Keris Pusaka Nagapasung 6
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
"Manusia sombong! Kamu yang tadi mengusulkan pertandingan adu ilmu secara persahabatan, antara tuan rumah dan tamunya yang dihormati. Akan tetapi kata-katau kotor dan beracun melebihi senjata seorang mush. Majulah dan jangan kira aku takut menghadapi kebesaran tubuhmu dan kelebaran mulutmu!"
Ucapan Wulandari ini sungguh pedas dan tajam menusuk, akan tetapi Gajah Putih tetap tersenyum menyeringai. Dia memang seorang mata keranjang dan kini menghadapi seorang dara remaja yang demikia manisnya, hatinya gembira sekali. Apalagi dia memperoleh kesempatan untuk mengadu ilmu dengan gadis ini, hatinya senang bukan main. Inilah kesempatan baik baginya untuk bersentuhan kulit, dan mempermainkan gadis ini sesuka hatinya tanpa ada yang dapat melarang karena bukankah mereka itu akan bertanding mengadu ilmu? Pula, andaikata ada yang melarang, diapun tidak takut.
"Ha-ha-ha, sungguh andika seperti seekor kuda betina liar yang amat cantik. Semakin liar semakin menarik untuk ditundukkan! Kalau tidak salah, nama andika tadi adalah Wulandari. Nama yang amat manis, semanis orangnya. Wulandari, sebagai puteri Ki Bragolo, aku yakin bahwa semua ilmu dari Sabuk Tembogo tentu telah kau warisi sehingga dengan melihat ilmu silatmu, sama saja dengan menjajagi tingginya tingkat kepandaian ketua Sabuk Tembogo. Nah, perlihatkan kepandaianmu, manis!"
Ki Bragolo merasa betapa dadanya panas dan hampir saja dia melompat ke depan untuk memaki dan menyerang raksasa bermuka putih itu. Akan tetapi, keadaan tidak mengijinkan karena mereka itu tidak saling bermusuhan, melainkan sebagai tamu yang hendak menguji ilmu kepandaian pihak tuan rumah. Maka diapun menekan saja kemarahannya, menahan sabar dan memandang ke arah puterinya dengan hati penuh kekhawatiran.
Joko Handoko mengerutkan alisnya.Sejak tadu diapun diam saja dan menganggap bahwa adu ilmu ini hanya merupakan pelampiasan kecewa dari pihak pemimpin pasukan Tumapel. Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat mencampuri urusan adu ilmu itu. Betapapun juga, melihat sikap Gajah Ireng dan kini sikap Gajah Putih yang terlalu menghina dan teramat sombong, diam-diam dia mendongkol bukan main. Diapun mengerti bahwa melihat tingkat kepandaiannya, Wulandari tidak akan mampu mengalakan Gajah Ireng, apalagi Gajah Putih yang sabagai kakak Gajah Ireng tentu saja memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi lagi.
Akan tetapi, dia sendiri hanya seorang tamu, dan dia telah menyembunyikan kepandaiannya sehingga pihak tuan rumah sendiri tidak tahu dan menganggap dia seorang sahabat baik yang tidak memiliki kepandaian silat. Bagaimana dia dapat mencampuri kalau pihak tuan rumah maju sendiri menghadapi tantangan para tamu? Kalau dia campur tangan, hal itu tentu akan menimbulkan perasaan malu terhadap pihak tuan rumah. Maka biarpun diam-diam dia merasa khawatir sekali, dia tetap diam saja, hanya siap siaga menjaga segala kemungkinan dan diam-diam diapun bersiap-siap untuk melindungi Wulandari kalau-kalau gadis itu terancam bahaya.
Kini Gajah Putih sudah mengeluarkan sepasang sarung tangan hitam dan mengenakan sepasang sarung tangan itu untuk melindungi kedua tangannya. Itulah senjatanya, sepasang sarung tangan yang amat kuat, tahan menghadapi bacokan senjata tajam. Banda itu terbuat dari semacam sutera yang amat ulet dan kuat merupakan benda kuno yang datang dari Negeri Cina dan di tangan Gajah Putih yang bertenaga raksasa itu, sarung tangan ini menjadi senjata yang amat ampuh.
Sementara itu, Wulandari sudah tidak sabar lagi. Begitu lawannya sudah selesai mengenakan sarung tangan, ia mengelebatkan sabuk tembaganya sambil membentak nyaring, sebagai tanda bahwa ia mulai dengan serangannya. Akan tetapi yang diserang tidak menggerakkan tubuhnya, hanya kedua tangannya saja bergerak.
"Tak-tring-trang.........!"
Bekali-kali sabuk tembaga itu bertemu dengan kedua tangan yang berlindung sarung tangan dan selalu sabuk itu terpental.
Makin keras Wulandari mengayun senjatanya, semakin kuat pula senjatanya terpental sehingga ia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan perih. Ia merasa terkejut bukan main dan ia pun cepat mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana sini mengitari tubuh lawan dan mengayun sabuk tembaganya untuk menyerang bagian-bagian yang berbahaya seperti tengkuk, ubun-ubun kepala, lambung, pusar, sekitar muka, pergelangan tangan, siku, lutut dan sebagainya.
Gadis ini memang memiliki gerakan lincah, walaupun tidak secepat gerakan Gajah Ireng, namun cukup cepat sehingga tubuhnya nampak berkelebatan. Sebaliknya, Gajah Putih hanya mengeluarkan suara ketawa-ketawa dan tubuhnya tetap tegak hanya kakinya yang bergeser maju mundur, sehingga tubuhnya berbalik ke sana sini, menghadapi lawan ke mana saja lawan meloncat dan menangkis setiap lecutan sabuk tembaga dengan kedua tangannya yang dilindungi sarung tangan. Terdengar lagi suara nyaring berdentingan ketika sabuk itu bertemu sarung tangan.
"Ha-ha-ha, engkau hebat juga, anak manis!"
Gajah Putih mengejek dan tiba-tiba saja tangan kanannya menangkap ujung sabuk tembaga, tangan kiri mencengkeram ke arah siku kanan Wulandari. Dara ini terkejut bukan main, terpaksa melepaskan sabuknya dan menarik tangannya karena kalau tidak, tentu sikunya akan kena cengkeram. Gajah Putih tertawa bergelak, kedua tangannya menekuk-nekuk dan sabuk tembaga itu patah-patah menjadi empat potong lalu dilemparkannya ke atas tanah. Dengan sikap sombong dia pun kini melepaskan sepasang sarung tangannya dan menyimpannya kembali.
"Keparat, berani kau merusak senjataku!"
Wulandari yang marah sekali bahwa ia berhadapan dengan lawan yang jelas lebih tangguh darinya. Tubuhnya sudah mencelat ke depan dan kedua tangannya sudah menyerang dengan ganas, yang kanan mencengkeram ke arah kepala, yang kiri menghantam ke arah ulu hati. Serangan ini hebat sekali dan andaikata mengenai sasaran, biarpun Gajah Putih memiliki kepandaian tinggi, dapat menimbulkan bahaya maut baginya.
"Plak! Plak!"
Gajah Putih menyambut kedua tangan dan tahu-tahu kedua tangan gadis itu telah ditangkapnya pada pergelangan. Tentu Wulandari terkejut bukan main, apalagi ketika lawan itu tertawa bergelak dengan muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga dara itu ini dapat mencium bau busuk dari mulut yang terbuka itu. Dengan cepat, Wulandari mempergunakan tenaga tangkapan lawan pada kedua pergelangan tangannya untuk mengangkat tubuh, menggerakkan kedua kakinya menendang ke arah pusar dan muka lawan.
Gajah Putih sudah merasa girang sekali mempermainkan gadis itu dan berhasil menangkap kedua pergelangan tangan yang kulitnya helus dan hangat itu. Akan tetapi, dia terkejut sekali melihat betapa gadis yang telah ditangkapnya itu ternyata masih mampu melakukan serangan yang demikia hebatnya. Serangan itu amat berbahaya sehingga dia mengeluarkan seruan kaget dan terpaksa mendorong tubuh itu ke atas, melepaskan pegangannya agar dia terhindar dari ancaman kedua kaki Wulandari. Tubuh gadis itu telempar ke atas. Wulandari menggerakkan tubuhnya dan berjungkir balik
sampai tiga kali di udara.
Akan tetapi, Gajah Putih melihat kesempatan baik dan dia pun meloncat, tangannya mencengkeram.
"Iiihhh......!"
Wulandari menjerit ketika ujung kemben{sabuk} di pinggangnya tertangkap lawan dan ketika Gajah Putih menarik dengan bentakan kuat, tubuh itu berputar dan kembennya sudah tertarik separuh, hampir telepas. Semua orang terkejut dan memandang dengan menahan napas karena kalau sampai kemben atau sabuk itu terlepas, tentu kain yang membungkus tubuh gadis itu akan terlepas dan merosot turun.
"Gajah Putih, jangan kurang ajar engkau!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak sinar terang berkelebat menyambar ke arah kemben dan putuslah kemben itu dan Wulandari terlepas dari ancaman ditelanjangi oleh Gajah Putih. Gadis itu dengan muka merah hampir menangis saking marahnya dan malunya, terpaksa mundur dan berdiri di pinggir dengan mata melotot ke arah Gajah Putih.
Kiranya yang membikin putus kemben itu untuk menghindarkan Wulandari dari penghinaan adalah Ki Bragolo sendiri. Orang tua ini sudah mempergunakan sabuk tembaganya unguk menyelamatkan muka puterinya dan kini, dengan muka saking marahnya, dia berdiri menghadapi Gajah Putih. Dua orang yang sama tinggi besarnya, hanya bedanya kalau muka Ki Bragolo agak kehitaman dan gagah perkasa, muka lawannya putih halus.
Gajah Putih masih menyeringai.
"Ha-ha, akhirnya Ki Bragolo maju sendiri. Memang sudah lama sekali aku mendengar nama besar Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo dan sungguh beruntung hari ini aku dapat merasakan sendiri sampai di mana kehebatannya, apakah kepandaiannya yang sebesar namanya."
"Gajah Putih!"
Ki Bragolo membentak.
"Apakah sebenarnya yang menjadi kehendakmu?"
"Eh? Apa kehendakku? Ki Bragolo, bukankah kita berhadapan sebagai tuan rumah dan tamu yang hendak memeriahkan suasana dengan mengadu ilmu?"
"Gajah Putih! Sudah bertahun-tahun kami membantu Kadipaten Tumapel dan mengenal tokoh-tokohnya. Akan tetapi baru hari ini kami mengenal namamu dan melihat engkau dan Gajah Ireng membantu pasukan Tumapel. Akan tetapi sikapmu tidak bersahabat. Selain engkau memancing diadakannya adu kepandaian, juga engkau dan adikmu sengaja hendak melakukan penghinaan terhadap kami. Jelas bahwa di balik adu kepandaian ini, tersembunyi sesuatu yang busuk dalam benakmu!"
"Ha-ha-ha, Ki Bragolo. Memang baru hari ini kami menghambakan diri kepada Tumapel. Dan apakah anehnya kalau adu kepandaian ada yang menang dan kalah? Dan tidak aneh pula kalau pihak yang kalah menjadi pahit dan marah-marah seperti sikapmu sekarang ini. Ha-ha-ha!"
Tentu saja Ki Bragolo menjadi semakin marah.Di situ terdapat Ranunilo sebagai pemimpin pasukan Tumapel dan perwira ini tidak berkata sesuatu, maka dia merasa terdesak omongan dan hal ini membuatnya menjadi semakin marah.
"Gajah Putih, manusia sombong! Keluarkan senjatamu dan majulah!"
Gajah Putih sudah mengenakan sepasang sarung tangan hitam tadi dan kini sambil menyeringai lebar dia melangkah maju.
"Aku sudah siap untuk menghadapi pertandingan terakhir ini. Ingat, Ki Bragolo, dua orang muridmu dan puterimu sudah kalah, maka kalau sekali ini engkau kalah, berarti Sabuk Tembogo harus mengakui keunggulan kami!"
"Hentikan ocehanmu dan lihat senjataku!"
Ki Bragolo dan diapun sudah maju dengan cepat. Sabuk Tembaga di tangannya merupakan senjata yang amat berat dan ampuh, dan ketika dia menyerang, maka serangannya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan serangan sabuk tembaga di tangan kedua muridnya atau puterinya tadi. Gajah Putih juga tidak berani memandang rendah, maklum betapa hebatnya sabuk tembaga yang berat dan digerakkan dengan tenaga kuat itu. Dia cepat mengelak dan dengan tamparan tangannya kea rah dada lawan.
Ki Bragolo berhasil mengalak pula dan membalas kini dengan hantaman lebih kuat ke arah leher lawan. Sabuk tembaga di tangannya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar yang panjang berkilauan. Gajah Putih menggerakkan tangan kanannya, menyambut senjata itu dengan tangannya yang terlindung sarung tangan.
"Trakkk.....!"
Keduanya terdorong mundur. Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang kekuatannya. Terjadilah pertandingan yang mata seru dan kini mereka yang menonton di luar ruangan itu sudah sibuk lagi membuat taruhan yang lebih berani dan besar jumlahnya. Bagaimanapun juga, para murid Sabuk Tembogo tentu saja menjagoi guru mereka karena mereka yakin bahwa guru mereka itu amat sakti. Sebaliknya, para perajurit Tumapel yang sudah mendapat hati dengan kemenangan-kemenangan berturut-turut dari kedua orang jagoan mereka, kini menyambut taruhan itu dengan berani pula.
Setelah lewat lima puluh jurus, nampaklah bahwa Gajah Putih mulai dapat mendesak lawannya. Dia baru berusia empat puluh dua tahun sedangkan Ki Bragolo sudah berusia hampir tujuh puluh tahun. Usia tua membuat Ki Bragolo kalah daya tahan dan panjang napasnya, apalagi dia harus mainkan sabuk tembaga yang beratnya belasan kati, sedangkan lawannya yang melindungi kedua tangan dengan sarung tangan itu bertangan kosong saja. Dan Memang, tingkat kepandaian Gajah Putih masih sedikit lebih unggul dibandingkan Ki Bragolo.
Hal ini diketahui dengan jelas oleh Joko Handoko sehingga pemuda ini menjadi semakin mendongkol saja. Dia juga melihat betapa Wulandari dapat menduga akan kedaan ayahnya sehingga gadis itu hampir menangis saking gelisah, marah, dan malunya. Hancurlah nama Sabuk Tembogo sekali ini, piker Joko Handoko. Seharusnya dia merasa senang dan puas, karena bukankah Ki Bragolo itu pembunuh ayah kandungnya? Biarpun dia tidak mendendam , setidaknya dia seharusnya puas dan senang melihat Sabuk Tembogo dihancurkan orang lain. Akan tetapi sungguh aneh. Dia sama sekali tidak merasa puas atau senang. Sebaliknya, dia malah merasa mendongkol dan tidak senang kepada Gajah Putih yang amat sombong itu. Dan diapun, seperti Ki Bragolo, mulai menaruh perasaan curiga terhadap kedua orang itu. Jelaslah bahwa sebagai pembantu-pembantu baru dari Tumapel, mereka berdua itu terlalu menonjolkan niat mereka untuk membikin malu dan menghina Sabuk Tembogo, seolah-olah mereka berdua menaruh dendam atau membenci perkumpulan itu.
Saat yang dinanti-nanti dan dikhawatirkan Joko Handoko pun tiba. Ketika dengan tenaga yang tersisa tidak berapa banyak lagi itu Ki Bragolo dengan nekat menyerang dengan sabetan sabuk tembaga di tangannya, mengarah kepada lawan, Gajah Putih menyambutnya dengan kedua tangan sambil menggerakkan tenaga.
"Dess......!"
Tubuh Ki Bragolo terhuyung dan sabuk tembaga hampir terlepas dari tangannya. Pada saat itu, Gajah Putih sudah mengirim tendangan yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
"Bukk....!"
Tendangan itu mengenai paha Ki Bragolo yang mencoba mengelak. Dan tubuh kakek itupun terjengkang dan terbanting keras! Ki Bragolo bangkit berdiri menahan sakit. Dengan muka merah dia lalu berkata.
"Aku yang sudah tua dan tiada guna ini mengaku kalah."
"Ha-ha-ha!"
Gajah Putih tertawa bergelak dan berdiri tegak, bertolak pinggang dan sengaja dia memandang ke arah Wulandari yang menundukkan muka dengan sedih.
"Masih adakah jagoan Sabuk Tembogo yang mau mencoba untuk maju? Ataukah hanya sekian saja kehebatan Sabuk Tembogo? Dengan kekuatan seperti itu saja berani untuk mengusik seorang senopati Tumapel!"
Ranunilo mengerutkan alisnya. Gajah Putih sudah keterlaluan bicaranya, pikir perwira ini. Bukankah dia sudah setuju dan menanti permintaan Dewi Pusporini dan meraka semua dijamu sebagai tamu? Mengadu ilmu kepandaian antara orang-orang gagah adalah wajar, akan tetapi sikap Gajah Putih ini sungguh keterlaluan, seolah-olah sengaja mencari perkara!
Tiba-tiba terdengar suara yan tenang namun lantang.
"Aku masih ada, sebagai wakil Sabuk Tembogo untuk menerima pelajaran!"
Semua orang memandang dan Wulandari hampir saja berteriak kaget. Kiranya yang maju adalah Joko Handoko! Ia tahu bahwa pemuda itu tidak pandai apa-apa, seorang yang lemah walaupun pemberani dan dia menduga bahwa majunya Joko Handoko karena penasaran melihat sikap sombong Gajah Putih. Pemuda itu hanya maju bermodalkan keberanian belaka. Juga Ki Bragolo terkejut dan khawatir. Akan tetapi ayah dan anak ini tentu saja tidak dapat melarang karena mereka berada di tempat yang dihadiri oleh banyak tamu. Maka mereka hanya memandang dengan alis berkerut dan sinar mata membayangkan kekhawatiran.
Gajah Putih juga memandang dan melihat majunya seorang pemuda yang bersikap tenang, berpakaian sederhana namun memiliki sinar mata mencorong penuh keberanian, diapun bersikap hati-hati.
"Siapakah andika? Apakah seorang murid Sabuk Tembogo?"
Tanyanya.
Joko Handoko menggeleng kepala.
"Bukan, aku hanya seorang tamu biasa saja yang tidak rela melihat tuan rumah diejek dan dihina. Karena itu, aku akan maju menghadapimu, Gajah Putih."
"Kakang Handoko, jangan, engkau tidak biasa berkelahi, bagaimana mau melawan dia?"
Wulandari berteriak dan gadis ini sudah lari memasuki arena itu, menghadapi Gajah Putih.
"Gajah Putih, engkau sudah berhasil mengalahkan kami, sudahlah. Dia ini sahabat dan tamu kami, sama sekali tidak biasa berkelahi dan tidak memiliki ilmu kepandaian silat, maka mundurlah dan pertandingan dinyatakan selesai!"
"Benar!"
Kata Ki Bragolo.
"Dan biarkan aku atas nama Sabuk Tembogo mengaku kalah terhadap kepandaian kalian berdua."
Kakek inipun tidak menghendaki tamunya celaka.
"Ha-ha-ha-ha!"
Gajah Putih tertawa bergelak dengan lagak sombong.
"Pemuda yang lemah ini dengan berani hendak melawan aku, berarti dia hendak membela Sabuk Tembogo dengan nekat. Aihh, agaknya dibalik kenekatanmu ini ada pamrihnya!"
Dia melirik ke arah Wulandari dan melanjutkan.
"Dan agaknya aku tahu apa pamrihnya, heh-heh, tentu karena melihat puteri Sabuk Tembogo yang cantik manis!"
"Tutup mulutmu yang busuk!"
Wulandari membentak marah.
Joko Handoko lalu berkata kapada Wulandari.
"Wulan, mundurlah. Paman Bragolo, maafkan, kalau saya tidak boleh mewakili Sabuk Tembogo, saya akan maju atas nama sendiri. Sebagai seorang tamu, tentu saya pun bebas untuk mengadu ilmu dengan mereka, bukan?"
Wulandari dan ayahnya saling pandang. Ki Bragolo kini berpikiran lain. Dia lalu menarik tangan anaknya dan diajaknya mundur. Dia menduga bahwa mungkin sekali tamu mudanya yang nampak lemah lembut ini menyimpan rahasia. Kalau tidak demikian, tentu tidak akan segila itu menantang Gajah Putih yang sudah mengalahkan dia.
Joko Handoko kini menghadapi Gajah Putih.
"Orang sombong engkau mendengar sendiri. Aku kini menantangmu untuk mengadu ilmu, bukan sebagai wakil Sabuk Tembogo, melainkan atas namaku sendiri."
"Babo-babo, engkau agaknya bosan hidup!"
Gajah Putih kini memandang marah.
"Siapakah engkau, orang muda, dan dari aliran mana?"
"Namaku Joko Handoko dan aku bukan dari aliran manapun."
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mundurlah, kakang Putih, biar aku yang menghajarnya. Engkau sudah dua kali melawan musuh."
Tiba-tiba Gajah Ireng maju dan melihat ini, Gajah Putih tertawa mundur. Dia pun merasa agak rikuh kalau harus melawan seorang pemuda lemah yang tidak mempunyai aliran, maka biarlah adiknya yang akan menghajar pemuda lancang itu.
"Heh, orang muda lancing. Tahukah engkau bahwa mengadu ilmu bukan halmain-main? Besar sekali kemungkinannya akan keluar dengan tubuh babak budas, lecet-lecet bahkan setengah mati!"
Kata Gajah Ireng.
"Gajah Ireng, kemungkinan itu berlaku pula atas dirimu,"
Jawab Joko Handoko dengan sikap masih tenang.
"Engkau manusia sombong, besar kepala, kejam, dan kurang ajar. Sama sekali bukan seperti seekor gajah yang biasanya tenang dan sabar. Engkau lebih pantas memakai nama tikus, tikus ireng karena mukamu hitam, dan watakmu seperti tikus, licik dan mengandalkan kecepatan."
Semua orang yang mendengarkan ucapan Joko Handoko ini terbelalak. Alangkah beraninya pemuda ini. Gajah Ireng jelas amat sakti, telah mengalahkan dua orang murid kepala dari Sabuk Tembogo dan kini pemuda itu berani memaki dan mengejeknya seperti itu. Ada pula yang Manahan ketawa, yaitu para murid Sabuk Tembogo. Bagaimanapun juga,mereka merasa penasaran dan membenci dua orang Gajah itu, akan tetapi tidak berdaya. Kalau sekarang ada orang berani menghina dan mempermainkan
dua orang musuh itu, tentu saja hati mereka merasa geli dan senang, walaupun mereka tahu bahwa pemuda tampan itu sungguh mencari penyakit saja.
Dan Gajah Ireng memang menjadi marah sekali. Mukanya yang hitam menjadi semakin hitam karena darahnya naik ke muka, matanya melotot dan mulutnya cemberut. Dia memang pendiam, tidak pandai bicara seperti kakaknya. Saking marahnya, dia semakin tak pandai bicara.
"Bersiaplah untuk mampus!"
Bentaknya dan dia pun sudah menyerang dengan kedua tangan dikepal, menghantam dari kanan kiri kea rah muka dan dada Joko Handoko. Serangan itu hebat sekali, cepat dan mengandung tenaga kuat. Kedua tangannya bergerak dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata sehingga para anggota Sabuk Tembogo menjadi silau dan gelisah. Juga Wulandari menonton dengan kedua tangan saling mencengkeram. Hatinya gelisah sekali. Diam-diam Wulandari teloah jatuh cinta pada Joko Handoko, maka melihat betapa pria yang dikasihaninya terancam, ia merasa khawatir bukan main.
Joko Handoko mengeluarkan seruan kaget dan mengelak dengan kaku sehingga dua pukulan itu hampir menyerempet sasaran. Dia memang sengaja melakukan hal ini, padahal tentu saja dia sudah dapat mengikuti gerakan lawan dengan baik sehingga mudah baginya untuk menghindarkan diri. Hal ini tentu saja membuat semua orang semakin khawatir dan mereka menahan napas. Sebaliknya, Gajah Ireng menjadi gembira sekali semangatnya bertambah dan sambil menyeringai lebar dia pun mendesak lagi dengan serangan-serangan yang lebih cepat. Ingin dia merobohkan pemuda ini secepat
mungkin, dengan pukulan keras agar pemuda lancing ini tahu rasa. Akan tetapi, kini dialah yang harus menahan seruan heran dan aneh. Pemuda itu terhuyung ke sana sini, mengelak dengan kaku, akan tetapi semua serangannya luput. Sampai sepuluh jurus dia terus menerus melakukan serangan, makin lama semakin cepat, dean semua serangannya tetap tak dapat menyentuh lawan.
Kini semua orang mengikuti perkelahian ini dengan kedua mata terbelalak dan mulut ternganga, hampir tak pernah berkedip karena tidak ingin melepaskan pandang dari jalannya perkelahian yang luar biasa itu. Wulandari juga terbelalak seperti ayahnya, dan gadis ini hampir tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri. Biarpun gerakannya kacau sampai terhuyung-huyung, dan biarpun pukulan-pukulan Gajah Ireng itu kadang-kadang nyaris mengenai sasaran, namun begitu jauh, semua pukulan Gajah Ireng itu tidak ada yang mengenai tubuh Joko Handoko.
"Heiiii, Tikus Ireng, kenapa kau tidak memukul sungguh-sungguh? Jangan main-main, pukullah dengan cepat,masa dari tadi luput melulu!"
Joko Handoko berteriak dan hampir saja lambungnya menjadi sasaran sebuah tendangan lawan. Dimiringkan tubuh hampir terjengkang, dan tidak sengaja tangannya bergerak ke bawah.
"Tukk!!"
Dua buah jari tangannya yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu telah mengetuk tulang kering di kaki kiri yang menendang.
"Ouwww........!"
Gajah Ireng tidak dapat menahan teriakannya karena tulang kering yang diketuk rasanya nyeri bukan main, kiut miut rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum yang menembus ke jantungnya. Dia mengangkat kaki kiri, memeganginya dan berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan, berputar-putaran. Tulang kering pada kaki itu tidak patah, akan tetapi nyerinya bukan alang kepalang.
Kalau semua orang tadi melongo menahan napas dan tidak berkedip, kini meledaklah suara ketawa dan sorak sorai para anak buah Sabuk Tembogo melihat betapa Gajah Ireng jingkrak-jingkrak memegangi kaki kiri sambil berputaran.
"Heii, tikus Ireng, kau kenapa sih? Mau adu ilmu ataukah menari? Kalau mau menari pun yang baik jangan berjingkrak seperti monyet kepedasen begitu!"
Joko Handoko sengaja mengejek dan semua orang tertawa geli. Mereka para murid Sabuk Tembogo, tidak melihat bagaimana Gajah Ireng terketuk tulang keringnya karena gerakan Gajah Ireng tadi terlampau cepat. Akan tetapi Wulandari dan ayahnya melihat dan kini meraka saling bertukar pandang. Mereka masih keheranan karena sebegitu jauhnya Joko Handoko sama sekali belum memperlihatkan bahwa dia pandai bersilat. Gerakan-gerakannya masih kaku dan selalu mengelak dengan kacau, maka bagaimanan mungkin kini tahu-tahu Gajah Ireng terpukul kakinya sampai kesakitan seperti itu? Kalau tidak melihat sendiri, tentu mereka akan menduga bahwa Gajah Ireng hanya pura-pura saja untuk mempermainkan Joko Handoko.
Gajah Ireng menjadi marah bukan main. Matanya merah dan mulutnya berbusa. Dia merasa penasaran sekali dan masih belum sadar bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya. Dia mengira pukulan pada tulang kering kakinya tadi hanya kebetulan saja. Betapapun juga, karena rasanya nyeri bukan main, kemarahannya memuncak dan dia sudah melolos kain ikat kepalanya yang menjadi senjata istimewa baginya dan dia tadi telah mempermainkan dua murid kepala dari Ki Bragolo dengan senjatanya itu. Melihat ini, kembali Wulandari merasa gelisah sekali dan kedua kakinya sampai menggigil ketika ia membayangkan betapa ampuhnya senjata ini dan betapa Joko Handoko kini benar-benar terancam bahaya maut. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apapun kecuali nonton dengan jantung berdebar tegang.
"Hei, tikus!"
Joko Handoko mengejek lagi.
"Kau berani membuka kepalamu tanpa ikat kepala?Awas, bisa masuk angin nanti, dan lebih mudah bagiku untuk mengetuk kepalamu sampai benjol-benjol!"
"Keparat, mampuslah kau! Gajah Ireng kini hampir gila saking marahnya dan dia pun sudah meloncat dengan kecepatan terbang sambil mengayun kain ikat kepalanya. Terdengar suara ledakan-ledakan kecil ketika kain itu melecut-lecut seperti ujung cambuk. Seperti tadi, Joko Handoko terhuyung-huyung dan selalu mengelak, nampaknya terhuyung dan kacau namun lecutan kain itu tak pernah menyentuh tubuhnya. Dan betapapun cepatnya Gajah Ireng bergerak, tetap saja kainnya tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dan betapapun cepatnya Gajah Ireng bergerak, tetap saja kainnya tidak pernah dapat menyentuh lawan. Tentu saja dia menjadi semakin penasaran.
Para penonton kini bersorak-sorak, bukan hanya para anggota Sabuk Tembogo, bahkan ada perajurit pasukan Tumapel yang bertepuk tangan memuji Joko Handoko. Sukar diterima akal mereka betapa pemuda yang nampaknya tidak pandai silat itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang demikian cepat dan gencarnya. Gerakan Gajah Ireng amat cepat, namun ternyata Joko Handoko lebih cepat lagi walaupun nampaknya kacau dan terhuyung-huyung.
"Kakang Handoko, balaslah! Balaslah!"
Tiba-tiba Wulandari berteriak, suaranya nyaring melengking
(Lanjut ke Jilid 07)
Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 07
mengatasi sorak sorai para penonton yang merasa lucu, juga tegang dan gembira menyaksikan jalannya perkelahian yang aneh itu.
"Hem, Tikus Ireng, kau dengar itu? Aku harus membalas. Awas kepalamu yang tidak bertutup kain, kubikin benjol-benjol!"
Tiba-tiba saja semua orang terkejut karena tubuh Joko Handoko seperti lenyap, dan tahu-tahu terdengar suara Gajah Ireng mengaduh-aduh. Segera nampak tubuhnya terpelanting dan kini orang-orang melihat lagi Joko Handoko berdiri tegak memandang kepada bekas lawannya yang merangkak bangun, kedua tangan meraba-raba kepalanya dan benar-benar di kepala itu nampak benjolan-benjolan sebesar telur-telur ayam. Akibat ketukan-ketukan jari tangan Joko Handoko. Dia tidak memberi pukulan maut, namun cukup mambuat kepala itu benjol-benjol dan terasa nyeri. Dengan mulut masih mengaduh-aduh, Gajah Ireng lalu terhuyung menghampiri kakaknya dan menjatuhkan diri di atas kursi.
Gajah Putih kini meloncat dan terdengar dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah. Matanya melotot mamandang ke arah wajah Joko Handoko dan dia pun membentak marah.
"Joko Handoko! Tak perlu engkau berpura-pura seperti orang bodoh! Katakan siapa gurumu dan dari aliran mana agar aku tidak salah tangan membunuh orang yang tidak punya nama!"
"Sudah kukatakan bahwa namaku Joko Handoko, dan engkau bernama Celeng Putih....."
"Gajah Putih!"
Bentak raksasa bermuka putih itu marah dan terdengar banyak orang tertawa riuh rendah.
"Siapa bilang Gajah Putih? Coba tanyakan saudara-saudara itu, bukankah engkau lebih patut bernama Celeng Putih?"
"Keparat, kau hendak menyembunyikan aliranmu, pengecut!"
Gajah Putih berteriak dan dia sudah mengenakan sepasang sarung tangannya yang yang ampuh.
"Engkaulah yang menyembunyikan keadaanmu yang sebenarnya, dan engkaulah yang pengecut maka kau banyak cerewet dan tidak lekas turun tangan menyerangku."
"Jahanam keparat!"
Gajah Putih memaki dan tiba-tiba diapun menyerang dengan kedua tangannya, serangannya kuat sekali karena raksasa itu telah mengerahkan tenaganya untuk menghadapi pemuda yang dia tahu bukan lawan yang boleh dipandang ringan itu. Joko Handoko juga maklum bahwa lawannya ini lebih kuat dibandingkan Gajah Ireng, maka dia pun tidak berani memandang rendah, cepat mengelak dengan loncatan ke samping, membiarkan tubuh lawan meluncur lawat dan dia pun membalas dengan cengkeraman ke arah pundak lawan dari samping.
"Hehh!!"
Gajah Putih membentak dan menangkis dengan tangannya yang bersarung tangan sambil menggerakkan tenaga karena dia sengaja ingin mengadu tenaga dan mengukur sampai di mana kekuatan lawan.
"Dukkk!"
Dua tenaga raksasa bertemu dan Joko Handoko terhuyung-huyung hampir roboh. Semua orang, terutama Wulandari, terkejut dan semakin khawatir. Hanya seoranglah yang tahu bahwa pemuda itu hanya pura-pura saja. Tadi ketika terjadi adu tenaga, Gajah Putih merasa betapa tenaga pemuda itu amat kuatnya, membuat tubuhnya tergeletar hebat.
Saking khawatirnya akan keselamatan pemuda itu, kembali Wulandari berseru nyaring.
"Kakang Handoko, kau harus menggunakan senjata! Kau bisa memakai senjata apakah? Cepat bilang, akan kuambilkan dan kupinjamkan untukmu!"
Mendengar ini Gajah Putih tertawa dan bangkit kembali kesombongannya. Memang dengan perlindungan serung tangan, dia tidak takut menghadapi senjata lawan amacam apapun juga.
"Ha-ha-ha, orang muda, cepat kau mengambil senjata sebelum kau mampus di tanganku!"
"Celeng Putih, aku sudah memiliki senjata!"
Dan Joko Handoko memungut sebatang lidi dari atas tanah. Agaknya sebatang lidi itu terlepas dari ikatan sapu lidi dan dia menemukan benda itu lalu diambilnya dan diakuinya sebagai senjata. Tentu saja semua orang berseru kaget dan heran. Mana mungkin orang berkelahi menggunakan sebatang lidi saja sebagai senjata?
Gajah Putih juga terkejut dan heran. Sudah gilakah pemuda itu? Akan tetapi sebagai seorang yang sudah banyak makan asam garamnya perkelahian, sikap pemuda itu membuat dia semakin hati-hati.
"Engkau memilih lidi itu untuk senjata? Baik, bocah sombong, aku akan mematah-matahkan semua tulang di tubuhmu seperti batang lidi itu!"
Dan diapun sudah menerjang maju lagi dengan kedua tangannya yang bersarung tangan.
"Heiiiittt........!"
Dengan tangannya yang besar, Gajah Putih menyerang cepat, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Joko Handoko dan tangan kirinya menyusul dengan tonjokan ke arah perut.
"Ahhh.....!"
Joko Handoko mengelak, hanya miringkan tubuh saja dengan menggeser kaki ke belakang.
"Luput....!"
Ejeknya dan dia pun membuat gerakan seperti orang menari-nari, mengelilingi tubuh lawan. Gerakannya demikian lemas dan anggun, seperti seorang penari yang mahir sehingga kini semua orang berseru kagum.
"Hyaaattt.....!"
Kembali Gajah Putih menyerang lebih hebat, menubruk dari samping selagi Joko Handoko menari-nari dan miringkan tubuh membelakanginya. Tubrukan itu berbahaya sekali.
"Eiihhh......?"
Joko Handoko dapat mengelak lagi dengan cepat dan membuat gerakan indah, kaki kanan diangkat, kaki kiri ditekuk dan kedua tangan diangkat ke atas seperti seekor burung hendak terbang, lalu tiba-tiba tangan kanan yang memegang lidi itu bergerak ke bawah, dan batang lidi itu pun tergetar di tangannya.
Gajah Putih terkejut ketika melihat batang lidi itu tiba-tiba meluncur ke arah mata kirinya. Biarpun hanya sebatang lidi, kalau sampai menusuk mata bisa berbahaya juga. Diapun mengerti bahwa benda apa saja, kalau berada di tangan orang pandai, dapat menjadi senjata yang berbahaya.
"Ihhhh....!"
Dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget ini dan cepat memiringkan kapala sambil menangis dan sekaligus mencengkeram dan merampas batang lidi itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja batang lidi yang amat kecil itu dan digerakkan dengan amat cepatnya itu lenyap dari tangkapan sinar matanya dan tahu-tahu daun telinga kanannya telah tertembus batang lidi.
"Keparat!"
Dia membentak lagi dan menubruk, kedua tangannya dipentang seperti seekor beruang yang menyerang mangsanya. Joko Handoko mengimbangi gerakannya dan kini kedua orang itu terlibat dalam gerakan serang-menyerang amat cepat dan kuatnya. Wulandari sudah bereru girang.
"Haa, telinga celeng itu sudah terluka."
Ia dan ayahnya dapat melihat ketika daun telinga itu tertembus batang lidi dan dia pun kagum setengah mati. Kini baru terbuka matanya, baru ia tahu dan yakin benar bahwa Joko Handoko sesungguhnya adalah seorang pemuda perkasa yang memiliki kesaktian hebat, jauh lebih tinggi daripada kemampuannya,bahkan jauh lebih hebat daripada ayahnya.
"Ah, lengannya tembus batang lidi!"
Teriaknya.
"Nah, sekarang pahanya tembus! Pundaknya! Eh, hidungnya....!"
Ia berteriak-teriak dan semua penonton memandang terbelalak penuh keheranan. Mereka, para perajurit dan anggota Sabuk Tembogo tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik, akan tetapi mendengar seruan-seruan Wulandari, mereka memandang penuh perhatian dan memang benar, bagian yang disebut itu nampak berdarah dan darah itu mulai menetes-netes turun membasahi lantai.
Memang hebat sekali Joko Handoko dengan batang lidinya. Senjata istimewa itu bergarak cepat dan seperti jarum saja,batang lidi itu menembus lengan, paha, pundak, bahkan batang hidung Gajah Putih kebagian pula ditembus lidi dari samping kiri menembus samping kanan. Luka-luka itu kecil saja, akan tetapi amat perih rasanya dan darah pun menetes-netes.
Namun Gajah Putih sudah menjadi nekat. Dia tahu bahwa dia tidak akan menang, akan tetapi pemuda itu terlalu menghina dan mempermainkannya dan dia sudah haus darah. Dia harus membunuh pemuda itu!"
"Celeng busuk, pergilah!"
Tiba-tiba Joko Handoko berteriak dan begitu kedua tangannya membuat gerakan mendorong, angin yang keras sekali membuat tubuh Gajah Putih yang tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Itulah jurus Nogopasung yang dilakukan oleh Joko Handoko dengan mengendalikan tenaganya karena dia tidak ingin membunuh orang.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gajah Putih bangun dan dibantu oleh Gajah Ireng. Mukanya yang putih belepotan darah yang menetes-netes dari hidung dan telinganya, juga bajunya penuh darah yang menetes keluar dari luka-luka tusukan batang lidi. Keduanya menatap Joko Handoko dengan mata mendelik kemudian Gajah Ireng memondong tubuh kakaknya yang nampak lemas, dan sekali meloncat, dia sudah lenyap dari situ, melarikan diri keluar dari tempat itu tanpa pamit.
"Kakang Handoko.......!"
Wulandari berlari menghampiri Joko Handoko dan tanpa malu-malu lagi gadis itu memegang kedua tangan pemuda itu dan memandang dengan penuh kekaguman."Engkau nakal, Kakang! Selama ini engkau menipuku, pura-pura sebagai seorang pemuda lemah dan bodoh! Kiranya engkau seorang pendekar yang berilmu
tinggi!"
Ki Bragolo juga menghampirinya dan berkata.
"Anakmas Joko Handoko, terima kasih. Andika teah membikin terang aliran kami."
Kemudian kakek ini menghampiri Ranunilo dan menegur.
"Sahabat Ranunilo, apa artinya semua ini? Siapakah dua orang yang sombong dan hendak menghina kami itu?"
Sejak tadi Ranunilo tertegun. Segala hal yang terjadi dengan amat cepatnya, di luar kekuasaannya. Dia tadinya girang sekali memperoleh pembantu-pembantu yang sehebat Gajah Putih dan Gajah Ireng. Akan tetapi diapun merasa tak setuju dan gelisah ketika melihat dua orang itu mepermainkan orang-orang Sabuk Tembogo dan menghina, namun dia tidak dapat melarang mereka yang baru saja menjadi pembantunya. Kemudian, muncul pemuda luar biasa itu, yang memberi hajaran kepada dua orang pembantu barunya sehingga kedua orang itu malarikan diri tanpa berpamit darinya. Dia lalu bangkit berdiri dengan muka menyesal.
"Maafkan aku, paman Bragolo,"
Katanya dengan hormat.
"Sesungguhnya, mereka berdua baru saja menjadi pemabantu pasukanku ketika kami bertemu di jalan dengan mereka, sehingga aku belum mengenal benar siapa sebetulnya mereka. Dan aku tidak mengira bahwa adu ilmu untuk menggembirakan suasana telah berubah menjadi seperti ini. Sungguh membikin kami merasa tidak enak sekali. Sebaiknya kami pulang saja malam ini ke Tumapel. Kami harap paman suka mengantarkan sang puteri kembali ke Tumapel besok pagi, menghadap sang senopati agar segala hal dibikin beres."
Ki Bragolo mengangguk.
"Baiklah, besok aku sendiri bersama Wulandari akan mengantar sang puteri kembali ke Tumapel dan kami akan mengharapkan kebijaksanaan kanjeng senopati untuk membebaskan murid-murid kami yang memang tidak bersalah."
Ranunilo lalu mengumpulkan anak buahnya dan malam itu juga mereka turun dari lereng Kawi untuk kembali ke Tumapel. Kepada Senopati Pamungkas, Ranunilo melaporkan keadaan apa adanya di sarang Sabuk Tembogo, akan tetapi dia tidak berani melaporkan tentang Gajah Putih dan Gajah Ireng yang menimbulkan kekacauan itu. Mendengar betapa puterinya berada di sarang Sabuk Tembogo sebagai tamu agung, dan dalam keadaan selamat, bahkan besok pagi akan diantar pulang oleh Ki Bragolo sendiri bersama puterinya, hati sang senopati menjadi lega. Dan diam-diam dia mulai memikirkan kemungkinan fitnah yang dijatuhkan orang kepada orang-orang Sabuk Tembogo yang biasanya amat setia kepada Kadipaten Tumapel.
Dengan penuh kagum dan gembira, Ki Bragolo dan semua anak buahnya kini manjamu Joko Handoko. Bahkan sang puteri Dewi Pusporini yang mendengar dari Wulandari tentang segala keributan yang terjadi, berkenan keluar dari kamarnya dan ikut pula berpesta untuk menghormati Joko Handoko. Sang puteri duduk semeja dengan Wulandari, ditemani Ki Bragolo dan Joko Handoko sendiri.
"Sungguh kami tidak menyangka sama sekali, nakmas Handoko. Ketika andika datang bersama Wulandari, kami semua tidak mengira bahwa andika adalah seorang pendekar sakti akan tetapi, tetap saja aku merasa seperti pernah mengenalmu, pernah berjumpa denganmu. Yakinkah andika bahwa kita tidak pernah saling jumpa, namas?"
Joko Handoko tersenyum dan menggeleng kepala.
"Saya yakin bahwa baru sekarang ini kita saling bertemu, Paman."
"Biasanya engkau menyimpan rahasiamu, kakang Handoko. Aih, betapa malu aku kalau teringat betapa aku telah berusaha melindungimu dari perampok-perampok cilik itu, dan memandang rendah padamu karena kukira engkau seorang pemuda yang lemah. Sekarang aku baru mengerti mengapa engkau begitu tenang ketika dikepung perampok. Dulu aku terheran-heran mengapa seorang pemuda lemah memiliki nyali sebesar itu. Kau sungguh nakal!"
Wulandari berkata dan pandang matanya yang ditujukan kepada wajah pemuda itu penuh kekaguman yang dinyatakan secara terbuka, tanpa tendeng aling-aling sehingga siapapun akan dapat melihat jelas bahwa gadis ini tergila-gila atau jatuh cinta kepada Joko Handoko.
"Eh, kenapa andika diam saja, mbakayu Dewi? Bagaimana pendapatmu tentang Kakang Handoko?"
Wulandari kini sudah akrab sekali dengan Dewi Pusporini dan menyebutnya mbakayu seperti yang diminta oleh gadis bangsawan itu yang menyebut diajeng kepada Wulandari.
Dewi Pusporini tersenyum dan mukanya berubah agak merah.
"Ah, apa yang harus ku katakan? Ketika pertama bertemu, aku mengira bahwa Joko Handoko adalah sekutumu, setidaknya murid Sabuk Tembogo. Kemudian dari percakapan kalian aku baru tahu bahwa di antara kalian tidak ada hubungan apa-apa. Dan melihat sikapnya yang lemah lembut, aku pun tidak mengira bahwa dia seorang pendekar yang sakti. Sayang aku tidak menyaksikan adu ilmu yang terjadi di sini."
"Engkau lelah dan perlu istirahat, mbakayu Dewi, maka aku tidak berani mengganggumu. Apalagi, orang-orang itu kasar-kasar sekali, tentu akan menyinggung perasaanmu yang halus kalau engkau hadir."
Joko Handoko yang tadi hanya tersenyum saja mendengarkan pujian Ki Bragolo dan Wulandari, kini menundukkan mukanya mendengar ucapan Dewi Pusporini.
"Ah, sebetulnya saya hanya orang biasa saja yang pernah mempelajari satu dua macam jurus pukulan, dan kebetulan saja tadi Gajah Putih dan Gajah Ireng lengah sehingga saya berhasil mengungguli mereka. Tidak ada yang patut dikagumi."
Sikap Joko Handoko yang merendahkan diri itu membuat Ki Bragolo semakin suka kepada pemuda ini. Dan diam-diam timbul niat di dalam hatinya. Dia melihat jelas betapa puterinya, yang sejak kecil memang berwatak polos dan terbuka, telah jatuh hati agaknya kepada Joko Handoko. Dan dia sendiri akan merasa beruntung kalau pemuda yang sakti ini bisa menjadi mantunya. Dan mengapa tidak? Asal dia tahu riwayat pemuda ini, siapa orang tuanya, siapa pula gurunya. Mudah-mudahan saja pemuda ini belum menjadi suami orang.
"Anakmas Joko Handoko, kalau boleh kami mengetahui, anakmas datang dari manakah?"
"Saya datang dari lereng Gunung Anjasmoro, paman."
"Dari lereng Anjasmoro? Ah, dari dusun manakah?"
"Dari.... Kadipaten Wonoselo, Paman."
Jawab Joko Handoko, teringat akan ayah tirinya yang menjadi yang menjadi kaponakan Adipati Wonoselo dan tinggal di sana. Dia harus barhati-hati sekali. Kalau sampai Ki Bragolo mengatahui bahwa dia adalah putera kandung mendiang Raden Ginantoko, tentu saja, tentu pertemuan itu akan berubah menjadi amat tidak enak. Tidak perlu dia merusak suasana dengan memperkenalkan ayahnya.
"Ah, aku tahu tempat itu,"
Kata Ki Bragolo mengangguk-angguk.
"Dan siapakah ayahmu?Ayahmu orang Wonoselo kah?"
Joko Handoko manunduk mukanya sebentar sambil menggeleng.
"Bukan, Paman. Ayah kandungku telah meninggal dunia. Kini hanya tinggal ibu dan ayah tiriku."
"Siapakah ayah tirimu?"
Ki Bragolo tidak mendesak menanyakan nama ayah kandung yang sudah meninggal dunia itu.
"Ayah tiri saya bernama Pringgojoyo."
Ki Bragolo mengangguk-angguk. Dia tidak mengenal nama itu, akan tetapi nama itu manunjukkan bahwa ayah tiri pemuda ini adalah seorang bangsawan, hal ini dapat diketahui dari namanya. Setidaknya, bukan nama seorang dusun.
"Dan ilmu silatmu yang hebat itu, dari aliran manakah dan siapa yang mengajarmu, anakmas?"
"Dari seorang pendeta bernama Panembahan Pronosidhi yang sakti mandraguna itu! Aku tahu siapa beliau. Apakah sang Panembahan masih sehat-sehat saja?"
Joko Handoko menundukkan mukanya.
"Beliau telah meninggal dunia, paman."
"Ah, sayang sekali. Akan tetapi tentu anakmas telah mewarisi ilmu-ilmu kapandaiannya. Kini aku tidak heran mengapa semuda ini anakmas telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, kiranya murid sang Panembahan Pronosadhi!"
"Ayah, kakang Handoko malah kenal baik dengan Empu Gandring."
"Begitukah? Pantas....pantas.....seorang pendekar muda sakti tentu saja kenal baik dengan seorang sakti seperti Empu Gandring!"
Ki Bragolo manjadi semakin girang dan kagum.
Joko handoko diam saja karena membicarakan kakeknya dan Empu Gandring berarti sedikit-sedikit menyingkap tabir rahasia keluarganya dan dia tidak atau belum mau memperkenalkan keluarganya, terutama mendiang ayah kandungnya kepada keluarga Sabuk Tembogo ini.
Setelah makan minum selesai, Ki Bragolo mengajak Joko Handoko untuk bercakap-cakap di ruangan depan, sedangkan Dewi Pusporini dan Wulandari masuk ke ruangan belakang.
"Anakmas Joko Handoko, maafkan pertanyaanku ini kalau terlalu menyangkut urusan pribadi,"
Setelah duduk berdua saja, Ki Bragolo bertanya.
Berdebar juga rasa jantung dalam dada Joko Handoko. Dia mengira bahwa tuan rumah ini akan bertanya tentang ayah kandungnya. Di bawah sinar bulan yang terang ditambah sinar lampu di ruangan serambi depan itu, dia memandang tajam ke arah wajah tuan rumah. Angin malam semilir mendatangkan hawa sejuk."
"Bicaralah, paman. Urusan apakah yang hendak paman tanyakan?"
Katanya dengan suara ditenangkan karena dia merasa tidak enak juga. Ki Bragolo ini sudah tahu bahwa dia murid mendiang Panembahan Pronosidhi walaupun tidak menduga bahwa gurunya itu juga kakeknya. Akan tetapi kalau Ki Bragolo mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi, dapatkah dia menyangkal dan merahasiakan terus? Dan kalau dia membuka rahasianya, apakah tidak akan terjadi sesuatu diantara mereka?
"Begini, anakmas Joko Handoko. Kalau boleh akau bertanya, apakah anakmas sudah.......sudah berkeluarga?"
Sejenak Joko Handoko tidak dapat mengerti, akan tetapi setelah saling pandang agak lama, diapun dapat menangkap apa yang dimaksudkan orang itu dan dia tersenyum sambil berkata.
"Kalau yang paman maksudkan itu apakah saya sudah menikah, maka jawabannya dalah belum. Saya masih muda, belum berpengalaman dan belum mempunyai penghasilan sedikitpun, bagaimana berani berpikir untuk membentuk keluarga, paman?"
Ki Bragolo tertawa bergelak saking lega dia tahu bahwa Wulandari seorang gadis yang amat baik, dan andai kata dia mau juga, ibunya tentu akan menentang dengan keras.
"Anakmas Joko Handoko, ketahuilah bahwa anakku Wulandari mencintaimu dan hidupnya akian bahagia sekali kalau ia dapat menjadi isterimu. Dan kulihat hubunganmu dengan Wulandari demikian akrab. Bukankah andika juga amat suka kepadanya?"
Ki Bragolo yang sudah biasa bicara secara jujur dan terbuka itu mendesak.
"Memang saya suka sekali kepada diajeng Wulandari, akan tetapi hubungan kami hanyalah sebagai sahabat, paman. Dan memang perjodohan, bagaimanapun juga saya tidak berani melancangi ibu saya......"
"Tentu saja, anakmas. Urusan ini harus seijin ibu andika. Asal anakmas sejutu lebih dulu, urusan orang tua akan mudah dibereskan dan kalau perlu, aku akan pergi menghadap orang tuamu di Wonoselo."
"Harap paman tidak tergesa-gesa dan berilah saya kesempatan untuk berpikir. Saya baru saja keluar meninggalkan rumah dan pergi merantau untuk memperdalam pengetahuan dan hatinya.
"Ha-ha-ha-ha, orang muda seperti anakmas ini, apa sukarnya mencari jodoh dan apa sukarnya mendapatkan kedudukan yang baik? Sang Akuwu Tunggal Ametung di Tumapel tentu akan menerima anakmas dengan tangan terbuka dan anakmas tentu akan memperoleh kedudukan tinggi, setidaknya senopati muda."
"Ah, paman terlalu memuji......"
"Tidak, anakmas. Aku bicara sesungguhnya. Dan tentang jodoh, kalau anakmas tidak menganggap kami terlalu rendah, aku dan Wulandari akan merasa berbahagia sekali kalau anakmas sudi menerima anakku Wulandari sebagai isteri."
Joko Handoko sekali ini terkejut bukan main, jantungnya berdebar dan mukanya berubah kemerahan.
"Paman.....!"
Serunya bingung. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakek ini berniat menjodohkan dia dengan Wulandari. Dia tahu bahwa Wulandari bukanlah anak kandung Galuhsari, selir Ki Bragolo yang menjadi kekasih mendiang ayahnya dan yang menyebabkan kematian ayahnya. Akan tetapi, ayahnya tewas di tangan Ki Bragolo, bagaimana mungkin kini dia menjadi mantu pembunuh ayahnya? Walaupun memperluas pengalaman, belum ingin terikat sesuatu."
"Tapi ini bukan berarti anakmas menolak....."
Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking di tengah malam itu. Karena suara jerit wanita itu datang dari belakang, keduanya terkejut bukan main. Joko Handoko mengenal suara Dewi Pusporini yang menjerit itu, maka sekali melompat tubuhnya sudah lenyap dari depan Ki Bragolo. Kakek inipun cepat melompat dan berlari ke belakang untuk melihat apa yang telah terjadi.
Kebun belakang rumah besar pedukuhan yang menjadi sarang Sabuk Tembogo ini luas dan cukup terang oleh sinar bulan dan juga oleh lampu-lampu gantung yang dipasang di belakang rumah. Ketika tubuh Joko Handoko berkelebat memasuki kebun, dia melihat dua orang kakek mengamuk dikeroyok oleh belasan orang murid Sabuk Tembogo. Dia mengenal dua orang kakek itu sebagai Gajah Putih dan Gajah Ireng. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah ketika dia melihat seorang kakek lain yang usianya tentu sudah enampuluhan tahun, berdiri di bawah pohon nonton perkelahian itu. Kakek
ini tubuhnya bengkok seperti udang,memegang sebatang tongkat hitam, rambutnya panjang dibiarkan raip-riapan dean lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang bukan lain adalah Dewi Pusporini yang nampaknya pingsan dan lemas terkulai.
Tiba-tiba muncul Wulandari.
"Kakek iblis, lepaskan mbakayu Dewi! Bentaknya dan gadis ini menyerang kakek itu dengan sabuk tembaga yang barada di tangannya. Agaknya gadis ini telah memperoleh sebuah sabuk tembaga lain sebagai ganti sabuknya yang dirusak oleh lawan ketika ia betanding melawan Gajah Putih sore tadi.
"Heh-heh-heh!"
Kakek itu terkekeh, suara ketawanya seperti ringkik kuda dan sekali dia mengangkat tongkat hitamnya menangkis, lalu mendorong, Wulandari terlempar sampai hampir roboh dan terhuyung-huyung.
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang terjadi?"
Joko Handoko bertanya.
"Kami sedang bercakap-cakap ketika muncul dua orang jahanam itu. Ketika aku mengejar dan menyerang mereka, tiba-tiba mbakayu Dewi yang kutinggalkan menjerit dan tahu-tahu telah ditawan oleh kakek iblis itu. Dia sakti, kakang....."
Ki Bragolo telah tiba di situ dan melihat dua orang yang sore tadi sudah membuat kacau itu kini mengamuk, dia menjadi marah sekali.
"Kiranya, kalian berdua memang pengacau busuk!"
Dan dia pun sudah terjun ke dalam pertempuran, ikut mengeroyok Gajah Putih dan Gajah Ireng.Sementara itu, Joko Handoko sudah meloncat ke depan kakek yang kini memandang kepadanya sambil menyeringai. Mulut kakek itu terbuka dan nampak betapa giginya sudah sudah banyak yang tanggal, dan yang tersisa di mulutnya berwarna hitam mengerikan. Akan tetapi melihat sepasang mata yang kecil seperti dipejamkan itu mengeluarkan sinar mencorong, tahulah Joko Handoko, bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti.
"Heh-heh, agaknya engkau inilah orang muda yang telah mengalahkan dua orang muridku? Hemm, siapakah gurumu, orang muda?"
"Tidak perlu banyak bicara, yang penting, lepaskan Dewi Pusporini!"
Bentak Joko Handoko.
"Heh-heh, tanpa kau beritahupun aku akan dapat menebak setelah kita bertempur, orang muda, apakah engkau mampu merampas tubuh si denok ini dari tanganku?"
Tangan kiri kakek itu yang merangkul paha yang tergantung di pundaknya, secara kurang ajar sekali menepuk-nepok pinggul Dewi Pusporini yang pingsan.
Joko Handoko menjadi bukan main.
"Kakek jahanam kau!"
Bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri menampar kearah kepala sedangkan tangan kanannya membentuk cakar untuk mencengkeram dan merampas tubuh Dewi Pusporini.
"Plak! Plak!"
Kakek itu menangkis dengan tongkat hitamnya dan kedua orang itu terkejut. Tangkisan tongkat itu terasa oleh Joko Handoko amat kuat dan membuat kedua lengannya yang tertangkis tergetar hebat. Sebaliknya, kakek itupun terkejut setengah mati ketika merasa bahwa tongkatnya tergetar dan pemuda itu berani mengadu lengan dengan tongkatnya tanpa terluka sidikitpun.
Kakek itu mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke depan dengan amat cepatnya. Tongkatnya berubah menjadi sinar hitam yang meluncur lalu bergulung-gulung menyerang kearah Joko Handoko. Pemuda ini bersikap hati-hati, cepat dia mengelak dengan berloncatan sambil berusaha membalas. Dia tahu bahwa sebagai guru Gajah Putih yang bertenaga raksasa dan Gajah Ireng yang memiliki keringanan tubuh istimewa, tentu kakek ini selain amat kuat, juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang tak boleh di pandang ringan.
Biarpun kakek itu melakukan serangan bertubi-tubi, namun Joko Handoko mampu menghindarkan diri dan serangan balasannya membuat kakek itu repot. Bagaimanapun juga, karena memanggul tubuh Dewi Pusporini, kakek itu tidak dapat bergerak dengan leluasa. Apalagi setelah Joko Handoko memainkan Ilmu Silat Nogokredo, yaitu ilmu aliran Hati Putih yang terkenal kuat, kakek itu mengeluarkan suara kaget.
"Aih, Nogokredo, ya? Kau tentu murid Pronosidi!"
Teriaknya.
"Bagus kalau sudah tahu,kakek sesat! Bebaskan sang puteri dan pergilah!"
Joko Handoko membentak.
Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Heh-heh-heh, bocah masih ingusan berani menggertakku! Menghadapi Pronosidhi sendiri aku tidak takut, apalagi hanya muridnya yang masih bocah seperti engkau."
"Lepaskan sang puteri!"
Joko Handoko membentak dan diapun sudah menyerang lagi, kini dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Nogokredo. Kedua tangannya membentuk cakar naga, dan kedua lengannya membuat gerakan seperti tubuh ular laga mengamuk. Dari kedua telapak tangannya keluar hawa sakti yang amat kuat ketika dua tangan itu menyerang dengan kecepatan kilat, yang kanan menampar ke arah ulu hati.
Kakek yang terlalu memandang rendah lawan itu memutar tongkat hitamnya melindungi tubuh.
"Plak! Desss"..!"
Dua kali tongkatnya menangkis dan memang kakek itu berhasil menangkis pukulan berganda dari Joko Handoko, akan tetapi akibat benturan tenaga itu dia terhuyung ke belakang.
Kini marahlah kakek itu. Dia melemparkan tubuh Dewi Pusporini yang masih pingsan ke atas rumput di bawah pohon, dan diapun melompat ke depan Joko Handoko, matanya mencorong seperti mata kucing dalam gelap.
"Babo-babo si keparat! Tak dapat diberi hati, kau berani melawan Ki Danyang Bagaskoro, berarti sudah bosan hidup kau!"
Diam-diam Joko Handoko terkejut. Mendiang kakeknya seringkali menceritakan kepadanya tentang adanya orang-orang sakti di dunia ini dan pernah kakeknya menyebut nama Ki Danyang Bagaskoro adalah seorang tokoh yang sakti di Kerajaan Doho, dan termasuk orang yang condong ke golongan sesat. Akan tetapi, dia tidak merasa gentar. Betapapun saktinya kakek ini adalah orang sesat yang harus dilawan dan dibasminya, dan seorang yang begitu tinggi hati dan sombong sehingga menggunakan nama julukan Bagaskoro yang berarti Matahari, tentu tidak akan diberkahi para dewata!
"Heeeeeeeeeeekkkkhhhhh.......!!"
Kakek itu mengeluarkan seruan dahsyat seperti suara iblis sendiri di tengah kuburan, dan tubuhnya melesat ke depan, didahului gulungan sinar hitam itu mencuat dan menusuk kearah bagian kemaluan, pusar, uluhati, tenggorokan, pundak kanan, pundak kiri, dan di antara mata. Satu saja bagian ini terkena, tentu akan mendatangkan malapetaka hebat.
"Hyaaaaaaaaahhhhhhhhh.......!"
Joko Handoko yang menghadapi serangan hebat itu cepat menggerakkan tenaga kaki menggenjot tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, seperti terbang sehingga serangan bertubi-tubi itu luput semua. Dan dari atas, Joko Handoko berjungkir balik. Kini dengan kepala di bawah didahului oleh kedua tangan yang membentuk cakar, dia meluncur dan melakukan serangan belasan. Hebat sekali gerakan ini yang disebut jurus Nogosungsang, sebuah jurus hebat dari Ilmu Silat Nogokredo. Hanya murid-murid dari tingkat tertinggi saja dari perguruan Hati Putih yang mampu melakukan jurus Nogosungsang sebaik yang dilakukan oleh Joko Handoko di saat itu.
Sepasang Rajah Naga Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo