Kidung Senja Di Mataram 14
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Saya tidak tahu, kakangmas. Dalam urusan cinta, agaknya saya masih harus belajar dari kakangmas, karena saya tidak mempunyai pengalaman sama sekali."
Jawab Si Kedok Hitam.
Pangeran sulung itu hanya tertawa dan merekapun meninggalkan gubuk itu, saling berpisah. Raden Mas Rangsang kembali ke kota raja sedangkan Si Kedok Hitam pergi ke arah timur. Di bawah sinar bulan purnama, Si Kedok Hitam berjalan seorang diri. Dia berjalan sambil melamun. Selama menjadi adik seperguruan Raden Mas Rangsang, pangeran itu telah banyak memberi bimbingan kepadanya, baik mengenai aji kesaktian maupun kebijaksanaan. Dan dia bertemu dengan Dyah Ayu Ratu Pandan, adik bungsu pangeran itu.
Oleh Pangeran Raden Mas Rangsang, mereka diperkenalkan dan sejak perkenalan itu, puteri kedaton itu nampak akrab dengannya dan diapun merasa betapa puteri kedaton itu menyukainya. Hal ini amat merisaukan hatinya karena terdapat sebuah rahasia pada dirinya yang membuat dia tidak mungkin dapat berjodoh dengan sang puteri. Dan rahasia itu hanya diketahui Raden Mas Rangsang seorang. Sejak dia yakin bahwa puteri itu jatuh cinta kepadanya, dia lalu lenyap dari pergaulan umum dan muncullah dia sebagai Si Kedok Hitam.
Hal ini pertama kali dia lakukan agar sang puteri tidak lagi dapat bergaul dengannya, dan ke dua kalinya, dia dapat melakukan bentuan kepada Mataram tanpa harus memperlihatkan diri, baik kepada pihak Mataram maupun pihak Ponorogo. Kalau melihat ayah kandungnya orang Mataram, tentu dia harus memihak Mataram. Akan tetapi ibu kandungnya adalah orang Ponorogo sehingga diapun tidak tega untuk memusuhi Ponorogo. Dan keadaannya itu hanya diketahui oleh Raden Mas Rangsang. Pendiriannya sama dengan pengeran itu, bahwa perang saudara antara Mataram dan Ponorogo itu merupakan suatu keadaan yang menyedihkan.
Sang Adipati Jayaraga dari Ponorogo adalah adik sendiri dari Raden Mas Jolang yang sekarang menjadi Sang Prabu Hanyokrowati. Ketika menyadari bahwa dia tenggelam ke dalam renungan dan kenangan, Si Kedok Hitam mencela diri sendiri dan dia lalu berlari cepat, mempergunakan aji berlari cepat sehingga tubuhnya melesat ke dalam cahaya bulan, seperti seekor rusa muda. Sebentar saja bayangan hitam itupun lenyap.
Bulan sudah tidak purnama lagi, namun masih memancarkan cahayanya yang terang karena baru lewat tiga hari purnama. Di dusun Ngampil, semua penghuninya sudah tidak nampak di luar rumah. Malam telah larut dan keadaan di dusun kecil seperti dusun Ngampil memang demikian. Di dusun, berbeda dengan keadaan di kota, tidak terdapat tempat-tempat hiburan yang dapat ditonton, tidak terdapat pula warung-warung tempat jajan. Karena itu, para penghuni dusun lebih senang berada di dalam rumah, baik untuk bergadang maupun tidur sore-sore. Apa lagi malam itu hawanya memang dingin sekali. Malam terang bulan dengan hawa udara sedingin itu merupakan malam yang indah sekali bagi sepasang pengantin baru seperti Bargowo dan Suminten yang pernah terkenal sebagai ledhek dari Pacitan yang bernama Madularas.
Baru sebulan mereka menikah dengan sederhana di dusun Ngampil dan tinggal di sebuah rumah yang tidak terlalu besar namun cukup menjadi tempat tinggal mereka berdua bersama Bibi Warsinah, yaitu bibi dari Suminten yang kini ikut keponakannya yang sudah yatim piatu itu. Bargowo masih memimpin perkumpulan Dayatirta dan kurang lebih tiga puluh orang anggotanya tersebar di sekitar daerah itu, ada pula yang tinggal di dusun Ngampil, dan ada pula yang tinggal di dusun-dusun yang berdekatan. Biarpun kini kakaknya, Santiko, telah meningalkan Bargowo dan ada belasan orang anggota perkumpulan Dayatirta mengikuti jejak Santiko meninggalkan perkumpulan itu, namun perkumpulan itu masih berdiri di bawah pimpinan Bargowo.
Biarpun sejak ia remaja Suminten sudah bekerja sebagai ledek yang pandai menari dan bernyanyi
(Lanjut ke Jilid 14)
Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
dengan suara merdu, namun tidak seperti para ledek pada umumnya di waktu itu, Suminten selalu pandai menjaga diri dan tidak pernah mau disentuh pria, apa lagi disuruh melayani dalam pergaulan yang mesra. Ia selalu menolak sehingga ia adalah seorang gadis murni ketika menikah dengan Bargowo, suaminya yang dipilihnya karena saling mencinta dan juga terutama karena ia telah berhutang budi itu. Dan Bargowo yang telah berusia tiga puluh tahun, seorang pria yang matang, tampan dan lembut, bersikap lembut sekali sehingga Suminten memasuki kehidupan baru sebagai isteri dengan penuh kebahagiaan. Malam itu, belum juga tengah malam, suami isteri pengantin baru ini telah tidur pulas dengan senyum kepuasaan dan kebahagiaan di bibir mereka.
Mereka tidak tahu bahwa Bibi Warsinah gelisah dalam kamarnya di belakang, tak juga dapat pulas, hal yang tidak seperti biasanya dan beberapa kali ia bangun duduk dengan hati merasa tidak enak. Malam itu sunyi, dan biarpun bulan bercahaya terang, namun kesunyiaan melengang itu mendatangkan suasana yang menyeramkan. Apa lagi ketika terdengar suara anjing melolong, kebiasaan anjing-anjing yang suka melolong ke arah bulan, suasana menjadi semakin menyeramkan, bahkan mengerikan, seolah-oleh lolong anjing itu sebagai peringatan kepada para penduduk dusun Ngampil bahwa setan-setan yang gentayangan sedang berkeliaran mencari korban.
Empat orang penduduk dusun Ngampil yang mendapat giliran meronda pada malam hari itu, mulai mengantuk dan mereka duduk di dalam gardu penjagaan, merasa seram juga mendengar lolong anjing itu. Perondaan tiap malam diadakan secara bergilir atas prakarsa Bargowo sebagai ketua perkumpulan Dayatirta. Kalau ada penduduk dusun itu yang kebetulan berada di luar dusun, tentu dia akan lari tunggang-langgang melihat gerombolan bayang-bayang hitam yang datang menuju ke dusun ituMereka terdiri dari kurang lebih lima puluh orang dan di dalam sinar bulan yang dari jauh nremang-remang itu, mereka menambah seramnya suasana, seolah mereka itu adalah segerombolan iblis yang datang hendak mengganggu ketentraman dusun Ngampil.
Sesungguhnya,iblis tidak akan kelihatan jahat sebelum dia menguasai seorang manusia karena iblis sendiri tidak kuasa berbuat jahat. Akan tetapi, kalau iblis sudah menguasai hati manusia, barulah iblis mempergunakan tubuh manusia untuk melakukan kejahatan. Dan gerombolan orang yang menghampiri dusun Ngampil itu adalah serombongan manusia! Mereka dipimpin oleh seorang pria yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya dihias brewok sehingga dia nampak jantan, gagah dan menyeramkan. Orang ini bukan lain adalah Santiko! Sebulan lebih yang lalu, Santiko pergi meninggalkan perkumpulan Dayatirta diikuti belasan orang anak buahnya ketika dia dengan marah harus mengakui kekalahan dalam memperebutkan cinta kasih Suminten dari adiknya sendiri, yaitu Bargowo.
Dia pargi membawa perasaan cemburu dan iri hati yang makin lama semakin membara menjadi dendam. Nafsu menggelitik hati dan akal pikirannya, mengobarkan api dendam yang membuat Santiko hampir gila. Makin dikenang, semakin terbayanglah dia akan wajah Suminten yang cantik jelita, tubuhnya yang menggairahkan. Dan semakin marahlah dia kepada adiknya yang dianggapnya telah merampas Suminten dari tangannya, kemarahan yang lambat laun menjadi dendam kebencian.
"Aku harus mendapatkan Suminten!"
Akhirnya, setelah tersiksa batinnya selama sebulan, dia mengambil keputusan bulat.
"Aku tidak dapat hidup tanpa Suminten!"
Dendam meracuni hati manusia, menggelapkan hati nuraninya dan mengguncang pertimbangan akal budi sehingga menjadi miring.
Santiko berubah sama sekali! Dia sudah lupa akan keputusan yang diambilnya bersama Bargowo bahwa mereka berdua tidak akan melibatkan diri dengan perang saudara antara Mataram dan Ponorogo, dan hanya bersikap sebagai ksatria yang melindungi yang lemah tertindih, menentang yang jahat dan mempertahankan kebenaran dan keadilan tanpa mencampuri perang saudara yang saling memperebutkan kekuasaan. Dia segera pergi berkunjug ke Ponorogo dan diterima dengan penuh kegembiraan oleh adik seperguruannya, yaitu Raden Nurseta dan juga oleh Mayaresmi, bekas isteri guru mereka, Ki Ageng Jayagiri yang kini menjadi kekasih Nurseta dan bersamasama membantu Adipati Jayaraga dari Ponorogo.
"Ah, kami merasa berbahagia sekali bahwa andika telah menyadari bahwa sudah menjadi kewajiban kita untuk berbakti kepada Ponorogo, kakang Santiko. Akan tetapi, akan lebih baik kalau kakang Bargowo juga dapat diajak untuk bekerja sama."
"Hemm, dia telah menjadi pengkhianat, dia berpihak kepada Mataram!"
Kata Santiko dengan geram, akan tetapi kemarahannya bukan karena seperti yang dikatakannya itu, melainkan karena Suminten.
"Kalau begitu, dia perlu dihukum, Kakang Santiko. Sebaiknya kalau andika membawa pasukan dan mendatanginya. Sukur kalau dia mau membantu Ponorogo. Kalau berkeras tidak mau, sebaiknya ditangkap sebagai pengkhianat."
Kata Nurseta penasaran.
Demikianlah, malam itu Santiko membawa anak buahnya ditambah pasukan Ponorogo yang jumlahnya semua kurang lebih lima puluh orang untuk melaksanakan tugas pertamanya yang dia terima dari adik seperguruannya, Raden Nurseta yang kini telah menjadi seorang senopati muda Ponorogo. Akan tetapi di balik inti tugasnya itu tersimpan rahasia hatinya, yaitu gerakannya itu terutama sekali untuk merampas Suminten dari tangan adiknya! Lolong anjing yang tadi seperti ratapan yang ditujukan kepada bulan, kini bertambah ramai, bukan lolong lagi melainkan gonggongan anjing yang marah atau ketakutan.
Agaknya anjing-anjing di dusun itu telah mengetahui akan datangnya segerombolan orang itu yang kini sudah memasuki pintu gerbang dusun. Empat orang peronda yang tadinya duduk saja di gardu, kini bangkit dan mereka mengambil keputusan untuk melakukan perondaan. Dusun itu biasanya aman. Tidak ada penjahat berani beraksi di daerah itu karena mereka takut kepada perkumpulan orang gagah Dayatirta. Bargowo mengusulkan diadakan perondaan karena keadaan yang gawat dengan adanya ancaman perang antara Ponorogo dan Mataram, dan biasanya, kalau terjadi perang, maka para penjahat akan keluar dan berkeliaran dan mengganas tempat-tempat yang tidak ada petugas keamanannya. Ketika mereka tiba di tepi dusun, dan melihat serombongan orang muncul di tikungan jalan, tentu saja mereka terkejut sekali dan terheran-heran.
Mereka tidak menyangka buruk karena tidak mungki ada pencuri dalam jumlah yang demikian banyaknya. Ketika mereka mendekat, mereka melihat bahwa rombongan orang itu berpakaian perajurit, maka mereka menjadi semakin heran, apa lagi menyaksikan dan mengenal Santiko berada di antara mereka. Segera empat orang peronda itu lari menuju ke rumah kepala dusun untuk melaporkan. Santiko dan rombongannya tidak memperdulikan empat orang peronda itu. Mereka melanjutkan perjalanan dengan cepat menuju sebuah rumah, rumah Bargowo dan Suminten! Santiko merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tadi dia sudah berpesan kepada anak buahnya agar kalau Bargowo manolak dan melawan dia, dikeroyok dan ditawan. Dia sendiri akan mengurus Suminten.
Bargowo dan Suminten yang sudah tidur pulas, terbangun ketika mendengar daun pintu rumah mereka digedor orang. Akan tetapi Bibi Warsinah yang sejak tadi memang gelisah dan sukar tidur, sudah terbangun lebih dulu dan ia cepat berlari membukakan daun pintu. Ia terbelalak melihat demikian banyaknya orang di depan rumah sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara saking kaget dan takutnya. Pada saat itu, Bargowo dan Suminten muncul pula. Dengan pakaiannya yang kusut dan rambut terlepas awut-awutan, dalam pandangan Santiko, Suminten nampak semakin menggairahkan. Sementara itu, Bargowo terbelalak kaget dan heran melihat bahwa yang berdiri di depan pintu adalah kakaknya, Santiko dan di belakang kakaknya itu terdapat puluhan orang perajurit Ponorogo.
"Kakang Santiko"", ada apakah? Kenapa kakang datang malam-malam begini dan""
Siapa pula para prajurit ini?"
Bargowo bertanya dengan bingung, akan tetapi hatinya merasa tidak enak. Dia menoleh kepada isterinya.
"Minten, kau kembalilah ke dalam kamar."
Suminten yang menjadi pucat melihat demikian banyaknya orang di depan rumah, kini dirangkulnya Bibi Warsinah dan kedua orang wanita itu memasuki kamar. Dengan tenang Bargowo lalu melangkah keluar dari pintu, menghadapi kakaknya di pekarangan depan.
"Nah, katakanlah, kakang Santiko. Apa maksud kedatanganmu ini?"
"Kami datang sebagai utusan Kanjeng Adipati Ponorogo untuk menangkapmu! Engkau pengkhianat yang tidak mau membantu Ponorogo, bahkan memihak Mataram. Nah, engkau menyerah sajalah agar kami tidak mempergunakan kekerasan,"
Kata Santiko.
Bargowo mengerutkan alisnya dan mukanya berubah merah.
"Kakang Santiko! Engkau mengabdi kepada Kadipaten Ponorogo? Engkau yang telah mengkhianatiku, mengkhianati keputusan kita bersama! Aku tidak sudi menyerah!"
Bargowo maklum bahwa kalau dia menyerah, dia pasti akan dihukum.
"Bargowo, kalau engkau menyerah, minta ampun kepada Kanjeng Adipati, dan bersedia untuk mengabdikan diri kepada kadipaten Ponorogo, mungkin engkau akan diampuni."
Santiko membujuk karena merasa tidak enak juga kalau tidak mencoba untuk membujuk seperti dianjurkan Nurseta, apa lagi percakapan mereka didengarkan oleh semua perajurit.
"Tidak sudi, kakang Santiko! Aku seorang ksatria sejati, bukan seorang pengecut! Sebaiknya kalau engkau pergi membawa anak buahmu dan jangan menggangguku lagi!"
Santiko tidak ingin berbantah lagi.
Dia menoleh memberi isarat kepada anak buahnya dan Bargowo segera dikepung dan hendak dipegang. Ketua Dayatirta ini menjadi marah dan sekali bergerak, dia telah menampar dan menendang roboh dua orang yang terdekat.
"Hemm, tangkap dia!"
Santiko membentak dan kini Bargowo dikeroyok banyak orang, Bargowo mengamuk dan melihat ini, Santiko segera meloncat masuk ke dalam rumah itu. Dua orang wanita itu saling rangkul dan nampak terkejut ketika Santiko memasuki kamar itu. Santiko tersenyum.
"Diajeng Suminten, jangan takut. Mari andika ikut denganku agar tidak ada yang berani mengganggumu."
Dia menjulurkan tangannya kepada wanita muda itu. Akan tetapi Suminten makin rapat merangkul bibinya dan memandang dengan mata penuh kecurigaan dan ketakutan.
"Tidak, aku tidak mau ikut, kakangmas Santiko. Pergilah dan jangan ganggu kami".."
"Hemm, apakah engkau lebih suka jatuh ke tangan puluhan orang itu?"
Gertak Santiko dan diapun melangkah maju mendekat.
"Marilah, aku akan menyelamatkanmu!"
"Tidak, aku ingin bersama kakangmas Bargowo""".!"
Suminten menjerit ketakutan. Ia sudah tahu bahwa kakak suaminya ini marah karena ia tidak mau menjadi isterinya, melainkan memilih Bargowo. Karena melihat Suminten tidak mau dibujuk, sekali sambar, Santiko telah dapat menangkap pergelangan tangan wanita itu dan menariknya mendekat.
"Tidak"".! Lepaskan aku! Lepaskan"..!"
Suminten meronta-ronta, akan tetapi ia tidak dapat melepaskan tangannya yang terpegang pria tinggi besar itu.
"Lepaskan ia! Kenapa andika memaksanya? Ia adalah adik ipar andika! Ingat, anak mas Santiko, perbuatan ini tidak sopan"".!"
Bibi Warsinah juga mencoba untuk melepaskan pegangan tangan Santiko kepada lengan keponakannya itu.
Melihat ini, Santiko menjadi marah dan sekali kakinya bergerak, tubuh Bibi Warsinah terkena tendangan dan terpelanting roboh, pingsan! Santiko lalu memondong tubuh Suminten yang meronta-ronta, dengan ringan dia dapat memondong tubuh itu di atas pundaknya dan diapun lari keluar dari rumah itu melalui pintu belakang dan terus melarikan Suminten yang menjerit-jerit!
Pada waktu itu, para anak buah Dayatirta yang tinggal di dusun itu sudah datang berlari-larian dan melihat betapa ketua mereka dikeroyok puluhan orang perajurit dan bekas anak buah Dayatirta yang meninggalkan perkumpulan itu bersama Santiko, merekapun membantu ketua mereka. Akan tetapi, karena para perajurit Ponorogo yang menyertai Santiko adalah prajurit pilihan, dan jumlah mereka jauh lebih banyak, apa lagi karena di antara mereka terdapat pula belasan orang anggota Dayatirta, maka pertempuran itu amat berat sebelah. Banyak di antara mereka yang roboh, bahkan Bargowo sendiri, setelah merobohkan banyak pengeroyok, akhirnya roboh mandi darah terkena tusukan keris dan bacokan golok. Dengan nama isterinya dalam rintihan, pria perkasa ini akhirnya tewas dalam kubangan darahnya sendiri.
Santiko melarikan Suminten ke luar dusun Ngampil dan ternyata pasukan dari Ponorogo itu meninggalkan kuda mereka di suatu tempat, agak jauh dari dusun itu. Santiko membawa Suminten naik ke atas punggung seekor kuda dan menjalankan kuda itu perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Suminten meronta dan menangis, menjerit namun tidak da gunanya. Ia sama sekali tidak mampu melepaskan diri dan kini hanya mampu menangis ketika ia duduk di atas pungung kuda, di depan Santiko yang memegang kendali kuda dengan tangan kanan, sedangkan lengan kirinya yang kuat melingkari pinggang Suminten yang ramping. Akhirnya, Suminten dapat menenangkan dirinya dan dengan hati dipenuhi kegelisahan memikirkan keselamatan suaminya, ia memaksa diri untuk bicara dengan tenang.
"Kakangmas Santiko, sebetulnya apakah artinya semua ini? Kenapa andika datang malam-malam di rumah kami dan membawa puluhan orang?"
Melihat wanita itu sudah tenang dan bicara dengan teratur, tidak lagi panik ketakutan, hati Santiko menjadi lega,
"Nah, begitu sebaiknya, diajeng Suminten. Andika tentu tahu bahwa aku sama sekali tidak akan suka menyusahkanmu. Ketahuilah bahwa kami datang sebagai utusan Kanjeng Adipati Jayaraga di Ponorogo untuk menangkap adimas Bargowo."
"Akan tetapi""
Andika bukan prajurit Ponorogo"""!"
"Aku sekarang adalah seorang perwira pasukan kadipaten Ponorogo, diajeng, dan aku hanya melaksanakan tugas yang diperintahkan paduka."
"Apa kasalahan kakangmas Bargowo? Kenapa dia harus ditangkap?"
Tanya Suminten dengan khawatir dan penasaran.
"Dia telah berkhianat, diajeng. Sejak dahulu, sebelum menikah denganmu, aku selalu membujuknya agar membantu kadipaten Ponorogo melawan Mataram, akan tetapi dia selalu menolak, bahkan dia condong membantu Mataram. Karena itu, dia dianggap pengkhianat dan aku diutus untuk menangkapnya."
"Ahhh"".!"
Suminten menggeliat.
"Kau""
Kenapakah, diajeng?"
"Aku lelah sekali, kakangmas Santiko. Mari kita turun dan beristirahat sebentar. Andika tahu aku tidak akan dapat melarikan diri,"
Katanya dengan suara memohon.
Santiko mengangguk, lalu dia melompat turun dan membantu Suminten turun dari atas punggung kuda yang dia biarkan makan rumput. Mereka berada di lereng sebuah bukit dan dengan lesu karena kelelahan Suminten duduk di atas sebuah batu.
"Kakangmas, aku merasa heran sekali kenapa andika begitu tega kepada adikmu sendiri!"
Suminten mencela.
"Aku terpaksa, diajeng. Tugas adalah tugas dalam melakukan tugas, kita harus mengesampingkan urusan pribadi. Akan tetapi, aku tidak ingin melihat engkau ikut ditangkap dan diperlakukan kasar oleh para prajurit Ponorogo itu. Oleh karena itulah, aku sengaja masuk ke dalam rumah dan memaksamu pergi. Semua ini kulakukan untuk menjaga keselamatanmu agar tidak diganggu orang-orang itu."
Suminten memandang ke sekeliling. Bulan sudah jauh dibarat, akan tetapi cahayanya masih menerangi permukaan lereng itu sehingga Suminten dapat melihat bahwa mereka berada di lereng bukit yang sunyi, tidak nampak ada dusun berdekatan, dan yang ada hanyalah jurangjurang dan jalan pendakian yang amat berat untuk dilalui. Keterangan Santiko itu masuk di akal. Mungkin Santiko memang hendak menyelamatkannya. Akan tetapi suaminya terancam, dan apa artinya ia diselamatkan oleh Santiko kalau ia tidak tahu bagaimana dengan nasib suaminya?
"Kakang mas Santiko, apa yang mereka lakukan kepada suamiku? Kenapa andika tidak mencegah mereka?"
Santiko menghela nafas dan kelihatan menyesal.
"Sudah kukatakan bahwa kami hanya melaksanakan tugas, diajeng. Dan pasukan Ponorogo itu hanya akan menangkap Bargowo. Tadi sudah kubujuk dia agar dia menyerah saja sehingga tidak sampai terjadi perkelahian."
"Lalu""
Apa yang terjadi selanjutnya?"
Suminten mendesak, gelisah dan kini ia selalu memandang ke belakang, ke arah dusun Ngampil yang sudah jauh dan tidak nampak dari situ, terhalang bukit.
"Aku tidak tahu, diajeng. Mudah-mudahan saja bargowo menyerah dengan baik-baik dan tidak ada teman-temannya yang ikut-ikutan melawan sehingga terjadi pertempuran."
Hening sampai lama. Mereka hanya duduk diatas batu dan Suminten termenung, gelisah.
Kemudian, ia berkata.
"Kakang mas Santiko, marilah kita kembali ke sana untuk melihat apa yang terjadi. Aku yang akan membujuk suamiku agar tidak melawan dan menyerah saja"""
"Sebaiknya kita tunggu di sini saja, diajeng. Jaraknya sudah terlalu jauh dan kalau kita ke sanapun tidak ada gunanya, tentu sekarang semuanya telah selesai. Rombongan itu akan lewat sini."
Suminten tidak dapat membantah lagi dan dengan hati tegang dan gelisah ia menanti di tempat itu, duduk di atas batu dan selalu memandang ke barat, ke arah dusun Ngampil. Bulan telah lenyap ditelan bukit yang berada di barat sehingga cuaca menjadi gelap. Akan tetapi tidak lama, karena kurang satu jam kemudian, mulai nampak cahaya kemerahan di ufuk timur, tanda bahwa sang raja siang mulai terbangun dari balik bukit di timur dan sudah lebih dahulu mengirim cahayanya yang kemerahan.
Biarpun sejak ia menanti di situ sampai fajar menyinsing hanya beberapa jam saja, namun bagi Suminten yang menanti dengan hati cemas dan tegang, rasanya begitu lama seakan bertahun-tahun. Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan Santiko juga ikut bangkit berdiri, memandang ke barat. Nampak serombongan penunggang kuda! Suminten berdiri dengan mata melotot tak pernah berkedip, berusaha untuk mencari suaminya di antara para penunggang kuda yang masih jauh itu, kedua tangannya terkepal dan jantungnya berdetak keras. Juga Santiko memandang dengan jantung berdebar.
"Itulah mereka, pasukan Ponorogo."
Katanya lirih.
Akhirnya rombongan berkuda itu tiba dekat. Jumlah mereka berkurang belasan orang, akan tetapi tidak nampak Bargowo di antara mereka, baik menunggang kuda sendiri atau sebagai tawanan. Suminten menyongsong mereka dengan muka pucat.
"Di mana Kakang Mas Bargowo? Di mana suamiku"..??"
Tanyanya berulang-ulang. Rombongan itu tidak ada yang menjawab, akan tetapi seorang anak buah Santiko yang memimpin rombongan itu melapor kepada Santiko.
"Kakang Mas Santiko, Bargowo mengamuk dan dibantu beberapa orang anggota Dayadirta sehingga terjadi pertempuran. Kami kehilangan sebelas anak buah yang tewas, akan tetapi kami berhasil merobohkan semua pemberontak, juga Bargowo tewas."
"Kakangmas Bargowo"""!!"
Tiba-tiba Suminten menjerit dengan suara melengking, lalu ia lari cepat ke depan, ke arah barat, seolah hendak mengejar suaminya.
"Diajeng Suminten".. !!"
Santiko yang tadinya mendengarkan laporan anak buahnya, menengok dan terkejut melihat Suminten telah berlari-lari itu. Dia lalu meloncat mengejar. Akan tetapi Suminten seperti kesetanan atau memperoleh kekuatan baru yang hebat. Larinya cepat sekali, tidak peduli betapa telapak kakinya berdarah tergores batu-batu tajam.
"Suminten, tunggu"..!!"
Santiko telah mengejar dekat dan mengejar suara Santiko, Suminten menjerit-jerit.
"Aku mau ikut suamiku! Pergi kau, Santiko yang kejam. Pergi""!"
Dan melihat jurang di sebelah kirinya, tiba"tiba Suminten meloncat, terjun ke bawah jurang.
"Suminten""!!"
Santiko meloncat dan menyambar dengan tangannya. Dia berhasil menyerengkeram ujung kain Suminten.
"Brett"..!"
Terdengar kain robek dan yang tinggal yang di tangan Santiko hanya sepotong kain robek sedangkan tubuh Suminten telah ditelan jurang yang menganga lebar dan dalam itu. Masih terdengar jeritan Suminten memanggil suaminya ketika tubuh itu meluncur ke bawah, lalu hening.
"Suminten""
Ah, Suminten""!"
Seperti orang gila Santiko lalu menuruni jurang itu, berpegang kepada batu-batu dan akar-akaran.
Para anak buahnya menjenguk dari atas jurang, tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menonton dengan hati tegang. Dengan ilmu kepandaiannya, Santio terus menuruni jurang itu sampai tiba di bawah. Tidak nampak lagi oleh para anggotanya, akan tetapi para anggota pasukan itu mendengar raungan Santiko seperti raungan seekor harimau marah. Tak lama kemudian, anak buah pasukan itu melihat Santiko mendaki tebing jurang sambil memondong tubuh Suminten yang rambutnya terurai, baju dan kedua tangan Santiko berlepotan darah! Dia mendaki dengan muka pucat sekali, matanya liar dan tanpa mengeluarkan suara. Semua orang memandang dengan ngeri dan juga kasihan. Para anak buah Dayatirta yang meninggalkan perkumpulan bersama Santiko tahu bahwa Santiko mencinta Suminten yang telah menjadi isteri Bargowo itu, maka kini mereka dapat merasakan betapa hancur hati Santiko melihat wanita yang dicintanya itu agaknya telah tewas di dasar jurang.
Kini Santiko telah tiba di atas dan semua orang melihat betapa kepala Suminten yang rambutnya terurai lepas itu penuh darah yang mengalir sampai ke mukanya"
Jelaslah bahwa wanita cantik itu tewas dengan kepala retak. Santiko meletakkan jenazah Suminten di atas tanah, kemudian dia membalik, menghapi tiga puluh lebih anak buah pasukan yang memandang dengan iba kepadanya.
"Adimas Bargowo telah tewas?"
Tanyanya dan suara itu terdengar datar dan dingin.
"Sudah, kakangmas Santiko."
Lapor seorang di antara mereka.
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dia digdaya, bagaimana bisa tewas? Siapa yang dapat menewaskannya?"
"Keris pusakaku berhasil menusuk lambungnya!"
Kata seorang perajurit yang kumisnya tebal.
"Tombak pusaka ini berhasil menembus dadanya!"
Kata pula orang ke dua yang bermuka hitam.
Tiba-tiba Santiko mengeluarkan teriakan aneh dan menyeramkan, tubuhnya bergerak cepat dan tiba-tiba saja dia menubruk ke depan, kedua tangannya sudah menangkap dan mengangkat tubuh dua orang yang mengaku telah membunuh Bargowo, dan sekali banting, terdengar suara keras dan kepala kedua orang itu pecah terbentur pada batu yang tadi diduduki Suminten! Tentu saja suasana menjadi gempar. Apa lagi ketika Santiko mulai mengamuk, menyerang orang-orang terdekat! Biarpun Santiko menjadi pemimpin mereka, akan tetapi dia baru saja diangkat menjadi perwira dan karena sekarang pria tinggi besar itu agaknya telah menjadi gila dan menyerang anak buahnya sendiri, tentu saja mereka tidak mau mati konyol dan segera menggunakan senjata untuk membela diri dan mengeroyok Santiko.
Santiko tidak gila, akan tetapi kekecewaan, penyesalan dan kemarahan memang membuat dia seperti orang gila. Dia sampai tega mengkhianati adik kandungnya sendiri demi Suminten, karena ingin sekali memiliki wanita yang membuatnya tergila-gila itu. Akan tetapi, ketika Suminten membunuh diri, timbul penyesalannya, teringat dia akan adiknya yang sejak kecil diasuh dan disayangnya, dan semua itu ditambah dengan kedukaan karena melihat Suminten membunuh diri di depan matanya tanpa dia mampu mencegahnya. Maka, diapun menumpahkan kemarahannya kepada rombongan pasukan dari Ponorogo itu! Merekalah yang telah membunuh Bargowo, dan mereka pula yang menyebabkan Suminten membunuh diri. Kalau mereka tidak tergesa memberitakan tentang kematian Bargowo, belum tentu Suminten nekat membunuh diri. Pula, di situ memang hanya ada mereka yang dapat menjadi tempat penumpahan kemarahannya.
Santiko mengamuk. Dia sudah mencabut kerisnya dan dikeroyok oleh tiga puluh tujuh orang yang semuanya bersenjata! Bagaikan seekor banteng terluka, Santiko menubruk sana sini, menangkis senjata tajam dan runcing dengan lengan kiri dan menghujankan kerisnya kepada siapa saja yang terdekat. Perkelahian mati-matian itu berlangsung tidak terlalu lama karena memang berat sebelah, akan tetapi dengan kerisnya. Santiko telah dapat meroboh- kan tujuh orang pengeroyok sebelum dia sendiri roboh dengan perut ditembusi tombak. Dia masih berusaha untuk bangkit, akan tetapi puluhan batang senjata menghantamnya dari sekelilingnya dan diapun tewas dengan tubuh hancur.
Para anak buah pasukan itu tentu saja menjadi marah bukan main melihat betapa banyak kawan mereka tewas oleh komandan mereka sendiri, maka mereka melampiaskan kemarahan dan kebencian kepada mayat Santiko sehingga tubuh itu penuh dengan luka. Santiko seperti telah menjadi gila karena duka. Tadinya hatinya sudah merasa berat dan sedih karena dia terpaksa harus menegakan adiknya, Bargowo, dikeroyok dan dibunuh para prajurit Ponorogo karena dia ingin memiliki Suminten yang dicintanya. Kemudian, tanpa disangkanya sama sekali, Suminten yang sudah berada di tangannya itu terlepas, bahkan membunuh diri terjun ke dalam jurang.
Kesedihannya bertambah dan dia merasa hatinya hancur lebur. Duka selalu timbul dari ikatan. Yang memiliki akan kehilangan. Isteriku atau suamiku, anak-anakku, keluargaku, kekayaanku, nama besarku, kedudukanku semua itu menjadi ikatan dan mulai saat kita memiliki kita sudah berada di ambang pintu duka karena dia yang memiliki akan menderita apa bila dia kehilangan yang dimilikinya. Memiliki sesuatu seperti membiarkan yang dimiliki berakar dalam hati sehingga sekali waktu yang dimiliki itu dicabut dari hatinya maka hati itu akan terluka dan berdarah. Memilih adalah ulah nafsu, karena nafsu selalu menghendaki kepuasaan, kesenangan, kebanggaan, identitas diri, pembengkakan dari si aku.
Tentu saja kita dalam kehidupan ini mempunyai sesuatu, baik mempunyai orang lain sebagai keluarga, sebagai isteri atau suami, sebagai anak-anak, sanak keluarga, sahabat atau harta benda dan kedudukan. Akan tetapi, Mempunyai bukan dalam arti kata Memiliki Mempunyai secara lahiriah, tidak memiliki secara batiniah. Batin haruslah bebas kalau kita tidak ingin dilanda duka. Batin harus mengerti dengan penuh keyakinan bahwa sengala sesuatu adalah milik Tuhan! Bahkan tubuh kita sendiri bukanlah milik kita, sekali waktu akan rusak dan binasa. Kebinasaan kakak beradik Santiko dan Bargowo, juga kematian Suminten, semua itu disebabkan karena keterikatan. Hal ini dapat menimpa siapun juga yang membiarkan batin terikat, membiarkan batin memiliki, bukan sekedar mempunyai.
Atas permintaan Mawarsih yang setiap hari membujuknya, Ki Sinduwening akhirnya menyebar penyelidik untuk mencari tahu di mana dapat menemukan Bayu, anak laki-laki berusia kurang lebih empat belas tahun yang pernah muncul di panggung sayembara dan menantang Malangkoro untuk bertanding melawan Kedok Hitam. KI Sinduwening maklum bahwa puterinya tentu ingin bertanya kepada Bayu tentang Si Kedok Hitam. Akhirnya, seorang penyelidik mengabarkan bahwa dia melihat Bayu berada di sebuah gubuk di tepi sungai. Mendengar laporan ini, pada sore itu juga Mawarsih pergi mencari Bayu. Dari jauh sudah melihat gubuk di tepi sungai itu, di tempat yang sunyi.
Dan telinganya menangkap lengking suara suling. Mendengar suara suling yang ditiup dalam tembang indah di senja hari memang amat mengasyikkan, terdengar sendu dan mengharukan. Mawarsih mengenal tembang sinom dalam lagu tiupan suling itu dan diam-diam ia merasa kagum. Agaknya Bayu sekarang telah memperoleh kemajuan dalam hal permainan meniup suling. Bayukah yang meniup suling itu atau""
Banuaji? Jantungnya berdebar membayangkan Banuaji. Tak dapat disangkalnya bahwa hatinya diselimuti kemesraan apabila ia teringat kepada pamuda itu. Akan tetapi, sayang bahwa Aji bukanlah orang yang memiliki kedigdayaan, seperti yang dimiliki Kedok Hitam. Dan apabila ia teringat kepada Kedok Hitam, timbul perasaan bangga dan kagum.
Tidak, ia akan memilih Kedok hitam daripada Aji, walaupun tentu saja ia akan tanpa ragu memilih Aji sebagai calon jodohnya dari pada orang-orang lain. Dengan hati-hati Mawarsih menghampiri gubuk dan setelah dekat, iapun mengenal Bayu, seorang diri saja sambil meniup sulingnya. Mawarsih tersenyum, lalu memanggil dengan suara gembira,
"Bayu""..!"
Suara suling terhenti dan Bayu menengok dan matanya bersinar-sinar ketika dia mengenal siapa yang datang menjenguknya di tempat sunyi itu.
"Mbak Ayu".. eh, Raden Ajeng"". Raden Ayu atau Raden Roro""."
"Hushh!"
Mawarsih membentak sambil tertawa.
"Tidak ada raden-radenan. Bagimu aku tetap Mbakayu Mawarsih!"
"Tapi"".. tapi, engkau kini puteri seorang senopati, bukan seperti dahulu lagi""."
Bantah Bayu.
"Sudahlah, Bayu. Apakah engkau tidak mau lagi menganggap aku ini sahabatmu, seperti dahulu ketika kita masih berada di Sintren? Kalau engkau tidak mau menyebut aku mbakayu, sebaiknya aku pergi lagi saja."
"Maaf, mbakayu Mawarsih, jangan marah, akupun hanya bergurau."
Kata Bayu yang memang biasanya lincah jenaka dan pandai bicara.
"Bagaimana engkau sampai tersesat ke tampat ini, mbakayu?"
"Hemm, kalau aku kau katakan tersesat, bagaimana dengan dirimu? Kenapa engkau juga berada di sini? Apakah engkau tidak lagi tinggal di Pancot, di lereng Lawu itu?"
"Tidak, mbakayu. Sejak seekor anak kerbau Paman Lurah yang kugembala digondol harimau, paman selalu marah-marah kepadaku. Aku jadi tidak kerasan dan aku pergi meninggalkan Pancot dan akhirnya aku berada di sini, kadang membantu para paman tani untuk sekedar mendapat makan. Aku ingin mencari pekerjaan dan meluaskan pengalaman, mbakayu."
"Bagaimana engkau dapat berada di tempat kami mengadakan sayembara itu tempo hari?"
"Aku memang memasuki kota raja untuk mencari pekerjaan, mbakayu Mawarsih. Aku mendengar tentang sayembara itu dan aku pergi menonton. Tentu saja aku mengenal engkau, akan tetapi aku tidak berani menegur."
"Dan kemudian engkau menantang Malangkoro untuk bertanding melawan Kedok Hitam. Nah, katakan siapakah Kedok Hitam dan di mana dia sekarang?"
Gadis itu menatap wajah Bayu dengan tajam penuh selidik.
"Sungguh mati aku tidak tahu siapa dia, mbakayu. Ketika itu, dia berada di belakangku dan berbisik agar aku menantang Malangkoro untuk bertanding dengan dia. Karena aku tidak suka melihat kemenangan Malangkoro, tidak suka melihat raksasa itu menjadi jodohmu, maka aku melakukan apa yang dimintanya dengan senang hati. Setelah perkelahian selesai, dia menghilang dan aku tidak pernah bertemu lagi dengan dia."
Dari pandang mata pemuda remaja itu tahulah Mawarsih bahwa Bayu tidak berbohong. Ia menghela napas penuh kekecewaan, kemudian ia teringat akan Banuaji. Sejak dahulu, Banuaji adalah dengan Bayu, bahkan mungkin masih sanak karena mereka berdua ada hubungan keluarga dengan Lurah Pancot.
"Bayu, ketika nonton pertandingan sayembara, engkau tentu melihat kakang Banuaji, bukan?"
"Tentu saja!"
Jawab Bayu dan nada suaranya gembira.
"Nah, kalau begitu, maukah engkau menceritakan kepadaku tentang kakang Banuaji? Apa saja yang dilakukannya selama ini dan di mana dia sekarang berada?"
Bayu menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian lalu bertanya.
"Nanti dulu, mbakayu Mawarsih. Sebelum menjawab pertanyaanmu itu, lebih dulu aku ingin bertanya, bagaimana sikap mbakayu Mawarsih apa bila mbakayu telah berjanji kepada seseorang yang amat mbakayu sayang dan kagumi. Apakah akan memegang teguh janjinya dan tidak akan mengingkari janji?"
Dengan spontan Mawarsih menjawab.
"Tentu saja! Demikianlah sikap seorang yang gagah perkasa dan bijaksana. Pengingkaran janji hanya dilakukan orang yang rendah diri dan pengecut, Bayu. Kenapa engkau tanyakan hal itu?"
"Begini, mbakayu. Aku sudah berjanji kepada kakangmas Aji bahwa aku tidak akan bercerita kepada siapapun juga mengenai diri kakangmas Aji. Nah, tentu mbakayu tidak ingin melihat aku menjadi pengkhianat dan pengecut?"
Mawarsih tertegun dan sejenak ia termenung. Ia merasa dikalahkan Bayu! Tentu saja ia tidak lagi mampu membantah, hanya diam-diam ia merasa penasaran sekali mengapa Banuaji hendak merahasiakan tentang dirinya! Kalau Si Kedok Hitam sudah jelas menyembunyikan keadaan dirinya dengan mengenakan kedok. Akan tetapi Banuaji? Kenapa ikut-ikutan menyimpan rahasia? Melihat Mawarsih menundukkan muka dengan alis berkerut dan wajahnya nampak muram, Bayu berkata,
"Mbakayu Mawarsih, maaf kalau aku mengecewakan hatimu. Sudahlah jangan dipikirkan lagi, sebaiknya kalau aku memainkan tembang kegemaran mbakayu. Kidung Asmaradana, bukan?"
Tanpa menanti jawaban, Bayu lalu menempelkan ujung suling di bibirnya dan mulai meniup suling, memainkan tembang Asmaradana.
Mawarsih masih diam saja, merasa terayun dan dibuai tembang yang memang digemarinya itu. Mendengar lengking suling lembut itu teringatlah ia kepada Banuaji yang pernah ia dengar memainkan lagu Asmaradana dengan sulingnya dalam perjumpaan mereka yang pertama kali di lereng Lawu. Selagi kedua orang itu tenggelam ke dalam ayunan suara suling, tiba-tiba gubuk itu terguncang keras dan atap gubuk tiba-tiba terbuka dan terlempar entah ke mana! Tentu saja Mawarsih terkejut bukan main dan iapun meloncat keluar dari gubuk, dikuti Bayu yang masih memegang suling. Mawarsih terbelalak melihat bahwa yang mendorong atap gubuk sampai terbuka itu bukan lain adalah Malangkor dan seorang kakek tinggi kurus seperti jerangkong!
Ia sudah mendengar dari ayahnya bahwa kakek itu bernama Danyang Gurita, seorang ahli pertapa ahli sihir yang menjadi guru dari Malangkoro. Tentu saja diam-diam ia merasa gentar sekali karena ia sudah tahu akan kedigdayaan Malangkoro, dan tentu guru raksasa ini juga seorang yang sakti. Sesungguhnya Malangkoro dan Danyang Gurita adalah dua orang kepercayaan Pangeran Jayaraga atau Adipati Ponorogo yang diutus untuk menjadi mata-mata di Mataram. Juga Malangkoro mengikuti sayembara memperebutkan Mawarsih sebetulnya bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk Nurseta! Nurseta yang menggunakan kesempatan adanya sayembara itu untuk minta bantuan Malangkoro, dan andaikata Malangkoro berhasil memboyong Mawarsih, tentu gadis itu akan diberikannya kepada Nurseta yang sudah menunggununggunya di ponogoro.
"Mawarsih, kebetulan kita bertemu di sini. Engkau harus ikut denganku!"
Kata Malangkoro dengan suaranya yang menggelegar.
"Tidak sudi aku!"
Kata Mawarsih.
"Pula, engkau sudah dikalahkan Si Kedok Hitam, berarti engkau sudah gagal dalam sayembara dan engkau kini telah diberi kedudukan dalam pasukan Mataram. Kenapa engkau berani mengatakan bahwa aku harus ikut denganmu?"
Bayu juga berkata lantang.
"Malangkoro, engkau ini raksasa hanya besar badannya saja, akan tetapi jiwamu kecil! Tidak malukah engkau, sudah kalah masih ingin memaksa mbakayu Mawarsih?"
Wajah Malangkoro menjadi merah sekali.
"Bocah setan, jangan ikut-ikut, pergilah!"
Biarpun bersikap galak, Malangkoro kini menoleh ke kanan dengan hati gentar. Dia ingat bahwa anak inilah yang tempo hari menantangnya sebagai utusan Si Kedok Hitam. Dia takut kalau-kalau di dekat situ ada Si Kedok Hitam.
"Malangkoro, kenapa sih banyak cakap lagi? Tangkap gadis itu dan tendang saja anak itu kalau banyak tingkah!"
Terdengar suara si kakek tinggi kurus, suaranya serak dan lirih seperti berbisik.
"Malangkoro, engkau akan dapat menangkap diriku kalau sudah tidak bernyawa lagi!"
Kata Mawarsih dan ia sudah melolos kemben merahnya yang dipegang kedua ujungnya lengan kedua tangan lalu direntangkan di atas kepalanya, memasang kuda-kuda dan siap melawan mati-matian. Bayu juga tidak mau kalah. Dengan suling di tangan, anak remaja ini pun memasang kuda-kuda di samping Mawarsih.
"Jangan takut, mbakayu. Aku akan membantumelawan raksasa jahat ini!"
Kata anak itu dengan sikap gagah. Mawarsih kagum sekali dan ia menduga bahwa agaknya bocah ini telah menerima pelajaran pencak silat dari Si Kedok HitaAkan tetapi tetap saja ia merasa khawatir dan tidak ingin melihat anak itu terancam bahaya karena hendak membelPada saat itu, terdengar suara tawa yang nyaring dan muncullah seorang pemuda dari balik gubuk yang atapnya sudah roboh. Melihat pemuda itu, Bayu tersenyum gembira sekali. Mawarsih juga merasa gembira mengenal pemuda itu, karena dia adalah Banuaji, akan tetapi ia tidaklah segembira Bayu. Bagamanapun juga, Aji bukan Si Kedok Hitam, dan pemuda ini tidak akan dapat menandingi Malangkoro, apa lagi di situ terdapat kakek Danyang Gurita! Malangkoro juga mengenal Aji sebagai seorang pemuda yang pernah mempermainkannya di atas panggung sayembara akan tetapi kemudian melarikan diri sebelum dapat dihajarnya, maka alisnya berkerut dan diapun marah bukan main.
"Jahanam keparat, berani engkau datang mengantar kematian di depanku!"
Dan raksasa ini sudah siap untuk menerjang. Akan tetapi Banuaji tersenyum dan mengangkat dua tanganya ke atas.
"Nanti dulu, Malangkoro, nanti dulu. Boleh saja engkau akan membunuhku, akan tetapi setelah aku bicara dengan gurumu, juga denganmu. Perama aku akan bicara kepada Danyang Gurita, gurumu yang mulia ini. Heii, Kakek Danyang Gurita, andika adalah seorang yang sudah tua. Apakah andika tidak pernah bercermin? Carilah air jernih dan bercerminlah, tentu akan nampak olehmu bahwa rambut andika sudah putih. Itu menandakan bahwa andka haruslah mengisi kepala dengan putih-putih, dengan yang bersih-bersih. Akan tetapi sebaliknya, anda yang sudah tua bahkan tidak segan untuk melanggar sumpah dan janji."
"Jagat Dewa Bathara!"
Kakek itu berseru.
"Bocah ini sungguh lancang mulut. Heh, bocah lancang,aku Danyang Gurita selama hidupku tidak pernah berjanji apa-apa kepadamu, bagaimana andika dapat mengatakan bahwa aku melanggar janji?"
"Danyang Gurita, apakah hanya kepadaku andika dapat berjanji? Biarpun kepadaku andika belum pernah berjanji apapun, akan tetapi lupakah andika sumpah dan janji andika dahulu, ketika andika bertanding lalu dikalahkan oleh Eyang Sunan Kalijaga? Andika bersumpah untuk menjadi seorang Islam yang saleh dan taat, andika telah membaca syahadat, andika mengakui bahwa tidak ada sesembahan lain kecuali Allah Yang Maha Kuasa dan andika mengakui bahwa Kanjeng Nabi Muhammad adalah Rasul Allah. Kemudian andika berjanji bahwa setelah andika menerima ilmu dari Eyang Sunan Kalijaga, andika akan mempergunakan ilmu untuk membela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi apa yang andika perbuat selama ini? Mengumbar nafsu melakukan kejahatan, membela murid yang angkara murka!"
Wajah kakek tinggi kurus itu menjadi pucat sekali mendengar dia diingatkan tentang janjinya kepada Sunan Kalijaga, dan hal ini membuat Malangkoro menjadi semakin marah.
"Babo-babo, bocah keparat! Engkau sudah benar-benar bosan hidup!"
Bentaknya dan dia sudah menggerakkan tangannya yang besar mencengkeram ke arah kepala Aji. Akan tetapi Aji sudah melompat ke belakang sehingga cengkeraman itu luput.
"Malangkoro, lupakah andika bahwa andika telah diterima menjadi seorang perwira dari pasukan Mataram? Diajeng Mawarsih adalah puteri Senopati Mataram, Ki Sinduwening, juga merupakan atasan andika. Bagaimana andika sekarang berani hendak mengganggunya? Apakah andika hendak berkhianat?"
Wajah Malangkoro menjadi kemerahan.
"Sudahlah, bocah ingusan, tidak perlu andika mencampuri urusanku!"
Bentaknya, merasa tidak sanggup untuk melayani Aji dalam percekcokan.
"Bapa, Danyang, mari kita binasakan dulu dua orang bocah lancang ini agar aku dapat menagkap Mawarsih dengan mudah."
Dia mengajak gurunya yang masih berdiri dengan muka pucat.
Perlahan-lahan, wajahnya yang tadinya pucat menjadi kemerahan dan dia memandang kepada Aji dengan sinar mata seperti berapi-api saking marahnya. Pada saat yang amat gawat bagi Mawarsih, Aji dan Bayu yang menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh itu, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu di situ telah berdiri orang berpakaian dan berkedok hitam. Si Kedok Hitam! Hampir saja Mawarsih berteriak kegirangan melihat munculnya orang yang selalu diharapkan dan dikaguminya itu.
"Danyang Gurita, mengingkari sumpah terhadap Eyang Sunan Kalijaga sama dengan mengundang kutukan untuk diri sendiri. Sadarlah dan kembalilah ke jalan benar!"
Terdengar Si Kedok Hitam berseru kepada kakek tinggi kurus itu.
"Bapa, mari kita bunuh mereka!"
Bentak Malangkoro dan diapun sudah menerjang ke arah Aji. Pemuda ini kembali mengelak ke sana sini mengandalkan kelincahannya, dan melihat betapa Aji didesak, Mawarsih segera membantunya dengan senjatanya yang istimewa, yaitu kemben merahnya, menyambar-nyambar cepat dalam serangannya ke arah tubuh raksasa itu. Biarpun tubuhnya dilindungi kekebalan, namun Malangkoro maklum bahwa kemben di tangan Mawarsih itu, biarpun kelihatan hanya kain lembik dan lemah, namun mengandung tenaga sakti yang ampuh, maka diapun tidak berani mengandalkan kekebalan menerimanya, dan menggunakan tangan untuk menangkis ujung kemben.
Dan dia memang benar. Ketika tangannya menangkis dan bertemu ujung kemben, dia merasa betapa tangannya bergetar dan nyeri, dan kedua ujung kemben merah itu seperti dua ekor burung srikiti saja, cepat bukan main dan tidak mungkin dapat ditangkap dengan cengkeraman. Sementara itu Aji juga tidak begitu terdesak lagi dan setelah dibantu Mawarsih, dia bahkan dapat membalas dan ternyata dia memiliki gerakan lucu dan aneh. Sudah dua kali dia dapat menendang pantat raksasa itu sehingga mengeluarkan suara nyaring dan dari celana yang tertendang itu mengeluarkan debu!
Bayu, pemuda remaja itupun mencoba untuk membantu, akan tetapi karena dia tahu bahwa tubuh raksasa itu kebal, dia menggunakan tanah dan batu untuk disambitkan ke arah muka Malangkoro. Memang tidak berbahaya bagi Malangkoro, akan tetapi cukup mengganggu karena tentu saja dia tidak ingin kedua matanya kemasukan tanah atau pasir yang tentu akan mencelakakan! Dikeroyok tiga seperti itu, Malangkoro yang digdaya itu merasa kewalahan juga. Kalau dia mendesak Bayu untuk membunuh remaja yang mengganggunya itu, dari kanan kiri Mawarsih dan Aji datang menyerbu. Terpaksa dia membagi tenaga menghadapi pengeroyokan mereka bertiga.
Sementara itu, pertandingan antara Si Kedok Hitam melawan Danyang Gurita juga terjadi dengan seru akan tetapi aneh. Agaknya Danyang Gurita yang sudah tua itu tidak lagi mengandalkan kekuatan tubuh, tebalnya kulit dan kerasnya tulang. Dia agaknya maklum bahwa dalam usianya yang sudah tua sekali itu, bertanding mengandalkan kekuatan tubuh tentu akan amat merugikan, oleh kerena itu, dia mengandalkan kekuatan sihirnya untuk mengalahkan Si Kedok Hitam! Sungguh aneh pertandingan antara kedua orang itu, Danyang Gurita memang melakukan gerakan pencak silat, namun gerakan itu lambat seperti guru sedang mengajarkan gerakangerakan pencak silat kepada muridnya dalam tingkat pertama, agar si murid dapat mengikuti gerakan-gerakan itu.
Dan biarpun gerakan itu lambat dan nampaknya tidak bertenaga namun setiap kali tangan itu bergerak ke arah Si Kedok Hitam, ada angin menyambar dahsyat sekali! Si Kedok Hitam agaknya mengenal ilmu aneh itu dan diapun melakukan hal yang sama dengan lawannya. Diapun berdiri di tempat dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang bersilat, gerakan yang lambat pula, namun juga dari gerakan tangannya itu mengan- dung angin dahsyat yang menyambar-nyambar ke depan. Kedua orang itu ternyata saling mengadu kekuatan tenaga sakti! Namun beberapa kali nampak Danyang Gurita bergoyang-goyang tubuhnya bagaikan pohon dilanda angin keras dan hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia masih kalah kuat.
Kini Danyang Gurita menyilangkan kedua lengannya depan dada, bersedekap dan matanya dipejamkan, mulutnya berkemak-kemik membaca mantra. Kepalanya mengeluarkan asap mengepul, makin lama semakin tebal dan asap itu membentuk seekor harimau yang mengeluarkan suara gerengan dahsyat dan asap berbentuk harimau itu menubruk ke arah Si Kedok Hitam! Akan tetapi, dengan tenaganya Si Kedok Hitam membungkuk, mengambil seganggam tanah lalu menyabitkan tanah itu ke arah asap berbentuk harimau sambil berseru.
"Asal tanah kembali kepada tanah!"
Memang tadi ketika hendak mengeluarkan ilmu itu, Danyang Gurita menggunakan sekepal tanah pula yang dilontarkan ke atas. Ketika bayangan itu terkena tanah, lenyaplah bayangan itu dan asap itupun lenyap seperti tersedot masuk kembali ke dalam kepala Danyang Gurita. Beberapa kali Danyang Gurita menggunakan ilmu sihirnya untuk membentuk bayangan yang bermacam-macam dan menakutkan, namun selalu dapat dibuyarkan oleh sambitan tanah Si Kedok Hitam. Kalau Danyang Gurita mempergunakan kekuatan sihir yang berasal dari kekuatan daya-daya rendah, kekuatan yang datangnya dari nafsu dan setan, sebaliknya Si Kedok Hitam hanya menyerah kepada kekuasaan Tuhan.
Kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja, kekuatan manakah di alam semesta ini yang akan mampu menandinginya? Semua kekuatan dari segala benda adalah ciptaan Tuhan pula oleh karena itu, bagi Si Kedok Hitam yang bersandar kepada kekuasaan Tuhan, semua serangan Danyang Gurita itu bagaikan permainan kanak-kanak saja! Sementara itu, Malangkoro mengamuk dikeroyok tiga orang itu. Diam-diam Mawarsih kagum juga melihat betapa lincahnya Aji mempermainkan Malangkoro. Gerakannya memang cepat bukan main, akan tetapi agaknya Aji tidak mempeunyai tenaga untuk merobohkan Malangkoro. Demikian pula Bayu memiliki kelincahan dan kecedikan, akan tetapi tentu saja anak inipun tidak mungkin dapat merobohkan Malangkoro, dan hanya kembennyalah yang dapat menyerang dengan dahsyat, mengimbangi penyerangan Malangkoro yang mengamuk akan tetapi yang serangannya membabi buta dan tidak pernah dapat mengenai lawan itu.
Diam-diam Mawarsih merasa gembira. Tak pernah ia dapat membayangkan bahwa ia akan menghadapi serangan lawan berat bersama-sama Aji dan Bayu! Dan kini lebih gembira lagi bahwa di situ muncul Si Kedok Hitam Tanpa adanya Si Kedok Hitam, mereka bertiga tentu akan celaka dan sudah tadi Aji dan Bayu binasa sedangkan ia diculik Malangkoro. Juga kini lenyap keraguan hatinya yang pernah mencurigai dan menduga kalau-kalau Si Kedok Hitam adalah Banuaji! Sekarang jelas terbukti bahwa Si Kedok Hitam bukan Banuaji, melainkan orang lain yang memiliki kedigdayaan jauhmelampui Aji, bahkan melampui ke sendiri dan kepandaian ayahnya.
Danyang Gurita sudah mulai lemah. Pernapasannya mulai terengah-engah dan lehernya penuh keringat. Dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, namun semua gagal. Ahirnya dia memutar-mutar kedua tangannya, menggosok-gosok telapak kedua tanganya, hendak mengeluarkan ajinya yang paling dahsyat, yang selama ini tidak pernah dia pergunakan, yaitu Aji Tirtadahana (Air Api) yang dahulu dia dapatkan dari Sunan Kalijaga. Keringatnya mulai menjadipanas dan begitu dia hendak menyerang Si Kedok Hitam dengan ilmu yang ampuh itu, Si KeHitam berseru.
"Danyang Gurita, lupakah andika akan kutukan kalau andika melanggar pantanganEyang Sunan Kalijaga? Berani andika menggunakan Aji Tirtadahana?"
Agaknya Danyang Gurita tidak peduli lagi dan diapun mengerahkan tenaga, menggunakan kedua tangan untuk mendorongke arah Si Kedok Hitam dengan tenaga Aji Tirtadahana sepenuhnya. Si Kedok Hitam mengenayang dahsyat ini, tidak berani dia menerimannya dan tubuhnya melesat ke atas menghindarkan diri. Akan tetapi, sebetulnya dia tidak perlu melakukan hal ini karena pada saat itu, terdengar Danyang Gurita mengeluh dan terkulai roboh!
Agaknya kutukan itupun terjadilah. Tenaga dahsyat dari Aji Tirtadahana agaknya membalik dan menghantam dadanya sendiri, menghancurkan isi dadanya dan diapun roboh, tewas seketika!.
"Allahhu Akbar""..!"
Si Kedok Hitam berseru memuji Tuhan ketika dia membungkuk dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu telah tewas dan dan dari mulut, hidung dan telingannya mengeluarkan darah!
Mendengar seruan itu, Malangkoro menoleh dan melihat gurunya sudah roboh, dia berteriak keras.
Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo