadanya dan kau harus menerangkan alasanmu mengapa kau menerima pinangan Pangeran. Kau harus mengobati luka di hatinya karenamu. Dan kalau dia berkeras hendak pergi, kau harus menyatakan hendak ikut padanya ke mana ia pergi!"
"Tapi, Raras..."
"Tidak ada tapi! Aku telah berdosa. Berdosa kepada Mas Jarot dan kepadamu. Aku telah memisahkan kalian, maka sekarang aku harus memaksa kau untuk memperbaiki hubungan kalian kembali. Siksaan hatiku baru lenyap kalau kalian sudah bersatu kembali, Sari. Turutilah permintaanku kali ini, Sari, demi kebaikanmu sendiri, kebaikan Mas Jarot, dan juga kebaikanku!"
Sekarsari berjebi dengan pandang menghina.
"Hm, kau hendak menebus dosa dengan jasa baik? Tapi ketahuilah, Raras, usaha yang dipaksakan bukanlah jasa baik lagi, dan dosamu takkan tertebus demikian mudah."
Maduraras menundukkan muka karena kata-kata itu menikam jantungnya, kemudian ia menghela napas.
"Sari, kau benar. Aku memang ingin menebus dosa, ingin melihat Mas Jarot bahagia dan juga ingin melihat kau... bahagia pula, Sari. Tapi, agaknya kau tidak suka, Sari. Salahkah dugaanku bahwa kau mencintai Mas Jarot? Benar-benarkah kau begitu rendah budi dan lebih memberatkan kedudukanmu sebagai sekar kedaton daripada pertalian kasihmu dengan Mas Jarot?"
Sekarsari menarik napas dalam.
"Biarlah aku turuti kehendakmu, Raras. Tapi aku akan malu sekali kalau sampai Mas Jarot tidak mau menerimaku dan kalau demikian halnya, maka semua ini salahmu, Raras. Percayalah, kalau sampai aku terhina kau akan lihat bahwa Sekarsari bukanlah seorang gadis lemah sebagaimana kau sangka, pembalasanku akan lebih hebat dari segala pembalasan yang kau harapkan!"
Maka mereka berjalan lagi menuju ke pondok Ki Galur. Dari jauh terlihat oleh mereka bahwa Jarot sedang duduk seorang diri di atas bangku bambu di luar rumah, duduk termenung sambil menopang dagu.
"Kebetulan dia duduk seorang diri, mungkin sedang memikirkan kau, Sari. Pergilah kau menemuinya, aku hendak bersembunyi!"
Kata Maduraras. Sekarsari merasakan betapa dadanya berdebar keras. Ketika ia melangkah maju, ia merasa kedua kakinya gemetar. Jarot agaknya tak tahu akan kedatangannya dan pemuda itu tetap duduk tak bergerak bagaikan patung batu.
"Mas Jarot...!"
Bibir Sekarsari menggigil ketika menyerukan panggilan ini. Jarot tersentak kaget lalu menengok. Matanya terbelalak heran, lalu dengan kedua tangannya ia kucek matanya karena ia tak percaya bahwa yang berdiri di hadapannya itu benar-benar Sekarsari. Kemudian ia berdiri dan sambil membungkuk hormat ia berkata,
"Oh, Den Roro Susilawati! Mengapa paduka datang pada waktu begini?"
Pertanyaan ini diucapkan dengan suara yang sangat menghormat hingga Sekarsari meramkan mata karena kata-kata itu bagaikan keris karatan menusuk hatinya, lebih-lebih sebutan Den Roro itu! Ketika ia membuka kembali matanya, pandangan matanya menjadi suram karena mata itu penuh dengan air mata.
"Mas Jarot... jangan sebut aku seperti itu"aku... aku tetap Sekarsari, Mas..."
Jarot tersenyum pahit.
"Hamba tidak berani berlaku kurang ajar. Paduka adalah sekar-kedaton dan puteri Gusti Sultan. Sedangkan hamba... hamba... hanya seorang gunung."
"Mas Jarot, mengapa kau begitu kejam? Kau menyakiti hatiku..."
"Hamba hanya berkata sebenarnya."
"Mas, kudengar kau hendak pergi? Pergi meninggalkan Mataram, meninggalkan aku?"
Dari tadi Sekarsari menahan-nahan air mata yang hendak turun, kini titik-titik air mata itu tak dapat tertahan lagi, menuruni kedua pipinya yang halus. Jarot menelan ludah melihat gadis pujaan hatinya itu menangis di hadapannya tapi ia menahan perasaan hatinya sedapat mungkin.
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, hamba hendak pulang ke gunung tempat asal hamba."
"Mas Jarot, jangan kau pergi, Mas. Jangan kau tinggalkan Sekarsari... aku..."
Jarot tak dapat menahan gelora hatinya lebih lama lagi. Ia maju selangkah dan berkata terharu,
"Sari... benarkah kata-katamu ini? Benarkah kau masih tetap Sekarsari bagiku? Benarkah kau menghendaki agar aku tidak pergi meninggalkanmu?"
"Benar, Mas,... aku... takkan bahagia jika kau pergi, Mas..."
Jarot maju dan memegang tangan Sekarsari.
(Lanjut ke Jilid 06)
Keris Pusaka dan Kuda Iblis (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
"Sari, bilanglah terus terang. Cintakah kau padaku, Sari?"
Sekarsari menundukkan muka dengan wajah merah.
"Mas, belum pernah aku mencinta orang seperti aku mencintamu. Aku... aku terima pinangan Pangeran karena kukira..., karena..."
Jarot menggunakan telunjuknya menyentuh bibir Sekarsari.
"Diam, Sari. Aku sudah tahu semua itu. Tak perlu Kau ulangi lagi."
Untuk sejenak mereka diam, kemudian Sekarsari berkata,
"Mas Jarot, berjanjilah bahwa kau takkan pergi meninggalkan aku."
Jarot menghela napas.
"Menyesal sekali hal ini tak dapat kubatalkan, Sari. Aku telah mengajukan permohonan kepada Gusti Sultan untuk pergi dan telah mendapat perkenan. Pula, untuk apa aku tinggal terus di Mataram dan menyiksa hatiku dengan melihat kau sebagai puteri sekar-kedaton dan aku seorang kawula biasa?"
Sekarsari melepaskan diri dari pelukan Jarot.
"Tapi, bukankah kita saling mencinta, Mas? Aku akan minta kepada kanjeng rama untuk menahanmu, di kota raja. Apa salahnya kalau aku menjadi sekar-kedaton, Mas?"
Jarot tersenyum pahit.
"Lupakah kau bahwa di antara kita ada dinding tebal dan tinggi yang menghalang, Sari? Sebagai rakyat biasa, tak mungkin aku dapat mendekatimu, dan hal ini hanya akan merupakan derita dan siksa bagiku. Lebih baik aku pergi, Sari, pergi dari sini dan tidak mengganggu penghidupanmu yang mulai menanjak tinggi. Kau lupakanlah saja Jarot orang gunung yang miskin itu."
"Tidak, Mas, tidak! Kalau kau tetap hendak pergi, aku akan ikut, Mas. Bawalah aku serta ke gunungmu!"
Jarot menggeleng-geleng kepala.
"Tak mungkin, Sari."
Tiba-tiba dari dalam gelap meloncat bayangan seorang wanita dan wanita itu berkata keras,
"Mengapa tidak mungkin?"
Jarot heran dan terkejut melihat Maduraras.
"Mengapa tidak mungkin?"
Sekali lagi Maduraras mengulangi pertanyaannya.
"Mas Jarot, mengapa kau demikian pengecut? Sekarsari telah menyatakan cinta sucinya kepadamu, bahkan ia bersedia mengikutimu ke mana saja kau pergi. Mengapa kau tidak mau membawanya? Takutkah kau? Demikian tipiskah rasa cintamu kepada Sekarsari?"
Jarot terbelalak heran. Serasa mimpilah ia mendengar kata-kata Maduraras ini. Mulai mengertilah ia mengapa Sekarsari dapat keluar dari Keraton pada tengah malam itu. Tak tahunya semua ini adalah Maduraras yang mendalangi di belakang! Tapi, mengapa Maduraras membela mati-matian kepada Sekarsari? Inilah yang membuat ia tak mengerti sedikitpun.
"Kau, Maduraras? Kau datang bersama Sekarsari?"
"Ya, aku yang meminta Sekarsari menemuimu. Karena aku tahu bahwa kau hanya mencinta Sekarsari dan bahwa Sekarsari hanya mencinta padamu seorang! Aku telah berbuat salah, aku telah berbuat dosa. Kini bersihkanlah dosaku itu dan bawalah Sekarsari untuk menjadi isterimu!"
Jarot mengangguk-angguk kagum.
"Jadi kau... kau menculik Sekarsari dari dalam Keraton? Kau lakukan itu hanya untuk mempertemukan kembali Sari dengan aku?"
"Ya, dan sudahlah jangan banyak rewel lagi, kau bawalah Sekarsari pergi ke tempat asalmu dan hiduplah beruntung dengan dia di sana. Tentang keributan di sini, biarleh aku yang menanggung. Akan kuakui bahwa aku yang melarikan Sekarsari."
"Dan kalau mereka menanyakan di mana aku berada?"
Sekarsari bertanya heran. Bibir Maduraras yang manis tersenyum mengejek.
"Apa susahnya? Aku bisa bilang bahwa aku telah membunuhmu, telah membuang mayatmu di bengawan! Apa sukarnya? Mereka takkan menyangka bahwa kau ikut pergi dengan Mas Jarot!"
"Tapi Raras! Mereka akan menghukummu! Mereka akan membunuhmu untuk itu!"
Maduraras tersenyum, kini senyum getir.
"Apa salahnya? Aku... aku hidup sebatangkara, biar aku dihukum mati sekalipun, takkan ada orang yang menangisiku, takkan ada orang yang kehilangan, bahkan... bahkan aku akan lebih cepat berjumpa dengan ibu dan Mas Bahar..."
Tiba-tiba di bawah mata gadis pemberani itu tampak air mata menitik turun.
"Raras... Raras...!"
Tiba-tiba Sekarsari menubruk dan memeluknya dengan mesra. Kedua orang gadis itu berpelukan dan lenyaplah segala ganjalan hati.
"Lihatlah, Mas Jarot. Tidak kasihankah kau kepadanya? Kalau kau meninggalkan dia, ah... aku tak tahu apa yang akan terjadi padanya. Bawalah dia serta, Mas Jarot..."
Maduraras berkata dengan suara penuh permohonan. Jarot menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang.
"Raras, Sari, dengarlah baik-baik. Aku sangat beruntung mendengar pernyataan Sari tentang kasihnya kepadaku, dan aku sangat terharu dan berterima kasih atas pembelaanmu yang mulia, Raras. Tapi, untuk membawa lari Sekarsari, ah, ini tak mungkin kulakukan. Pertama kau akan terhukum dan tertimpa bencana karenanya. Kedua, Gusti Ayu Bratadewi akan sangat kehilangan dan hatinya akan hancur jika Sekarsari lenyap. Ketiga, aku tak dapat melakukan hal ini karena perbuatan melarikan Sekarsari ini sangat rendah dan tidak menaruh hormat kepada Gusti Sultan, Padahal Gusti Sultan sangat kupandang tinggi dan kuhormati karena kebijaksanaannya. tidak, tidak! Aku tak sampai hati melukai perasaan dan menyinggung kehormatannya."
"Kalau begitu pendapatmu, bagaimana baiknya, Mas? Lebih baik kau jangan pergi dan kau kawin dengan Sekarsari di sini,"
Kata Maduraras. Jarot mengerutkan keningnya.
"Kawin? Mudah saja kau bicara. Kau tahu siapa Sekarsari dan siapa aku! Kalau saja Sekarsari bukan sekar-kedaton dan aku bukan orang gunung!"
"Biar aku akan membantu mengusahakan dan kalau perlu, Sari bisa membujuk ibunya atau ramanya sekalipun!"
Maduraras mendesak.
"Tak mungkin demikian, Raras."
Kedua gadis itu menjadi gelisah dan putus asa, mereka tak tahu harus berbuat dan berkata apa, maka hanya isak mereka saja yang terdengar.
"Sudahlah, jangan kalian menangis dan bersedih. Percayalah, Sari, kalau memang Dewa menghendaki dan kalau memang kita berjodoh, pasti kelak kita bertemu kembali. Sekarang kalian kembalilah, jangan sampai di dalam Keraton kehilangan kau, Sari. Jangan kau gelisah, Sari, aku bersumpah bahwa selama hidup aku takkan kawin dengan orang lain dan bahwa aku takkan melupakan kau, Raras. Ketahuilah, aku besok berangkat pulang ke tempat asalku, ialah di desa Wangkai, di Tengger utara. Di sana pasti aku dapat ditemukan. Nah, selamat berpisah sampai jumpa kembali, Sekarang kalian kembalilah!"
Karena malam telah hampir berganti fajar, terpaksa Sari dan Maduraras kembali, setelah memandang kepada Jarot dengan sayu. Jarot mengikuti kedua gadis yang berjalan dengan lemah itu dengan pandangan matanya. Hatinya bagaikan disayat pisau ketika terdengar betapa kedua orang gadis itu berjalan sambil menangis. Pada malam hari itu tidak hanya terjadi hal-hal ganjil seperti yang telah diceritakan di atas, tapi ada pula terjadi hal-hal lain yang tak kurang ganjilnya. Di dalam kesunyian malam, tampak bayangan seorang laki-laki berjalan dengan hati-hati dan dengan gerakan-gerakan bagaikan seorang pencuri, memasuki kamar pusaka di mana tersimpan kumpulan senjata dan pusaka Sri Sultan. Bayangan itu ternyata adalah Pangeran Amangkurat.
Pek I Lihiap Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo