Keris Pusaka Nagapasung 10
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
"Paman ini adalah cucu Panembahan Pronosidhi!"
Kata Gagaksampar dan mendengar ini, seketika Gagakmeto membalikkan tubuhnya, menghadapi Joko Handoko dengan mata melotot marah. Dia mengangkat lengan kirinya ke atas dan nampak oleh Joko Handoko betapa lengan itu, di bawah siku, nampak bengkok, tanda bahwa lengan itu pernah patah tulangnya. Dan memang tulang lengan kiri itu pernah patah terkena sambaran aji kesaktian Nogopasung yang dipergunakan mendiang Panembahan Pronosidhi ketika membela diri dari pengeroyokan orang-orang Hastorudiro.
"Keparat, engkau harus membayar hutang kakekmu kepadaku!"
Dan seperti juga Ki Gagaksampar tadi, tiba-tiba saja Ki Gagakmeto sudah menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah dada Joko Handoko. Pemuda ini merasa mendongkol juga. Tak disangkanya bahwa orang-orang Hastorudiro begini kasar dan sukar diajak bicara secara baik. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat, dia pun mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Duukkkk........!"
Dua lengan yang terisi tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Ki Gagakmeto terhuyung ke balakang sedangkan Joko Handoko masih berdiri tegak! Hal ini bukan saja mengejutkan dua orang adik seperguruan ketua Hastorudiro itu, akan tetapi juga membuat mereka marah.
"Kalian ini orang-orang kurang ajar, menyambut tamu seperti ini!"
Wulandari sudah membentak lagi dan ia pun memutar sabuk tembaganya menghadang di depan Joko Handoko. Sebaliknya, Joko Handoko malah khawatir melihat sikap Wulandari yang galak karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang itu saja sudah lebih tinggi dari tingkat gadis itu.
"Paman berdua mundurlah, biar aku menghadapi pengacau-pengacau ini!"
Tiba-tiba terdengar suara halus dan tiba-tiba saja sebuah tangan yang sudah menangkap ujung sabuk tembaga yang diputar oleh Wulandari.
Gadis itu terkejut, sukar dipercaya bahwa ada orang mampu menangkap ujung sabuk yang diputarnya, karena hal itu lebih berbahaya dari pada menangkap sebatang pedang tajam yang sedang diputar. Akan tetapi jelas bahwa sabuknya telah ditangkap ujungnya dan ketika ia mencoba untuk menariknya, sabuk itu tetap saja terpegang dan tidak terlepas dari pegangan orang. Ia pun memandang penuh perhatian. Dua pasang mata bertemu dan pemuda yang menangkap ujung sabuk tembaga itu tersenyum ketika melihat bahwa yang memegang sabuk tembaga adalah seorang gadis yang masih muda dan cantik manis sekali.
"Ah, kiranya seorang adik yang manis sekali! Sungguh mengherankan, siapakah andika dan mengapa andika membikin ribut di sini?"
Pramudento bertanya sambil melepaskan ujung sabuk tembaga.
"Dua ekor monyet tua ini yang membikin ribut. Kami datang baik-baik dan mereka menyambut dengan serangan! Wulandari menjawab dengan ketus, agak jenuh karena maklum bahwa pemuda tampan yang muncul ini tangguh bukan main, dan agaknya lebih tangguh dari pada dua orang kakek itu. Pramudento menoleh dan memandang kepada dua orang paman gurunya dengan heran mengapa dua orang itu menerima kunjungan seorang gadis semanis dia dengan kasar.
"Pemuda itu adalah cucu Panembahan Pronosidhi dari Anjasmoro!"
Teriak Ki Gagaksampar. Mendengar disebutnya nama ini, Pramudento mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju menghadapi Joko Handoko.
"Jadi kamu datang untuk memwakili aliran Hati Putih dan memata-matai kami?"
Bentak Pramudento dengan sikap mengejek dan memandang rendah.
"Apakah kamu berkepala tiga dan berlengan enam maka berani sekali menentang kami?"
Berkata demikian Pramudento sudah menggerakkan tangan kirinya menampar. Cepat sekali gerakannya, dan ketika Joko Handoko melangkah mundur mengelak, dia merasa betapa ada hawa panas sekali keluar dari telapak tangan pemuda itu. Terkejutlah Joko Handoko karena dia tahu bahwa pemuda ini kejam sekali, begitu menyerangnya telah mempergunakan aji pukulan yang ganas, yang kalau mengenai sasaran tentu akan berbahaya sekali.
Sebelum Pramudento menyerang lagi, terdengar seruan Ki Kebosoro.
"Dento, tahan......."
Kakek ketua aliran Hastorudiro ini tadi mendengar ribut-ribut dan cepat melangkah keluar. Dia segera menahan puteranya yang kelihatan hendak menyerang seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
"Dento, apa yang telah terjadi? Siapakah ki sanak ini?"
Dia memandang kepada Joko Handoko. Melihat kakek yang pendek gemuk dan sikapnya penuh wibawa ini, Joko Handoko menduga bahwa tentu inilah ketua aliran Hastorudiro, maka dia cepat maju dan membungkuk dengan sikap hormat.
"Maafkan kami, Paman. Saya bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro, dan ini adalah diajeng Wulandari, puteri ketua Sabuk Tambogo. Kami sengaja datang untuk bertemu dengan ketua Hastorudiro. Apakah paman yang menjadi ketua perkumpulan Hastorudiro?"
Diam-diam Ki Kebosoro juga terkejut mendengar bahwa pemuda itu datang dari Gunung Anjasmoro, akan tetapi dia dapat menahan perasaannya dan tidak sembrono seperti dua orang adik seperguruannya atau puteranya.
"Hemmm, orang muda, aku adalah Ki Kebosoro, ketua aliran Hastorudiro. Andika datang dari Anjasmoro, apakah dari aliran Hati Putih?"
"Tidak keliru, paman Kebosoro, aku adalah cucu mendiang eyang Panembahan Pronosidhi, akan tetapi kedatanganku ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kesalahpahaman yang terjadi antara Hastorudiro dan Hati Putih, justeru kedatanganku ini untuk menjelaskan segalanya, karena kedua pihak telah menjadi korban fitnah dan adu domba paman.
Ki Kebosoro mengerutkan alisnya dan memandang wajah itu penuh selidik.
"Orang muda, apa maksud kata-katamu itu?"
Joko Handoko menoleh ke kanan kiri dan melihat betapa banyak tamu yang kini memperhatikan percakapan mereka, dia pun membungkuk lagi.
"Paman Kebosoro, rahasia yang akan kusampaikan ini teramat penting, bahkan menyangkut keselamatan Hastorudiro yang terancam bahaya. Dapatkah kita bicara di dalam agar tidak terdengar orang lain?"
"Kakang Kebosoro kenapa melayani bocah dari aliran Hati Putih? Biarlah aku membunuhnya"
Kata Ki Gagaksampar yang membuka ikat kepala sehingga nampak kepala botaknya dan telinga yang buntung karena hatinya terasa panas, membuat kepalanya menjadi panas pula. Orang ini memang biasanya membiarkan kepala botaknya telanjang begitu saja dan hanya karena ada pesta parayaan maka dia menutup kepala botaknya dengan kain kepala.
Akan tetapi Kebosoro melihat sikap yang amat tenang dan serius dari pemuda itu, dan dia pun dapat melihat bahwa pemuda ini, betapapun sederhana sikapnya, namun memiliki wibawa yang cukup kuat. Dia bukan orang yang sembrono mengandalkan kekuatan sendiri saja seperti adik-adik seperguruannya, dan karena inilah membuat dia berwibawa dan dapat menjadi ketua aliran Hastorudiro yang terkenal.
"Adik Gagaksampar, jangan mengotorkan pesta kita dengan keributan. Kalau dia mau bicara biarkan dia bicara dulu. Mari, orang muda mari kita masuk ke dalam sebentar."
Joko Handoko dan Wulandari mengikuti tuan rumah dengan hati lega walaupun Wulandari merasa khawatir kalau-kalau mereka akan terjebak pula seperti pernah terjadi pada diri mereka ketika dijebak dan ditawan orang-orang Daha. Akan tetapi ia pun tidak mau memperlihatkan rasa khawatirnya dan berjalan di samping Joko Handoko dengan sikap gagah. Biarpun tidak puas melihat sikap ayahnya yang mau menerima dua orang tamu muda itu. Namun Pramudento dan dua orang paman seperguruannya tidak berani membantah kehendak Ki Kebosoro dan mereka bertiga pun berjalan di belakang dua orang tamu itu. Para tamu yang tadinya mengharapkan untuk dapat melihat keributan atau perkelahian yang terjadi, menjadi tenang kembali melihat betapa tuan rumah mambawa dua orang muda itu masuk ke dalam dan pesta pun dilanjutkan dengan meriah.
Ki Kebosoro membawa dua orang tamu muda itu ke belakang yang kosong dan sepi. Dengan sikap tegas dan singkat dia mempersilakan dua orang muda duduk. Mereka berenam duduk menghadapi meja panjang dan Ki Kebosoro segera berkata.
"Nah, sekarang engkau boleh bicara. Apa yang hendak kau katakan kepada kami?"
"Paman Kebosoro, sebelum Eyang Panembahan Pronosidhi meninggal dunia, beliau berpesan kepadaku agar aku tidak menaruh dendam terhadap Hastorudiro atas kematiannya yang disebabkan oleh penyerbuan orang-orang Hastorudiro ke Anjasmoro........."
"Hemm, kalau mau membalas dendam pun boleh!"
Tiba-tiba Pramudento memotong dengan suara tegas dan menantang.
Joko Handoko tersenyum memandangnya.
"Sobat, Andika sungguh penuh prasangka."
Lalu dia memandang lagi kepada Kebosoro dan melanjutkan.
"Karena itu, sedikit pun tidak terkandung dendam dalam hatiku terhadap Hastorudiro, apalagi setelah aku melihat kenyataan aliran Hati Putih kena fitnah dan Hastorudiro tertipu sehingga terjadilah penyerangan ke Anjasmoro itu".
"Orang muda, apa maksudmu?"
Ki Kebosoro membentak sambil menatap tajam wajah Joko Handoko. Peristiwa dengan aliran Hati Putih itu memang merupakan ganjalan di dalam hatinya. Mula-mula ada empat orang yang mengaku murid aliran Hati Putih mengacau dan menyerang orang-orang Hastorudiro, kemudian empat orang murid itu melarikan diri kembali ke Anjasmoro, dikejar oleh dua orang adik seperguruan, yaitu Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto bersama tiga orang murid kepala. Orang-orang Hati Putih itu ketika dikejar, lari naik ke sarang mereka di Gunung Anjasmoro. Dua orang adik seperguruannya mengejar dan akhirnya berhadapan dengan Panembahan Pronosidhi sehingga terjadi perkelahian.
Akibatnya, Ki Gagaksampar patah tulang lengannya. Walaupun keduanya akhirnya sembuh, akan tetapi mereka nyaris tewas oleh luka-luka mereka, dan dua orang murid kepala Hastorudiro tewas sekeltik. Biarpun kemudian dia mendengar bahwa Panembahan Pronosidhi itu pun tewas, namun
(Lanjut ke Jilid 11)
Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
masih ada ganjalan di dalam hatinya terhadap aliran Hati Putih yang dianggapnya mencari gara-gara dan lebih dahulu mengorbankan api permusuhan antara kedua aliran itu. Kini, mendengar keterangan cucu penambahan itu bahwa sebab permusuhan itu adalah fitnah dan Hastorudiro tertipu, tertu saja dia terkejut dan heran, juga merasa penasaran.
"Bukan hanya Hastorudiro yang tertipu sehingga diadu-domba dengan Hati Putih, bahkan perkumpulan Sabuk Tembogo juga diadu-domba dengan pasukan Kadipaten Tumapel, dan kami datang ke sini untuk mengabarkan bahwa kini Hastorudiro juga diadu-domba dengan pasukan Tumapel. Sangat boleh jadi bahwa dalam waktu dekat. Hastorudiro akan diserbu oleh pasukan Tumapel yang menganggap Hastorudiro sebagai pemberontak-pemberontak karena ada anak buah Hastorudiro yang membunuh empat orang perajurit Tumapel."
"Bohong! Kami tidak pernah memusuhi prajurit-prajurit Tumapel!"
Bentak Ki Kebosoro.
"Tentu saja, paman. Akan tetapi para senopati Tumapel tentu berpendapat lain karena prajurit-prajurit Tumapel dibunuh oleh dua orang yang mempergunakan ilmu pukulan yang meninggalkan tapak tangan merah."
Mendengar keterangan ini, Ki Kebosoro saling berpandangan dengan dua orang adik seperguruannya, dan Pramudento berkata.
"Ayah, jangan sembarangan percaya kepada orang lain. Siapa tahu kalau dia orang yang bahkan menyebar fitnah dan mengadu-domba!"
"Joko Handoko, kami tidak dapat percaya begitu saja akan ceritamu tadi. Coba jelaskan apa yang telah terjadi! Jelas bahwa empat orang murid Hati Putih mengacau kami, mereka mempergunakan ilmu-ilmu Hati Putih dan mengaku murid-murid Hati Putih, bagaimana engkau mengatakan bahwa itu fitnah dan kami tertipu? Apapula artinya bahwa kini kami diadu-domba dengan pasukan Tumapel? Ceritakan yang jelas!"
"Baiklah, paman. Hati Putih memang diadu-domba dengan Hastorudiro. Empat orang yang mengacau dan mengaku murid Hati Putih itu sebenarnya bukan murid-murid aliran kami. Akibat adu-domba itu, para pembantu paman menyerbu Anjasmoro sehingga mengakibatkan kematian-kematian, juga kematian eyang yang sudah berusia lanjut. Kemudian, pasukan Tumapel menangkap murid-murid Sabuk Tembogo karena ada orang-orang yang mengaku murid-murid Sabuk Tembogo melakukan kejahatan-kejahatan di Tumapel. Dan akhirnya, ada dua orang yang menggunakan ilmu-ilmu Hastorudiro membunuh empat orang prajurit Tumapel, sehingga tentu saja senopati Tumapel akan menjadi marah sekali dan mungkin akan mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke sini."
Joko Handoko berhenti bicara dan kini Wulandari yang menyambung.
"Dan kami berdua yang mengetahui rahasia itu, dengan susah payah datang ke sini untuk memperingatkan, akan tetapi bukan diterima dengan baik malah akan dihina!"
Dan dia pun memandang kepada Pramudento, Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto dengan sinar mata mengandung kemarahan.
"Hemmm, cerita itu sungguh tidak menyakinkan!"
Kata pula Pramudento yang masih tetap berprasangka bahwa Joko Handoko hanya berbohong.
"Siapa orangnya yang menyebar fitnah dan berusaha mengadu-domba seperti itu?"
"Ya, siapakah yang hendak mengadu-domba secara keji itu, Joko Handoko?"
Tanya Ki Kebosoro.
"Yang melakukan semua itu adalah kaki tangan kerajaan Daha."
"Ehh..........!!"
Empat orang itu mengeluarkan suara kaget dengan berbareng.
Joko Handoko mengangguk-angguk untuk menyakinkan hati mereka.
"Aku tidak suka membohong. Untuk apa aku berbohong? Sang Prabu Dandang Gendis hendak melemahkan Kadipaten Tumapel dengan cara mengadu-domba antara kekuatan-kekuatan di Tumapel, dan itu dipimpin oleh Begawan Buyut Wewenang yang dibantu oleh Ki Danyang Bagaskoro, Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo, masih dibantu banyak orang pandai dari Daha."
Mendengar banyak disebutnya tokoh-tokoh yang pandai dari Daha ini, Ki Kebosoro menjadi sangat terkejut.
"Akan tetapi......... bagaimana..... andika bisa tahu akan semua itu? Dan apa buktinya bahwa ceritamu itu benar?"
Joko Handoko lalu bercerita singkat menceritakan pengalamannya, ketika Gajah Putih dan Gajah Ireng berusaha menghancurkan perkumpulan Sabuk Tembogo, bahkan betapa mendiang Ki Danyang Bagaskoro berusaha membunuh Dewi Pusporini puteri Senopati Pamungkas, kemudian dia menceritakan ketika dia dan Wulandari ditawan oleh kaki tangan Begawan Buyut Wewenang.
"Karena kami ditangkap, maka terbonkarlah rahasia mereka itu dan kami tahu akan semua rahasia mereka. Tentu rahasia mereka itu akan kami bawa sampai mati kalau saja akmi tidak diselamatkan oleh Pangeran Maheso Walungan."
Joko Handoko menutup ceritanya yang didengakan oleh Ki Kebosoro dengan mata terbelalak.
"Ah, sungguh celaka kalau begitu.......!"
Katanya.
"Tapi, apa buktinya bahwa semua itu benar, ayah? Sebelum mempercayainya, kita harus melihat buktinya lebih dulu!"
Pramudento berseru. Di dalam hatinya, pemuda ini memang memihak Kerajaan Daha, karena gurunya Ki Ageng Marmoyo dari Gunung Bromo adalah orang Daha juga tentu saja berpihak kepada Kerajaan Daha.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara banyak orang dan masuklah seorang murid Hastorudiro dengan muka pucat dan dengan gugup dia melaporkan kepada Ki Kebosoro bahwa tempat mereka telah dikepung oleh pasukan Tumapel yang besar jumlahnya!
"Hemm, agaknya itulah bukti kebenaran ceritaku tadi, Paman Kebosoro. Tentu para senopati Tumapel marah dan menyerbu karena ada dua orang yang menyamar sebagai orang-orang Hastorudiro membunuhi prajurit-prjurit Tumapel dengan ilmu pukulan yang bertapak merah,"
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kata Joko Handoko.
"Jangan khawatir, Ayah. Biar aku yang akan menyambut mereka!"
Kata Pramudento dengan suara lantang dan sikap gagah,bahkan dia lalu meloncat keluar dari ruangan itu. Dengan muka berubah dan hati cemas, Ki Kebosoro lalu mengejar keluar, diikuti pula oleh dua orang adik seperguruannya. Mereka agaknya sudah melupakan Joko Handoko dan Wulandari.
Joko Handoko lalu mengajak gadis itu keluar.
"Wulan, sebaiknya kita melihat perkembangannya dulu sebelum menentukan apa yang harus kita lakukan."
"Kakang Joko Handoko, mereka adalah orang yang keras kepala dan tinggi hati, untuk apa kita lebih lama tinggal di sini? Biarkan mereka diserbu dan dihancurkan oleh pasukan Tumapel, memang sudah pantas mereka dihajar!"
Joko Handoko memegang lengan gadis itu dengan lembut.
"Aihhh, engkau harus belajar sabar dan tenang, Wulan. Tak baik menurutkan perasaan. Orang boleh saja bersikap keras terhadap kita, akan tetapi mengapa kita hrus mengimbanginya? Kalau kita tahu bahwa kekerasan itu tidak baik, lalu kita membalas dengan kekerasan, bukankah hal itu berarti tidak ada perbedaan antara mereka dengan kita?"
"Ah, kakang, aku tidak setuju. Apakah kata-katamu itu berarti bahwa kalau orang berbuat jahat terhadap kita, maka kita bahkan harus berbuat baik terhadap mereka?"
"Mengapa tidak, Wulan? Kalau kita diserang, kita memang sudah sepatutnya membela diri, berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi, kalau orang berbuat jahat terhadap kita lalu kita membalas dengan perbuatan yang sama, maka mereka dan kita sama jahatnya! Bukankah demikian?"
"Tapi mereka yang memulai lebih dulu, kita hanya membalas?"
"Dulu atau kemudian tidak penting, diajeng Wulandari yang manis......."
"Eh, merayu, ya?"
Kata Wulandari, akan tetapi mukanya berubah merah dan bibirnya girang, sepasang matanya tajam mengerling.
Joko Handoko tersenyum, dia tidak bermaksud merayu, hanya berkelakar untuk
mendinginkan hati gadis itu yang mulai panas.
"Sesungguhnya Wulan, yang paling penting bukan siapa yang lebih dulu berbuat jahat, melainkan perbuatan jahat itu sendiri. Kalau orang lain berbuat jahat, maka hal itu adalah masalah orang yang berbuat itulah. Sebaliknya, kalau kita juga melakukan hal yang sama, tak peduli apapun alasannya, membalas dendam atau apa saja, maka perbuatan jahat yang kita lakukan ini merupakan masalah penting pribadi kita sendiri."
"Wah, wahh jadi maksudmu, kalau ada orang membenci kita, maka kita harus membalas dengan mencintainya? Mana mungkin?"
Joko Handoko tersenyum.
"Bukan mencintainya, akan tetapi yang penting, kita tidak membencinya! Kalau ada sedikit saja kebencian terkandung dalam batin kita, terhadap siapapun juga, maka berarti telah ada racun mengeram di hati dan racun itu akan menimbulkan kesengsaraan batin. Sudahlah, Wulan mari kita cepat kaluar untuk melihat apa yng terjadi di sana."
Mereka lalu cepat keuar dan ternyata para tamu sudah berkeruman di depan. Tentu saja pesta itu terhenti, gamelan tadi tidak dipukul lagi, para penabuh gamelan bersama penari dan penyanyinya telah bersembunyi di balik gong-gong besar. Joko Handoko dan Wulandari lalu menyelinap di antara para tamu yang kini menjadi penonton. Seperti para tamu, mereka berdua ini memandang ke arah pihak tuan rumah yang sudah berhadapan dengan belasan orang perwira yang memimpin pasukan Tumapel.
Ki Kebosoro didampingi oleh Pramudento berdiri saling menghadapi para perwira Tumapel, sedangkan dua orang adik seperguruannya berdiri di belakang mereka. Kemudian belasan murid yang sudah memiliki kepandaian tinggi berdiri pula di belakang dua orang kakek ini. Sikap mereka, terutama sekali Pramudento, sama sekali tidak memperlihatkan rasa jerih, bahkan sikap mereka menantang. Agaknya telah terjadi perbantahan di antara kedua pihak.
"Para perwira Tumapel, dengarkan baik-baik!"
Terdengar suara Pramudento lantang, agaknya dia sudah marah sekali.
"Semenjak dahulu sampai sekarang, aliran Hastorudiro kami tidak pernah memusuhi kadipaten Tumapel, bahkan kami yang akan maju menanggulangi kalau ada pihak yang hendak menganggu ketentraman Tumapel. Bagaimana sekarang andika datang dengan tuduhan yang bukan-bukan? Sekali lagi kami menjawab bahwa tidak ada murid kami yang melakukan pembunuhan terhadap prajurit-prajurit Tumapel!"
"Orang muda, biarlah ketua Hastorudiro yang bicara dengan kami. Dialah yang bertanggung jawab atas semua ini!"
Kata seorang di antara para perwira yang berkumis tebal seperti kumis Raden Gatutkaca.
"Sama saja!"
Tiba-tiba Ki Kebosoro berkata.
"Dia adalah anakku, dan jawabnya adalah jawabanku pula!"
Perwira berkumis tebal ini mengangguk.
"Ah, kiranya putera ketua Hastorudiro. Dengarlah kalian, orang-orang Hastorudiro. Kami hanyalah utusan dari Sang Akuwu Tunggal Ametung, dan segala bantahan kalian sebaiknya disampaikan saja didepan beliau. Sekarang tugas kami hanyalah menangkap para pimpinan Hastorudiro yang berada di sini untuk kami hadapkan Gusti Akuwu."
"Kalau kami menolak ditangkap?"
Tanya Pramudento marah.
"Ha-ha, orang muda, jangan terlalu tinggi hati. Lihat, padukuhan ini telah dikepung oleh ratusan prajurit kami dan kami sudah menerima tugas untuk mempergunakan kekerasan kalau perlu."
"Babo-babo! Kami tidak merasa bersalah dan selama ini kami tidak pernah menentang Kadipaten Tumapel. Akan tetapi, kalau kami ditekan, kami akan melawan! Semut pun akan membela diri kalau diinjak, apalagi kami adalah manusia-manusia gagah. Hayo, aku tantang para senopati Tumapel untuk menangkap aku sebelum mengandalkan keroyokan ratusan orang prajurit! Apakah Tumapel mempunyai senopati yang cukup tangguh dan berani untuk memangkap aku?"
Pemuda iini menantang sambil membusungkan dadanya, sikapnya sombong sekali sehingga diam-diam Wulandari ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan pemuda yang tinggi hati itu.
Hati para perwira yang bertugas untuk menangkap pimpinan Hastorudiro menjadi panas mendengar tantangan yang sombong itu. Tentu saja Tumapel memiliki banyak orang-orang gagah dan perwira-perwira yang berkepandaian tinggi, dan di antaranya adalah mereka yang kini memimpin pasukan sebagai para pembantu Senopati Raden Pamungkas, senopati ini sendiri tidak maju ke depan, menyerahkan kepada para pembantunya karena dia tidak ingin bersitegang dan berbantahan dengan orang-orang yang telah memberontak terhadap Tumapel.
Seorang di antara para perwira itu bernama Manudibyo, seorang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, kepalanya yang besar dan tertutup kain panjang terurai dan matanya yang lebar selalu melotot menyeramkan. Dia adalah seorang perwira yang tangguh dan disegani karena memiliki tenaga gagah di samping ilmu pencak silat yang berasal dari daerah Parahyangan. Mendengar tantangan yang memanaskan perutnya itu, Manudibyo tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dia melangkah maju.
"Orang muda yang sombong! Orang macam engkau ini berani menentang para senopati Tumapel? Babo-babo, sumbarmu seperti dapat meloncati Gunung Semeru dan menyelam dasar Laut Kidul! Biarlah aku Manudibyo, menangkap dan menghajar mulutu yang lancang itu!"
Berkata demikian, si raksasa ini melangkah maju menghadapi Pramudento. Perwira berkumis tebal yang memwakili senopati mendiamkan saja dan setuju kalau raksasa ini yang maju, karena dia tahu benar bahwa di antara para perwira, Manudibyo boleh dianggap sebagai yang paling tangguh. Dia sendiri tidak akan menang melawan Manudibyo, maka dia mengangguk dan mundur, memberi ruang yang cukup luas bagi dua orang jagoan yang hendak bertanding itu. Teman-temannya juga mundur dan mereka membentuk lingkaran bersama orang-orang Hastorudiro. Sikap mereka seperti sekelompok orang yang hendak menyambung ayam jago, wajah mereka rata-rata gembira dan tegang karena hendak menyaksikan pertarungan yang mengasikkan.
"Dento, hati-hati jangan sampai membunuh orang,"
Kata Ki Kebosoro. Tentu saja bagi seorang seperti dia, membunuh orang bukan hal yang terlalu hebat dan perlu diributkan. Akan tetapi dia maksudkan agar puteranya tidak sampai membunuh perwira Tumapel karena hal itu hanya akan memperuncing keadaan. Pramudento bukan seorang bodoh dan dia pun mengerti akan maksud kata-kata ayahnya.
"Harap ayah jangan khawatir. Tanpa membunuh pun aku akan mampu menundukkan semua jagoan Tumapel satu demi satu, Ki Manudibyo, majulah!"
Manudibyo yang tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda itu seperti, menjadi penasaran.
"Bocah sombong siapakah namamu? Aku tidak ingin tanganku yang tidak bermata terlanjur menewaskan orang tidak kukenal namanya."
Pramudento tersenyum mengejek, dan melihat betapa kini Joko Handoko dan Wulandari telah menyelinap dan brada di antara tamu, dia melempar kerling dan senyum kepada gadis itu. Wulandari hanya memandang dengan mulut cemberut. Aneh, ia merasa tidak senang melihat pemuda itu bersikap sombong sekali, akan tetapi di samping perasaan tidak senang ini, ia pun tertarik sekali. Harus diakuinya bahwa Pramudento memang tampan dan gagah!
"Aku idak pernah menyembunyikan nama. Aku bernama Pramudento, putera tunggal ketua Hastorudiro."
"Bagus, Pramudento, sekarang sambutlah pukulan ini!"
Bentak Manudibyo yang segera menerjang ke depan. Lengannya yang panjang itu diangkat ke atas dan yang kiri menyambar turun ke arah ubun-ubun kepala Pramudento, sedangkan yang kanan menyambar turun dengan cengkeraman ke arah dada. Serangan yanghbat ini dilakukan dengan cepat, akan tetapi yang menggiriskan adalah suara angin bertiup saking kuatnya kedua lengan itu menyambar turun. Rambut dan pakaian Pramudento sampai berkibar tertiup angin pukulan yang sudah menyambar lebih dahulu sebelum tenaga tiba pada sasaranya.
Pemuda lulusan gemblengan Ki Ageng Marmoyo di Gunung Bromo itu mengenal serangan berbahaya dan tahulah dia bahwa lawannya memiliki tenaga gajah, maka dia pun dengan tenang namun cepat, mengelak dengan merendahkan tubuh tubuhnya dan meloncat ke belakang. Dengan gerakan ini, serangan kedua tangan itu hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi, Manudibyo sudah bergerak cepat pula, mengirim tendangan susulan dengan kaki kirinya yang panjang dengan jari-jari melebar. Kalau tendangan ini, yang dilakukan dengan tenaga besar, mengenai tubuh Pramudento, tentu tubuh pemuda itu akan terlempar jauh seperti bola ditendang!
"Wuuuuuuuttt.............!"
Kembali tendangn itu melayang dan hanya mengenai tempat kosong karena lebih dulu tubuh Pramudento sudah mengelak ke kiri.
Manudibyo semakin penasaran dan marah. Perkelahian itu ditonton banyak orang dan tentu dia merasa malu karena tiga kali berturut-turut serangan hanya mengenai udara kosong saja. Dan pemuda itu setiap kali mengelak, lalu bediri seolah-olah menanti datangnya serangan lanjutan tanpa membalas. Memang demikianlah, setelah melihat gerakan-gerakan Manudibyo yang dilakukan secepatnya namun baginya masih nampak lamban itu, dia pun mengerti bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga gajah itu saja. Tidak ada keistimewaan lainnya, maka dengan mudah saja dia pun hanya mengandalkan kegesitannya untuk menghadapi serangan-serangan itu dengan elakan-elakan.
Dan memang tepat perhitungannya. Manudibyo menyerang lagi makin lama makin sengit dan hebat, akan tetapi karena bagi Pramudento gerakan itu datangnya lamban dan dapat diikuti dengan pandang mata secara jelas, maka dia pun mudah saja menghindarkan diri dengan elakan yang gesit, ke kanan ke kiri, meloncat atau ke belakang. Sampai dua puluh jurus Manudbyo menyerang terus, dan selalu seranganya dapat dielakkan oleh Pramudento tanpa satu kali pun ditangkis. Manudibyo yang menyerang terus-menerus itu, makin lama semakin ganas dan mempergunakan tenaga sekuat-kuatnya, tentu saja kini terengah-engah. Dia mengeluarkan tenaga terlampau besar dan terus-menerus, hal ini amat melelahkan dan jantungnya berdebar keras membutuhkan udara sebanyaknya maka dia pun megap-megap seperti ikan terlempar ke darat. Peluhnya sudah membasahi leher dan mukanya, bajunya juga sudah basah.
Sementara itu, para anggota Hastorudiro lupa bahwa mereka semua telah dikepung pasukan besar. Saking gembira hati mereka melihat betapa putera ketua mereka mempermainkan raksasa itu, mereka brsorak dan bertepuk tangan setiap kali serangan Manudibyo mengenai tempat kosong dan raksasa itu terhuyung, terbawa oleh kerasnya serangannya sendiri.
"Ahaa, hanya beginikah jagoan dari Kadipaten Tumapel? Ternyata tidak berapa hebat!"
Kata Pramudento, sengaja membikin marah lawan. Dan ternyata dia behasil karena Manudibyo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau marah dan dia menubruk ke sana sini, ke mana saja Pramudento mengelak.
Pemuda itu dengan sengaja main kucing-kucingan, mengelak dengan lompatan cepat ke kanan, kiri atau belakang agak jauh dan membiarkan lawan mengejarnya, menyerangnya lagi, dielakkannya lagi sambil mengeluarkan suara-suara ejekan seperti "luput lagi".
"Wah, tidak kena!".
"Meleset terus!"
Dan sebagainya yang membuat lawannya menjadi semakin bernafsu.
Seperti mau putus rasanya pernapasan Manudibyo setelah dia menyerang terus-menerus selama seperempat jam tanpa henti, mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan serangannya semakin ganas dan buas saja. Tubuhnya terhuyung dan lemas, kalau dia berhenti untuk mengaso, lawannya mengejaknya.
"Ha,sudah habiskan ilmu-ilmumu? Cuma sekian saja? Sudah putuskah napasmu?"
Mendengar ejekan-ejekan ini, Manudibyo menjadi semakin garang. Tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya yang sudah terlalu lelah dan napasnya yang hampir putus itu, dia menyerang terus, kini mencabut sebatang golok besar dan menyerang dengan senjata itu. Kalau sejak tadi dia menggunakan goloknya, agaknya Pramudento tidak akan mempermainannya seenak itu walaupun tingkat kepandaiannya Manudibyo masih jauh di bawah Pramudento. Sekarang, menggunakan golok itu bahkan menguras tenaga Manudibyo semakin cepat lagi. Golok itu besar dan berat, walaupun bagi
Manudibyo yang bertenaga gajah golok itu seperti sehelai bulu saja, namun dalam keadaan kelelahan, kehabisan tenaga dan napas, golok itu terasa seperti seratus kali beratnya!
"Hayo serang terus!"
Pramudento mengejek sambil meloncat ke atas ketika golok menyerampang kedua kakinya.
Manudibyo hampir tidak kuat lagi.
"Keparat, hayoo balas lagi kalau kau laki-laki sejati!"
Parmudento merasa sudah cukup dia memperlihatkan kepandaiannya dan pamer ini tentu saja ditujukan kepada para penonton, terutama sekali kepada Wulandari, gadis hitam manis yang menarik hatinya itu.
"Baik, rebahlah!"
Bentaknya dan tiba-tiba kakinya menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Manudibyo sehingga goloknya terlepas, dan Pamudento mengirim tamparan dari atas, mengarah kepada lawan. Melihat ini, Manudibyo berdongak dan menakis dengan tangan kanan, siap untuk menangkap lengan lawan itu yang tentu akan dibuatnya patah-patah seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja. Akan tetapi, tiba-tiba Pramudento menarik tangan kirinya itu dan secepat kilat menyambar, tangan kanannya dengan jari terbuka, menghantam dari bawah, ke arah leher lawan.
Kekk.....! Tubuh itu terpalanting roboh dan tidak mampu bergarak lagi. Ketika raksasa tadi menengadah, lehernya terbuka dan bagian bawah tangan Pramudento, dengan tenaga yang sudah diukur agar tidak terlalu keras datangnya, mengenai leher kiri bawah dagu raksasa itu yang seketika merasa kepalanya sepeti disambar halilintar yang membuatnya roboh pingsan. Pingsan bukan hanya karena pukulan, melainkan terutama sekali karena kehabisan tenaga dan napas.
"Singkirkan kerbau tolol itu!"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan di situ sudah muncul seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang senopati kadipaten, sedangkan di sampingnya berdiri seorang pemuda berusia kurang dari dua puluhan tahun yang bertubuh tegap gagah dan berwajah penuh wibawa.
Joko Handoko yang sejak tadi nonton perkelahian itu, mengerutkan alisnya dan diam-diam menganggap Pramudento sombong dan keterlaluan memamerkan kepandaiannya dan menghina lawan. Sebaliknya, Wulandari tadi ikut bertepuk tangan memuji karena ia tahu bahwa pemuda itu ternyata memang hebat dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya! Kini, Joko Handoko terkejut munculnya dua orang yang amat dikenalnya, juga Wulandari mengenal dua orang yang baru muncul. Gadis itu memegang tangan Joko Handoko dan menekannya sebagai isyarat ketika ia mengenal dua orang itu. Joko Handoko hanya mengangguk dan memandang penuh perhatian. Kiranya yang memimpin pasukan mengepung itu adalah Senopati Raden Pamungkas sendiri, ayah dari
Dewi Pusporini dan agaknya dibantu pula oleh Ken Arok, saudaranya seayah berlainan ibu!
Sementara itu, Ken Arok yang kini teah memperoleh kemajuan pesat dalam pengabdiannya kepada Sang Akuwu Tunggal Ametung, telah menjadi orang kepercayaan dan berpangkat perwira tinggi dalam pasukan pengawal istana, dan kini diperbantukan kepala Senopati Pamungkas dalam menghadapi Hastorudiro yang dianggap pemberontakan, telah maju menghampiri Pramudento.
"Pemberontak sombong! Berani engkau menentang utusan Kadipaten Tumapel?"
Sambil membentak demikian, Ken Arok sudah menerjang dengan tamparan yang cukup kuat dan amat cepat ini, Pramudento terkejut karena dia berhadapan dengan orang yang "berisi", bukan sekedar besar tenaga seperti Manudibyo tadi, maka dia pun tidak barani mengelak karena serangan itu cepat sekali datangnya, melainkan mempergunakan lengan kirinya untuk menangkis sambil mengerahkan aji pukulan Tapak Bromo.
"Dukk!!"
Keras sekali pertemuan antara dua lengan yang berisi tenaga sakti itu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai dua langkah dan keduanya terkejut sekali ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Ken Arok juga diam-diam terkejut. Lawannya memiliki tangan yang mengandung hawa panas! Dia mengira bahwa itulah aji pukulan Hastorudiro {Tangan Berdarah}, akan tetapi sesunguhnya, aji pukulan itu lebih hebat lagi, yaitu Tapak Bromo! Sebaliknya, Pramudento juga terkejut karena dia mendapat kenyataan bahwa kekuatan lawan tidak berada di sebelah bawah tingkatnya.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi, sebelum dua orang pemuda yang sama-sama memiliki ilmui kepandaian tinggio ini saling hantam lebih lanjut, tiba-tiba Senoapati Raden Pamungkas berseru kepada Ken Arok.
"Anakmas, hentikan saja perkelahian perorangan ini. Kita gempur saja pemberontak-pemberontak ini dengan pasukan kita. Pasukan siaaaapp............!!"
Tentu saja keadaan gempar ketika pasukan itu bersorak dan berteriak sambil memperketat kepungan. Semua anggota Hastorudiro sudah siap siaga untuk membela diri mati-matian, walaupun mereka maklum bahwa menghadapi jumlah pasukan yang amat banyak, tentu mereka akan kalah dan akan dibasmi habis kalau tidak menyerah dan menakluk.
Ki Kebosoro yang maklum pula akan hal ini, dan dia sudah mengenal senopati itu, lalu berseru.
"Kanjeng senopati, kami sungguh-sungguh tidak bersalah apa-apa!"
"Kalau begitu, menyerahlah kalian semua untuk kami bawa ke kadipaten!"
Bentak sang senopati.
"Ayah, kita tidak bersalah, tak parlu takut, lawan saja!"
Teriak Pramudento yang merasa terlalu rendah kalau dia harus mengalah.
"Lawan saja, kakang Kabosoro!"
Teriak pula Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto, dua orang yang juga memiliki kekerasan hati.
Pada saat senopati hendak meneriakkan aba-aba penyerbuan, tiba-tiba terdengar suara halus namun berwibawa.
"Harap andika semua bersabar dan jangan bertempur!"
Semua orang memandang dan ternyata yang berseru itu adalah Joko Handoko yang sudah melompat ke tengah medan perkelahian tadi, diikuti oleh Wulandari yang juga melompat dengn ringan dan sigapnya.
"Joko Handoko dan Wulandari..........!"
Senopati Pamungkas berseru, terkejut ketika mengenal dua orang muda ini.
"Adimas Ken Arok, harap bersabar dulu!"
Teriak pula Joko Handoko melihat betapa Ken Arok memandang marah.
"Kakang, Joko Handoko!"
Ken Arok berteriak sambil memandang marah kepada pemuda itu.
"Apa artinya ini? Andika berada di sini, apakah berarti bahwa andika kini sudah bergabung dengan para pemberontak?"
"Dimas Ken Arok, harap jangan salah sangka. Tidak ada pemberontak di sini. Aku tidak, juga Hastorudiro bukanlah pemberontak."
Jawab Joko Handoko dengan suara lantang.
"Joko Handoko, apa maksudmu dengan ucapan itu?"
Harap jelaskan!"
Senopati Pamungkas membentak dan memandang tajam.
Semua orang memandang dan mencurahkan perhatian sehingga suasana menjadi sunyi. Buhkan Ki Kebosoro dan puteranya, juga adik-adik seperguruan dan para muridnya, kini mulai percaya akan kebenaran cerita yang disampaikan Joko Handoko kepada mereka. Buktinya sudah ada, yaitu bahwa pasukan Tumapel telah menyerbu tempat mereka dengan tuduhan pemberontakan, cocok dengan apa yang diceritakan Joko Handoko tadi.
"Kanjeng Senopati, tentu paduka masih ingat akan apa yang telah terjadi terhadap puteri paduka dan pihak Sabuk Tembogo. Saya dan diajeng Wulandari telah melakukan penyelidikan dan mendapat kenyataan bahwa memang ada pihak ketiga yang sengaja menyebar fitnah dan mengadu dombakan antara kekuatan-kekuatan di Tumapel, antara lain mengadu antara Kadipaten Tumapel dengan Sabuk Tembogo, antara Hastorudiro dengan Hati Putih, kemudian bahkan berusaha membunuh puteri paduka ketika menjadi tamu di rumah ketua Sabuk Tembogo. Dan sekarang, mengadu domba antara Hastorudiro dengan pasukan Tumapel, dengan menjatuhkan fitnah, menyamar sebagai orang-orang Hastorudiro untuk membunuhi para prajurit Tumapel. Karena itu, saya harap agar paduka suka menghentikan pengepungan ini dan mendengar penuturan saya."
Senopati Pamungkas memang pernah menduga bahwa setelah Sabuk Tembogo benar-benar tidak pernah memberontak terhadap Tumapel, tentu ada pihak ketiga yang sengaja memburukkan nama perkumpulan itu. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa pembunuhan terhadap para perajurit Tumapel yang dilakukan oleh orang-orang bertopeng dengan menggunakan pukulan aji Hastorudiro juga bukan orang-orang perkumpulan itu. Maka, mendengar penuturan Joko Handoko, dia terkejut bukan main.
"Joko Handoko, keterangan ini membingungkan dan juga berbahaya sekali. Kalau Hastorudiro bukan pemberontak, lalu siapakah yang membunuhi para prajurit Tumapel itu? Tahukah engkau siapa orangnya?"
"Saya tahu, Kanjeng Senopati. Bahkan saya bersama diajeng Wulandari pernah tertawan dan hampir terbunuh oleh mereka. Mereka itulah yang mengatur siasat untuk mengadu domba antara kekuatan-kekuatan di Tumapel, agar Tumapel menjadi kacau dan juga menjadi lemah."
"Siapakah mereka itu?"
"Mereka adalah orang-orang pandai dari Kerajaan Daha, Kanjeng Senopati."
Semua orang terkejut dan Ken Arok mengeluarkan seruan tertahan.
"Kakang Joko Handoko! Yakin benarkah andika akan keteranganmu itu, ataukah hanya dugaanmu belaka?"
"Bukan hanya dugaan, dimas Ken Arok. Seperti kukatakan tadi, aku dan Wulandari bahkan pernah ditawan mereka sendiri yang nyaris membunuh kami kalau saja kami tidak ditolong dan dibebaskan oleh Pangeran Maheso Walungan sendiri. Rombongan oang-orang Daha yang berilmu itu dipimpin oleh Begawan Buyut Wewenang, atas perintah Sang Prabu Dandang Gendis yang berniat melemahkan Tumapel yang dianggap tidak tunduk terhadap kerajaan Daha. Mereka mempunyai orang-orang pandai yang dapat melakukan pukulan seperti pukulan Hastorudiro, pandai memainkan Sabuk Tembogo, seperti murid-murid Sabuk Tembogo, bahkan ada yang menyamar menjadi murid Hati Putih untuk mengadu dombakan Hati Putih dengan Hastorudiro. Yang menjadi pimpinan adalah Begawan Buyut Wewenang yang dibntu Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, Ki Banyakluwo, dan Ki Bagaskoro."
Mendengar penuturan yang jelas itu, Senopati Pamungkas mengangguk-angguk.
"Hemm, sungguh keji sekali dan curang sekali usaha Sang Prabu Dandang Gendis itu!"
"Paman Senopati, kita serbu saja Daha!"
Ken Arok berseru dengan marah karena dia pun percaya penuh akan kebenaran cerita Joko Handoko.
"Anakmas, Ken Arok, kita tidak berwenang untuk melakukan hal itu. Dan apakah andika mengira demikian mudahnya memukul Kerajaan Daha yang besar dan memiliki banyak sekali orang pandai dan bala tentara yang besar itu? Tidak, kewajiban kita hanyalah melaporkan semua ini kepada Sang Akuwu Tunggal Ametung dan beliau yang akan mengambil keputusan. Bagaimanapun juga, Tumapel memang masih berada di bawah kekausaan Daha."
Kini Ki Kebosoro lalu mempersilakan para pimpinan pasukan Tumapel itu untuk masuk dan ikut berpesta menjadi tamu-tamu Agung, bahkan pasukan itu pun dipersilakan untuk ikut makan minum. Sungguh peristiwa yang lucu dan menggembirakan. Pertempuran yang nyaris terjadi itu, yang tentu akan mengalirkan banyak darah dan melayangkan banyak nyawa manusia, kini berubah sama sekali menjadi pesta pora makan minum dan senda gurau antara kedua pihak!
Setelah selesai makan minum, Senopati Raden Pamungkas mengajak Joko Handoko dan Wulandari ikut bersama ke Tumapel, untuk menjadi saksi dalam pelaporannya kepada Sang Akuwu, juga hendak menjadi tamu di rumahnya karena senopati ini suka sekali kepada Joko Handoko dan Wulandari yang dianggapnya selain pernah berbuat baik terhadap Dewi Pusporini, juga kini bahkan menjadi pahlawan-pahlawan yang menyelamatkan Tumapel. Karena dibutuhkan sebagai saksi di depan Sang Akuwu, tentu saja Joko Handoko dan Wulandari tidak dapat menolaknya dan mereka pun bersama pasukan itu ke Tumapel.
Berkat ketrampilan dan kegagahannya, juga dibantu leh kedudukan Danyang Lohgawe yang menjadi penasihat Sang Akuwu Tunggal Ametung dan amat dihargai karena kebijaksanaannya, maka sebentar saja Ken Arok telah memperoleh kemajuan dan diangkat menjadi senopati muda dalam pasukan pengawal kerajaan. Kemajuan ini terjadi semenjak Ken Arok bertemu dengan Danyang Lohgawe dan barulah dia melihat betapa kehidupannya yang lalu itu sia-sia belaka. Kini dia menjadi seorang panglima muda yang disegani dan dihormati. Akan tetapi, Ken Arok masih belum puas. Dia bercita-cita tinggi, ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya. Dia mulai membanding-bandingkan kedudukannya sekarang dengan kedudukan orang lain, dalam hal ini saja kedudukan orang yang lebih tinggi, seperti Tunggal Ametung. Dia merasa tidak kalah dalam segalanya dengan Tunggal Ametung, akan tetapi kenapa kedudukannya kalah jauh dan dia menjadi bawahan Sang Akuwu itu? Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan iri hati.
Manusia hidup takkan pernah berbahagia selama dia memandang jauh ke depan, selama dia mengharapkan hal-hal yang lebih baik daripada keadaannya saat ini. Pengharapan akan keadaan yang lebih baik itu dengan sendirinya mendatangkan rasa tidak puas dan kecewa akan keadaan saat ini. Dan dia pun akan selalu menjadi korban dari keinginannya sendiri, takkan pernah puas selamanya karena dari keinginannya dia selalu mengharapkan yang lebih baik. Dan keadaan ini oleh kita sudah dianggap amat baik, dengan istilah cita-cita! Padahal, kebahagiaan terletak pada saat ini! Berbahgialah orang yang dapat menikmati saat ini, sekarang, dalam keadaan bagaimana pun juga, tanpa memandang ke masa depan, tanpa menginginkan hal yang lain daripada yang ada. Karena hidup adalah saat ini, kebahagiaan hidup adalah dalam saat ini.
Semenjak pertemua itu, Ken Arok selalu mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Ken Dedes, walaupun hanya saling pandang dari jarak jauh. Akan tetapi, setiap kali terdapat kesempatan mereka saling berpandangan, walaupun hanya beberapa menit saja, dua pasang mata itu tentu bertaut ketat, bahkan Ken Dedes menambah dengan senyum simpul yang amat manis penuh dengan pencaran rasa hatinya. Hal ini tentu saja membuat Ken Arok menjadi semakin tergila-gila dan akhirnya, terdorong asmara yang sudah membakar seluruh tubuhnya, berhasillah dia mencuri masuk ke dalam taman kadipaten pada saat Ken Dedes sedang berduan saja dengan danyang kepercayaannya. Waktu itu matahari mulai terbenam dan Sang Akuwu Tunggal Ametung masih belum bangun dari tidurnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ken Dedes ketika melihat bayangan berkelebat dan ternyata Ken Arok telah berdiri di depannya. Ia terbelalak memandang, kemudian wajahnya berubah merah dan panjang matanya memancarkan rasa takut. Kalau sampai ketahuan Sang Akuwu, tentu panglima muda ini akan celaka!
"Andika......... Andika..........bagaimana berani masuk ke sini.........?"
Tanyanya gagap.
Ken Arok masih berdiri terpesona. Dalam keadaan panik itu, Ken Dedes nampak semakin cantik. Apalagi ketika bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata yang amat merdu olehnya.
"Harap paduka jangan khawatir, karena saya dapat menjaga diri, dan andaikata sampai hamba mati pun, saya tidak menyesal setelah sempat bertemu dan bercakap-cakap dengan paduka, dewi yang cantik jelita."
Mendengar ucapan itu, kedua pipi Ken Dedes menjadi semakin merah dan jantungnya berdebar keras.
"Ah.... senopati......, bagaimana ini? Pergilah cepat, jangan sampai ketahuan oleh Sang Akuwu.........."
Pintanya dengan suara yang penuh kegelisahan.
"Tidak, sang dewi. Saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum menyampaikan apa yang selama ini terpendam di dalam lubuk hati saya."
"Ahh........."
Ken Dedes menjadi bingung sekali. Dipandangnya dayang yang masih bersimpuh di situ.
"Kau.......kau pergilah dulu....... dan bantu lihat kalau-kalau ada orang datang, cepat beritahu........"
Tanpa diperintah dua kali, dayang itu pun maklum bahwa ia harus meninggalkan mereka berdua dan bertugas sebagai penjaga pintu agar pertemuan antara kedua orang muda itu tidak sampai tertangkap basah. Maka sambil menutupi mulutnya, dayang itupun pergi dari dalam taman itu, menuju ke pintu tembusan dan menanti di sana.
"Nah, cepat katakan apa kehendakmu, Raden...... dan cepat pula tinggalkan tempat ini. Amat berbahaya bagimu, bagi kita........"
"Duhai sang dewi..... pujaan saya, hukuman dan kematian bukan apa-apa bagi saya setelah berhasil menatap wajah paduka dari dekat, mendengar suara paduka dan dapat bercakap-cakap dengan paduka. Saya rela mati untuk paduka. Semenjak pertemuan di luar taman Boboyi itu, saya tidak dapat melupakan sang dewi, siang malam terbawa dalam lamunan dan mimpi. Saya.....saya cinta kepada paduka, sang dewi Ken Dedes pujaan kalbu..........."
"Ahh...........!"
Ken Dedes memejamkan kedua matanya yang menjadi basah. Terharu dan bahagia rasa hatinya mendengar pangakuan cinta yang demikian panas dari pria yang selama ini dirindukannya.
"Jangan........jangan berkata demikian......"Perasannya pecah menjadi dua dan berpeang sendiri. Di satu bagian, perasaannya girang bukan main, penuh dengan kebahagiaan karena pria yang menarik hatinya ini menyatakan cinta kepadanya, akan tetapi di lain bagian, pelajarannya dalam keagaaman membuat ia merasa bahwa ia telah berdosa karena melanggar kesetiaannya terhadap suaminya.
Biarpun sejak semula ia tidak mencintai Tunggal Ametung, namun bagaimana pun juga pria itu telah menjadi suaminya dan menurut hukum agamanya yaitu Agama Buddha Mahayana ia harus taat dan setia kepada suaminya. Dan sekarang, ia menghadapi pernyataan cinta dari seorang pria lain, pria yang yang menarik hatinya.
Ken Arok memandang dengan alis berkerut. Hatinya gelisah dan juga kecewa sekali.
"Apakah....... apakah paduka hendak menolak kasih saya? Apakah paduka...... hendak mengatakan bahwa paduka tidak suka kepada saya, tidak sudi menerima cinta kasih saya?"
Suaranya gemetar penuh kegelisahan.
"Kalau begitu, lebih baik kalau saya mati saja di depan kaki paduka......"
"Jangan.......!"
Ken Dedes melangkah maju dan dengan tubuh menggigil memegang kedua lengan Ken Arok untuk mencegah pemuda itu mencabut kerisnya, Ken Dedes menangis dan Ken Arok lalu merangkulnya, memeluk dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Akan tetapi hanya sebantar Ken Dedes sepeti dibuai kemesraan yang membuatnya lemas. Ia lalu melepaskan diri dengan lembut dan memandang kepada pemuda itu melalui genangan air matanya.
"Raden, harap jangan menyiksa hatiu.......bukan sekali-kali saya menolak, akan tetapi andika juga maklum bahwa hal ini tidaklah mungkin terjadi, tidak boleh terjadi. Saya adalah isteri Sang Akuwu.........saya tidak bebas lagi........ bahkan........ bahkan saya....... saya telah mengandung........."
Ken Arok juga sadar keadaannya dan dia menarik napas panjang.
"Saya tidak peduli akan semua itu. Yang penting bagi saya, apakah paduka membalas cinta saya. Apakah andaikata suami paduka itu tidak ada lagi, paduka suka menjadi isteri saya?"
Ken Dedes memandang wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. Mata yang jeli indah dan basah air mata.
"Tidak ada lagi? Maksud.... maksudmu.....? Kalau..... dia..... meninggal dunia.........?"
Ken Arok mengangguk dan tersenyum.
"Nyawa manusia di tangan para dewata, bukanlah demikian, diajeng yang manis?"
Dia semakin berani dan menyebut Ken Dedes dengan sebutan diajeng yang mesra.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Andaikata dia tidak ada, maukah engkau menjadi isteriku?"
"Tapi..... tapi kandunganku....."
"Dia akan menjadi anakku pula. Bagaimana?"
Ken Dedes termenung sejenak. Tentu saja ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pria ini dan menjadi isterinya merupakan hal yang dianggapnya paling membahagiakan. Akhirnya ia mengangguk. Kembali mereka saling berpandangan dengan penuh kemesraan dan Ken Arok hendak merangkul lagi. Akan tetapi pada saat itu, dayang tadi datang berlari dan menunjuk ke arah pintu tembusan, mengataan bahwa Sang Akuwu datang. Mendengar ini, Ken Dedes menahan jeritnya dan Ken Arok menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melompat dan keluar dari dalam taman sebelum Tunggal Ametung tiba di pintu tembusan.
Ken Arok menjadi semakin bimbang. Berhari-hari dia termenung saja, kadang-kadang menarik napas panjang. Kadang-kadang mengepal tinjunya. Dia tidak suka makan dan selalu gelisah di tempat tidurnya. Hal ini diketahui oleh gurunya atau ayah angkatnya yang terakhir, yaitu Danyang Lohgawe. Kakek itu berkunjung ke rumah kediaman Ken Arok yang kini memperoleh rumah sendiri, disambut dengan hormat oleh Ken Arok dan dipersilahkan duduk.
"Ahh...........!"
Ken Dedes memejamkan kedua matanya yang menjadi basah. Terharu dan bahagia rasa hatinya mendengar pangakuan cinta yang demikian panas dari pria yang selama ini dirindukannya.
"Jangan........jangan berkata demikian......"Perasannya pecah menjadi dua dan berpeang sendiri. Di satu bagian, perasaannya girang bukan main, penuh dengan kebahagiaan karena pria yang menarik hatinya ini menyatakan cinta kepadanya, akan tetapi di lain bagian, pelajarannya dalam keagaaman membuat ia merasa bahwa ia telah berdosa karena melanggar kesetiaannya terhadap suaminya. Biarpun sejak semula ia tidak mencintai Tunggal Ametung, namun bagaimana pun juga pria itu telah menjadi suaminya dan menurut hukum agamanya yaitu Agama Buddha Mahayana ia harus taat dan setia kepada suaminya. Dan sekarang, ia menghadapi pernyataan cinta dari seorang pria lain, pria yang yang menarik hatinya.
Ken Arok memandang dengan alis berkerut. Hatinya gelisah dan juga kecewa sekali.
"Apakah....... apakah paduka hendak menolak kasih saya? Apakah paduka...... hendak mengatakan bahwa paduka tidak suka kepada saya, tidak sudi menerima cinta kasih saya?"
Suaranya gemetar penuh kegelisahan.
"Kalau begitu, lebih baik kalau saya mati saja di depan kaki paduka......"
"Jangan.......!"
Ken Dedes melangkah maju dan dengan tubuh menggigil memegang kedua lengan Ken Arok untuk mencegah pemuda itu mencabut kerisnya, Ken Dedes menangis dan Ken Arok lalu merangkulnya, memeluk dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Akan tetapi hanya sebantar Ken Dedes sepeti dibuai kemesraan yang membuatnya lemas. Ia lalu melepaskan diri dengan lembut dan memandang kepada pemuda itu melalui genangan air matanya.
"Raden, harap jangan menyiksa hatiu.......bukan sekali-kali saya menolak, akan tetapi andika juga maklum bahwa hal ini tidaklah mungkin terjadi, tidak boleh terjadi. Saya adalah isteri Sang Akuwu.........saya tidak bebas lagi........ bahkan........ bahkan saya....... saya telah mengandung........."
Ken Arok juga sadar keadaannya dan dia menarik napas panjang.
"Saya tidak peduli akan semua itu. Yang penting bagi saya, apakah paduka membalas cinta saya. Apakah andaikata suami paduka itu tidak ada lagi, paduka suka menjadi isteri saya?"
Ken Dedes memandang wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. Mata yang jeli indah dan basah air mata.
"Tidak ada lagi? Maksud.... maksudmu.....? Kalau..... dia..... meninggal dunia.........?"
Ken Arok mengangguk dan tersenyum.
"Nyawa manusia di tangan para dewata, bukanlah demikian, diajeng yang manis?"
Dia semakin berani dan menyebut Ken Dedes dengan sebutan diajeng yang mesra.
"Andaikata dia tidak ada, maukah engkau menjadi isteriku?"
"Tapi..... tapi kandunganku....."
"Dia akan menjadi anakku pula. Bagaimana?"
Ken Dedes termenung sejenak. Tentu saja ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pria ini dan menjadi isterinya merupakan hal yang dianggapnya paling membahagiakan. Akhirnya ia mengangguk. Kembali mereka saling berpandangan dengan penuh kemesraan dan Ken Arok hendak merangkul lagi. Akan tetapi pada saat itu, dayang tadi datang berlari dan menunjuk ke arah pintu tembusan, mengataan bahwa Sang Akuwu datang. Mendengar ini, Ken Dedes menahan jeritnya dan Ken Arok menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melompat dan keluar dari dalam taman sebelum Tunggal Ametung tiba di pintu tembusan.
Ken Arok menjadi semakin bimbang. Berhari-hari dia termenung saja, kadang-kadang menarik napas panjang. Kadang-kadang mengepal tinjunya. Dia tidak suka makan dan selalu gelisah di tempat tidurnya. Hal ini diketahui oleh gurunya atau ayah angkatnya yang terakhir, yaitu Danyang Lohgawe. Kakek itu berkunjung ke rumah kediaman Ken Arok yang kini memperoleh rumah sendiri, disambut dengan hormat oleh Ken Arok dan dipersilahkan duduk.
Setelah saling menyalam dan menerima penghormatan murid atau anak angkatnya itu Danyang Lohgawe lalu bertanya.
"Anakku Ken Arok, selama beberapa hari ini aku melihat wajahmu seperti diliputi awan gelap, tanda bahwa hatimu sedang risau dan gundah. Ada apakah gerangan, anakku?"
Ken Arok berpikir sejenak sebelum menjawab. Kakek ini selain sakti juga menjadi penasihat Tunggal Ametung, dan amat sayang kepadanya. Sebaiknya berterus terang saja dan mengharapkan nasehat dan bantuannya.
"Bapak Danyang Lohgawe, memang hati saya sedang diliputi perasaan duka dan saya amat mengharapkan kalau ada seorang pria mempergunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendanya terhadap seorang wanita, dan memaksa gadis itu menjadi selirnya?"
Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Kemelut Blambangan Karya Kho Ping Hoo