Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 13


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 13



"Plakk!"

   Kini terdorong sampai dua langkah, dan sekali lagi mereka saling hantam dengan dorongan kedua tangan dan sekali ini terjadi benturan yang amat kuat.

   "Dessss""!!"

   Akibatnya, tubuh Malangkoro terdorong dan terhuyung sampai lima langkah sedangkan Si Kedok Hitam mundur dua langkah. Dari benturan tenaga ini saja sudah dapat dilihat bahwa dalam hal tenaga sakti, Si Kedok Hitam jauh lebih kuat! Mawarsih merasa gembira bukan main. Malangkoro mengeluarkan gerengan dan tiba-tiba dia menyerang dan terjadilah keanehan lagi karena berbareng dengan serangan itu, terasa ada angin kuat berputar dan menyerang ke arah Si Kedok Hitam, membuat ujung kedok dan ujung bajunya berkibar-kibar.

   Si Kedok Hitam nampak terkejut dan dia menoleh ke arah Danyang Gurita yang sudah duduk bersila dan merangkapkan kedua tangan depan dada lagi. Mawarsih juga melihat ini dan ia menyentuh lengan ayahnya lalu memberi isyarat dengan pandang matanya ke arah kakek itu. Ki Sinduwening juga menengok dan ia melihat apa yang dilakukan Danyang Gurita, diapun segera bersila dan bersedekap, memejamkan matanya dan tanpa diketahui orang lain kecuali Mawarsih, terjadilah pertandingan kedua yang tidak nampak mata antara Ki Sinduwening dan Danyang Gurita. Ki Sinduwening, dengan kekuatan batinnya yang bersandar kepada kekuasaan Tuhan, sedang menentang dan menangkis serangan Danyang Gurita berupa angin keras yang membantu muridnya menyerang Kedok Hitam.

   Pertandingan antara Si Kedok Hitam dan Malangkoro memang hebat bukan main. Kini keduanya sudah benar-benar bertanding, mempergunakan kegesitan, ketrampilan dan terutama kekuatan. Pukulan demi pukulan ditangkis dan terdengar suara berdetak nyaring kalau kedua lengan bertemu. Keduanya memang kuat dan kebal, namun sekali ini, Malangkoro tidask berani mengandalkan kekebalan tubuhnya untuk menerima pukulan lawan. Dia selalu menangkis dan kadang mengelak dan membalas dengan dahsyat. Namun, semua serangannya dapat dipunahkan oleh Si Kedok Hitam yang bergerak dengan tenang sekali.

   Mereka itu saling serang, saling pukul, saling tendang dan kadang tubuh mereka berputarputar. Namun, setelah beberapa kali berseru heran melihat jurus yang dikeluarkan Malangkoro, jurus yang amat dikenalnya, akhirnya Si Kedok Hitam yang memiliki tenaga sakti lebih kuat, mulai mendesak lawannya. Kedua lengan Malangkoro yang besar panjang dan kuat itu sudah nampak membiru dan membengkak seperti berulang kali diadu dengan baja. Kedua lengannya terasa nyeri, demikian pula tulang kering keduanya kakinya yang berkali-kali bertemu dengan tangkisan lengan Si Kedok Hitam.

   Tiba-tiba Malangkoro mengeluarkan bentakan nyaring dan tangan kanannya dengan dikepal, menjadi kepalan besar, meluncur kearah dada Si Kedok Hitam dan orang berkedok itu agaknya tidak keburu menangkis atau mengelak sehingga kepalan yang besar itu melanda dadanya! Mawarsih menahan jeritnya melihat Si Kedok Hitam terkena pukulan yang amat dahsyat itu. Akan tetapi pada saat semua orang yang sebagian besar berpihak kepada Si Kedok Hitam menahan napas karena tegang melihat jagoan mereka agaknya tak dapat lolos dari hantaman yang dahsyat itu, terjadi sesuatu yang tak mereka sangka-sangka.

   "Desss""!!"

   Pukulan itu memang dengan hebatnya melanda dada Si Kedok Hitam, akan tetapi Malangkoro mengeluarkan teriakan kaget karena merasa seolah kepalan tangannya masuk kedalam benda yang lunak sehingga tenaganya lenyap dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, lengan kanannya sudah ditangkap pada pergelangan tangannya dan sekali Si Kedok Hitam membentak, lengan itu

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   sudah ditekuk ke belakang punggungnya. Dia terperosok berlutut, namun sebuah tendangan mengenai punggungnya membuat dia roboh menelungkup.

   Si Kedok Hitam menggunakan kaki kanan menginjak pinggang Malangkoro sedangkan lengan raksasa itu ditelikungnya ke belakang, ke punggung. Malangkoro tidak mampu berkutik lagi! Kalau dia mencoba untuk meronta, maka lengan kanannya yang ditelikung itu dapat terlepas sambungan tulang pada pundaknya, dan tulang punggungnya dapat patah terinjak. Tangan kirinya juga tidak mampu dipergunakan karena tertindih tubuhnya sendiri. Beberapa kali dia meronta, hanya untuk mengaduh dan menyeringai. Suasana menjadi hening dan semua orang menahan napas melihat kesudahan pertandingan yang menegangkan urat syaraf itu.

   "Malangkoro, apakah engkau belum mau mengaku kalah?"

   Terdengar Si Kedok Hitam bertanya, suaranya lantang. Malangkoro mengangguk-angguk.

   "Kisanak, aku mengaku kalah. Andika sakti mandraguna, aku menyerah kalah!"

   "Kalau begitu, engkau harus menepati janjimu, mendaftarkan diri menjadi prajurit!"

   "Baik, aku malangkoro tidak biasa melanggar janji. Aku laki-laki sejati!"

   Jawab Malangkoro, bukan karena takut melainkan karena tersinggung bahwa dia dikhawatirkan tidak akan memegang janjinya. Si Kedok Hitam melepaskan tangan dan kakinya, kemudian menghadap Ki Siduwening dan berkata dengan suara yang penuh hormat namun juga mengandung teguran.

   "Maafkan saya, paman. Sebaiknya kalau perjodohan dilakukan atas dasar saling cinta dan saling mengerti, bukan berdasarkan sayembara pertandingan yang hanya akan mendatangkan banyak permusuhan dan persaingan."

   Setelah berkata demikian, Si Kedok Hitam melompat turun dari panggung.

   "Anak-mas, tunggu""!"

   Ki Sinduwening berseru, akan tetapi Kedok Hitam telah menghilang entah ke mana. Juga ketika dia mencari-cari, Bayu tidak dapat ditemukan di antara para penonton.

   Mawarsih mengerutkan alisnya dan nampak terpukul sekali batinnya. Bagaimana ia tidak merasa kecewa? Dua orang yang diharapkan hadir dan mengikuti sayembara memang benar telah muncul, akan tetapi yang seorang melarikan diri dari Malangkoro, sedangkan yang kedua, biarpun sudah berhasil mengalahkan Malangkoro, ternyata pergi begitu saja dan tidak bermaksud memenangkan sayembara itu dan menjadi jodohnya! Bahkan Banuaji juga tadi tidak menyatakan bahwa dia ikut sayembara untuk memperebutkan dirinya. Kalau saja tidak dilihat banyak orang, mau rasanya ia menangis dan menjerit-jerit!

   Dengan suara lantang Ki Sinduwening lalu menyatakan bahwa sayembara ditutup tanpa ada seorangpun yang dinyatakan menjadi calon suami Mawarsih, dan pada saat itu, terdengar derap kuda dan semua orang yang belum pergi segera berlutut menyembah. Ketika Ki Sinduwening dan Mawarsih mengangkat muka memandang, mereka terkejut karena yang datang adalah Raden Mas Martapura, yaitu pangeran mahkota, putera dari Sang Prabu Hanyokrowati.

   Sebetulnya, Raden Mas Martapura merupakan putera yang ke tiga, namun karena Sribaginda amat sayang kepadanya, maka diapun dipilih dan diangkat menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan sang ayah menjadi raja. Sang Prabu Hanyokrowati mempunyai lima orang anak, yaitu empat orang putera yang bernama Raden Mas Rangsang, Raden Mas Menang, Raden Mas Martapura dan Raden Mas Cakra. Adapun putrinya seorang bernama Dyah Ayu ratu Pandan. Pada waktu itu, Pangeran Mahkota Raden Mas Martapura telah berusia dua puluh tiga tahun, berwajah tampan dan merasa bahwa dia kekasih ayahnya, dia menjadi manja dan agak tinggi hati.

   Melihat Sang Pangeran yang dikawal selosin prajurit berkuda itu datang dan berhenti di situ, Ki Sinduwening tergopoh-gopoh menyambut, diikuti pula oleh Mawarsih. Pangeran itu tersenyum dan melompat turun dari atas punggug kudanya ketika melihat Mawarsih dan Ki Sinduwening. Tentu saja dia mengenal senopati yang telah banyak berjasa itu, dan sudah beberapa kali pernah melihat Mawarsih puteri senopati itu yang disohorkan sebagai seorang gadis yang sakti mandraguna pula. Setelah memberi hormat, Ki Sinduwening mempersilahkan pangeran itu untuk berkunjung ke rumahnya. Akan tetapi, Raden Mas Martapura menolak dan hanya naik ke panggung sehingga terpaksa Ki Sinduwening dan Mawarsih melayaninya.

   Para penonton tidak jadi bubaran melihat pangeran itu kini berada di panggung. Mereka semua mengenal putera mahkota ini yang suka membuat ulah sehingga mereka semua ingin sekali mengetahui apa yang akan dilakukan pangeran itu mengenai sayembara yang telah dibubarkan itu.

   "Kami mendengar paman mengadakan sayembara untuk memilihkan jodoh Mawarsih, benarkah itu?"

   Tanya sang pangeran dan matanya dengan bebasnya menggerayangi seluruh tubuh Mawarsih yang terpaksa menundukkan muka dengan hati tak senang. Dalam pertemuan beberapa kali dengan pangeran ini, ia merasa tidak suka, berbeda dengan pangeran lainnya.

   Pandang mata pangeran ini demikian genit dan penuh gairah.

   "Benar sekali, pangeran, akan tetapi sekarang telah selesai dan bubar,"

   Jawab Ki Sinduwening cepat.

   "Hemm, lalu siapa yang menang? Siapa yang begitu beruntung untuk mendapatkan hadiah Mawarsih yang cantik jelita ini?"

   Kembali matanya liar menggerayangi tubuh dara itu.

   "Tidak ada yang memenangkan sayembara, Pangeran. Pemenangnya adalah Si Kedok Hitam, akan tetapi dia bertanding bukan untuk memperebutkan puteri hamba Mawarsih. Karena itu, sayembara ini dibubarkan dan tidak ada yang akan menjadi calon jodoh puteri hamba."

   "Si Kedok Hitam? Siapa dia itu?"

   "Tidak ada seorangpun yang mengetahui, Pangeran, karena dia datang mengenakan kedok hitam. Setelah bertanding dan menang dia pergi lagi."

   Pangeran itu tertawa.

   "Hemm, kalau begitu kebetulan sekali. Paman Sinduwening, kenapa sih susah-susah memilihkan jodoh puterimu ini dengan jalan mengadakan sayembara?"

   "Hamba telah mendapat persetujuan Yang Mulia Sang Prabu, karena sayembara ini juga merupakan upaya untuk menghimpun tenaga-tenaga muda yang digdaya untuk memperkuat barisan kita yang akan menyerang ke timur."

   Raden Mas Martapura mengangguk-angguk.

   "Bagus, akan tetapi karena tidak ada yang terpilih sebagai jodoh Mawarsih, dan mengingat ia sudah cukup dewasa, bagaimana kalau, andika serahkan saja Mawarsih kepadaku, paman?"

   Bukan hanya Ki Sinduwening dan Mawarsih berdua saja terkejut mendengar ucapan itu, juga semua orang yang mendengarnya menjadi terkejut dan memandang dengan hati tegang. Semua orang sudah tahu belaka akan ulah pangeran mahkota ini yang terkenal mata keranjang, akan tetapi sekali ini hendak menggangu puteri seorang senopati yang berjasa dan yang dipercaya Sang Prabu. Namun, hanya sebentar Ki Sinduwening terkejut. Dia segera dapat mengatasi perasaannya.

   "Kanjeng Pangeran telah memiliki banyak selir"""

   "Tidak mengapa, paman. Selirku sudah ada sembilan orang, ditambah seorang lagipun tidak mengapa!"

   Kata pangeran itu sambil tersenyum, memotong ucapan Ki Sinduwening yang belum selesai.

   "Bukan begitu maksud hamba. Paduka tentu saja boleh memiliki berapa banyakpun selir, akan tetapi puteri hamba tidak mau menjadi selir siapapun juga."

   Mendengar ucapan ini, Raden Mas Martapura terbelalak, memandang seperti tidak percaya bahwa ada ayah yang menolak puterinya dia ambil sebagai selir! Padahal, menurut pendapatnya, setiap orang ayahpun akan berlumba menyerahkan puterinya untuk menjadi selirnya karena hal itu berarti naiknya derajat mereka.

   "Apa""?? Andika"".. berani menolak kehendakku, paman?"

   Bentaknya marah.

   "Ini merupakan perintah, tahukah andika? Perintah dari seorang pangeran mahkota, calon raja!"

   "Maaf, Pangeran. Hamba seorang senopati dan setiap saat siap untuk mentaati perintah atasan dengan taruhan nyawa, selama perintah itu ada hubungannya dengan tugas hamba. Tugas hamba adalah melawan musuh kerajaan dan memadamkan api pemberontakan dan pengacauan. Mengenai urusan perjodohan puteri hamba, hal itu merupakan persoalan pribadi keluarga kami."

   "Paman Sinduwening, berani engkau menampik pinanganku? Ini merupakan penghinaan!"

   "Maaf, Pangeran. Hamba tidak menampik, akan tetapi urusan perjodohan puteri hamba adalah urusan pribadinya dan hamba serahkan sepenuhnya kepada keputusan yang akan menjalani. Mawarsih, jawablah sejujurnya di depan Pangeran, maukah engkau diambil menjadi selir Kanjeng Pangeran Raden Mas Martapura?"

   Dengan muka masih ditundukkan karena tidak mau memberi kesempatan kepada pangeran itu untuk meraba-raba wajahnya dengan sinar matanya, Mawarsih menggeleng kepala keraskeras.

   "Tidak, bapa. Aku tidak mau diselir oleh siapapun. Aku tidak mau!"

   Ki Sinduwening memandang wajah pangeran itu yang berubah kemerahan.

   "Nah, paduka mendengar sendiri, Pangeran. Bukan hamba atau puteri hamba menampik paduka, melainkan karena puteri hamba tidak suka diselir, baik oleh paduka ataupun oleh siapa juga."

   Pangeran itu menjadi marah bukan main, bukan hanya karena penampikan pinangannya itu dianggap suatu penghinaan, akan tetapi terutama sekali karena penolakan itu disaksikan dan didengar banyak orang sehingga hal itu amat memalukan dirinya. Diapun dengan melotot menoleh kepada selosin perajurit pengawal, lalu menghardik sambil menudingkan telunjuknya kepada Ki Sinduwening dan Mawarsih.

   "Tangkap mereka berdua!"

   Dua belas orang perajurit pengawal yang bertugas menjaga keselamatan pangeran mahkota itu sudah turun dari atas pungung kuda mereka pula, akan tetapi kini mereka saling pandang seperti orang-orang bodoh dan kehilangan akal. Padahal mereka adalah perajurit-perajurit pilihan yang mempunyai tanggung jawab berat, yaitu menjaga keselamatan putera mahkota. Akan tetapi, mendengar perintah untuk menangkap Senopati Sinduwening dan puterinya, mereka tentu saja merasa serba salah dan gentar.

   Seorang senopati adalah seorang panglima, atasan mereka, apa lagi mereka semua tahu belaka betapa saktinya Ki Sinduwening dan puterinya! Untuk melaksanakan perintah itu, menangkap Ki Sinduwening dan Mawarsih merasa gentar dan tidak berani, akan tetapi membangkang terhadap perintah Raden Mas Martapura mereka juga takut. Maka, mereka hanya saling pandang dan melongo seperti kehilangan akal.

   "Hayo tangkap mereka!!"

   Bentak pula Raden Mas Martapura. Pada saat itu, muncul seorang yang sekali meloncat sudah berada di atas panggung dan diapun bertanya dengan suara lembut namun berpengaruh sekali.

   "Hemm, Paman Sinduwening, adimas Pangeran Mahkota, apakah yang telah terjadi di sini? Ada apakah ribut-ribut ini dan mengapa andika nampak marah-marah, adimas?"

   Hati para perajurit pengawal, juga hati Ki Sinduwening dan Mawarsih merasa lega ketika melihat siapa yang muncul pada saat yang gawat itu. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tujuh tahun, tinggi tegap, berwajah tampan dan anggun, sikapnya agung dan berwi- bawa. Dia adalah Raden Mas Rangsang, pangeran yang merupakan putera sulung Sang Prabu Hanyokrowati, Pangeran Raden Mas Rangsang ini terkenal sebagai seorang pemuda yang amat bijaksana, sakti mandraguna, ahli dalam ilmu kesenian dan kesusasteraan, dan terutama sekali dekat dengan rakyat jelata sehingga dia amat terkenal dan disuka. Tangan dan hatinya selalu terbuka untuk menolong rakyat yang sedang tertimpa kesengsaraan, dan tangan itu dapat menjadi sekeras baja kalau dia menghadapi kejahatan.

   Satu di antara kebijaksanaannya adalah bahwa dia sedikitpun tidak pernah merasa iri atau marah ketika Sang Prabu Hanyokrowati mengangkat adiknya yang ke tiga, yaitu Raden Mas Martapura, sebagai pangeran mahkota, sungguhpun menurut adat dan aturan, dialah sebagai putera sulung yang lebih berhak menggantikan ayah mereka kelak. Akan tetapi, sedikitpun Raden Mas Rangsang tidak pernah mengeluh, bahkan sikapnya terhadap Raden Mas Martapura selalu lembut dan penuh nasihat. Melihat munculnya kakak sulungnya, Raden Mas Martapura yang masih penasaran dan marah, segera mengadu.

   "Kakangmas, ayah dan anak ini telah menghinaku! Aku telah dipermalukan di depan orang banyak! Kakangmas harus memberi hukuman berat kepada mereka!"

   Teriaknya dengan muka merah. Raden Mas Rangsang lalu menghadapi para penonton yang masih berada di situ dan sejak tadi tidak berani mengeluarkan suara, dan dengan suara yang lembut dia berkata kepada mereka,

   "Kuharap para paman, kakak dan adik suka meninggalkan tempat ini karena sudah tidak ada sesuatu yang perlu ditonton lagi."

   Mendengar ucapan lembut itu, orang-orang segera mengundurkan diri dan merasa malu sendiri karena memang tidak patut kalau mereka terus menonton pertikaian yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka.

   Tempat itu menjadi sepi dan yang tinggal di atas panggung kini hanya kedua orang pangeran, Ki Sinduwening dan Mawarsih. Akan tetapi Ki Sinduwening yang tahu akan kewajiban, segera meneriaki para peserta sayembara agar sore hari nanti mereka datang kepadanya untuk diterima sebagai perajurit. Para peserta itu menyanggupi dan merekapun segera mengundurkan diri. Hanya selosin perajurit pengawal itu saja yang masih tinggal di bawah panggung, akan tetapi mereka hanya menundukkan muka, tidak berani memandang ke atas panggung karena maklum bahwa majikan mereka, Putera Mahkota, sedang marah kepada mereka yang tadi tidak menaati perintah untuk menangkap ayah dan anak itu.

   "Nah, sekarang ceritakanlah. Adimas Pangeran, apa sesungguhnya yang telah terjadi sehingga andika menjadi marah-marah dan mengatakan bahwa Paman Sinduwening dan diajeng Mawarsih ini telah menghinamu dan mempermalukanmu di depan orang banyak?"

   "Coba saja kakangmas pertimbangkan sendiri, siapa orangnya yang tidak merasa terhina! Aku mendengar bahwa Ki Sinduwening mengadakan sayembara untuk memilih suami bagi puterinya. Aku ingin nonton pertandingan sayembara, akan tetapi setelah tiba di sini, pertandingan telah bubar dan tidak seorangpun yang dapat diterima menjadi suami Mawarsih, karena gadis ini masih bebas, belum terikat perjodohan, sudah sepantasnya kalau aku mengajukan pinangan, kuminta kepada Ki Sinduwening agar Mawarsih menjadi selirku. Akan tetapi, kakangmas, mereka ini ayah dan anak ini, menolakku dan penampikan itu mereka lakukan di sini, di depan banyak orang! Siapa yang tidak merasa malu dan terhina? Aku ini putera mahkota, calon raja mereka, dan mereka berani merendahkan aku seperti ini?"

   Suaranya terdengar seperti hendak menangis.

   Dengan sikap tenang dan sabar, Raden Mas Rangsang mendengarkan ucapan adiknya, kemudian dia menoleh kepada Ki Sinduwening dan tersenyum, bertanya.

   "Paman Sinduwening, benarkah apa yang dikatakan oleh dimas Pangeran Martapura tadi?"

   "Memang benar bahwa Kanjeng Pangeran Mahkota telah minta agar Mawarsih diberikan kepada beliau untuk dijadikan selir yang kesepuluh. Karena beliau mengajukan pinangan di sini, disaksikan banyak orang, maka ketika hamba menjawab, hamba lakukan di sini pula. Hamba sudah jelaskan bahwa urusan perjodohan anak hamba menjadi hak Mawarsih sendiri untuk menentukan, dan puteri hamba itu tidak mau dijadikan selir oleh siapapun juga. Bukan berarti kami menolak atau menampik Kanjeng Pangeran, melainkan tidak mau kalau Mawarsih dijadikan selir. Kami tidak bermaksud menghina, apa lagi mempermalukan, Pangeran."

   "Adimas Pangeran, benarkah apa yang diucapkan Paman Sinduwening itu?"

   Tanya Raden Mas Rangsang kepada adiknya, suaranya menuntut ketegasan. Raden Mas Martapura cemberut.

   "Sama saja, ayah dan anak ini telah menolak pinanganku, dan itu penghinaan namanya. Aku adalah putera mahkota dan""""

   "Adimas Pangeran, cukup semua itu. Justeru karena andika menjadi putera mahkota, calon raja, maka haruslah bersikap bijaksana dan tidak menindas kepada bawahan dan rakyat jelata. Memaksa seorang wanita menjadi selir, itu merupakan perbuatan sewenang-wenang namanya. Apakah adimas pangeran ingin mencontoh perbuatan Rahwana raja yang hedak memaksa Dewi Shinta menjadi isterinya? Adimas mengajukan pinangan di tempat umum, mendapat jawaban di tempat umum pula, hal ini sudah sepantasnya. Dan seperti andika pangeran mendengar sendiri tadi, Ki Sinduwening dan Mawarsih sama sekali tidak bukan bermaksud menghina atau menolak pinangan, hanya merupakan tekad diajeng Mawarsih untuk tidak suka dijadikan selir. Diajeng Mawarsih, jawablah, apa jawabanmu kalau sekarang ini aku meminangmu untuk menjadi selirku?"

   Kedua pipi Mawarsih berubah kemerahan mendengar pinangan aneh dari Raden Mas Rangsang ini.

   "Mohon paduka mengampuni hamba, Pangeran. Hamba hanya akan menikah dengan pria idaman hati hamba, dan menjadi isterinya, bukan menjadi selirnya. Hamba tidak mau menjadi selir siapapun juga."

   Raden Mas Rangsang menoleh kepada adiknya.

   "Nah, andika mendengar sendiri, adimas pangeran! Aku tidak merasa tersinggung oleh penolakannya, karena hal itu wajar, bukan? Orang meminang hanya mempunyai dua kemungkinan, diterima atau ditolak.Kita sepatutnya kagum akan pendirian diajeng Mawarsih yang hanya suka menjadi isteri seorang pria idaman hatinya."

   Mendengar ucapan kakaknya, Raden Mas Martapura menunduk dan cemberut. Biarpun dia putera mahkota, akan tetapi dia belum menjadi raja dan selama dia masih menjadi pangeran, tentu saja dia harus tunduk terhadap kakaknya, saudaranya yang lebih tua. Sementara itu, Ki Sinduwening yang merasa tidak hati mendengar mahkota seolah ditegur pangeran sulung, segera berkata,

   "Mohon paduka berdua sudi memaafkan kami ayah dan anak. Tidak ada seujung rambutpun di hati kami untuk merendahkan paduka berdua, hanya urusan perjodohan merupakan urusan pribadi puteri hamba, bahkan hamba sendiripun tidak berani memaksanya."

   "Sudahlah, paman,"

   Kata Raden Mas Rangsang.

   "Anggap saja kesalahan paham ini tidak pernah terjadi. Adimas Pangeran Mahkota masih terlalu muda untuk mengetahui bahwa tidak semua gadis berlumba menjadi selirnya dan tidak semua ayah mengharapkan puterinya menjadi selir pangeran."

   Raden Mas Martapura merajuk.

   "Sudahlah sudah"".., katakan saja aku tidak boleh berbuat sesuka hatiku. Kakangmas Rangsang, aku pergi dulu!"

   Tanpa menoleh lagi dia menuruni panggung dan meloncat ke atas punggung kudanya dan segera pergi, diikuti oleh selosin pengawalnya. Raden Mas Rangsang menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.

   "Hemm, sampai kapankah dia akan menjadi dewasa?"

   Lalu dia menghadap Ki Sinduwening dan berkata.

   "Paman, maafkan kalau aku terpaksa menegurmu, paman. Memang sudah menjadi hak kalian untuk mengadakan sayembara, apa lagi kalau tahu bahwa sayembara itu juga dimanfaatkan untuk mengumpulkan tenaga orang-orang digdaya untuk memperkuat pasukan Mataram dan sudah pula mendapat restu Kanjeng Rama. Akan tetapi, paman. Dalam keadaan gawat seperti sekarang ini, pada saat Mataram sedang berusaha untuk menundukkan daerah timur yang memberontak, sudah tepatkah kalau paman sebagai seorang senopati Mataram mendahulukan urusan pribadi yang sifatnya suka ria? Maaf, paman, aku hanya mengingatkan, bukan menyalahkan atau menegur."

   Mendapatkan peringatan dari pangeran yang mereka kenal sebagai seorang bijaksana itu, Sinduwening dan Mawarsih tertegun. Dan bagaikan baru terbuka mata mereka akan sikap Banuaji dan juga Si Kedok Hitam. Itukah sebabnya mengapa mereka itu biarpun menentang Malangkoro namun tidak ikut menjadi peserta yang memperebutkan Mawarsih?

   "Ah, sekarang kami menyadari kekeliruan kami, Raden Mas Rangsang. Terima kasih atas peringatan paduka dan memang apa yang paduka katakan itu sungguh benar dan tepat. Kami akan menunda usaha memilih mantu ini dan akan lebih dahulu menghimpun tenaga dan melaksanakan tugas menyerbu ke Ponorogo pada waktu yang telah ditentukan Sang Prabu."

   Raden Mas Rangsang mengangguk.

   "Memang seyogyanya demikian, paman. Aku mendengar tentang kedigdayaan Malangkoro, karena itu sepatutnya kalau dia diberi kedudukan yang cukup penting dalam pasukan kita, juga para peserta sayembara yang lain dapat diberi kedudukan yang sesuai dengan tingkat kemampuan mereka. Kanjeng Rama menentukan penyerangan kurang lebih tiga bulan lagi dengan perhitungan bahwa hujan sudah mulai berkurang sehingga Kali Tempuran dan Kali Ngebel tidak banjir. Kedua kali itulah yang akan dipergunakan untuk mengepung Ponorogo dari utara dan barat, sedangkan pasukan dari selatan menyerbu mulalui daratan."

   Ki Sinduwening mangangguk-angguk kagum.

   "Hamba yakin akan keampuhan siasat perang yang akan diatur oleh Sang Prabu."

   Pangeran itu tersenyum kepada Mawarsih dan berkata.

   "Diajeng Mawarsih, ada tiga peristiwa penting terjadi dalam kehidupan kita, yaitu kelahiran, perjodohan, dan kematian. Dan yang tiga ini sepenuhnya diatur oleh kekuasaan Gusti Allah Yang Maha Kasih, oleh karena itu, andika serahkan saja kepadaNya, dan andika pasti akan dapat bertemu dan bersatu dengan jodohmu."

   Kedua pipi gadis itu menjadi kemerahan dan iapun menghaturkan terima kasihnya dengan sembah. Pangeran sulung itu lalu berpamit dan meninggalkan ayah dan anak itu termenung berdua saja mengenangkan semua peristiwa yang telah terjadi. Akhirnya Ki Sinduwening menghela napas panjang.

   "Alhamdulillah"".!"

   "Bapa, kenapa bersyukur?"

   Tanya puterinya, tak mengerti. Ki Sinduwening memandang puterinya dan tersenyum, kini wajahnya menjadi tenang, terbebas dari kegelisahan yang dirasakannya ketika mereka mengadakan sayembara.

   "Mawar, sekarang bapamu ini baru mengerti mengapa dua orang muda yang kauharap-harapkan itu tidak mengikuti sayembara! Agaknya, aku yakin bahwa merekapun berpendapat sama seperti Raden Mas Rangsang, yaitu bahwa sekarang tidak tepat saatnya bagi mereka untuk mengikuti sayembara pemilihan jodoh, tidak tepat waktunya untuk bersenang-senang."

   "Benarkah itu, bapa? Kiranya tidak banyak orang yang memiliki kebijaksanaan seperti kanjeng pangeran itu."

   "Si Kedok Hitam itu jelas bukan orang biasa, melainkan seorang pendekar yang sakti, seorang ksatria yang berbuat kebaikan tanpa pamrih sehingga dia menyembunyikan mukanya. Sudah tentu seorang ksatria seperti dia memiliki kebijaksanaan yang tidak jauh bedanya dari kebijaksanaan Raden Mas Rangsang. Juga Banuaji itu, biarpun anak dusun, namun jelas dia memiliki kecerdikan dan kebijaksaan. Kemunculan mereka bukan sebagai peserta sayembara akan tetapi berusaha untuk menolong kita dari desakan Malangkoro membuktikan bahwa mereka itu, walaupun jauh berbeda dalam sikap, namun memiliki dasar yang sama, yaitu watak pendekar tanpa pamrih."

   "Mudah-mudahan saja perkiraan bapa ini benar,"

   Kata Mawarsih lirih dan muncul pula harapan di hatinya. Sekali lagi, kedua orang muda itu, baik Aji maupun Si Kedok Hitam jelas telah menolongnya dan ini membuktikan bahwa mereka setidaknya memperhatikan keselamatannya.

   Kini dia yakin bahwa Si Kedok Hitam juga seorang muda. Bukankah tadi dia menyebut paman kepada ayahnya? Dan teringat akan sepak terjang kedua orang muda itu di atas panggung, hatinya condong lebih mengagumi Si Kedok Hitam, walaupun ia merasa terharu atas pembelaan Banuaji yang demi membelanya melupakan kelemahan diri sendiri sehingga kalau tidak cepat-cepat pergi, mungkin akan tewas di tangan Malangkoro yang pada waktu itu sudah marah bukan main. Ki Sinduwening sudah melupakan dan mengesampingkan urusan perjodohan puterinya dan menyibukkan diri dengan penampungan orang-orang muda yang memenuhi panggilan kerajaan untuk menjadi parajurit. Ki Sinduwening sendiri yang menguji dan menempatkan mereka dalam kedudukan yang sesuai dengan tingkat kepandaian mereka. Sang Prabu Hanyokrowati mempercayakan penghimpunan tenaga ini kepada senopatinya yang setia itu.

   Begitu tiba di istana, Raden Mas Martapura, pangeran mahkota, segera memanggil komandan pasukan pengawal dan memerintahkan agar memberi hukuman cambuk masing-masing dua puluh lima kali kepada dua belas orang perajurit pengawalnya ketika dia berada di panggung pertandingan sayembara yang diadakan Ki Sinduwening. Dengan alasan bahwa selosin perajurit pengawal itu membangkang perintahnya, tidak mau menangkap Ki Sinduwening dan Mawarsih, dia menyuruh hukum mereka dan minta agar padanya diberi regu pengawal yang baru. Penumpahan kemarahan kepada selosin pengawalnya ini masih belum menghapus kejengkelan yang meracuni hati Raden Mas Martapura.

   Dia menginginkan Mawarsih, dan selama keinginan ini belum terpenuhi, dia tentu akan terus-terusan marah dan jengkel. Sembilan orang selirnya yang muda-muda dan cantik tidak dapat menghibur hatinya. Sebagai putera Sang Prabu Hanyokrowati, tentu saja Raden Mas Martapura juga bukan seorang pria yang lemah. Biarpun dia tidak menguasai aji kedigdayaan seperti para saudaranya, terutama Raden Mas Rangsang, namun dia memiliki satu kelebihan, yaitu ilmu sihir atau sulap. Dia pernah berguru kepada seorang pertapa ahli sihir sehingga Raden Mas Martapura seringkali melakukan tapa-brata untuk menguasai ilmu sihir. Seringakali dia memamerkan ilmunya itu kepada para penghuni istana, hanya untuk mencari pujian dan membanggakan diri.

   Sore hari itu, dengan wajah murung dan pandang mata muram, dia berjalan-jalan di taman sari istana. Maksudnya untuk menghibur dirinya, dan dia melarang pengawal mendekatinya. Dia berjalan-jalan seorang diri dan ketika dia berada di dekat dinding pemisah antara taman sari dan kaputren di mana tinggal para selir dan dayang dari Sang Prabu Hanyokrowati, dia mendengar suara tembang. Suara tembang itu demikian merdu dan indahnya sehingga dia menghentikan langkahnya dan mendengarkan. Tembang Kinanti itu terdengar indah sekali karena ditembangkan oleh seorang ahli yang memiliki suara merdu. Di dalam hatinya timbul perasaan iri. Di antara para selirnya dan abdi dayangnya, tidak ada yang memiliki suara merdu itu.

   Ayahnya selalu memilih yang terbaik! Bahkan selir-selir ayahnya juga cantikcantik, lebih menarik daripada selir-selirnya sendiri. Nafsu mendorong kita untuk mengejar yang baru, dan sudah menjadi sifat nafsu yang berakhir dengan kebosanan kepada sesuatu yang tadinya diburu-buru dan yang telah menjadi miliknya. Karena pengaruh nafsu inilah maka kita selalu lebih menghargai milik orang lain daripada milik kita sendiri. Milik orang lain, baik itu berujud benda, binatang, tumbuhtumbuhan, atau manusia sekalipun, akan selalu nampak lebih menarik dari pada yang kita miliki. Bunga mawar di taman orang lain nampak lebih cantik semerbak harum dibandingkan bunga mawar di taman sendiri.

   Demikian pula dengan Raden Mas Martapura yang sejak muda sekali, karena selalu dimanja, menjadi hamba nafsu yang selalu mengejar kesenangan dan kenikmatan. Biarpun sembilan orang selirnya itu canti-cantik, namun dia merasa bosan dan dia membayangkan bahwa selir-selir muda ayahnya jauh lebih cantik menarik! Tiba-tiba wajah yang murung itu kini berseri, mulut yang cemberut itu mengembangkan senyum dan mata yang muram kini berseri, lalu dia mengepal tangan kanannya. Hemm, kenapa tidak? Dari pada bersusah hati, lebih baik dia menghibur diri di dalam kaputren tempat para selir ayahnya! Tentu saja di pintu tembusan itu diahadang seorang pengawal yang berjaga di situ. Begitu melihat sang pangeran, pengawal itu memberi hormat dan menegakkan tombaknya.

   "Minggir, aku mempunyai urusan penting di dalam!"

   Kata sang pangeran.

   
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Biarpun dengan alis berkerut, penjaga itu tidak berani melarang. Kalau bukan pangeran mahkota yang memasuki pintu tembusan itu,tentu dia akan melarang dengan mati-matian, karena kalau sribaginda mengetahui bahwa dia memperbolehkan pria memasuki tempat itu, dia tentu akan dihukum berat, mungkin dihukum mati karena bagi pria,memasuki tempat tinggal para selir itu merupakan larangan keras. Dia minggir dan membiarkan pangeran muda itu masuk. Pada saat itu, para selir yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu bersama para dayang yang centil-centil sedang bersuka ria, ada yang bertembang, ada yang menari dan ada yang hanya bercengkerama. Semua tugas sehari itu telah selesai dan mereka setelah mandi dan makan malam, kini bersantai-santai di taman kecil itu sambil menanti kalau-kalau Sribaginda berkenan datang ke situ dan bersenang dengan mereka.

   Ketika Raden Mas Martapura muncul, semua selir terkejut. Di antara mereka yang berpakaian sembarangan, segera menutupkan pakaian pada tubuh mereka agar nampak sopan. Tempat itu memang khusus ditinggali para selir yang muda, sedangkan para selir tua yang telah mempunyai anak, mendapatkan kamar-kamar tersendiri di istana. Setelah mereka semua tahu bahwa yang datang adalah pangeran mahkota, merekapun menyambut dengan sikap manis. Bagaimanapun juga, pangeran ini merupakan calon pengganti raja, maka para selir dan para dayang amat menghormatinya. Mereka mempersilakan sang pengeran duduk lalu dengan berbagai macam gaya yang luwes mereka menanyakan maksud kedatangan pangeran itu. Raden Mas Martapura tersenyum.

   "Ah, tidak mempunyai urusan tertentu, hanya ingin bermain-main saja karena aku merasa bosan di istanaku."

   Seorang selir yang masih muda, baru dua puluh tahun usianya, hitam manis dan centil mengerling tajam dan berkata sambil tersenyum.

   "Aihh, paduka ini sungguh aneh, Pangeran. Bukankah di istana paduka terdapat selir-selir yang paling cantik, yang setiap saat siap menghibur hati paduka? Bagaimana mungkin paduka merasa bosan?"

   Ucapan itu didukung oleh para selir lainnya. Bagaimanapun, mereka merasa bergembira karena di tengah-tengah mereka terdapat seorang pangeran muda yang tampan.

   "Hemm, mereka itu sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para ibu selir di sini,"

   Kata pengeran itu.

   "Di tempat ini aku merasa seperti di dalam taman Indraloka, di antara para dewi kahyangan yang cantik jelita."

   Ucapan pangeran itu disambut oleh kekeh tawa yang gembira dan juga centil, bahkan ada seorang dua orang selir yang dengan sembunyi-sembunyi menyentuh tubuh pangeran itu dari samping dan belakang. Namun seorang di antara mereka, seorang selir yang mendapat nama panggilan Sekarjingga, mengerutkan alisnya. Ini sungguh tidak layak dan tidak baik, pikirnya. Oleh karena itu, ia memberanikan diri berkata kepada pangeran itu dengan suara lembut.

   "Ampunkan hamba, pangeran. Hamba kira seyogyanya kalau paduka segera meninggalkan tempat ini, karena kalau sewaktu-waktu Kanjeng Rama paduka masuk, kita semua akan mendapatkan kemarahan."

   Mendengar ucapan ini, Raden Mas Martapura mengerutkan alisnya dan mengangkat muka untuk melihat siapa yang berani menegurnya itu walaupun dengan teguran halus. Kiranya ia adalah Sekarjingga, selir ayahnya yang sudah menjadi selir selama tiga tiga tahun dan belum mempunyai anak. Selir ini cantik manis, dan mungkin untuk menyesuaikan diri dengan namanya, kembennya berwarna jingga. Akan tetapi, di samping merasa terganggu oleh teguran itu, dia merasa bahwa selir itu benar juga. Dan bagaimanapun, para selir yang bersikap ramah kepadanya ini tidak akan berani bersikap lebih mesra daripada sekedar keramahan terhadap seorang pangeran yang menjadi putera tiri mereka! Diapun memaksa diri tersenyum.

   "Andika benar juga, kanjeng Ibu Sekarjingga. Kalau begitu, biarlah aku pergi sekarang dan memanggil Kanjeng Rama agar menemani kalian yang sedang kesepian,"

   Diapun bangkit berdiri, tersenyum kepada semua selir yang diam-diam merasa kecewa dan kehilangan karena pangeran yang tampan itu demikian cepat meninggalkan mereka.

   Raden Mas Martapura keluar dari tempat itu melalui pintu tembusan yang tadi dan kepada penjaga yang masih bertugas di situ, dia berkata bahwa sebentar lagi Sang Prabu akan lewat masuk melalui pintu tembusan itu. Sang penjaga merasa heran dan diam-diam tidak percaya bahwa Sribaginda akan memasuki kaputren lewat pintu tembusan itu karena biasanya kalau berkunjung ke situ langsung dari istana melalui pintu besar manuju ke kaputren yang letaknya di bagian belakang istana itu. Akan tetapi, alangkah kagetnya penjaga itu dan cepat-cepat dia memberi hormat ketika tak lama kemudian Sang Prabu Hanyokrowati benar-benar memasuki kaputren lewat pintu tembusan itu. Dengan agungnya Sang Prabu lewat dan hanya melirik kepadanya, membuat penjaga ini hanya berani memberi hormat sambil menundukkan mukanya.

   Sementara itu, pada selir juga berharap-harap heran bagaimana mungkin sang pangeran tadi dapat memanggil ayahnya untuk datang ke situ! Dan lagak pangeran tadi sungguh tinggi hati, mengatakan bahwa dia akan memanggil Sang Prabu, seolah bisa saja dia memanggil beliau. Dimohon datangpun belum tentu dapat, apa lagi dipanggil! Akan tetapi betapa heran dan juga gembira rasa hati mereka ketika benar-benar Sang Prabu muncul di tempat itu dari pintu tembusan yang menuju ke taman sari. Yaitu taman besar istana, dari mana tadi sang pangeran keluar!

   Tentu saja para selir menyambut dengan hormat dan gembira, dan segera mereka mempersilakan Sribaginda untuk masuk ke dalam, duduk dengan santai dan mereka semua melayaninya dengan penuh kemesraan. Dan agaknya malam itu Sribaginda sedang bergembira. Dan nampak demikian penuh semangat dan penuh cinta, bahkan agak berlebihan sehingga dia menciumi para selirnya, seorang demi seorang bagaikan seekor harimau kelaparan! Keadaan ini membuat Sekarjingga kembali menjadi curiga. Selama tiga tahun lebih ia menjadi selir Sribaginda, dan biarpun pada saat-saat tertentu Sribaginda dapat bersikap mesra, namun belum pernah seperti ini, seperti harimau kelaparan dan menciumi para selir begitu saja di depan semua selir itu! Seolah Sribaginda telah kehilangan kesopanan dan keagungannya sebagai seorang raja besar! Karena itu, ketika tiba gilirannya dia dipegang tangannya, ditarik dan hendak dirangkul dan dicium, dengan halus namun tegas ia meronta dan melepaskan diri.

   "Ampun, gusti"""

   Tapi""

   Tidak di sini""."

   Katanya. Dan Sribaginda menjadi marah, lalu menggerakan jari-jari tangannya, menjentik dengan ibu jari dan jari tengah sehingga mengeluarkan suara berdetak seolah-olah dia sedang membujuk seekor burung perkutut atau seekor ayam.

   "Nimas Sekarjingga, kenapa engkau malu-malu? Lihat itu, kembenmu juga sudah terlepas dan kembenmu tidak malu-malu seperti engkau!"

   Beberapa kali jari tangannya menjentik dan".. Sekarjingga manahan jeritnya karena tiba-tiba saja kembennya yang berwarna jingga itu terlepas seolah ada tangan tak nampak yang melepaskannya atau seolah kemben itu hidup seperti ular, melepaskan lingkarannya dari pinggangnya yang ramping. Para selir dan dayang juga merasa heran, akan tetapi mareka segera tertawa cekikikan karena mereka maklum bahwa Sang Prabu Hanyokrowati agaknya memperlihatkan ilmunya sehingga kemben itu dapat terlepas sendiri!

   "Nah-nah sekarang kainmu yang melepaskan diri. Kalau pakaianmu tidak malu-malu kenapa engkau malu, nimas? Ke sinilah, ke dalam pelukanku".."

   Kembali jari-jari tangan itu menjentik-jentik dan""

   Tak dapat lagi Sekarjingga menahan jeritnya karena kini benar-benar yang melibat tubuhnya mulai mengembang dan hendak melepaskan diri dari tubuhnya! Dan pada saat itu, terdengarlah suara yang berat dan berwibawa,

   "Apa yang terjadi di sini? Ada apakah ribut-ribut ini?"

   Ketika semua selir dan dayang menoleh, banyak di antara mereka yang menjerit dan mereka semua terbelalak melihat Sang Prabu Hanyokrowati telah berdiri di ambang pintu ruangan itu! Ketika mereka semua kini menoleh kepada "Sribaginda"

   Yang tadi mereka layani dayang mengajak mereka bercumbu, mereka semua menjadi pucat dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Sang Prabu, karena yang tadi mereka anggap sebagai Sribaginda bukan lain adalah Raden Mas Martapura! Pengaruh sihir atas diri selir Sekarjingga juga pudar dan selir ini cepat membetulkan kain dan kembennya, lalu menjatuhkan diri berlutut menyembah Sribaginda sambil menangis.

   "Kanjeng Rama, hamba hanya ingin bermain-main di sini""."

   Raden Mas Martapura tergagap dan diapun cepat turun dari tempat duduknya, menyembah dan wajahnya menjadi agak pucat. Kalau pangeran lain yang tertangkap basah menodai tempat selir seperti itu, pasti Sang Prabu Hanyokrowati akan marah besar dan mungkin menghukumnya dengan berat, bahkan bisa saja membunuhnya karena perbuatan itu sungguh merupakan aib bagi keluarganya. Akan tetapi, dia terlalu menyayang Raden Mas Martapura, maka dalam kekecewaan, penyesalan, kedukaan dan kemarahannya, terlontar ucapan yang langsung keluar dari lubuk batinnya.

   "Martapura, apakah engkau sudah gila? Perbuatanmu ini seperti perbuatan orang gila saja!"

   Hening sesaat setelah Sang Prabu Hanyokrowati mengeluarkan ucapan itu, kemudian nampak Pangeran itu berkata dengan suara gemetar,

   "Ampunkan hamba, Kanjeng Rama".."

   Dan terdengar isak tangisnya! Akan tetapi hanya sebentar karena kini pangeran itu berkata lagi,

   "Kanjeng Rama, hamba ingin bersenang-senang saja"""Dan diapun tertawa-tawa.

   "Astagfirullah aladziimm""..!"

   Sang Prabu Hanykrowati mohon ampun kepada Gusti Allah dan diapun menyadari apa yang telah terjadi. Dalam kemarahannya tadi, dia telah mengeluarkan kata-kata kutukan dan kini puteranya itu benar-benar telah menjadi gila! Ucapan seorang ayah atau ibu mengandung kekuatan yang amat hebat, apa lagi keluar dari hati seorang raja besar ytelah mendapatkan wahyu dari Gusti Allah untuk menjadi pemimpin rakyat. Namun, sekali mengeluarkan ucapan tidak mungkin dapat ditarik kembali dan raja itu hanya dapat memandang puteranya dengan hati yang seperti ditusuk-tusuk rasanya. Raden Mas Martapura memang bersikap aneh. Dia mengangkat muka, memandang ke sekeliling, tertawa ha-ha-he-he, lalu menyembah ke arah Sang Prabu Hanyokrowati.

   "Kanjeng Rama, hamba mohon diri""."

   Dan diapun bangkit dan berjalan pergi melalui pintu tembusan diikuti oleh pandang mata sang ayah yang kini baru menyadari bahwa dia telah meracuni puteranya sendiri dengan limpahan kasih sayang yang hanya merusak kepribadian puteranya itu sehingga menjadi manja, tinggi hati dan batinnya lemah.

   "Ya Allah, Gusti Maha Agung".. segala kehendakMU terjadilah""."

   Dia meratap di dalam hatinya. Kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada para selirnya,

   "Kalian semua harus mandi keramas, kemudian berpuasa selama tiga hari, baru boleh memperlihatkan diri kepadaku."

   Para selir sambil menangis menaati perintah itu dan Sang Prabu Hanyokrowati lalu kembali ke istana.

   Peritiwa yang nampaknya sepele ini ternyata kemudian mengubah jalannya sejarah seperti yang telah diatur oleh Sang Prabu Hanyokrowati. Biarpun Raden Mas Martapura sudah diangkat menjadi pangeran mahkota dan ditentukan bahwa dia yang kelak menggantikan ayahnya menjadi raja di Mataram, akan tetapi karena pikirannya tidak waras lagi, karena dia telah menjadi seorang yang lebih sering bersikap seperti orang gila, tentu saja tidak mungkin mendudukkan dia sebagai raja dan kelak, sebagaimana tercatat dalam sejarah, yang menggantikan Sang Prabu Hanyokrowati bukanlah Raden Mas Martapura, melainkan Raden Mas Rangsang, pengeran sulung yang kelak akan menjadi seorang raja yang amat terkenal, bahkan lebih besar dari pada ayahnya, yaitu Sultan Agung Senopati Ing Alaga Saidin Panatagama dengan julukan Sang Prabu Pandita Anyakrakusuma! Dalam peritiwa ini kembali terbukti akan kebesaran dan keagungan kekuasaan Tuhan!

   Betapapun pandainya manusia, betapapun pintarnya manusia mengatur dan merencanakan sesuatu, namun akhirnya Kekuasaan Tuhan yang akan menentukan segalanya, sungguhpun semua akibat itu bukan tanpa sebab dan sebabnya terletak dalam sepak terjang si manusia sendiri dalam hidupnya. Oleh karena itu, tidak ada yang lebih tepat bagi sikap hidup kita sehari-hari kecuali, ingat dan waspada. Ingat selalu tanpa henti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan penuh keyakinan akan kekuasaan-Nya dan menyerah dengan penuh kepasrahan, keihklasan dan ketawakalan, dan waspada akan langkah hidupnya setiap saat sehingga kita tidak akan lengah dan tahu benar apa bila langkah hidup ini menyeleweng atau menyimpang dari kebenaran yang sudah digariskan dalam setiap agama atau pengertian tentang perbedaan antara benar dan salah pada umumnya. Walaupun pengetahuan hati akal pikiran tidak mungkin mampu mengusai nafsu yang sudah mencengkeram diri setiap orang manusia, namun dengan penyerahan yang sepenuhnya lahir batin, maka Kekuasaan Tuhan yang akan bekerja selaras dengan kehendak Tuhan.

   Malam terang bulan purnama. Indah nian permukaan bumi yang mandi cahaya bulan purnama. Terang namun lembut dan dingin, berbeda dengan terangnya matahari di siang hari yang keras garang dan panas. Tepatlah perbandingan yang dikatakan orang bahwa matahari adalah "raja"

   Dan bulan adalah "ratu"

   Atau dewi. Begitu indah, lembut dan suasana menjadi tenang dan penuh keriangan apabila bulan purnama muncul di angkasa. Di dalam sebuah gubuk di tengah ladang yang sunyi, di luar pintu gerbang kota raja, nampak duduk dua orang yang sedang bercakap-cakap. Dari jauh, mereka kelihatan seperti dua orang petani yang sedang menikmati bulan purnama di gubuk itu.

   Akan tetapi andaikata ada yang sempat mendekati mereka, orang itu tentu akan terkejut mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah Raden Mas Rangsang, pangeran sulung itu. Dan lebih mengejutkan orang lagi, yang duduk di depannya, keduanya bersila, di dalam gubuk bambu yang terbuka itu, adalah seorang yang berpakaian serba hitam dan mukanya tertutup kedok. Si Kedok Hitam yang kemunculannya di dalam sayembara yang diadakan Ki Sinduwening telah menggegerkan orang. Si Kedok Hitam sedang duduk bercakap-cakap dengan Pangeran Raden Mas Rangsang! Dan mereka bercakap-cakap demikian akrabnya!

   "Berita yang kaubawa ini sungguh teramat penting, adimas,"

   Kata Pangeran Raden Mas Rangsang.

   "Jadi sudah pasti bahwa mereka itu hendak bergerak pada waktu pagi, lima hari lagi dan dua hari kemudian, mereka akan menyerbu Mataram di waktu malam hari?"

   "Demikianlah keterangan yang saya peroleh, kakakngmas pangeran. Dan karena saya dapat mendengarnya ketika mereka mengadakan rapat penting, tentu saja hal itu sudah pasti."

   Jawab Si Kedok Hitam.

   "Bagus, kalau begitu besok akan kulaporkan kepada Kanjeng Rama agar diadakan perubahan siasat menghadapi mereka. Kemudian, berita apa lagi yang penting darimu, adimas?"

   "Tentang Malangkoro dan gurunya. Danyang Gurita itu, kakangmas pangeran."

   Pangeran itu tersenyum.

   "Hemm, raksasa yang hampir memenangkan sayembara dan memboyong diajeng Mawarsih itu? Orang yang kau kalahkan dalam pertandingan? Wah, ulahmu itu membuat diajeng Mawarsih tak dapat tidur, adimas."

   "Saya hanya mencegah orang kasar itu memaksakan kehendaknya, kakangmas pangeran."

   "Sudahlah, akupun tidak menyalahkan engkau mencegah diajeng Mawarsih menjadi isteri orang lain. Akan tetapi, berita apa tentang Malangkoro dan Danyang Gurita?"

   "Ketika saya bertanding melawan Malangkoro, saya melihat dia menggunakan jurus dari Aji Tirtadahana (Air Api)"""

   "Ahh!"

   Raden Mas Rangang memotong. Bagaimana mungkin itu? Tirtadahana adalah aji yang dirangkai oleh Eyang Sunan Kalijogo!

   "Itulah sebabnya saya menjadi terkejut, heran dan ingin sekali menyelidiki, kakang- mas. Malangkoro adalah murid Danyang Gurita, dan kakek itu adalah seorang pertapa ahli sihir dan ilmu hitam. Bagaimana mungkin Malangkoro dapat melakukan serangan Aji Tirtadahana? Saya lalu pergi ke tempat asal mereka, di pantai Laut Selatan. Ternyata kemudian bahwa Danyang Gurita pernah bentrok dengan Eyang Sunan dan dikalahkan lalu menakluk. Kemudian, karena Eyang Sunan Kalijogo melihat bahwa Danyang Gurita mau bertaubat, maka beliau berkenan mengajarkan beberapa jurus dari Tirtadahana. Nah, kakek itu lalu mengajarkan pula kepada muridnya, si Malangkoro. Akan tetapi bukan hal ini yang terpenting dalam hasil penyelidikan saya, kakangmas pangeran."

   "Ada yang lebih penting lagi? Wah, andika memang seorang penyelidik yang ulung dan mahir, adimas! Ceritakan, apa lagi yang kau ketemukan dalam penyelidikanmu?"

   Kakangmas, ternyata bahwa Malangkoro dan gurunya adalah mata-mata yang sengaja dikirim oleh Sang Adipati Ponorogo."

   "Eladhalah!"

   Pangeran Raden Mas Rangsang berseru kaget.

   "Sungguh cerdik sekali Paman Adipati Ponorogo! Paman Sinduwening mengadakan sayembara untuk menghimpun tenaga, Paman Adipati mempergunakan kesempatan itu untuk menyelundupkan mata-mata yang menjadi peserta sayembara. Dan Malangkoro berhasil memperoleh kedudukan dalam pasukan kita karena kedigdayaannya. Hemm, aku mengerti sekarang mengapa mereka hendak melakukan serbuan mendadak. Tentu mereka sudah mendengar tentang rancana penyerbuan pasukan kita ke Ponorogo dan mereka sengaja hendak mendahului."

   "Kakangmas Pangeran bijaksana dan cerdik pandai, tentu telah dapat mengambil kesimpulan dan tahu apa yang harus dilakukan. Kakangmas tentu maklum bahwa sampai sekarang, saya tetap dapat menjauhkan diri dari keterlibatan perang saudara yang amat menyedihkan ini."

   Pangeran sulung itu mengangguk.

   "Aku mengerti akan keadaanmu dan perasaan hatimu, adimas. Perasaanmu terpecah antara Mataram dan Ponorogo yang sesungguhnya tidak merupakan daerah terpisah dan andika tidak mau terlibat karena berat terhadap keduanya. Akan tetapi biarpun tidak langsung terlibat, andika membantu Mataram dengan keteranganketerangan, hanya karena andika melihat betapa Paman Adipati Ponorogo dipengaruhi orang-orang yang hendak memancing di air keruh, orang-orang yang menghendaki pecahnya perang saudara. Kami juga akan menuntut andika untuk membantu kami berperang, adimas. Akan tetapi, menurut pikiranmu, bagaimana baiknya dengan Malangkoro? Apakah sebaiknya kalau dia sekarang juga kutangkap?"

   "Sebaiknya jangan, kakangmas. Lebih baik kita berpura-pura tidak tahu saja, dan nanti apabila terjadi pertempuran, saya yang akan mengamatinya kalau-kalau dia melakukan pengkhinatan yang merugikan Mataram."

   "Baiklah kalau begitu. Akan tetapi, karena antara kita jarang mendapat kesempatan untuk saling jumpa, ingin sekali aku mempergunakan kesempatan ini untuk minta nasihatmu tentang diajeng Dyah Ayu Ratu Pandan. Sejak andika menjauhkan diri dan tidak pernah nampak lagi, bahkan kemudian selalu bersembunyi sebagai Si Kedok Hitam, ia seringkali bertanya kepadaku di mana andika berada, dan ia merasa amat rindu kepadamu. Aku yakin benar bahwa ia amat mencintamu, adimas." "Aduh Gusti, hati ini seperti diremas kalau teringat kepada diajeng Ratu Pandan, kakangmas. Tentu kakangmas maklum bahwa tidak mungkin"""

   "Aku tahu, adimas, dan sampai sekarang, hanya aku seorang yang mengetahui rahasiamu. Bahkan Kanjeng Rama sendiri belum tahu. Dan akupun memenuhi permintaanmu agar aku tidak menceritakan kepada orang lain. Lalu bagaimana baiknya dengan diajeng Ratu Pandan? Apakah sebaiknya kalau kuceritakan saja kepadanya tentang rahasiamu agar ia tidak mengharapkanmu lagi?"

   "Jangan, kakangmas! Belum tiba saatnya. Nanti setelah pertempuran melawan Ponorogo selesai, saya akan menceritakan segalanya kepada semua orang. Kalau sekarang diceritakan, tentu akan menimbulkan kerisauan dan hal itu amat tidak baik selagi kita berdua berada dalam keadaan tegang dan gawat menghadapi perang saudara."

   "Baiklah, adimas. Dan sekarang tentang diajeng Mawarsih. Kalau memang kalian sudah saling mencinta, akupun mau menjadi perantara untuk mengajukan pinangan".."

   "Ahhh, kakangmas pangeran. Bagaimana mungkin seorang gadis dapat mencinta seseorang yang selama hidupnya belum pernah dilihat wajahnya? Kalau belum yakin benar bahwa ia mencinta saya, bagaimana saya akan berani mengajukan pinangan? Hal itupun nanti saja kita bicarakan setelah pertempuran yang menyedihkan hati kita ini berakhir."

   Raden Mas Rangsang tertawa, lalu merenung memandang bulan dan berkata seperti kepada diri sendiri.

   "Wahai Sang Dewi Ratri (Dewi Malam), Sang Dewi Candra Purnama (Bulan Purnama), betapa penuh rahasia cahayamu nan indah gemilang, seperti rahasia yang terpendapat dalam cinta kasih! Ada orang jatuh cinta karena wajah dan tubuh yang indah, karena memang kita suka akan keindahan! Ada yang jatuh cinta karena budi kebaikan, karena memang kita suka kalau diperlakukan baik oleh orang lain. Ada yang jatuh cinta karena harta atau kedudukan, karena memang kita suka memiliki harta atau kedudukan. Semua itu sama saja, karena dasarnya adalah kesenangan. Akan tetapi ada cinta karena cinta, kerena sesuatu terjadi di dalam batin, dan cinta inilah yang membuat orang yang dicinta selalu nampak indah, selalu nampak baik dan harta atau kedudukan tidak masuk hitungan, lagi. Andika orang yang penuh rahasia, adimas, ingin sekali aku mengetahui, kalau andika jatuh cinta, entah pada golongan mana andika berdiri."

   

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini