Ceritasilat Novel Online

Keris Pusaka Nagapasung 8


Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




   
"Maaf, kanjeng senopati,"

   Tiba-tiba Joko Handoko yang masih menghadap bersama Wulandari, berkata dengan halus.

   "Saya pun merasa curiga, apalagi dengan adanya peristiwa ketika pasukan paduka dibantu oleh Gajah Putih dan Gajah Ireng yang agaknya sengaja hendak membangkitkan permusuhan antara Sabuk Tembogo dan pasukan Kadipaten Tumapel. Bahkan, dua orang itu kembali lagi bersama seorang pendeta sakti untuk membunuh sang puteri. Hal ini menunjukkan bahwa memang ada pihak ketiga hendak mengeruhkan suasana dan mengadu domba. Oleh karena itu, saya akan melakukan penyelidikan tentang rahasia ini dan kalau sudah memperoleh keterangan, tentu saja akan saya laporkan hasilnya kepada paduka."

   

   Senopati Raden Pamungkas mengangguk-angguk dengan muka girang.

   "Kami mendengar dari para perajurit tentang kemampuanmu, Joko Handoko. Coba ceritakan apa yang terjadi, dan siapa pula itu pendeta yang hendak membunuh puteri kami."

   

   Joko Handoko lalu bercerita, dibantu oleh Dewi Pusporini sehingga senopati itu merasa yakin akan kebenaran cerita itu. Setelah mendengar semua, dia mengangguk-angguk lagi.

   "Kini makin yakinlah hati kami bahwa memang ada hal-hal aneh yang perlu diselidiki. Baiklah, tiga orang anggota Sabuk Tembogo akan kami bebaskan dan kami perbolehkan pulang ke lereng Kawi bersama andika berdua. Dan kami mengharapkan pelaporanmu. Kami pun akan menyebar penyelidik untuk melakukan penyelidikan."

   

   Girang sekali hati Wulandari ketika tiga orang kakak seperguruannya yang tidak berdosa itu dibebaskan dan mereka boleh kembali ke lereng Kawi bersama ia dan Joko Handoko. Mereka berpamit dan Dewi Pusporini menjadi terharu sekali ketika harus berpisah dari mereka. Ia merangkul Wulandari.

   "Diajeng Wulan setelah engkau pulang, jangan lupa, kadang-kadang datanglah berkunjung ke Tumapel agar aku tidak terlalu rindu padamu."

   

   "Baiklah, mbak ayu Dewi dan terima kasih atas kebaikan-kebaikanmu."

   

   Dewi Pusporini memandang kepada Joko Handoko yang juga kebetulan sekali sedang menatap wajahnya. Dua pasang mata bertemu dan muka gadis itu menjadi merah sekali, jantungnya berdebar dan ia terpaksa menundukkan mukanya. Hatiya merasa tegang karena terasa sekali oleh gadis ini betapa pandang mata Joko Handoko mengandung pernyataan hati yang demikian jelas! Tidak ada pernyataan cinta kasih yang lebih jeas dari seorang pria kepada wanita dari pancaran kasih melalui pandang matanya! Dan gadis ini pun tiba-tiba saja mempunyai keinginan untuk memperkanalkan siapa adanya Joko Handoko kepada ayahnya.

   

   "Kanjeng Romo, sebetulnya kakangmas Joko Handoko ini bukan orang lain. Dia adalah putera kandung mendiang Raden Ginantoko."

   

   "Ahh.......?"

   Senopati Raden Pamungkas membelakkan mata memandang kepada Joko Handoko.

   "Jadi andika ini putera kakangmas Ginantoko? Dan ibumu.......? Maaf, kakangmas Ginantoko mempunyai banyak isteri...., yang manakah ibumu, anakmas?"

   

   Diam-diam Joko Handoko merasa rikuh ketika ayahnya diperkenalkan dan agaknya ada hubungan antara ayah kandungnya dan senopati ini. Teringalah dia akan cerita ibunya bahwa ayahnya seorang keponakan dari senopati di Tumapel, maka tidak mengherankan apabila senopati ini mengenal ayahnya.

   "Ibu saya benama Dyah Kanti........"

   

   "Ah, puteri dari Anjasmoro, puteri Panembahan Pronosidhi?"

   Joko Handoko mengangguk.

   "Aha, kalau begitu, pantas engkau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan! Ayahmu adalah murid Empu Gandring, dan ibumu puteri panembahan Pronosidhi. Kiranya engkau adalah putera sahabatku sendiri, anakmas Joko Handoko!"

   Kata senopati itu dengan girang.

   

   Joko Handoko mengerling ke arah Dewi Pusporini. Kiranya gadis ini sudah tahu akan semua ini akan tetapi diam saja, dan barulah sekarang, di depan ayahnya ia menceritakan keadaan Joko Handoko, bahkan justeru pertama kali gadis itu menyebutnya kakangmas Joko Handoko! Hal ini dilakukannya karena mengingat bahwa derajat mereka, mengingat akan darah ningrat Raden Ginantoko, adalah sama.

   

   "Terima kasih atas keramahan kanjeng Senopati......."

   

   "Anakmas, mengingat ayahmu, andika tidak perlu bersikap sungkan dan merendahkan diri. Aku sepetri pamanmu sendiri dan sebut saja paman."

   

   "Terima kasih, kanjeng paman."

   

   Joko Handoko tidak melihat betapa Wulandari yang berada di sampingnya mengerutkan alisnya dan pandang mata gadis itu menjadi suram ketika ia mendengar dan melihat semua. Mereka lalu berpamit, dan keluar dari istana senopati, bersama tiga orang murid Sabuk Tembogo yang sudah dibebaskan.

   

   Ketika mereka tiba di kaki Gunung Kawi, tiba-tiba dari depan datang sebuah kereta yang dikawal oleh puluhan orang perajurit. Karena tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak enak, Joko Handoko mengajak Wulandari dan tiga orang murid Sabuk Tembogo untuk bersembunyi. Mereka menyembunyikan kuda dan mengintai dari balik semak-semak. Nampaklah kerata itu, sebuah kereta yang mewah dan gagah, dikawal oleh oleh empat puluh orang perajurit di depan dan dibelakang kereta. Jendela kereta terbuka dan nampaklah seorang laki-lki berusia empat puluh lima atau lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah. Di sebelahnya duduk seorang gadis yang amat cantik, dan tengah terisak-isak dan agaknya pria di sebelahnya itu mencoba untuk menghiburnya dengan kata-kata yang penuh kesabaran.

   

   Hanya sebentar saja kereta itu lewat. Joko Handoko tidak mengenal siapa pria dalam kereta itu. Akan tetapi Wulandari mengenalnya dan terdengar gadis ini menggerutu setelah rombongan itu lewat.

   "Huh, si tua bangka mata keranjang Tunggal Ametung itu agaknya mendapatkan korban baru!"

   

   Joko Handoko terkejut. Tunggal Ametung adalah yang disebut Sang Akuwu Tunggal Ametung, adipati di Tumapel yang hidup sebagai raja muda yang penuh kekuasaan.

   "Wulan, apa maksudmu..........?"

   

   Gadis itu tersenyum.

   "Aku sudah banyak mendengar tentang dia. Seorang penguasa yang gila perempuan. Aku berani bertaruh bahwa gadis yang menangis dalam kereta tadi tentu seorang gadis yang dirampasnya dan dipaksanya untuk menjadi selirnya yang baru."

   

   Tiga murid Sabuk Tembogo membenarkan cerita Wulandari. Mendengar ini, timbul rasa tidak senang dalam hati Joko Handoko.

   "Ah, kenapa ada penguasa bersikap seperti itu? Seorang penguasa sepatutnya melindungi rakyatnya, bukan mengganggu rakyat. Mari kita selidiki, siapakah gadis itu."

   

   Mereka lalu mengikuti jejak dari mana kereta itu datang sambil bertanya-tanya di tengah perjalanan, akhirnya mereka di dusun Ponowijen dan di situ mereka mendengar bahwa gadis yang berada di kereta bersama Tunggal Ametung tadi adalah puteri tunggal Empu Purwo, seorang pendeta Agama Budha aliran Mahayana. Puteri ini bernama Ken Dedes, seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari. Kecantikan Ken Dedes amat terkenal, sampai di seluruh daerah gunung Kawi sebelah timur, bahkan berita tentang kecantikan sampai pula ke Kadipaten Tumapel. Mendengar berita tentang kecantikan gadis di Ponowijen itu, hati Tunggal Ametung yang memang berwatak mata keranjang tertarik dan berangkatlah dia bersama pasukan pengawalnya ke Ponowijen untuk mengunjungi pendeta Empu Purwo dan menyaksikan sendiri berita tentang kecantikan Ken Dedes.

   

   Ketika dia tiba di pondok sang pendeta, dia hanya bertemu dengan Ken Dedes yang menyambutnya dengan ketakutan, seperti lazimnya seorang gadis dusun menyambut kedatangan seorang raja. Pada waktu itu, Ken Purwo sedang pergi bertapa di tegal di mana didirikan sebuah sanggar pemujaan. Melihat Ken Dedes yang ternyata memiliki kecantikan yang melebihi semua berita yang pernah didengarnya, seketika Sang Akuwu Tunggal Ametung menjadi tergila-gila. Dia sudah tidak sabar lagi menanti sang pendeta, ingin segera memboyong dan memiliki wajah ayu, maka dengan jalan kekerasan, dia pun membawa pergi Ken Dedes. Dilarikannya gadis itu dengan keretanya, dikawal empat puluh orang perajuritnya dan dibawanya gadis itu menuju Tumapel.

   Mendengar berita ini, Joko Handoko dan Wulandari hanya menarik napas panjang. Apalagi ketika mendengar betapa sang pendeta itu meninggal dunia karena terkejut, sedih dan marah, dan menurut penduduk setempat, sang pendeta sempat mengelaurkan sumpahnya, menyumpahi Tunggal Ametung agar kelak mati diujung keris, bahkan sumur-sumur di Ponowijen agar tidak mengeluarkan air lagi karena penduduknya tidak ada yang berani membela Ken Dedes ketika dilarikan Sang Akuwu Tunggal Ametung.

   

   Joko Handoko merasa penasaran sekali. Akan tetapi apakah yang dapat dilakukannya? Tunggal Ametung adalah penguasa Tumapel, kekuasanya seperti raja dan dia dilindungi olah puluhan ribu perajurit! Maka dengan hati berat, mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju ke sarang Sabuk Tembogo.

   

   Setelah tiba di lereng Kawi, Joko Handoko berpamit dari Wulandari untuk melanjutkan perjalanan yaitu melakukan penyelidikan tentang fitnah yang dijatuhkan kepada Sabuk Tembogo dan Hastorudiro. Dia pun diam-diam ingin melakukan penyelidikan kepada aliran Hastorudiro, karena bukanlah eyangnya tewas oleh Hastorudiro pula? Dia harus menyelidiki mengapa ayahnya mereka serbu dan dibunuh di samping melakukan penyelidikan apakah benar orang-orang Hastorudiro membunuhi perajurit Tumapel, ataukah ada pihak lain yang menggunakan nama mereka seperti terjadi pada Sabuk Tembogo.

   

   Akan tetapi Wulandari menahannya.

   "Kakang Handoko, aku minta dengan sangat agar kakang suka menagguhkan keberangkatan kakang meninggalkan kami. Tunggulah sampai aku membenahi Sabuk Tembogo. Setelah ayah tiada, maka harus diadakan pemilihan seorang ketua baru, dengan demikian maka Sabuk Tembogo akan tetap menjadi perkumpulan yang terpimpin."

   

   Karena permintaan yang sangat dan Wulandari, Joko Handoko merasa tidak tega dan dia pun menanti sampai tiga hari lagi. Pagi-pagi sekali, seluruh murid Sabuk Tembogo sudah berkumpul di ruangan belakang yang luas, di mana biasanya dipergunakan untuk berlatih silat. Hampir lima puluh orang berkumpul di situ, dipimpin oleh Wulandari. Dan ketika Wulandari bangkit berdiri dan bicara, Joko Handoko menjadi terkejut sekali.

   

   "Saudara-saudara sekalian! Dengan terjadinya peristiwa yang menyedihkan kita semua, yaitu kematian ayahku, kita kehilangan pimpinan. Untuk menegakkan kembali Sabuk Tembogo agar memiliki seorang pemimpin, kita pagi ini berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru,menggantikan ayahku yang telah tiada. Seorang pemimpin, selain memiliki ilmu dan aji kesaktian yang lebih tinggi dari kita semua, juga harus bijaksana dan budiman. Kita semua tahu bahwa sifat-sifat itu dimiliki oleh kakang Joko Handoko, oleh karena itu, aku mengusulkan agar kakang Joko Handoko sudi menjadi pemimpin Sabuk Tembogo!"

   

   "Setuju sekali"

   

   "Akurr..................!"

   

   Hampir semua orang bersorak dan bertepuk tangan menyambut usul ini, menyatakan kegembiraan hati mereka kalau Joko Handoko mau menjadi pemimpin mereka. Hanya ada beberapa orang murid tertua saja yang menyambut dengan tenang.

   

   Setelah menenangkan hatinya yang berdebar karena tidak menyangka-nyangka dan tekejut mendengar usul Wulandari itu, Joko Handoko lalu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan ke atas, minta kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang terdiam dia lalu berkata, suaranya tetap lembut akan tetapi cukup lantang sehingga terdengar jelas oleh mereka semua.

   "Saudara-saudara sekalian! Saya merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kepercayaan besar yang diberikan oleh diajeng Wulandari dan saudara sekalian. Akan tetapi, dengan menyesal terpaksa saya tidak dapat menerima penghormatan yang diberikan kepada saya itu. Bukan karena saya tidak mau membantu saudara sekalian melainkan karena hal ini sama sekali tidak tepat. Perkumpulan kalian adalah aliran Sabuk Tembogo, oleh karena itu, ketuanya tentu saja haruslah seorang tokoh Sabuk Tembogo. Saya adalah seorang luar, orang asing yang sama sekali tidak mengenal ilmu-ilmu dari Sabuk Tembogo, bagaimana mungkin saya dapat menjadi seorang pemimpin perkumpulan silat aliran Sabuk Tembogo?"

   

   Kini Sentono, murid kepala dari Ki Bragolo, bangkit berdiri.

   "Saudara-saudara sekalian. Alasan yang dikemukakan oleh anak mas Joko Handoko itu memang tepat sekali. Tentu saja dia cukup berharga menjadi pemimpin kita, dan dengan ilmunya kita bahkan akan memperoleh kemajuan kalau kita belajar darinya. Akan tetapi dengan demikian, aliran Sabuk Tembogo menjadi tidak murni lagi. Tepat sekali bahwa pemimpin haruslah seorang murid Sabuk Tembogo dan menurut pendapat saya, dilihat dari ketinggian ilmu dalam aliran kita, juga dari segi keturunan dan kebijaksanaan, maka kami mengusulkan agar Diajeng Wulandari saja yang menjadi pemimpin Sabuk Tembogo."

   

   Kembali terdengar soak-sorai, kini lebih gemuruh, menyambut usul ini sebagai tanda setuju. Sentono adalah kakak seperguruan Wulandari, maka diapun menyebut diajeng kepada gadis itu. Setelah jelas semua orang memilihnya, Wulandari tidak dapat menolak. Memang ialah satu-satunya keturunan Ki Bragolo dan dalam hal ilmu silat aliran Sabuk Tembogo, ia masih mengungguli tingkat Sentono, murid kepala ayahnya. Setelah diadakan perundingan, akhirnya Wulandari diangkat menjadi ketua Sabuk Tembogo, diwakili dan dibantu oleh Sentono dan Sentanu.

   

   Akan tetapi setelah pemilihan itu selesai, Wulandari lalu menyerahkan kekuasaan sementara kepada Sentono dan Sentanu dan ia sendiri, setengah memaksa menyatakan ingin ikut bersama Joko Handoko untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang telah melakukan fitnah kepada Sabuk Tembogo sehingga perkumpulan itu dimusuhi oleh pasukan Tumapel.

   

   "Kakang Handoko, sudah menjadi tugas kewajibanku untuk membersihkan nama Sabuk Tembogo dari fitnah itu. Maka kuharap kakang tidak akan menolakku ikut melakukan perjalanan dan penyelidikan bersamamu,"

   Desaknya. Joko Handoko terpaksa tidak mampu menolak walaupun hatinya merasa kurang enak. Dia merasa bahwa gadis ini telah jatuh cinta kepadanya dan hal inilah yang membuat dia merasa kurang enak berdekatan terlalu lama dengan Wulandari

   Setelah meninggalkan sarang Sabuk Tembogo, Panji Tito segera berpisah dari Ken Arok. Putera Ki Ageng Sahoyo itu tidak betah lagi hidup dekat Ken Arok yang kini menjadi liar dan ganas. Dia pulang ke Sagenggeng untuk membantu pekerjaan ayahnya. Ken Arok kini sendirian, akan tetapi hal ini bahkan membuat dia semakin ganas. Kalau sudah ada Panji Tito di sampingnya, setidaknya masih ada yang menegurnya. Kini bagaikan seekor kuda, dia terlepas sama sekali dari kendali, bebas melakukan apapun yang dikehendaki dan disukainya.

   

   Karena seringnya dia melakukan perampokan tanpa pilih bulu, maka perbuatan-perbuatannya itu diberitakan orang sampai ke Kerajaan Daha dan kerajaan itu cepat memerintahkan Sang Akuwu Tunggal Ametung untuk menangkap perampok muda yang mengacau daerah Tumapel itu. Karena diserbu ratusan orang perajurit, terpaksa ia melarikan diri dari dalam hutan dan mulailah menjadi seorang buruan yang terus-menerus malarikan diri dari satu ke lain tempat. Dia tidak pernah merasa aman lagi. Kemana pun dia pergi, dia selalu diserbu. Namun, agaknya para dewata masih melindunginya. Belum pernah dia tertangkap, dan selalu dia dapat meloloskan diri pada saat yang terakhir.

   Menurut catatan dalam kitab Pararaton, banyaklah tempat yang dijelajahi oleh Ken Arok dalam pelariannya itu, antara lain Dusun Rabun Gorontol, dusun Wayang dan Tegal Sekomenggolo. Sambil melarikan diri, kalau membutuhkan sesuatu, dia tidak segan-segan merampok lagi. Dari Sukomenggolo dia melarikan diri ke Rabut Katu, kemudian ke Junwatu tempat kediaman para pendeta. Sambil melarikan diri dia merampok, dia pun selalu memperdalam ilmunya. Ketika dia mengungsi ke dusun Lululambang, dia mondok di rumah seorang keturunan perajurit bernama Gagak Inget.

   

   Agak lamam dia tinggal di Lululambang, akan tetapi karena pekerjaannya merampok, dia selalu dikejar-kejar dan merasa tidak aman. Dia pergi lagi ke Kapundungan dan ketika dia melakukan pencurian di dusun Pamalantenan, dia ketahuan lalu dikejar penduduk dan dikepung. Akan tetapi biar pun hampir saja tertangkap, Ken Arok berhasil pula meloloskan diri secara unik. Ketika dikepung, dia memanjat pohon yang besar dan akhirnya para pengejar menemukannya di atas pohon. Pohon itu dikepung dan karena pohon itu berada di tepi sungai, Ken Arok hampir putus asa, tak tahu harus

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Keris Pusaka Nogopasung (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   bagaimana menyelamatkan diri. Akan tetapi dia menemukan akal. Dengan dua helai daun tal yang lebar, dia melayang turun, menggunakan dua helai daun tal itu seperti sayap dan dia pun dapat melompat turun dan melayang sampai ke seberang timur sungai itu, meninggalkan para pengejar di seberang sungai yang menjadi bengong terlongong. Dari situ, Ken Arok terus melarikan diri ke Nagamasa, lalu ke daerah Orang dan kembali lagi ke daerah Kapundungan.

   

   Perajurit dari Daha yang dikirim oleh Kerajaan Daha terus melakukan pengejaran terhadap Ken Arok, karena Ken Arok pernah merampok seorang pembesar dari Daha, maka dia dimusuhi dan dikejar-kejar oleh pasukan Daha. Ada pun Tungal Ametung sendiri tidak begitu peduli, pertama karena memang sudah lama dia menganggap diri sebagai raja muda dan ingin melepaskan kekuasaan Kerajaan Daha terhadap Tumapel, kedua kalinya karena semenjak memperoleh Ken Dedes sebagai selirnya, dia tidak begitu peduli lagi terhadap urusan luar dan selalu mengeram di dalam kamar bersama Ken Dedes!

   

   Ken Arok terus belari dari satu ke dusun lain. Dari Kapundungan, dia lari ke dalam hutan Patangtangan, lalu terus ke dusun Ano dan masuk ke hutan Terwag. Sementara itu, kesukaannya merampok tak juga dihintikan, bahkan makin menjadi-jadi.

   

   Anehnya, kemana pun dia pergi ada saja orang yang menolongnya. Hal ini mungkin sekali karena pembawaannya yang baik, wajahnya yang tampan dan sikapnya yang pandai mengambil hati orang. Pada suatu hari, seorang pandai emas bernama Empu Palot yang tinggal di dusn Turyantopodo, melakukan perjalanan ke dusun Kebalon. Karena dia membawa emas sebanyak lima tail dan mendengar desas-desus akan adanya perampok yang berkeliaran, dan hari sudah menjelang senja, dia merasa khawatir juga ragu-ragu untuk pulang dusunnya. Kebetulan dia melihat seorang yang bukan lain adalah Ken Arok.

   

   Melihat kakek itu seorang diri saja di tepi jalan, Ken Arok bertanya.

   "Paman hendak pergi kemanakah?"

   

   "Saya baru saja pulang dari Kebalon dan hendak pulang kembali ke Turyatopodo, akan tetapi saya mendengar bahwa di perjalanan tidak akan aman karena munculnya seseorang perampok muda yang ganas."

   

   Ken Arok tesenyum, maklum siapa yang dimaksudkan. Wajah kakek ini mendatangkan kesan baik dalam hatinya. Dia membutuhkan bantuan orang yang akan menampungnya untuk bersembunyi, apalagi kakek ini memiliki wajah yang membayangkan orang berilmu.

   "Harap paman jangan khawatir. Mari saya antar paman ke Turyantopodo, kalau muncul perampok itu akan saya hajar dia!"

   

   Karena pemuda itu berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap membayangkan kekuatan, maka Empu Palot girang sekali menerima penawaran itu dan mereka pun melakukan perjalanan menuju ke Turyantopodo. Di sepanjang perjalanan, Ken Arok mendengar bahwa kakek ini adalah seorang pandai emas yang mahir, maka timbul niat di hatinya untuk berguru kepada Empu Palot. Hal ini dikemukakannya dan Empu Palot yang merasa berhutang budi, menerimanya dengan gembira. Mulailah Ken Arok hidup di Dusun Turyantopodo sebagai murid Empu Palot.

   

   Pada suatu hari Empu Palot menyuruh Ken Arok pergi ke Kabalon untuk memperdalam ilmu membuat perhiasan dari emas kepada seorang pendeta sahabatnya di Kebalon. Pergilah Ken Arok ke sana. Akan tetapi ternyata dia tidak disambut manis oleh penduduk Kabalon, bahkan dicurigai. Marahlah Ken Arok dan dia pun mengamuk, merobohkan beberapa orang yang berani memperlihatkan sikap tidak manis dan curiga kepadanya. Dia pun dikeroyok dan dikepung dan muncul pula orang-orang Daha yang segera melakukan pengejaran.

   

   Ken Arok melarikan diri lagi, sampai ke Tunggaran. Akan tetapi, kepala dusun Tunggaran juga mencurigainya dan tidak mau menerimanya tinggal di dusun itu. Hal ini amat menyakitkan hati Ken Arok. Ketika Ken Arok berada di luar dusun, dia bertemu dengan seorang gadis yang sedang bertaman kacang di ladang. Ketika oleh Ken Arok diketahui bahwa gadis itu adalah puteri Kepala Desa Tunggaran, terbukalah kesempatan baginya untuk membalas dendam atas penolakan kepala desa terhadap dirinya. Ditangkapnya gadis itu dan diperkosanya, lalu ditinggalkannya untuk melanjutkan pelariannya.

   

   Setelah menjadi buruan lagi, lari dari hutan ke hutan, dari dusun ke dusun, bertemulah dia dengan seorang nenek dari dusun Panitikan dan nenek yang arif ini menasehatinya untuk bertapa di Gunung Lejar. Maka pergilah Ken Arok ke gunung itu dan bertapa. Baru dia telepas dari pengejaran orang-orang Daha.

   

   Setelah merasa aman dan bebas dari pengejaran, Ken Arok berani meninggalkan tempat pertapaannya dan segera dia menjadi langganan tempat perjudian di dusun Kaloka. Dan di tempat inilah bintangnya mulai terang. Pada suatu hari, seorang pendeta Brahmana dari India yang bernama Danyang Lohgawe, bertemu dengannya di tempat perjudian itu. Sampai lama pendeta itu menatap wajah dan bentuk tubuh Ken Arok dan pendeta yang arif dan bijaksana ini maklum bahwa dalam diri Ken Arok terdapat wahyu yang akan mengangkat pemuda itu kelak menjadi orang yang besar. Setelah merasa yakin akan bisikan hatinya, dia lalu mendekati dan menegurnya!

   

   
Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Orang muda, tempatmu bukan di sini. Tinggalkan meja perjudian ini dan marilah ikut bersamaku."

   

   Ken Arok yang sedang kalah itu terkejut melihat ada orang yang berani menegurnya, dan dia memandang kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek itu bertubuh jangkung, berkulit kehitaman dan wajahnya asing. Hidungnya mancung sekali. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti memandang bara api yang panas. Diam-diam Ken Arok kagum dan dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang pendeta yang pandai. Pakaiannya demikian sederhana, hanya kain dilibat-lihatkan tubuhnya yang jangkung.

   

   "Siapakah engkau, paman? Pergilah dan jangan menggangguku. Aku sedang berjudi mengejar kekalahanku."

   Jawab Ken Arok sambil mengibaskan tangannya dengan hati sebal.

   "Hemm, engkau mengejar kemenangan? Mengejar uang? Mari keluar bersamaku kalau engkau mengejar kemenangan uang!"

   Berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari rumah perjudian, seolah-olah merasa yakin bahwa orang muda itu tentu akan mengikutinya. Dan benar saja. Ken Arok meninggalkan arena perjudian, biar pun dia sudah menderita kalah sampai hampir habis uang bekal yang dipakai modal berjudi tadi. Ada sesuatu dalam suara pendek itu yang menarik hatinya dan membuatnya ingin tahu sekali. Dia lalu mengikuti pendeta itu keluar.

   

   "Apa maksudmu dengan kemenangan dan uang paman?"

   Setelah tiba di luar, Ken Arok bertanya.

   

   Danyang Lohgawe tertawa.

   "Kau pungut batu-batu itu dan lihat!"

   

   Ken Arok masih tidak mengerti, akan tetapi dia lalu mengambil kerikil yang bertebaran di bawah kakinya. Diambil dan dikepalnya kerikil-kerikil itu dan ketika dilihanya, matanya terbelalak. Kerikil-kerikil yang tadi merupakan batu-batu tak berharga itu kini nampak olehnya telah menjadi emas, benda berkilau yang indah!

   

   "Emas...............!"

   Serunya dan diperiksanya kerikil itu. Dia pernah berguru kepada Empu Palot dan dia pandai membedakan mana emas mana bukan dan benda-benda yang berada di tangannya itu benar-benar emas!

   

   "Demikianlah, anakku. Di dalam tangan orang yang mengandung wahyu, batu pun dipegang berubah menjadi emas. Akan tetapi apa gunanya semua emas itu? Kalau tidak pandai-pandai engkau mengusahakan dan menempatkan diri sesuai dengan wahyu itu, semua emas itu pun akan mudah habis dan engkau kembali ke asalmu."

   Mendengar ucapan ini, Ken Arok sadar dan diapun membuang kerikil-kerikil itu. Selama ini dia telah menyia-nyiakan waktu dan usianya. Maka dia lalu berlutut dan menyembah kepada Danyang Lohgawe.

   

   

   "Paman panembahan, saya mohon petunjuk."

   

   Danyang Lohgawe lalu menyentuh pundaknya, menariknya bangkit berdiri.

   "Mulai detik ini, engkau menjadi anak angkatku. Aku ada Danyang Lohgawe."

   

   "Nama saya Ken Arok dan saya akan menaati semua petunjuk Bopo Danyang!"

   "Mari ikut bersamaku, Ken Arok anakku, tempatmu bukan di sini, melainkan di dekat para bangsawan tinggi."

   

   Hari itu juga, Danyang Lohgawe mengajak Ken Arok pergi ke Tumapel. Tentu saja Ken Arok terkejut setengah mati dan hampir membangkang karena mana mungkin dia pergi ke Tumapel? Bukankah itu sama artinya seperti harimau masuk perangkap? Akan tetapi, bersama Danyang Lohgawe, dia dapat memasuki Kadipaten Tumapel dengan selamat. Mungkin karena aji kesaktian Danyang Lohgawe, atau memang karena Ken Arok jarang dapat dilihat oleh perajurit dan selama ini yang mengejar-ngejarnya adalah orang Daha, maka dia dapat masuk ke Tumapel dengan selamat. Tak seorangpun dapat mengenalnya sebagai perampok muda yang selama ini dikejar-kejar.

   

   Di Tumapel, pendeta Brahmana dari india itu segera terkenal kepandaiannya mengobati, meramal dan ilmu kesaktian lain. Kepandainnya terkenal sekali sampai ke istana Sang Akuwu Tunggal Ametung, Ken Arok bekerja sebagai murid pendeta ini dan pada suatu hari, Tunggal Ametung mengundang Danyang Lohgawe untuk mengobati seorang di antara selir-selirnya yang menderita sakit berat. Bersama Ken Arok, Danyang Lohgawe segera menghadap dan dengan pengetahuannya yang luas, akhirnya dia berhasil menyembuhkan selir Tunggal Ametung.

   Tentu saja Sang Akuwu menjadi girang dan berterima kasih dan kesempatan ini dipergunakan oleh Danyang Lohgawe untuk memintakan pekerjaan bagi anak angkatnya, Ken Arok. Melihat pemuda yang tampan, tegap dan cekatan itu, Tunggal Ametung merasa suka dan segera diterimanya Ken Arok sebagai seorang perajurit pengawal. Bahkan Danyang Lohgawe juga diberi kedudukan sebagai tabib dan pensehat dan mereka diberi pondok yang cukup mewah tak jauh dari istana Sang Akuwu sendiri.

   

   Mulailah keadaan hidup ini Ken Arok meningkat, tepat seperti yang dilihat oleh Danyang Lohggawe, dan merasa yakin bahwa anak angkatnya itu akan meningkat lebih tinggi lagi kedudukannya.

   Joko Handoko dan Wulandari yang sedang sarapan di sebuah warung di dusun itu, menoleh ketika menderap derap kaki dua ekor kuda berhenti di depan warung. Ketika Joko Handoko melihat dua orang penunggang kuda itu, cepat dia membayar harga makanan dan minuman the, menyambar tangan Wulandari diajak menyelinap keluar dari pintu samping warung. Mereka lalu bergegas keluar dari samping sehingga tidak terlihat wajah mereka oleh dua orang penunggang kuda yang memasuki warung sambil bercakap-cakap.

   

   "Kita masih banyak waktu dan dusun Memeling sudah tidak jauh lagi. Perutku lapar, mari kita sarapan dulu,"

   Kata seorang. Temannya mengangguk setuju dan keduanya sambil bercakap-cakap memasuki warung itu dan memesan makanan ketan kelapa dan air teh panas.

   

   Sementara itu, Joko Handoko dan Wulandari sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohon besar yang tumbuh tak jauh dari warung, sambil mengintai. Kini Wulandari juga mengenal dua orang itu, itu bukan lain adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, dua orang yang pernah membantu Tumapel dan hampir saja membikin malu dan merusak nama dan kehormatan Sabuk Tembogo kalau saja tidak ada Joko Handoko yang hadir dan mengalahkan mereka. Wulandari merasa heran mengapa temannya itu menyingkir dan kelihatan seperti takut menghadapi mereka. Padahal, ia tahu benar bahwa dua orang itu bukanlah lawan Joko Handoko. Agaknya, pemuda itu dapat membaca isi hatinya.

   

   "Wulan, kita harus membayangi mereka dengan diam-diam. Siapa tahu mereka akan membawa kita kepada pemecahan rahasia yang kita selidiki."

   Wulandari mengangguk. Ia seorang gadis cerdik dan tahulah ia sekarang. Memang tepat sekali. Dua orang itu muncul bersama pasukan Tumapel dan menyudutkan Sabuk Tembogo. Sikap mereka itu seolah-oleh hendak mengadu domba antara Sabuk Tembogo dan pasukan Tumapel. Mereka patut dicurigai. Apalagi kalau diingat betapa mereka muncul lagi bersama guru mereka. Ki Danyang Bagaskoro, yang bermaksud menculik, bahkan membunuh Dewi Pusporini.

   "Mereka tadi bilang hendak pergi ke Dusun Memeling, sebaiknya kita mendahului mereka ke sana dan di sana kita membayangi mereka,"

   Bisiknya. Joko Handoko mengangguk dan merasa kagum akan kecerdasan Wulandari. Memang tidak mudah membayangi dua orang berkuda dan mereka berkuda pula. Tentu akan mudah ketahuan. Tadi, tanpa disengaja mereka mendengar Gajah Putih mengatakan kedua orang itu hendak pergi ke Tumapel, maka sebaiknya kalau mereka mendahului ke sana dan membayangi dua orang itu di sana

   

   Dengan hati-hati mereka lalu mengambil kuda yang tadi mereka tambatkan di pohon tak jauh dari warung itu, dan mereka lalu menunggangi kuda mereka, menuju ke utara, ke Dusun Memeling yang tidak begitu jauh lagi. Wulandari sudah mengenal daerah ini, maka ia tahu di mana Dusun Memeling.

   

   Tak lama kemudian tibalah mereka di luar Dusun Memeling. Joko Handoko lalu menitipkan dua ekor kuda pada seorang petani yang miskin dan tinggal di dusun itu dengan memberi upah yang cukup banyak. Kemudian mereka berjalan kaki menuju ke pintu gerbang dusun dan bersembunyi, mengintai dan menanti datangnya dua orang yang akan mereka bayangi.

   

   Dusun itu berada di tapal batas antara Tumapel dan Kerajaan Daha, sebuah dusun yang cukup besar, dikelilingi hutan lebat dan di tepi sebuah sungai yang menjadi anak Sungai Brantas. Penghuni dusun itu sudah dikuasai oleh pengaruh Kerajaan Daha dan hal ini tidak diketahui oleh Joko Handoko dan Wulandari.

   

   Pada waktu itu, yang menjadi raja di Daha atau Kediri adalah Sang Prabu Dandang Gendis, nama lain dari Sang Prabu Kertajaya. Sang Prabu Dandang Gendis mendenga akan sikap Sang Akuwu Tunggal Ametung yang hidup seperti seorang raja muda di Tumapel, dan di dalam hatinya tidak rela tunduk kepada Kerajaan Daha. Akan tetapi karena Tunggal Ametung tidak terang-terangan menentangnya, dia mengingat bahwa Kadipaten Tumapel cukup kuat, terutama dibantu oleh orang yang memiliki kesaktian, maka raja Kediri itu masih bersikap sabar. Diam-diam Sang Prabu Dandang Gendis atau Kertajaya berunding dengan para penasehatanya, kemudian diambil keputusan untuk rahasia berusaha melemahkan Tumapel dengan jalan mengadu domba. Dipilihlah orang-orang sakti di bawah pimpinan seorang senopati untuk melakukan serangan gelap terhadap Tumapel. Usaha-usaha itulah yang mengakibatkan peristiwa-peristiwa yang kini sedang diselidiki oleh Joko Handoko dan Wulandari dan tanpa mereka sadari, mereka kini mendekati sarang persekutuan rahasia dari kerajaan Daha atau Kediri itu!

   

   Joko Handoko dan Wulandari tidak usah menunggu terlalu lama. Segera terdengar derap kaki kuda dan mereka melihat Gajah Putih dan Gajah Ireng menunggang kuda mereka menuju ke pintu gerbang dusun itu. Setelah tiba di pintu gebang, mereka menahan kuda dan memasuki dusun itu dengan perlahan-lahan. Setelah mereka masuk agak jauh, Joko Handoko dan Wulandari cepat menyelinap keluar dan membayangi mereka dari jauh. Mudah saja membayangi dua orang yang masuk dusun dengan menunggang kuda itu, apalagi kuda mereka lari congklang dengan lambat.

   Melihat sikap para penduduk dusun menyambut dua orang penunggang kuda itu dengan senyum lambaian tangan, Joko Handoko dapat menduga bahwa hubungan antara dua orang itu dengan penduduk dusun amat baik. Hal ini membuat dia lebih hati-hati lagi. Dari jauh mereka melihat betapa dua orang itu memasuki perkarangan sebuah rumah besar yang berada di ujung dusun. Giranglah hati Joko Handoko karena rumah itu berdiri agak terpencil dan keadaannya cukup sunyi sehingga akan memudahkan dia dan Wulandari untuk melakukan pengintaian. Mereka terus berjalan melewati depan pekarangan itu dan melihat betapa dua ekor kuda yang masih berpeluh itu ditambatkan di dalam pekarangan depan. Akan tetapi pekarangan itu sunyi, tidak nampak ada seorang pun manusia. Tentu saja mereka sama sekali tidak menduga bahwa keadaan mereka kini sudah berbalik sama sekali.

   Bukan mereka yang membayangi orang, melainkan gerak-gerik merekalah yang dibayangi orang! Sama sekali mereka tidak menduga bahwa pada saat mereka menitipkan kuda mereka kepala petani di luar dusun, mereka telah terperangkap. Petani dusun yang miskin itu yang menerima titipan dua ekor kuda dengan menerima upah yang cukup banyak, sudah mengkhianati mereka! Kiranya petani itu adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Daha, bahkan dia bertugas sebagai mata-mata persekutuan rahasia yang bersarang di dusun Memeling.

   

   Petani atau mata-mata Daha itu sudah lebih dahulu melapor kepada para pimpinan yang berada di dusun Memeling tentang munculnya seorang pemuda dan seorang gadis yang gerak-geriknya mencurigakan.

   

   "Mereka menitipkkan kuda kepada saya dengan memberi upah yang cukup besar, lalu memasuki dusun ini dengan berjalan kaki dan dengan sikap yang berhati-hati. Mereka patut dicurigai."

   Demikian antara lain petani itu melapor, mendahului Joko Handoko dan Wulandari dengan mengambil jalan memotong yang lebih dekat.

   

   Laporan itu menarik perhatian para pimpinan, apalagi mengingat bahwa pada saat itu datang pula dua orang tokoh yang menjadi utusa mereka, yaitu Gajah Putih dan Gajah Ireng. Demikianlah, tanpa diketahui Joko Handoko dan Wulandari,kedatangan mereka ke dusun itu, yang tadinya bermaksud untuk membayangi dua orang bekas musuh itu, kini berbalik merekalah yang dibayangi dan diintai setiap gerak-gerik mereka. Dan itu pula sebabnya ketika mereka memasuki pekarangan rumah itu, mereka hanya melihat dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Gajah Putih dan Gajah Ireng tertambat di pekarangan itu, dan tidak melihat dua orang itu sedangkan keadaan di situ sunyi sekali.

   

   Pada saat itu, Kerajaan Daha atau Kediri yang dipimpin oleh Sang Prabu Dandang Gendis atau Sang Prabu Kertajaya, sedang kuat-kuatnya. Sang Prabu Dandang Gendis memerintah negaranya dengan tangan besi, akan tetapi harus diakui bahwa dia adalah seorang raja yang pandai dan kuat. Selain dia memiliki kesaktian, juga dia dibantu oleh dua orang kakak beradik yang tadinya merupakan pertapa-pertapa yang tekun. Begawan Saritomo, yang tua telah berusia enam puluh lima tahun dan dialah yang diangkat oleh Sang Prabu Dandang Gendis menjadi puruhita (pendeta keraton) di Kerajaan Daha, sebagai penasehat dan juga guru terakhir dari Sang Prabu Dandang Gendis. Sang Begawan Sarutomo ini dibantu oleh adiknya yang bernama Begawan Buyut Wewenang, pada waktu itu berusia enam puluh tahun, seorang pertapa yang sakti mendraguna, bahkan cerdik sekali. Dua orang pendeta inilah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian kepada Sang Prabu, juga menjadi penasehat dan semua nasihat mereka dipenuhi dan dituruti belaka oleh Sang Prabu Dandang Gendis sehingga tentu saja kekuasaan mereka semakin besar.

   

   Adalah dua orang pedeta ini pula yang memberi nasihat dan membujuk Sang Prabu Dandang Gendis dari Kediri untuk melakukan siasat adu domba di antara kekuatan-kekuatan di Tumapel untuk melemahkan kedudukan Tumapel yang dianggap memperlihatkan tanda-tanda tidak menghargai kedaulatan kerajaan besar Kediri. Dan Sang Begawan Buyut Wewenanglah yang mendapatkan tugas membentuk suatu kekuatan untuk mengatur siasat memecah belah dan mengadu domba untuk mengacaukan dan melemahkan kedudukan Tumapel. Begawan Buyut Wewenang memilih dusun Memeling untuk menjadi pusat kegiatannya, karena dusun itu terlatak di tapal batas antara wilayah aha dan Tumapel. Dalam tugas ini dia dibantu oleh banyak orang pandai dari Kediri, dan di antara mereka, yang menjadi kepercayaannya adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bersama guru mereka, yaitu Ki Danyang Bagaskoro yang kemudian tewas ketika bertanding melawan Joko Handoko.

   Demikian keadaan di dusun Memeling pada saat itu. Ketika petani yang merangkap menjadi mata-mata yang banyak disebar oleh Buyut Wewenang itu datang melapor, yang berada di dalam dusun itu adalah Begawan Buyut Wewenang sendiri bersama tiga orang lain yang juga merupakan orang-orang sakti yang menjadi pembantu-pembantu pendeta ini. Mereka adalah Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, dan Ki Banyakluwo, jagoan-jagoan dari Kerajaan Kediri pada waktu itu. Begitu mendengar pelapoan petani, Begawan Buyut Wewenang lalu mengajak mereka bertiga untuk melakukan pengintaian.

   

   Joko Handoko dan Wulandari yang merasa kehilangan dua orang yang mereka bayangi, dengan berani lalu menyelinap ke samping bangunan itu di mana terdapat sebuah kebun yang luas. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu,mendekati bangunan dan mengintai. Namun, keadaan sunyi saja dan tidak nampak seorangpun di sekitar bangunan itu.

   

   "Hemm, sunyi benar seperti tidak ada penghuninya,"

   Bisik Wulandari.

   

   "Tidak mungkin kosong,"

   Bisik Joko Handoko kembali.

   "Jelas bahwa dua orang itu telah masuk ke dalam dan agaknya mereka sedang melakukan perundingan di dalam. Penting sekali bagi kita untuk dapat melihat siapa yang berunding dan apa yang sedang dipercakapkan."

   

   "Kalau begitu, mari kita masuk dari pintu belakang itu."

   Wulandari menuding ke arah sebuah pintu belakang dan kecil. Joko Handoko mengangguk dan mereka berloncatan dengan gerakan seperti dua ekor kucing saja menuju ke pintu itu.

   

   Joko Handoko mendorong daun pintu dan ternyata tidak terkunci. Mereka masuk ke dalam, berindap-indap. Tiba-tiba keduanya berhenti dan cepat bersembunyi ke balik ruangan yang ada di situ. Dua orang yang mereka bayangi tadi, Gajah Putih dan Gajah Ireng, muncul dari sebuah pintu ke dalam ruangan besar di depan mereka keduanya nampak bicara perlahan, lalu keduanya berpencar. Gajah Putih melalui pintu kiri dan Gajah Ireng masuk melalui pintu kanan!

   

   Tentu saja Joko Handoko dan Wulandari menjadi bingung.

   "Kau ikuti dia, dan aku akan membayangi yang lain,"

   Kata Joko Handoko. Gadis itu mengangguk berani, lalu mereka berpencar, menyelinap ke kanan dan kiri. Joko Handoko membayangi Gajah Putih sedangkan gadis itu mengikuti Gajah Ireng.

   

   Mudah bagi Joko Handoko untuk memabayangi Gajah Putih tanpa dapat diketahui oleh orang itu. Dan dia mendapatkan kenyataan bahwa bangunan itu sungguh luas sekali. Gajah Putih telah keluar masuk ruangan-rungan yang luas dan belum juga nampak ada manusia lain. Selagi Joko Handoko yang terus mengikutinya itu merasa heran dan mulai menduga bahwa mungkin ruang besar ini memang kosong dan yang ada hanya dua orang yang mereka bayangi tadi, tiba-tiba Gajah Putih memasuki sebuah ruangan dan lenyap! Joko Handoko terkejut. Dia tidak melihat jelas ke arah mana lenyapnya orang yang dibayanginya, maka dia pun cepat masuk ke dalam ruangan itu. Sebuah rungan yang lebarnya tidak kurang dari empat daun pintu di situ. Dia tidak tahu ke pintu mana Gajah Putih tadi menghilang.

   Joko Handoko berdiri di tengah ruangan itu, bingung menduga-duga ke mana Gajah Putih pergi dan tiba-tiba saja ke empat daun pintu dari empat jurusan itu terbuka dan muncullah dari masing-masing pintu seorang kakek yang diikuti oleh lima orang pengawal. Mereka menghadang di depan pintu dan dengan demikian Joko Handoko telah terkepung. Dari pintu yang dilaluinya tadi, muncul seorang kakek yang agaknya menjadi pemimpin mereka,karena kakek ini mengeluarkan suara ketawa yang meringkik seperti kuda sedangkan yang lain hanya diam saja, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik.

   

   "Hi-heh-heh-heh! Orang semuda ini berani masuk ke sini sebagai maling? Orang muda, apakah engkau sudah bosan hidup?"

   Bentak kakek yang memiliki suara seperti meringkik kuda itu.

   

   Joko Handoko membalikkan tubuhnya untuk menghadapi kakek itu. Dia memandang penuh perhatian dan merasa belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar kakek yang memiliki suara seperti ringkik kuda. Kakek ini buruk sekali. Tubuhnya kurus dan agak bongkok, usianya tentu sudah enam puluh tahunan, mukanya hitam dan saking kurusnya nampak seperti tengkorak dengan kedua mata yang cekung dalam menghitam. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular. Pakiannya juga serba hitam akan tetapi terbuat dari kain yang halus dan potongannya juga indah, dihias benang emas dan kancing emas dengan batu permata. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan Begawan Buyut Wewenang, orang kedua setelah Begawan Sarutomo yang yang berkuasa di Keraton Daha sebagai guru dan penasehat raja! Joko Handoko memperhatikan tiga orang kakek yang lain.

   

   Yang seorang bertubuh tinggi besar dan berbadan kokoh kuat seperti raksasa, mukanya yang hitam kasar itu penuh cambang bawuk, kelihatan menyeramkan. Kakek ini berusia sekitar lima puluh tahun dan dia adalah Ki Bajulbiru, senjata ruyungnya yang berat selalu tergantung di pinggang kanan. Orang kedua juga berusia sebaya, mukanya pucat seperti orang berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan pakaiannya seperti pakaian seorang penggembala. Di pinggang belakang terselip gagang sebatang pecut yang ujungnya dipasangi besi kaitan! Kakek ini bernama Ki Surodoyo. Orang ketiga yang usianya juga lima puluhan, bernama Ki Banyakluwo, tubuhnya gendut bundar, mukanya selalu tersenyum menyeringai seperti orang mengejek, gerak-geriknya lucu akan tetapi dia kejam sekali dan mudah mengayun golok besarnya untuk membunuh orang. Tiga ini adalah para pembantu Begawan Buyut Wewenang dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi karena mereka bertiga ini tunggal guru dengan Ki Danyang Bagaskoro, dari perguruan Blambangan.

   

   Melihat mereka, Joko Handoko merasa tidak enak hatinya dan malu. Bagaimana pun juga dia tidak mengenal mereka, tidak tahu rumah siapa yang dimasukinya dan yang jelas, dia telah bersalah, memasuki rumah orang tanpa ijin, seperti seorang pencuri! Oleh karena itu, dia merendahka diri, membungkuk dengan hormat kepada kakek bongkok di depannya itu.

   

   "Harap para paman yang terhorat suka memaafkan saya. Saya bukan seorang pencuri dan tidak bermaksud mencuri walaupun benar saya telah memasuki rumah ini. Akan tetapi saya masuk kerena membayangi seorang yang pernah mengacau di padukuhan Sabuk Tembogo. Dia bernama gajah Putih dan seorang temannya lagi bernama Gajah Ireng ang tadi saya lihat masuk ke dalam rumah ini."

   

   "Tidak perlu banyak alasan lagi! Engkau sudah masuk seperti maling, dan karena itu berlutut dan menyerahlah untuk kami tangkap,"

   Kata pula Begawan Buyut Wewenang yang belum mengenal adannya pemuda ini, hanya tahu dari padepokan patani bahwa pemuda ini dan gadis temannya amat mencurigakan. Keika Gajah Putih dan Gajah Ireng memasuki rumah itu, dia dan para pembantunya tahu betapa pemuda dan gadis itupun membayangi, maka cepat dia memberi isyarat kepada Gajah Putih dan Gajah Ireng untuk berpencar agar pemuda dan gadis itupun melakukan pengejaran, secara berpisah. Joko Handoko mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, pikirnya. Mereka ini tentulah teman-teman Gajah Putih dan dia memang dipisahkan dari Wulandari timbul kekhawatiran hatinya terhadap keselamaan Wulandari.

   

   "Saya tidak bermaksud buruk, tidak ingin mencuri dan tidak ingin bermusuhan. Karena itu, harap paman suka memaafkan saya dan biarlah saya keluar lagi dari rumah ini"

   Katanya dengan sikap masih hormat.

   "Ha-ha-ha, waaahh, enaknya! Berkeliaran di rumah orang tanpa ijin lalu minta maaf begitu saja dan hendak pergi. Heh-heh, boleh, boleh, boleh asal mau merasakan dulu tajamnya golokku!"

   Kata Ki Banyakluwo sambil terkekeh.

   

   "Biar kuhajar dia dengan pecutku!"

   Kata Ki Suryudo dan dia pun sudah mencabut Pecutnya, memutar pecut di udara dan terdengar bunyi pecut meledak-ledak.

   

   "Berikan saja kepadaku, biar kuhantam kepalanya dengan ruyungku, hendak kulihat hanya bujat ataukah pecah berantakan!"

   Kata pula Ki Bajulbiru dengan suaranya yang gemuruh seperti auman harimau.

   

   Melihat sikap mereka, Joko Handoko melklum bahwa dia telah berada di gua harimau, dan agaknya akan sedikit sekali harapan untuk dapat keluar dari situ dengan damai.

   

   "Nah, engkau mendengar sendiri pendapat teman-temanku, orang muda. Maka, berkutut dan menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan!"

   Kata pula Begawan Buyut Wewenang yang segera menduduki sebuah kursi yang dibawa datang oleh seorang pengawal. Kakek ini memandang rendah kepada Joko Handoko dan dia sendiri sebagai pemimpin tertinggi tidak pernah atau jarang sekali turun tangan sendiri. Cukup dengan para pengawal dan anak buahnya, atau para pembantunya saja.

   

   Mendengar ucapan ini, Joko Handoko berdiri tegak dan kini suaranya terdengar mantap dan tegas ketika dia berkata.

   Keris Pusaka Nagapasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sekali lagi aku mohon agar paman membiarkan aku keluar dari tempat ini dengan aman dan damai."

   

   "Dan sekali lagi kami tekankan agar engkau berlutut dan menyerah!"

   Bentak Begawan Buyut Wewenang.

   

   "Kalau aku tidak menyerah?"

   Tanya Joko Handoko, suaranya menetang.

   

   Kini Begawan Buyut Wewenang sudah kehabisan kesabaran.

   "Tangkap bocah ini!"

   Katanya kepada para pengawalnya. Sepuluh orang perajurit pengawal berlompatan maju mengepung dan berlomba hendak menangkap pemuda itu yang nampaknya hanya seorang pemuda yang lemah lembut gerak-geriknya. Ajkan tetapi, Joko Handoko yang maklum bahwa kalau dia membiarkan dirinya ditangkap maka nyawanya akan terancam bahaya, sudah dengan cepat sekali mengerakkan kaki tangannya dan sekali dia menyambut terjangan mereka itu, empat orang perajurit terpelanting ke kanan dan sambil mengaduh-aduh!

   Melihat ini, sisa para perajurit yang jumlahnya ada enam belas orang lagi itu menjadi marah dan mereka tanpa dikomando lagi lalu menerjang ke dalam ruangan itu. Empat orang kakek itu hanya nonton saja, membiarkan para perajurit menangkap pemuda kendel itu karena betapa pun juga mereka, terutama sekali Begawan Buyut Wewenang merasa sungkan dan malu kalau turun tangan sendiri menghadapi seorang pemuda yang masih hijau. Tentu saja mereka harus menjaga nama kedudukan mereka sebagai jagoan-jagoan Kerajaan Daha.

   Ruangan itu memang luas, akan tetapi kalau ada belasan orang mengeroyok, tentu saja menjadi sempit. Dan para perajurit itu seperti serombongan nyamuk menerjang lilin saja layaknya. Setiap kali menerjang dan disambut oleh Joko Handoko, mereka tentu terpelanting dan tersungkur atau terjengkang karena tamparan dan tendangan pemuda perkasa itu. Suara mereka mengaduh-aduh memenuhi ruangan itu.

   

   Tiba-tiba terdengar seruan Gajah Ireng dari luar pintu.

   "Para paman yang berada di dalam. Dia adalah Joko Handoko yang telah membunuh Bopo Guru Ki Danyang Bagaskoro!"

   

   Tiga orang kakek itu, Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo adalah saudara-saudara seperguruan dari mendiang Ki Danyang Bagaskoro. Mereka berempat adalah jagoan-jagoan dari perguruan Blambangan yang dalam perantauan mereka ke barat lalu menetap di Daha dan diterima sebagai pembantu-pembantu oleh Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang. Kedudukan empat orang dari Blambangan ini sudah cukup tinggi. Ketika mereka mendengar bahwa pemuda inilah yang membunuh saudara mereka, tentu saja mereka menjadi marah bukan main.

   

   "Babo-babo..........! Jadi inikah jahanam itu?"

   Bentak Ki Bajulbiru sambil mengambil ruyung besar yang tergantung di pinggangnya.

   

   "Dojleng-dojleng iblis laknat. Aku harus membalaskan kematian kakang Bagaskoro!"

   Teriak Ki Suroyudo yang melolos pula pecut yang tadi telah diselipkannya lagi ke ikat pinggangnya.

   

   "Para perajurit mundurlah! Kami akan menghadapi tikus ini!"

   Ki Banyakluwo juga membentak. Sambil mencabut golok besarnya.

   

   Tadi tiga orang ini merasa sungkan dan malu menandingi pemuda itu karena mereka memandang rendah dan menurunkan derajat mereka kalau mengeroyok seorang pemuda hijau. Akan tetapi setelah mendengar bahwa pemuda itu adalah pembunuh saudara mereka, merekapun tahu bahwa pemuda itu memiliki kesaktian, dan kemarahan membuat mereka tidak malu-malu lagi untuk maju bersama melakukan pengeroyokan terhadap seorang lawan yang begitu masih muda.

   

   Para perajurit pengawal cepat mundur sambil menarik teman-teman yang terluka keluar dari ruangan itu. Hati merasa lega karena mereka tadi masih belum roboh sebelumnya mereka merasa gentar sekali mengahapi amukan pemuda perkasa itu. Pemuda itu demikian kuatnya,bahkan menangkisi senjata tajam dengan kedua tangan begitu saja tanpa terluka sedikitpun. Kini mereka keluar dan hanya berjaga di luar pintu untuk mengepung pemuda itu. Begawan Buyut Wewenang hanya nonton, masih duduk di kursinya, sikapnya tenang seolah-olah kehebatan pemuda itu bukan apa-apa baginya. Dia ingin melihat apakah tiga orang pembantunya akan berhasil mengalahkan pemuda perkasa ini.

   

   Kini tiga orang kakek itu sudah melangkah maju dengan senjata masing-masing, mengepung Joko Handoko dengan membentuk segi tiga. Seorang, yaitu Ki Bajulbiru, langsung berhadapan dengan pemuda itu sedangkan dua orang temannya. Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo datang diri kanan kiri agak ke belakang Joko Handoko dkepung dari tiga penjuru dan dia berdiri tegak dengan sikap tenang. Dia maklum bahwa bicara lagi tidak ada gunanya. Agaknya merek ini merupakan komplotan dari Gajah Putih dan Gajah Ireng bersama guru mereka. Dia sudah membunuh Ki Danyang Bagaskoro, maka tentu saja mereka tidak akan mau melepaskan dia begitu saja. Yang membuat dia merasa gelisah adalah kalau dia teringat kepada Wulandari.

   Bagaimana nasib gadis itu? Gadis itu tadi membayangi Gajah Ireng dan kini Gajah Ireng sudah muncul di situ, ketika berteriak memperenalkan dirinya. Akan tetapi, dalam keadaan gawa seperti itu, Dia menyingkirkan rasa khawatirnya terhadap keselamatan Wulandari dan bersikap waspada menghadapi pengepungan tiga orang lawannya. Dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang memiliki tingkat seperti Ki Danyang Bagaskoro. Karena itu, melihat betapa tiga orang lawan sudah memegang senjata masing-masing, diapun cepat maraba gagang kerisnya dan segera, nampak sinar berkilat ketika Keris Pusaka Nogopasung sudah telanjang dalam genggaman tangan kanannya.

   "Tar-tar-taaaarrrr..................!"

   Cambuk berujung kaitan besi di tangan Ki Suroyudo meledak-ledak di atas kepala Joko Handoko. Akan tetapi garakan itu hanya merupakan gertak saja Joko Handoko tetap.......berdiri tegak, tidak menjadi panik.

   

   Aaahhhhhhh......................!"

   Ki Bajulbiru menggereng dan tiba-tiba tubuhnya yang tinggi dan besar itu menerjang ke depan, ruyung di tanga kanannya menyambar. Ruyung itu beratnya tidak kurang dari dua puluh lima kati, digerakkan oleh tenaga yang kuat maka menyambar dahsyat sekali ke arah kepala Joko Handoko dalam serangan pertama yang langsung datang dari depan itu.

   

   Joko Handoko dengan sikap tenang menggeser kaki dan memutar tubuhnya miring ke kiri.

   

   "Wuutttttt......."

   Ruyung itu menyambar di samping kepala Joko Handoko. Angin pukulan yang dahsyat itu masih bertiup dan membuat rambut pemuda itu berkibar.

   

   "Singgggg........!"

   Golok menyambar ke arah lambung Joko Handoko ketika Ki Banyakluwo menyambut elakannya dari sambaran ruyung tadi, disusul oleh suara ledakan pecut dari atas.

   

   "Syuuuuuuuttt............!"

   Ujung cambuk itu menyambar turun, seperti patuk seekor burung menyerang ubun-ubun kepala pemuda itu!

   

   Menghadapi dua serangan susulan yang amat berbahaya ini, Joko Handoko memperlihatkan kegesitan tubuhnya. Dengan langkah cepat dan menyelinap sehingga ujung pecut tidak mengenai sasaran melainkan lewat saja di dekat telinganya, dan dia pun sambil membalik, mengerakkan kerisnya menyambut golok yang mengaancam lambung.

   

   "Cringggggg..........!"

   Bunga api berpijar dan Ki Banyakluwo yang bertubuh bundar berperut gendut itu terhuyung, tidak kuat dia bertahan ketika goloknya bertemu dengan Keris Pusaka Nogopasung. Ada hawa panas yang aneh menyusup ke tangannya yang memegang golok dan tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki sebatang keris yang amat ampuh. Pada saat itu, untung baginya, Ki Bajulbiru sudah menyerang lagi dengan menghantamkan ruyungnya ke arah dada Joko Handoko. Pemuda ini terpaksa tidak dapat menyusulkan seranga kepada Ki Banyakluwo yang sudah terhuyung, dan tenaganya dikerahkan ke arah lengan kirinya ketika dia menangkis ruyung yang datangnya telalu cepat untuk dapat dielakkan dengan baik.

   

   "Dukk!"

   Lengan pemuda itu bertemu ruyung, namun ruyungnya yang terpental seperti bertemu dengan lengan baja. Ia dan Ki Bajulbiru mengeluarkan seruan marah karena telapak tangannya seperti hampir lecet rasanya. Dia menjadi marah dan memutar ruyungnya, lalu menyerang kalang kabut seperti seekor kerbau mengamuk. Penyerangannya yang bertubi-tubi itu diikuti oleh Ki Suroyudo yang memutar-mutar pecutnya, menyerang dari atas dan dari samping, dibarengi pula dengan gerakan golok di tangan Banyaklawo. Tiga buah senjata para pengeroyok itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya tiga gulungan sinar yang mengepung dan membungkus tubuh Joko Handoko! Akan tetapi, pemuda yang maklum akan kesaktian tiga orang lawannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melindungi dirinya, dengan elakan-elakan, tangkisan-tangkisan, dan benturan kerisnya. Akan tetapi karena tiga orang lawannya itu menghujankan serangan, dia pun tidak sempat untuk membalas dan dia sedang mencari-cari kesempatan untuk mempergunakan Ilmu Sakti Nogopasung untuk membalas serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh itu.

   Dan kesempatan itu tiba setelah dia mempertahankan diri selama kurang lebih seperempat jam! Biarpun dia mampu melindungi dirinya dan tidak sampai roboh oleh serangan bertubi-tubi ini sedikitnya tiga kali dia terkena gebukan ruyung dan celananya robek pada bagian paha kanannya kena sambaran golok, namun kehebatan tubuhnya masih melindungi sehingga dia belum terluka! Dan kesempatan itu pun tiba. Ketika itu, cambuk Ki Suroyudo untuk kesekian kalinya menyambar dan ujung cambuk dari kaitan-kaitan besi itu menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Bagian ini tentu akan tertembus dan terkait ujung cambuk kalau saja dia tidak bertindak cepat. Padahal beberapa detik kemudian, ruyung Ki Bajulbiru sudah menyambar lagi ke arah kepalanya juga. Untuk menangkis tidak mungkin karena pada saat itu, kerisnya sedang menangkis golok Ki Banyakluwo.

   

Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar Siauwlim Karya Kho Ping Hoo Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini