Kidung Senja Di Mataram 16
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 16
"Sudahlah, Malangkoro. Ini bukan urusanmu, sebaiknya engkau menyerah untuk kutangkap dan kubawa ke Mataram untuk diadili!"
"Babo-babo, sekali ini Malangkoro tidak akan menyerah kepada siapapun, Kedok Hitam. Kalau memang andika seorang laki-laki jantan jangan pengecut, aku tantang andika untuk membuka kedokmu dan mari kita mengadu ilmu sampai seorang di antara kita mengeletak tanpa nyawa dan pemenangnya berhak memiliki Mawarsih! Kalau engkau menolak, tidak berani membuka kedokmu dan tidak berani memenuhi tantanganku, maka sebaiknya engkau kembali saja ke pangkuan ibumu sebagai seorang pengecut hina!"
"Jahanam keparat engkau, Malangkoro! Seperti seekor burung pandai mengoceh sebelum mati, engkau membuka mulut seenaknya saja. Siapa bilang bahwa aku tidak berani membuka kedokku dan menerima tantanganmu? Nah, lihat baik-baik siapa aku. Malangkoro!"
Dengan hati ngeri, Mawarsih dan Bayu memandang kepada Kedok Hitam dengan penuh perhatian. Sekali ini mereka ingin melihat wajah mengerikan di balik kedok hitam itu. Seperti tadi, Kedok Hitam menggunakan kedua tangan untuk membuka kedoknya, akan tetapi tidaklah secepat tadi dan ketika akhirnya kedok itu dibuka dan disimpan dalam saku bajunya, kembali Bayu dan Mawarsih terbelalak, sekali ini bukan karena takut dan ngeri, melainkan kerena terheran-heran.
"Kakangmas Aji"".!"
Hampir berbareng seruan ini keluar dari mulut Mawarsih dan Bayu.
Kini wajah yang muncul dari balik kedok hitam itu bukan wajah mengerikan seperti tadi, melainkan wajah Banuaji! Akan tetapi Mawarsih mengerutkan alisnya dan sinar matanya membayangkan kemarahan. Kini ia mengerti. Yang menyamar sebagai Si Kedok Hitam tadi adalah Aji, tentu dengan maksud untuk memburukkan Kedok Hitam, di bawah kedok itu, Aji memakai lagi sebuah topeng yang amat buruk mengerikan. Tak disangkanya bahwa Banuaji memakai akal securang itu. Tentu Aji sudah menduga bahwa ia memilih Kedok Hitam, maka berusaha untuk menjauhkannya dari Kedok Hitam, dengan cara yang licik dan curang! Hal ini membuat Mawarsih demikian sakit hatinya sehingga tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah air mata. Akan tetapi juga terdapat suatu perasaan lega. Kalau begitu, Si Kedok Hitam yang asli bukanlah seorang yang bermuka mengerikan! Yang ini hanyalah Kedok Hitam palsu alias Banuaji. Sementara itu, menghadapi Banuaji yang kini tidak memakai kedok, Malangkoro kembali tertawa terbahak-bahak.
"Huaha-ha-ha-ha kiranya andika Si Kedok Hitam palsu! Bocah setan yang pengecut, pernah melarikan diri dariku. Ha-ha-ha, bagus, sekarang tiba saatnya aku akan mematahkan seluruh tulang di tubuhmu, mencabik-cabik dagingmu, melumatkan kepalamu, mencerai-beraikan isi perutmu!"
Banuaji tersenyum.
"Aduh, sumbarmu seperti engkau dapat meruntuhkan gunung mengeringkan samudera. Lebih baik engkau menyerah untuk keseret ke Mataram, Malangkoro pengkhianat besar!"
Sementara itu, Mawarsih maklum bahwa Aji bukanlah tandingan Malangkoro, maka ia sudah melangkah maju.
"Kakangmas Aji, tidak kusangka engkau tega mempermainkan aku seperti ini. Akan tetapi mengingat engkau pernah menolongku beberapa kali, biarlah aku melupakan sakit hatiku dan membantumu emnghadapi Malangkoro."
Wajah dara itu muram dan matanya mengeluarkan sinar marah. Banuaji menghadapi Mawarsih dan diapun tertawa, dan suara tawanya membuat dara itu merasa seram dan bulu tengkuknya meremeng. Itu tawa Si Kedok Hitam! Kemudian ketika Aji bicara, ia terbelalak. Suara Si Kedok Hitam!
"Diajeng Mawarsih, aku belum memerlukan bantuanmu. Mundurlah dan lihatlah baik-baik siapa sebenarnya aku ini!"
Dia mengeluarkan sebatang suling dari ikat pinggangnya dan menghadapi Malangkoro. Mawarsih memandang dengan muka pucat. Suling itupun senjata yang biasa dipergunakan Si Kedok Hitam! Mimpikah ia? Ia masih belum percaya dan siap untuk membantu Aji kalau-kalau pemuda itu terancam bahaya maut di tangan Malangkoro yang digdaya.
"Bocah sombong, bersiaplah untuk mampus!"
Malangkoro sudah menggerakkan senjatanya yang menyeramkan, yaitu sebatang parang yang besar, berat dan tajam berkilauan. Agaknya sekali ini Malangkoro benar-benar telah bersiap sedia mempertahankan diri dengan taruhan nyawa maka dia memperlengkapi dirinya yang kebal dan kuat itu dengan senjata yang mengerikan.
"Sing"".wuuuttt""..!"
Parang itu menyambar dahsyat dan kalau mengenai sasaran, yaitu leher Banuaji, agaknya leher itu akan terbabat putus seperti sebatang pohon pisang disambar parang yang tajam. Namun, Aji sudah dapat mengelak dengan lincahnya, menyusup ke bawah sambaran sinar parang dan dari bawah sulingnya menotok ke arah pusar raksasa itu. Melihat gerakan ini, Malangkoro tidak berani sembrono menerimanya dengan kekebalannya. Dia memang memandang rendah Aji, tidak seperti kalau dia melawan Si Kedok Hitam, akan tetapi dia merasa betapa ada angin yang dahsyat menyambar dari totokan suling, maka diapun berhati-hati dan menangkis tusukan suling itu dengan parangnya yang tadi luput mengenai sasaran dan diputar ke bawah dengan ayunan kuat untuk menangkis suling dan kalau mungkin mematahkan atau memecahkannya.
"Trang"""!!"
Malangkoro terkejut bukan main ketika merasa betapa telapak tangannya tergetar dan panas, bahkan parangnya hampir terlepas dari tangannya ketika bertemu suling. Dan Aji sudah menyerangnya lagi dengan tendangan kaki bertubi-tubi sehingga Malangkoro terpaksa berloncatan ke belakang dan ketika terpaksa dia menangkis dengan lengan kirinya, tubuhnya hampir terjengkang dan ketika dia mempertahankan diri, dia terhuyung ke belakang. Mawarsih terbelalak, melongo seperti orang nanar. Ia mencibit lengannya sendiri. Bukan, bukan mimpi! Akan tetapi gerakan Aji itu! (Lanjut ke Jilid 16 - Tamat)
Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 16 (Tamat)
Biasanya Aji kalau bertanding hanya mengandalkan kelincahan, selalu menghindarkan dari desakan Malangkoro. Akan tetapi sekarang, Aji bahkan mendesak raksasa itu dengan serangan bertubi-tubi dan gerakannya demikian dahsyat, gerakan yang dikenalnya sebagai gerakan dari Si Kedok Hitam!
Ia merasa bingung sekali, walaupun juga amat kagum karena kini Aji sudah mendesak lagi lawannya dengan serangan sulingnya. Suling itu berubah menjadi gulungan sinar yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking, seolah suling itu ditiup dan dimainkan. Bagaimana mungkin itu? Si Kedok Hitam adalah Banuaji? Ah, tidak mungkin! Ia pernah melihat mereka berdua muncul dalam saat bersamaan, ketika Aji bersama ia dan Bayu mengeroyok Malangkoro, sedangkan Si Kedok Hitam bertanding ilmu melawan guru Malangkoro, yaitu Ki Danyang Gurita. Mereka jelas merupakan dua orang yang berlainan! Mungkin ini ulah Banuaji! Akan tetapi karena sudah jelas bahwa Aji tidak terdesak Malangkoro, bahkan mendesak terus dengan hebatnya, iapun tidak maju membantu.
"Bagus, kakangmas Aji! Hantam dia! Robohkan raksasa sombong itu!"
Bayu berteriak-teriak memberi semangat dengan gembira sekali melihat Aji mendesak Malangkoro. Mawarsih juga merasa kagum sekali dan ikut bergembira, bahkan hampir ia ikut bersorak-sorai seperti Bayu kelau tidak ditahannya. Akan tetapi, di balik kekaguman dan kegembiraannya, ia masih terheran-heran dan bingung. Sukar sekali menggambarkan bagaimana perasaan dara ini pada saat itu. Yang jelas saja kagum, gembira dan terharu. Akan tetapi juga malu bukan main! Malu kepada Banuaji yang ia pandang rendah sebagai seorang pemuda yang tidak memiliki kesaktian tinggi. Malu kepada Si Kedok Hitam yang ia anggap sebagai seorang yang memiliki wajah mengerikan dan menakutkan. Malangkoro sendiri merasa kecelik dan disamping kaget dan heran, terutama sekali dia menjadi gentar.
Tadinya, dia memang sudah nekat untuk menandingi Si Kedok Hitam, mengadu nyawa karena dia maklum bahwa ke manapun dia melarikan diri, dia tidak akan mampu lepas dari kejaran Si Kedok Hitam. Dia sudah nekat, karena walaupun dia tahu bahwa Si Kedok Hitam amat sakti dan dia tidak akan mampu menandinginya, dia tetap berani untuk mengadu nyawa dengan harapan senjatanya akan dapat membantunya mengalahkan lawan yang tangguh itu. Ketika tadi dia melihat bahwa yang dihadapinya hanyalah Si Kedok Hitam palsu, karena ternyata adalah Banuaji yang pernah beberapa kali menandinginya dan dia tahu merupakan lawan yang tidak berapa kuat, diapun sudah merasa girang sekali. Dia sudah merasa yakin akan dapat membunuh Si Kedok Hitam palsu itu dan memboyong Mawarsih.
Siapa kira, lawan ini ternyata amat tangguh dan dari gerakan-garakan dan tenaganya, dia bukanlah Kedok Hitam palsu, melainkan yang asli. Tentu saja diapun merasa bingung seperti Mawarsih, walaupun bingung bercampur gentar, tidak seperti bingungnya hati Mawarsih yang bercampur kagum dan gembira. Pertandingan itu berlangsung semakin seru. Malangkoro kembali berteriak seperti seekor binatang buas ketika parangnya menyambar ke arah pinggang Aji. Pamuda ini maklum bahwa parang itu amat berbahaya dan selama Malangkoro masih memegang senjata yang menggiriskan itu, tidak mudah beginya untuk mengalahkannya, walaupun dia dapat selalu mendesak. Ketika parang menyambar ke arah pinggangnya, dia mendiamkannya saja sampai menyambar dekat, barulah dia menarik tubuh ke belakang dan ketika parang lewat, secepat kilat sulingnya menyambar ke arah pergelangan tangan raksasa itu.
"Tukk! Aughhh""!!"
Malangkoro mengeluarkan teriakan marah karena tangan kanannya tiba-tiba seperti lumpuh dan parang itu terlempar dekat kaki Mawarsih. Ujung suling itu tepat menotok otot besar di pergelangan tangannya dan membuat dia tidak mampu mempertahankan lagi senjatanya. Mawarsih secara otomatis menggerakkan kakinya dan parang itupun ditendangnya mencelat sampai jauh dan lenyap dalam semak belukar. Malangkoro menghadapi Aji dengan kedua mata melotot merah.
Aji tersenyum dan menyelipkan sulingnya ke ikat pinggang. Dia tidak mau menandingi lawan yang sudah kehilangan senjatanya dengan suling. Lawan bertangan kosong, diapun harus melawannya dengan tangan kosong! Malangkoro merasa lega melihat ini, muncul pula harapannya dan diapun menggereng bagaikan seekor singa terluka, lalu menubruk ke depan dengan kedua lengan yang panjang dikembangkan, kedua tangan dengan jari-jari membentuk cakar menyambar ke arah kepala lawan. Aji menghindar dengan ringan ke belakang, lalu maju dan membalas dengan tendangan kakinya yang dapat ditangkis pula oleh Malangkoro. Kedua orang ini melanjutkan pertandingan mereka dan setelah keduanya kini tidak memegang senjata, pertandingan itu bahkan semakin seru.
Malangkoro mengandalkan kekebalan dan kekuatan tubuhnya, Aji lebih mengandalkan kecepatan gerakannya dan tenaga yang terkandung dalam tamparan atau tendangan pemuda itu bukan hanya tenaga otot dan kerasnya tulang seperti tenaga lawan, melainkan tenaga sakti yang keluar dari dalamnya pusarnya. Mawarsih kini tidak meragukan lagi bahwa yang sedang bertanding melawan Malangkoro itu adalah adalah Si Kedok Hitam, walaupun akal pirikannya membantah karena ia pernah melihat kemunculan Aji dan Si Kedok Hitam dalam waktu yang bersamaan. Ia pun tahu bahwa Aji sama sekali tidak membutuhkan bantuannya melawan Malangkoro, bahkan Aji kini mempermainkan lawan dan berulang kali membuat Malagkoro terjengkang atau terpelanting.
"Engkau masih belum mau menyerah?"
Aji berseru ketika untuk kesekalian kalianya Malangkoro terpelanting roboh, melihat raksasa itu merangkak dan bangkit kembali, bagaikan Sang Rahwana yang setiap kali hidup dan bangkit kembali dari maut begitu tubuhnya jatuh ke atas tanah.
"Babo-babo, keparat. Amuk suramrata jayamrata! Malangkoro pantang menyerah selama nyawa belum meninggalkan badan!"
Bentak raksasa itu dan kembali dia menubruk dengan buas, walaupun mukanya sudah berdarah-darah. Aji memang tidak memukulnya dengan sepenuh tenaga. Dia bermaksud untuk menangkapnya hidup-hidup dan tidak terluka parah agar mudah menggiringnya ke Mataram. Akan tetapi tidak diduganya bahwa raksasa itu demikian bandel dan pantang menyerah.
"Malangkoro manusia bandel, terpaksa engkau harus kuhajar!"
Bentak Aji dan kini tangan kirinya menampar ke arah dada raksasa itu. Malangkoro berusaha menangkis dan mengerahkan tenaga Tirtadahana yang dahsyat. Akan tetapi Aji sudah tentu saja mengenal aji pukulan ampuh itu dan diapun mengerahkan tenaganya. Dua tangan yang sama-sama kuat bertemu, namun kekuatan Aji lebih dahsyat sehingga pukulannya yang tertangkis itu masih menerobos masuk dan mengenai dada Malangkoro.
"Dessss"""!!"
Tubuh Malangkoro terguling-guling sampai ke tepi jurang. Akan tetapi, raksasa itu memang kuat bukan main. Dia masih mampu bangkit lagi, nampaknya hendak menyerang lagi, akan tetapi tiba-tiba dia meloncat ke dalam jurang. Aji terkejut dan cepat lari ke tepi jurang, menjenguk diikuti pula oleh Mawarsih dan Bayu dan di sana di dasar jurang mereka melihat tubuh raksasa itu, rebah terlentang dengan kepala berdarah-darah, agaknya ketika jatuh kepalanya menimpa batu. Pada saat itu terdengar gerakan orang dan ketika mereka bertiga menengok, kiranya yang muncul adalah Raden Mas Rangsang, pangeran sulung bersama Ki Sinduwening.
"Bapa""!"
Mawarsih lari menghampiri ayahnya karena ia masih bingung dan membutuhkan kekuatan ayahnya untuk menghadapi kenyataan yang mengguncangkan hatinya bahwa ternyata Aji memiliki kedigdayaan yang hebat, akan tetapi ia bingung sekali melihat Aji dan Kedok Hitam seolah merupakan orang yang sama. Sementara itu, pangeran itu meloncat ke dekat Aji dan ikut menjenguk ke bawah.
"Hemm, agaknya dia sudah tewas. Kenapa tidak andika tangkap saja hidup-hidup adimas?"
"Tadinya saya sudah bermaksud menundukkan dan menangkapnya hidup-hidup, kakangmas, akan tetapi dia bandel bukan main dan ketika tadi saya memukulnya roboh, tanpa saya sangka-sangka, dia berhasil melompat ke dalam jurang."
Mawarsih semakin bingung dan heran mendengar betapa Aji bicara dengan sang pangeran secara demikian akrabnya, saling menyebut adimas dan kakangmas! Sementara itu, dua orang muda sudah mendekati Mawarsih yang masih memegang lengan ayahnya dan Raden Mas Rangsang lalu berkata kepada ayah dan anak itu sambil tersenyum.
"Paman Sinduwening, seperti telah kuberitahukan kepada paman tadi, inilah adik seperguruanku."
"Dia"""??"
Ki Sinduwening memandang takjub.
"Tapi dia".. dia adalah"". bukankah dia yang bernama Banuaji?"
Raden Mas Rangsang tersenyum mengangguk.
"Benar, paman. Dia bernama Banuaji, akan tetapi juga seringkali muncul sebagai Si Kedok Hitam."
"Haa"".?"
Orang tua itu semakin heran.
"Jadi anakmas Banuaji ini yang manjadi Si Kedok Hitam?"
"Tidak mungkin!"
Mawarsih berseru penasaran.
"Bagaimana mungkin kakangmas Aji juga Si Kedok Hitam kalau aku pernah melihat kehadiran mereka bersama ketika kita berkelahi melawan Malangkoro dan gurunya, Danyang Gurita? Aku melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka adalah dua orang, kakangmas Aji bersama aku dan Bayu mengeroyok Malangkoro sedangkan Si Kedok Hitam melawan Danyang Gurita! Ini saksinya, Bayu. Coba katakan, Bayu, tidak benarkah kata-kataku tadi?"
Bayu mengangguk dan diapun memandang kepada Aji dengan sinar mata terheran-heran.
"Benar sekali apa yang dikatakan Mbakayu Mawarsih. Saya sendiri dekat dengan kakangmas Aji yang masih kakak misan saya dan belum pernah melihat dia menjadi Si Kedok Hitam."
Sang pangeran tersenyum.
"Harap diajeng Mawarsih dan juga Paman Sinduwening percaya kepadaku. Yang dikatakan diajeng Mawarsih tadi memang benar, akan tetapi ketika adimas Banuaji dan Si Kedok Hitam muncul dalam waktu yang bersamaan, ketika itu Si Kedok Hitam adalah aku sendiri. Aku memang sengaja menyamar sebagai Si Kedok Hitam untuk membantu adimas Banuaji, dan untuk menjaga agar penyamarannya sebagai Si Kedok Hitam tidak sampai terbuka."
Mawarsih memandang kepada Aji dengan sinar mata penuh selidik dan penuh teguran.
"Kalau begitu, selama ini andika mempermainkan aku dan ayah, kakangmas Aji? Tapi kenapa"..? Kenapa kau""."
Mawarsih tidak melanjutkan ucapannya karena suaranya terdengar seperti hampir menangis.
"Diajeng Mawarsih, dan Paman Sinduwening, harap suka memaafkan saya, karena sesungguhnya, terpaksa sekali saya melakukan penyamaran itu dan".."
"Dimas Banuaji, kelak saja andika memberi penjelasan kepada Paman Sinduwening dan diajeng Mawarsih. Sementara ini cukup kalau mereka mengetahui bahwa andika adalah Banuaji alias Kedok Hitam. Aku menyusul ini bukan hanya untuk melihat apakah Malangkoro sudah dapat kau tundukkan, akan tetapi juga karena aku diutus Kanjeng Rama Prabu untuk memenggilmu menghadap, sekarang juga!"
"Benar, anakmas Aji. Aku sendiri juga mendengar perintah Gusti Prabu untuk memanggil Si Kedok Hitam, karena itu sebaiknya kalau anakmas pergi sekarang juga. Biarlah jenazah Malangkoro aku yang akan mengurusnya."
"Kalau begitu selamat tinggal, paman, dan andika juga, diajeng Mawarsih. Biar lain kali aku memberi penjelasan kepadamu."
Setelah berkata demikian, Aji bersama Pangeran Raden Mas Rangsang meninggalkan tempat itu, bergegas menuju ke kota raja karena tidak ingin Sribaginda Raja menanti lebih lama lagi.
Sang Prabu Hanyokrowati menerima Raden Mas Ransang dan Si Kedok Hitam di ruangan dalam, sesuai dengan permintaan Si Kedok Hitam. Pagi tadi, ketika Sang Prabu hendak memutuskan pembagian hadiah-hadiah bagi mereka yang telah berjasa di medan pertempuran menundukkan Ponorogo, Sang Prabu menyebut nama Si Kedok Hitam. Dia sudah lama mendengar nama Si Kedok Hitam disebut-sebut, bahkan ketika pasukan yang pertama kali menyerbu Ponorogo terjebak dan hampir saja Sang Prabu terancam bahaya.
Si Kedok Hitam yang menolongnya sehingga Sang Prabu tahu akan adanya jebakan lalu keburu menyelamatkan diri. Walaupun Si Kedok Hitam tidak ikut berperang secara terbuka, namun jasanya sudah besar sekali dan Sang Prabu ingin bertemu dengannya dan memberi hadiah. Akan tetapi, tak seorangpun di antara para senopati tahu di mana adanya Si Kedok Hitam. Akhirnya, Raden Mas Rangsang menyatakan bahwa dia sanggup mencari Si Kedok Hitam. Mendengar ucapan puteranya ini, Sang Prabu mengutusnya agar cepat mencari dan menemukan Si Kedok Hitam dan mengajaknya menghadap ke istana.
Ketika Raden Mas Rangsang dan Si Kedok Hitam tiba di istana, Raden Mas Rangsang lebih dahulu menghadap ayahandanya dan mengatakan bahwa Si Kedok Hitam hanya mau menghadap Sang Prabu kalau diterima di sebelah dalam, tidak diketahui ponggawa lain, dan hanya dihadiri oleh keluarga raja. Permintaan aneh ini tentu tidak akan dipenuhi Sang Prabu kalau yang memintanya bukan puteranya sendiri, yang menanggung bahwa Si Kedok Hitam mempunyai alasan kuat untuk mengajukan permohonan itu. Demikianlah, Si Kedok Hitam bersama Raden Mas Rangsang lalu memasuki ruangan sebelah dalam di mana sudah duduk Sang Prabu Hanyokrowati bersama semua keluarga istana. Tidak ketinggalan pula puterinya, yaitu Dyah Ayu Ratu Pandan, puteri yang jelita dan berusia delapan belas tahun itu, hadir pula.
Juga Raden Mas Menang, Raden Mas Cakra dan para pangeran lain kecuali Raden Mas Martapura yang kini tidak waras lagi pikirannya dan hanya mengeram diri di dalam kamarnya. Semua anggota keluarga memperhatikan Si Kedok Hitam ketika dia memasuki ruangan bersama Raden Mas Rangsang, dan dengan penuh hormat Si Kedok Hitam berlutut dan menyembah. Semua orang memandang kagum karena mereka sudah mendengar akan kedigdayaan Si Kedok Hitam dan akan jasa-jasanya yang besar.
"Heii, Kedok Hitam! Kami sudah mendengar banyak tentang sepak terjangmu yang membantu Mataram, karena itu kami sudah menganggap pantas untuk memberi imbalan jasa kepadamu."
Kata Sang Prabu dengan wajah manis dan sikap ramah.
"Mohon beribu ampun, Gusti Prabu. Sesungguhnya, hamba hanya melakukan kewajiban hamba menentang yang lalim, dan kalau hamba melihat yang lalim dikalahkan sedangkan yang benar dapat hamba bela dan selamat, hal itu sudah merupakan imbalan yang amat membahagiakan hati hamba. Hamba tidak mengharapkan apa-apa lagi, Gusti."
Sang Prabu Hanyokrowati mengerutkan alisnya.
"Hemm, engkau adalah seorang ksatria sejati, Kedok Hitam. Kalau engkau tidak menghendaki apa-apa lagi, kenapa engkau mohon agar kami menerimamu hanya dalam keluarga yang terbatas saja, tidak menghendaki diketahui para ponggawa? Apa maksudmu?"
"Ampun beribu ampun, Gusti. Sesungguhnya, hamba menghendaki agar pertemuan dirahasiakan, bukan sekali kali untuk kepentingan hamba, melainkan demi kepentingan paduka pula."
"Hemm, apa maksudmu? Jelaskan!"
"Kakangmas Pangeran Raden Mas Rangsang menghendaki agar hamba memperkenalkan diri dan membuka kedok di hadapan paduka sekeluarga, oleh karena hal ini menyangkut keluarga paduka, maka hamba mohon diterima dalam lingkungan keluarga saja."
"Bicaramu semakin aneh mengandung rahasia, Kedok Hitam. Rahasia apa gerangan yang menyangkut diri kami?"
"Sebelumnya, hamba mempunyai sebuah benda dan mohon paduka periksa, apakah paduka mengenal benda yang hamba simpan sejak kecil ini."
Si Kedok Hitam lalu mengeluarkan sebuah benda kecil dari saku bajunya dan setelah menyembah, dia menghaturkan benda itu kepada Sang Prabu. Benda itu ternyata seuntai kalung emas dan begitu menerima benda ini dan mengamatinya, Sribaginda menjadi terkejut dan termenung. Terbayanglah kenangan masa lalu. Ketika itu, sekitar dua puluh tahun yang lalu ketika mendiang ayahnya, Raja Mataram yang pertama yang berjuluk Senopati Ing Alaga Saidin Panatagama atau yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Panembahan Senopati, dia sendiri masih seorang pangeran dan ketika pasukan Mataram memperluas wilayahnya ke jurusan timur, dia yang ketika itu disebut Pangeran Raden Mas Jolang, ikut pula memimpin pasukan. Di daerah Ponorogolah terjadinya peristiwa yang kini dikenangnya itu. Dia bertemu dengan Niken Sari, puteri seorang pendeta di dusun dan mereka saling jatuh cinta.
Pangeran Raden Mas Jolang mempersunting dara itu atas persetujuan ayah si gadis, dan terpaksa dia meninggalkan Niken Sari di rumah sang pendeta karena dia harus melanjutkan perjalanannya memimpin pasukan yang menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur. Dia meninggalkan Niken Sari dalam keadaan mengandung dan kalung yang kini berada di tangannya adalah kalung yang ia tinggalkan kepada Niken Sari. Karena kesibukanya sebagai seorang pangeran maahkota, dia putera dari garwa padmi atau permaisuri, dan karena ayahandanya selalu mengadakan gerakan untuk menundukkan daerahdaerah Mataram yang luas, Raden Mas Jolang melupakan Niken Sari yang ditinggalkan di dusun sebelah selatan Ponorogo itu.
"Aih, ini kalung yang kami berikan kepada Niken Sari! Bagaimana dapat berada di tanganmu, Kedok Hitam?"
"Ampun, Gusti. Kalung itu hamba terima dari ibu kandung hamba, ketika hamba berusia sepuluh tahun dan ibu hamba di ambang pintu kematiannya."
"Siapa ibu kandungmu?"
"Ibu kandung hamba".. ia".. ia bernama Niken Sari"""
"Ya Allah! Jadi kau".. kau".. anak Niken Sari yang dikandungnya ketika aku pergi meninggalkannya? Jadi engkau".. engkau ini puteraku sendiri?"
"Adimas, bukalah kedokmu dan perlihatkan wajahmu kepada kanjeng rama dan semua keluarga."
Raden Mas Rangsang berkata dari belakang Si Kedok Hitam. Kedok Hitam menyembah ke arah Sribaginda, lalu dia membuka kedok kain hitam yang selalu menutupi mukanya.
"Kakangmas Banuaji""".!!"
Tiba-tiba Dyah Ayu Ratu Pandan menjerit.
"Eh, kau sudah mengenalnya?"
Sang Prabu menoleh ke arah puterinya dengan heran.
"Ampunkan hamba, kanjeng rama. Sesungguhnya, adimas Banuaji ini adalah adik seperguruan hamba dalam olah kedigdayaan, hamba berdua murid-murid Ki Pandanaran, menerima ilmu-ilmu yang diajarkan kepada beliau oleh Eyang Sunan Kalijaga. Pernah adimas Banuaji hamba ajak ke kapangeranan dan bertemu dengan diajeng Dyah Ayu Ratu Pandan dan mereka hamba perkenalkan. Diajeng, ini adalah kakakmu sendiri."
"Diajeng, maafkan saya"""
Banuaji memandang kepada puteri jelita itu, dan Dyah Ayu Ratu Pandan menangis. Hati siapa tidak akan hancur lebur mendapat kenyataan bahwa satu-satunya pria yang membutnya tergila-gila dan yang dicintanya setengah mati, yang dirindukannya setengah mati, kini muncul sebagai kakaknya, seayah berlainan ibu! Tentu saja pertemuan itu merupakan pertemuan kekeluargaan yang asyik masyuk, mendatangkan kegembiraan dan keharuan, dan Banuaji dielu-elukan dan sejak saat itu, dia adalah Raden Mas Banuaji, seorang pangeran yang telah diterima dan diakui oleh Sang Prabu dan segenap keluarga istana! Perlahan-lahan, Dyah Ayu Ratu Pandan juga dapat menerima kenyataan itu, betapapun pahitnya dan kini mengertilah ia mengapa Banuaji yang pernah dicintanya itu tiba-tiba saja menghilang dan tidak pernah muncul. Kiranya Banuaji sudah tahu bahwa ia adalah adik sendiri, maka dia menjauhkan diri dan menyamar sebagai Si Kedok Hitam.
Ketika Ki Sinduwening yang menjadi senopati Mataram mengajak kembali puterinya ke kota raja, Mawarsih mengeleng kepalanya. Dara ini nampak berduka sekali, wajahnya muram dan alisnya berkerut.
"Tidak, bapa, aku tidak ingin kembali ke kota raja. Aku ingin tinggal di lebih lama di sini, karena di tempat sunyi ini aku merasa kedamaian dan ketentraman."
Ki Sinduwening memaklumi perasaan puterinya. Tentu puterinya itu merasa terpukul sekali akan kenyatan bahwa Banuaji dan Kedok Hitam adalah satu orang! Tentu ia merasa malu akan sikapnya sendiri, malu kepada Banuaji juga malu kepada Si Kedok Hitam, karena tadinya ia bersikap mendua, yaitu mencinta keduanya sehingga sukar menentukan pilihan.
"Baiklah, setelah selesai urusanku di kota raja, aku akan menjemputmu di sini Mawar."
Ki Sinduwening lalu meninggalkan puterinya dengan hati merasa yakin bahwa Banuaji pasti akan kembali kepada Mawarsih. Akan tetapi dia minta kepada Bayu untuk tinggal pula di situ menemani Mawarsih. Bayu tidak membantah dan Mawarsih juga mengangguk setuju karena satu-satunya orang yang mengetahui benar akan isi hatinya hanyalah BaSetelah mereka berdua saja yang tinggal di pondok sunyi itu, tiada habis-habisnya Mawarsih menghujani pertanyaan kepada Bayu tentang Banuaji. Bayu juga bercerita sejujurnya. Pertama kali dia bertemu dengan Banuaji dan tahu bahwa Banuaji masih ada hubungan keluarga dengannya karena Lurah Pancot adalah paman dari Aji sedangkan ibu Lurah adalah bibi Bayu.
"Semenjak kakangmas Aji bertemu dan berkenalan dengan mbakayu di puncak bukit itu, dia selalu membicarakan tentang dirimu denganku. Jelas bahwa kakangmas Aji amat kagum dan suka kepadamu, mbakayu Mawarsih. Hubuangan kami akrab sekali, bahkan kakangmas Banuaji mengajarkan dasar-dasar ilmu pencak silat kepadaku. Akan tetapi, aku selalu mengenalnya sebagai kakangmas Banuaji, sama sekali tidak mengira bahwa dia adalah Si Kedok Hitam."
"Akan tetapi, bukankah beberapa kali engkau bersama Si Kedok Hitam, seperti ketika engkau menantang Malangkoro di panggung sayembara itu?"
"Benar, mbakayu, akan tetapi dia yang muncul tiba-tiba dan menyuruh aku melakukan tantangan itu. Karena melihat kakangmas Banuaji tidak mampu menang atas diri Malangkoro, aku penasaran dan dengan senang aku melaksanakan permintaannya, sama sekali tidak menyangka bahwa dia adalah kakangmas Aji sendiri."
"Aneh, kenapa dia harus menyamar menjadi Kedok Hitam? Kenapa dia seperti yang sengaja mempermainkan aku dan ayahku?"
"Aku merasa yakin dia tidak bermaksud mempermainkanmu, mbakayu. Aku mengenal benar kakangmas Aji sebagai seorang yang lembut dan baik hati. Sikapnya yang merahasiakan diri dan menyamar sebagai Si Kedok Hitam, tentu ada sebabnya yang memaksa dia melakukannya. Dia sayang kepadamu, mbakayu, bagaimana mungkin dia tega mempermainkanmu. Tunggu saja, aku yakin dia akan memberi penjelasan kepadamu."
"Akan tetapi, di mana dia sekarang. Bayu?"
Tanya Mawarsih dengan suara sayu, dan pilu.
"Maaf, mbakayu. Aku sendiripun tidak tahu dan tidak dapat menduga di mana. Bukankah Gusti Pangeran Rangsang mengajaknya menghadap Gusti Prabu ke istana? Sebaiknya kalau mbakayu menunggu di sini, karena kalau aku tidak salah perhitungan, kakangmas Aji pasti akan datang ke sini mencari mbakayu."
"Benarkah itu, Bayu?"
Suara Mawarsih lirih penuh harap-harap cemas.
Menanti memang merupakan pekerjaan yang paling berat. Waktu rasanya merayap lama sekali, apa lagi bagi Mawarsih yang sudah menanti-nanti munculnya Banuaji selama tiga hari. Sore itu, dengan hati yang ternyuh dan berat, Mawarsih seorang diri berjalan ke puncak di mana ia pernah berjumpa untuk pertama kalinya dengan Aji. Ia duduk melamun di atas batu yang dahulu pernah diduduki Aji. Apakah Banuaji benar-benar marah kepadanya karena ia pernah menolak Banuaji karena memilih Kedok Hitam? Juga karena ia pernah memperlihatkan kejijikan ketika melihat wajah di balik kedok itu yang amat buruk? Banuaji pernah mengejeknya agar menikah saja dengan kesaktian kalau yang dicinta bukan orangnya melainkan kesaktiannya.
Dan sebaliknya Kedok Hitam yang melihat ia ketakutan melihat wajah buruk di balik kedok, juga mengejeknya bahwa ia mementingkan wajah tampan. Baik Banuaji, maupun Kedok Hitam, keduanya telah mengejeknya! Padahal keduanya adalah satu orang saja. Mawarsih melamun, menghadap ke barat. Langit di barat terbakar merah oleh matahari senja. Biasanya, pemandangan matahari tenggelam di langit senja merupakan penglihatan yang teramat elok, sepenuhnya menggelarkan kebesaran kekuasaan Gusti Allah. Namun, dalam keadaan hatinya seperti saat itu, pemandangan itu bahkan membuar hati Mawarsih menjadi ternyuh, merasa seolah-olah semangatnya diterbangkan ke langit kemerahan itu, sunyi sepi sendiri di antara awan-awan putih kebiruan.
Hatinya menjerit dan tanpa disadarinya, jerit hatinya itu mengeluarkan rintihan dan keluhan melalui tembang. Ia bertembang Asmaradana, suaranya menggetar penuh perasaan, dan air matanya perlahan-lahan turun membasahi pipinya ketika ia berkidung.
"Gandrung wuyung lara ati ternyuhe kang nandang branto kadya den iris atine apa baya kang tumiba amorong angga kawula nganti anti wong abagus duh kula nyuwun usada"
Kidung itu menggambarkan keadaan hatinya, yang berarti.
"Rindu dendam sakit hati, harunya yang sedang rindu, seperti disayat hatinya, apa gerangan yang akan menimpa, diri hamba ini, menanti-nanti si tampan, hamba minta penawar rindu."
Bait terakhir tenggelam ke dalam kesenduan, diiringi helaan napas panjang dan Mawarsih mengusap kedua pipinya dengan punggung tangan, seperti anak kecil menangis. Tiba-tiba ia tersentak dan terbelalak mendengar suara suling! Suling itupun memainkan kidung Asmaradana, begitu lembut dan indah dan tanpa menolehpun tahulah ia siapa yang meniupnya. Bukan Bayu! Ia pun bangkit berdiri dan perlahan-lahan ia membalikkan tubuhnya. Dan benar saja, dari lereng di bawah, ia melihat Banuaji sedang berjalan menghmpirinya sambil meniup sulingnya. Rasa rindu yang menyesak dada, membuat Mawarsih tidak lagi mengenal rikuh dan malu. Ia berlari menyambut pemuda itu sambil menangis. Aji juga berlari menyambut sambil mengembangkan kedua lengannya. Keduanya bertemu, masing-masing mengembangkan lengan dan mereka saling berpelukan.
"Kakangmas Aji""!"
"Diajeng Mawarsih""..!"
Mawarsih menangis di dada pemuda itu dan Aji mendekap kepala itu penuh kasih sayang, seolah hendak membenamkan kepala itu ke dalam dadanya dan tidak akan melepaskannya lagi. Mawarsih menangis, mengguguk seperti anak kecil, air matanya membasahi baju dan menembus ke dada Banuaji, terasa oleh pemuda itu seperti siraman embun pagi pada akarakar di hatinya yang sudah lama mendambakan siraman kasih.
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakangmas"". ampunkan aku, kakangmas".."
Mawarsih merintih dalam tangisnya. Banuaji mengelus rambut itu dengan penuh kemesraan. Sudah terlalu sering dia bermimpikan keadaan seperti sekarang ini, memeluk tubuh dara itu, mengelus rambutnya. Sebetulnya dara itu tidak perlu bicara lagi karena tadi dia sudah bertemu Bayu dan adik misannya itu sudah menceritakan semua tentang Mawarsih, tentang isi hati Mawarsih yang dalam tiga hari ini ditumpahkan kepadanya, tentang perasaan Mawarsih cintanya terhadap Banuaji semenjak pertama kali bertemu, cinta kasih yang tergoda dan terhalang karena munculnya Kedok Hitam yang dianggap lebih sakti, apa lagi yang sudah sering menyelamatkan nyawa dara itu.
"Tidak ada yang perlu diampuni, diajeng. Kita berdua harus menghadap Gusti Allah kalau hendak memohon mapun atas dosa-dosa kita, dan juga mengucap syukur Alhamdulillah bahwa Gusti Allah telah mempertemukan kita."
Bukan main lega rasa hati Mawarsih mendengar ini. Ia mengangkat mukanya yang basah dan menantap wajah pemuda itu, ingin mendapatkan kepastian.
"Benar-benarkah andika mau memaafkan semua kesalahanku, kakangmas?"
Banuaji menunduk dan menutup mulut yang bertanya itu dengan ciumannya. Lama mereka seperti berubah menjadi arca dalam pelukan itu, kemudian Banuaji mengundurkan rangkulannya.
"Diajeng, engkau tidak bersalah. Akulah yang seyogianya minta maaf karena setelah kupikir-pikir, memang aku yang telah mempermainkan engkau dan paman Sinduwening dengan penyamaranku sebagai Kedok Hitam itu.
"Nah, sekarang andika mengaku, kakangmas!"
Kata Mawarsih manja dan juga lega gembira.
"Dan andika sudah berjanji untuk menjelaskan, mengapa andika berpura-pura lemah dan menyamar sebagai Kedok Hitam yang lebih sakti. Hayo jelaskan, kakangmas karena pertanyaan itu tak pernah berhenti mengaduk hati dan pikiranku, mendatangkan rasa penasaran."
Banuaji tersenyum.
"Mari kita duduk dan akan kujelaskan kepadamu, diajeng."
Dia menuntun tangan Mawarsih dan keduanya mendaki puncak, lalu duduk di atas batu panjang, berdampingan, tangan kanan Aji menggenggam tangan kiri Mawarsih dan sepuluh buah jari itu saling kait dan saling belit seperti sepuluh ekor anak belut yang baru lahir.
"Aku adalah adik seperguruan kakangmas Pangeran Rangsang, kami berdua menjadi murid Ki Pandanaran dan cucu murid Kanjeng Sunan Kalijaga. Ketika aku diajak kakangmas pangeran berkunjung ke kepangeranan, aku diperkenalkan kepada adiknya, yaitu Sang Dyah Ayu Ratu Pandan""."
"Ah, Sekar Kedaton yang cantik jelita itu?"
Tanya Mawarsih, hatinya merasa tak enak membayangkan Aji berkenalan dengan puteri yang cantik jelita itu.
"Benar, diajeng. Kemudian"". kemudian"".., ah, bagaimana, ya? Biarlah aku berterus terang saja. Aku melihat betapa puteri itu agaknya"". menaruh hati kepadaku. Karena itu, aku lalu menjauhkan diri, menghilang dan menyamar sebagai Si Kedok Hitam. Begitulah, diajeng, dan penyamaranku itu tidak ada yang mengetahui, kecuali kakak seperguranku itu, yaitu kakangmas Pangeran Rangsang."
Dara itu menatap wajah kekasihnya dengan mata terbelalak dan sinar mata heran, bahkan tidak percaya.
"Kakangmas Aji! Andika menolak cinta puteri jelita Sekar Kedaton itu dan memilih aku?"
Aji tersenyum dan menggoda.
"Bukankah engkau juga menolak cinta Banuaji dan memilih si buruk rupa Kedok Hitam."
"Ihh, kakangmas. Jawablah, mengapa? Jangan membikin aku mati penasaran!"
"Kenapa? Karena"""
Eh, matamu ini, hidungmu ini, mulutmu ini"".."
"Aih, kakangmas, hentikan dulu""". ah, biarkan aku bernapas, aku ingin jawaban-mu yang benar".."
Mawarsih meronta dan melepaskan diri dari rangkulan kekasihnya. Pada saat itu terdengar suara dehem orang dan sepasang kekasih itu tentu saja terkejut dan cepat saling melepaskan rangkulan sambil meloncat berdiri dan membalikkan tubuh. Dapat dibayangkan betapa keduanya tersipu malu ketika melihat melihat bahwa yang datang adalah Ki Sinduwening! Banuaji menjadi demikian tersipu sehingga dia tidak mampu berkata apapun hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Akan tetapi, senopati itu tidak kelihatan marah, bahkan tersenyum.
"Mawar, bapa datang untuk memberitahu kepadamu bahwa kemarin bapa dipanggil menghadap oleh Gusti Prabu dan beliau melamar engkau untuk dijodohkan dengan pangeran"""
"Tidak! Aku tidak sudi dijodohkan dengan pangeran yang manapun juga, bapa!"
Teriak Mawarsih memotong ucapan ayahnya, lalu dengan sikap menantang ia menggandeng tangan Banuaji dan melanjutkan.
"Bapa, aku hanya mau berjodoh dengan kakangmas Banuaji!"
Akan tetapi dara itu menjadi bingung dan heran melihat ayahnya tidak marah, bahkan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kenapa engku belum juga mengubah watakmu yang kekanakkanakan itu, Mawar? Aku belum selesai bicara dan engkau sudah memotong dan membantah begitu saja."
Akan tetapi aku memang tidak sudi diperistri pangeran! Aku hanya mau mempunyai suami""""
Kini ayahnya yang memotong.
"Juga tidak mau kalau pangeran itu bernama Raden Mas Banuaji?"
Pegangan tangan pada tangan pemuda itu terlepas dan Mawarsih memandang pemuda itu dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, seperti melihat malaikat muncul di depannya.
"Ha-ha-ha, biarlah aku pergi ke pondok dan kalian lanjutkan pertemuan kalian. Anakmas Pangeran, paman pergi dulu."
Dan senopati itu sambil terus tertawa meninggalkan mereka.
"Andika"". andika"". benarkah itu, kakangmas"". andika seorang".. pangeran?"
"Itulah sebabnya mengapa aku menjauhkan diri dari diajeng Ratu Pandan, diajeng. Ia adalah adikku sendiri, akan tetapi ketika itu ia belum mengetahuinya karena rahasiaku hanya diketahui kakangmas Pangeran Rangsang. Aku putera kanjeng rama prabu dari ibuku, seorang anak pendeta di dekat Ponorogo"".."
"Aduh, pangeran""". ampunkan hamba"""."
Mawarsih menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Akan tetapi Banuaji menyambar tubuhnya dan mengangkatnya bangkit kembali.
"Hushhh""".!"
Bisiknya.
"Bagimu aku tetap kakangmas Aji dan engkau diajeng Mawarsih.
Aku tidak akan tinggal di istana, aku akan membangun rumah tangga denganmu di sini, di tempat yang indah ini, dan kita akan membentuk keluarga bahagia, dengan anak kita, cucu kita""."
Mawarsih tenggelam ke dalam pelukan kekasihnya.
"Dan aku hanyalah Mawarsih, gadis dusun yang bodoh""."
Terdengar tiupan suling yang merdu dari jauh. Suara suling itu melengking-lengking, syahdu dan bagaikan membuat sepasang kekasih yang sedang terayun gelombang asmara itu. Suling itu menembangkan kidung-kidung yang indah. Kinanti, Asmaradana, Sinom, Pangkur, Dangdanggula""
Kidung senja yang indah. Kidung Senja Di Mataram! Sepasang kekasih tenggelam ke dalam kemesraan, bagaikan mabok madu asmara, lupa keadaan, lupa diri, lupa bahwa di pondok, Ki Sinduwening menanti-nanti. Akan tetapi, Ki Sinduwening duduk bersila dengan sabar, dengan senyum di mulut dan sepasang mata yang basah.
TAMAT
https://bugiskha.wordpress.com/2013/07/11/kidung-senja-di-mataram
Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Seruling Gading Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo