Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Nagapasung 1


Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Dusun pangkur di kaki Gunung Kawi merupakan sebuah dusun yang cukup besar dengan penghuninya yang hidup tenteram. Sawah ladang menghasilkan panen yang baik, hujan turun tepat pada waktunya dan sudah bertahun-tahun tidak ada gangguan hama. Penghuni dusun itu merasa makmur hidup mereka, walaupun tentu saja kalau diukur dari pandang mata orang kadipaten atau kerajaan, kehidupan para petani di Dusun Pangkur itu terlalu sederhana dan miskin.

   

   Gajahporo, seorang pemuda yang berasal dari Dusun Pangkur, merasa bahagia sekali karena dia berhasil mempersunting Ken Endok, gadis yang dikenal sebagai kembangnya Dusun Pangkur. Seperti lazimnya perjodohan jaman itu, sebelum bersanding menjadi pengantin, Ken Endok belum pernah bertemu muka dengan suaminya. Tentu saja Gajahporo sudah seringkali mencuri pandang dengan sembunyi-sembunyi dan dialah yang tergila-gila pada Ken Endok. Berkat keadaan bapaknya yang merupakan petani yang memiliki sawah luas dan belasan ekor kerbau, maka pinangan diterima dan menikahlah Gajahporo dengan Ken Endok yang cantik jelita.

   

   Ketika Ken Endok menitikkan air mata dan menahan isak pada saat kedua pengantin dipertemukan, semua orang termasuk Gajahporo hanya menduga bahwa gadis menangis karena malu, karena terharu atau mungkin juga karena bahagia, pendeknya, semua pengantin wanita harus menangis kalau tidak mau dijadikan buah celoteh para wanita yang menjadi tamu!

   

   Akan tetapi hanya Ken Endok sendirilah yang tahu bahwa tangisnya bukan karena semua itu, melainkan karena kecewa dan berduka. Beberapa pekan yang lalu, ketika mencuci pakaian di anak sungai luar dusun bersama kawan-kawannya, muncul seorang pemuda yang menunggang kuda. Melihat pemuda itu menghentikan kudanya di tepi sungai, para dara dusun itu berlarian sambil menahan tawa. Akan tetapi Ken Endok tiada dapat melarikan diri.

   Cuciannya terlampau banyak sehingga tak mungkin ia membawanya pergi sambil berlari, apalagi cuciannya masih berceceran bahkan sebagian ada yang belum dicucinya. Dan terpaksa ia mengangkat muka memandang ketika pemuda itu juga memandangnya tanpa turun dari kudanya. Seorang pemuda yang luar biasa tampannya! Seperti Sang Arjuna dalam pandangan Ken Endok yang biasanya hanya melihat laki-laki dusun, pemuda-pemuda yang belepotan lumpur dan dengan pakaian yang serba hitam dan kumal.

   Akan tetapi pemuda ini mengenakan pakaian priyayi, dengan baju lengan pendek, celananya hitam tertutup sarung. Kulit dadanya, lehernya, lengan dan kakinya yang tampak sedikit itu demikian bersih dan kuning. Wajahnya demikian elok, seolah-olah mengeluarkan cahaya gemilang, seperti Dewa Kamajaya baru turun dari khayangan! Ken Endok terpesona dan lupa bahwa ia menengadah dan memandang dengan mata terbelalak tanpa berkedip.

   

   Pemuda itu pun terpesona. Dia biasa melihat puteri kadipaten, cantik-cantik memang, akan tetapi kecantikan yang banyak dibantu oleh mangir, pemutih pipi dan pemerah bibir penghitam alis, dibantu oleh pakaian yang indah-indah. Akan tetapi dara ini! Hanya bertapih pinjung dan nampak lekuk dadanya karena tapih itu basah kuyup. Rambutnya terurai basah pula, mukanya sama sekali tidak riasan, tubuhnya sama sekali tidak berhias, pendeknya seratus persen wanita! Akhirnya Ken Endok sadar akan keadaan dan cepat-cepat ia menundukkan mukanya yang berubah menjadi kemerahan. Dan pemuda itu pun tersenyum sadar bahwa ia pun tadi kehilangan semangat seperti orang yang tiba-tiba menjadi linglung!

   "Jagat Dewa Bathara......!"

   Pemuda itu berkata lirih sambil meloncat turun dari kudanya. Kuda itu pun dibebaskan dari kendali dan dibiarkan makan rumput dan minum air tanpa melepaskan pandang matanya dari Ken Endok yang merasa gelisah, malu dan salah tingkah.

   "Apakah aku sedang mimpi? Ataukah benar-benar aku sedang melihat seorang bidadari turun dari khayangan dan mandi di anak sungai?"

   

   Tentu saja sukar dilukiskan bagaimana perasaan hati seorang perawan dusun yang menerima pujian seperti itu! Berdebar-debar jantungnya, berdenyut-denyut darahnya sampai terasa di pelipis, dan tubuh pun gemetar. Akan tetapi Ken Endok tetap menundukkan mukanya tidak berani memandang pemuda itu.

   

   "Duhai Puteri Juwita, Siapa gerangan Anda? Apakah Sang Dewi Suprobo yang diutus Sang Hyang Guru untuk turun ke dunia dan menggoda hatiku? Ataukah Anda Dewi Penjaga Sungai ini?"

   Melihat wajah yang dagunya meruncing manis itu masih belum juga diangkat, pemuda itu menambahkan.

   "ataukah barangkali seorang bidadari yang gagu! Alangkah sayangnya kalau begitu!"

   

   Mulut yang kecil manis itu tersenyum dan kembali pemuda itu terpesona. Di mana ada perawan dusun dengan mulut seperti itu? Ketika tadi tertutup, nampak indah dan manis sekali, benduk gendawa. Akan tetapi ketika kini tersenyum, menjadi cerah suasana sekitarnya. Bibir merah membasah dan tipis merekah seperti kembang wijayakusuma mekar di tengah malam nampak deretan gigi yang rapi dan putih dan rona mulut yang kemerahan, lidahnya seperti bermain-main di dalamnya, juga merah segar ujungnya. Lebih jelita lagi, ada dua lesung pipi di kanan dan kiri bibirnya.

   

   "Saya... saya bukan bidadari dan saya.... saya tidak gagu."

   

   "Aduh para Dewata Yang Maha Kasih! Suaranya.....!"

   

   Gadis itu tidak mengerti, memandang penuh perhatian.

   "Apa.... apa kata paduka, Raden?"

   

   "Tidak apa-apa. Aku girang kau tidak gagu,nona manis!"

   Kedua pipi itu menjadi semakin merah. Akan tetapi ia khawatir kalau-kalau ada orang yang melihat ia bercakap-cakap dengan seorang pria asing, maka ia akan berkemas. Mengumpulkan pakaiannya ke dalam keranjang, tidak sadar betapa semua gerak-geriknya diperhatikan orang, kalau lengan yang halus itu, lereng bukit kembar dadanya yang membayang di balik tapih pinjungnya, dan bulu halus dari bawah pangkal lengannya. Kemudian ia pun naik ke tepi sungai tidak sadar betapa pemuda itu menatap kakinya yang tertutup tapih sampai ke betis. Masih nampak bagian bawah yang memadi-bunting dan halus. Terutama sekali pemuda yang berpengalaman itu melihat betapa lekuk kaki di atas tumit itu begitu cekung dan kecil yang menurut pengetahuan tentang wanita yang diperolehnya, perawan ini, dengan lekuk tumit dan lesung pipit seperti itu, adalah wanita pilihan!

   

   "Eh, eh, hendak ke mana, Nona?"

   

   "Maaf, Raden. Saya harus pulang. Bapak akan marah-marah kalau saya terlambat pulang."

   

   "Nanti dulu, Nimas.... Aku tidak melarang engkau pulang, akan tetapi perkenalkan dulu namamu dan engkau tinggal di dusun mana."

   "Biarpun jantungnya berdebar mendengar sebutan "nimas"

   Itu sehingga lehernya seperti tercekik rasanya, namun ia memaksa diri menjawab.

   "Nama saya Ken Endok dari Dusun Pangkur....."

   Setelah berkata demikian, saking malunya, dara itu pun melarikan diri. Akan tetapi lelaki itu tidak mengejarnya, melainkan berdiri mengikuti bayangan gadis itu sampai lenyap di dusun depan.

   

   Setelah bayangan itu lenyap, barulah ia merangkul leher kudanya, menepuk-nepuk punggung kuda itu sambil berkata.

   "Dawuk, kalau aku tidak dapat memadu asmara dengan perawan itu, selama hidupku aku akan merana...."

   Kuda yang sudah terbiasa dimanja dan diajak bercengkerama oleh majikannya itu hanya bunyi meringkik buruk.

   

   Sejak pertemuaannya dengan pemuda itu, Ken Endok tidak dapat melupakan dia. Wajah yang tampan itu, suaranya yang halus itu, selalu terbayang dan terngiang di dalam hatinya. Siang menjadi kenangan dan malam menjadi impian. Tentu saja ia tidak pernah berani bercerita tentang pemuda itu kepada siapa pun juga, kepada ayah ibunya pun tidak. Keadaan perawan yang kini sering melamun itulah yang mendorong ayah ibunya untuk segera menerima pinangan Gajahporo terhadap Ken Endok. Disangkanya bahwa anak mereka itu, yang sudah remaja puteri, suka termenung karena ingin kawin! Sudah menjadi anggapan umum di jaman itu bahwa lewat usia enam belas tahun saja belum menikah, seorang dara akan diancam sebutan perawan tua.

   

   Inilah sebabnya mengapa Ken Endok menitikkan air mata ketika di pertemukan sebagai pengantin dengan Gajahporo. Bukan karena pemuda yang menjadi suaminya itu terlalu buruk rupa atau bercacat. Tidak. Menurut ukuran dusun, Gajahporo sudah cukup baik, tidak cacat tubuhnya, rajin, berkecukupan. Namun dalam batin Ken Endok yang membuat perbandingan antara suaminya dan pemuda pujaannya itu, bagaikan melihat seekor burung gagak dan seekor burung merak!

   

   Dan ini pula yang membuat Ken Endok segan melayani suaminya di pelaminan. Pada zaman itu, seorang perawan yang menjadi pengantin tidak tergesa-gesa menyerahkan dirinya kepada pria yang menjadi suaminya, apa lagi menyerahkan diri sebelum menikah. Penyerahan diri pertama kali di pelaminan itu bagi seorang perawan di jaman itu merupakan peristiwa yang teramat penting, juga menimbulkan rasa takut, ngeri dan malu. Oleh karena itu sudah jamak, Gajahporo tidak menjadi marah dan khawatir. Dia pun tidak menuntut haknya dengan kekerasan, dan menganggap bahwa isterinya belum mengenal benar keadaan dirinya maka masih malu-malu kucing. Dia dan isterinya kini

   tinggal di Dusun Pangkur dan dengan mata rajinnya Gajahporo menggarap sawah mertuanya.

   

   Sudah tiga bulan lewat sejak Ken Endok menjadi isterinya Gajahporo. Ia sudah tidak begitu sungkan dan malu kepada isterinya, akan tetapi masih juga belum mau melayaninya di pelaminan. Bagi Gajahporo, hal itu pasti akan terjadi, tinggal menanti saat baik saja sekarang.

   

   Pada suatu hari yang cerah, pagi-pagi sekali Gajahporo telah berangkat ke sawah untuk membajak sawah milik mertuanya yang berada di luar Dusun Pangkur, yaitu di dusun kecil yang bernama Ayugo, agak jauh dari Pangkur.

   "Gendok Ken Endok, aku akan berangkat ke sawah di Ayugo. Hujan sudah mulai turun dan sawah itu harus dibajak, nanti kau kirim makan ya?"

   

   "Baiklah, kang,"

   Jawab Ken Endok.

   "Buatkan sayur jagung untukku, ya? Dan jangan lupa....."

   Pria itu menahan kata-katanya dan tersenyum.

   

   "Apalagi, Kang?"

   

   "Jangan lupa malam nanti.... heh-heh, sudah terlalu lama aku bersabar dan engkau berjanji malam nanti...."

   

   "Ihh, Kakang Gajahporo....!"

   Ken Endok mengelak dengan kata-kata sambil menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

   

   Sambil tertawa-tawa Gajahporo berangkat ke sawah, dan diam-diam Ken Endok mengikuti bayangannya dengan pandang matanya. Ia pun merasa kasihan kepada suaminya itu. Bagaimana pun juga, Gajahporo seorang suami yang baik dan sabar. Sayang, kalau saja seganteng pemuda yang dijumpai menunggang kuda itu! Siapakah gerangan pemuda itu? Dari mana dan mengapa pula sampai sekarang tak pernah dijumpainya lagi? Perasaan kecewa dan duka melanda hatinya dan Ken Endok segera pergi ke dapur untuk memasakkan nasi dan sayur jagung pesanan suaminya sambil mencoba untuk mengusir kenangan tentang pemuda ganteng itu.

   Pagi itu memang cerah sekali. Matahari memancarkan cahanya dengan bebas tanpa ada awan hitam yang mengehalanginya. Jagat raya nampak terang benderang dengan cahaya matahari pagi yang keemasan, dan segala sesuatu nampak baru dan hidup. Baik yang bergerak maupun yang tidak, makhluk kasar mau pun makhluk halus, semua menyambut Sang Surya dengan penuh kegembiraan. Burung-burung berkicau dan berlompatan dari dahan ke dahan, gerakannya mengguncangkan daun-daun yang menghujankan mutiara-mutiara embun.

   Marga satwa yang baru saja terbebas dari cekaman malam gelap, meninggalkan sarang masing-masing untuk mulai dengan tugas hidup setiap makhluk, yaitu mencari pengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sinar matahari pagi yang sudah mulai naik di langit timur, menerobos di antara celah-celah

   daun, menciptakan garis-garis putih menembus sisa-sisa kabut pagi. Keindahan alam di waktu pagi, senja atau kapan saja memang mengharukan bagi siapa saja yang membuka mata batinya untuk mengamati, tanpa penilaian. Akan nampak oleh mereka yang mengamati tanpa menilai bahwa di mana-mana terkandung kebesaran, keajaiban dan keindahan yang tak tertuturkan kata-kata.

   Di dalam sinar yang mengusir kegalapan itu, di dalam kicau burung, di dalam embun yang bergantungan pada ujung daun kemudian berhamburan jatuh, di dalam ulat yang memakan daun-daun, di dalam daun kering yang berguguran dan berserakan di bawah pohon. Di dalam semua itu terkandung hikmah suci tentang hidup dan mati, dua serangkai yang takan pernah terpisahkan, hidup dan mati yang saling berkesinambungan, saling dorong, saling memberi pupuk.

   Dara yang melangkah seenaknya melalui jalan itu tidak mempengaruhi suasana. Bahkan nampak serasi, seolah ia memang sudah seharusnya di situ dan berjalan di tempat itu. Ken Endok menggendong sebuah bakul berisi nasi, sayur jagung dan bakaran ikan lele, juga sambal dan sebuah kendi penuh air jernih. Suasana pagi yang cerah itu juga mencerahkan hatinya yang sudah berhasil melupakan wajah yang selalu membayanginya. Ia bersenandung kecil, dan begitu bersenandung, dara ini teringat lagi akan Ki Bagus yang selama ini dirindukannya. Tembangnya pupuh Kinanthi:

   

   Ana kupu kuning mabur, saya dhuwur saya mencit

   Kepireng tangise kembang, gage deniro marani

   Arsa jampeni kang lara, lara sajroning ati

   

   "Duhai, Nimas Ken Endok, betapa trenyuh hatiku mendengar rintihan hatimu itu. Ah, agaknya aku telah bersikap kejam terhadap dirimu, Nimas....!"

   

   Ken Endok terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja di depannya telah berdiri seorang pemuda yang bukan lain ialah Ki Bagus yang selama ini membuatnya tidak nyenyak tidur tak enak makan! Dan kini pemuda itu nampak lebih elok daripada ketika ia melihat yang pertama kali. Dada yang tak berbaju itu nampak bidang dan penuh, berkulit halus namun di dalamnya membayang kekuatan yang membuat jantungnya tergetar hebat. Ken Endok merasa malu bukan main teringat akan tembangnya tadi. Betapa tidak? Tembangnya tadi berarti: "Ada kupu-kupu kuning terbang makin tinggi, mendengar tangisnya kembang, segera menghampirinya untuk mengobati yang sedang sakit di dalam hatinya!"

   Tembang itu, secara halus mengungkapkan rasa rindunya walaupun tidak ditujukan kepada suatu nama.

   

   Kupu kuning lagi wuyung, mirsani kembang melati,

   Wus tinandur keboning wong, den klilingi pager adi,

   Gandane anggambar-ambar, arep melik ora wani!

   

   Mendengar suara yang lembut itu juga kini bertembang Kinanti dengan kata-kata penuh sindiran. Ken Endok menudukkan mukanya. Bakul yang dibawanya hampir terlepas karena tangannya menggigil. Tembang itu berarti: "Kupu-kupu kuning sedang berduka, melihat kembang melati sudah ditanam orang lain. Dikelilingi pagar susila, baunya harum semerbak hati ingin memetik apa daya tiada keberanian!"

   

   Berdegup-degup rasa jantung di dalam dada Ken Endok. Sejak ia menjadi isteri Gajahporo belum pernah mereka sepelaminan. Belum pernah mereka bermain cinta. Semua ini terjadi karena ia belaka, rindu kepada pria ini. Sekarang pria idamannya sudah berada di depannya, bahkan menembangkan kata-kata yang menyatakan keinginan hatinya. Ia tahu bahwa kalau sekali ini ia tidak berani nekat, selama hidupnya ia akan menyesal dan hidupnya merana, sengsara. Maka ia pun memberanikan dirinya dan mengangkat mukanya. Dua pasang mata bertemu pandang terjadi getaran-getaran melalui sinar mata itu yang langsung mengusik hati. Pandang mata mereka saling melekat, seperti melekatnya dua perasaan hati yang tidak nampak.

   

   "Aduh, Raden, saya mohon agar Raden tidak mencabik-cabik hati saya. Biarpun saya telah dinikahkan dengan Gajahporo, namun demi para Dewata, sampai saat ini saya masih suci, masih menjadi isteri orang secara sah."

   "Duh Jagat Dewa Bathara....!"

   Pria itu melangkah dekat sehingga mereka kini berhadapan dekat sekali, dapat saling merasakan hembusan nafas yang keluar dengan tersendat-sendat.

   "Benarkah itu, Nimas? Engkau......engkau masih perawan seperti dulu? Kenapa? Kenapa setelah engkau menjadi isteri Gajahpuro, engkau tidak mau melayaninya?"

   

   Ken Endok sudah nekat. Rasa malu dibuang jauh-jauh.

   "Duhai Raden, tidak tahukah Paduka ataukah hanya pura-pura tidak tahu saja? Semenjak pertemuan kita yang pertama kali itu, Raden, jiwa raga ini telah kujanjikan kepada diri sendiri untuk kuserahkan kepada Paduka, bukan kepada pria yang lain....."

   

   "Nimas Ken Endok.....!"

   Pria itu berseru dan merangkulnya. Merasa betapa sepasang lengan yang kuat merangkulnya dan mendekapnya, Ken Endok hampir saja terkulai pingsan dan ia menyadarkan kepalanya pada dada yang bidang dan berbau cendana itu.

   

   "Kau.... kau bersungguh-sungguh, Nimas? Tidak berbohong?"

   

   "Saya bersumpah, demi para Dewata. Raden. Kalau saya berbohong, biarlah Sang Hyang Brahma yang mengutuk saya......emmmmmmm......"

   Gadis itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena kata-kata saja mulutnya yang masih bicara dan setengah terbuka itu telah ditutup oleh sepasang bibir pria itu dalam ciuman yang membuatnya kembali terkulai dan memejamkan mata, merasa seperti hanyut dan terseret gelombang samudera amat kuat.

   

   "Kenapa..... kenapa kau lakukan itu.....? Kenapa..... kenapa kau lakukan itu?"

   Setelah ciuman itu dilepaskan, gadis itu berbisik-bisik, mengulang-ulang kata-katanya sehingga seolah-olah pertanyaan itu bermaksud mengapa pemuda itu menghentikan perbuatannya!

   

   "Nimas Ken Endok, jangan kau bersembarangan bersumpah, apalagi kepada Sang Hyang Brahma, karena ketahuilah bahwa aku adalah titisan Sang Hyang Brahma sendiri!"

   Pemuda itu tertawa, maksudnya berkelakar saking girangnya hati. Akan tetapi kelakar ini dianggap sunguh-sungguh oleh Ken Endok dan karena terkejut, dara itu hampir roboh pingsan, terkulai dan menjatuhkan diri berlutut, menyembah-nyembah kaki pemuda itu!

   

   Sambil tertawa-tawa pemuda itu lalu memondong tubuh Ken Endok dan dibawanya ke arah sebuah gubuk di tengah sawah yang agak jauh dari jalan itu. Pada waktu itu, orang baru saja selesai membajak dan menanam padi. Belum ada padi yang perlu dijaga dari gangguan burung, maka sawah itu lengang dan gubuk-gubuk di situ kosong.

   

   "Nimas, engkau benar-benar mau menyerahkan jiwa ragamu kepadaku?"

   Bisik pria itu setelah dia merebahkan tubuh Ken Endok di dalam gubuk. Dara itu membuang muka saking malunya, akan tetapi mengangguk perlahan.

   

   "Kalau engkau mau menjadi garwaku, engkau tidak boleh berdekatan dengan pria lain, termasuk suamimu, Bagaimana?"

   

   Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sampai mati aku tidak mau dijamah pria lain, paduka adalah junjungan hamba, Paduka adalah suami hamba, Paduka adalah Sang Hyang Brahma...."

   "Ha-ha-ha!"

   Pria itu tertawa geli dan gembira dan tidak lama kemudian, tidak terdengar lagi percakapan mereka kecuali hanya desahan-desahan dan gubuk yang hanya terbuat dari bambu itupun terguncang-guncang.

   

   Kalaupun pandang mata sudah berpadu

   senyum mengandung lautan madu

   Uluran tangan sudah pula disambut

   Segala sapa sudah dijawab

   Kalau dua hati sudah bersatu

   Segala pun bisa terjadi!

   Melihat isterinya berkali-kali muntah-muntah tanpa mengeluarkan apa-apa dari mulutnya, Gajahporo terkejut dan merasa heran bukan main. Sudah diusahakan pengobatan pada istrinya, namun sia-sia saja, bahkan istrinya menolak untuk dipanggilkan dukun. Wajah istrinya nampak pucat, namun ada cahaya yang membuat wajah itu menjadi semakin cantik.

   

   Karena kehabisan akal, Gajahporo lalu minta nasihat ibunya. Ibunya segera datang menengok mantunya betapa kaget hati mereka berdua ketika nenek yang sudah berpengalaman itu berkata dengan girang.

   "Kamu ini bagaimana, to, Le (nak)? Lha wong istrimu mengandung gitu kok kebingungan sendiri, hik hik!"

   

   Ibu ini tentu saja girang melihat mantunya hamil. Akan tetapi yang terkejut adalah Gajahporo dan Ken Endok.

   

   "Mengandung? Tidak!!"

   Gajahporo berseru dengan kaget sambil memandang ke arah perut isterinya. Memang agak lain dari biasanya. Biarpun ditutup bengkung, masih nampak mengandung.

   "Ken Endok katakan bahwa hal itu tidak benar!"

   

   Akan tetapi Ken Endok tidak menjawab, menundukkan mukanya, kemudin malah lari memasuki biliknya dan menangis. Tentu saja Gajahporo dan ibunya terkejut dan cepat mengejar lalu memasuki kamar itu.

   

   "Genduk, apa yang terjadi?"

   Ibu mertua itu membujuk mantunya, sedangkan Gajahpuro berdiri dengan alis berkerut dan kedua tangan terkepal. Dia merasa terhina sekali.

   

   "Aku....... aku agaknya memang.... mengandung....."

   

   "Tidak mungkin!"

   Kembali suaminya membentak.

   "Sejak menikah dengan aku belum pernah satu kali pun campur, mana bisa mengandung?"

   Ibunya terkejut mendengar ini dan menyadari gawatnya persoalan. Akan tetapi sebagai seorang wanita tua yang berpengalaman, ia tidak melampiaskan rasa penasaran dan marahnya. Ia merangkul Ken Endok.

   "Genduk, benarkah apa yang dikatakan suamimu tadi bahwa engkau selama menikah ini belum pernah melayaninya?"

   

   Ken Endok menubruk ibu mertuanya sambil menangis.

   "Aduh ibu.....ampunkan saya..., apa yang dikatakan Kakang Gajahporo memang benar..."

   

   "Ehh....?Kalau begitu, lalu bagaimana engkau bisa mengandung?"

   

   "Huh, apa lagi kalau pelacur ini tidak bermaksud gila dengan laki-laki lain!"

   Bentak Gajahpuro dengan mata merah.

   "Perempuan seperti ini sepantasnya dibunuh saja!"

   

   "Eh, jangan gila, anakku!"

   Ibunya melarang dan melindungi Ken Endok dalam dekapannya.

   

   Akan tetapi Ken Endok tidak takut. Memang dara yang pernah menjadi kembang Dusun Pangkur ini memiliki ketabahan mengagumkan. Ia bangkit dari dekapan ibu mertuanya.

   "Kakang Gajahporo! Aku memang telah bersalah kepadamu, akan tetapi engkau bicara sembarangan saja! Aku memang telah berenang dalam lautan asmara dengan pria lain, akan tetapi tidak tahukah engkau siapa pria ini? Dia adalah Sang Hyang Brahma sendiri!"

   

   "Bohong! Cuhh! Bohong!"

   Dia meludah.

   "Siapa percaya obrolanmu?"

   

   "Sssttt..... jangan kurang ajar, Gajahpuro. Tidak boleh bicara seperti itu terhadap Sang Hyang Brahma....!"

   Wanita tua itu cepat-cepat menyembah.

   

   

   "Tapi ia bohong! Mana mungkin....."

   

   "Diamlah dan biarkan Ken Endok menceritakan pertemuannya dengan Sang Hyang Brahma."

   

   Pada jaman itu umumnya orang amat percaya kepada dewa yang menguasai jagat raya dan kehidupan manusia, maka sikap ibu dan Gajaporo ini sama sekali tidaklah mengherankan.

   

   Sambil menangis dan suara terputus-putus ken Endok lalu bercerita betapa mula-mula ia bertemu dengan Sang Hyang Brahma yang menjelma menjadi seorang pemuda priyayi yang menunggang kuda. Betapa kemudian dewa itu muncul kembali di tengah jalan ketika ia mengirim nasi suaminya ke ladang Ayugo dan di tengah perjalanan itulah ia menerima cinta kasih Sang Dewa.

   

   "Pantas nasinya hambar dan sayurnya asam!"

   Bentak Gajahporo marah.

   

   "Hush, tutup mulutmu! Ibunya menghardik.

   "Di mana terjadinya itu Ken Endok?"

   

   "Di tegal Lalateng, aku.....aku dibawanya terbang ke langit ke tujuh....."

   Terpaksa Ken Endok membohong karena ia takut kalau-kalau suaminya itu membunuhnya. Kembali wanita itu hanya menyembah dan kini Gajapuro sendiri termangu-mangu, merasa gentar. Kalau benar cerita istrinya, wah....jangan-jangan Sang Hyang Brahma akan menghukumnya.

   

   "Sudah beberapa kali kau.... kau.... begitu?"

   Akhirnya suami ini bertanya.

   

   Bagaimana pun juga, kedua pipi itu menjadi merah dan sambil menundukkan mukanya Ken Endok berterus terang.

   "Tiga kali, Kakang.....dan beliau berpesan bahwa sebelum anak ini terlahir, aku tidak boleh disentuh pria lain, dan kelak kalau anak ini terlahir laki-laki agar diberi nama Ken Arok"

   

   Hampir saja Gajahporo membentak "bohong"

   Lagi, akan tetapi kini dia mulai agak takut.

   

   "Jagat Wasesaning Bathara......!"

   Ibunya mengeluh dan memanjatkan doa ke atas.

   "Segala kehendak Sang Hyang Brahma pun terjadilah!"

   Dan ia pun bergegas meninggalkan rumah anaknya dengan hati gembira. Ada berita yang amat menggembirakan dibawanya. Ia tidak akan merasa malu, malah bangga! Anak mantunya dipilih oleh Sang Hyang Brahma. Maka nenek inilah yang membawa berita menggembirakan itu bahwa Ken Endok anak mantunya, mengandung keturunan Sang Hyang Brahma!

   

   Di dalam dunia ini, segala keadaan tidaklah dapat dikatakan baik atau buruk karena memang tidak ada sifat demikian. Baru timbul sifat baik atau buruk kalau sudah dinilai orang. Ketahyulan seperti yang menghuni batin ibu Gajahporo itu, baik atau burukkah? Ketahyulan itu adalah suatu keadaan yang tak dapat diubah lagi pada saat itu, suatu keadaan yang terjadi dan timbul karena suasana, karena kebudayaan, karena lingkungan dan karena jamannya. Baik atau buruk? Bisa dibilang baik tentu bisa pula disebut buruk, karena penilaian itu mengandung unsur keduanya. Kalau ada baiknya tentu saja ada buruknya, dan sebagainya lagi. Sampah itu buruk, kotor, sarang penyakit, kan tetapi di

   pihak lain juga pupuk yang baik sekali! Tahyul itu bodoh dan menimbulkan diri orang lain kadang-kadang, akan tetapi dilain pihak, tahyul merupakan suatu kekuatan iman yang kadang-kadang bermanfaat pula bagi diri sendiri. Ada penyakit yang berat dapat sembuh begitu saja hanya dengan ditiup ubun-ubunnya!

   

   Kalau mulai sekarang kita memandang segala sesuatu TANPA PENILAIAN, mungkin saja mata batin kita akan menjadi lebih waspada. Mudah-mudahan!

   "Tidak, bagaimanapun, malam ini engkau harus melayaniku! Aku berhak atas dirimu, Ken Endok! Bukankah engkau istriku dan aku sudah menyerahkan segala syarat ketika meminangmu? Beberapa ekor kerbau dan sapi juga tenagaku beberapa lama diperas ayahmu mengerjakan sawah ladang. Malam ini, mau tidak mau, kau harus melayani aku sebagai seorang istri!"

   

   "Tapi, Kakang. Aku sedang dalam keadaan hamil!"

   "Hamil atau tidak, peduli amat! Bukan aku yang menghamili! Hayo!"

   Gajahpuro yang sudah merasa cemburu dan marah itu lalu menangkap lengan istrinya dan menariknya ke dalam bilik tempat tidur mereka.

   

   "Kakang, engkau akan kualat, akan berdosa terhadap Sang Hyang Brahma!"

   "Bohong! Hanya bualanmu saja...."

   Tiba-tiba sepasang mata Gajahporo terbelalak ketika entah dari mana datangnya, seorang pemuda yang tampan tahu-tahu telah berdiri di dalam rungan itu!

   

   Melihat pemuda itu, Ken Endok meronta dan melepaskan diri dari rangkulan suaminya dan lari menghempiri pemuda itu.

   "Raden.....!"

   Dan ia menjatuhkan diri di depan kakinya sambil menangis.

   

   Gajahporo melihat bahwa yang datang itu sama sekali bukan Sang Hyang Brahma seperti yang pernah didengarnya dalam dongeng dan dilihatnya dalam bentuk arca, maka keberaniannya timbul.

   

   "Keparat, jadi engkau yang telah merusak pagar ayuku dan menjinahi istriku? Engkau harus kubunuh!!"

   Berkata demikian, Gajahporo yang sudah marah sekali itu menyambar sebatang arit yang terselip di bilik lalu menyerang dengan cepatnya. Akan tetapi, pemuda itu tersenyum dan miringkan tubuh. Ketika arit itu meluncur cepat, tangan kirinya dengan jari-jari terbuka miring menghantam tepat dan mengenai tengkuk Gajahpuro.

   

   "Kekk.....! Tubuh Gajahporo tersungkur dan disusul sebuah tendangan yang mengenai lambungnya.

   "Ngekkk....!"

   Dan tubuh itu pun tidak bergerak lagi.

   

   Melihat ini, ken Endok ketakutan dan menangis.

   "Ah, Raden, bagaimana ini.....?"

   

   "Jangan khawatir. Dia tidak akan berani menggangumu lagi. Sekarang juga, kau pulanglah ke rumah orang tuamu, mari kuantar sampai di sini dan mulai besok, kau harus minta cerai darinya."

   

   Ken Endok hanya menyetujui dan ia pun pulang ke rumah orang tuanya, diantar sampai dekat rumah oleh pemuda itu yang lalu sekali meloncat sudah lenyap dari situ. Kecepatannya bergerak seperti terbang saja sehingga menyakinkan hati Ken Endok bahwa anak dalam kandungannya memang seorang Dewa! Orang tuanya juga tak berani banyak cakap ketika menerima anak mereka karena mereka pun sudah mendengar yang disebarluaskan oleh ibu Gajahporo tentang anak mereka yang dipilih oleh Sang Hyang Brahma itu.

   

   Siapakah sebenarnya orang muda tampan yang mengaku titisan Sang Hyang Brahma itu? Tentu saja dia bukan dewa melainkan manusia biasa. Tentang dia keturunan atau titisan Sang Hyang Brahma, atau Syiwa, atau Wisnu, siap tahu? Namanya adalah Ginantoko, seorang yang masih keponakan dari seorang senopati di Kadipaten Tumapel.

   Bukan darah adipati atau raja muda, akan tetapi juga termasuk seorang keluarga priyayi. Ginantoko ini tinggal di Tumapel dan dia seorang yang memiliki aji kesaktian karena dia seorang murid dari Empu Gandring yang amat terkenal itu. Sebetulnya, Ginantoko bukan seorang perjaka lagi. Dia sudah mempunyai seorang istri yang pada waktu itu sedang mengandung. Mungkin karena istrinya sedang mengandung itulah, maka ketika dia bertemu dengan Ken Endok yang merupakan seorang perawan dusun yang manis, dia tergila-gila dan menggodanya sehingga dia menghamili gadis itu dengan menyamar sebagai titisan Sang Hyang Brahma. Hal itu dilakukan dengan dua maksud.

   Pertama agar gadis tunduk dan rela menyerahkan diri, kedua agar perbuatannya itu dapat tersembunyi karena dia pun tidak pernah memperkenalkan dirinya. Kalau sampai diketahui orang bahwa dia menjinai istri orang, tentu pamannya yang menjadi senapati akan marah sekali! Memang, Ginantoko yang sakti itu dalam usianya yang belum ada tiga puluh tahun, memiliki kelemahan yang lazim pada kebanyakan pria, yaitu tukmis (batuk kelimis), alias mata keranjang! Namun karena dia tampan dan sakti maka banyaklah wanita yang bertekuk lutut menyerahkan diri kepadanya tanpa dia pernah menggunakan pemaksaan.

   
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ginantoko menjadi murid Empu Gandring sejak berusia sepuluh tahun dan dia sesungguhnya masih terhitung keponakan Empu Gandring sendiri. Seperti tercatat dalam sejarah, Empu Gandring adalah seorang pembuat keris yang kenamaan di Kerajaan Tumapel. Akan tetapi selain ahli pembuat keris, dia juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan seorang yang sakti mandraguna. Ginantoko mempelajari pembuatan keris sekedarnya saja akan tetapi lebih tekun mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian.

   

   Karena dia seorang yang mata keranjang, tampan dan pandai merayu wanita, maka banyak wanita, baik gadis maupun sudah bersuami, yang pernah menjadi kekasihnya secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak terpaksa sekali, jarang dia memperkenalkan namanya yang asli, seperti ketika merayu Ken Endok, dia pun bahkan mengatakan sebagai titisan Sang Hyang Brahma.

   

   Akan tetapi, agaknya sudah lazim di dunia ini bahwa seorang pria yang memiliki watak mata keranjang, dia bukan seorang yang pecinta sejati dalam arti kata dia tidak mengenal apa yang dinamakan kesetiaan. Dia mudah bosan dan melupakan yang lama begitu dia mendapatkan yang baru.

   

   Demikian pula halnya dengan Ginantoko. Dia selalu menghubungi seorang wanita untuk beberapa bulan saja, atau paling lama setelah wanita itu mengandung, maka dia pun tentu akan meninggalkannya! Apalagi kalau matanya yang berminyak sudah memperoleh seorang calon mangsa baru.

   

   Kalau dikaji benar, sifat mata keranjang agaknya memang sudah menjadi pembawaan setiap pria di dunia ini, atau bahkan mungkin menjadi pembawaan setiap makluk jantan di dunia ini yang condong untuk berwatak poligami, yaitu ingin memiliki lebih dari satu kawan hidup atau istri. Hanya saja, manusia mengenal cinta atau kesetiaan dan inilah yang menjadi pengekangnya. Hanya mereka yang tidak mempunyai cinta dan kesetian, maka dia akan menjadi liar dan condong oleh sifatnya yang mata keranjang. Dalam hal ini, pria yang bernama Ginantoko tidak sadar bahwa kebiasaannya itu amat buruk. Bahkan tidak menjadikannya merasa malu. Sebaliknya malah, dia akan merasa bangga merasa seperti menjadi seorang Arjuna yang digilai banyak wanita. Betapa tidak? Bukankah Sang Arjuna yang di dunia pewayangan dijuluki "lelananging jagat" (jantan dunia) juga seorang pria mata keranjang dan mempunyai banyak sekali istri dan kekasih gelap?

   

   Jahatkah sifat mata keranjang seperti yang dimiliki Ginantoko atau Sang Arjuna sekalipun itu? Ini pun tergantung pada diri penilai. Kalau saja dia berhubungan dengan wanita atas dasar suka sama suka dan wanita itu masih bebas , siapa dapat mengalahkan dia atau wanita itu? Asalkan dia tidak diperkosa, mempergunakan kekerasan memaksa wanita, atau asal tidak menggoda wanita yang sudah bersuami sehingga rumah tangga suami istri itu jadi hancur. Di sinilah letak kesalahan Ginantoko, seperti juga yang sering dilakukan oleh Sang Arjuna, Ginantoko tidak lagi memperhitungkan apakah wanita itu bersuami ataukah tidak. Kalau bertemu seorang cantik yang berkenan di hatinya, lalu wanita itu membalas lirikannya, membalas senyumnya, tentu dia merayu sampai wanita itu berhasil tidur dalam pelukannya, tanpa memperdulikan apakah wanita itu istri orang atau bukan.

   Dan hal ini tentu saja berakibat panjang Ginantoko dimusuhi banyak suami yang merasa cemburu! Akan tetapi Ginantoko seorang murid Empu Gandring yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga ketika melihat Ken Endok hendak dipukul suaminya saja, dia yang memang melakukan pengamatan lalu turun tangan dan memukul roboh suami wanita itu! Dan masih banyak suami-suami terdahulu yang dirobohkannya kalau berani menyerangnya karena cemburu. Kalau sudah demikian, maka tentu saja petualangan asmaranya itu sudah termasuk jahat karena merugikan orang lain.

   Pernah Empu Gandring menegur dan memberi nasihat kepada murid dan juga keponakannya ini.

   "Ginantiko, kenapa engkau masih juga belum mau mengubah sepak terjangmu dalam hidup yang penuh dengan penyelewengan itu? Kemarin aku menerima pelaporan Ki Demang Gawangan yang mengabarkan bahwa seorang selirnya kau ganggu."

   

   Ginantoko tersenyum menghadap gurunya dan juga pamannya itu.

   "Paman, kalau selir Demang itu sendiri yang suka kepada saya, lalu melayani hasratnya, bukankah berarti saya yang telah menolongnya, juga membantu Ki Demang agar selirnya itu tidak menjadi terluka dan sakit hati karena Ki Demang yang sudah tua tidak mampu melayani hasratnya yang bernyala-nyala?"

   

   Mau tidak mau Empu Gandring tersenyum juga. Keponakannya ini memang pandai bicara, dan teringatlah dia akan nasib adiknya, ayah dari Ginantoko, yaitu Empu Krepo. Adiknya itupun memiliki watak yang sama dengan Ginantoko, hanya karena adiknya itu tidak setampan Ginantoko, maka banyak wanita yang menolaknya sehingga pada suatu hari dia melakukan pemaksaan atas diri seorang wanita dan akibatnya dia harus menebus dengan nyawa karena dia dikeroyok oleh suami dari wanita itu bersama teman-temannya.

   

   "Jangan begitu, Nantoko. Kalau kau lanjut-lanjutkan, akhirnya engkau pun akan terancam bahaya maut, karena pria mana yang tidak akan merasa sakit hatinya kalau melihat istrinya diganggu pria lain? Musuhmu menjadi bertambah banyak dan engkau tahu diri, ilmu kadigdayaan itu ada batasnya. Setinggi-tingginya Gunung Mahameru, masih ada langitnya dan bintang yang tak terhitung yang jauh lebih tinggi lagi. Sepandai-pandainya orang, tentu akan ada yang lebih pandai lagi."

   

   Ginantoko mengerutkan alisnya.

   "Maaf, Paman. Saya kira mati bukanlah urusan kita, setiap orang pada akhirnya maesti mati. Kalau Yang Maha Kuasa mneghendaki, saya tidak akan mati biar dikeroyok seribu orang sekalipun. Akan tetapi kalau Sang Hyang Syiwa sudah menghendaki, biar saya bersembunyi di lubang semut, maut akan datang juga menjemput. Ada yang mati dalam perang karena dia perajurit, mati dalam perkelahian karena pendekar, dan kalau saya mati karena urusan perempuan yang memang menjadi kesukaan saya, maka saya pun sudah rela."

   

   Mendengar bantahan itu, Empu Gandring hanya menggeleng-gelengkan kepala.

   "Kehendak Hyang Widhi tak dapat diubah oleh siapa pun juga...."

   Keluhnya. Bagi Ginantoko, ucapan itu dikiranya membenarkan pendapatnya tadi, padahal maksud Empu Gandring adalah lain. Dia melihat dengan indra ke enamnya bahwa pemuda itu akhirnya akan mengalami nasib yang sama seperti mendiang ayahnya. Dia sudah mencoba untuk mengingatkan. Nasib seorang bergantung di dalam tangannya sendiri. Kalau orang mau mengubah kebiasaan yang buruk, tentu nasibnya akan berubah pula.

   

   Semenjak Ken Endok bercerai dari suaminya dan wanita yang sudah mengandung ini tinggal di Dusun Pangkur dan bekas suaminya Gajahporo tinggal di Dusun Cempoko, terdengar berita bahwa lima hari setelah perceraian itu, Gajahporo meninggal dunia! Hal ini sebenarnya terjadi karena luka di sebelah dalam tubuhnya akibat pukulan dan tendangan Ginantoko yang sakti. Akan tetapi karena berita bahwa Ken Endok dipilih Sang Hyang Brahma sebagai istri dan telah mengandung keturunan dewa itu, maka ramailah orang mempercakapkan kematian itu. Sebagian besar mengatakan bahwa tentu Gajahporo telah melakukan pelanggaran, hendak menggauli istrinya, terkena kutuk dan kualat!

   Dan malanglah bagi Ken Endok, sejak bercerai dan kematian bekas suaminya. Sang Arjuna tidak pernah muncul lagi! Agaknya setelah ia mengandung. Laki-laki tampan itu tidak berminat lagi mendekatinya dan jadilah Ken Endok seorang janda yang mengandung tua tanpa suami!

   

   Mulailah penyesalan datang dalam hati wanita ini. Penyesalan yang sudah terlambat. Dan memang sesal kemudian tidak ada gunanya sama sekali, hanya mengundang kedukaan dan kekeruhan pikiran yang akan menimbulkan perbuatan-perbuatan yang sesat pula. Kadang-kadang, kesenangan sekelumit yang dinikmati akan mendatangkan penyesalan selama hidup. Oleh karena itu, sekali lagi, orang bijaksana tidak akan MENGEJAR KESENANGAN, walaupun hal ini bukan berarti menolak kesenangan yang sudah menjadi hak setiap manusia untuk menikmatinya. Kandungannya semakin tua dan hatinya semakin trenyuh. Pria yang diidamkannya tak kunjung datang biar pun setiap malam ia sudah bersembahyang memohon kepada Sang Hyang Brahma agar berkenan mengunjunginya. Tentu saja sebagai seorang yang percaya penuh akan anggapan bahwa ayah anak yang dikandungnya adalah Sang Hyang Brahma, Ken Endok tidak berani marah dan hanya tenggelam dalam kesedihannya saja.

   Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tentu saja tidak lepas dari pada ikatan sebab dan akibat. Ada akibat tentu ada sebabnya, dan ada sebab tentu saja ada akibatnya. Pada suatu pagi, dua pasang manusia sedang berkasih-kasihan di tepi Sungai Brantas, di lembah yang hijau subur. Mereka berdua saling berangkulan dengan asyik masyuk, lupa akan keadaan di sekeliling mereka. Seolah-olah di dalam dunia hanya ada mereka berdua yang perempuan adalah seorang muda paling banyak dua puluh lima tahun, berkulit agak hitam, akan tetapi hitam manis.

   

   "Ihh, kau nakal, Kakangmas!"

   Si perempuan menepiskan tangan Ginantoko yang jahil dan mengakibatkan kemben wanita itu terlepas.

   

   Ginantoko merangkul dan mencium bibir itu dengan mesra, membuat si wanita hanya dapat merintih.

   "kenapa nakal? Bukankah kita sudah sering melakukan?"

   

   "Benar, akan tetapi di malam hari, dan di tempat yang tersembunyi. Bukan pagi-pagi hari begini."

   

   "Apa bedanya? Di sini pun sunyi dan pagi ini cerah sekali, hawanya sejuk menimbulkan selera...."

   

   "Ihh, kau tak puas-puasnya!"

   

   "Mana bisa puas menghadapi seorang wanita sepertimu, Diajeng Galuhsari? Kalau bisa, kau ingin kutelan agar selamanya berada dalam diriku."

   

   "Hiiih, apa kau mau menjadi Buto Ijo?"

   Wanita itu cemberut dan mereka tertawa-tawa sambil bermesraan.

   Dua insan itu sama sekali tidak mengira bahwa agak jauh dari tempat itu, di balik semak belukar, terdapat lima pasang mata yang mengintai semua gerak-gerik mereka. Lima pasang mata yang semakin lama semakin merah menyala saking marahnya. Andaikata dua insan itu tidak sedang tenggelam dalam nafsu birahi, tentu mereka akan dapat mengetahui bahwa mereka sedang diintai bahaya. Ginantoko adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna dan pendengaran dan penglihatannya sudah terlatih dengan amat baik sehingga kedatangan orang yang mendatangkan sedikit suara saja sudah akan dapat ditangkapnya. Juga wanita hitam manis itu bukan sembarangan. Wanita yang bernama Galuhsari itu adalah istri dari ketua perkumpulan Sabuk Tembaga yang terkenal sebagai perguruan pencak silat yang terkenal.

   Dan sebagai istri ketua perkumpulan itu, tentu saja Galuhsari juga pandai ilmu bela diri dan tidak sembarang orang, biar dia laki-laki, mampu mengalahkannya. Kalau dia sampai jatuh hati dan mau saja dipermainkan dalam cinta oleh Ginantoko adalah karena pertemuan mereka yang pertama kali amat terkesan di hatinya karena ia dikalahkan oleh Ginantoko! Pertemuan itu terjadi di dalam hutan ketika Galuhsari sedang memburu kijang. Ketika ia melepaskan anak panah, tiba-tiba saja anak panahnya itu disambar orang dan Ginantoko menangkapkan kijang itu hidup-hidup untuknya. Mula-mula Galuhsari marah dan terjadi perkelahian di antara mereka, namun Ginantoko mempermainkan wanita itu yang akhirnya terjatuh ke dalam pelukannya!

   

   Siapakah lima orang yang sedang mengintai dari balik semak belukar itu? Bukan lain adalah Ki Bragolo sendiri, ketua dari perkumpulan Sabuk Tembaga! Dan yang empat orang adalah murid kepala yang sudah memiliki tingkat paling tinggi di antara para murid Sabuk Tembaga.

   

   Mudah saja dibayangkan betapa perasaan hati Ki Bragolo menyaksikan istrinya bermain cinta begitu bebasnya di alam terbuka, tanpa malu-malu sama sekali! Dan yang membuat dia semakin panas hatinya, belum pernah istrinya bersikap seberani dan segairah itu apabila bermain cinta dengan dia, suamiya! Galuhsari telah menjadi istrinya selama hampir sepuluh tahun, ketika wanita itu baru menginjak usia enam belas tahun dan dia sendiri sudah lima puluh tahun, Kini usianya sudah enam puluh tahun. Namun Ki Gragolo adalah seorang kakek yang betubuh tinggi besar seperti raksasa, dengan tenaga gajah dan senjatanya yang ampuh, yaitu sabuk tembaga, yang juga menjadi nama perguruannya, amat ditakuti orang!

   

   Tentu saja Ki Bragolo tidak kuasa menahan lagi kesabaran hatinya. Dia tidak rela membiarkan istrinya itu menikmati permainan cinta liar itu sampai puas, dan dengan penuh kemarahan dia meloncat keluar diikuti oleh empat orang muridnya, yaitu empat laki-laki yang usianya rata-rata sudah tiga puluh tahun lebih. Mereka berempat juga merasa panas hatinya melihat betapa istri guru mereka bermain cinta demikian mesranya dengan Ginantoko. Mereka semua diam-diam juga tergila-gila pada istri guru mereka yang cantik, akan tetapi tak seorang pun di antara mereka pernah memperoleh kesempatan mencicipi madu kembang itu yang sama sekali memperlihatkan sikap ramah atau mesra kapada pria lain. Dan kini tahu-tahu bermain cinta sedemikian mesranya dengan laki-laki lain.

   

   Tentu saja Ginantoko dan Galuhsari terkejut bukan main melihat keluarnya lima orang itu, apalagi ketika mengenal bahwa yang keluar itu Ki Bragolo sendiri bersama empat orang murid cabang atas. Wajah Galuhsari menjadi pucat, akan tetapi cepat ia membereskan pakainnya.

   

   Ginantoko sendiri memperlihatkan sikap seorang petualang asmara yang tulen. Dengan amat tenangnya, sambil tersenyum, dia membereskan pakaiannya, bahkan sempat membereskan gelungan rambutnya sebelum menghadapi lima orang itu sambil tersenyum ramah!

   

   "Kiranya paman Ki Bragolo yang datang. Selamat pagi, Paman."

   Dapat dibayangkan betapa dada raksasa tua itu seperti akan meledak! Dengan mata melotot seperti akan keluar dari pelupuknya, Ki Bragolo membentak.

   "Ginantoko, jahanam keparat! Engkau telah merusak pagar ayu, mengganggu istriku dan engkau masih bersikap seperti ini dan tidak lekas berlutut minta ampun?"

   

   Ginantoko tersenyum lebar dan mengusap keringat di leher dan dahinya. Permainan asyik dan masyuk bersama kekasihnya tadi membuat dia berkeringat.

   "Paman Ki Bragolo, seorang laki-laki tidak akan melarikan diri dari kenyataan, tidak akan melarikan diri dari tanggung jawab. Memang aku dan Diajeng Galuhsari saling mencintai. Itulah kenyataan dan sekarang terserah kepada Paman. Untuk apa aku minta ampun?"

   

   "Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat memecahkan batu hitam! Ginantoko, perbuatanmu yang laknat itu hukumannya hanya satu yaitu hukuman mati!"

   

   "Hemmm, begitukah, paman? Dan siapa gerangan orang yang akan menghukum aku?"

   

   "Akulah yang akan membunuhmu, keparat!"

   Bentak seorang di antara murid Ki Bragolo, dan dia sudah menerjang ke depan setelah dia tadi melolos sabuknya. Setiap murid perguruan Sabuk Tembaga selalu memakai sebuah sabuk terbuat dari tembaga di pinggangnya, dan tingkat mereka dapat diukur dari tebal tipis dan berat ringannya sabuk itu. Kini penyerang yang tingkatnya sudah paling tinggi di antara murid-murid itu, sabuknya tebal dan besar, tidak kurang dari lima kilo beratnya.

   

   "Wirr......!"

   Sabuk yang berat dan panjangnya tidak kurang dari satu meter itu diayun di atas kepalanya lalu turun menyambar ke arah kepala Ginantoko. Pemuda itu masih tersenyum, lalu dengan sedikit miringkan kepala, sambaran sabuk itu pun luput. Penyerangnya penasaran dan sabuk itu tidak berhenti, terus membuat gerakan melengkung dan membalik, kini menyambar ke arah dada Ginantoko.

   

   Ginantoko tidak beranjak dari tempat dia berdiri hanya kini tangan kirinya menangkis sambaran sabuk tembaga itu. Sungguh perbuatan yang berani sekali, menangkis sambaran senjata itu dengan tangan kosong saja.

   

   "Plakk! Desss!"

   Dan tubuh murid pertama itu pun terpelanting. Kiranya lengan kiri Ginantoko kebal dan dapat menangkis senjata itu dan berbareng dia sudah mengirim tendangan yang mengenai perut lawan, membuat lawan terjengkang dan terpelanting.

   

   Marahlah Ki Bragolo. Dia menggereng seperti seekor beruang marah, dan sabuknya yang beratnya belasan kilo itu pun sudah merada di tangan kanannya. Juga tiga orang murid lainnya sudah marah dan mereka pun menyerbu. Murid yang tadi tertendang jatuh juga bangkit lagi.

   

   "Aha, kiranya ketua Sabuk Tembaga hanyalah seorang kakek yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan!"

   Ginantoko berseru mengejek sambil melakukan pengelakan dengan loncatan ke kanan dan ke kiri dengan amat lincahnya, kadang-kadang menangkis dengan kedua lengannya.

   Memang hebat pemuda ini . Hantaman sabuk tembaga di tangan Ki Bragolo yang beratnya belasan kilo pun berani dia menangkisnya. Sementara itu, Galuhsari hanya nonton dengan hati tidak karuan rasanya. Ia memang benar istri Ki Bragolo, sudah sepuluh tahun, akan tetapi mereka tidak mempunyai anak, dan pula, ia tidak pernah dapat mencintai suami yang sepak terjangnya seperti raksasa, kasar dan tidak pernah memperlihatkan kemesraan itu. Di tangan Ki Bragolo, ia merasa seperti menjadi boneka yang dipermainkan saja.

   Berbeda kalau ia bercinta dengan Ginantoko, ia benar-benar merasakan kenikmatan karena ia bukan hanya dicintai dan dipermainkan, melainkan ia pun mencinta dan memparmainkan, permainan cinta mereka bukan sepihak saja, melainkan permainan mereka bersama dan dinikmati bersama. Hanya kini ia merasa menyesal karena ia telah menyeret Ginantoko ke dalam kesulitan. Menghadapi suaminya kini, apalagi masih dibantu empat orang murid, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya dan berat.

   

   Namun, semakin lama ia menjadi semakin kagum terhadap kekasihnya. Ginantoko benar-benar hebat. Kini bukan saja ia dapat mengelak dan menangkis, bahkan mulai membalas. Ketika ada sabuk tembaga menyambar ke arah perutnya dari samping, dia malah tersenyum dan tidak menangkis, membiarkan sabuk itu mengenai lambungnya.

   

   "Bukk!"

   Dan si pemegang sabuk itu menjerit kesakitan karena telapak tangannya sendiri lecet. Seolah-olah sabuknya tadi menghantam lambung baja saja. Ki Bragolo maklum bahwa pemuda murid Empu Gandring ini memang kebal, maka dia pun berseru.

   "Serang kepalanya!"

   

   Memang Ki Bragolo yang sudah tua itu, banyak pengalamannya. Orang boleh kebal badannya, akan tetapi sukar untuk mempelajari ilmu kekabalan kepala! Di kepala terdapat otak yang mudah terguncang, apalagi di bagian muka terdapat bagian-bagian lemah seperti mata, hidung, mulut, dan telinga. Setelah kini lima batang sabuk tembaga menghujamkan serangan ke arah kepalanya, Ginantoko mulai terdesak. Pukulan mengenai leher, pundak ke bawah, diterimanya dengan perlindungan kekebalan, akan tetapi yang menyerang kepala terpaksa harus ditangkis atau dielakkan. Dia pun mulai marah dan sambil mengeluarkan pekik panjang, tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan dan dua orang murid Sabuk Tembaga jatuh terseungkur dan tidak ada yang mampu bangkit kembali terkena pukulan kedua tangan yang ampuh dari pemuda itu.

   

   Melihat ini, Ki Bragolo terkejut, Ginantoko mendapat hati, dan kini ia mendesak lagi dua orang murid lainnya. Dipikirnya, kalau empat orang murid mudah roboh, akan mudah baginya untuk menghadapi dan mengalahkan Ki Bragolo yang tangguh itu. Melihat itu, Ki Bragolo khawatir kehilangan semua muridnya. Pada saat Ginantoko melancarkan serangan dahsyat ke arah dua orang muridnya, diam-diam dia melolos sebatang keris dari pinggangnya dan menusukkan keris itu ke dada Ginantoko. Pemuda itu masih tersenyum dan menerima tusukan keris itu sambil mengerahkan tenaga sakti di tubuhnya untuk membuat bagian dada yang tertusuk itu menjadi kebal. Keris itu meluncur dan menghujam dada.

   

   "Crapp.....!"

   

   "Aduuuuuhhh...... heiiii, aduh.....!"

   Ginantoko mengeluh keheranan dan ketika keris itu dicabut, darah muncrat-muncrat keluar dari dadanya karena ujung keris mengenai jantungnya.

   "Kakangmas........!"

   Galuhsari menjerit dan lari menubruk kekasihnya, kemudian ia pun melompat dan melolos sabuk tembaga dari pinggangnya.

   "Engkau..... engkau..... curang, mengeroyok dan membunuhnya."

   Dan istri ini pun seperti seekor singa betina telah menerjang suaminya sendiri. Akan

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   tetapi, karena Ki Bragolo adalah guru juga dari Galuhsari, dengan mudah Ki Bragolo mengelak, lalu dengan keris yang masih basah oleh darah Ginantoko itu meluncur dan memasuki dada Galuhsari. Wanita itu menjerit dan roboh terguling.

   

   Ginantoko merangkak duduk dan memandang ke arah keris di tangan lawan. Dia melihat sebatang keris panjang dengan lekukan lima belas, sebatang keris yang mengeluarkan sinar aneh dan melihat keris itu, dia menjadi pucat.

   "Empu.... Empu Gandring..."

   

   "Ha-ha-ha-ha, manusia hina. Memang benar, aku meminjam pusaka Nogopasung ini dari gurumu sendiri, ha-ha-ha-ha!"

   

   "Ah, paman Empu Gandring...... aku mati oleh kerismu..... semoga engkau pun akan mati oleh kerismu sendiri....."

   Dan Ginantoko pun terkulai dan menghembuskan napas terakhir, hampir bersamaan dengan kekasihnya.

   "Kakang Empu, terima kasih atas pemberian pinjam keris pusaka Nogopasung ini. Terima kasih dan ini saya kembali dalam keadaan utuh,"

   Kata Brogolo kepada Empu Gandring yang duduk dikelilingi cantriknya.

   Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

   Empu Gandring menerima keris itu dan mencabutnya dari sarungnya. Melihat betapa di ujung keris itu ada darah yang sudah kering, sepasang alis kakek itu berkerit dan Ki Bragolo cepat berkata.

   "Maafkan saya, Kakang Empu. Sudah saya usahakan untuk mencuci bersih noda darah itu, namun tidak berhasil."

   

   Kakek itu manarik napas panjang dan mengangguk-angguk.

   "Kalau yang menodai hanya darah pria saja, atau darah wanita, tentu mudah dibersihkan. Akan tetapi kalau yang menodai darah campuran antara darah pria dan darah wanita, tak mungkin dilenyapkan, Adi Bragolo. Sekarang katakan saja terus terang, darah siapakah yang telah menodai Kyai Nogopasung ini?"

   Ketika melihat Ki Bragolo nampak ragu-ragu dan wajahnya pucat, Empu Gandring berkata lagi.

   "Tak usah ragu-ragu atau khawatir, Adi Bragolo. Segala peristiwa yang terjadi sudah dikehendaki oleh Hyang Widhi Wasa, yang penting kita berada dipihak yang benar. Tanpa kau ceritakan aku dapat mengetahui, akan tetapi aku tidak ingin mendahului kenyataan."

   

   Mendengar ini, Ki Bragolo mengusap air matanya. Ampun beribu ampun, Kakang Empu, terus terang saja, ketika meminjam keris pusaka itu, saya sudah mempunyai niat untuk membunuh murid dan keponakan Kakang sendiri, yaitu Ginantoko! Dia telah berjina dengan istri saya, maka tidak ada jalan lain bagi saya kecuali membunuh mereka."

   Sang Empu Gandring menarik napas panjang dan memejamkan matanya sejenak. Dia amat mencintai Ginantoko, akan tetapi pemuda itu memang tewas oleh ulahnya sendiri dan hal ini beberapa bulan yang lalu pernah ia peringatkan.

   "Ahh, engkau tidak bijaksana menjadi suami. Akan tetapi, mengapa untuk membunuhnya engkau harus meminjam pusakaku?"

   "Maaf, Kakang Empu. Ginantoko adalah murid Kakang, memiliki kekebalan yang ampuh dan saya menduga bahwa kekebalannya itu hanya akan punah kalau diterjang pusaka ciptaan Empu Gandring. Bukan begitu, Kakang Empu?"

   

   Empu Gandring menarik napas panjang.

   "Dugaanmu yang tepat itu menjadi tanda bahwa memang sudah tiba saatnya Ginantoko harus meninggalkan dunia ini. Dan memang dia sudah mengatakan bahwa dia akan puas kalau tewas dalam melaksanakan kesukaannya dan dia tewas diujung keris yang sama dengan kekasihnya yang terahir. Aduhhh, dunia penuh dengan kesengsaraan yang dibuat oleh manusia sendiri."

   

   Setelah Ki Bragolo dan murid-muridnya meninggalkan padepokan Empu Gandring, kakek ini lalu mengutus cantrik-cantriknya untuk mengambil jenazah Ginantoko dan Galuhsari, mengurus jenasah dengan seperlunya. Untuk pembakaran kedua jenazah itu, dia memberi tahu kepada istri Ginantoko yang masih mengandung.

   

   Istri Ginantoko juga bukan orang sembarangan. Ia bernama Dyah Kanti, puteri tunggal dari panembahan Pronosidhi yang bertapa di lereng Gunung Anjasmoro. Ketika pertam kali bertemu dengan Dyah Kanti yang menjadi istrinya itu, Ginantoko masih menjadi murid Empu Gandring dan belum nampak sifatnya yang mata keranjang. Baru setelah dia menikah dan istrinya mulai mengandung, penyakit mata keranjang itu menghinggapinya dan makin lama makin meghebat.

   

   Dyah Kanti menangis dan kalau saja ia tidak sedang mengandung, tentu akan ikut mati obong (bunuh diri dalam api) bersama jenasah suaminya. Akan tetapi Empu Gandring, dan juga anembahan Pronosidi yang hadir, menasehatinya. Bahkan ketika wanita itu menyatakan kemarahan dan dendamnya kepada Ki Bragolo, ayahnya sendiri menegurnya.

   

   "Angger Kanti, anakku. Tenangkan dulu batinmu dan jernihkan pikianmu. Orang tidak harus melihat akibat saja tanpa menjenguk sebabnya. Kematian suamimu dibunuh orang hanyalah akibat, dan sebabnya terletak pada diri suamimu sendiri. Menuruti perasaan dan dendam hanya akan mercuni batinmu. Sekarang duduklah engaku dengan tenang dan bayangkan dirimu sendiri. Andaikata engkau seorang suami lalu melihat istrimu digoda pria lain, apa yang akan kau lakukan?"

   

Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Tawon Merah Bukit Hengsan Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini