Kidung Senja Di Mataram 10
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 10
Dua orang pria ini selalu bermunculan dalam ingatannya, dan ia selalu rindu kepada keduanya!
(Lanjut ke Jilid 10)
Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
Kadang ia merasa bingung dan linglung, heran kepada diri sendiri bagaimana ia dapat merindukan dua orang pria sekaligus! Ia tidak dapat mengingkari perasaan hatinya bahwa ia telah jatuh cinta kepada Aji, bukan setelah pemuda yang lemah itu demikian nekat menolong dan membelanya, bahkan mengorbankan dirinya dipukuli dan disiksa, melainkan perasaan sudah mulai tumbuh sejak pertemuan pertama kali dengan Banuaji, ketika ia masih tinggal di desanya, di dusun Sintren, yaitu ketika ia diperkenalkan kepada Banuaji oleh Bayu, penggembala kerbau yang pandai meniup suling itu.
Sejak itu, ia sudah merasa tertarik sekali dan kagum karena wajahnya yang tampan, gerak geriknya yang sederhana, pendiam dan lembut, dan kepandaiannya bertembang dan meniup suling, jauh lebih pandai dan lebih merdu tiupan sulingnya dari pada Bayu yang sudah dikaguminya itu. Apa lagi ketika sebagai tukang kuda di kadipaten Ponorogo. Banuaji telah menyelamatkan ia dan ayahnya dengan jalan membakar tempat tahanan dan berhasil mengajak ia dan ayahnya keluar dari tempat tahanan dan melarikan diri. Cintanya semakin bertumbuh dan mekar.
Ia cinta kepada Banuaji, ini tak dapat disingkalnya. Akan tetapi, kemudian muncul Si Kedok Hitam! Tergetar perasaan hatinya kalau ia teringat kepada Si Kedok Hitam yang sudah berulang kali menolongnya itu. Akan tetapi, Si Kedok Hitam selalu menghindarkan diri, tidak mau berkenalan. Bahkan dalam keadaan setengah pingsan, ketika ia diselamatkan pula oleh Si Kedok Hitam dari tangan KI Wirobandot, Si Kedok Hitam pernah mencium dahinya. Ciuman sopan memang, namun mengandung kehangatan dan kemesraan yang tak mungkin dapat ia lupakan. Cintanya memang bercabang, dan ini yang merisaukan hatinya.
Cintanya kepada Banuaji memang cinta yang wajar, mencinta karena rupanya, karena sikap dan wataknya. Akan tetapi cintanya kepada Si Kedok Hitam adalah cinta yang terdorong oleh perasaan kagum akan kesaktiannya, karena budinya yang telah menyelamatkannya dari ancaman malapetaka berulang kali. Menurut perhitungan Sang Prabu Hanyokrowati dan para senopatinya, pasukan yang dikerahkan dari utara di bawah pimpinan Ki Sinduwening, dan dari selatan di bawah pimpinan Nurseta, sudah lebih dari cukup untuk mematahkan pertahanan Ponorogo. Yang terbesar adalah pasukan yang dipimpin Ki Sinduwening. Pasukan dari selatan pimpinan Nurseta tidak seberapa besar, hanya terdiri dari dua ribu orang karena pasukan ini mempunyai tugas untuk lebih dahulu menyerbu dari selatan, yaitu untuk memancing pihak lawan mempertahankan diri di bagian selatan.
Setelah berhasil memancing lawan ke selatan, barulah pasukan dari utara menyerbu. Kalaupun siasat yang sudah diperhitungkan masak-masak ini menemui kegagalan, masih ada pasukan cadangan yang terbesar, dipimpin oleh Sang Prabu Hanyokrowati sendiri, untuk memberi bantuan kepada kedua pasukan dari utara dan selatan. Tentu saja Sang Prabu Hanyokrowati sama sekali tidak menyangka bahwa semua siasat perangnya telah diketahui oleh Adipati Ponorogo, yaitu Pangeran Jayaraga, adik tirinya sendiri. Tentu saja semua rahasia itu dapat diketahui pihak musuh karena sudah dilaporkan oleh Nurseta! Bahkan pihak Ponorogo yang kini mengatur siasat untuk menghancurkan pasukan yang datang dari utara! Sesuai siasat yang sudah diatur semula, Ki Sinduwening menghentikan gerakan pasukannya di sebelah utara Ponorogo, dan mengatur barisan pendam agar tidak nampak gerakan mereka di sekitar lembah Kali Ngebel yang lebat dengan hutan-hutan liar.
Mereka menanti di situ, menunggu isarat dari para penyelidik bahwa pasukan Ponorogo sudah terpancing dan ditarik semua ke selatan, dari mana menurut siasat, pasukan pimpinan Nurseta akan lebih dahulu melakukan penyerbuan di bagian selatan Ponorogo. Sementara itu, pasukan cadangan yang dipimpin Sang Prabu Hanyokrowati sendiri berhenti di sekitar Kali Tempuran, siap untuk membantu apa bila kedua pasukan Mataram tidak berhasil mematahkan pertahanan Ponorogo. Malam itu gelap dan dingin. Ribuan bintang di langit agaknya tidak mampu menembuskan sinarnya pada kegelapan malam yang berkabut. Malam itu, menurut siasat pasukan Mataram, pasukan dari selatan akan menyerbu ke Ponorogo.
Diperhitungkan bahwa pada keesokan harinya, seluruh penjagaan pasukan Ponorogo tentu akan ditarik ke selatan. Setelah untuk yang terakhir kali hari itu Ki Sinduwening mengadakan rapat dengan para panglima Mataram, untuk membuat persiapan karena menurut rencana siasat yang telah diatur, kalau besok pagi-pagi para penyelidik membuat laporan bahwa pasukan yang berjaga di bagian utara Ponorogo telah ditarik mundur ke selatan, maka mereka akan bergerak, menyerbu dan menyerang Ponorogo yang diharapkan telah terpancing untuk mempertahankan bagian selatan. Setelah selesai mengadakan rapat, Sinduwening mengundurkan diri, bermaksud untuk beristirahat malam itu agar besok pagi dapat mulai terjun ke dalam pertempuran dengan tubuh yang segar.
"Bapa"".!"
"Eh, engkau belum tidur, Mawar? Besok mungkin kita menghadapi pertempuran besar, sebaiknya kita tidur sore-sore untuk menyimpan tenaga."
Kata Ki Sinduwening, diam-diam dia merasa heran melihat wajah puterinya muram seperti orang yang sedang risau hatinya.
"Kenapa engkau nampak tidak tenang?"
Gadis itu menghela napas panjang.
"Justru pertempuran itulah yang membuat hatiku risau, bapa. Bapa sendiri yang pernah mengatakan bahwa perang saudara itu amat merugikan bangsa sendiri. Adipati Ponorogo adalah adik sendiri dari Sang Prabu. Betapa akan menyesalnya hati mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati yang arif bijaksana kalau melihat dua orang putera beliau saling serang. Yang amat menyedihkan adalah kalau aku membayangkan betapa besok, banyak manusia akan jatuh dan tewas bergelimpangan, terbunuh atau terluka oleh saudara-saudara sendiri. Bukankah menurut bapa, musuh kita yang sesungguhnya, yang benar-benar mengancam tanah air kita, adalah orang-orang kulit putih yang datang dari barat?"
Ayah itu tidak tahu bahwa di balik kegelisahan hati puterinya terhadap perang saudara yang saling bunuh antara saudara atau sebangsa itu, terdapat keresahan yang mendalam, yaitu mengkhawatirkan Banuaji. Bagaimana pemuda itu kalau terjadi perang? Akan berpihak manakah? Dan pemuda itu demikian lembut dan lemah. Kalau ikut bertempur, tentu akan celaka di tangan lawan yang tangguh! Dan Si Kedok Hitam? Apakah akan membela Mataram? Dan apakah ia akan dapat bertemu kembali dengan orang aneh yang merahasiakan dirinya itu? Mendengar ucapan puterinya. Ki Sinduwening menghela napas panjang pula.
"Aku sendiri tentu saja tidak senang menghadapi perang saudara ini, Mawar. Akan tetapi, bagaimana lagi kalau memang Pangeran Jayaraga, adipati Ponorogo itu menghendaki perang? Dialah yang bersalah kalau terjadi perang saudara ini. Bukankah dahulu, seluruh daerah sampai ujung timur sampai perbatasan Banten, dapat dipersatukan oleh mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati? Akan tetapi, kini timbul lagi pemberontakan di daerah-daerah, termasuk Ponorogo yang dipimpin oleh adik Sang Prabu sendiri. Kalau hal ini dibiarkan, Mataram akan terpecah-pecah dan tanpa adannya persatuan, bagaimana bangsa kita akan memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengusir bangsa kulit putih yang hendak menguasai daerah kita? Tentu saja Sang Prabu ingin mempersatukan seluruh daerah dengan jalan damai tanpa perang, akan tetapi kalau jalan itu gagal, dan ada daerah yang memberontak, terpaksa ditundukkan dengan perang. Mudah-mudahan saja kita akan dapat menundukkan Ponorogo dengan cepat sesuai dengan rencana tanpa harus mengorbankan banyak nyawa, baik dari perajurit Mataram maupun perajurit Ponorogo."
Ayah dan anak itu lalu memasuki kamar masing-masing dalam gubuk darurat itu dan tidur. Akan tetapi Mawarsih gelisah, sukar untuk dapat pulas kerena pikirannya selalu diganggu dua bayangan orang, yaitu Banuaji dan Si Kedok Hitam. Baru setelah tengah malam ia tertidur. Akan tetapi, menjelang fajar. Mawarsih dikejutkan oleh suara riuh rendah. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil digembleng dengan aji kedigdayaan, yang membuatnya tangkas, begitu membuka mata, ia telah siap siaga dan meloncat turun dari atas pem- baringannya. Bukan ia seorang yang dikejutkan suara itu. Hampir ia bertabrakan dengan ayahnya yang juga melompat keluar.
"Ada apakah, bapa?"
"Entah, mari kita melihat keluar!"
Ayah dan anak itu berlompatan keluar. Hari masih pagi sekali. Cuaca masih remang-remang, akan tetapi segera nampak api bernyala-nyala di sana-sini dan terdengar suara orang berteriak-teriak dan pertempuran terjadi di sekeliling mereka. Seorang perwira menghampiri
"Celaka kita diserbu musuh!"
Katanya.
Tentu saja ayah dan anak ini terkejut bukan main. Dibantu puterinya, Ki Sinduwening berusaha untuk mengatur pasukannya. Akan tetapi, serbuan pihak musuh secara tiba-tiba itu membuat pasukan menjadi kacau dan tidak dapat diatur lagi. Kebakaran terjadi di sana sini dan pertempuran juga terjadi dengan kacau. Apa lagi ketika ayah dan anak ini mendapat kenyataan bahwa serbuan itu terjadi dari dua penjuru, dari luar dan dari dalam sehingga pasukan Mataram seolah terhimpit dan diserbu kanan kiri. Hal ini sungguh amat mengherankan, karena menurut rencana siasat, pasukan musuh akan dipancing ke selatan oleh pasukan yang dipimpin Nurseta. Bagaimana sekarang terjadi sebaliknya, pasukan Mataram yang belum bergerak itu yang dihimpit oleh pasukan musuh? Bagaimana dengan pasukan Nurseta?
Namun, pertanyaan itu tidak ada yang dapat menjawab dan pada saat itu, Ki Sinduwening juga tidak sempat lagi untuk terlalu memusingkan pertanyaan itu. Yang penting, dia harus dapat memimpin pasukannya untuk dapat keluar dari himpitan pihak musuh. Dia berusaha mengumpulkan para senopati pembantu untuk dapat mengatasi keadaan, namun para perwira sudah sibuk terlibat dalam pertempuran yang kacau balau. Karena keadaan yang demikian kacau dan tidak mungkin dapat diatur lagi, terpaksa ayah dan anak itu pun ikut mengamuk dan melawan serbuan pasukan Ponorogo.
Pertempuran berjalan seru, akan tetapi jelas nampak bahwa pihak pasukan Mataram kewalahan karena terhimpit oleh dua pihak dan ternyata pasukan Ponorogo berjumlah besar dan kuat. Cuaca tidak begitu gelap lagi kerena sinar matahari pagi mulai mengusir sisa kegelapan malam. Tiba-tiba muncul Nurseta dan diapun mengamuk dan dengan tombaknya dia merobohkan beberapa orang perajurit Ponorogo sebelum dia berhasil mendekati Ki Sinduwening dan Mawarsih.
"Raden".., apa yang telah terjadi?"
KI Sinduwening bertanya ketika melihat senopati muda itu. Dia terheran-heran bagaimana Nurseta yang memimpin pasukan untuk memancing pihak musuh dari selatan itu tiba-tiba dapat muncul di sini.
"Celaka, paman"".. kita terjebak, semua rencana kita ketahuan! Paman, kita harus cepat menyelamatkan Sang Prabu""""
Kata pemuda itu setelah mereka bertiga melompat ke tempat kosong dan tidak diserang musuh.
"Ceritakan, apa yang terjadi!"
Kata Ki Sinduwening memegang lengan pemuda itu, alisnya berkerut dan wajahnya berubah mendengar bahwa junjungannya terancam bahaya.
"Kita terjebak musuh. Ketika aku mempimpin pasukan, ternyata bagian selatan tidak ada yang jaga dan kosong. Ketika kami menyerbu masuk, kami diserang dari belakang dan dihujani anak panah dari barisan pendam. Banyak perajurit kami yang tewas. Kemudian, aku menangkap seorang perajurit musuh dan memaksanya mengaku. Dia yang menceritakan bahwa pasukan paman dijebak di sini dan juga bahwa pihak musuh merencanakan menjebak pasukan yang dipimpin Sang Prabu dan bermaksud menawan beliau. Kita harus cepat menyelamatkan Sribaginda, paman! Mari, cepat. Aku tahu di mana komplotan yang ditugaskan menculik Sang Prabu itu!"
Ki Sinduwening dan puterinya terkejut bukan main.
Pasukannya sudah tidak dapat dikendalikan lagi karena telah terjadi pertempuran kalang kabut di situ, dan yang terpenting tentu saja menyelamatkan Sribaginda dari bencana.
"Kita cepat pergi ke Kali Tempuran".."
Dia maksudkan tempat pasukan yang dipimpin Sang Prabu Hanyokrowati menanti saat untuk turun tangan membantu dua barisan yang menyerbu dari selatan dan utara.
"Jangan, paman. Itu mungkin akan terlambat! Aku tidak tahu benar apakah Sang Prabu telah mereka culik atau belum, akan tetapi kita langsung saja ke tempat rahasia mereka. Kalau mereka sudah berhasil menculik, kita bebaskan sang prabu, kalau belum, kita hancurkan sarang mereka! Marilah, paman dan diajeng Mawarsih, jangan sampai terlambat. Kita naik perahu"".!"
Pemuda itu melompat dan tentu saja Ki Sinduwening dan puterinya juga melompat dan mengikutinya. Memang yang penting sekali adalah keselamatan sang prabu. Andaikata sekali ini pasukan Mataram mengalami pukulan, lain kali masih dapat membalas kekalahan hari itu asal saja sribaginda masih selamat. Mereka tiba di tepi sungai dan tanpa banyak cakap, Nurseta melepaskan tali perahu yang berada di balik semak, kemudian mengajak ayah dan anak itu naik perahu dan segera perahu digayungnya ke tengah, dibantu oleh Ki Sinduwening. Matahari mulai muncul dan pagi ini nampak cerah, walaupun hari-hari sebelumnya, selalu turun hujan sehingga air sungai itu penuh dan bahkan di sana-sini meluap dan membanjiri sawah ladang dan dusun-dusun yang berada di tepi sungai.
Perahu kecil yang ditumpangi tiga orang itu meluncur cepat karena terbawa air yang deras, apa lagi dikendalikan dayung kedua orang yang kuat itu. Sebetulnya, apa yang terjadi dan bagaimana Nurseta yang ditugaskan memimpin pasukan yang membuat pancingan dari selatan itu tahu-tahu dapat berada di utara, di mana pasukan yang dipimpin Ki Sinduwening diserang dari depan belakang secara tiba-tiba? Semua itu telah diatur oleh pihak Ponorogo. Karena pengkhianatan Nurseta, maka pihak Ponorogo mengetahui siasat apa yang akan dipergunakan oleh Mataram dalam penyerbuan mereka ke Ponorogo.
Tentu saja setelah mengetahui rencana siasat itu, pihak Ponorogo dapat mengimbanginya dengan siasat lain yang menguntungkan mereka. Kalau Nurseta mendapat tugas untuk malam itu melakukan penyerbuan dari selatan untuk membikin panik dan memancing pasukan Ponorogo, diam-diam Nurseta membawa pasukannya yang sudah taat kepadanya itu untuk siang-siang memasuki daerah Ponorogo. Yang melakukan penjagaan di selatan adalah Mayaresmi dan Brantoko yang hanya membawa pasukan kecil karena memang tidak perlu ada pertempuran. Segera Nurseta bergabung dengan meraka, kemudian membawa pasukannya terus ke utara untuk membantu pasukan Ponorogo yang menjebak pasukan Mataram dan menghimpit musuh dari luar dan dalam!
Kemudian, sesuai dengan siasat yang sudah dia rencanakan dengan Mayaresmi, Nurseta lalu sengaja mencari Ki Sinduwening dan Mawarsih dan memancing ayah dan anak ini meninggalkan pasukannya untuk menyelamatkan Sang Prabu Hanyo- krowati. Tentu saja ini hanya merupakan jebakan untuk melenyapkan senopati tua yang tangguh itu, dan untuk dapat memiliki Mawarsih yang membuat Nurseta tergila-gila! Adapun sebuah pasukan yang cukup kuat, sesuai dengan siasat yang diatur oleh Ponorogo, dipimpin langsung oleh Sang Adipati Ponorogo sendiri, dibantu oleh Surodigdo, senopati yang terkenal tangguh, diam-diam menuju ke barat dan bermaksud untuk menyergap pasukan yang dipimpin Sang Prabu Hanyokrowati dan kalau mungkin menawan atau membunuh Raja Mataram itu!
Akan tetapi, ketika pasukan ini tiba dilembah Kali Tempuran, mereka kecelik karena tidak melihat adanya pasukan Sang Prabu Hanyokrowati di sana! Yang ada hanyalah bekas pesanggrahan atau tempat perhentian pasukan itu saja, akan tetapi Sang Prabu Mataram dan pasukannya telah pergi. Tentu saja pasukan Ponorogo yang dipimpin oleh sang adipati sendiri itu merasa heran dan khawatir kalau-kalau mereka terjebak, maka mereka cepat mundur kembali ke Ponorogo, hanya membantu pasukan yang sedang menggempur pasukan besar Mataram yang berada di utara. Apa yang terjadi dan ke mana perginya Sang Prabu Hanyokrowati? Ternyata, pada malam hari itu terjadi sesuatu yang mengejutkan di tempat itu. Malam memang gelap dan dingin, dan pasukan itu bersembunyi di dalam hutan yang lebat.
Dan pada malam hari itu, menjelang tengah malam, tiba-tiba saja terdengar suara orang bertembang memecah kesunyian malam. Semua orang termasuk Sang Prabu Hanyokrowati, dengan jelas dapat menangkap kata-kata dalam tembang itu dan seperti yang lain. Raja Mataram ini terkejut bukan main. Kata-kata itu berarti: "Karena ulah seorang pengkhianat, malam ini menjelang pagi, pasukan Mataram di utara akan dikepung dan dihancurkan, pasukan di sini akan diserbu dan Sang Prabu akan ditawan atau dibunuh!"
Semua orang cepat mencari cari, siapa yang berkidung itu. Namun, tak seorangpun menemukan penembangnya. Biarpun tidak sepenuhnya percaya akan isi tembang itu, namun Sang Prabu Hanyokrowati merasa tidak enak, demikian pula para senopati, maka segera pasukan itu ditarik mundur untuk melihat bagaiamana perkembanganya pada keesokan harinya.
Demikian, maka ketika pasukan Ponorogo yang dipimpin langsung oleh Adipati Ponorogo bersama Surodigdo, senopatinya yang tangguh, tempat itu kosong! Tiada seorangpun melihat siapa yang menembangkan kidung yang isinya memberi peringatan itu. Tentu tidak mungkin dapat melihat gerakan bayangan hitam itu karena gerakannya amat cepat, apa lagi diselimuti kegelapan malam, sehingga andaikata ada orang sempat melihatnya pun, tentu akan disangka bahwa yang dilihatnya berkelebat itu bayangan burung malam atau sebagainya.
Perahu yang membawa Nurseta, Ki Sinduwening dan Mawarsih itu meluncur cepat sekali. Beberapa kali Ki Sinduwening bertanya ke mana mereka menuju dan selalu Nurseta menjawab bahwa tempatnya sudah dekat.
"Masih jauhkah, kakangmas Nurseta?"
Mawarsih juga bertanya tak sabar lagi.
"hatiku merasa tidak enak, jangan-jangan Sang Prabu benar-benar terancam bahaya"."
Mereka tiba di sebuah tikungan dan Nurseta berkata,
"Kita sudah sampai. Paman, harap tahan perahunya, aku ingin mendarat dan melihat lebih dulu!"
Nurseta tidak menanti jawaban dan setelah perahu itu minggir, diapun melompat ke darat. Ki Sinduwening menggunakan dayung untuk menahan perahu, akan tetapi pada saat itu, Mawarsih berseru.
"Awas, bapa! Di sana itu""!"
Ia menuding dan Ki Sinduwening menoleh.
Ternyata ada lima buah perahu dari depan dan tiga buah perahu di belakang, delapan buah perahu ini masing-masing ditumpangi tiga orang dan mereka semua mendayung perahu ke arah mereka dan mengurung perahu mereka! Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati Ki Sinduwening dan puterinya ketika dia melihat beberapa orang yang mereka kenal di antara dua puluh empat orang itu. Mereka adalah Ki Danusengoro, Brantoko, dan Ki Wirobandot! Dengan heran dan penasaran, Ki Sinduwening menoleh ke darat dan bukan main marahnya ketika dia melihat Nurseta berdiri tenang, bahkan tersenyum-senyum dan kedua lengan disilangkan depan dada! Seketika mengertilah Ki Sinduwening apa yang telah terjadi. Nurseta telah mengkhianati Mataram! Pantas saja semua rencana Mataram gagal dan pasukannya bahkan dikepung dan diserbu musuh.
"Nurseta, kamu pengkhianat busuk!!"
Bentak Ki Sinduwening. Akan tetapi, pada saat itu, para penumpang delapan perahu yang mengepung sudah menggerakkan tombak-tombak panjang untuk menyerangnya.
"Hati-hati, jangan lukai diajeng Mawarsih!"
Terdengar teriakan Nurseta dan teriakan ini membuat Ki Sinduwening dan Mawarsih menjadi semakin marah. Kini mereka mengertilah akan niat Nurseta, yaitu membunuh Ki Sinduwening dan menawan Mawarsih, tentu dengan niat yang tidak senonoh.
"Jahanam busuk Nuseta, aku akan mengadu nyawa denganmu!"
Bentak Mawarsih, akan tetapi ia tidak mungkin meloncat ke darat karena perahu itu terkepung dan mereka sudah dihujani senjata tombak dari segala jurusan Ki Sinduwening sudah mencabut pecutnya yang melilit pinggang, memutar pecut itu untuk melindungi diri dari sambaran tombak-tombak musuh. Mawarsih juga meloloskan kemben merahnya dan iapun memutar-mutar kemben untuk membantu melindungi ayahnya karena semua serangan ditujukan kepada ayahnya.
Akan tetapi, bagaimana mungkin ayah dan anak itu dapat membela diri dengan baik? Andaikata mereka berada di daratan sekalipun, dikepung dan dikeroyok dua empat orang itu mereka tentu repot sekali mengingat bahwa di antara mereka terdapat orang-orang tangguh seperti Ki Danusengoro, Brantoko, Ki Wirobandot, bahkan Nurseta sendiri. Apa lagi kini mereka berada di sebuah perahu kecil dan dikepung dari semua jurusan. Ketika mereka bergerak untuk membela diri, perahu kecil itu terguncang dan beberapa kali hampir terguling. Kalau sampai mereka terpelanting ke dalama sungai deras karena banjir itu, tentu mereka akan celaka.
Andaikata tidak dicelakakan para pengeroyokpun, bagaimana mereka akan mampu melawan dan bertahan terhadap arus sungai yang akan menyeret dan menenggelamkan mereka? Keadaan mereka amat gawat. Ki Sinduwening sudah terluka di pundak kanan dan pangkal lengan kiri, membuat gerakan pecutnya mengendur. Dan biarpun Mawarsih tidak dilukai, namun gadis inipun lelah bukan main memutar kembennya untuk melindungi ayahnya. Sebentar lagi, tentu mereka akan tidak mampu bertahan lagi. Ki Sinduwening tentu akan terbunuh dan Mawarsih tertawan!
Tiba-tiba nampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan kecepatan luar biasa dan begitu dekat, terdengar suara mengaung-angung dan beberapa orang pengeroyok terjungkal keluar dari perahu mereka. Mawarsih hampir saja bersorak ketika melihat bahwa yang datang itu adalah Si Kedok Hitam! Dengan sebatang ranting panjang di tangan kanan dan suling di tangan kiri, Si Kedok Hitam mengamuk. Rantingnya bergerak berciutan, sulingnya mengaung-angung. Dia melemparkan baja kaitan di ujung tali perahu ke sebuah perahu pengeroyok sehingga perahunya tergandeng dengan perahu itu, lalu diapun berloncatan dari satu ke lain perahu, mengamuk dengan kecepatan bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar.
"Andika berdua pergilah! Cepat mendarat dan lari?"
Si Kedok Hitam berseru kepada ayah dan anak itu. Tentu saja Ki Sinduwening dan puterinya bukan orang-orang penakut. Apa lagi melihat Si Kedok Hitam harus menghadapi dua puluh lima seorang diri, bagaimana mereka tega untuk meninggalkannya seorang diri? Mereka telah ditolong, mana mungkin mereka sekarang melarikan diri meninggalkan penolong mereka? Ki Sinduwening mempergunakan pecutnya, dan Mawarsih mempergunakan kembennya, menyerang perahu terdekat.
"Cepat andika berdua pergi sebelum terlambat, agar tidak sia-sia usahaku!"
Kata pula Si Kedok Hitam dan kembali rantingnya membuat seorang pengeroyok terjungkal keluar dari dalam perahu. Ki Sinduwening maklum bahwa kalau orang seperti Si Kedok Hitam yang demikian saktinya sampai minta kepada mereka untuk melarikan diri, tentu ada sebabnya. Mungkin akan datang musuh lebih banyak lagi sehingga kalau sampai terjadi demikian, maka akan terlambat dan semua usaha Si Kedok Hitam untuk menolong merekapun sia-sia, bahkan akan membahayakan Si Kedok Hitam sendiri.
"Mari kita pergi!"
Katanya sambil menyambar dayung dan mendayung perahu itu.
"Tapi,bapa"""
Mawarsih membantah karena ia tidak tega meninggalkan Si Kedok Hitam yang kini dikepung dan dikeroyok oleh banyak orang.
"Ini permintaannya jangan bantah. Pula, kita harus melihat keadaan pasukan kita!"
Kata Ki Sinduwening dan perahu mereka yang kini tidak terkepung lagi karena semua orang sibuk mengeroyok Si Kedok Hitam, meluncur cepat ke tepi dan mereka berdua berloncatan ke darat. Akan tetapi ketika Mawarsih menoleh untuk melihat keadaan Si Kedok Hitam ia menjerit.
Ki Sinduwening cepat menengok dan diapun melihat betapa perahu di mana Si Kedok Hitam berdiri dikeroyok banyak orang, tiba-tiba terguncang dan miring sehingga Si Kedok Hitam terpelanting ke dalam air! Tubuhnya disambar arus sungai yang deras dan hanyut, lalu tenggelam. Kembali Mawarsih menjerit dan hendak berlari ke tepi lagi, ke arah menghilangnya tubuh Si Kedok Hitam. Akan tetapi pada saat itu, terdengar teriakan Nurseta.
"Kejar mereka!!"
Ki Sinduwening menyambar tangan puterinya dan menariknya, mengajaknya melarikan diri, mereka. Mereka mempergunakan Aji Tunggang Maruta (Menunggang Angin) sehingga tubuh mereka meluncur cepat sekali. Biarpun Nurseta dan kawan-kawannya berusaha mengejar, namun mereka tertinggal jauh dan akhirnya bayangan ayah dan anak itupun lenyap. Nurseta tentu saja merasa kecewa sekali, akan tetapi dia agak terhibur karena dapat membunuh Si Kedok Hitam yang tidak nampak muncul kembali. Tentu orang rahasia itu telah tenggelam dan mayatnya menjadi makan ikan, pikirnya. Diapun mengajak kawan-kawannya kembali untuk membantu pasukan Ponorogo yang sedang menghimpit dan mendesak pasukan Mataram.
Pasukan Mataram benar-benar terhimpit dan disergap di luar sangkaan mereka sehingga berantakan. Apa lagi setelah Ki Sinduwening dan Mawarsih tidak terdapat di antara mereka, semangat para perwira juga mengendur dan akhirnya, pasukan itu terpaksa mundur dan keluar dari daerah Ponorogo dengan menderita kekalahan besar. Banyak di antara mereka yang terluka atau tewas. Mataram menderita kekalahan dari Ponorogo dalam pertempuran pertama! Sukar untuk dipercaya! Dan gegerlah Mataram ketika pasukannya pulang menderita kekalahan. Sang Prabu Hanyokrowati segera mengumpulkan seluruh senopati dan menteri untuk mengadakan perundingan. Dalam pertemuan inilah Sang Prabu Hanyokrowati dan para senopati mendengar keterangan Ki Sinduwening tentang pengkhianatan yang dilakukan Nurseta.
"Jahanam! Kalau begitu, suara yang kita dengar malam itu benar adanya! Si keparat Nurseta!"
Sang Prabu dengan muka murka lalu memerintahkan kepada seorang senopati.
"Bawa pasukan dan gempur kademangan Praban. Tangkap Ki Demang Padangsuta dan seluruh keluarganya!"
Akan tetapi Ki Sinduwening cepat menyembah dan berkata,
"Ampun, Sribaginda. Hamba sudah mengirim penyelidik ke sana, dan ternyata bahwa Ki Demang Padansuta beserta seluruh pengikutnya juga sudah meninggalkan kademangan dan membantu Ponorogo."
Sang Prabu Hanyokrowati mengepal tangan kanannya. Wajahnya kemarahan karena dia benar-benar merasa terhina dan tertipu. Melihat Sribaginda marah-marah, para senopati tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Pada saat itu, seorang di antara para pangeran yang ikut hadir dalam rapat penting itu berkata,
"Kanjeng Rama, perkenankan hamba sekarang juga membawa pasukan besar menyerbu Ponorogo membalas atas kekalahan pasukan. Semua orang memandang kepada pembicara. Dia adalah Raden Mas Menang, pangeran ke dua yang memang berwatak keras. Sang Prabu Hanyokrowati atau Raden Mas Jolang mempunyai lima orang anak, empat pangeran dan seorang puteri. Empat pangeran itu adalah Raden Mas Rangsang, Radn Mas Menang, Raden Mas Martapura, dan Raden Mas Cakra. Adapun puterinya bernama Ratu Pandan. Yang diangkat menjadi pangeran mahkota adalah puteranya yang ketiga, yaitu Raden Mas Martapura sesuai dengan janji yang pernah diucapkan Sang Prabu, disaksikan oleh semua keluarganya. Sang Prabu menggeleng kepala.
"Tidak usah engkau yang maju menaklukan Ponorogo, puteraku. Masih banyak senopati tangguh di Mataram. Kalau kita dikalahkan dalam penyerbuan pertama, hal itu hanya dapat terjadi karena kita dikhianati si Jahanam Nurseta. Aku sudah mengambil keputusan untuk memimpin sendiri pasukan besar, menundukkan bukan hanya Ponorogo, melainkan seluruh Jawa Timur, Kediri, Ketasana, Wirasaba, Surabaya, Gresik, Pendeknya, sebelum seluruh Jawa Timur kembali mengakui kedaulatan Mataram, aku tidak akan kembali!"
Mendengar pernyataan penuh semangat dari Sang Prabu Hanyokrowati, para senopati menunduk.
Para pangeran diam-diam tidak menyetujui tekad ayah mereka yang sudah berusia lanjut itu, akan tetapi merekapun tidak berani membantah karena maklum bahwa Sang Prabu Hanyokrowati sedang marah karena kekalahan dalam pertempuran pertama melawan Ponorogo itu. Sang Prabu Hanyokrowati lalu memerintah kepada Ki Sinduwening untuk menyusun bala tentara baru yang lengkap dan gemblengan. Dia tidak mau gagal lagi, maka hanya para senopati tua yang sudah dia ketahui kesetiaannya saja yang diserahi tugas menyusun pasukan, membantu Ki Sinduwening. Pasukan itu harus siap dalam waktu tiga bulan,karena panyusunan kekuatan pasukan itu bukan hanya untuk menyerbu Ponorogo, melainkan untuk terus melakukan perjalanan atau gerakan menaklukan daerah-daerah yang memberontak.
Setelah pertemuan dibubarkan, Ki Sinduwening mengajak semua senopati untuk berunding dan membicarakan pembagian tugas dan pelaksanaan perintah Sang Prabu. Kemudian, matahari telah condong ke barat ketika akhirnya Ki Sinduwening pulang ke rumahnya. Dia menjadi pejuang sukarela, tidak menerima kedudukan senopati, dan menyerahkan penyusunan pasukan kepada para senopati yang dia percaya benar. Setibanya di rumah, puterinya sudah menanti. Melihat betapa Mawarsih semanjak pulang ke Mataram nampak selalu murung dan berduka, hanya bersemangat kalau mendengar rencana penyerbuan kembali ke Ponorogo, diam-diam Ki Sinduwening merasa khawatir juga.
Teringat dia betapa Mawarsih hampir tidak mau lari meninggalkan Si Kedok Hitam yang terpelanting ke dalam sungai dan hanyut, bahkan tidak nampak lagi. Dia yang memaksa puterinya itu untuk berlari terus, mempergunkana Aji Tunggang Maruta sehingga mereka terlepas dari pengejaran Nurseta dan kawan-kawannya. Mawarsih melarikan diri sambil membiarkan tangannya digandeng ayahnya, dan ia pun menangis sepanjang jalan.
"Bagaimana keputusan yang diambil dalam rapat tadi, bapa? Apakah kita akan segera menyerang Ponorogo lagi untuk membalas kekalahan kita?"
Tanya Mawarsih, dan tiba-tiba wajah yang muram itu berseri dan pandang matanya penuh gairah.
Ki Sinduwening tersenyum. Biasanya, sikap puterinya tidak begitu. Kalau dia pulang, dalam keadaan bagaimanapun juga, Mawarsih akan lebih dahulu melayaninya, mengambilkan minum, mengambilkan baju pengganti dan sebagainya. Akan tetapi sekarang, begitu datang sudah dihujani pertanyaan yang dilakukan penuh semangat.
"Tentu saja Sang Prabu akan memimpin lagi pasukan untuk menyerbu Ponorogo yang memberontak."
"Bagus! Kapan, bapa? Besok pagi? Kita harus bersiap-siap!"
Kata Mawarsih bersemangat dan wajahnya kini berseri.
"Kenapa begitu tergesa-gesa, cahayu? Sang Prabu berkehendak agar dipersiapan pasukan besar, bukan hanya untuk menundukkan Ponorogo, juga daerah lainnya di Jawa Timur. Karena itu, pasukan besar dan lengkap harus disusun dan para senopati diberi waktu tiga bulan.""
Sepasang mata yang indah itu bersinar tajam itu terbelalak.
"Tiga bulan?? Kenapa begitu lama, bapa? Kalau begitu, sebaiknya kalau aku pergi lebih dulu ke sana, melakukan penyelidikan dan mempelajari kekuatan musuh."
"Jangan. Nini! Jangan kau pergi. Semua orang sudah mengenalmu, mengenal kita. Biar engkau menyemar sekalipun, karena engkau pernah membikin geger Ponorogo ketika menolongku dari tahanan, maka begitu engkau muncul, mereka tentu akan mengenalmu dan menangkapmu. Jangan memancing-mancing bahaya, tunggu saja sampai ada perintah Sribaginda dan kita akan melakukan penyerangan ke dua yang harus dan pasti berhasil. Akan tetapi, kuharap dalam penyerangan nanti, biar aku saja yang maju, Mawar. Engkau tinggallah di rumah, engkau seorang gadis, seorang wanita. Bahkan engkau sudah remaja puteri. Hatiku akan merasa tenteram melaksanakan tugas mengikuti Sang Prabu andaikata engkau telah mempunyai sisihan, telah mempunyai sandaran, yaitu seorang suami."
"Ah, bapa"..!!"
Mawarsih berseru, kedua pipinya kemerahan.
"Kenapa, Mawar? Engkau sudah dewasa, sudah sepantasnya kalau engkau menikah, dan terus terang saja, bapamu ini sudah ingin sekali engkau menikah, sudah ingin sekali mempunyai mantu."
"Kenapa bapa tidak juga jera? Bapa pernah berniat menjodohkan aku dengan Nurseta dan apa jadinya? Untung sekali hal itu belum terjadi, kalau sudah, bukankah hidupku akan menderita sekali, mempunyai seorang suami yang menjadi pengkhianat? Harap bapa tidak tergesa-gesa, kalau salah pilih, berarti menjerumuskan aku ke dalam lembah kesengsaraan."
Ki Sinduwening menghela napas panjang dan nampak menyesal sekali.
"Aihhh siapa kira dia akan tersesat seperti itu? Aku sendiri sampai sekarang masih bingung dan tidak mengerti mengapa dia dapat menjadi pengkhianat! Padahal, dia seorang pemuda yang baik dan pandai. Aihhh, memang kita harus berhati-hati dalam menentukan pilihan seorang calon suami bagimu, nini. Aku tidak tergesa-gesa, akan tetapi akan berbahagialah hatiku kalau sebelum aku berangkat mengikuti Sribaginda, engkau sudah mempunyai suami atau setidak-tidaknya, seorang calon suami. Aku akan membuka mata melihat-lihat"""
"Bapa, apakah bapa sudah lupa akan syarat yang kita ajkan kepada Paman Danusengoro dahulu? Calon suamiku harus mampu mengalahkan aku dan walinya dapat mengalahkan bapa."
"Hemm, memang sebaiknya begitu. Akan tetapi bagaimana kalau tidak ada yang mampu? Apakah engkau selamanya tidak akan menikah? Tidak, nini, kita harus mengubah syarat itu. Kalau ada seorang perjaka yang berbudi baik, sehat rohani, jasmaninya, pandai dan bijaksana, dan"""
"Sudahlah, bapa. Aku tidak mau menikah dengan orang lain!"
Ki Sinduwening tertegun. Terasa benar olehnya tekanan pada kata "orang lain"
Itu.
"Mawar, anakku cahayu, jelaskan siapakah pilihan hatimu itu. Siapakah dia yang menjadi kekecualian dari orang-orang lain itu?"
Mawarsih baru menyadari bahwa rasa penasaran tadi membuat ia tanpa disadarinya telah membuka rahasia hatinya. Ia tidak mau menikah dengan orang lain, berarti ia mau menikah dengan seseorang! Karena ucapan itu sudah keluar tanpa disengaja, ia tidak mungkin menyangkal dan bersembunyi dari ayahnya, kedua pipinya menjadi semakin merah, akan tetapi sekali ini bukan hanya karena malu, melainkan juga karena kesedihannya tiba-tiba menyusupi hatinya dan kedua matanya menjadi basah. Orang yang dipilihnya itu telah mati!
"Dia""
Dia".. Si Kedok Hitam"""
Katanya lirih sambil menundukkan mukanya dan menghapus beberapa butir air mata yang menetes turun ke pipinya.
"Dia""? Si Kedok Hitam? Akan tetapi dia sudah mati, terus tenggelam di air banjir itu!"
Mawarsih mengangkat mukanya yang kini agak pucat, kedua matanya yang basah menatap wajah ayahnya dan ia menggeleng kepala.
"Aku tidak yakin, bapa. Aku baru yakin kalau sudah melihat jenazahnya"""
Sinduwening mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir, kedua tangannya ke belakang pinggul, kepala digeleng-gelengkan dan berulang kali menghela napas panjang.
"Si Kedok Hitam""?"
Berulang-ulang dia menyebut nama ini.
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku tidak heran kalau engkau kagum dan suka kepadanya, mungkin jatuh cinta padanya. Akan tetapi siapa dia? Pernah engkau melihat mukanya?"
Dia berhenti dan menoleh kepada puterinya. Mawarsih menunduk dan menggeleng kepalanya.
"Belum pernah, bapa."
Sinduwening kembali mondar-mandir dan mulutnya mengomel panjang pendek, bersungut-sungut.
"Belum pernah melihat mukanya akan tetapi sudah menentukan menjadi calon suami! Bagaimana pula ini? Aneh".. aneh".. anakku aneh sekali"".."
Mawarsih kini mengangkat muka memandang ayahnya yang mondar-mandir sambil berulang kali menyatakan aneh.
"Bapa, cinta bukan hanya timbul karena ketampanan muka. Sudah berkali-kali dia menyelamatkan aku dari melapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut, dan dia membela kita, dia memiliki kesaktian yang jauh melebihi kita. Tidak cukupkah itu untuk membuat aku jatuh cinta?"
Ayahnya tersenyum, lalu menghampiri dan duduk di atas kursi didepan puterinya, dan dengan sikap tenang dia menyentuh kedua pundak puterinya dengan kedua tangan, mendorongnya sedikit ke belakang sehingga Mawarsih duduk tegak dan mengangkat muka memandang.
Mereka saling pandang, Ki Sinduwening tersenyum.
"Wah anakku telah menjadi wanita dewasa sekarang!"
"Ah, bapa"".."
Mawarsih tersipu.
"Karena engkau sudah dewasa, anakku, tidak rikuh lagi bapa mengajakmu bicara tentang cinta yang kausebut-sebut tadi. Aku tidak dapat membantah bahwa cinta dapat tumbuh karena kepribadian seseorang, karena tingkah lakunya yang baik, karena sikapnya yang sopan, karena berbudi dan bijaksana, apa lagi karena orang sudah melimpahkan budi kepada kita. Justeru keadaan batin seseorang yang menjadi pendorong utama bagi timbulnya cinta. Akan tetapi, betapapun tidak enak kedengarannnya, ada sutau kenyataan bahwa di dalam cinta antara pria dan wanita yang mendatangkan perjodohan, hidup bersama selama hidupnya, di situ terdapat syarat lain yang mutlak penting. Yaitu keadaan jasmaninya. Dapatkah seorang pria mencintai seorang wanita atau sebaliknya, kalau yang dicintai itu, betapapun baik batinnya, memiliki jasmani yang cacat parah, memiliki wajah yang cacat dan buruk sehingga dapat mendatangkan rasa takut dan jijik? Dapatkan kita mencinta seseorang untuk menjadi suami atau isteri, kalau kemudian ternyata bahwa orang itu tidak sempurna keadaan tubuhnya sehingga tidak dapat melakukan hubungan suami isteri? Dapatkah cinta itu dipertahankan kalau kedua pihak tidak memiliki daya tarik jasmaniah masing-masing. Mungkin cinta antara sahabat, cinta antara orang tua dan anak, pendeknya cinta yang bukan antara pria dan wanita yang akan menjadi suami isteri, dapat menghadapi dan mengatasi semua itu. Akan tetapi, coba bayangkan dan kemudian jawab sejujurnya. Engkau mengatakan bahwa engkau mencinta Si Kedok Hitam karena dia gagah perkasa, karena dia berbudi luhur dan bijaksana, karena dia telah melimpahkan budi kepadamu, membuatmu jatuh cinta walaupun tidak tahu atau belum melihat wajahnya. Akan tetapi coba bayangkan kalau pada suatu hari, engkau mendapat kesempatan untuk membuka kedoknya dan melihat bahwa dia adalah seorang pria yang buruk sekali mukanya karena cacat, misalnya hidungnya gruwung (tanpa bukit hidung), mulutnya perot, pendeknya wajahnya menjijikkan dan menakutkan seperti wajah iblis?"
"Ihhhh, bapa""!"
Gadis itu bergidik, ngeri membayangkan semua itu.
"Anakku, engkau sudah dewasa, hadapilah semua kenyataan ini dan mari kita lanjutkan. Soal wajah saja sudah memegang peran penting dalam syarat tumbuhnya cinta antara pria dan wanita. Sekarang, katakanlah bahwa Si Kedok Hitam itu tidak cacat wajahnya, cukup tampan dan gagah, makin banyaklah senjata yang dia miliki untuk menjatuhkan hatimu. Dia tampan, gagah Sakti, berbudi luhur, telah melimpahkan budi kepadamu. Nah, sudah sewajarnya kalau engkau jatuh cinta padanya. Akan tetapi, tunggu dulu, dan bersiaplah untuk menerima kenyataan ini. Bagaimana kalau di balik semua itu, dia mempunyai suatu ketidak sempurnaan sehingga dia tidak dapat melakukan hubungan suami isteri, tidak mungkin dapat menjadi bapak anak-anakmu?"
"Bapa""!"
Mawarsih tersipu. Ki Sinduwening menghela napas panjang.
"Hidup ini memang ruwet, anakku. Kita ini manusia yang tidak mungkin dapat dipisahkan dari nafsu! Kita mutlak membutuhkan nafsu dalam kehidupan di dunia ini. Karena itulah, nafsu memegang peran penting dalam semua segi kehidupan kita! Hati dan akal pikiran kita dapat bekerja baik dan menghasilkan kalau disertai nafsu. Makanan tidak akan terasa lezat kalau tidak ada nafsu dalam mulut, tidak ada suara merdu tanpa nafsu dalam pendengaran kita, tidak ada penglihatan indah tanpa nafsu dalam mata kita, tidak ada keharuman tanpa nafsu dalam hidung kita, dan selanjutnya. Demikian pula, di dalam apa yang kita namakan cinta asmara, di antara pria dan wanita, tak mungkin terjadi tanpa adanya bumbu berupa nafsu itu. Nafsu menimbulkan daya tarik lawan jenis, nafsu menimbulkan gairah, nafsu menimbulkan kenikmatan dalam hubungan. Tanpa nafsu, tidak akan terjadi hubungan antara pria dan wanita, dan bagaimana jadinya dengan perkembangbiakan manusia? Memang kedengarannya tak enak, akan tetapi begitulah kenyataannya, angger. Karena itu, jangan anggap remeh tentang keadaan jasmani seseorang sebelum engkau menjatuhkan hati dan menyatakan cinta."
Mawarsih tertegun, bingung. Gadis berusia delapan belas tahun ini tercenggang-cengang mendengar kata-kata ayahnya. Ia demikian terbuai oleh khayal tentang cinta sehingga ia seperti buta melihat kenyataan yang ada. Tak dapat disangkal pula kenyataan yang dipaparkan ayahnya tadi.
"Bapa,"
Katanya dan merasa ngeri terhadap perasaannya sendiri.
"Apakah kalau begitu"..aku hanya kagum saja kepada Si Kedok Hitam? Tapi"". ketika aku melihat dia jatuh ke sungai dan hanyut, dunia seperti kiamat bagiku, aku ingin mencarinya, ingin menolongnya, ingin""."
"Aku tahu anakku. Engkau kagum dan merasa berhutang budi yang tentu saja membuat engkau merasa suka kepadanya, dan hutang budi membuat engkau ingin membelanya, ingin menolongnya. Akan tetapi cinta? Kurasa masih terlalu pagi untuk mengatakan bahwa engkau cinta padanya, Mawar. Ingat, ada lagi satu hal yang yang mutlak perlu bagi cinta kasih antara calon suami isteri, yang tidak kalah pentingnya dari pada nafsu."
"Apa lagi, bapa?"
Gadis itu semakin tertegun karena tidak pernah mengira demikian rumit dan banyak liku-likunya tentang cinta.
"Cinta tidak mungkin sama sekali kalau hanya sepihak. Tidak mungkin bertepuk sebelah tangan. Cinta asmara baru lengkap kalau dirasakan kedua pihak, yaitu saling mencinta. Sedangkan engkau dan Si Kedok Hitam itu, kurasa hanya engkau yang mencintanya karena kagum tadi. Aku tidak tahu apakah dia juga mencintamu, Mawar. Bagaimana kalau kemudian ternyata bahwa dia tidak mencintamu, tidak ingin menjadi suamimu bahkan menolak usul perjodohan antara kalian? Hal itu bukan tidak mungkin terjadi, misalnya, bagaimana kalau pendekar itu sudah beristeri, atau kalau dia sudah mempunyai kekasih lain?"
Mawarsih terbelalak. Sungguh merupakan kemungkinan yang sama sekali tak pernah ia bayangkan! Ngeri ia membayangkan bahwa Si Kedok Hitam sudah beristeri, bahwa dia tidak mencintanya dan mencinta gadis lain!
"Tapi""
Tapi aku yakin dia mencintaku, bapa."
"Ehh?"
Bagaimana engkau dapat yakin? Apakah dia pernah mengaku cinta padamu?"
Mawarsih menggelang kepala dan tersenyum. Terbayang kecupan pada dahinya itu. Kecupa yang hangat dan mesra. Akan tetapi dia merasa malu untuk menceritakan hal itu, biar kepada bapanya sekalipun.
"Aku".. yakin karena aku dapat merasakannya, bapa."
"Begitukah? Jadi, bagaimana dengan perasaan cintamu terhadap Si Kedok Hitam setelah percakapan kita ini?"
Ki Sinduwening memancing sambil memandang wajah puterinya dengan perasaan cinta dan bangga. Puterinya begini cantik menarik! Tentu para pemuda akan berlomba memperebutkan hatinya.
"Bagaimana, ya?"
Mawarsih termenung.
"Setelah mendengar kata-kata bapa, aku menjadi bimbang dan harus mengakui bahwa cintaku memang bersyarat, bapa. Semua kebakan yang ada pada Si Kedok Hitam harus pula ditambah dengan syarat lain, yaitu bahwa dia harus tidak cacat jasmani seperti bapa bayangkan tadi, tidak buruk menjijikkan, dan dia". dia harus masih perjaka dan hanya mencintaku seorang."
"Ha-ha-ha, berarti engkau belum dapat menyatakan bahwa engkau sudah sepenuh- nya mencintanya, bukankah begitu?"
"Bapa, semua ini membuat aku merasa bingung dan bimbang."
"Tidak perlu bimbang, tidak perlu cemas, angger. Memang semua cinta manusia mengandung nafsu, karenanya pasti mengandung pamrih demi kesenangan diri pribadi. Hanya Cinta Tuhan yang sajalah yang suci dan tanpa pamrih. Tidak pilih kasih, tidak ada satupun yang diabaikan. Cinta manusia selalu berpamrih."
"Kukira cinta orang tua kepada anaknya tidak berpamrih, bapa. Betapapun buruknya si anak, biar cacat sekalipun, orang tua akan tetap mencintanya."
Ki Sinduwening tersenyum.
"Mungkin lebih sedikit kadar nafsunya dibandingkan cinta asmara, anakku, akan tetapi, tidak ada cinta manusia, baik orang tua kepada anak sekalipun yang tanpa syarat dan tanpa pamrih."
"Wahh? Kalau begitu, apakah cinta bapa terhadap diriku juga bersyarat dan berpamrih?"
Gadis itu manatap wajah ayahnya dengan sinar mata menantang. Ia yakin benar akan besarnya kasih sayang ayahnya kepada dirinya, apa lagi semenjak ibunya tiada.
Ki Sinduwening mengangguk-angguk dan tersenyum, lalu mengelus kepala puterinya.
"Karena engkau anak baik, menyenangkan, maka cinta kasihku kepadamu juga tumpukundung! Akan tetapi andaikata engkau tidak seperti sekarang ini, andaikata engkau menjadi anak yang binal, jahat, murtad dan tidak mentaatiku, hemm, aku sangsi apakah cinta kasih itu dapat kupertahankan. Ketahuilah anakku. Kita semua, baik selaku orang tua selaku anak, selaku kekasih, selaku suami atau isteri, selaku sahabat dan selanjutnya, kita semua ini mencinta dengan pamrih disenangkan. Seorang ayah atau ibu mencinta anaknya dengan syarat agar anaknya itu menjadi anak baik, penurut, taat, berbakti dan menyayang orang tua. Demikian pula seorang anak terhadap orang tuanya. Dapatkah seorang anak mencinta orang tuanya yang tidak mengurusinya, bahkan menekannya terlalu keras, menyiksanya? Dapatkah seorang suami atau isteri mencinta pasanganya itu kalau pasangannya membencinya, tidak mau melayaninya dan tidak menyenangkan hatinya? Dapatkah seseorang mencinta sahabatnya kalau sahabat itu merugikannya atau mencelakakannya? Nah, semua cinta manusia berpamrih, betapapun murni cinta itu diakuinya. Hanya kasih sayang Allah Yang Maha Kasih sajalah yang yang suci murni. Setiap makhluk, dari yang terkecil sampai yang terbesar, bahkan dari orang yang paling baik sampai yang paling jahat, semua mendapatkan berkahNya. Tanpa adanya berkah Tuhan, tidak satupun makhluk dapat hidup dan menikmati hidupnya."
"Ah, kalau begitu cinta manusia itu palsu, alangkah rendahnya!"
"Bukan palsu, anakku. Memang demikianlah sifat segala sesuatu yang didorong nafsu. Akan tetapi hal itu wajar saja karena memang manusia hidup tidak mungkin dipisahkan dari nafsu. Hanya bedanya,kita memperalat nafsu ataukah sebaliknya kita diperalat nafsu. Kalau kita yang memperalat nafsu, maka nafsu menjadi pendorong kehidupan yang amat penting dan bermanfaat, kalau sebaliknya kita yang diperalat nafsu, kita terseret ke dalam kesesatan dan kesengsaraan menanti kita di ujung sana."
"Wah, percakapan kita tentang cinta ini membuat aku jadi takut untuk mencinta seseorang, bapa."
"Hushh, jangan begitu, nini. Yang kita bicarakan tadi hanya dipandang dari segi nafsu saja, segi buruknya. Akan tetapi di dalam cinta kasih atau lebih tepat kita sebut cinta asmara, yaitu antara pria dan wanita, terdapat sesuatu yang lebih halus, lebih indah, walaupun hanya sekelumit namun merupakan berkah dari keagungan Allah. Perasaan suci dalam cinta asmara ini membuat kita merasa iba, membuat kita ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin membahagiakannya, ingin membelanya."
"Sebetulnya aku sendiri sedang bingung menghadapi dua orang pria yang selalu mengusik hatiku, Bapa. Yang pertama adalah Si Kedok Hitam yang biarpun belum pernah kulihat wajahnya, akan tetapi telah membuat hatiku tertarik sekali kepadanya. Dan yang ke dua adalah""."
Gadis itu tidak melanjutkan, tiba-tiba merasa malu kepada dirinya sendiri, kenapa sebagai seorang dara ia mengaku kepada ayahnya bahwa ia mencinta dua orang pria! Sungguh tidak pantas dan memalukan sekali rasanya, maka ia tidak dapat melanjutkan.
"Hemm, agaknya aku dapat menduganya, Mawar."
Mawarsih mengangkat muka menatap wajah ayahnya.
"Ehh? Benarkah bapa dapat menduganya?"
Ki Sinduwening tersenyum dan mengangguk.
"Pemuda yang menjadi tukang kuda di Ponorogo, bernama Banuaji itu, bukan?"
Kedua pipi itu menjadi merah kembali.
"Ihh, bapa serba tahu saja!" "Mawar, aku adalah ayahmu yang melihat engkau bertumbuh sejak kecil menjadi dewasa. Tentu saja aku mengenal semua keadaan hatimu. Ketika engkau nekat keluar dari tempat persembunyian ketika melihat pemuda itu, dihajar oleh Brantoko, aku sudah tahu bahwa engkau tentu mencinta pemuda itu. Tidak mengherankan kalau engkau tertarik kepada dua orang muda itu karena mereka keduanya pernah menolongmu. Akan tetapi, terus terang saja, pilihanmu itu, kedua-duanya, membuat aku kurang puas, Mawar."
"Bapa""!"
"Si Kedok Hitam memang seorang pemuda pendekar perkasa yang agaknya memiliki aji kesaktian yang bahkan jauh melampui tingkatku dan aku akan merasa bangga dan tenang kalau engkau bersuamikan seorang pria yang demikian saktinya. Akan tetapi sayang, kita belum melihat wajahnya dan tidak tahu siapa dia! Adapun pemuda kedua, Banuaji itu. Memang kulihat dia itu tampan dan tabah, pemberani dan setia sehingga biar disiksapun tidak mau mengkhianatimu. Akan tetapi, aku kecewa karena dia hanyalah seorang pemuda biasa, yang hanya memiliki keberanian saja, seorang pemuda yang lemah dan tidak memiliki kedigdayaan. Bagaimana seorang suami seperti dia itu akan mampu melindungimu?"
"Agaknya tidak ada seorangpun di dunia ini yang tanpa kekurangan, bapa. Setiap manusia tentu ada kelebihan atau kekurangan masing-masing. Bagaimana mungkin kita mengharapkan dapat bertemu seseorang yang sempurna?"
"Aku mengerti, dan bukan itu maksudku. Akupun tidak gila untuk menuntut seorang calon mantu yang sempurna. Akan tetapi, kita harus bisa mendapatkan yang sebaiknya untukmu. Kita belum yakin siapa di antara kedua pamuda itu yang mencintamu, kalau kita boleh katakan Si Kedok Hitam seorang pemuda. Karena itu, kalau engkau setuju, bapamu ini akan mengadakan sayembara, yaitu menurut syarat kita semula. Kita mengadakan sayembara bahwa siapa yang mampu mengalahkan engkau dan aku, dialah yang pantas menjadi suamimu. Nah, kalau sayembara itu kita siarkan, tentu akan terdengar pula oleh Si Kedok Hitam dan Banuaji, dan kalau mereka berdua benar mencintamu, tentu mereka akan datang mengikuti sayembara. Bagaimana pendapatmu?"
Mawarsih merasa setuju. Kiranya itu hanya merupakan satu cara terbaik untuk menarik perhatian dua orang pria yang dirindukannya itu. Kalau yang muncul pria lain, ia dan ayahnya akan mampu menolak mereka dan mengalahkan mereka.
"Terserah kepada bapa saja."
Katanya dan iapun lari meninggalkan ayahnya, memasuki kamarnya, dikejar suara tawa ayahnya. Karena keberangkatan pasukan Mataram menyerang Ponorogo masih tiga bulan lagi, mananti kalau musim hujan reda dan menanti penyusunan barisan yang tangguh. Ki Sinduwening lalu menyiarkan pengumuman sayembaranya.
Senja yang indah. Matahari sudah tenggelam di balik bukit di barat, akan tetapi sinarnya masih mengakibatkan kebakaran di langit barat. Semua nampak merah kekuningan seolah terpulas warna warna emas. Burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka. Para penggembala ternak menggiring kerbau dan sapi mereka kembali ke kandang. Para petani memanggul pacul beriringan melangkah santai pulang ke dusun. Pohon-pohon nampak tenang, agaknya sudah siap untuk menyambut datangnya malam, di mana mereka tenggelam dalam kegelapan.
Azan magrib terdengar mengemandang dari sebuah langgar di dusun itu, dan mereka yang biasa melakukan sholat sudah memasuki ruangan sembahyang di rumah masing-masing untuk melakukan kewajiban berbakti kepada Yang Maha Kuasa dengan sembahyang. Maghrib telah lewat dan sinar kemerahan yang ditinggalkan matahari mulai memudar. Suasana sunyi karena orang-orang telah memasuki rumah masing-masing, kerbau dan sapi pulang ke kandang, burung-burung pulang ke sarang. Semua menyambut datangnya malam.
Pendekar Cengeng Karya Kho Ping Hoo Pusaka Gua Siluman Karya Kho Ping Hoo Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo