Keris Pusaka Dan Kuda Iblis 6
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Pangeran itu mengeluarkan sebilah keris yang dicabutnya dari sarung keris, kemudian ia menurunkan keris pusaka Margapati dari tempatnya dan mencabut keris pusaka itu. Ternyata keris pusaka itu bentuk dan warnanya sama benar dengan keris yang dibawanya tadi. Dengan cepat ia menukar kedua keris itu, keris pusaka Margapati ia masukkan ke dalam sarung kerisnya sendiri yang terselip di pinggang, sedangkan keris yang lain ia masukkan ke dalam sarung Margapati! Setelah melakukan hal yang ganjil itu, Pangeran Amangkurat segera meninggalkan kamar itu dengan senyum iblis menghias di mulutnya. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, delapan orang penunggang kuda datang mengunjungi pondok Jarot. Mereka itu bukan lain ialah Senopati Ki Ageng Baurekso, Tumenggung Suro Agul Agul, Adipati Mandurorejo, Adipati Uposonto, dan beberapa panglima lain.
Mereka datang untuk menghaturkan selamat jalan kepada Jarot, pahlawan muda yang telah bertempur membela Mataram dan yang telah berjuang bahu-membahu dengan mereka. Hampir semua panglima Mataram merasa suka kepada Jarot. Selain hendak memberi selamat jalan, juga Ki Ageng Baurekso sengaja diutus oleh Sultan Agung untuk mengantarkan keris pusaka Margapati kepada Jarot. Kemudian Jarot menaiki kudanya, Naga pertala, dan setelah sekali lagi menyatakan terima kasihnya kepada mereka yang datang mengantar, ia membedal kudanya menuju ke timur. Keris pusaka Margapati terselip, di pinggangnya. Berbeda dengan ketika datang, kali ini Jarot pergi dengan berkuda dan berpakaian gagah. Juga di dalam dadanya telah terjadi perubahan hebat.
Kalau dulu ketika datang ia merupakan seorang pemuda yang jenaka dan bahagia, adalah sekarang ia pulang membawa hati yang luka. Ketika ia melalui sepanjang tepi bengawan, ia berhenti karena ia berniat untuk membuang keris pusaka maut itu ke dalam kedung bengawan yang dalam dan angker agar keris itu terbenam dan tiada kesempatan untuk memuaskan hausnya akan darah manusia. Ia turun dari kudanya dan mendekati kedung yang curam di mana airnya tampak berputaran merupakan ulekan yang dalam mengerikan. Ia mencabut keris pusaka Margapati dari sarungnya. Tiba-tiba ia menjadi pucat dan menahan napas. Ia pandang keris itu dengan tajam dan penuh perhatian. Memang, keris itu sama benar dengan keris Margapati, baik warna maupun bentuk dan pamornya tapi dari mata keris itu tiada sinar kematian yang bercahaya bagaikan api.
"Celaka, ini bukan Margapati !"
Jarot merasa penasaran dan marah. Ia lari dan mencemplak kudanya, tapi sebelum kudanya bergerak, ia meloncat turun lagi. Ia meremkan mata dan bibirnya berkemak-kemik, pikirannya menimbang-nimbang. Kemudian ia tersenyum dan menarik napas panjang.
"Ah, memang sudah kehendak Dewata. Mataram masih akan mengalami banyak malapetaka. Tapi aku yakin bahwa Gusti Sultan Agung akan dapat menguasai dan memusnahkan pengaruh jahat keris itu dengan kebijaksanaan dan kesaktiannya. Hanya aku khawatirkan kalau-kalau keris itu terjatuh ke tangan Pangeran Amangkurat!"
Demikian ia termenung dan memikir seorang diri. Kemudian ia menaiki kudanya kembali dan membalap menuju ke arah timur dari mana sang surya mulai menampakkan dirinya. Ia berlomba dengan air bengawan yang juga mengalir ke timur tiada hentinya. Pada malam hari itu, setelah meninggalkan Jarot, Sekarsari dan Maduraras kembali ke Keraton. Kali ini mereka melalui gerbang depan. Dua orang penjaga mencegat mereka dengan bentakan, tapi ketika melihat Sekarsari, segera mereka memberi hormat.
"Paman penjaga, biarkan kawanku ini masuk bersamaku,"
Kata Sekarsari dan kedua penjaga itu hanya dapat memberi hormat dan tak berani bertanya, sungguhpun mereka merasa heran sekali karena mereka tak pernah melihat puteri itu keluar. Bilakah sekarkedaton itu keluar dan mengapa pada lewat tengah malam baru kembali, dari mana dan ke mana? Tapi mereka tahu akan diri dan kedudukan hingga mereka tak berani meributkan persoalan yang menyangkut diri sekarkedaton yang baru saja diterima oleh Sri Sultan itu.
Pada keesokan harinya, Sekarsari minta kepada ibunya agar Maduraras diperkenankan tinggal bersama ia sebagai kawan bermain. Tentu saja Bratadewi tidak menaruh keberatan karena menurut pandangannya, Maduraras adalah seorang gadis yang cukup baik dan pandai membawa diri. Baiknya Maduraras tinggal bersama Sekarsari, kalau tidak, mungkin Sekarsari takkan dapat menahan kesedihan hatinya. Demikianpun Maduraras. Dalam diri Sekarsari ia mendapatkan seorang kawan yang agaknya lebih mesra daripada seorang kakak sendiri. Diam-diam mereka mempertebal perasaan kasih mereka satu kepada yang lain dan mereka menganggap masingmasing bagaikan saudara sendiri. Lambat laun berkuranglah luka hati dan kesedihan mereka.
Namun sedikitpun mereka tak dapat melupakan Jarot dan boleh dikata seharipun belum pernah mereka lupa untuk membicarakan soal pemuda itu. Mereka gali semua pengalaman ketika Jarot masih berada di situ dan semua itu merupakan kenangan-kenangan indah dan bahan godaan bagi Maduraras yang jenaka untuk menggoda Sekarsari, seakan-akan Jarot masih berada di tempat itu dan seakan-akan di situ masih terdapat banyak harapan bagi Sekarsari untuk bertemu kembali dengan Jarot. Tapi bilamana teringat bahwa Jarot telah pergi jauh dan belum tentu mereka dapat bertemu kembali, menangislah Sekarsari, dibantu oleh Maduraras yang tidak kalah sedihnya. Hampir dua tahun kedua orang gadis itu hidup dalam Keraton dengan aman, di bawah lindungan Bratadewi. Tapi keadaan segala apa di dunia ini tidak langgeng dan selalu ada perubahan yang tak tersangka-sangka.
Selama itu, bala tentara Mataram, terus melanjutkan penjelajahan ke timur, menaklukkan Pasuruan dan lain- lain adipati atau bupati yang membangkang dan tidak mau tunduk kepada Sultan Agung. Maka makin banyaklah kini para adipati dan bupati yang mengunjungi Mataram untuk menyatakan sembah sujud dan hormatnya kepada Sultan Agung, raja sekalian raja yang bijaksana itu. Di antara para adipati, bupati, dan lain panglima yang mengunjungi Mataram, terdapat Raden Panjibagus, keponakan adipati di Pasuruan yang menjadi panglima. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah perwira. Dalam pertempuran melawan tentara Mataram, ia hanya dikalahkan oleh Senopati Ki Ageng Baurekso. Raden Panjibagus ketika menghadap Sri Sultan, dengan tak terduga dapat melihat sekar-kedaton, dan pada saat itu juga jatuhlah hati terhadap Raden Roro Susilawati yang cantik jelita itu.
Ia menjadi gandrunggandrung, makan tak sedap tidur tak nyenyak, rindu dan birahi kepada gadis juwita yang selalu terbayang di bulu matanya. Maka pulanglah ia dengan menanggung sakit rindu asmara yang berat hingga Adipati Pasuruan, Pamannya yang sayang kepadanya, menanyakan sebabsebabnya. Setelah mendengar akan hal kerinduan Panjibagus, Adipati Pasuruan segera mengirim utusan dan mengajukan pinangan. Sultan Agung sedang menjalankan siasat mempersatukan semua adipati dengan Mataram, maka pinangan itu diterimanya dengan senang hati. Apalagi karena iapun suka akan pemuda yang tampan dan perwira sebagai Panjibagus itu. Bratadewi tak berani membantah kehendak Sultan Agung dan dengan halus ia membujuk Susilawati. Tapi puterinya itu menolak dengan keras dan menangis sedih.
"Wati, anakku, Percayalah akan pandangan tajam dan kebijaksanaan ramamu. Ia cukup waspada dan dapat memilih, hingga tak mungkin pilihannya ini keliru. Aku pun mendengar bahwa Raden Panjibagus adalah seorang pemuda yang baik, tampan dan gagah. Wati, turutilah kehendak Ayahmu, karena akupun ingin sekali melihat kau kawin dan berbahagia."
Susilawati makin sedih dan tak dapat menjawab, hanya menangis saja.
"Wati, katakanlah terus terang, apakah... apakah kau berat karena teringat kepada Jarot?"
Tanpa mengangkat mukanya, Susilawati menjawab,
"Ibu... ampun, ibu... anakmu tak dapat kawin dengan lain orang... aku... aku telah saling berjanji dengan Mas Jarot untuk bersetia dan tidak kawin dengan orang lain."
Ibunya menghela napas dalam.
"Aeh, mengapa begitu, nak? Bukankah Jarot sudah kembali ke negerinya?"
"Tapi... tapi kami masih mengharap untuk saling bertemu pada suatu waktu, ibu."
"Susilawati, ingatlah baik-baik. Janjimu dengan Jarot itu hanyalah janji anak-anak yang dilakukan sewaktu kau terharu atau dibuai perasaan. Pinangan Raden Panjibagus telah diterima Ayahmu, maka hal ini tak dapat dibatalkan lagi, nak. janganlah membikin ibu dan ramamu bersedih, Wati, menurutlah saja. Ibumu yang akan tanggung bahwa kau tentu akan hidup bahagia di samping Panjibagus."
Namun Susilawati hanya menangis dengan sangat sedihnya hingga ibunya berkali-kali menghela napas dengan putus asa dan kehabisan akal. Susilawati lari keluar dan masuk ke kamar sendiri di mana Maduraras telah menantinya. Maduraras melihat betapa Sekarsari masuk kamar sambil menangis segera memeluknya.
"Sst, Sari. mengapa kau menangis seperti anak kecil?"
Maduraras yang biasa berjenaka itu mencoba menghiburnya dengan berkelakar, dan jika berada berdua ia memang selalu menyebut Sekarsari. Tapi Sekarsari tetap menangis sedih.
"Eh. eh, Sari, apakah yang telah terjadi? Percayalah, betapapun sulit persoalan yang kauhadapi, selama Maduraras masih dapat bernapas, tentu kesulitan itu dapat dipecahkan!"
Terhibur juga hati Sekarsari. Dengan mata basah ia pandang wajah kawannya, lalu memeluknya sambil mengeluh,
"Ah, Raras... celaka nasibku, aku... aku dipaksa kawin!"
"Apa? Kawin? Dengan siapa?"
"Dengan putera Kadipaten Pasuruan, namanya Panjibagus."
Maduraras mengangguk-angguk.
"Dan kau tidak suka?"
Sekarsari mengangkat mukanya dan memandang Maduraras dengan tajam.
"Kau kira demikian mudah aku berubah?"
"Maaf, Sari, aku hanya menggoda. Memang sudah sepantasnya kau bersetia kepada Mas Jarot, karena betapa gagah dan tampanpun Panjibagus seperti yang kudengar orang berkata, bila dibandingkan dengan Jarot, ia masih tidak nempil!"
"Raras, jangan berkelakar saja, pikirlah keadaanku, Raras. Apa yang harus kuperbuat? Aku tidak berani membantah kanjeng rama, sedangkan ibupun telah setuju dan memaksaku. Bagaimanakah, Raras? Aku lebih baik mati daripada harus dikawinkan dengan orang lain."
Maduraras mengerutkan keningnya yang halus, memutar otaknya yang cerdik. Sepasang mata bintangnya mengerling ke sana ke mari dengan gesit dan bibirnya ditajamkan. Beberapa lama kemudian ia melonjak dan tersenyum puas.
"Bagaimana, Raras? Dapatkah kau menolongku?"
"Sari, jalan satu-satunya bagimu tak lain ialah... lari minggat!"
"Tak mungkin!"
Sekarsari mundur dua tindak dengan kaget mendengar usul berbahaya ini.
"Kau kira mudah saja melarikan diri? Kanjeng rama tentu marah sekali dan mengerahkan semua perajurit untuk mencariku. Dan jika aku tertangkap kembali, selain mendapat marah dan merasa malu, akupun tetap harus menjadi isteri putera Pasuruan itu. Sia-sia, Raras."
Maduraras tersenyum.
"Kalau aku yang minggat dan lenyap, tentu takkan ada yang mencariku, bukan?"
"Bisa jadi, karena bukan kau yang akan dikawinkan!"
Jawab Sekarsari marah karena dianggapnya kawan itu menggodanya.
"Nah, kalau begitu, kita bertukar tempat, Sari. Aku menjadi engkau dan pergi mewakilimu diboyong ke Pasuruan, sedangkan kau menjadi aku, lari minggat dan takkan ada yang mencari dan mengejarmu. Bukankah jalan ini baik sekali?"
"Habis, kemana aku harus lari? Dan bagaimana selanjutnya?"
Tanya Sekarsari yang masih khawatir dan bingung.
"Begini, Sari. Kau minggat dan bersembunyi di Sukowati. Nanti kalau aku sudah diboyong ke Pasuruan dan berhasil lari dari sana, aku akan mencarimu, dan kita sama-sama minggat dari tempat ini."
"Kau? Pasuruan bukan dekat dari sini, Raras. Kau seorang perempuan, mana kau dapat melakukan semua itu?"
"Sari, kau kira semua perempuan selemah engkau?"
Maduraras berkata tertawa dan bangga.
"Lupakah kau bahwa ada seorang wanita bernama Srikandi?"
"Kau mau menjadi Srikandi kedua?"
Tanya Sekarsari yang terpengaruh kejenakaan kawannya.
"Kalau Srikandi dapat berlaku gagah berani, mengapa aku Maduraras tidak?"
"Hm, kalau kau Srikandi, habis aku siapa, Raras?"
"Kau... kau Subadra, ya... ya... kau Subadra!"
Maduraras begitu gembira dengan sebutan ini hingga ia bertepuk tangan.
"Hush, jangan keras-keras, Raras, Jadi, kau Srikandi dan aku Subadra, ya? Ingatkah kau bahwa Srikandi adalah madu Subadra?"
Merahlah wajah Maduraras mendengar ini.
"Sari... bukankah kita juga seakan-akan... madu, yakni dalam kenangan?"
Sekarsari tiba-tiba melihat wajah Maduraras menjadi muram dan bersedih. Segera dipeluknya gadis itu dan dengan suara sungguh-sungguh Sekarsari berkata,
"Raras, percayalah, aku akan merasa berbahagia sekali jika seandainya kau bisa menjadi maduku, seperti Srikandi dan Subadra!"
Sejenak kemudian, setelah keharuan agak reda, Maduraras berkata,
"Bagaimana, Sari. Setujukah kau akan rencanaku?"
"Terserah kepadamu saja, Raras. Aku bingung dan takut. Tapi, kalau aku minggat, bagaimana dengan kanjeng ibu? Tentu beliau akan sedih sekali, dan beliau sudah tua, Raras. Aku tidak tega..."
Maduraras menarik napas dalam.
"Memang, sifat Subadra juga sangat jujur dan berbakti, sama seperti kau. Beginilah, Sari, hal ini terpaksa harus kuserahkan kepadamu untuk mengaturnya, yaitu, kau harus dapat membujuk ibumu hingga beliau itu suka membantu kita, demi cintanya padamu."
"Akan kucoba, Raras."
Karena selalu dibujuk rayu oleh anaknya yang terkasih dan yang menyatakan bahwa jika dipaksa kawin tentu akan bunuh diri, akhirnya Bratadewi menyerah kepada kehendak Sekarsari. Maka mereka bertiga, Bratadewi, Maduraras, dan Sekarsari mengatur rencana.
Hari perkawinan tiba. Keraton dipajang indah. Sejak tiga hari sebelumnya, gamelan berbunyi terus siang malam, Pada malam hari kawin, yaitu malam sebelumnya yang disebut malam midodaren, pengantin perempuan mulai dirias. Dan pada malam hari itulah terjadi hal yang ganjil. Di lain bilik, Maduraras dirias pula oleh Bratadewi. Bratadewi demikian pandainya dalam hal ini hingga wajah Maduraras hampir sama benar dengan Sekarsari. Pada waktu tengah malam, Maduraras memasuki kamar Sekarsari, sedangkan Sekarsari sudah menanggalkan pakaian pengantin, lalu keluar dari kamar itu. Ia berpelukan sebentar dengan Maduraras dan dengan Bratadewi, kemudian dengan isak tertahan Sekarsari keluar dari pintu belakang. Di tamansari telah menanti Ki Galur, Ayah angkatnya yang diberi tahu akan hal ini dan yang bersedia membantunya biarpun dengan taruhan jiwa demi kebahagiaan anaknya yang tercinta.
Ki Galur dan Sekarsari tidak lari menuju Sukowati sebagaimana yang direncanakan semula, karena menurut perhitungan Ki Galur, Sukowati terlalu dekat dengan kota raja hingga sangat berbahaya bila Sekarsari bersembunyi di situ. Maka oleh Ki Galur, Sekarsari dibawa lari ke arah timur. Semalam itu mereka berjalan terus keluar masuk hutan dan baru beristirahat setelah malam berganti pagi. Demikianlah mereka berjalan terus, sungguhpun perjalanan mereka tak dapat maju pesat karena Sekarsari sering minta berhenti mengaso. Setelah berjalan terus ke timur selama lima hari, mereka tiba di dalam sebuah hutan yang besar dan liar. Pohon-pohon tinggi besar yang sudah berusia ratusan tahun memenuhi hutan itu dan suara segala macam binatang liar memenuhi udara dan membuat Sekarsari gemetar ketakutan. Tapi Ki Galur dengan sebatang tombak di tangan menghiburnya.
"Jangan takut, Sari. Selama Ayahmu ini masih ada di sampingmu, kau takkan terganggu kecuali kalau dadaku sudah pecah!"
Ucapan yang gagah ini sedikitnya membuat Sekarsari merasa agak tenang. Tapi pada saat itu terdengar teriakan dan suitan nyaring. Sebelum rasa kaget mereka lenyap, dari semak-semak keluarlah belasan orang tinggi besar yang berwajah buas dan bersenjata ruyung, dikepalai oleh seorang pemuda tinggi besar yang bermata kejam.
"He, Paman tua, berhentilah!"
Teriak pemuda yang menjadi kepala rampok itu. Ki Galur menenangkan hatinya yang berdebar-debar dan bertanya,
"Saudara-saudara yang gagah, apakah maksud dan kehendak kalian menghentikan dan mencegat kami? Kami anak dan Ayah hanya orang-orang melarat yang sedang merantau mencari hidup di lain tempat."
"Ha-ha-ha! Paman, kami takkan mengganggumu. Kami orang-orang baik, bukan demikian, kawan-kawan?"
Empat belas orang anak buahnya tertawa dan menyeringai sambil menggemakan pernyataan.
"Betul... betul..."
Ki Galur menarik napas lega.
"Kami juga tahu bahwa kalian orang-orang gagah dan baik. Nah; selamat berpisah dan kami hendak melanjutkan perjalanan sebelum malam tiba."
"Nanti dulu, Paman,"
Kepala rampok itu mencegah.
"Perkenalkan dulu, aku si Klabangkoro dan mereka semua ini saudara-saudaraku, juga pembantu-pembantuku. Kau dan anakmu sudah lewat di wilAyahku, maka aku tak mau berlaku kurang hormat, Paman. Kami persilakan Paman dan anak Paman yang cantik molek ini untuk mampir di pondok kami."
"Sungguh cantik, sungguh jelita, sungguh manis."
Para anggauta rampok itu berkata campur aduk, membuat Sekarsari makin takut dan Ki Galur makin gelisah.
"Terima kasih, saudara. Tapi kami sangat tergesa-gesa, biarlah lain kali saja kami mampir."
Tiba-tiba senyum di bibir pemimpin rampok itu menghilang.
"Apa? Paman berani menolak undangan kami? Kalau begitu, biarlah kau tinggalkan saja anakmu ini. Kau sendiri boleh segera pergi!"
Ki Galur mempererat pegangannya pada tombaknya.
"Saudara, janganlah kau berlaku demikian. Kasihanilah kami yang tak berdosa dan jangan ganggu anakku."
"Siapa yang mau mengganggu anakmu? Aku hendak memuliakannya, hendak mengangkat ia menjadi ratu di rimba ini, menjadi permaisuriku, bukan begitu, kawan-kawan?"
Semua kawannya membetulkan sambil tertawa riuh-rendah. Ki Galur timbul nekatnya.
"Tidak bisa, saudara. Terpaksa aku tidak mau memberikan anakku padamu."
"Apa katamu?"
Teriak kepala rampok itu.
"Kawankawan, hayo serbu dan bunuh monyet tua ini!"
Tiga orang meloncat menerkam dengan ruyung di tangan. Tapi Ki Galur meloncat ke kiri dan tombaknya menyerang lambung seorang perampok. Namun perampok-perampok itu adalah orang-orang kasar yang sudah biasa berkelahi, maka perlawanan Ki Galur itu tak berarti. Melawan perampok-perampok itu, ia bagaikan seorang kanak-kanak melawan orang-orang dewasa. Pada saat itu terdengar suara gerutuan,
"Tidak adil... tidak adil..."
Dan dari belakang sebatang pohon besar muncullah seorang kakek berbaju putih yang bercambang bauk berwarna putih pula. Pada saat itu Ki Galur telah terpeleset dan rebah di tanah sedangkan beberapa orang perampok telah mengangkat ruyung untuk mengirim pukulan maut ke arah kepala Ki Galur. Sekarsari duduk di bawah pohon sambil menggigil dan menangis. Tiba-tiba terdengar bentakan keras
"Tahan..!!!"
Bentakan ini demikian berpengaruh hingga semua perampok menunda pukulan mereka dan menengok ke arah datangnya suara. Ki Galur menggunakan kesempatan Itu untuk merayap bangun dan menghampiri lalu memeluk tubuh Sekarsari yang menggigil ketakutan.
"He, kamu kakek tua mau mampus! Mengapa berani ikut campur?"
Kepala rampok membentak.
"Anak-anak, kenapa kalian demikian jahat? Lepaskanlah gadis dan Ayahnya itu, jangan kalian mengganggu orang yang tidak berdosa."
Suara kakek itu sabar dan lembut, tapi terdengar sangat berpengaruh.
"Aah, monyet tua jangan banyak mulut!"
Seorang anggauta perampok memaki lalu lari menghampiri kakek itu dengari ruyung terangkat. Tapi aneh, ketika ia sudah tiba dekat dengan kakek itu, tiba-tiba ia merasa seakan-akan menginjak tanah becek yang licin sekali hingga ia kehilangan keseimbangan badannya dan tak ampun lagi ia jatuh terguling! Kakek itu hanya menggeleng-geleng kepala dan menghela napas. Kawan-kawan perampok yang jatuh itu menjadi marah dan tiga orang dari mereka lari menyerbu kakek tua itu. Tapi sungguh heran, seperti halnya orang pertama, mereka ini ketiga-tiganya terpeleset dan roboh di depan kakek itu dan merayap bangun dengan bingung. Kini kepala rampok menjadi marah. Ia menuding kakek itu lalu berteriak mengajak kawan-kawannya,
"Hayo kita serbu dan hajar sampai mampus monyet tua ini!"
Maka lima belas orang perampok yang bertubuh tinggi besar dan dengan ruyung di tangan, maju perlahan menghampiri seorang kakek lemah dengan sikap mengancam dan nafsu membunuh di wajah mereka! Ki Galur menahan napas dan Sekarsari menutup mukanya dengan tangan. Tapi kakek itu tenang saja, bahkan ia tersenyum lalu menggunakan telunjuknya menuding ke arah mereka sambil berkata,
"Anak-anak, hati-hatilah kalian, ular di tangan kalian itu berbahaya!"
Mendengar kata-kata ganjil ini, semua perampok segera memandang ruyung di tangan mereka, tapi ah, tiba-tiba mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga, sedangkan wajah mereka tiba-tiba menjadi pucat dan mereka menahan tindakan mereka. Ki Galur yang juga memandang ke arah tangan mereka menjadi terkejut hingga beberapa kali ia mengucek-ucek mata karena tidak percaya kepada apa yang dilihatnya. Ia memegang lengan Sekarsari dan mengguncang tubuh gadis itu.
"Sari, Sari... lihat...!"
Bisiknya dengan suara gemetar.
Ternyata ruyung-ruyung di tangan kelima belas perampok itu telah berubah menjadi ular. Kini ular itu membalik dan sambil membuka mulutnya mereka mendesis-desis hebat dan siap menerkam kepala orangorang yang memegang tubuh mereka. Tentu saja para perampok itu menjadi takut sekali, tanpa diperintah lagi mereka menggerakkan tangan untuk melempar ular itu. Tapi celaka bagi mereka, ular-ular itu tak mau terlepas dari tangan, seakan-akan telah melengket! Maka larilah mereka tunggang-langgang ke dalam hutan sambil berteriak-teriak ketakutan. Kakek baju putih itu tertawa perlahan lalu menghampiri Ki Galur yang segera menarik tangan Sekarsari untuk diajak berlutut dan menyembah. Tapi kakek itu membangunkan mereka dan mengajak mereka duduk di bawah pohon yang rindang.
"Bolehkah aku bertanya ke mana kalian hendak pergi? Dan mengapa anak ini tampak sangat bersedih bagaikan mengalami sesuatu hal yang malang? Katakanlah padaku, barangkali aku dapat membantu."
Maka dengan menangis Sekarsari menceritakan pengalamannya. Menghadapi kakek tua itu ia merasa seakan-akan berhadapan dengan Eyang sendiri hingga ia tidak ragu-ragu atau malu-malu lagi untuk menuturkan riwayatnya semenjak pertama sampai yang terakhir. Ia menceritakan tentang dirinya, tentang Jarot, tentang Maduraras, pendeknya tentang segala yang diketahuinya. Kakek itu mendengarkan dengan sabar dan dengan senyum di bibir. Setelah habis bercerita, Sekarsari berkata,
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Eyang, saya kasihan sekali mengenangkan nasib Maduraras. Kalau memang Eyang sudi menolong, tolonglah saja dia, Eyang. Lepaskan dia dari bencana dan biarkan Maduraras berkumpul lagi dengan saya. Ia lebih-lebih daripada adik sendiri bagiku."
Kakek itu mengangguk maklum, lalu berkata kepada Ki Galur,
"Kau harus membantu memikirkan nasib anak angkatmu ini. Maka sekarang kau pergilah ke tempat kediaman Jarot dan rundingkan dengan ia tentang hal Sekarsari. Biarlah aku akan mengantar Sekarsari menjumpai Maduraras kembali."
Ki Galur bersangsi.
"Tapi... tapi..."
Kakek itu memandangnya tersenyum.
"Semua akan beres."
Heran, mendengar kata-kata ini, Ki Galur merasa hatinya demikian lega hingga semua kesangsian atau keragu-raguan lenyap seketika dari dadanya. Ia mengangguk dan menyembah lalu mempersilakan kakek itu membawa Sekarsari pergi lebih dulu.
"Marilah, nak,"
Kakek itu berkata kepada Sekarsari. Setelah Sekarsari mohon diri dari Ki Galur, kakek itu memegang pergelangan tangan Sekarsari dan berkata kepada Ki Galur,
"Nah, kami pergi!"
Ketika Ki Galur memandang, lho! Kakek itu dan Sekarsari sudah lenyap bagaikan ditelan bumi! Ki Galur maklum bahwa ia telah bertemu dengan seorang pertapa sakti yang menolong mereka, maka sekali lagi ia menyembah, lalu berjalan menuju ke tempat yang ditunjuk oleh pertapa itu, yakni lereng Gunung Tengger, tempat tinggal Jarot.
Marilah kita mengikuti keadaan Maduraras, Srikandi yang gagah berani membela Sekarsari dan rela mengorbankan diri sendiri menghadapi bencana di Kadipaten Pasuruan. Setelah berada seorang diri dalam kereta yang membawanya ke Pasuruan, di sepanjang jalan gadis itu menangis dan mau tak mau ia merasa takut dan gelisah. Nasib bagaimanakah yang menantinya di Pasuruan? Sikap bagaimanakah yang harus ia perlihatkan di depan Panjibagus? Menyerah saja dan mencoba memikat hati satria itu? Ah, ia tak sudi! Diamdiam ia telah bersumpah dalam hati bahwa hanya Jarot seoranglah yang berhak memiliki dirinya, biarpun ia tahu bahwa Jarot tidak cinta padanya. Habis, bagaimanakah ia harus bersikap? Berkata terus terang? Ah, tentu satria itu akan marah.
Ia akan dibunuhnya. Biarlah, kalau memang demikian nasibnya, ia akan menerima dengan rela. Ia akan menganggap itu sebagai hukuman atas dosanya telah memisahkan Jarot dengan Sekarsari dulu. Empat hari kemudian rombongan yang membawanya tiba di Pasuruan. Kadipaten itu telah dihias indah karena di situpun diadakan perayaan menyambut pengantin yang terhormat karena pengantin itu datang dari Keraton Mataram. Sampai pada saat mempelai perempuan turun dari kendaraan dan diarak masuk ke kamar di gedung kadipaten, belum ada yang menyangka akan adanya penggantian pengantin dan Maduraras dapat memasuki kamar pengantin dengan selamat. Hal ini adalah karena gadis itu selain dihias sama benar dengan Sekarsari, juga karena ia memakai kerudung yang melambai menutupi mukanya, dan karena perawakannya memang sama benar dengan Sekarsari.
Pula, hanya para pengiring dan beberapa orang saja pernah melihat pengantin perempuan yang asli. Ketika tiba saatnya mempelai lelaki memasuki kamar pengantin, barulah Maduraras merasa benar-benar takut dan ngeri. Raden Panjibagus sebagai pengantin laki-laki tampak benar-benar tampan dan gagah. Kalau saja hati Maduraras tidak sudah penuh terisi bayang-bayang Jarot, tentu gadis ini akan merasa kagum dan tertarik. Tapi baginya tidak mungkin ada laki-laki yang dapat mempesonakannya lagi, betapapun tampan dan gagahnya laki-laki itu. Melihat Panjibagus memasuki kamar, Maduraras semakin menundukkan kepala dengan hati berdebar dan kaki tangan terasa dingin. Panjibagus maju mendekat dan duduk di atas pembaringan di sebelah Maduraras. Dengan mesra dan halus ia memegang tangan gadis itu dan terkejut karena dinginnya.
"Diajeng, takutkah kau? Malukah? Tanganmu dingin benar."
Alangkah halusnya suara Panjibagus yang diucapkan dengan penuh perasaan. Maduraras tak dapat menahan kekecutan hatinya lagi dan tiba-tiba ia menangis. Panjibagus menggunakan tangan kiri menyingkap kerudung di depan muka Maduraras. Ketika ia menatap wajah gadis itu, ia tersentak kaget dan mundur tiga tindak sambil mengucap,
"Ya Jagad Dewa Batara!"
Kemudian ia cepat maju memegang lengan tangan Maduraras dengan erat sambil bertanya keras,
"He, gadis. Siapa engkau dan dimana diajeng Susilawati?"
Melihat bahwa tiada jalan baginya untuk bersembunyi atau menyangkal pula, timbullah keberanian Maduraras. Ia bangun berdiri dan dengan gagah berkata,
"Susilawati telah dengan diam-diam keluar dari Keraton dan membunuh diri di bengawan. Tak seorangpun mengetahuinya kecuali saya, dan kami telah bermufakat untuk melakukan penggantian ini."
"Apa katamu?"
Panjibagus bertanya dengan wajah pucat.
"Mengapa ia membunuh diri? Dan tahukah Gusti Sultan akan hal ini?"
Suaranya mengandung penasaran besar karena ia merasa tertipu.
"Tak seorangpun mengetahui kecuali saya. Bahkan Gusti Ayu Bratadewi sendiripun tak mengetahuinya. Susilawati tidak mau dikawinkan dengan engkau maka dia membunuh diri."
"Dan kau... siapakah kau yang berani menggantikan tempatnya?"
"Aku bernama Maduraras dan kawan baik Susilawati. Aku menggantikan tempatnya bukan karena aku ingin diboyong ke sini dan menjadi isterimu. Tidak! Aku melakukan ini hanya untuk memenuhi permintaannya. Maka, jika engkau benar-benar seorang satria yang luhur budi, biarkan aku pergi meninggalkan Pasuruan."
Melihat sikap Maduraras yang tidak menghormat kepadanya itu, makin bertambahlah kemarahan Panjibagus.
"Hm, keparat! Kau wanita rendah! Setelah kau menipuku, kau minta aku melepaskanmu begitu saja? Keparat engkau!"
Raden Panjibagus lari keluar memanggil pengawal. Dua orang penjaga datang berlari.
"Tangkap perempuan ini. Masukkan dalam tahanan!"
Kedua orang penjaga itu saling pandang dengan heran.
"Bagaimana, Raden? Apa maksudmu...? Hamba harus... tangkap padanya? Masukkan dalam tahanan??"
Mereka berdua menyangka kalau-kalau Raden Panjibagus tiba-tiba menjadi gila! Raden Panjibagus mengertak gigi dan membantingbanting kakinya.
"Jangan banyak cakap! Tangkap dia dan jebloskan dalam tahanan! Hayo cepat!!"
Ia berteriak marah dan dengan heran dan takut kedua penjaga itu memegang lengan Maduraras yang menurut saja dibawa ke dalam tahanan.
Ia tidak takut dan berjalan dengan dada dan muka terangkat tinggi, gagah dan angkuh. Tapi setelah ia didorong ke dalam sebuah kamar dari batu yang tak berjendela dan hanya mempunyai pintu besi yang kuat, ia terduduk di atas sebuah bangku batu dan menangis tersedu-sedu. Ia merasa putus asa. Bagaimana selanjutnya dengan nasibnya? Apa yang dapat ia perbuat? Ia tak berdaya sama sekali dan hanya derita dan bencana menanti di depannya. Semalam penuh ia tidak dapat tidur sama sekali, pikirannya digoda segala macam bayangan seram dan ngeri. Akan diapakan orangkah dia? Pada keesokan harinya, dua orang laki-laki setengah tua memasuki kamar tahanannya. Mereka ini adalah dua orang pemeriksa yang datang membujuk dan mengancamnya untuk mengaku dan menceritakan keadaan sebenarnya.
"Aku telah mengaku dan menceritakan keadaan sebenarnya. Mengapa harus mengaku pula?"
"Kau bohong! Raden Panjibagus tak mudah kautipu begitu saja! Kau tentu tahu di mana tempat puteri sekarkedaton. Kau tentu menyembunyikan dia. Mengakulah, Maduraras. Kalau kau mengaku terus terang dan memberi tahu tempat persembunyian sekar-kedaton, maka jika puteri Susilawati telah ditemukan, tentu kau akan diampuni. Mungkin kau akan diambil selir oleh Raden Panjibagus, karena kau cukup cantik jelita. Bukankah kau cinta pada Raden Panji? Bukankah karena cintamu itu maka kau menggantikan tempat sekar-kedaton?"
"Cih! Siapa yang tergila-gila padanya? Aku sudah mengatakan berkali-kali. Susilawati tidak sudi menjadi isterinya dan karenanya ia bunuh diri. Aku menggantikan tempatnya hanya karena sudah berjanji padanya! Sekarang terserah, mau kau bunuh, bunuhlah saja. Mau dilepaskan, lakukanlah sekarang juga agar aku dapat pergi dari neraka ini."
Kedua penyelidik itu tak berdaya. Mereka segera meninggalkan Maduraras untuk memberi laporan kepada Raden Panjibagus, setelah memperdengarkan ancamanancaman untuk memberi hukuman yang seberat beratnya. Tapi Maduraras hanya ganda ketawa semua ancaman itu. Pada malam hari kedua dari penahanannya, pintu kamar tahanan terbuka dan Maduraras terkejut sekali ketika melihat bahwa yang datang kali ini adalah Raden Panjibagus sendiri! Ia merasa khawatir dan cemas sekali. Wajah satria yang tampan dengan senyumnya yang manis itu lebih menakutkannya daripada wajah para pemeriksa yang kejam dengan ancaman-ancaman mereka yang mengerikan!
"Maduraras, alangkah besar perbedaan kamar ini dengan penghuninya,"
Panjibagus berkata dengan senyum simpul dan kerling tajam penuh arti.
"Apa... apa maksudmu, Raden?"
"Kamar ini buruk dan gundul, sedangkan kau... kau begitu cantik. Heran aku memikirkan betapa gadis secantik kau dapat berlaku sekejam itu terhadap aku."
Maduraras hanya menunduk dan diam saja.
"Maduraras, kalau kuperhatikan wajahmu dan bentuk tubuhmu, kau tidak kalah cantik dan jelita dari Susilawati, bahkan menurut pandanganku, kau lebih manis, lebih berani dan lebih kenes menarik hati."
"Raden, katakan saja maksud kedatanganmu. Jangan memutar-mutar lidah yang tak bertulang itu. Tiada gunanya, Raden."
Panjibagus tertawa. Suara tawanya merdu dan sedap didengar. Maduraras berdebar ketika pemuda itu mendekatinya dan hampir ia berteriak ketika tiba-tiba Panjibagus memeluknya.
"Raden, lepaskan aku!"
Ia mencoba berontak.
"Tidak, takkan kulepas kau sebelum kau beri tahu padaku di mana kau sembunyikan Susilawati."
"Raden Panjibagus, jangan kau paksa aku. Sia-sia, Raden. Aku tidak mempunyai keterangan lain. Susilawati telah mati, di dunia ini tidak ada Susilawati lagi, Raden."
"Kalau begitu, biarlah... kau saja yang menjadi gantinya, Raras."
Panjibagus memancing lagi dengan bujukannya. Maduraras menggeleng-geleng kepala.
"Aku tidak sanggup menjalani, Raden. Lebih baik lepaskan saja aku."
Tiba-tiba timbul kemarahan dalam hati Panjibagus. Dengan cepat tangannya menyambar dan sebuah tamparan keras mengenai pipi Maduraras yang halus. Darah mengalir dari ujung bibir Maduraras; tapi gadis itu tetap tersenyum. Melihat senyum itu Panjibagus menjadi menyesal akan perbuatannya tadi, tapi kemarahan hatinya belum lenyap.
"Keparat benar kau, Maduraras. Kau sengaja hendak menggoda dan menghinaku. Biarlah, kau telah menjatuhkan keputusan akan nasibmu sendiri. Besok aku akan menyuruh orang menggantungmu, kecuali kalau sebelum saat itu kau merobah pendirianmu!"
Setelah berkata demikian Raden Panjibagus keluar dari kamar itu sambil berpesan kepada para penjaga agar hati-hati menjaga gadis itu. Menjelang tengah malam pikiran yang teraduk di kepala Maduraras mulai menyuram. Tiba-tiba ia melihat pintu kamarnya terbuka dan sebuah bayangan berkelebat memasuki kamarnya.
Maduraras merasa kepalanya berat dan pandangan matanya kabur. Ia hanya melihat sekilas betapa seorang kakek tua yang berbaju putih dan berjenggot panjang putih pula membungkuk, lalu mengangkatnya dan membawanya terbang! Ya terbang, karena ia merasa betapa tubuhnya terayun tinggi dan betapa angin bersiutan di pinggir telinganya. Tapi ia tak kuasa membuka mata lagi dan segala gelap di sekitarnya. Ketika membuka matanya, Maduraras mendapatkan dirinya berada dalam sebuah bilik bambu yang terbuka jendelanya. Ia memandang keluar jendela. Hari telah siang dan dari jendelanya ia melihat sawah dan gunung. Ia mengingat-ingat dan tiba-tiba ia mendengar suara pintu berderit. Ia menengok dan melihat betapa pintu kamarnya terbuka perlahan dari luar. Wajah seorang wanita muncul dari balik daun pintu, menjenguknya, dan serentak Maduraras meloncat bangun.
"Sari...!!!"
Panggilan ini merupakan jerit yang keluar dari lubuk hatinya, panggilan yang penuh diliputi kegirangan besar. Sekarsari maju dan memeluknya.
"Maduraras, kau... terima kasih, Raras..."
Sekarsari tak dapat berkata-kata lagi, hanya air matanya turun membasahi muka Maduraras yang diciumnya.
"Sari, jangan tipu aku, Sari. Katakanlah sejujurnya, tidakkah aku sedang mimpi?"
Maduraras bertanya sambil meramkan mata.
"Tidak, Raras. Kau betul berada di samping Sekarsari. Raras... Eyang Begawan yang menolongmu telah menceritakan kepadaku akan segala penderitaanmu, Raras, akan segala pengorbanan yang Kau lakukan untukku. Terima kasih, Raras..."
"Aah, jangan sebut-sebut itu lagi, Sari. Di mana Eyang itu? Aku harus menghaturkan terima kasih padanya."
"Ia sedang bersamadhi, Raras. Mari kuantar kau menjumpainya."
Dan keduanya lalu keluar dari kamar sambil bergandengan tangan. Seperginya dari Mataram, Jarot kembali ke desanya, yaitu desa Wangkal di lereng Gunung Tengger sebelah utara. Ayahnya, Panembahan Cakrawala, kedatangan puteranya dengan girang tapi juga dengan cemas ketika melihat betapa wajah puteranya itu pucat dan tubuhnya kurus. Ia tahu bahwa puteranya sedang menderita sakit, dan ia maklum pula bahwa itu adalah penyakit asmara yang sukar diobatinya. Maka Ayah yang waspada ini tidak menanya sesuatu kepada Jarot mengenai penderitaannya ini, hanya semenjak saat itu Panembahan Cakrawala tekun bersamadhi dan memohon kemurahan Yang Agung untuk menguatkan batin puteranya itu.
Semenjak datang ke tempat asalnya, Jarot menjalani tapa-brata dan tekun bersamadhi, melepaskan diri dari segala ikatan dunia. Tubuhnya makin kurus, kumis dan jenggotnya dibiarkan saja tak terawat. Namun, dasar hatinya baik dan penuh sifat welas asih, ketika ada beberapa orang gunung datang minta pertolongannya karena penyakit atau rintangan lain, Jarot tak tega untuk membiarkan saja. la memberi pertolongan, baik berupa obat maupun berupa nasihat dan petuah. Ternyata bahwa pertolongannya selalu berhasil baik hingga sebentar saja Jarot terkenal sebagai seorang pertapa muda yang sidik dan waskita. Makin banyaklah orang datang memohon pertolongannya. Mendengar akan keadaan puteranya yang bertapa di puncak sebelah timur itu, pada suatu hari Panembahan Cakrawala mengunjungi puteranya. Jarot menyambut kedatangan Ayahnya dengan sembah.
"Puteraku Jarot, harapanku timbul kembali ketika mendengar betapa kau mulai dengan berdarma-brata. Tadinya aku khawatir kau akan bertapa-brata untuk selamanya."
"Rama, memang sesungguhnya hamba sudah merasa tawar dan bosan akan keadaan dunia ramai. Hamba tadinya mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengan dunia ramai, tapi ternyata hamba tak tega untuk menolak kedatangan para sahabat yang minta pertolongan. Sanubari hamba tak mengijinkan hamba diam berpeluk tangan saja melihat kesusahan orang lain sedangkan hamba masih kuasa menolongnya."
"Itu bagus, Jarot. Karena kau masih muda, masih luas harapanmu untuk memajukan sesama, untuk membantu peredaran maya dengan perbuatan yang layak. Ketahuilah, Jarot, Ayahmu ini walaupun bertubuh pertapa, namun hatinya masih cukup mempunyai rasa perikemanusiaan seperti orang lain dan karenanya masih ingin memangku cucu. Kau suka menolong orang, Jarot, maka tak dapatkah kau menolong Ayahmu sendiri?"
"Pertolongan bagaimana, Rama?"
"Tolonglah beri kesenangan sedikit pada Ayahmu sewaktu aku masih dapat melihat dengari mata jasmani ini, Jarot. Kau carilah pasangan dan kawinlah agar aku dapat menikmati kurnia Yang Agung dengan menimang seorang cucu."
Jarot menghela napas dan menggeleng-geleng kepala.
"Sukar bagiku untuk mendapat pasangan, Rama."
Ayahnya memandang tajam.
"Jarot, di manakah hatimu tersangkut? Wanodya manakah yang demikian besar kuasanya hingga dapat mematahkan engkau seperti ini?"
"Jangan salah paham, Rama. la seorang gadis baik dan sempurna. Dan percayalah, rama, kalau memang Yang Agung mengijinkan, pasti kami akan bertemu kembali. Dan kalau datang saat itu, permintaanmu akan terkabul, Rama. Hanya itulah janjiku dan harap rama habiskan pembicaraan tentang ini sampai sekian saja."
Ayahnya menggeleng-geleng kepala dengan kecewa.
"Jarot... Jarot..."
Pada saat itu dari luar terdengar suara orang batuk-batuk dan tak lama kemudian terdengar suara orang minta pintu. Mendengar suara itu, baik Jarot maupun Ayahnya menjadi girang. Mereka bangkit berbareng dan keluar menyambut, karena mereka kenal suara itu.
"Eyang..."
Jarot berlutut menyembah.
"Paman Begawan..."
Panembahan Cakrawala pun memberi hormat. Tamu yang datang itu, seorang tua yang tampak agung, berdiri tersenyum girang. Ia bukan lain ialah Kyai Ageng Sapu jagat, guru Jarot, seorang pertapa suci yang tak tentu tempat tinggalnya.
"Eyang, sungguh besar hati hamba menerima kunjungan Eyang hari ini. Silakan masuk dan duduk di dalam, Eyang."
Panembahan Cakrawala juga mempersilakan tamu agung itu masuk, tapi Kyai Ageng Sapujagat menolak sambil tersenyum.
"Aku hanya menjenguk sebentar, tak perlu masuk, biar kita ngobrol di sini juga sama saja. Jarot, kulihat kau sudah mengenakan jubah pertapa dan kau mengikuti jejak ramamu."
"Itulah yang mengesalkan hatiku, Paman,"
Kata Panembahan Cakrawala.
"Mengapa kesal hatimu, Cakrawala? Kau ini seperti anak kecil saja. Siapa yang heran melihat keadaan hati seorang pemuda seperti Jarot ini? Ia masih muda, perlu ia mengalami bermacam-macam perubahan dalam hidup, ini namanya pengalaman. Biarkan sajalah, nanti kalau sudah tiba masanya tentu ada perubahan lagi."
"Mari, mari, Cakrawala, mari ikut aku jalan-jalan ke puncak Tengger. Sudah lama kita tidak mengobrol. Jarot, kami pergi dulu. Kulihat banyak orang datang mencarimu untuk minta pertolongan. Mereka juga tamu, sama saja dengan aku. Mereka lebih penting, layanilah."
Dan orang tua yang suci itu sambil menggandeng tangan Panembahan Cakrawala, lalu berjalan pergi, bercakapcakap sepanjang jalan.
Jarot memasuki pondoknya dan mempersilakan para tamunya masuk seorang demi seorang. Dengan sabar dan ramah ia melayani mereka, memberi jamu-jamu yang telah disediakan olehnya, khusus untuk keperluan itu, memberi nasihat-nasihat bagi mereka yang bersedih, memberi peringatan-peringatan bagi mereka yang tersesat, Semua tamunya menerima pertolongan yang diberikan dengan hati ikhlas Ini dengan puas dan mereka pulang dengan hati ringan. Tamu yang masuk paling akhir adalah dua orang gadis desa yang agaknya datang dari tempat jauh karena mereka nampak lelah. Seperti biasa, tiap kali menghadapi tamu wanita muda, Jarot menundukkan kepala dan meramkan mata. Sudah seringkali ia tergoda oleh gadis-gadis, yang ingin memikatnya.
Gadis-gadis itu datang dari berbagai tempat, dan sengaja datang untuk melihat pertapa muda yang tersohor tampan itu, dan tiap kali mereka datang, tentu mereka menggunakan segala macam akal untuk menarik perhatian Jarot. Menghadapi godaan ini, Jarot merasa tak berdaya untuk berlaku keras, maka untuk menolaknya ia hanya menerima gadis-gadis muda yang berkunjung ke rumahnya dengan menundukkan muka dan meramkan mata. Ada kalanya seorang gadis datang dengan maksud benar-benar minta pertolongan, tapi sebagian besar hanya karena ingin bertemu dengan pertapa muda yang tampan ini. Demikianlah, sekilas saja memandang tubuh mereka ketika memasuki pintu pondoknya, Jarot maklum bahwa lagi-lagi ada dua orang gadis kampung yang hendak menemuinya, entah hendak minta pertolongan atau hendak menggodanya.
"Kulanuwun, Mas Kyai..."
Berkata seorang di antara mereka.
"Duduklah kalian dan pertolongan apakah yang dapat kulakukan untuk kalian?"
Jawab Jarot tanpa mengangkat mukanya.
"Kami Dinah dan Dini kakak beradik, Mas Kyai, dari desa Barat,"
Jawab seorang di antara mereka yang halus tutur bahasanya.
"Apa kehendakmu?"
"Saya... saya hanya mohon berkah, Mas Kyai."
"Yang Maha Agung akan memberkahimu."
"Bukan hanya itu, Mas Kyai, kami datang mohon diberi obat!"
Tiba-tiba gadis kedua menjawab, suaranya lantang dan genit. Jarot menghela napas. Hm, lagi-lagi datang penggoda, pikirnya. Tapi ia menjawab juga,
"Obat? Sakit apakah kalian?"
"Obat untuk sakit di hati, Mas Kyai!"
"Apa maksudmu?"
Jarot mengangkat muka, tapi belum membuka matanya.
(Lanjut ke Jilid 07 - Tamat)
Keris Pusaka dan Kuda Iblis (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07 (Tamat)
"Benar, Mas Kyai, kami menderita sakit rindu asmara, mohon obatnya, Mas Kyai!"
Gadis pertama menyambung. Tiba-tiba tubuh Jarot menggigil dan wajahnya memucat. Ia serasa kenal akan suara ini. la membuka matanya dan...
"Sari...!! Raras...!!"
"Kang Mas Jarot...!!"
Mereka bertiga saling tubruk dan berpelukan. Air mata tak dapat ditahan lagi, membanjir keluar membasahi muka mereka.
"Sari... mengapa.. bagaimana kau bisa berada di sini?"
Setelah menceritakan semua pengalamannya, Sekarsari berkata,
Keris Pusaka Dan Kuda Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mas Jarot, Eyang Kyai Ageng Sapujagat yang menolong aku dan Raras dan membawa kami ke sini. Mas, aku telah cukup menderita, telah cukup terhukum karena ketidakpercayaanku kepadamu dahulu. Sekarang aku datang, bukan sebagai puteri raja, Mas. Aku datang sebagai Sekarsari yang mohon belas kasihanmu. Terimalah diriku Mas, aku minta mondok di rumahmu, ingin bersuwita padamu, Mas."
Wajah Jarot berseri.
"Akhirnya kita berkumpul juga, Sari... Sari..."
Jarot memeluk gadis itu dengan mesra dan terharu.
"Mas Jarot dan kau, Sari. Aku merasa berbahagia sekali bahwa kalian telah bertemu dan berkumpul kembali. Kini tugasku sudah selesai. Aku telah menebus dosaku. Biarlah aku pergi, jangan sampai menjadi pengganggu kalian lagi... selamat tinggal, Mas Jarot... Sari..."
Dengan air mata mengalir di sepanjang pipinya Maduraras lari meninggalkan mereka.
"Raras... tunggu...!!"
Sari meloncat mengejar dan berhasil memegang lengannya dan terus saja ia memeluk tubuh Maduraras.
"Raras... jangan pergi, Raras..."
"Sari, aku pergi untuk kebaikan kita bersama. Aku hanya akan menjadi pengganggu..."
"Kau takkan menjadi pengganggu, Raras""
"Tapi... tapi tegakah kau menyiksa hatiku, Sari? Tegakah kau melihat aku menderita karena iri dan sengsara...?"
"Tidak, tidak, Raras. Kau salah paham. Lupakah bahwa kalau aku menjadi Subadra maka kau ialah Srikandinya?"
"Apa... apa maksudmu, Sari?"
"Maksudku sama dengan maksudmu, Raras. Cari saja sendiri artinya, aku Subadra, kau Srikandi, dan Mas Jarot ialah Arjuna..."
"Jadi kau... kau..."
"Ya, demikianlah kehendakku."
"Kalau Mas Jarot menolak bagaimana, Sari?"
"Tak mungkin! Aku tahu bahwa iapun kasih kepadamu. Tapi, kalau dia sampai berani menolak kau, maka aku... akupun akan menolaknya!"
Mata Maduraras terbelalak memandang Sari dan air mata turun dari mata itu.
"Demikian baikkah hatimu kepadaku, Sari?"
"Tidak sebaik kau kepadaku, Raras..."
Jarot keluar dari pondok dan menghampiri mereka.
"Hayo, Raras, kita sambut Arjuna kita..."
Dan Sekarsari menarik-narik tangan Maduraras yang memerah seluruh mukanya dan yang menggunakan sebelah tangan menutupi mukanya karena malu!
Maka berbahagialah mereka bertiga di atas Gunung Tengger. Adapun Pangeran Amangkurat setelah memalsu dan mencuri Keris Pusaka Margapati, menjadi makin jahat dan kejam. Sejarah menyatakan betapa ia kelak menjadi Sunan Amangkurat I yang terkenal kejam, yang membunuh banyak sanak keluarganya sendiri, yang menjadi iblis karena cemburu. Dengan kejamnya ia membunuh puluhan selir hanya karena menyangka mereka itu membunuh seorang selir kekasihnya yang mati. Betapa jahatnya terbayang kepada catatan sejarah ketika ia memperebutkan seorang wanita dengan puteranya sendiri. Keris Pusaka Margapati memuaskan nafsu dengan darah manusia, keris maut itu kenyangakan darah dalam pegangan tangan Amangkurat yang lalim dan yang membuat orang mengutuk kejahatannya.
Demikianlah maka cerita ini diakhiri dengan peringatan yang sering disabdakan para arif bijaksana bahwat siapa menanam, ia sendiri yang akan memetik buahnya!
TAMAT
Pdf created by: Segoro Mas http://cersil-khopinghoo.blogspot.com
Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo