Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 11


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 11



Dian-dian mulai dinyalakan. Akan tetapi, di dalam kesunyian yang syahdu itu, tiba-tiba terdengar suara merdu seorang wanita yang menembangkan sebuah kidung Sekar Pangkur. Suaranya lembut dan merdu sekali, dan dari alunan suaranya, dari lekuk dan lengkung suaranya di antara nada-nada yang indah, dapat diduga bahwa penembang tentu seorang yang ahli dalan kesenian itu. Katakatanya jelas walaupun suara itu tidak dikeluarkan sepunuhnya, cengkoknya, kembangannya, naik turunnya nada dengan lengkungnya yang khas, demikian serasi dan seolah mengelus sanubari.

   "Nging sisiping tapa-brata tyang tapa ingkang tansah anduluri hardaning hawa nafsu katarik ing rubeda sasawangan kang anuntun lampah dudu sayekti dadya angkara pamurunging capta sening."

   Kidung itu sedemikian indah dan mengelus sanubari sehingga setelah tembang itu selesai, suasana terasa hening dan syahdu, dan banyak orang dusun Ngampil dekat Sumoroto diamdiam mengharapkan agar penembangnya melanjutkan kidung itu. Mereka semua tahu siapa yang menembang itu dan setiap orang mengaguminya. Akan tetapi, agaknya kidung itu hanya terhenti sampai di situ. Dan di belakang sebuah pondok sederhana, menghadap ke kebun jagung, Suminten duduk di bangku bambu, berhadapan dengan Bargowo yang duduk di atas sebuh batu besar.

   "Alangkah indahnya dan merdunya suaramu, Suminten,"

   Kata pria itu, sambil memandang penuh kagum. Cuaca di luar sudah remeng, akan tetapi di atas mereka tergantung sebuah lampu dan sinar lampu yang lemah tepat menerangi wajah gadis itu.

   "Kakang Bargowo, harap jangan terlalu sering memujiku, nanti membuat aku ketagihan dan kalau sekali waktu tidak dipuji, akan mendatangkan perasaan kecewa dan duka."

   Kata Suminten sambil tersenyum. Manis sekali dara bekas ledek Pacitan ini kalau tersenyum.

   (Lanjut ke Jilid 11)

   Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 11

   "Apa salahnya? Biar aku akan memujimu terus sampai kiamat! Memang suaramu indah, Suminten dan kidung tadi, lagunya Sekar Pangkur, bukan? Kata-katanya demikian indahnya. Dari mana engkau mempelajarinya?"

   "Kidung itu hanya hafalan, kakangmas, sebagai seorang penyanyi, aku harus hafal banyak macam kidung. Yang tadi adalah kidung Sekar Pangkur Arjuna Wiwaha."

   "Arjuna Wiwaha? Aku pernah mendengar kisah itu, yang kadang disebut kisah Arjuna Mintaraga. Nimas, apakah andika mengerti arti dari kidung yang indah tadi?"

   Suminten menundukkan mukannya, agak tersipu dan menggeleng kepalanya.

   "Aku hanya hafal akan kata-katanya saja, kakangmas. Siapa yang akan mengajakku memahami arti katakata yang amat mendalam itu?"

   Bargowo menghela napas panjang dan tersenyum.

   "Arti kidung itu memang mendalam, tidak mengherankan kalau andika tidak mengerti artinya, Suminten. Nah, aku akan mencoba menjelaskan artinya kepadamu. Arti kidung itu seperti ini kurang lebih."

   Bargowo lalu mengartikan kidung Sekar Pangkur tadi.

   "Tetapi Keliru tapa-brata adalah Jika orang bertapa yang selalu membiarkan hawa nafsu merajalela tertarik oleh godaan penglihatan yang membimbing ke jalan sesat jelas menjadikan angkara murka membatalkan kejernihan batin"

   "Nah, begitulah kira-kira kidung yang kau tembangkan tadi, Suminten."

   Gadis ayu itu memandang kagum.

   "Wah, kiranya demikian mendalam, kakangmas. Aku hanyalah seorang ledek dusun yang bodoh, bagaimana mungkin dapat mengerti hal yang muluk-muluk itu?"

   "Suminten, engkau selalu merendahkan dirimu. Bagiku engkau bagaikan seorang dewi khayangan. Engkau cantik jelita lahir batin. Engkau cantik, kalau menari seperti Dewi Supraba, dan suaramu merdu. Dan di samping keindahan lahiriah itu, aku tahu bahwa engkau berwatak lembut, bersusila, baik budi dan"".."

   "Ahhh""

   Cukuplah, kakangmas. Kalau andika lanjutkan, bisa aku melambung ke awan-awan dan meletus di sana".."

   Gadis itu tertawa menutupi mulutnya dan Bargowo juga tertawa.

   "Suminten, agaknya saat ini merupakan saat yang paling tepat bagiku untuk menyatakan perasaan hatiku padamu."

   Melihat keseriusan pada suara dan tatapan mata pria itu, Suminten agak gemetar.

   "Apa".. apa maksudmu, kakangmas Bargowo?"

   "Maksudku, aku melamarmu, Suminten. Aku ingin engkau menjadi isteriku, hidup bersamaku sebagai suami isteri sampai selamanya."

   Suminten terbelalak. Ia telah ditolong oleh kakak beradik, yaitu Santiko dan Bargowo dan keduanya amat baik kepadanya. Bukan saja mereka telah menyelamatkan dari tangan Ganjur yang kemudian tewas di tangan mereka. Bukan hanya sampai di situ kakak beradik itu menolongnya, akan tetapi karena khawatir akan gangguan kawan-kawan Ganjur, kakak beradik itu mengajaknya untuk ikut dengan mereka yang memimpin perkumpulan Dayatirta. Dan kini mereka tinggal di dusun Ngampil. Ia dan bibinya, yaitu bibi Warsinah, diberi tempat tinggal di pondok sederhana itu.

   Sikap kakak beradik itu terhadap dirinya baik, ramah dan sopan dan mereka sudah bergaul akrab. Dan seperti sering dilakukan oleh kakak beradik itu, senja hari itu Bargowo datang berkunjung dan mereka bercakap-cakap di belakang pondok. Tak disangkanya sama sekali bahwa Bargowo malam itu akan meminangnya! Dan hal ini memang selalu menjadi harapan hatinya! Diam-diam Suminten telah jatuh hati kepada Bargowo yang lembut, tampan dan menjadi penolong utamanya itu.

   "Kakangmas Bargowo,"

   Katanya lirih sambil menundukkan mukanya.

   "Aku". aku bukan merendahkan diri, akan tetapi kenyataannya, aku hanyalah seorang ledek"""

   "Sekarang tidak lagi, nimas!" """.. yaah, bekas ledek dusun saja yang bodoh. Andika seorang ksatria yang akan mudah memperoleh jodoh seorang puteri bangsawan, kenapa andika meminangku""."

   "Nimas Suminten, kau bertanya kenapa aku meminangmu? Karena aku cinta padamu, Suminten. Aku cinta padamu!"

   Kepala itu semakin menunduk dan kedua pundak itu terguncang sediki, terdengar isak tertahan.

   "Ehh? Kenapa, Suminten? Engkau""

   Engkau menangis?"

   Tanya Bargowo khawatir kalaukalau dia menyinggung hati gadis itu, lebih khawatir lagi kalau-kalau Suminten akan menolak cintanya.

   """""..sudah"". sudah lama aku"""

   Menanti ucapanmu itu""."

   Bargowo terbelalak, lalu bangkit dan melangkah menghampiri.

   "Apa""..? Jadi kau"".. kau menerima pinanganku, Suminten?"

   Dia duduk di dekat gadis itu, di atas bangku bambu. Suminten menyusut air matanya dan mengangguk, lalu memberanikan diri mengangkat muka memandang, bibirnya tersenyum akan tetapi matanya mengandung air mata, lalu mengangguk.

   "Aku".. akan berbahagia sekali kakangmas"""

   "Suminten""

   Pujaan hatiku, dewiku""..!"

   Bargowo mendekap kepala gadis itu ke dadanya. Dua orang muda yang sedang asyik-masyuk itu sama sekali tidak tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sepasang mata yang mencorong, mengintai dari kegelapan. Sinar mata itu semakin berapi-api, akan tetapi kemudian lenyap di balik semak-semak itu. Pada keesokan harinya, Suminten agak kesingan bangun dari tidurnya sehingga bibinya sampai menggugahnya.

   "Minten"".. Minten, bangun! Matahari telah sejak tadi muncul dan engkau masih juga belum bangun!"

   Bibi Warsinah sengaja membuka jendela kamar itu dan sinar matahari pagi menyorot masuk, membuat Suminten menggeliat seperti seekor kucing dan ia menggosok-gosok mata dengan punggung tangan karena silau.

   "Wah, sudah sesiang ini? Maaf, bibi, tidurku nyenyak sekali. Belum pernah aku tertidur seperti tadi!"

   Kata gadis itu dengan senyum bahagia karena teringat akan peristiwa semalam dan peristiwa itulah yang membuatnya begitu enak tidur. Bibinya tersenyum simpul. Kau kira aku tidak tahu, katanya dalam hati.

   "Hemm, agaknya engkau dibuai mimpi indah. Sudahlah, cepat cuci muka dan berganti pakaian, itu di luar sudah ada anakmas Santiko menantimu."

   Sepasang mata itu terbelalak.

   "Kakangmas Santiko? Sepagi ini dia sudah datang berkunjung?"

   Hatinya kecewa karena bukan Santiko yang diharapkan berkunjung sepagi itu, melainkan kekasih hatinya, Bargowo.

   "Cepatlah, jangan biarkan dia terlalu dia terlalu lama menanti. Dia agaknya membawa keperluan penting sekali pagi ini, wajahnya nampak begitu sungguh-sungguh, dan aku merasa takut menghadapinya."

   Suminten turun dari pembaringan dan tersenyum lebar. Santiko memang beda dengan Bargowo. Kalau Bargowo lembut dan tampan, Santiko kasar dan keras, jujur dan brewokan, tinggi besar seperti Werkudoro. Namun, hatinya sama baiknya dengan Bargowo, ini ia tahu benar, maka ia merasa geli mengapa bibinya takut menghadapi Santiko yang demikian baik hati. Ia setengah berlari menuju ke kamar mandi, membersihkan badan lalu bertukar pakaian dan cepat membereskan rambutnya yang awut-awutan. Suminten tidak seperti dahulu kalau hendak menari, selalu merias diri dengan cermat. Sekarang ia sederhana sekali, sama sekali tidak pesolek dan mengutamakan kebersihan. Namun hal ini tidak mengurangi daya tariknya, bahkan ia nampak selalu segar dan asli, bagaikan setangkai bunga yang mekar di waktu pagi, masih dihias butir-butir embun seperti mutiara.

   Santiko terpesona ketika melihat Suminten keluar dari pintu dalam, diikuti Bibi Warsinah. Sejak pertama kali bertemu, hati perjaka yang kokoh dan keras ini sudah bertekuk lutut dan Santiko sudah tergila-gila kapada Suminten. Namun, perasaannya sebagai seorang pendekar selalu mengekangnya untuk menyatakan isi hatinya. Dia khawatir kalau-kalau pernyataan cintanya disalahartikan oleh Suminten, takut disangka dia menolong gadis itu karena mempunyai niat lain! Itulah sebabnya, sampai sekarang dia mengekang perasaannya dan pagi ini, setelah semalam menyaksikan adegan yang membuat hatinya panas terbakar antara Suminten dan Bargowo, dia mengambil keputusan untuk bertindak!

   "Kakangmas Santiko, maafkan kalau aku terlambat menyambut kedatanganmu. Ada keperluan apakah yang membuat kakangmas sepagi ini datang berkunjung?"

   Tanya Suminten dengan sikap wajar dan lembut, ramah seperti biasa. Akan tetapi, benar seperti dikatakan bibinya, Santiko bersikap berbeda dari biasanya. Tidak ada senyum di balik jenggotnya yang lebat dan sikapnya kaku, suaranya juga agak ketus.

   "Duduklah, Suminten, dan andika juga, Bibi Warsinah. Aku datang untuk membicarakan urusan penting sekali dengan kalian."

   Sungguh tidak biasa ini, pikir Suminten. Biasanya, Santiko hanya ingin bicara berdua saja dengannya, dan Bibi Warsinah tidak pernah berani mengganggunya atau mencampuri percakapan mereka. Ada peristiwa apakah? Apakah perang telah bernyala lagi seperti yang pernah ia dengar dari kakak beradik itu bahwa perang belum selesai dengan kekalahan pasukan Mataram, bahkan pasti terjadi perang yang lebih besar lagi? Suminten dan bibinya duduk dan gadis itu menatap wajah Santiko. Jelas nampak bahwa wajah itu risau, kedua mata yang lebar dan bersinar tajam itu agak kemerahan seperti mata orang yang kurang tidur.

   "Kakangmas, ada terjadi apakah? Engkau kelihatan risau"""

   Kata Suminten penuh perhatian dan suara ini menyentuh hati Santiko. Seorang gadis yang baik, baik sekali, pikirnya. Santiko adalah seorang laki-laki yang jantan, yang tidak pernah mengenal rasa takut, tabah menghadapi bahaya apapun. Akan tetapi sekarang, berhadapan dengan Suminten, gadis berusia delapan belas tahun yang mungil dan lembut itu, jantungnya berdebar tegang, tangannya gemetar, dan lidahnya terasa kelu.

   "Begini"""

   Diajeng Suminten".."

   Dia tergagap lagi, baru sekarang dia menyebut gadis itu diajeng, sebutan yang amat mesra sehingga Suminten juga mengangkat alis dan memandang heran.

   "Sebaiknya kutujukan saja kepada Bibi Warsinah. Bibi, karena andika merupakan pengganti orang tua dan wali dari Suminten, maka kepada bibilah kusampaikan maksud hatiku ini. Aku"". aku melamar Suminten untuk menjadi isteriku!"

   "Bibi Warsinah tersenyum, dan Suminten terbelalak. Mereka tidak mampu menjawab. Bibi Warsinah tentu saja tidak berani mengambil keputusan dan menyerahkan keputusannya kepada Suminten, sedangkan Suminten tidak mampu menjawab karena baru semalam ia menyerahkan cintanya kepada Bargowo!

   "Bagaimana, Bibi? Diterimakah lamaranku, atau ditolak?"

   Timbul ketegasannya kembali setelah Santiko dapat menenangkan hatinya dan sesuai dengan wataknya, dia tidak berteletele.

   "Anakmas Santiko, bagaimana aku dapat menjawab? Sebaiknya, hal itu ditanyakan kepada Suminten sendiri karena ialah yang berhak menentukan jawabannya,"

   Kata Bibi Warsinah mengelak. Santiko memandang kepada gadis itu. Sejenak pandang mata bertemu dan ia bertaut, akan tetapi Suminten lalu menundukkan mukanya.

   "Bagaimana, diajeng Suminten? Apakah aku cukup berharga untuk menjadi suamimu? Ataukah engkau tidak mau menerima cintaku?"

   Bukan main pemuda ini, pikir Suminten. Biarpun Bargowo juga menyatakan cintanya dengan jujur, namun tidak sekeras Santiko yang menghendaki kepastian seketika. Diterima atau ditolak!

   "Kakangmas Santiko, aku menerima budi yang berlimpah darimu. Engkau seorang ksatria perkasa yang berbudi mulia, sedangkan aku hanya seorang ledek dusun yang miskin dan bapa, bahkan yatim piatu. Bagaimana aku berani menganggap bahwa kakangmas tidak cukup berharga untuk menjadi suamiku. Akulah yang terlampau rendah bagimu, dan"""

   "Jadi engkau tidak menolak? Engkau menerima pinanganku?"

   Santiko memotong tegas. Suminten menggeleng kepala dan menghela napas panjang, hatinya risau sekali, dipenuhi kegelisahan.

   "Sungguh sayang sekali, kakangmas Santiko. Baru saja malam tadi aku telah menerima pinangan kakangmas Bargowo".."

   Santiko tidak terkejut, akan tetapi marah.

   "Hemm, apakah Bargowo sudah mengajukan lamaran secara resmi kepada Bibi Warsinah? Bibi, apakah adikku itu sudah meminang Suminten kepadamu?"

   Bibi Warsinah menggelang kepalanya

   "Belum, anakmas."

   "Kalau begitu, pinangannya itu belum sah? Kalau begitu, berarti aku yang lebih dulu meminangmu, diajeng Suminten!"

   "Tapi".tapi".. kakangmas Santiko"""

   "Tapi apa lagi, diajeng Suminten? Aku lebih berhak karena aku yang lebih dahulu meminangmu. Juga aku lebih tua, aku sebagai kakaknya yang pantas untuk menikah lebih dulu. Kecuali, tentu saja, kalau engkau tidak suka menjadi isteriku, aku tidak akan dapat memaksamu."

   Suminten tidak mampu menjawab dan tiba-tiba ia menangis, sesenggukan. Bibinya mendekati dan merangkul, menyuruhnya tenang.

   "Hemm, kenapa menangis diajeng Suminten? Dengarlah baik-baik. Kalau engkau tidak menolak cintaku, kalau engkau suka menjadi isteri maka akulah yang berhak menikahimu, karena aku yang lebih dahulu meninangmu, dan di antara kami berdua, aku yang lebih tua sehingga aku yang lebih pantas untuk menikah lebih dulu. Kalau engkau tidak menolak, engkau akan menjadi isteriku. Akan tetapi kalau sebaliknya engkau menolak pinanganku, kaalu engkau tidak suka menjadi isteriku, maka aku akan pergi dan tidak akan memaksamu."

   Tentu saja amat sukar bagi Suminten untuk menjawab.

   Kalau ia mengatakan menolak, hal itu selain tidak sesuai dengan suara hatinya yang tentu saja ingin membalas budi, ia tidak ingin menyinggung hati ksatria ini yang tentu akan merasa terhina oleh penolakannya. Kalau ia menyatakan menerima, lalu bagaimana dengan Bargowo yang dicintanya? Aneh sekali, dalam keadaan seperti itu, ia teringat akan pengalaman-pengalamannya yang lalu ketika ia masih menjadi ledek. Betapa seringnya ia dihadapkan dengan keadaan semacam ini, menjadi rebutan dan persaingan diantara dua atau bahkan lebih pria-pria yang ingin berjoget dengannya. Akan tetapi sekali ini, yang memperebutkan dirinya adalah dua orang ksatria yang dipujanya, dan mereka bukan sekedar ingin berjoget, hal yang dapat dilakukan secara bergantian, melainkan memilikinya untuk diri sendiri, tidak boleh berbagi dengan orang lain, sebagai isteri.

   "Suminten jawablah, aku menghendaki keputusan sekarang juga!"

   Kata Santiko, mendesak, setelah melihat gadis itu diam dan nampak ragu dan bimbang.

   "Kakangmas Santiko, betapa sukarnya mengambil keputusan. Sungguh mati, bukan aku menolak pinanganmu, kakangmas, akan tetapi bagaimana aku dapat menerimanya kalau malam tadi aku sudah menerima pinangan kakangmas Bargowo? Biarpun dia belum melamar kepada bibi, akan tetapi dia sudah melamar langsung kepadaku dan aku sudah menerimanya. Aku tidak mungkin mengingkari janji dan menyangkal kata-kata sendiri. Maafkan aku, kakangmas."

   "Jadi engkau menolak lamaranku?"

   Ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang galak sehingga Suminten dan Bibi Warsinah merasa takut.

   Wajah Santiko menjadi merah dan sinar matanya jelas menunjukkan kemarahan. Pada saat itu, terdengar orang berkata dari luar.

   "Kakang Santiko, cinta tidak dapat dipaksakan, dan diajeng Suminten mencintaku. Kami saling mencinta dan telah berjanji akan manjadi suami isteri."

   Bargowo muncul dan Santiko memandang kepada adiknya itu dengan mata berang. Dia bukan hanya merasa kecewa dan iri hati, akan tetapi juga merasa malu karena di depan Suminten dan Bibi Warsinah, dia merasa dikalahkan oleh adiknya sendiri. Dia akan menjadi buah tertawaan mereka, pikirnya dengan hati menjadi semakin panas.

   "Bargowo!"

   Teriaknya sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka adiknya itu.

   "Engkau memang berwatak pengkhianat! Di dalam hatimu engkau condong membela Mataram dan mengkhianati Ponorogo. Dan sekarang biarpun engkau tentu dapat mengetahui bahwa aku mencinta diajeng Suminten, engkau telah mendahuluiku, berarti telah mengkhianati kakakmu sendiri! Mulai sekarang engkau bukan adikku lagi!"

   Setelah berkata demikian, Santiko keluar dari pondok itu dengan langkah lebar.

   "Kakang Santiko""..!"

   Bargowo memanggil, akan tetapi Santiko tidak menoleh dan tahulah Bargowo bahwa dalam keadaan marah seperti itu, kakaknya sukar diajak bicara baik-baik maka dia akan membiarkan sampai kemarahan kakaknya mereda. Dia hanya menghela napas ketika Suminten menghampirinya sambil menangis.

   "Kakangmas, bagaimana ini sebaiknya?"

   Katanya di antara isak tangisnya.

   "Anakmas Bargowo, saya takut melihat anakmas Santiko. Di marah sekali."

   Kata Bibi Warsinah.

   "Kakangmas, aku khawatir sekali. Dia kelihatan amat marah kepadamu."

   Kata pula Suminten.

   "Jangan khawatir, biarkan aku yang akan menghadapi kakang Santiko. Kalau hatinya sudah dingin, aku akan bicara dengan dia, tentu dia mau mengerti. Sekarang yang penting kita bicarakan kepastian hari pernikahan kita. Setelah timbul urusan dengan kakang Santiko, memang sebaiknya kalau kita cepat menikah, diajeng Suminten."

   Gadis itu menarik napas panjang, merasa agak tenang melihat sikap kekasihnya yang tenang.

   "Terserah kepadamu, kakangmas. Kuharap saja tidak terjadi hal-hal yang buruk sebagai akibat peristiwa dengan kakangmas Santiko tadi."

   Akan tetapi ternyata Santiko tetap marah, bahkan tidak menanggapi kalau Bargowo mengajaknya bicara, dan selalu menjauhkan diri. Melihat ini, Bargowo juga mendiamkan saja dan mengurus pernikahannya dengan Suminten yang dirayakan secara sederhana, hanya dihadiri para anggota Dayatirta dan para penghuni dusun Ngampil. Dan pada hari pernikahan itu, sepekan semenjak Santiko melamar Suminten, Santiko tidak hadir, juga belasan orang anggota Dayatirta. Ternyata Santiko bersama belasan orang kawannya pergi meninggalkan dusun Ngampil tanpa pamit. Mendengar ini Suminten merasa khawatir, akan tetapi suaminya menghiburnya.

   "Biarlah, agaknya memang bagitu yang terbaik. Sejak kecil memang watak kakang Santiko keras dan selalu berlawanan dengan aku. Kami saling menyayang, akan tetapi juga saling bertentangan karena perbedaan pendapat dalam hidup. Tidak perlu kaususahkan dan risaukan, diajeng."

   Dan semenjak hari itu, mereka menjadi suami isteri yang saling mencinta. Bargowo dan kawan-kawannya yang berjumlah kurang lebih tiga puluh orang masih tetap melakukan tugas sebagai pendekar yang menentang kejahatan dan melindungi rakyat dari ganguan para penjahat. Nama Dayatirta menjadi terkenal di kalangan rakyat semenjak terjadi parang dengan Mataram itu, karena sudah banyak rakyat yang mereka tolong. Para penjahatpun merasa jerih berurusan dperkumpulan Dayatirta yang memiliki anggota-anggota yang tangguh.

   Dengan restu Sang Prabu Hanyokrowati, Ki Sinduwening membuka sayembara pemilihan calon suami untuk puterinya. Mawarsih. Karena sayembara ini diadakan secara terbuka dan resmi, apa lagi mendapat restu dari Sribaginda sendiri, maka orangpun berbondong-bondong datang pada hari yang telah ditentukan, memasuki pekarangan yang luas dari rumah Ki Sinduwening. Di pekarangan itu telah dibangun sebuah panggung yang kokoh kuat, dan di bawah panggung, di pakarangan itu disediakan bangku-bangku yang banyak jumlahnya. Terutama sekali para pria muda berdatangan, kalaupun tidak hendak memasuki sayembara, tentu untuk menonton karena semua orang dapat menduga bahwa dalam sayembara memilih calon suami yang syaratnya mengadu kedigdayaan itu, tentu akan terjadi pertandingan yang ramai dan seru.

   Kiranya Ki Sinduwening tidak akan berani lancang mohon restu Sribaginda untuk urusan memilih mantu kalau saja di balik pemilihan calon mantu itu tidak ada maksud lain yang berkenan di hati Sribaginda. Dalam sayembara itu tentu akan berdatangan orang-orang muda yang digdaya, mengingat bahwa sayembara itu diadakan dengan mengadu aji kesaktian. Dan pada waktu itu, Mataram sedang menyusun kekuatan untuk melakukan penyerbuan ke timur, maka tentu saja tenaga para muda yang digdaya amat dibutuhkan. Maka, sayembara memilih jodoh ini mempunyai maksud lain, ialah mengumpulkan orang-orang yang berkepandaian untuk ditarik dan dibujuk membantu dan memperkuat pasukan Mataram.

   Setelah matahari naik agak tinggi, pekarangan itu telah dipenuhi pendatang, dan beberapa orang perajurit keamanan yang berjaga di situ oleh Ki Sinduwening ditugaskan untuk menerima pendaftaran mereka yang ingin memasuki sayembara. Sebetulnya, semua orang sudah tahu belaka siapa Mawarsih, tahu bahwa gadis yang mengadakan sayembara memilih jodoh itu adalah seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, memiliki kegidayaan, puteri Ki Sinduwening yang menjadi pembantu Sribaginda yang dipercaya. Siapa yang berhasil memenangkan sayembara itu, berarti akan memperoleh seorang isteri yang cantik dan perkasa, juga menjadi mantu seorang yang memiliki kedudukan tinggi dan nama besar! Banyak sekali pemuda yang tentu saja ingin sekali memperisteri Mawarsih, akan tetapi mereka ragu dan jerih untuk dapat memenangkan gadis itu, apa lagi harus mencari wali yang akan mampu menandingi Ki Siduwening.

   Banyak yang mundur teratur menghadapi syarat yang bagi mereka dianggap terlalu berat itu. Biarpun demikian, banyak pula yang ingin cobacoba, andaikata akan kalahpun, setidaknya mereka sudah memperlihatkan diri untuk menarik perhatian sang dara. Maka, ketika akhirnya orang yang dinanti-nanti, yaitu Mawarsih bersama Ki Sinduwening keluar dan naik ke panggung, disambut sorak sorai para penonton, yang ikut mendaftarkan terdapat dua belas calon! Para penonton, terutama para calon menujukan pandang mata mereka semua kepada Mawarsih. Banyak di antara mereka yang menelan ludah,dan mereka yang ragu-ragu dan jerih, yang tidak berani mengajukan diri sebagai calon walaupun hati mereka tertarik, kini merasa menyesal sekali mengapa mereka tidak berani mendaftarkan diri.

   Mawarsih nampak cantik jelita dan anggun sekali pagi itu. Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu halus mengkilap, digelung ke belakang dengan sederhana dan karena ia menghadapi sayembara di mana ia akan bertanding pencak silat, gelung rambutnya diperkuat tusuk sanggul dan diikat agar gelung itu tidak sampai terlepas nanti. Sinom atau anak rambut di dahinya masih melingkar lingkar tipis. Alis di matanya juga hitam kecil dan panjang melengkung seperti di lukis. Sepasang matanya bersinar-sinar tajam seperti bintang kejora. Hidungnya kecil mancung dan bibirnya merah basah dipermanis lekuk di pipi kanan dan tahi lalat kecil di pipi kiri. Kedua pipinya, di bawah tepi mata, kemerahan tanpa pemerah.

   Tubuhnya sintal dan kenyal, padat, tubuh seorang dara yang sedang mekar, kulitnya kuning mulus. Pakaiannya serba hitam dan ringkas, kedua lengan baju tergulung sampai ke siku, dan kainnya juga tersingkap sampai ke betis agar membuat gerakannya mudah dan leluasa. Betis dan lengan yang nampak putih kuning mulus itu menambah daya tariknya. Semua yang hadir bangkit berdiri tanpa diperintah ketika ayah dan puterinya ini muncul, Ki Sinduwening membungkuk ke semua penjuru, lalu mengangkat kedua tangan memberi salam kepada para tamunya dan mempersilakan mereka semua duduk kembali. Dia dan puterinya juga duduk di bangku yang sudah disediakan di atas panggung.

   
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kemudian, Ki Sinduwening berdiri kembali dan mengangkat kedua tangan memberi isarat kepada semua orang agar menaruh perhatian dan tidak gaduh karena suasana seperti dalam pasar saja ketika semua orang berbisik dan saling bicara memuji kecantika Mawarsih. Semua orang berdiam dan Ki Sinduwening lalu bicara dengan suaranya yang mantap dan tenang. Dia mengamati sehelai catatan yang tadi diterimanya dari penjaga yang mencatat nama dua belas orang calon.

   "Saudara sekalian! Sambutan ini kami tujukan kepada dua belas orang pemuda yang sudah mendaftarkan diri sebagai calon, juga kepada para penonton yang menjadi saksi sayembara ini."

   Ki Sinduwening lalu menjelaskan tentang peraturan sayembara.

   Karena yang mencalon ada dua belas orang, maka akan diadakan undian pertama untuk menentu- kan siapa yang lawan siapa. Enam orang pemenangnya akan melakukan pertandingan ke dua, dan kembali diadakan undian untuk menentukan lawan. Pemenang dari pertandingan babak ke dua ini, tinggal tiga orang, akan ditambah dengan Mawarsih, menjadi empat orang dan diundi untuk menentukan lawan. Pemenangnya, tinggal dua orang, akan dipertandingkan dan pemenangnya merupakan calon terkuat untuk dapat diterima sebagai jodoh Mawarsih. Yang akan menentukan adalah wali dari pemenang itu, yang harus mampu menandingi dan mengalahkan Ki Sinduwening.

   "Saudara sekalian, sayembara ini diadakan dengan niat yang baik, bukan untuk mencari permusuhan, oleh karena itu, pertandingan ini dilakukan dengan tangan kosong, tanpa senjata, dan akan diiringi gamelan agar para peserta tidak lupa bahwa pertandingan ini merupakan perkenalan persahabatan, bukan permusuhan. Diharapkan agar tidak ada yang sampai terluka parah, apa lagi sampai tewas. Akan tetapi kalau ada yang terluka atau bahkan tewas karena tidak di sengaja, tidak boleh ada yang mendendam. Kalau ada calon yang tidak setuju dengan peraturan ini, sebaiknya mundur sebelum memulai."

   Tepuk tangan yang menyambut ucapan itu menandakan bahwa tidak ada yang tidak setuju karena peraturan itu dianggap sudah cukup adil. Ki Sinduwening kembali memberi isarat agar semua orang tenang, kemudian dia berkata lagi.

   "Sayembara ini juga dimaksudkan untuk berkenalan dan mencari saudara-saudara yang berilmu dan tangguh. Sribaginda Raja sendiri yang mengharapkan agar para saudara yang gagal dalam sayembara ini, suka menyumbang tenaga dan kepandaian mereka untuk memperkuat pasukan Mataram, membantu kerajaan untuk menundukkan daerah-daerah yang memberontak demi keutuhan dan persatuan seluruh wilayah Mataram. Dengan demikian, kita semua akan tetap menjadi saudara, saudara seperjuangan! Sekarang, kami akan memanggil nama para calon dan diharapkan agar nama yang dipanggil suka naik ke panggung."

   Dengan suara lantang, Ki Sinduwening lalu memanggil nama-nama para pengikut sayembara, didengarkan dengan penuh perhatian oleh semua orang, terutama sekali oleh Mawarsih.

   Dapat dibayangkan betapa kecewa rasa hati Mawarsih ketika nama-nama itu disebut, tidak terdapat nama Banuaji, walaupun di dalam hati dia sudah tahu bahwa andaikata Banuaji hadir pula di antara penonton, pemuda itu pasti tidak akan berani mencalonkan diri karena dia hanya memiliki keberanian luar biasa dan kecedikan saja, tidak memiliki kedigdayaan. Mawarsih masih mengharapkan kalau-kalau di antara nama-nama para calon itu terdapat nama asli Si Kedok Hitam. Akan tetapi begaimana ia bisa tahu siapa di antara mereka itu yang menjadi Si Kedok Hitam? Ia masih berharap-harap cemas ketika ia mengamati seorang demi seorang dua belas orang calon yang berdiri di tepi panggung, berderet menghadap kepadanya.

   Mereka itu semua adalah pria-pria muda yang nampak gagah perkasa. Mudah diduga bahwa mereka tentulah orang-orang muda yang memiliki kedigdayaan, karena kalau tidak demikian, siapa berani memasuki sayembara yang syarat bertanding mengadu kedigdayaan itu? Ketika pandang mata Mawarsih bertemu dengan pandang mata seorang di antara mereka, gadis itu merasa ngeri dan jantungnya berdegup kencang, bukan karena kagum atau girang, melainkan kerena gentar. Dia seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, usianya sekitar tiga puluh tahunan. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kekar dan kokoh seperti batu karang, bajunya terbuka di bagian dada, memperlihatkan dada yang bidang dan berotot juga ditumbuhi rambut.

   Wajahnya membuat Mawarsih merasa serem, karena kulit mukanya bopeng, penuh luka bekas cacar. Matanya lebar berotot, hidungnya bengol dan mulutnya besar dengan bibir tebal. Orang ini memang segala-galanya nampak tebal dan kuat, kedua lenganya itu sebesar kaki Mawarsih! Ngeri gadis itu membayangkan dirinya menjadi isteri laki-laki seperti ini. Sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan, Mawarsih sendiri yang melakukan undian pertama. Laki-laki yang mengerikan tadi bernama Malangkoro dan dalam undian itu, dia bertemu di antara dua belas calon yang benama Danur, seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang brewok dan gagah. Danur ini seorang pemuda yang berasal dari Gunung Kidul.

   Gamelan segera ditabuh dan suasana menjadi tegang karena semua orang sudah siap untuk menonton pertandingan sayembara itu, yaitu babak pertama di mana dua belas orang itu diadu dan pemenangnya akan tinggal enam orang. Sesuai dengan nomor urut yang sudah ditentukan sebelumnya, pertendingan pertama dimulai. Dua orang peserta maju dan setelah diberi tanda oleh Ki Sinduwening yang bertindak sendiri sebagai wasit, kedua orang muda itu mulai saling serang dengan seru. Akan tetapi pertandingan ini tidak berlangsung lama. Baru kurang lebih lima belas jurus saja, seorang di antara mereka terkena pukulan pada rahangnya dan diapun roboh pingsan. Dia segera digotong turun dari panggung dan pemenangnya memberi hormat kepada Ki Sinduwening dan dipersilakan turun pula dari atas panggung dan menantikan babak kedua.

   Demikianlah, sepasang demi sepasang diadu dan para pemenangnya duduk berkumpul di bawah panggung. Setiap kali ada yang menang, penonton menyambutnya dengan sorak-sirai. Suasana menjadi meriah ketika para penonton mulai bertaruhan. Gamelan dipukul semakin gencar. Pertandingan terakhir, sesuai dengan nomor urut, adalah antara Malangkoro melawan seorang pemuda jangkung yang mukanya penuh brewok. Birapun pemuda jangkung itu nampak cukup kuat, namun dia agak gentar juga ketika berhadapan dengan raksasa itu di atas panggung. Gamelan dipukul gencar dan Malangkoro tertawa bergelak menghadapi lawannya.

   "Hua-ha-ha-ha! Lebih baik andika mundur saja dan mengaku kalah, kawan, dari pada kesakitan."

   Kata Malangkoro.

   "Hemm, jangan sombong dulu, kawan!"

   Kata si jangkung brewok.

   "Siapa sombong? Kalau aku, Malangkoro, tidak mampu merobohkanmu dalam waktu sepuluh jurus, anggap saja aku kalah!"

   Raksasa itu berkata lantang. Semua orang terkejut. Raksasa yang tidak mereka kenal itu sungguh sombong. Danur, pemuda brewok itu, adalah seorang perajurit yang sudah terkenal kekuatannya. Mungkin saja Malangkoro dapat memangkan pertandingan itu, akan tetapi kurang dari sepuluh jurus?Gila! Orang-orang mulai ramai bertaruh dan kebanyakan condong menjagoi Danur bahwa pemuda itu akan mampu bertahan sampai sepuluh jurus dan dianggap menang! Danur yang merasa dipandang rendah, segera memasang kuda-kuda dengan sikap gagah sekali.

   Dia membuka pasangan, mula-mula kedua kakinya merapat, kedua tangan digerakkan berputar, yang kiri dari atas, yang kanan dari bawah, bertemu di depan dada merupakan sembah, kemudian kedua kakinya terpentang miring menghadapi lawan, tangan kiri menyilang depan perut, tangan kanan diangkat tinggi di atas kepala, bentuk kedua lengan itu melengkung dan jari-jari tangannya terbuka, mukanya yang brewok menunduk akan tetapi kedua matanya mengerling ke depan, ke arah lawan. Dia nampak gagah sekali dan penuh semangat ketika membuka pasangan kuda-kuda ini, membesarkan hati mereka yang menjagoinya dan dia disambut tepuk tangan.

   Malangkoro hanya mengeluarkan suara ha-he-he, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti lawannya, akan tetapi kedua tangannya tiba-tiba meluncur ke depan, dan jari-jari tangan yang panjang besar itu dibuka seperti hendak menangkap.

   "Plakk! Plakk!"

   Danur menangkis dari samping ke arah kedua lengan Malangkoro, akan tetapi betapa kagetnya ketika dia merasa kedua lengannya yang menangkis itu terpental dan terasa nyeri, seolah yang ditangkisnya adalah panggada baja. Dia maklum bahwa raksasa itu kuat sekali, maka dia harus mengandalkan kecepatannya.

   "Hyaaaattt"".!!"

   Dia mengeluarkan seruan nyaring dan kakinya sudah mencuat ke arah muka Malangkoro. Tendangan menyilang itu cepat dan kuat sekali, akan tetapi Malangkoro yang gerakannya lamban itu tidak mengelak, melainkan miringkan mukanya dan menerima tendangan itu dengan pundaknya.

   "Dukkk"".!!"

   Bukan yang kena tendangan yang roboh, melainkan yang menendang terdorong ke belakang dan tentu akan terjengkang kalau saja Danur tidak cepat membuang diri ke samping dan bergulingan.

   "Ha-ha-ha-ha!"

   Malangkoro tertawa dan bertolak pinggang, membuka bajunya bagian depan sehingga dada dan perutnya telanjang penuh rambut. Mawarsih yang sejak tadi menonton penuh perhatian, merasa gentar juga. Raksasa itu sungguh merupakan lawan yang tangguh, pikirnya. Danur meloncat bangun kembali, wajahnya agak merah karena dalam dua gebrakan atau dua jurus itu tadi, jelas bahwa raksasa itu berada di pihak unggul. Akan tetapi masih ada delapan jurusa lagi, pikirnya.

   Kalau aku terus menyerang, tidak memberi kesempatan kepadanya membalas, tentu aku akan mampu bertahan sampai delapan jurus lagi dan menang. Setelah berpikir demikian, dia mempergunakan kesempatan selagi raksasa itu bertolak pinggang dan tertawa-tawa, cepat dia menerjang ke depan dan mengirim pukulan dengan kedua tangan bertubi-tubi ke arah dada dan perut MalangSungguh menakjupkan. Malangkoro sama sekali tidak mengelak atau menangkis, melainkan membiarkan dada dan perutnya menjadi bulan-bulan pukulan kedua tangan Danur. Terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi setiap kali tangannya mengenai dada atau perut raksasa itu, Danur merasa seperti memukul benda dari karet saja, pukulannya membalik dan tangannya terpental sedangkan yang dipukul, jangankan roboh, berkedippun tidak.

   "Ha-ha-ha, boleh kau pilih, kawan. Sesukamu hedak memukul yang mana. Depan atau belakang?"

   Malangkoro lalu membalikkan tubuh membelakangi lawan dengan kedua tangan masih di pinggang. Tentu saja mereka yang menjagoi Malangkoro dalam taruhan, sudah tertawa-tawa gembira. Melihat lagak lawan, wajah Danur menjadi merah sekali dan diapun kini mengerahkan seluruh tenaganya ke dalam tangan kanannya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tangan itu menghantam ke arah punggung yang lebar itu.

   "Desss""!!"

   Hebat sekali hantaman itu dan terdengar suara krek-krek disusul terhuyungnya tubuh Danur yang memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Agaknya tulang-tulang kecil dari tangannya patah-patah ketika bertemu dengan punggung yang oleh pemiliknya dibuat menjadi sekeras baja itu. Sambil tertawa, Malangkoro menggerakkan kakinya menendang dan tubuh Danur melayang ke bawah panggung. Dia kalah sebelum sepuluh jurus. Sorak sorai menggegap gempita menyambut kemenangan Malangkoro yang memang amat mengagumkan itu.

   Mawarsih menyembunyikan kegelisahan hatinya ketika ia mewakili ayahnya membuat undian lagi untuk pertandingan babak ke dua, antara enam orang pemenang itu. Dan diam-diam, lima orang pemenang yang lain mengharap agar mereka tidak bertemu dengan Malangkoro dalam babak ke dua ini. Semua orang juga ngeri menyaksikan sepak terjang Malangkoro. Akan tetapi undian telah dilakukan dan yang menjadi lawan Malangkoro dalam babak ke dua ini adalah seorang pemuda dari Pegunungan Dieng yang bernama Panjalu. Pemuda ini bertubuh sedang dan wajahnya cukup tampan walaupun hidungnya agak pesek.

   Panjalu ini dalam babak pertama tadi juga dapat memenangkan pertandingan dengan mudah sehingga dia termasuk seorang pemuda gemblengan yang cukup digdaya. Akan tetapi, wajahnya menjadi agak pucat dan pandang matanya liar ketika undian menyatakan bahwa lawannya dalam babak ke dua adalah raksasa burik itu. Akan tetapi, urutan pertandingan baginya dalam babak ke dua itu adalah yang terakhir, setelah dua pertandingan mendahuluinya. Pertandingan babak ke dua memang lebih gayeng. Hal ini adalah karena yang bertanding adalah para pemenang babak pertama. Yaitu pemuda-pemuda yang memiliki kedigdayaan.

   Pertandingan pertama dan ke dua berjalan seimbang dan ramai sekali sehingga setelah melalui pertandingan yang seru, muncullah kedua orang pemenangnya. Setelah itu barulah Malangkoro maju, dihadapi Panjalu dan seperti juga tadi, banyak orang condong menjagoi Malangkoro. Ki Sinduwening yang memimpin pertandingan sebagai wasit sejak tadi juga mengamati dengan penuh perhatian seperti puterinya, karena peristiwa itu merupakan peristiwa teramat penting baginya, yaitu memilihkan calon suami untuk anak tunggalnya. Kalau sampai salah pilih! Ngeri dia membayangkan kemungkinan ini. Kini, melihat sepak terjang Malangkoro, hatinya juga diliputi kekhawatiran. Apa lagi dia tahu benar isi hati puterinya.

   Puterinya relah jatuh cinta kepada pemuda pemberani bernama Banuaji itu. Akan tetapi, dalam sayembara seperti ini, bagaimana mungkin Banuaji akan mampu mengikuti? Dan puterinya juga jatuh cinta atau kagum sekali kepada Si Kedok Hitam, ksatria yang selalu menyembunyikan mukanya itu, akan tetapi yang jelas memiliki kedigdayaan hebat. Tentu puterinya mengharapkan kemunculan Si Kedok Hitam, seperti harapannya pula. Akan tetapi, yang manakah di antara mereka ini Si Kedok Hitam, kalau memang orang berahasia itu muncul? Yang jelas, Si Kedok Hitam itu bukan Malangkoro, karena bentuk tubuh Si Kedok Hitam tidaklah sebesar Malangkoro dan hal ini setidaknya melegakan hatinya. Kini Malangkoro berhadapan dengan Panjalu.

   Panjalu tadi telah melihat betapa lawannya ini memiliki tubuh yang kebal. Oleh karena itu, diapun tidak mau membuang tenaga dengan menyerang tubuh yang kebal itu. Dia memiliki gerakan yang gesit dan bagaikan seekor burung sikatan tubuhnya menyambar-nyambar di sekitar tubuh Malangkoro dan dia melancarkan serangan yang ditujukan ke bagian anggota tubuh yang lemah dari lawannya. Yang menjadi sasaran seranganya adalah bawah pusar, tenggorokan, telinga dan mata, juga tengkuk. Dan ternyata seperti yang diduganya. Malangkoro tidak membiarkan bagian-bagian tubuh ini terkena serangan lawan, dan mulailah dia menangkis dan membalas serangan lawan dengan dahsyat.

   Memang hebat sekali gerakan raksasa ini. Setiap kali tangannya menyambar, terdengar angin bersiutan dan lawan sudah merasakan serangan angin lebih dahulu sebelum tangan yang besar itu datang. Panjalu tidak berani menyambut dan dia hanya mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Dan dia gencar menyerang bagian tubuh berbahaya dari lawan. Pertandingan ini memang seru sekali sehingga para penonton bersorak-sorai. Panjalu memiliki gerakan lincah, akan tetapi jelas dia kalah jauh dalam hal tenaga, maka dia selalu menjaga agar jangan sampai dia terkena pukulan. Sampai dua puluh lima jurus terlewat dan masih belum ada yang menang.

   Malangkoro menjadi marah sekali. Lawannya terlampau gesit, seperti kera, sukar disentuh. Tiba-tiba, dia mengeluarkan bentakan yang amat dahsyat sambil membanting kaki. Seluruh panggung tergetar oleh bantingan kaki ini dan bentakan dahsyat itu membuat banyak orang yang hampir terpelanting! Panjalu juga terkejut dan terpengaruh bentakan itu sehingga untuk beberapa detik lamanya, dia tertegun. Yang beberapa detik ini cukuplah bagi Malangkoro. Panjalu sendiri tidak tahu bagaimana terjadinya, tahutahu dia telah terangkat ke atas dan tubuhnya yang dipegang kedua tangan raksasa itu diputarputar. Kemudian, dengan bentakan hebat, Malangkoro melemparkan tubuh Panjalu ke bawah panggung. Tubuh itu terlempar seperti terbang dan menimpa penonton yang berada agak jauh.

   Penonton bersorak dan tentu saja Panjalu yang tidak mampu melanjutkan pertandingan, dianggap kalah mutlak. Kini jumlah pemenang tinggal tiga orang. Pertama adalah Malangkoro, kedua seorang pemuda berusia dua puluh tiga tahun bernama Senggono, seorang perwira pasukan Mataram yang bentuk tubuhnya seperti Gatutkaca, gagah perkasa, sedangkan pemenang ke tiga bernama Jayanto, seorang pemuda berusia dua puluh satu tahun yang berwajah tampan dan lembut gerak-geriknya, namun matanya bersinar tajam. Ktika dengan jantung berdebar tegang Mawarsih hendak mengundi, siapa yang akan saling berhadapan dalam babak ke tiga ini dan siapa pula yang akan menandingnya karena dia sendiri harus terjun di babak ke tiga itu untuk melangkapi jumlah yang ganjil, Malangkoro dengan suara yang lantang berkata kepada Ki Sinduwening.

   "Paman Sinduwening, untuk mempersingkat waktu dan menjaga agar diajeng Mawarsih tidak usah bertanding dua kali, maka saya bersedia untuk sekaligus menghadapi dua orang pemenang ini. Biar mereka maju berdua melawan saya!"

   Tentu saja semua orang tertegun mendengar ucapan lantang ini. Betapa sombongnya Malangkoro! Menantang agar dikeroyok dua! Mendengar ucapan ini, Ki Sinduwening mengerutkan alisnya dan menjawab dengan lantang pula.

   "Peraturan sayembara telah ditentukan sebelumnya dan telah diumumkan, kalau hendak diadakan perubahan, maka hal itu harus disetujui oleh semua orang, yaitu pertama oleh yang mengadakan sayembara, dalam hal ini Mawarsih, ke dua oleh para peserta, yaitu ke dua orang anakmas ini, dan ke tiga harus disetujui oleh penonton!"

   Biarpun di dalam hatinya Ki Sinduwening tentu saja setuju dengan permintaan Malangkoro, namun sebagai seorang senopati yang tangguh perkasa dan adil, dia mengajukan syarat itu.

   "Ha,ha, itu tidak adil sekali, paman. Biar saya tanyakan sekarang juga kepada mereka yang brsangkutan. Diajeng Mawarsih, setujukah andika dengan permintaan saya tadi untuk sekaligus menghadapi dan mengalahkan dua orang peserta pemenang babak ke dua? Setelah saya menang, barulah diajeng maju menandingi saya."

   Mawarsih juga bukan seorang bodoh. Sejak tadi ia merasa ngeri kalau-kalau Malangkoro yang akan keluar sebagai pemenang dalam pertandingan sayembara ini. Kalau Mayangkoro menandingi pengeroyokan dua orang muda itu, lebih banyak harapan raksasa itu akan kalah.

   Mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu lagi iapun mengangguk.

   "Aku setuju."

   "Ha-ha-ha!"

   Malangkoro tertawa gembira lalu menghadapi dua orang pemuda itu.

   "Bagaimana dengan kalian berdua? Berani dan setujukah kalian berdua maju bersama dan mengeroyok aku?"

   Baik Senggono maupun Jayanto memang diam-diam merasa ngeri juga melawan Malangkoro satu lawan satu, kini mendapat kesempatan untuk maju berbareng menghadapi raksasa itu, tentu saja merasa lega.

   "Aku setuju!"

   Kata Senggono.

   "Aku juga setuju!"

   Kata pula Jayanto.

   Sambil tersenyum lebar malangkoro menghadap Ki Sinduwening.

   "Paman Sinduwening, diajeng Mawarsih telah setuju dan dua orang peserta itupun telah setuju."

   "Hemm, masih belum ditanyakan kepada para penonton yang menjadi saksi pertandingan sayembara ini."

   Kata Ki Sinduwening yang kini berdiri di panggung lalu bertanya kepada penonton.

   "Kami minta pendapat para penonton yang menjadi saksi sayembara ini. Setujukah kalian dengan usul Malangkoro itu?"

   Para penonton agaknya juga tidak rela kalau Mawarsih yang demikian cantik jelita akan terjatuh ke tangan seorang raksasa buruk dan kasar seperti Malangkoro. Juga mereka ingin menyaksikan pertandingan yang lebih seru, maka serentak mereka menyatakan persetujuan mereka sambil bersorak-sorai. Ki Sinduwening mengangguk-angguk.

   "Baiklah,"

   Katanya dengan lantang dan hatinya merasa lega.

   "Karena semua pihak setuju, maka diadakan sedikit perubahan dalam babak ke tiga ini. Malangkoro akan menghadapi du orang lawan sekaligus, yaitu anakmas Senggono dan Jayanto. Pemenang pertandingan ini barulah akan menghadapi kami ayah dan anak, satu lawan satu."

   Para penonton bersorak gembira dan Ki Sinduwening membari isarat kepada tiga orang yang hendak bertanding itu untuk maju ke panggung. Sambil tersenyum menyeringai sombong, Malangkoro kini berdiri menghadapi dua orang pemuda itu. Bagaikan seorang raksasa pemuda gagah itu. Bagaikan seorang raksasa berhadapan dengan Sang Gatutkaca dan saudara sepupunya, Sang Abimayu. Gamelan segera ditabuh dengan irama keras dan panas, karena para penabuh juga merasa gembira dan penuh semangat menghadapi pertandingan yang tentu akan seru sekali itu. Malangkoro dengan sikap yang congkak sekali, berdiri bertolak pinggang dan membusungkan dadanya yang lebar menghadapi dua orang pemuda yang juga sudah siap dan memasang kuda-kuda masing-masing.

   Senggono yang seperti Gatutkaca itu membuka gerakan silatnya dengan pasangan yang tegap dan gagah, kedua lengannya dikembangkan, tubuh agak membungkuk seperti seekor burung garuda yang hendak terbang dan mengembangkan sayapnya. Sedangkan Jayanto yang seperti Abimayu itu membuka pasangan kuda-kuda dengan kedua lengan bersilang, yang kiri di depan dada, yang kanan di depan pusar, jari-jari tangannya terbuka.

   "Heh-heh-heh, majulah, seranglah. Apakah kalian takut?"

   Malangkoro mengejek. Ternyata raksasa itu bukan hanya digdaya dan kuat, akan tetapi di juga cedik. Menghadapi pengeroyokan dua orang lawan, sebaiknya kalau mereka itu bergerak lebih dulu karena dalam keadaan tidak menyerang, dia akan dapat melindungi dirinya lebih baik. Setelah nanti melihat dia akan dapat membuat serangan sesuai dengan perkembangan gerakan kedua orang lawan itu. Mendengar tantangan Malangkoro yang nadanya mengejek itu, senggono mulai menyerang.

   "Haiiiiit"""..!!"

   Bagaikan Gatutkaca, diapun menerjang dengan pukulan yang disusul sebuah tendangan kilat yang menggunakan tumit kaki menghentam ke arah rahang itu tentu saja merupakan tendangan melompat yang dahsyat.

   "Hissss"".,!!"

   Jayanto juga menyerang dari samping, nampaknya tangannya meluncur lemah ke arah lambung lawan, akan tetapi sebenarnya, jari-jari tangan pemuda yang lemah lembut ini dapat berubah sekuat baja kalau dipergunakan untuk menusuk seperti itu.

   "Plakk! Plakkk""!!"

   Malangkoro menggerakan kedua lengannya menangkis dan dua orang lawannya terdorong ke belakang. Dengan sigap mereka meloncat dan dapat hinggap di atas papan panggung dalam keadaan berdiri tegak. Dalam gebrakan pertama itu, Malangkoro sengaja menangkis untuk mengukur tenaga kedua orang lawannya dan diapun mendapat kenyataan bahwa kalau Senggono mengandalkan kekuatan otot yang cukup besar, Jayanto lebih mengandalkan kekuatan dari tenaga sakti dalam tubuh. Baginya, Jayanto yang merupakan lawan lebih tangguh.

   Dua orang itu kembali menyerang, kini Jayanto yang menggunakan kedua tangan dengan jari terbuka, mencengkeram ke arah muka Malangkoro disusul jari tangan kiri menusuk ke arah ulu hati. Serangan ini nampak lembut namun menyembunyikan kekuatan yang cukup dahsyat. Malangkoro lebih berhati-hati menghadapi serangan Jayanto ini, maka diapun meloncat ke kiri menghindarkan diri dari serangan itu. Gerakan mengelak ke kiri di sambut oleh Senggono yang menghantam ke arah dadanya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Telapak tangan kanannya, dengan tenaga otot sepenuhnya, menghantam dada yang bidang itu dan malangkoro sengaja tidak menangkis atau mengelak, melainkan menyambut hantaman itu dengan dadanya yang sudah dilindungi kekebalan.

   "Desss"..!!"

   Pertemuan antara telapak tangan dengan dada itu membuat tubuh Malangkoro agak bergoyang sedikit, akan tetapi sebaliknya, Senggono terdorong ke belakang sampai terhuyung dan dia menyeringai, merasa betapa lengan kanannya seperti lumpuh ketika tenaga pukulannya membalik dan menghantam dirinya sendiri. Pada saat itu, Jayanto sudah menyerang lagi dari samping, tangannya mencengkeram ke arah leher Mlangkoro. Malangkoro miringkan tubuh mengelak, akan tetapi karena hantaman tangan Senggono tadi membuat tubuhnya bergoyang, gerakannya kurang cepat dan cengkeraman tangan Jayanto masih mengenai pundaknya.

   "Brettt"".!!"

   Baju di bagian pundak itu robek, berikut sedikit kulitnya sehingga berdarah. Kekebalan Malangkoro dapat ditembus jari-jari tangan Jayanto yang mengandung kekuatan sakti! Malangkoro terbelalak, mukanya berubah kemerahan, matanya seperti mengeluarkan api dan dan diapun menggereng seperti harimau terluka. Kemudian, seperti seekor gajah mengamuk, dia menerjang ke arah kedua orang lawannya. Kedua lengan dan kedua kakinya yang panjang dan besar lagi kuat itu menyambar-nyambar. Dia mengamuk dan segera nampak bahwa dua orang lawannya itu masih belum mampu mengimbangi kehebatan Malangkoro. Mereka berdua berusaha untuk mengelak dan menangkis, akan tetapi setiap kali tangkisan mengena tubuh mereka yang terdorong sampai hampir jatuh. Luka di pundaknya tidak membuat Malangkoro menjadi lemah.

   Luka itu terlalu kecil dan tidak ada artinya baginya, hanya luka kulit dan bahkan membuat dia marah sekali. Dua orang pengeroyok itu berusaha mempergunakan kegesitan mereka untuk menghindarkan diri, namun karena memang mereka sudah terdesak hebat, akhirnya Senggono yang lebih dahulu terkena tendangan kaki Malangkoro sehingga tubuhnya terlempar ke bawah panggung, menimpa para penonton! Melihat Senggono sudah kalah, Jayanto menjadi nekat. Dia menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya melakukan penyerangan bertubi-tubi, yakin bahwa jari-jari tanganya akan mampu menembus kekebalan kulit Malangkoro.

   Akan tetapi, setelah kini tidak dikeroyok lagi, tentu saja Jayanto bukan merupakan lawan yang terlalu berat bagi Malangkoro. Semua serangan Jayanto dapat ditangkisnya, bahkan ketika Jayanto agak lengah karena lengannya terasa ngilu beradu dengan lengan Malangkoro, tiba-tiba saja tamparan tangan kiri Malangkoro yang besar dan berat mengenai pundaknya. Keras bukan main tamparan itu, membuat Jayanto terpelanting dan sebelum dia mampu bangkit, sebuah tendangan mengenai punggungnya dan tubuh pemuda inipun terlempar ke bawah panggung. Kembali tepuk sorak penonton menyambut kemenangan Malangkoro.

   Semua orang merasa kagum dan jerih terhadap raksasa yang ternyata memang hebat itu. Ki Sinduwening diamdiam merasa khawatir sekali terhadap puterinya, akan tetapi dia juga girang mendapatkan seorang yang memiliki kedigdayaan seperti Malangkoro. Kalau dijadikan seorang senopati, tentu Malangkoro akan berguna sekali bagi Mataram. Sambil tersenyum, Malangkoro yang kini melepaskan bajunya yang robek sehingga nampak tubuh bagian atas yang kokoh dan penuh dengan otot benjol-benjol melingkar pada pundak, punggung, dada dan lengannya, menghadap Ki Sinduwening.

   "Bagaimana, paman. Apakah sekarang saya diperbolehkan memasuki babak selanjutnya, yaitu bertanding melawan Diajeng Mawarsih atau paman sendiri?"

   Ucapan itu tidak bernada mengejek atau menantang, walaupun ada sikap memandang ringan.

   "Anakmas Malangkoro. Tidak adil kalau kami mengharuskan andika melawan kami sekarang. Andika sudah bertanding sebanyak tiga babak, maka biarlah sekarang andika beristirahat dulu. Matahari telah naik tinggi dan kita semua perlu makan siang. Sayembara ini dilanjutkan dengan babak penentuan, yaitu pemenang babak ke tiga harus dapat mengalahkan Mawarsih dan aku sendiri. Besok, setelah matahari naik sampai ke atas atap rumah itu, kita lanjutkan sayembara ini di sini."

   

Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini