Keris Pusaka Nagapasung 2
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
Dyah Kanti tak mampu menjawab. Andaikata aku, anakku, yang mengalami musibah seperti yang menimpa diri Ki Bragolo, aku akan mengalah dan membiarkan saja, bahkan aku akan menganjurkan mereka untuk bersatu menjadi sepasang suami istri. Akan tetapi mungkin hanya beberapa orang seperti aku dan Adi Empu Gandring saja yang mampu melakukan hal itu. Sebagian besar orang tentu akan dihinggapi amarah yang mebuat mata gelap dan terjadilah permusuhan dan pembunuhan. Kematian suamimu sudah wajar, karena perbuatannya sendiri. Dan ingat baik-baik, aku berpesan agar kelak engkau tidak menanamkan dendam dalam batin anakku!"
"Sadhu-sadhu-sadhu....! Apa yang diucapkan Kakang Panembahan itu sungguh tepat sekali. Lihat, angin pun berhenti besilir untuk mendengarkan wejangan yang amat suci itu, anakku yang baik. Dyah Kanti, engkau taatilah pesan ayahmu dan keris pusaka Nogopasung ini kuberikan kepadamu, agar kelak kau serahkan pada anakmu. Akan tetapi ingat, kalau sampai dipergunakan untuk mebalas dendam, akibatnya bisa mengutuk sendiri,"
Berkata demikian, Empu Gandring lalu menyerahkan keris pusaka yang panjang berlekukan lima belas itu.
Diingatkan oleh dua orang kakek sakti yang bijaksana itu, luluh semua kekerasan hati Dyah Kanti dan ia pun lalu ikut bersama ayahnya kembali ke padepokan ayahnya di lereng Gunung Anjasmoro.
Ken Endok mengalami penderitaan batin yang sama berat. Memang masih ada yang percaya bahwa anak dalam kandungannya itu keturunan Sang Hyang Brahma, akan tetapi ada pula mulut usil para tetangga, terutama sekali para wanita, yang mulai menyindir-nyindir karena ia seorang janda muda yang mengandung tanpa ayah! Karena merasa menderita batin, hampir saja ia tewas ketika melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat. Untung ia ketulungan oleh seorang dukun beranak yang pandai dan teringat akan pesan "Sang Hyang Brahma", anak itu lalu diberi nama Ken Arok!
Sebelum pengarang melanjutkan cerita ini, patut kiranya diketahui oleh para pembaca bahwa cerita tentang Ken Arok - Ken Dedes dianggap sebagai dongeng dan hanya terdapat dalam kitab Pararaton yang barasal dari Pulau Bali. Dalam Kitab Negerakertagama nama Ken Arok tidak disebut-sebut. Pengarang sengaja menggubah lagi tentang kisah Ken Arok ini setelah mempelajari banyak kitab kuno, antara lain Negarakertagama, Babat Tanah Jawi, Sarwasastra, Sejarah Kerajaan Majapahit dan lain-lain, Lalu pengarang olah dengan hasil khayal sendiri. Adapun cerita mengenai Ken Arok ini, hanya merupakan latar belakang sejarah saja, dan tokoh-tokoh lain yang muncul dalam cerita ini hanya khayali pengarang semata.
Mungkin karena malu melahirkan seorang anak tanpa bapak yang jelas, Ken Endok lalu membawa anak yang baru lahir itu ke kuburan di mana terdapat pula makam mendiang suaminya, Gajahpuro. Bagaimanapun juga, yang menyebabkan keributan adalah mendiang suaminya itu, yang dengan tidak percayaan dan kecemburuannya telah mendatangkan aib pada dirinya dan agaknya memarahkan Sang Hyang Brahma sehingga tidak pernah muncul kembali! Ia lalu meninggalkan bayi itu ditengah-tengah tanah kuburan pada malam hari.
Kalau segala hal terjadi seperti biasa, dapat dipastikan bahwa bayi Ken Arok itu akan meninggal dunia, ditinggalkan seorang diri saja di dalam kuburan seperti itu. Namun, mati hidup manusia merupakan rahasia yang sampai kini belum juga terpecahkan oleh manusia. Ken Arok ditakdirkan untuk tidak mati di waktu bayi. Tanpa disengaja, seorang gembong pencuri yang biasa melakukan perjalanan melalui tempat-tempat sunyi seperti sawah-sawah, hutan-hutan dan kuburan-kuburan, lewat tengah malam sehabis melakukan pencurian, lewat di kuburan itu dan dia mendengar suara tangis bayi.
Cepat dihampirinya suara itu, sebagai seorang maling yang sudah biasa melakukan perjalanan malam melalui tempat-tempat yang keramat dan angker, dia tidak merasa takut. Padahal bagi orang biasa, berjalan di malam hari melalui kuburan lalu mendengar suara bayi menangis, sembilan di antara sepuluh orang tentu akan lari tunggang langgang mencari teman untuk menjenguknya! Lembong, demikian nama gembong maling itu, menemukan seorang bayi yang montok sehat dan dia pun girang sekali. Dia sendiri sudah mendambakan seorang anak dan kini dia menmukan seorang bayi mungil di kuburan. Dibawanya bayi itu pulang dan diakui sebagai anaknya.
Sekejam-kejamnya harimau, takkan makan anaknya sendiri. Sekejam-kejamnya hati seorang ibu, tak mungkin ia dapat melupakan anaknya. Setelah meninggalkan anaknya di kuburan, semalam suntuk Ken Endok tak mampu memejamkan matanya. Ia merasa menyesal sekali, merasa berdosa. Akan tetapi ada keyakinan di hatinya. Bukankah anak itu keturunan Sang Hyang Brahma? Kalau benar, tentu Sang Hyang Brahma tidak akan membiarkan anaknya mati kedinginan atau kelaparan atau dimakan hewan galak di kuburan itu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke kuburan itu untuk melihat apa yang telah terjadi dengan bayi yang ditinggalkan semalam. Dan bayi itu kini telah tiada! Hati Ken Endok diliputi pertanyaan dan kecemasan, lalu ia pun pergi mencari di dusun-dusun yang terdekat. Akhirnya ia mendengar bahwa seorang bernama Ki Lembong telah memungut seorang anak laki-laki. Bukan main girang rasa hati Ken Endok dan semakin tebal keparcayaannya bahwa "bapak"
Anaknya itu ternyata tidak tinggal diam dan menolong anak itu. Ditemuinya Ki Lembong.
Ki lembong dan istrinya menyambut kedatangan wanita muda yang jelita itu dengan penuh keheranan karena mereka tidak mengenalnya. Setelah dipersilakan duduk, sambil memandang bayi yang dipondong Nyi Lembong dan dengan kedua mata basah, Ken Endok lalu berkata.
"Ki dan Nyi Lembong, ketahuilah bahwa namaku adalah Ken Endok dari Dusun Pangkur dan bahwa anak bayi itu adalah anakku."
"Ken Endok dari Dusun Pangkur.....? Ah aku, pernah mendengar tentang andika! Puteri yang dipilih oleh Sang Hyang Brahma....?"
Dan tiba-tiba saja Gembong maling itu menoleh kepada istrinya dan memandang jabang bayi yang malam tadi dibawanya pulang.
Ken Endok mengangguk.
"Benar, Ki Lembong, dan anak inilah yang kulahirkan. Dia bernama Ken Arok, keturunan langsung dari Sang Hyang Brahma. Sudah menjadi kehendak Sang Hyang Brahma bahwa Ken Arok kini menjadi anak asuhmu. Periharalah baik-baik, karena anak ini akan mendatangkan berkah bagi keluargamu."
"Tapi...... tapi.... Andika...?"
"Oleh ayahku, aku akan dinikahkan lagi dan aku tidak ingin Ken Arok dipelihara oleh ayah tiri."
Ken Endok lalu menghampiri Nyi Lembong dan diciuminya anaknya untuk terakhir kalinya. Ia lalu berpamit dan pergi sambil manahan isak tangisnya. Tentu saja keluarga Lembong menjadi girang dan bangga bukan main dan Ken Arok menjadi kekasih mereka.
Demikianlah, mulai saat itu, Ken Arok menjadi anak KI Lembong dan Nyi Lembong, dipelihara dengan penuh kasih sayang oleh keluarga yang pekerjaannya sebagai pencuri itu.
Ada orang yang mengatakan bahwa seorang manusia itu ketika masih bayi, bagaikan
sebuah buku tulis yang masih bersih, belum ada tulisan atau gambarannya. Apa akan
jadinya dengan buku tulis itu kelak, atau apa yang akan terjadi dengan anak itu kelak
setelah dewasa, ditentukan oleh isinya dan yang mengisi buku tulis kosong putih bersih
itu adalah keadaan sekelilingnya, masyarakatnya, terutama sekali yang paling dekat
dengannya, yaitu orang tuanya, saudara-saudaranya dan kawan-kawan dekatnya.
Kiranya pendapat seperti itu tidak banyak selisihnya dengan kenyataan. Seorang bayi
yang sejak kecil dibiarkan di antara kelompok monyet, dididik oleh monyet, tentu setelah
dewasa akan bertingkah seperi monyet pula!
Karena itu, dapat dibayangkan apa jadinya dengan Ken Arok yang sejak kecil dipelihara
oleh keluarga maling! Setelah pengertian mulai memasuki batinnya, Ken Arok tahu
bahwa pekerjaan orang tuanya adalah mencuri harta milik orang lain. Tentu saja hal ini
tidak dianggap buruk karena ayah ibunya juga menganggap bahwa "pekerjaan"
Itu
adalah suatu usaha untuk dapat mencari makan guna menjaga kehidupan mereka. Dan
lebih celaka lagi bagi anak ini, setelah anak ini berusia tujuh tahun, dia pun diajak pergi
oleh ayahnya untuk melakukan pencurian! Memang amat berguna seorang anak kecil
yang cerdik diajak pergi untuk mencuri.
Pertama, andaikata dia ditugaskan untuk
berjaga di luar, tidak akan ada orang mencurigai seorang anak kecil menjadi maling. Dan
kalau dia ditugaskan ke dalam, mudah baginya memasuki lubang-lubang kecil atau
memanjat genteng tanpa membuat banyak gaduh karena tubuhnya yang ringan, orang-
orang akan tidak sekejam kalau yang ditangkap itu seorang dewasa yang melakukan
pencurian.
Akan tetapi, karena lingkungan hidup, karena pergaulan, bukan hanya pekerjaan
mencuri yang dikenal Ken Arok, melainkan terutama sekali juga perjudian. Anak ini sejak
ada pengertian, mulai gemar berjudi. Bukan berjudi di antara kanak-kanak, memang
demikian permulaannya, kecil-kecilan, akan tetapi karena Ken Arok pandai sekali, tak
lama kemudian anak-anak tidak ada yang berani berjudi melawan dia dan mulailah dia
terjun ke dalam kalangan perjudian yang lebih luas, di mana orang-orang dewasa yang
bermain.
Penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan mencuri itu tentu saja tidak banyak. Yang
dimasuki adalah rumah-rumah orang dusun yang miskin sederhana dan yang dicuri pun
hanyalah terbatas pada bahan-bahan makanan dan pakaian saja yang dipakai sendiri
dan sebentar saja setelah Ken Arok gemar berjudi, ludeslah barang-barang ayah ibunya
di meja perjudian.
Orang-orang tua memang banyak yang belum memperhatikan tentang pendidikan.
Orang-orang tua menyatakan cinta kasihnya terhadap anak-anaknya melalui pemberian-
pemberian dan kemanjaan-kemanjaan. Kalau mereka sudah mampu menuruti semua
permintaan anak-anak, mereka menanggap bahwa mereka telah memenuhi kewajiban
mereka sebagai orang tua dan mereka mengatakan bahwa mereka telah membuktikan
cinta kasih mereka kepada anak-anak mereka. Mereka jarang sekali memperhatikan
pertumbuhan jiwa anak-anak mereka, yang diperhatikan hanyalah pertumbuhan badan
dan mereka saja. Yang terpenting, beri makan secukupnya, beri pakaian secukupnya,
dan sudah selesailah tugas mereka.
Orang-orang tua seperti itu lupa bahwa pakaian robek kelak dapat ditukar dengan yang
baik, dan perut yang agak kurang makan bahkan kadang-kadang mendatangkan
kekuatan badan. Akan tetapi budi pekerti robek, sekali watak rusak, sukarlah untuk
mengubah atau memperbaikinya. Bukan hanya makanan badan yang amat penting,
melainkan juga makanan jiwa amat penting, bahkan lebih penting. Keindahan budi
pekerti dibawa sebagai modal sampai mati.
Kalaupun ada di antara kita yang katanya menyayang anak, dan melakukan pendidikan,
maka kita mendidik anak-anak kita seperti mendidik anjing-anjing pemburu atau
monyet-monyet untuk dipertontonkan dalam sirkus saja! Kita mendidik anak-anak agar
menurut semua kata-kata kita, mendidik mereka agar menjadi seperti bayangan yang
kita ciptakan sehingga anak-anak itu banyak yang kenal menjadi manusia seperti robot!
Tidak boleh begini, harus begitu, lakukan ini, jauhkan diri dari ini dan itu, dan
sebagainya. Dan kalau kita berhasil,kalau anak itu menurut segala kehendak kita, kita
menjadi bangga dan menganggap anak itu seorang ANAK YANG BAIK.
Benarkah anak itu menjadi anak yang baik? Kita lupa bahwa anak-anak bukanlah benda mati, melainkan makhluk-makhluk hidup, calon-calon manusia dewasa yang memiliki dunia sendiri,
memiliki akal budi sendiri, selera-selera dan pikiran-pikiran sendiri. Akan tetapi kita hendak mengekang itu semua, hendak mengurungnya dalam sangkar emas yang kita ciptakan dengan nama "pendidkan"
Yang sesungguhnya keliru.
Biasanya, kita mendidik anak BUKAN DEMI SI ANAK, walaupun malu bersumpah demikian, melainkan DEMI KESENANGAN DIRI SENDIRI. Kalau anak itu menurut kata-kata kita, kitalah yang senang. Sedang anak itu? Belum tentu senang. Walaupun untuk menyenangkan orang tuanya, seperti yang diharuskan dan ditanamkan dalam jiwanya, dia akan memperhatikan muka senang agar orang tuanya senang! Kalau anak itu tidak menurut? Lalu di maki, dipukul, dianggap anak kurang ajar, tidak patut, murtad,tidak berbakti, dan sebagainya. Mengapa? Karena tidak menurut berarti TIDAK MEMBIKIN SENANG HATI ORANG TUA! Biarpun anak itu sendiri senang, kalau tidak membuat hati orang tua senang, dia dianggap salah!
Kiranya inilah yang menimbulkan celah atau jurang di antara generasi muda dan generasi tua, walaupun tidak boleh dikatakan bahwa kesalahan selamanya kesalahannya selamanya berada di pihak orang tua, karena keadaan lingkungan atau pergaulan juga mempengaruhi pembentukan watak seseorang. Lalu bagaimana caranya untuk menjadi pendidik yang baik, menjadi orang tua yag baik agar anak-anak itu menjadi calon manusia-manusia baik pula?
Pendidikan orang tua terhadap anaknya adalah suatu tindakan yang berdasarkan cinta kasih. Di mana ada cinta kasih, maka segala tindakannya pasti benar! Cinta kasih berarti memaksa si anak menjadi seperti dirinya atau seperti apa yang dikendakinya. Cinta kasih berarti membiarkan orang yang dicintai itu berbahagia! Bukan bahagia kelak, melainkan bahagia sekarang ini, saat ini, detik demi detik! Nah, kalau sudah ada cinta kasih seperti ini di hati orang tua, maka pendidkan pun tidak perlu dibicarakan lagi secara muluk-muluk, karena CINTA KASIH ITULAH PENDIDIKAN. Kalau kita melarang anak kita memaki dengan hardikan dan makian, apakah itu cinta kasih? Kalau kita melarang anak melakukan apa yang kita juga lakukan, apakah itu juga cinta kasih? Jelaslah, cinta kasih itu menyeluruh!
Setelah agak besar, Ken Arok lalu disuruh bekerja di sawah ladang, menggembala kerbau dan sebagainya. Akan tetapi, saking gemarnya berjudi, Ken Arok bahkan menghabiskan semua raja-kaya (hewan ternak) milik orang tuanya ini, dihabiskan di meja judi pula.
Gembong maling Lembong jatuh miskin. Kini dia sudah lanjut usia, untuk melakukan pekerjaan maling sudah merasa kurang kuat. Kurang kuat membongkar rumah, pintu atau jendela, kurang kuat pula kalau harus membela diri, dan kurang cepat kalau terpaksa harus melarikan diri. Dan semua hartanya yang dikumpulkan sedikit demi sedikit, hasil pencurian, kelebihan dari yang dimakan sehari-hari,kini diludeskan oleh Ken Arok! Apakah ini yang dikata orang bahwa uang yang mudah didapat akan mudah pula lenyap? Entahlah.
Ki Lembong lalu mencari pekerjaan yang halal. Dia menghadap Ki Lurah Lebak untuk minta agar dipercaya untuk menggaduh (memelihara kerbau orang dengan bagi hasil kalau kerbau itu sudah melahirkan anak-anak) ternak, yaitu sepasang kerbau yang baik dan gemuk.
Sepasang kerbau itu diserahkan oleh Ki Lembong kepada Ken Arok.
"Anakku yang bagus, engkau hati-hatilah, Nak. Sepasang kerbau ini milik Ki Lurah Lebak. Jangan sampai sakit apalagi hilang, dan engkau bertobatlah Nak, jangan berjudi lagi. Apalagi kerbau-kerbau ini bukan milik kita, jangan diperjudikan.
"Demikian pesan ayah dan ibu itu.
Akan tetapi, cerita lama pun terulang lagi. Ken Arok yang sudah gila judi itu tidak mampu menahan godaan nafsunya sendiri. Sepasang kerbau itu pun diperjudikan dan dia pun kalah lagi! Dua ekor kerbau milik Ki Lurah Lebak itu pun hilang ke tangan orang lain!
Di antara segala kebiasaan atau kesenangan yang oleh masyarakat umum dinamakan kemaksiatan, yang paling berbahaya adalah perjudian! Ada lima kemaksiatan yang dinamakan dalam Bahasa Jawa sebagai MA lima, yaitu: madat, mabok, maling, madon, dan main atau dalam bahasa indonesianya: menghisap madat, bermabuk-mabukan, mencuri, main perempuan dan berjudi. Untuk menghisap madat dan mabuk-mabukan, kalau tidak mempunyai uang tidak akan mampu melakukannya. Dan kalau sampai rusak, yang rusak adalah tubuh sendiri.
Mencuri, kalau tertangkap, yang celaka juga dirinya sendiri. Main perempuan juga membutuhkan uang, kalau tidak punya uang, tidak akan bisa, dan kalau sampai dirinya terkena penyakit, maka yang menanggung adalah dirinya sendiri pula. Akan tetapi judi? Wah, perjudian itu benar-benar merupakan suatu kemaksiatan yang dapat mencelakakan semua orang. Satu orang saja berjudi, sekeluarga bisa berantakan. Dan untuk dapat berjudi, tak perlu pakaian yang baik bahkan kadang-kadang, tanpa uang sepersenpun dapat saja berjudi karena meminjam uang untuk berjudi jauh lebih mudah daripada meminjam uang untuk berdagang.
Apalagi kalau sampai rakyat sudah dijangkiti penyakit perjudian ini, wah, sukarlah memberantasnya dan banyak keluarga akan menjadi sengsara karenanya. Habislah sepasang kerbau milik Ki Lurah Lebak itu, diperjudikan pula oleh Ken Arok. Tentu saja Ki Lembong dan Nyi Lembong menjadi marah dan berduka sekali. Mau diapakan anak mereka yang satu-satunya ini? Kerbau-kerbau itu sudah habis dan untuk menggantinya, mereka tidak punya uang. Semua barang sudah habis dijual untuk makan, dan sebagian besar diperjudikan anak mereka. Padahal, menurut perhitungan Ki Lurah di Dusun Lebak, sepasang kerbau itu dihargai delapan ribu keping uang!
"Aduh, anakku, Ken Arok. Bagaimana pula ini? Celakalah kita sudah!"
"Kita minggat saja meninggalkan Pungkur, Pak,"
Kata Ken Arok.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, ke mana? Dan pula, Ki Lurah Lebak tentu akan menyuruh tukang-tukang pukulnya untuk mencari kita dan kalau kita tersusul, kita akan celaka. Tidak ada jalan lain, kita harus berpisah anakku. Biarlah kita tidak menyuruh kamu pergi dari sini, akan tetapi kami berdua yang akan meninggalkan kamu. Kami harus pergi ke Dusun Lebak untuk meng- hambakan diri kepada Pak Lurah Lebak, bekeja untuk melunasi hutang dua ekor kerbau itu yang kita hilangkan."
Ken Arok hampir menangis mendengar ini, akan tetapi dia seorang yang amat tabah dan keras hati. Sejak kecilnya, setelah timbul pengertian, hampir tak pernah dia menangis. Biar dalam perkelahian mengalami babak bundas dan kesakitan, dia tidak pernah menangis, bahkan tidak mau mengeluh. Kini pun hatinya menangis dan ada pula penyesalan besar di dalam hatinya bahwa dia telah membikin celaka ayah ibunya. Akan tetapi dia tidak memperhatikan tangisnya itu.
"Kalau ayah dan ibu tidak mau pergi bersamaku, biarlah aku pergi sendiri."
"Ke mana, Ken Arok? Kau hendak pergi ke mana anakku?"
"Aku akan pergi mencari uang pengganti kerbau Pak Lurah Lebak!"
Katanya dan dia pun larilah meninggalkan rumahnya, Ki dan Nyi Lembong tak dapat menahannya, apalagi memang mereka pun harus pergi cepat-cepat berangkat ke Lebak sebelum Pak Lurah mengambil tindakan. Lebih baik mendahuluinya menghadap ke Lebak, mengakui kesalahan dan menyediakan tenaga mereka untuk bekerja bakti membayar kerugian yang diderita Pak lurah.
Di dalam sebuah gua yang terpencil sunyi di daerah hutan Rabut Jalu, duduk seorang laki-laki yang sedang bertapa. Dia bertapa bukan mencari kesaktian, juga bukan mencari kesucian atau kemajuan batin, melainkan dia bertapa karena putus asa. Pria berusia lima puluh tahun ini bertubuh tinggi kurus, berkumis lebat, sekepal sebelah,matanya tajam agak kemerahan dan sikapnya seperti orang yang suka melakukan kekerasan. Akan tetapi pada saat itu, dia putus asa dan ansibnya hampir sama dengan nasib yang menimpa diri anak belum dewasa Ken Arok.
Dia telah kalah judi habis-habisan di Dusun Karuman. Demikian besar kekalahannya sehingga bukan hanya uangnya yang habis, juga semua harta bendanya, rumah dan sawah. Yang tinggal hanya keluarga, dua orang istri dan beberapa orang anak yang tidak sehari pun boleh berhenti makan! Maka, saking bingung dan kesal hatinya,juga putus asa, pergilah dia tanpa pulang lebih dahulu, ke gua
Rabut Jalu yang terkenal angker, keramat dan jarang ada orang berani datang memasuki gua itu. Tekadnya, kalau di tidak memperoleh petunjuk dewa dan menemukan jalan keluar untuk mengatasi keadaannya, biarlah dia mati di situ.
Berprihatin atau bertapa, juga berpuasa, amatlah baik bagi kejernihan batin. Dalam keadaan bertapa, orang tidak memikirkan apa-apa lagi dan batin menjadi kosong, sehingga jernih dan waspada. Berbeda dengan keadaan sehari-hari di mana batin selalu dibisingkan oleh pikiran. Pada hari ke tiga setelah Ki Bango Samparan bertapa, pada suatu malam dia teringat kepada Ken Arok! Dia mengenal anak itu karena sama-sama tukang judi! Dan dia pun sudah mendengar desas desus tentang anak itu bahwa anak itu adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Jarang dia melihat anak seperti itu, masih belum dewasa akan tetapi telah pandai bermain judi, bahkan melawan penjudi-penjudi ulung yang sudah dewasa. Kalau anak itu kalah, hanya karena para penjudi dewasa yang ulung itu menipunya dalam permainan judi. Akan tetapi sesungguhnya anak itu mempunyai bakat yang baik dan juga mempunyai peruntungan yang baik sekali dalam perjudian.
Bango Samparan merasa terheran-heran mengapa semalam itu wajah Ken Arok selalu terbayang di depan matanya. Seorang keturunan Sang Hyang Brahma, mustahil kalau tidak luar biasa dan tidak mendatangkan berkah, demikian bisikan hatinya. Setelah malam lewat, pada keesok harinya, pagi-pagi sekali dia sudah keluar meninggalkan gua itu dengan wajah yang cerah, walaupun agak pucat karena perutnya terasa lapar setelah tiga hari tiga malam tidak kemasukan apa-apa. Pikirannya tentang Ken Arok itu dianggapnya sebagai bisikan para dewa! Itulah jalan keluarnya. Dia harus mendekati dan menggandeng Ken Arok, keturunan Sang Hyang Brahma! Dan setelah mengisi perut sekedarnya, mulailah dia pergi mencari Ken Arok. Akan tetapi baik di Dusun Pangkur maupun di Cempoko, dia tidak dapat menemukan Ken Arok, bahkan ia mendengar bahwa orang tua Ken Arok telah menghambakan diri kepada Lurah Lebak, sedangkan anak itu sendiri entah pergi ke mana.
Dalam hati penuh keprihatinan Bango Samparan mulai mencari-cari dan akhirnya pada suatu malam, bertemulah di dengan anak itu di tengah jalan! Bukan main girang rasa hati Bango Samparan. Perjumpaann ini dianggapnya pula sebagai petunjuk para Dewata!
"Ken Arok, engkaukah itu?"
Tergurnya ketika mereka berpapasan di jalan.
"Paman Bango Samparan? Hendak ke manakah, Paman?"
"Mencarimu, anakku. Sudah beberapa hari mencarimu ke Pangkur dan Cempoko, kiranya bertemu di sini."
"Ada keperluan apakah Paman mencariku?"
Tanya Ken Arok, kedua kakinya siap untuk melarikan diri kalau orang ini diutus Paka Lurah Lebak untuk menangkapnya. Bango Samparan bukan seorang bodoh. Dia sudah mendengar tentang kekalahan-kekalahan Ken Arok yang menyebabkan Ki dan Nyi Lembong terpaksa menghambakan diri ke di Lebak.
"Aihh, anakku yang baik. Aku sudah mendengar tentang nasibmu yang amat buruk. Aku merasa kasihan kepadamu dan aku sudah bertemu dengan kedua orang tuamu. Mereka menyerahkan engkau kepadaku untuk memelihara dan mendidikmu. Marilah, Nak, kau ikut bersamaku ke rumahku dan mulai sekarang engkau kuanggap sebagai anakku sendiri."
Hampir Ken Arok tak dapat mempercayai pendengarannya sendiri. Dia sudah berkeliaran ke sana sini, sudah sampai ke Dusun Kapundungan, mencari pekerjaan. Akan tetapi siapa memberi pekerjaan kepada seorang anak kecil yang tenaganya belum beberapa kuat? Seringkali dia menderita lapar dan haus, dan hanya betinya yang kuat dan tabah sajalah yang membuat dia masih dapat tertahan. Dan kini, dalam perjalanannya menuju ke Dusun Karuman, tiba-tiba saja dia bertemu dengan Ki Bango Samparan, juga seorang penjudi besar, yang tiba-tiba saja menawarkan diri untuk memelihara dan mendidiknya, mengambilnya sebagai anak.
Serta merta dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Terima kasih Paman, terima kasih atas kebaikan hati paman kepada aku, anak yang malang ini..."
"Paman? Engkau sekarang menjadi anakku, harus menyebut bapak kepadaku, ibu kepada istriku dan saudara kepada anak-anakku!"
Kata Bango Samparan dengan girang, membangkitkan Ken Arok dan menggandengnya, membawanya pulang ke Karuman.
Ki Bango Samparan mempunyai dua orang istri. Yang pertama bernama Genuk Buntu. Nyi Genuk Buntu tidak mempunyai anak, oleh karena itu ketika suaminya membawa pulang Ken Arok menjadi anak angkat, Nyi Genuk girang sekali. Apalagi Ken Arok adalah seorang anak yang berwajah tampan dan bertubuh sehat. Tidak kalah oleh anak-anak tirinya. Istri ke dua Bango Samparan bernama Tirtoyo dan istri muda inilah yang mempunyai banyak anak. Ada lima orang anaknya, empat pertama laki-laki bernam Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal dan Panji Kenengkung, sedangkan yang bungsu seorang anak perempuan bernama Cucupuranti, yang sudah menjadi perawan cilik yang manis, sebaya dengan Ken Arok yang sudah berusia empat belas tahun.
Entah kebetulan, memang para dewa memberkahi Bango Samparan lewat Ken Arok, buktinya, ketika ada perjudian besar-besaran, Bango Samparan mengajak Ken Arok dan diapun memperolah kemenangan yang amat besar! Memang tak dapat disangkal bahwa perjalanan hidup manusia ini banyak sekali dipengeruhi oleh "Hal-hal yang kebetulan!"
Yang dinamakan hal yang kebetulan adalah hal-hal yang terjadi di luar persangkaan kita, di luar perhitungan akal, bahkan kadang-kadang merupakan hal yang agaknya tidak mungkin. Banyak manusia mengalami perubahan hidup yang amat besar hanya karena "kebetulan"
Itulah! Dan yang kebetulan ini, yang tak dapat diperhitungkan dengan akal ini, itulah yang mujijat, yang gaib, yang tak terjangkau oleh akal pikiran, seolah-oleh sudah "ada yang mengeturnya". Padahal, semua yang terjadi itu, betapa pun penuh rahasia, sesungguhnya bersumber dari diri pribadi. Ada orang bicara tentang rejeki.
Orang boleh mencari makan, boleh mencari uang, akan tetapi rejeki orang tidaklah sama. Seolah-olah pada diri setiap manusia sudah ada takaran dan ukurannya sendiri-sendiri. Betapapun banyaknya kita mendapatkan hasil, kalau memang takarannya hanya segelas kecil, maka selebihnya akan tumpah dari gelas itu, meluap dan meluber akhirnya yang tinggal hanya satu gelas itu saja, entah melalui pembiayaan karena sakit, entah karena kehilanga, kebakaran dan lain lagi. Kalau takarannya itu segentong besar, biar nampak air rejeki mengalir sedikit-sedikit, akhirnya akan penuh juga segentong besar karena tidak ada yang tumpah. Dan besar kecilnya takaran atau ukuran inilah yang terletak pada diri sendiri! Dengan cara hidup kita, dengan isi batin kita yang lahir menjadi perbuatan-perbuatan, maka "takaran"
Ini bisa saja membesar maupun mengecil!
Hasil yang diperoleh Bango Samparan dan yang dapat menolong keadaannya yang serba sulit itu mebuat dia dan istri pertamanya semakin cinta kepada Ken Arok. Akan tetapi, hal ini menimbulkan iri dalam hati para anak istri muda itu, kecuali Cucupuranti tentu saja karena setelah berkenalan, segera nampak keakraban antara Cucupuranti yang manis dengan Ken Arok yang ganteng. Justru keakraban agak mesra inilah yang membuat hati istri muda Bango Samparan semakin tidak suka. Mulailah terjadi
perselisihan dan bentrokan karena Ken Arok dalam keluaga Ki Bango Samparan.
Sejak kecil Ken Arok adalah anak yang miskin, hanya anak keluarga maling. Akan tetapi justru dalam kemiskinannya itu tumbuh suatu keangkuhan yang bukan bersifat kesombongan melainkan harga diri yang tinggi, tidak mau tunduk dan tidak mau merendah terhadap orang lebih kaya. Demikianlah watak Ken Arok. Melihat betapa keluarga istri muda ayah angkatnya itu tidak suka kepadanya, pada suatu malam dia minggat dari rumah itu.
"Kakang Arok....!"
Tiba-tiba terdengar bisikan halus ketika dia sudah meninggalkan rumah itu dengan diam-diam, di sebuah jalan tikungan yang sunyi. Dia berhenti dan menoleh. Kiranya Cucupuranti yang memanggilnya dan dia pun membalikkan tubuhnya menghadapi perawan remaja itu.
"Kau kah itu, Puranti? Kenapa kau menyusulku? Katakan saja kepada Bapak Bango Samparan bahwa aku tidak mau lagi kembali ke sana, aku ingin merantau."
"Aku tidak disuruh oleh Bapak, Kakang."
"Habis, mau apa kau menyusulku?"
"Kakang Arok, aku mau ikut kalau kau pergi."
"Ikut? Ehhh..... kenapa? Bukankah kau tinggal senang-senang di rumah bersama saudara-saudaramu?"
"Tapi aku..... aku tidak mau kau tinggalkan, Kakang."
Sesuatu yang aneh terjadi dalam dada Ken Arok. Jantungnya berdebar keras dan dia pun melangkah maju.
"Puranti, kenapa begitu?"
"Kakang...... aku akan bersedih kalau kau tidak ada. Aku.... aku senang sekali bersamamu, Kakang Arok."
Dan anak itu pun menangis.
Ken Arok merangkulnya dan Cucupuranti menangis di pundaknya. Ken Arok mengelus rambut yang panjang halus itu.
"Aku pun suka kepadamu, Puranti. Akan tetapi aku harus pergi merantau. Tak baik aku makan nasi orang begitu saja tanpa bekerja yang berarti.
Aku akan merantau mencari pekerjaan, dan kalau kelak aku sudah menjadi orang yang berhasil, aku akan datang, menjumpaimu."
"Benar, Kakang? Dan kau akan mengajakku untuk hidup bersamamu?"
Ken Arok terkejut.
"Hidup.... bersamaku? Maksudmu... maksudmu menjadi.... istriku?"
Dari atas dada Ken Arok, dara itu mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah. Ia mengangguk.
"Apa engkau tidak mau, kakang? Katakanlah engkau suka padaku?"
"Yaaa..... ya.... aku suka, tapi..... ah, bagaimana nanti sajalah, Puranti. Pendeknya, aku berjanji bahwa kelak aku akan menjemputmu."
"Kau tidak akan lupa kepadaku?"
Tanya dara itu manja.
"Aku? Lupa padamu? Ah, siapa bisa melupakan perawan manis seperti engkau ini?"
Dan entah apa yang menggerakkan, tahu-tahu Ken Arok menundukkan mukanya dan bibirnya menyentuh bibir gadis itu, hidungnya menyentuh pipi. Akan tetapi hanya sebentar saja lalu diangkatnya lagi mukanya yang menjadi merah dan dadanya gemetar.
"Kenapa, Kakang? Lagi, Kakang......!"
Bisik Cucupuranti.
Ken Arok tidak menjawab, lalu kini mencium dengan hidungnya pada pipi kedua gadis itu dengan penuh kasih sayang, lalu melepaskan pelukannya.
"Aku pergi, Puranti!"
Dan seperti dikejar setan dia pun lari dari situ.
"Kakang Arok......!"
Puranti berteriak mengejar, akan tetapi Ken Arok tidak perduli dan berlari semakin cepat sampai lenyap dan gadis itu tidak mampu mengejarnya lagi, melainkan menangis dan pulang memberi laporan bahwa Ken Arok telah minggat.
Setelah lari agak jauh, Ken Arok berhenti. Napasnya terengah-engah, bukan karena lari tadi melainkan hal lain. Dia merasa terheran-heran dan tidak sadar bahwa dia mulai menginjal akhil balik, masa remaja yang mulai dewasa, sudah menginjak masa birahi.
Ken Arok yang melarikan diri itu sampai ke Dusun Kapundungan. Hari sudah siang ketika memasuki dusun itu dan di sebuah tegalan yang sunyi dia melihat sebuah perkelahian. Seorang pemuda remaja sedang dikeroyok olah enam pemuda lain, bahkan di antara para pengeroyok itu ada yang sudah besar dan dewasa. Akan tetapi anak yang bertubuh tinggi kurus itu melakukan perlawanan dengan gigih. Pakaiannya sudah robek-robek dan tubuhnya sudah babak-belur, akan tetapi dia masih terus melawan pengeroyokan enam orang itu.
"Tangkap dia!"
"Hantam saja pencuri itu!"
"Mentang-mentang anak pinisepuh desa mau main curi milik orang saja!"
Biarpun Ken Arok mendengar ucapan-ucapan itu yang menyatakan bahwa anak yang sedang dikeroyok itu agaknya mencuri sesuatu, namun jiwa keadilannya memberontak melihat seorang anak dikeroyok begitu banyak orang. Apalagi kalau hanya mencuri, dia sendiri pernah melakukannya karena dia pun anak pencuri! Maka timbul jiwa setia kawan dan tanpa banyak cakap lagi Ken Arok terjun ke gelanggang perkelahian iu membela anak tinggi kurus.
Semua anak yang mengeroyok tidak mengenal Ken Arok, akan tetapi Ken Arok yang tadi sudah memungut sepotong kayu dan kini mengamuk, mengejutkan dan membuat mereka gentar karena di antara mereka ada yang terkena pukulan di kepalanya sampai benjol-benjol dan larilah mereka berhamburan meninggalkan Ken Arok dan anak yang tadi dikeroyok.
"Terima kasih, Kawan,"
Kata anak tinggi kurus itu sambil tersenyum.
Ken Arok merasa semakin suka. Anak ini tabah sekali, pikirnya. Sudah pakaiannya robek-robek, badannya babak belur, hidungnya dan bibirnya berdarah, masih dapat tersenyum dan berterima kasih padanya.
"Tidak mengapa sobat. Sebetulnya kau mencuri apa sih sampai mereka itu begitu marah mengeroyokmu?"
Wajah pemuda kurus itu berubah agak khawatir dan sampai lama dia tidak menjawab, hanya memandang wajah Ken Arok penuh selidik. Melihat ini, Ken Arok tertawa.
"Jangan khawatir, aku pun kadang-kadang mencuri kalau terpaksa dan kalau kelaparan."
Wajah pemuda itu nampak lega dan tersenyum kembali.
"Aku tidak kelaparan dan keluargaku cukup mampu. Ketahuilah bahwa ayahku adalah Ki Ageng Sagenggeng, buyut (ketua dusun) di Sagenggeng."
Ken Arok membelalakkan matanya.
"Wah ini baru namanya aneh sekali! Anak seorang buyut kok nyolong! Apa sih yang kau curi?"
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku mencuri bukan karena kelaparan akan tetapi karena tidak dapat manahan keinginan mulutku. Aku mencuri ini......!"
Dia lalu lari ke balik semak dan keluar kembali membawa sebuah paha kambing yang sudah dikuliti, paha yang gemuk bergajih.
"Ha-ha-ha!"
Ken Arok tertawa bergelak.
"Aku setuju seratus persen kau mencurinya. Baru melihatnya saja sudah keluar air liurku. Mari kita cepat panggang dan makan bersama, sobat baik!"
Keduanya tertawa cekikikan dan segera membuat api unggun dan memanggang paha kambing itu lalu makan bersama tanpa banyak cakap lagi. Setelah merasa puas, kenyang dan paha itu tinggal tulangnya saja, barulah ia bertanya.
"Sobat yang gagah, siapakah engkau?"
"Namaku Ken Arok."
"Dan namaku Tito, panjangnya Panji Tito."
"Namamu gagah seperti orangnya. Kau berani menghadapi pengeroyokan enam orang tanpa lari, sungguh gagah sekali."
"Kau lebih gagah lagi. Setelah kau mengamuk dengan kayu itu, tikus-tikus itu lari tunggang langgang, ha-ha-ha,"
Panji Tito tertawa girang lalu disambungnya.
"Eh, Ken Arok, engkau dari mana dan hendak ke manakah? Di mana rumahmu?"
"Rumahku?"
Ken Arok membentangkan kedua tangannya sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terentang.
"Semua inilah rumahku, lihat, langit itu atapku. Tanah ini lantai rumahku, pohon-pohon dan gunung-gunung itu dinding rumahku!"
Panji Tito tertawa geli.
"Wah, katakan saja engkau ini seorang gelandangan yang tak mempunyai rumah. Eh, Ken Arok, kalau begitu, mari ikut saja dengan aku. Akan kuhadapkan kau kepada ayahku dan akan kuminta agar dia suka menerimamu."
Tentu saja ini sangat menyenangkan hati Ken Arok dan berangkatlah kedua orang pemuda itu menuju ke rumah Panji Tito di Dusun Sagenggeng, sebuah dusun yang agak jauh juga dari tempat itu.
Ki Ageng Sahoyo, yaitu pinisepuh Dusun Sagenggeng menerima Ken Arok dengan senang hati. Anaknya, Panji Tito, dikabarkan nakal di luaran maka ia mengharap agar Ken Arok, pemuda yang nampaknya pendiam dan cerdik itu, akan dapat menemaninya dan membawanya menjadi seorang anak yang baik. Sama sekali dia tidak menduga bahwa Ken Arok adalah anak seorang pencuri, bahkan seorang penjudi besar! Dia seolah-olah memasukkan seekor harimau untuk menghajar seekor kucing!
Di Dusun Sagenggeng itu terdapat seorang pendeta yang berjuluk Begawan Jumantoko seorang kakek yang usianya sudah lima puluh tahun lebih dan terkenal sebagai seorang ahli sastra, juga ahli pencak silat yang sakti mandraguna. Bagawan ini hanya mempunyai sebuah cacat saja, yaitu dia suka sekali kepada wanita yang cantik sehingga sudah terkenallah kalau ada wanita yang cantik berguru kepadanya tentu wanita itu akan digodanya dan akhirnya, berkat kepandaiannya dan kesaktiannya, wanita itu menjadi kekasihnya. Di padepokannya yang luas itu entah tedapat berapa wanita-wanita muda yang menjadi murid, juga pelayan, juga kekasihnya! Namun karena pendeta itu memang pandai dan suka menolong orang, wanita-wanita itu dengan rela menyerahkan diri kepada pendeta itu, bukan karena paksaan.
Begawan Jumantoko ini memang bukan sembarangan orang. Dia masih terhitung kadang (saudara seperguruan) dari Panembahan Pronosidi yang bertapa di Lereng Gunung Anjasmoro, dan sungguh pun dalam hal ilmu kanuragan dan kesaktian dia belum dapat menandingi kakak seperguruannya itu, namun dalam hal sastra dia jauh lebih menang.
Setelah Ken Arok menjadi anak angkat Ki Ageng Sahono, pinisepuh Dusun Sagenggeng, Ki Ageng Sahono lalu membujuk puteranya untuk suka menjadi murid dan mengabdi kepada Begawan Jumantoko. Sudah berkali-kali dia membujuk tapi anak itu tidak suka berguru kepada kakek yang gila peerempuan itu. Akan tetapi setelah kini Ken Arok menemaninya, akhirnya Panji Tito mau juga menerima bujukan itu. Ken Arok sendiri merasa gembira bukan main ketika diajak pergi berguru. Dia memang ingin memperlihatkan bahwa dia sesungguhnya keturunan Sang Hyang Brahma, pandai dan sakti, tidak kalah oleh orang lain!
Demikanlah, mulai hari itu, mereka berdua diterima menjadi murid dan atau cantrik dari Begawan Jumantoko yang tentu saja merasa girang memperoleh bantuan tenaga dua orang pemuda yang akan meringankan pekerjaan para pelayan atau muridnya. Dan di tempat inilah, berbeda dengan Panji Tito yang tidak suka berdekatan dengan wanita genit, Ken Arok menjadi semakin dewasa dan cepat matang berkat asuhan dan bimbingan para murid perempuan yang cantik-cantik dan genit-genit itu.!
"Angger, Joko Handoko, bukan begitu caraya melakukan jurus itu. Masih kurang "isi", karena yang kau mainkan itu hanya kulitnya saja, hanya nampak indah namun tanpa memiliki daya serang yang besar. Lihat pohon di depanmu itu hanya bergoyang daunnya saja."
Ucapan itu keluar dari mulut Panembahan Pronosidhi yang duduk bersila di atas batu hitam, sedangkan di depannya, seorang pemuda yang berkulit kuning putih dan berwajah tampan sedang memperlihatkan latihan ilmu pencak silat. Sejak tadi, panembahan itu hanya menonton saja, kadang-kadang mengangguk-angguk karena cucunya ini ternyata telah mampu mewarisi hampir seluruh ilmu pencak silat yang diajarkannya semenjak anak itu masih kecil sekali. Joko Handoko adalah cucunya, putera dari anak perempuannya, Dyah Kanti. Seperti yang kita ketahui, ayah anak ini adalah mendiang Ginantoko yang tewas ketika anak itu masih dalam kandungan ibunya. Oleh Panembahan Pronosidhi, Dyah Kanti yang menjadi janda itu diajak pulang ke padepokannya di lereng Pegunungan Anjasmoro. Setelah anak itu telahir, oleh kakeknya diberi nama Joko Handoko dan anak ini memang tampan sekali, seperti mendiang ayahnya.
Karena menerima gemblengan dari kakeknya sendiri penuh kasih sayang, apalagi karena memang Joko Handoko memiliki bakat yang amat baik, maka setelah kini berusia delapan belas tahun, Joko Handoko telah menjadi seorang pemuda yang sakti mandraguna, bukan hanya pandai memainkan jurus-jurus ampuh dari pencak silat aliran Hati Putih dari kakeknya, akan tetapi juga memiliki kekuatan sakti di dalam tubuhnya berkat latihan semadhi dan bertapa. Akan tetapi diam-diam dia merasa penasaran karena hanya mendengar bahwa ayahnya telah meninggal dunia ketikia dia masih dalam kandungan tanpa diketahuinya apa sebab kematiannya karena baik ibunya maupun kakeknya tidak pernah bercerita tentang kematian ayahnya itu.
"Eyang Panembahan, jurus yang paling akhir Eyang berikan kepada saya ini memang sukar bukan main,"
Pemuda itu mengakhiri gerakan silatnya dan menyeka keringat yang membasahi leher, dada dan mukanya.
Sang panembahan tersenyum dan mengelus jenggotnya yang sudah putih semua walaupun usianya baru enam puluh tahun. Ketika dia tersenyum, nampak bahwa giginya masih utuh dan putih bersih, tanda bahwa panembahan ini menjaga baik-baik kesehatan tubuhnya.
"Angger, cucuku, jangan merasa heran kalau jurus itu tidak mudah, karena jurus itu, walaupun pada dasarnya masih bersumber kepada aliran Hati Putih, yaitu aliran silat kita, akan tetapi jurus itu adalah ciptaanku sendiri yang kuberi nama Jurus Nogopasung!"
"Nogopasung......."
Pemuda itu terperanjat.
"Eyang, bukankah Nogopasung itu nama keris pusaka milik ibu yang katanya merupakan peninggalan dari ayah, dan ciptaan atau empaan dari Eyang Empu Gandring?"
Kakek itu menarik napas panjang.
"Tidak keliru, Joko Handoko. Eyangmu Empu Gandring adalah seorang empu yang sukar dicari tandingannya di jagat raya ini dalam keahliannya membuat keris pusaka. Karena aku sendiri merasa tidak ada se-kuku hitamnya dibandingkan denan dia dalam hal pembuatan keris, maka aku mencoba untuk mengimbangi keampuhan keris yang telah diberikan kepada ibumu untuk kelak menjadi milikmu itu dengan sebuah jurus yang kuberi nama Nogopasung."
Tentu saja Joko Hamdoko merasa gembira bukan main.
"Wah, pantas sekali begitu sukar kiranya menguasai jurus ini. Eyang. Kiranya Eyang sengaja membuatkan untuk saya."
"Selama hampir setahun aku mutih (makan nasi dan air putih saja), baru berhasil. Dan engkau pun baru berlatih selama tiga bulan. Sedikitnya setahun baru engkau akan mampu menguasai jurus ini. Itupun harus kau lakukan dengan jalan mutih dan juga berpuasa sepekan sekali."
"Hal itu sudah kutaati dan saya lakukan sejak mempelajarinya, Eyang. Akan tetapi hasilnya ternyata menurut Eyang masih kurang memuaskan."
"Jurus itu dapat dimainkan dengan tangan kosong sebagai pengganti keris, juga tentu saja amat tepat kalau dimainkan dengan menggunakan keris, terutama keris Kyai Nogopasung sendiri. Belajarlah dengan giat, latihlah jurus itu dengan tekun dan perkuat batinmu. Perbanyak samadhi menghimpun tenaga batinmu, kurangi makan dan tidur."
"Baik, Eyang, akan saya taati perintah Eyang. Akan tetapi Eyang, kalau boleh saya memohon....."
Kakek itu memandangnya dengan tersenyum.
"Apakah yang kau inginkan, Cucuku?"
"Saya masih penasaran karena selama tiga bulan ini saya sudah berlatih dengan sekuat tenaga. Kalau sampai sekarang masih belum baik hasilnya, lalu sampai yang bagaimanakah baiknya, Eyang. Sudilah Eyang memperlihatkan kepada saya jurus itu sampai pada puncak kesempurnaannya?"
"Heh-heh-heh, orang muda selalu memang ingin tahu. Akan tetapi memang demikianlah seharusnya. Kalau orang muda tidak memiliki keinginan tahu yang besar untuk mengerti segala hal di dunia ini, maka hidupnya seperti mandeg dan dia seperti sudah mati sebelum hayat meninggalkan badan. Hanya, kau nakal sekali, aku yang sudah setua ini masih disuruh menjual lagak! Ha-ha-ha!"
"Tapi, Eyang. Yang melihat hanya saya sendiri, tidak ada orang lain lagi, mana bisa dibilang menjual lagak?"
"Nah, nah, di sini letak kekuranganmu, cucuku. Jangan terlalu membiarkan dirimu terseret oleh suatu arus yang menyita seluruh kewaspadaanmu sehingga engkau tidak melihat datangnya dua orang menuju ke sini."
Kakek itu memandang arah kiri dan Joko Handoko juga memandang.
"Ibuuuu.......!"
Serunya, akan tetapi seruan yang disertai wajah gembira itu tiba-tiba saja ditahannya ketika dia melihat bahwa ibunya tidak datang sendirian, melainkan bersama seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pri yang dalam usia setengah tua itu masih nampak gagah dan tampan, dengan pakaian sebagai seorang priyayi, dengan sikap yang ramah dan senyumnya selalu menghias wajahnya yang tampan.
"Ah, Raden Pringgoloyo, sudah lamakah Raden mengunjungi padepokan kami yang sederhana ini? Baik-baik sajakah keadaan Raden?"
Pria yang bernama Raden Pringgoloyo itu tersenyum, melirik ke arah Dyah Kanti lalu menoleh kepada Joko Handoko yang masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Terima kasih Paman, dengan berkah dan doa restu paman panembahan, saya berada dalam keadaan selamat dan semoga paman sudi menerima sembah bakti saya. Paman selalu menyebut padepokan ini sederhana, buruk dan sebagainya, padahal yang saya kunjungi bukanlah padepokannya, melainkan orangnya, Paman. Saya baru saja tiba dan kebetulan bertemu Diajeng Kanti di luar pintu padepokan."
Lalu dia menoleh kepada Joko Handoko.
"Wah, keringatmu masih membasahi tubuh. Agaknya engkau baru saja berlatih. Sudah memperoleh kemajuan pesat, anakku Handoko?"
Makin sebal rasa hati Handoko mendengar sebutan "anak", mengingatkan bahwa orang ini akan menjadi ayah tirinya. Ibunya sudah mengambil keputusannya untuk menerima pinangan Raden Pringgoloyo ini, menjadi istri ke dua, dan kakeknya juga sudah menyetujuinya! Akan tetapi dia sendiri, yang tidak pernah ditanya pendapatnya, diam-diam merasa iri dan tidak senang. Bagaimana ibunya, seorang yang begitu lama menjanda, kini tiba-tiba saja ingin kawin lagi, dan menjadi istri ke dua? Akan tetapi karena ditanya, dan karena dia sejak muda sekali sudah diajar sopan santun oleh eyangnya, lalu menjawab.
"Lumayan saja, Paman."
"Tidak seperti biasanya, Raden berkunjung begini pagi, biasanya di waktu senja. Apakah hanya akan anjang sono ataukah ada keperluan lain, Raden?"
Tanya Panembahan Pronosidhi dengan suaranya yang selalu halus dan sabar.
"Pertama untuk beranjang sono, dan kedua kalinya juga ada keperluan, paman panembahan. Saya
(Lanjut ke Jilid 03)
Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 03
datang untuk memohon persetujuan paman agar diperkenankan mangajak diajeng Dyah Kanti ke kadipaten hari ini karena saya akan memeperkenalkan kepada keluarga saya, sebelum pernikahan dilangsungkan dengan resmi."
Wajah kakek itu nampak berseri.
"Ah, suatu tindakan yang bijaksana sekali,raden. Akan tetapi perjalanan dari sini ke kadipaten bukan dekat."
"Kami mau naik kuda, Ayah,"
Kata Dyah Kanti cepat. Ia adalah seorang keturunan pendekar sakti, biarpun wanita, ia memiliki kesaktian dan juga kesigapan. Menunggang kuda bukan merupakan hal yang sukar atau asing baginya.
"Jadi kau telah membawa dua ekor kuda, Raden? Baiklah, hati-hati di jalan dan jangan terlalu malam pulangnya nanti."
Dyah Kanti lalu menghampiri Joko Handoko dan mengelus kepala anaknya.
"Handoko, ibu mau pergi dulu ke kadipaten. Engkau minta dibawakan oleh-oleh apakah, anakku?"
"Kalau ibu hendak pergi, pergilah saja, aku tidak ingin dibawakan apa-apa Ibu. Terima kasih,"
Kata Joko Handoko dan dia pun mulai bersilat lagi untuk latihan tanpa memperdulikan ibunya dan calon ayahnya itu.
Ibunya saling pandang dengan calon suaminya, lalu tersenyum masam dan berpemit dari ayahnya. Tak lama kemudian terdengar derap kaki dua ekor kuda yang membalap keluar dari padepokan, menuruni Lereng Gunung Anjasmoro menuju Kadipaten Wonoselo, di mana Raden Pringgoloyo adalah keponakan dari adipati di Wonoselo. Setelah derap kaki kuda itu tidak terdengar lagi, barulah Panembahan Pronosidhi menegur cucunya.
"Joko Handoko, hentikan latihanmu. Eyang mau bicara denganmu sebentar."
Pemuda itu menghentikan silatnya dan duduk bersimpuh di atas rumput, di depan batu hitam.
"Ada perintah apakah, Eyang?"
"Aku ingin bicara denganmu tentang ibumu, Cucuku!"
Wajah yang biasanya ceria dan penuh senyum itu kini menjadi muram.
"Apa lagi yang hendak dibicarakan, Eyang? Ibu akan menikah lagi dengan Raden Pringgoloyo keponakan Sang Adipati di Wonoselo, dan Eyang sudah memberi restu. Mau apa lagi?"
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sungguh pahit sekali nada yang terkandung di dalam ucapan sederhana itu dan sang panembahan menarik napas panjang, akan tetapi tetap tesenyum.
"Joko, baru saja aku melihat sikapmu tadi yang tak ramah terhadap ibumu dan terhadap Raden Pringgojoyo, hal itu menujukkan bahwa engkau pada hakekatnya tidak setuju kalau ibumu menikah dengan dia. Bukankah demikian, Cucuku?"
"Ampun, Eyang. Saya hanya anak-anak tidak tahu apa-apa. Akan tetapi sesungguhnya, saya kira tidak patut kalau ibu menikah, baik dengan Raden Pringgoloyo maupun dengan pria manapun juga!"
Suaranya berapi-api, tanda bahwa ucapan itu merupakan pendaman perasaan di dalam hatinya yang selama ini ditekan-teannya.
Kakek itu mengengguk-angguk, maklum apa yang terpendam di dalam hati cucunya.
"Cucuku, kenapa engkau berpendapat demikian?"
"Tentu saja, Eyang! Sejak saya dalam kandungan ayah kandung saya telah memninggal dunia dan bagaimana dia meninggal dunia, masih belum saya ketahui sebabnya karena agaknya ibu maupun eyang masih merahasiakannya. Tak mungkin ayah mati begitu muda tanpa sebab. Dan sekarang, setelah ibu menjadi janda selama delapan belas tahun, tiba-tiba saja ibu hendak kawin lagi, menjadi selir! Bukankah hal itu amat memalukan?"
"Memalukan? Malu kepada siapa, Cucuku?"
"Malu kepada orang-orang tentu saja, Eyang."
"Ee, Lhadalah! Mengapa begini aneh pendapatmu, cucuku? Urusan kawin adalah urusan pribadi antara dua orang, kenapa harus ada rasa malu kepada orang lain? Apakah kehidupan kita, termasuk pernikahan, harus diatur oleh orang-orang lain? Siapa yang berhak mengatur dan menentukan?"
"Memang, merupakan urusan pribadi dan diri sendiri yang mengatur dan menentukan. Akan tetapi ada pendapat umum bahwa janda yang sudah tua, tidak patut kawin lagi. Dan andaikata tidak malu kepada orang lain, setidaknya juga malu kepada diri sendiri!"
"Wah-wah-wah, lebih aneh lagi ini, cucuku. Orang harus malu kepada diri sendiri kalau dia melakukan sesuatu yang tidak baik, kalau dia melakukan seuatu yang jahat dan jahat ini berarti merugikan orang lain, bagaimana ia harus malu terhadap diri sendiri?"
"Ampun, Eyang, bukan saya ingin berbantah-bantahan dengan Eyang atau tidak mentaati petunjuk Eyang. Akan tetapi, setidaknya ibu harus merasa bahwa sayalah orang yang dirugikan kalau ibu menikah lagi!"
"Aha! Begitukah? Ah, jadi itukah gerangan yang membuat engkau tidak senang hati, dan menggangap ibumu melakukan sesuatu yang salah, yang jahat karena merugikan dirimu? Sekarang jelaskan, kerugian apakah yang kau derita dengan kawinnya ibumu dengan Raden Pringgojoyo, cucuku"
Suara Panembahan itu masih penuh dengan kehalusan sehingga cucunya tidak merasa dimarahi dan tidak menjadi gugup atau takut.
"Tentu saja saya rugi karena menjadi anak tiri!"
"Bukankah malah menguntungkan karena engaku mendadak saja, engkau yang sudah tidak mempunyai seorang ayah, tiba-tiba kini mempunyai seorang ayah, walaupun ayah tiri?"
"Ayah tiri mana bisa menggantika ayah kandung , Eyang? Ayah tiri, mana ada yang baik?"
"Calon Ayah tirimu itu, Raden Pringgoloyo, adalah seorang yang baik, cucuku. Kalau aku tidak yakin akan kebaikannya, mana mungkin aku merestui rencana perkawinan mereka? Dia pernah menjadi muridku ketika masih muda, aku tahu wataknya. Dan ingatlah, ayah kandung sendiri belum tentu baik, Cucuku!"
Pendeta itu termangu, teringat akan keadaan mantunya, Ginantoko, seorang yang biarpun tadinya amat baik, kemudian menjadi seorang mata keranjang yang mendatangkan banyak permusuhan dan bencana.
"Maksud Eyang....... apakah mendiang ayah kandung saya tidak baik?"
Kakek itu sudah terlanjur bicara dan memang kini dianggap sudah saatnya untuk memperkenalkan cucunya kepada mendiang ayahnya, karena Joko Handoko sudah berusia delapan belas tahun, sudah cukup dewasa. Maka dengan suara tenang, dengan halus dan sabar, kakek itu bercerita tentang petualangan Ginantoko sampai kemudian dia meninggal di tangan musuhnya.
Sejak tadi Joko Handoko mendengarkan dengan wajah yang tidak berubah. Memang pemuda itu sudah menerima gemblengan yang hebat dari eyangnya sehingga apa yang terasa di hatinya tidak samapi mengguncang batin dan tidak nampak pada wajahnya. Setelah eyangnya selesai bercerita, barulah dia berkata.
"Jadi, pembunuh mendiang ayah kandung saya adalah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembaga dari lembah Gunung Kawi, Eyang?"
"Benar, akan tetapi dia tidak mampu menewaskan ayahmu kalau saja dia tidak mempergunakan keris pusaka yang dipinjamnya dari eyangmu Empu Gandring, yaitu keris pusaka Nogopasung....."
"Apa....!!"
Kini pemuda itu terkejut akan tetapi segera dapat menguasai hatinya.
"
Jadi keris pusaka peninggalan ayah itu.... keris itu malah yang telah membunuh ayahku?"
"Dengarlah baik-baik, cucuku. Mendiang ayahmu, Ginantoko, telah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia mengejar-ngejar wanita, bahkan tidak segan-segan mempermainkan wanita yang sudah menjadi bini orang. Dia merayu dan menjinai isteri Ki Bragolo, dan itulah sebabnya maka terjadi permusuhan sehingga ayahmu tewas di ujung keris Nogopasung. Akan tetapi bersama dengan darah ayahmu, keris itu pun ternoda darah Galuhsari..... sehingga percampuran darah pria dan wanita itu tidak dapat lenyap dan tetap menodai keris pusaka itu."
"Galuhsari.....?"
"Yaa, isteri Ki Bragolo sendiri."
"Ahh.......!"
Kini Joko Handoko termangu-mangu, kehilangan akal. Ayahnya memang bersalah dan agaknya banyak hal yang perlu dibuat penasaran kalau Ki Bargolo membunuh ayahnya, bahkan orang itu telah kehilangan isterinya pula. Akan tetapi yang membuat dia penasaran, kenapa justeru keris Nogopasung itu yang membunuh ayahnya? Bukankah keris itu ciptaan Empu Gandring, dan bukankah ayah kandungnya itu keponakan dan murid Empu Gandring sendiri?
"Eyang, apakah eyang Empu Gandring demikian marah kepada mendiang ayahku sehingga beliau menyerahkan keris pusaka itu kepada Ki Bragolo agar ayah dapat dibunuhnya?"
"Hushh......! Jangan bicara yang bukan-bukan, cucuku! Eyangmu Empu Gandring adalah seorang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Semua itu sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa, tidak ada dosa tak terhukum dan segala hal yang kebetulan itu hanya nampaknya saja kebetulan, akan tetapi sesungguhnya sudah ada yang mengaturnya. Karena itu, semua ini kuceritakan kepadamu agar engkau mengerti duduknya perkara.
Kalau tidak, dan engkau mendendam kepada Ki Bragolo yang membunuh ayahmu, hal itu berarti engkau hendak membela yang bersalah, cucuku. Dan kini engkau tentu maklum betapa lama ibumu menderita. Ibumu telah menahan derita selama belasan tahun. Biarpun banyak sekali pria yang datang meminang, ibumu selalu menolak karena mengingat bahwa engkau masih kecil. Ibumu tidak ingin menyerahkan pendidikanmu ke dalam tangan ayah tiri. Akan tetapi, sekarang engkau telah dewasa dan ibumu hanya seorang manusia biasa saja, yang membutuhkan kasih sayang seorang pria. Apakah engkau kini tega hati untuk mencegah ibumu menikmati hidupnya setelah belasan tahun merana?"
Joko Handoko menundukkan mukanya. Setelah mendengar cerita eyangnya, pandangannya tentu saja berubah. Dia merasa terharu sekali dan dapat membayangkan betapa berat beban batin ibunya karena perbuatan ayah kandungnya yang memalukan itu sehingga mengakibatkan ayah kandungnya tewas.
Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo