Kidung Senja Di Mataram 5
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Mayaresmi mencium pemuda itu dengan mesra.
"Raden, engkau adalah seorang senopati muda, kedudukanmu tinggi, engkau bangsawan yang mulia dan terhormat. Bagaimana engkau akan memperisteri aku seorang janda tiga kali yang tidak muda lagi? Engkau akan menjadi bahan tertawaan d sana, Raden."
"Hushh, jangan bicara seperti itu. Maya. Engkau belum tua, engkau cantik jelita, dan tentang engkau janda tiga kali, aku tidak peduli. Tidak akan ada yang berani menertawakan kita. Siapa berani tertawa, akan kurobek mulutnya."
"Biarpun demikian, Raden, aku"". terus terang saja, biarpun aku juga amat cinta padamu, biarpun aku merasa berbahagia dapat membalas budimu dengan penyerahan jiwa ragaku, akan tetapi aku tidak mau kalau andika boyong ke Mataram. Tidak sekarang, Raden."
"Kenapa, Mayaresmi? Bukankah di Mataram keadaannya lebih ramai, lebih besar dan engkau akan hidup serba kecukupan, kusediakan kereta dengan empat ekor kuda untukmu, pakaian serba indah, perhiasan emas intan, kehormatan."
"Raden Nurseta, bagaimanapun juga, andika hanyalah seorang senopati muda yang hidupnya selalu terancam bahaya. Dan Mataram hendak memusuhi Ponorogo, hendak memeranginya. Bagaimana aku dapat tinggal di kerajaan yang hendak menyengsarakan rakyat di daerahku? Sang Prabu di Mataram hanya bersenang-senang saja, mengorbankan perang yang akan membakar rakyat, menewaskan para perajuritnya, termasuk mungkin juga andika sendiri. Sedangkan Sang Prabu hanya bersenang-senang di sana, menanti datangnya berita kesenangan dan akan berpesta pora kalau menang, sebaliknya akan menghukum para senopatinya kalau kalah. Tidak, Raden, aku mau hidup di sampingmu selamanya, akan tetapi ada syaratnya."
"Apa syaratanya?"
"Andika harus tinggal di sini, di daerah Ponorogo."
"Tapi aku kawula Mataram, aku senopati muda Mataram, dan bahkan ayahku adalah seorang demang di dusun Praban!"
Wanita itu tersenyum dan merangkul.
"Tadi sudah kuceritakan semua itu, Raden. Akan tetapi apa halangannya? Andika bisa pindah ke sini, dan tentang kedudukan, kalau andika mau, tentu Sang Adipati Ponorogo akan dapat memberi kedudukan yang lebih tinggi padamu. Kalau andika menerima usul ini, aku akan berterima kasih sekali, Raden dan sebagai balas jasa, aku akan mengabdi selama hidupku kepadamu, dijadikan apapun aku terima. Aku tidak mengharapkan menjadi isteri pertama. Dijadikan selirpun sudah berterima kasih sekali karena aku hanya seorang janda. Akulah yang akan membantumu untuk mencapai kedudukan setingginya, dan aku pula yang akan membantu kalau andika ingin mempersunting seorang puteri menjadi isteri kelak."
Mendengar ini Nurseta termenung dan dia membayangkan wajah Mawarsih. Bagaimana pandainya wanita ini menyenangkan hatinya, dia tak mungkin dapat melupakan Mawarsih, dara perkasa itu dan alangkah akan senangnya kalau Mawarsih, dapat menjadi isterinya kelak, dan di antara para selir-selirnya terdapat Mayaresmi! Selagi dia bimbang ragu, Mayaresmi sudah memeluknya dan dengan bisikan-bisikan mesra ia merayu dan mulai membujuk pemuda itu.
"Coba saja andika ingat akan kedudukan ayhmu. Sudah betapa besar jasanya untuk Mataram, akan tetapi apa pangkatnya? Hanya demang! Gurumu sendiripun sejak mudanya telah berjuang untuk kepentingan Mataram, ikut pula membangun Mataram. Akan tetapi sekarang hanya menjadi pertapa miskin. Sekarang karena tenagamu masih diperlukan, andika dijadikan senopati muda. Kalau andika tidak tewas dalam pertempuran-pertempuran yang selalu dikobarkan Mataram, kelak pun andika akan dicampakan begitu saja, atau diberi kedudukan kecil sebagai lurah atau demang."
Demikian antara lain Mayaresmi mengilik pemuda itu. Sebelum lewat malam, Nurseta yang sudah benar-benar jatuh menceritakan semua rahasianya. Bahwa dia jatuh cinta kepada Mawarsih, dan betapa kini dia melakukan tugas untuk menjadi pemimpin pasukan penyelidik, menggantikan Ki Sinduwening yang menjadi tawanan di Ponorogo. Dengan cerdik Mayaresmi menjanjikan akan membantu pemuda itu asal Nurseta suka menerima usulnya tadi, yaitu membantu Ponorogo dalam perjuangannya melawan Mataram yang hendak menundukannya.
"Andika dapat membuat laporan-laporan dari hasil penyeidikan itu, dan tentu saja dengan
(Lanjut ke Jilid 05)
Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 05
sepengetahuan sang adipati Ponorogo melalui aku sehingga kami dapat mengatur kekuatan berlawanan dengan isi laporanmu. Dengan adanya laporan itu, kami bahkan dapat menjebak dan menghancurkan setiap pasukan Mataram yang berani datang menyerbu. Dan nanti dapat diatur agar andika yang membebaskan Ki Sinduwening sehingga bukan saja andika dianggap berjasa dan semakin dipercaya kerajaan Mataram, akan tetapi juga andika akan membuat gadis puteri Ki Sinduwening itu berterima kasih. Aku akan membantu agar Mawarsih itu kelak menjadi isterimu, Raden."
Mayaresmi adalah puteri seorang warok yang bukan saja digdaya, akan tetapi juga mahir menggunakan ilmu hitam dan guna-guna, ilmu yang sudah pula dikuasainya. Maka, dalam bujuk rayunya ini, ia pun mengerahkan aji guna-guna itu sehingga Nurseta yang jauh kalah pengalamannya itu benar-benar bertekuk lutut malam itu. Apa lagi ketika dia mendengar Mayaresmi bersenandung di dekat telinganya. Suara Mayaresmi amat merdunya dan memang wanita itu bekas ledek yang tentu saja mempunyai suara merdu, pandai menembang dan pandai pula menari. Ketika pada keesokan harinya Nurseta bersama dua belas orang anak buahnya meninggalkan dusun itu untuk melanjutkan perjalanan dan melaksanakan tugasnya, telah terjadi perubahan besar di dalam hatinya yang tidak diketahui orang lain.
Dia telah mengatur siasat itu dengan Mayaresmi yang kini sudah tahu akan rahasia tempat pertemuan para penyelidik Mataram itu, ialah di warung Pak Jiyo di Ponorogo. Dan Nurseta sudah tahu ke mana dia akan dapat mengadakan pertemuan dengan Mayaresmi kalau dia berada di Ponorogo. Tidak ada godaan yang lebih kuat di antara segala godaan bagi hati seorang pria, dari pada seorang wanita! Secara alami wanita memiliki daya tarik yang kuat sekali bagi pria dan sekali seorang pria sudah tertarik dan jatuh cinta, maka apa pun akan dikorbankan demi wanita yang dicintanya itu. Betapa banyaknya bukti tercatat di dalam sejarah dari negara di bagian manapun di dunia ini, sejak ribuan tahun yang lalu sampai sekarang, betapa pria yang terkenal karena kejayaannya, kesaktiannya, kepandaiannya, pada suatu ketika bertekuk lutut tanpa syarat di depan kaki wanita yang dicintanya!
Betapa kuatnya kerling mata yang jeli itu memikat hati pria, melebihi belenggu baja yang paling kuat, dan betapa manis memabokkan mulut yang mungil itu kalau tersenyum manja. Bibir merah muda merekah bagikan setangkai bunga mawar, memperlihatkan deretan gigi seperti mutiara, lidah yang segar kemerahan dan rongga mulut yang lebih merah lagi. Pria yang biasanya mampu melawan musuh yang kokoh kuat, tegar menghadapi serangan senjata pedang atau tombak, begitu berhadapan dengan kerling mata dan senyum mulut seorang wanita yang menarik hatinya, akan luluh dan lemas bagaikan tanah liat. Kenyataan ini sudah diketahui orang sejak ribuan tahun yang lalu. Oleh karena itu, banyak sekali wanita yang cantik dan pandai dipergunakan oleh suatu golongan untuk meruntuhkan hati seorang tokoh yang berada di pihak lawan.
Raja-raja besar berjatuhan, senopati-senopati yang gagah perkasa beruntuhan, bahkan pertapa-pertapa sakti dan saleh tergelincir oleh wanita! Tidaklah terlalu mengherankan kalau kini Raden Nurseta juga tergelincir. Apa lagi dia hanya seorang pemuda yang memang mempunyai watak mata keranjang dan suka mengejar kesenangan dengan wanita cantik. Pria yang jauh lebih kuat batinnya dibanding Nurseta sekalipun akan mudah jatuh oleh bujuk rayu Mayaresmi. Sesungguhnya, kecantikan wanita, seperti kecantikan dan keharuman bunga, atau segala sesuatu yang nampak indah menyenangkan bagi kita, merupakan suatu anugerah dari Tuhan melalui panca indera kita. Kita dapat menikmati hidup ini karena nafsu. Nafsu adalah peserta kita sejak lahir dan merupakan anugerah karena dengan adanya nafsu maka hidup ini menjadi berarti.
Hati dan akal pikiran bekerja karena dorongan nafsu sehingga kita dapat mengadakan segala macam benda demi kenikmatan hidup di dunia ini. Nafsu disertakan kita sebagai pembantu yang amat berguna, sebagai alat agar hidup kita di dunia ini menjadi suatu pengalaman yang membahagiakan. Akan tetapi, nafsu pula yang menyeret kita ke dalam lembah kejahatan, kehinaan dan kehancuran, yang akhirnya menjerumuskan kita ke dalam lembah kesengsaraan. Kita mudah sekali dihanyutkan nafsu, sehingga kalau nafsu ini pada hakekatnya menjadi hamba yang harus membantu kita, maka kalau dibiarkan nafsu akan merajalela dan dari hamba menjadi majikan! Kita yang diperhamba dan kalau sudah begitu, maka celakalah kita!
Kalau sudah begitu, maka akan muncul perbuatan-perbuatan yang merugikan pada orang lain mau pun diri sendiri, perbuatan yang pada umumnya dinamakan kejahatan dan kemaksiatan. Hal ini sudah pula diketahui manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Jadi, bukan pada kecantikan wanitalah letak bahayanya, melainkan pada diri sendiri. Yang berbahaya adalah nafsu diri sendiri. Karena kesadaran ini, maka timbul bermacam usaha manusia untuk menjauhi nafsu, untuk mengendalikan nafsu, dan sebagainya. Orang melakukan tapa-brata, mengasingkan diri ke gunung-gunung, hidup di gua-gua yang sunyi, menjauhkan diri dari keramaian dunia dan dari pergaulan manusia, bahkan ada pula yang menyiksa diri, semua itu dimaksudkan untuk mengendalikan atau menundukkan, mengalahkan nafsunya sendiri.
Betapa sulit dan sukarnya! Dan betapa jarang yang berhasil. Mengapa sukar untuk dapat berhasil? Karena hati dan akal pikiranpun sudah dicengkeram nafsu, sudah diliputi dan bergelimang nafsu itu sendiri. Manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa nafsu. Memang kalau tidak ada rangsangan dari luar, nampaknya saja tertidur. Akan tetapi, sekali menghadapi rangsangan dari luar, nafsu yang lama ditekan untuk tidak aktip itu akan menjadi berkobar lagi, bahkan lebih besar dari pada yang sudah-sudah, bagaikan api dalam sekam yang nampaknya saja sudah padam, akan tetapi begitu ada angin bertiup, apinya akan bernyala dan berkobar.
Melalui panca indera kita menikmati kehidupan ini,dan nafsulah yang mendatangkan kenikmatan itu. Tidak akan ada suara merdu bagi telinga yang tidak mengandung nafsu. Tidak ada ganda harum, rasa lezat dan sebagainya tanpa adanya nafsu. Tidak akan ada kenikmatan hidup. Namun, sekali nafsu yang menjadi majikan dan kita menjadi hambanya, kita dipaksa oleh nafsu untuk melakukan apa saja demi mengejar kenikmatan itu! Kalau nafsu amat penting bagi hidup akan tetapi juga amat berbahaya, merupakan musuh utama yang menyeret kita ke dalam penyelewengan, lalu bagaimana? Baru dapat dikatakan wajar dan sempurna kalau nafsu dalam diri manusia itu menduduki tempat semula ketika disertakan kepada manusia, yaitu sebagai alat!
Sebagai pembantu, demi kepentingan kehidupan di dunia ini. Itu saja! Dan cara apapun yang ditempuh manusia, selama cara itu merupakan hasil usaha hati akal pikiran, maka sukar dapat dicapai hasilnya, karena hati akal pikiran ini pun sudah bergelimang dengan nafsu. Bagaimana mungkin nafsu dapat menertibkan diri sendiri? Nafsu maunya hanya ingin menang, ingin menguasai, ingin menonjol, ingin senang dan untung sendiri, jadi, usaha hati akal pikiran yang begelimang nafsu itu, betapa halus dan berlika-liku sekalipun, tujuannya hanya satu, yaitu menang, untung dan senang! Memang kadang-kadang nafsu bekerja teramat licik dan halus, dan demikian memang kepandaian setan, sehingga kita mudah tertipu.
Kita menolong orang lain agar mendapat pahala, baik di dunia atau di akhirat, berbeda dengan kita menolong orang lain karena digerakkan getaran perasaan iba. Yang pertama itu bekerjanya nafsu, pertolongan itu hanya merupakan cara untuk mencapai tujuan, yaitu pahala atau artinya kesenangan. Melakukan segala macam kebaikan agar kelak mendapat surga juga merupakan pekerjaan nafsu, karena kebaikan itu hanya dijadikan cara untuk mencapai tujuannya, yaitu surga atau kesenangan lagi! Andaikata surga itu digambarkan tidak menyenangkan, tentu kebaikan tidak akan dilakukan! Berbeda dengan melakukan sesuatu sebagai suatu kewajiban hidup dari seorang manusia yang sudah dibekali pengetahuan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk.
Lalu, apa yang harus kita perbuat agar nafsu tidak menjadi majikan, melainkan tetap menjadi alat atau pembantu kita? Jawabnya mungkin hanya: Kita tidak berbuat apa-apa! Karena apapun yang kita perbuat, itu masih merupakan pekerjaan nafsu pula. Tidak berbuat apa-apa bukan berarti acuh, bukan berarti tidak perduli, melainkan tidak berbuat apa-apa agar Kekuasaan Tuhan yang berbuat, yang bekerja! Kita menyerah saja, penuh kesabaran, keikhlasan, ketawakalan, dengan bekal iman kepada Tuhan Sang Maha Pencipta! Nafsu adalah ciptaan Tuhan pula, maka hanya Sang Pencipta yang akan dapat mengatur sehingga nafsu akan kembali ke tempat semula sebagai abdi kita.
Malam sudah larut, mendekati tengah malam. Malam yang gelap kerena selain belum waktunya bulan muncul, juga langit tertutup mendung tipis. Hanya ada beberapa buah bintang yang sempat nampak sebelum tertutup awan yang lewat. Kota kadipaten Ponorogo sudah sepi. Orang lebih suka berada di dalam kamar rumahnya dari pada di luar rumah yang sepi, gelap dan dingin. Warung wedang itu pun sudah sepi. Pemiliknya, pak Jiyo yang agak bongkok dan berusia enam puluh tahunan itu sudah siap menutup warungnya ketika nampak bayangan orang memasuki warung. Seorang pemuda tampan yang tidak dikenalnya. Akan tetapi sebagai pemilik warung yang harus ramah terhadap setiap orang pembelanja, Pak Jiyo tidak jadi menutup gebyok warungnya dan mempersilakan tamunya duduk di lincak (bangku bambu) menghadapi meja panjang di mana terdapat bermacam makanan kering dan basah.
"Mau minum apa, den?"
Tanya Pak Jiyo. Joko Lawu mengeluh dalam hatinya. Betapa baikpun penyamarannya, sukar baginya untuk meninggalkan kesan bahwa dia bukan seorang priyayi. Ke manapun dia pergi, selalu orang menyebutnya raden.
"Teh saja, paman. Jangan terlalu kental dan jangan terlalu manis,"
Jawabnya sambil menyandarkan punggungnya yang lelah ke sandaran bilik, dan matanya mengamati keadaan di warung itu. Sebuah warung yang tidak besar, paling banyak hanya dapat menampung belasan orang tamu yang duduk berhimpitan di atas beberapa buah lincak menghadapi meja panjang penuh penganan.
Nampak ada dua buah pintu kamar dari bambu, akan tetapi di ujung kanan terdapat sebuah lorong menuju ke belakang, dan lorong tanpa daun pintu itu tertutup kain hitam yang butut. Jawaban joko Lawu itu membuat si pemilik warung mengerutkan alisnya. Memang jawaban yang ganjil dan belum pernah dia mendengar ada tamu minta teh yang tidak kental dan tidak manis. Biasanya, setiap orang tamu sudah pasti memesan air teh yang kental dan manis! Setelah disruputnya dua tiga teguk air teh panas yang dihidangkan tukang warung. Joko Lawu melihat-lihat makanan yang tersedia di atas meja. Tidak ada yang mengundang seleranya.
"Paman, apakah paman menjual nasi? Saya lapar dan ingin makan."
"Biasanya memang saya menjual nasi, den. Akan tetapi lauknya sudah habis, tinggal nasinya dan duduh jangan (kuwah masak sayuran)"""
"Itupun sudah cukup. Kulihat ada goreng ikan asin di sini."
Kata Joko Lawu. Pak Jiyo menghidangkan nasi dengan kuwah sepiring, dan Joko Lawu makan dengan lahapnya karena memang perutnya lapar. Sejak pagi tadi dia belum makan nasi. Pak Jiyo duduk dan memperhatian tamunya itu. Seorang pemuda, masih remaja, tampan dan halus.
"Raden, siapakah andika dan datang dari mana?"
"Aku bukan raden, paman. Namaku Joko Lawu dan aku tinggal di lereng Lawu. Aku datang ke Ponorogo ini untuk mencari seseorang. Dapatkah paman menolongku?"
Joko Lawu sudah selesai makan dan Pak Jiyo menyingkirkan piring dan membersihkan meja dengan kain lap.
"Siapa sih orang yang andika cari itu, nak?"
Tanyanya, tidak lagi menyebut raden.
"Namanya Ki Sinduwening, paman."
Kata Joko Lawu dan dia pun memandang ke luar warung, suaranya pun lirih. Di luar warung itu sudah sepi sekali, akan tetapi mendengar disebut nama ini, Pak Jiyo kelihatan terkejut dan celingukan ke kanan kiri.
"Saya""".. saya tidak tahu, nak Joko. Tapi"". ada hubungan apakah dengan orang itu?"
Joko Lawu sudah mendapat keterangan dari anak buah ayahnya yang tewas itu dan dia pun percaya sepenuhnya kepada pemilik rumah minum ini.
"Bukankah paman yang bernama Pak Jiyo?"
"Benar aku sendiri orangnya."
Kata pula Pak Jiyo semakin heran.
"Paman, Ki Sinduwening adalah ayahku."
Mendengar ini, tiba-tiba saja sikap Pak Jiyo berubah. Wajahnya keruh dan dia nampak marah.
"Saya tidak tahu! Saya tidak mengenal orang yang andika sebutkan itu. Ki Sanak, harap suka meninggalkan warung ini karena malam sudah larut, saya hendak menutup warung, maaf."
Melihat sikap yang tidak ramah itu dan mendengar orang itu kini menyebutnya ki sanak dan seperti orang marah, Joko Lawu memandang heran. Akan tetapi dia segera dapat menyadari kesalahannya. Tentu saja, kalau tempat ini menjadi tempat pertemuan para penyelidik, anak buah ayahnya, tentu Pak Jiyo ini sudah mengenal ayahnya dan sudah tahu pula akan keadan ayahnya. Tentu dia tahu bahwa ayahnya tidak mempunyai seorang putera, hanya mempunyai seorang anak perempuan. Maka, ketika dia tadi mengaku sebagai putera Ki Sinduwening, tentu saja Pak Jiyo menjadi curiga kepadanya.
"Kalau begitu, mari kubantu menutupkan warungmu, paman."
Kemudian, sambil membantu menutupkan gebyok warung, dia berkata lirih.
"Paman tentu sudah mendengar bahwa Ki Sinduwening hanya mempunyai seorang anak perempuan bernama Mawarsih. Nah, akulah Mawarsih, paman Jiyo."
Kini dia menggunakan suaranya sendiri, suara wanita. Pak Jiyo tidak menjawab, hanya matanya terbelalak mengamati Joko Lawu di bawah sinar lampu yang remang-remang itu. Akan tetapi dia mempercepat menutupkan warungnya.
"Mari kita bicara di dalam."
Bisiknya setelah menutupkan daun pintu depan.
Tanpa bicara Joko Lawu mengikuti tuan rumah ke belakang melalui lorong yang ditutup kain hitam itu. Ternyata Pak Jiyo tinggal seorang diri saja di rumah merangkap warung itu dan di ruangan sebelah dalam rumahnya dan cukup luas itu kosong. Mereka kini duduk berhadapan terhalang meja dan sebuah lampu duduk menerangi muka mereka. Sejenak Pak Jiyo mengamati wajah Joko Lawu dan setelah dia mendengar bahwa pemuda tampan di depannya ini adalah puteri Ki Sinduwening, barulah dia melihat jelas raut wajah seorang gadis cantik manis.
"Jadi andika inikah puteri Ki Sinduwening,"
Katanya.
"Saya sudah mendengar bahwa dia mempunyai seorang puteri bernama Mawarsih yang memiliki kedigdayaan seperti ayahnya. Akan tetapi sungguh tidak saya sangka, andika sebagai seorang gadis berani menyamar pria dan memasuki Ponorogo. Alangkah besar bahayanya!"
"Paman Jiyo, aku meninggalkan Mataram untuk mencari ayah karena aku tidak betah seorang diri di sana."
"Nanti dulu, nak,"
Kata Pak Jiyo sambil menatap wajah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.
"Katakan dulu bagaimana andika dapat mengetahui tempat ini."
"Aku hendak mencari ayah dan meninggalkan Mataram, menyamar sebagai pria untuk memudahkan perjalanan. Dalam perjalanan aku melihat seseorang dikeroyok oleh dua orang warok dan mendengar orang itu disebut mata-mata Mataram, aku lalu menolongnya. Dua orang warok itu melarikan diri akan tetapi orang itu terluka parah. Sebelum tewas dia memberitahu kepadaku bahwa ayahku ditawan di Ponorogo dan kalau aku ingin tahu tentang ayah, aku disuruh mencari warung Pak Jiyo di Ponorogo. Nah, itulah yang membawa aku berkunjung malam ini, paman."
Pak Jiyo mengangguk-angguk dan kini barulah dia tidak ragu-ragu lagi. Dia tidak merasa heran bahwa seorang dara berani melakukan perjalanan berbahaya seperti itu, bahkan dia kagum karena memang dia sudah mendengar akan kegagahan Mawarsih.
"Berita itu memang benar, nak. Ayahmu. Ki Sinduwening, memang telah ditangkap oleh Adipati Ponorogo secara licik sekali. Ayahmu telah mengadakan pertemuan dan perundingan di sini dengan anak buahnya, dan ayahmu menyatakan hendak membujuk sang adipati agar tidak melakukan pemberontakan. Ayahmu tidak ingin melihat kejadian perang antara Ponorogo dan Mataram karena hal itu merupakan perang saudara yang hanya akan mendatangkan banyak korban di antara rakyat jelata. Kami semua sudah menyatakan kekhawatiran kami akan keselamatan ayahmu. Akan tetapi beliau memaksa dan akhirnya, terpaksa kami melepas beliau pergi seorang diri menghadap sang adipati. Dan akibatnya, bukan saja sang adipati tidak memenuhi permintaannya, tidak menyetujui nasihatnya, bahkan ayahmu ditangkap dan ditawan."
Joko Lawu mengerutkan alisnya.
"Dan paman sekalian yang menjadi anak buah ayah diam-diam saja, tidak melakukan usaha untuk membebaskan ayahku?"
Pak Jiyo menarik napas panjang.
"Kami semua tidaklah begitu pengecut untuk membiarkan saja ayahmu menjadi tawanan, akan tetapi juga kami bukan orang bodoh yang membunuh diri secara konyol. Kalau sang adipati tidak membunuh Ki Sinduwening, melainkan menawannya, hal itu dapat diartikan sebagai suatu umpan pancingan. Tentu sang adipati dan para senopatinya mengharapkan agar teman-teman ayahmu akan datang untuk mencoba membebaskannya, dan tentu telah dipasang perangkap sehingga kalau kami yang jumlahnya tidak banyak melakukan usaha itu, kami akan seperti sekelompok laron yang menyerbu api! Andaikata ada usaha melakukan percobaan menolongnya, hal itu hanya dapat dilakukan oleh satu dua orang saja yang menyelundup ke tempat tahanan. Akan tetapi di antara kami tidak ada yang memiliki kemampuan seperti itu. Haruslah dicari orang yang mempunyai aji kesaktian untuk mencoba membebaskan Ki Sinduwening."
"Aku akan melakukannya sendiri, paman!"
"Andika? Andika seorang wanita"". terlalu berbahaya, nak. Adipati Ponorogo memiliki banyak jagoan yang sakti mendraguna, dan tempat itu tentu dijaga ketat oleh pasukan yang besar jumlahnya."
"Aku tidak takut, paman. Untuk menyelamatkan ayah, aku siap untuk mempertaruh-kan nyawaku. Aku hanya ingin mendapat keterangan dari paman, keterangan yang jelas di mana ayahku ditawan, dan bagaimana pula keadaan tempat tawanan itu, bagaimana pula kekuatan penjagaannya."
"Ki Sinduwening ditawan dalam sebuah tempat tahanan di kadipaten, demikian keteranga yang diperoleh penyelidik kami yang dapat menghubungi seorang perajurit kadipaten. Hanya tawanan yang amat penting saja yang ditahan di dalam istana kadipaten, bukan di tempat tawanan biasa. Akan tetapi menurut keterangan itu, Ki Sinduwening diperlakukan dengan cukup baik, tidak disiksa karena pihak kadipaten masih mengharapkan agar Ki Sinduwening suka membantu Ponorogo."
Joko Lawu mengepal tinju.
"Tidak mungkin! Ayah tidak akan sudi mengkhianati Mataram! Dia seorang ksatria sejati yang siap mengorbankan nyawa demi negara dan bangsa. Sekarang aku hanya minta penggambaran tentang letak dan keadaan di kadipaten Ponorogo, paman."
Semalam suntuk mereka tidak tidur dan Joko Lawu mendapatkan gambaran yang jelas dari Pak Jiyo yang hafal benar akan keadaan istana di kadipaten, tahu pula di mana letak kamar tahanan itu dan tahu pula keadaan para penjaga yang bertugas di sana. Semua itu dipelajari dan dicatat dalam hati oleh Joko Lawu yang sudah mengambil keputusan bulat untuk menolong ayahnya.
Dia tidak minta bantuan, juga tidak ingin dibantu karena kalau pembantunya kurang pandai, dia bukan membantu sebaiknya malah akan menjadi rintangan baginya. Selain mempelajari keadaan istana kadipaten berikut tempat tahanan di mana ayahnya dikeram, Joko Lawu juga mendengar banyak dari Pak Jiyo tentang kadipaten Ponorogo yang memberontak. Setelah mendengar cerita itu, baru Joko Lawu mengerti mengapa ayahnya berusaha keras untuk menaklukkan ponorogo dengan jalan damai, mencoba untuk membujuk Adipati Ponorogo agar tidak memberontak terhadap Mataram.
Pak Jiyo adalah seorang penyelidik kawakan dari Mataram dan mengetahui dengan jelas semua persoalan Mataram dan daerah-daerah yang memberontak. Joko Lawu mendengar bahwa pemberontakan di Demak dan Ponorogo dipimpin oleh keluarga Sang Prabu sendiri. Pemberontakan di Demak yang baru saja dapat ditundukkan oleh pasukan Mataram dipimpin oleh pangeran Puger. Adapun pemberontakan di Ponorogo dipaimpin Adipati Ponorogo yang juga seorang pangeran, yaitu Pangeran Jayaraga. Baik Pangeran Puger maupun Pangeran Jayaraga adalah saudara-saudara seayah dari Sang Prabu Hanyokrowati, seayah berlainan ibu karena mereka semua adalah putera mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati.
Jelaslah persoalannya bahwa pemberontakan-pemberontakan itu didasari iri hati dan usaha meperebutkan kekuasaan, yaitu tahta kerajaan Mataram. Ketika Sang Prabu Hanyokrowati, yaitu dahulunya Pangeran Raden Mas Jolang, oleh mendiang Sang Prabu Panembahan Senopati diangkat menjadi putera mahkota yang menggantikan kedudukannya, banyak pangeran yang merasa iri hati. Biarpun mereka itu sudah diberi kedudukan adipati, mereka tidak merasa puas karena hanya menguasai daerah kecil saja.
Itulah sebabnya setelah ayah mereka wafat, para pangeran itu tidak mau mengakui kekuasaan saudara mereka, Sang Prabu Hanyokrowati dan melakukan pemberontakan. Tentu saja senopati Ki Sinduwening yang sejak muda membela Mataram, merasa bersedih melihat adanya perebutan kekuasaan ini dan setelah dia diangkat menjadi pemimpin pasukan penyelidik, diapun berusaha untuk mengingatkan Pangeran Jayaraga yang telah menjadi Adipati Ponorogo agar tidak melanjutkan sikapnya yang memberontak.
Dia ingin mencegah terjadinya perang saudara yang hanya akan menyengsarakan rakyat jelata. Akan tetapi akibatnya, karena Ki Sinduwening tidak mau dibujuk membantu Ponorogo, dia malah ditahan, walaupun dijadikan tahanan yang diperlakukan dengan baik. Demikianlah, pada keesokkan harinya Joko Lawu bersiap-siap setelah ia mendengar suara keterangan Pak Jiyo. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani menyusup ke istana di siang hari. Hal itu akan berbahaya sekali dan kalau sampai ketahuan, akan gagallah usahanya membebaskan ayahnya. Dia harus dapat sekali menyusup berhasil, karena kalau tidak tentu penjagaan akan diperketat dan akan sulitlah menolong ayahnya.
Setelah pagi hari itu Joko Lawu beristirahat karena semalam suntuk tidak tidur, pada waktu menjelang sore, lewat tengah hari, diapun meninggalkan warung Pak Jiyo dan pergi berjalanjalan untuk mengenal lebih baik keadaan kota Ponorogo. Dia bersikap biasa agar tidak menimbulkan kecurigaan dan tidak menarik perhatian, bahkan memilih jalan yang sepi. Ketika dia tiba di dekat pintu gerbang kota sebelah selatan, dia melihat seorang pemuda berpakaian seperti seorang abdi, menuntun dua ekor kuda yang tinggi besar. Biarpun dua ekor itu merupakan kuda pilihan, namun yang menarik perhatian Joko Lawu bukanlah dua ekor binatang itu, melainkan penuntunnya. Tentu saja dia segera mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Aji! Keponakan lurah dusun Muncang itu berada di Ponorogo dan menuntun dua ekor besar yang pasti milik seorang bangsawan!.
Agaknya tidak mungkin kalau dua ekor kuda besar itu milik Aji. Pakaian pemuda itu menunjukkan bahwa dia seorang abdi, bukan seorang bangsawan. Karena tertarik, Joko Lawu membayangi dari jauh. Melihat Aji menuntun dua ekor kuda itu keluar pintu gerbang, diapun membayangi, keluar dari pintu gerbang selatan kota Ponorogo. Kiranya pemuda itu membawa dua ekor kudanya ke lembah sungai selatan kota.
Ponorogo memang dikepung beberapa sungai yang datang dari pegunungan Wilis, Liman dan bukitbukit di barat. Sungai-sungai yang cukup besar, apalagi kalau musim hujan, di antaranya adalah Kali Watu dan Kali Ngebel yang datang dari timur, dan Kali Tempuran yang datang dari barat, semua airnya bersatu dengan Kali Madiun yang datang dari selatan untuk mengalir terus ke utara dan akhirnya menjadi satu dengan Bengawan Solo. Di daerah lembah sungai memang merupakan daerah subur, dan banyak terdapat rumput yang gemuk.
Aji membawa dua ekor kuda itu ke padang rumput dan melepas mereka di sana. Dia sendiri lalu menggunakan sebuah arit untuk membabat rumput yang dimasukkannya ke dalam empat buak keranjang yang tadi dia bawa di atas punggung kuda. Aji yang sedang asik menyabit rumput, mengangkat muka ketika mendengar langkah orang mendekat.
Di tempat yang amat sunyi itu, siapakah yang menghampiri dan mengganggu pekerjaannya? Dua pasang sinar mata bertemu dan Aji terbelalak. Tentu saja dia segera mengenal pemuda tampan yang membuat dia kagum bukan main dalam pesta pernikahan saudara misannya, yaitu anak lurah dusun Muncang. Pemuda yang selain pandai menari dengan amat indahnya, juga memiliki kedigdayaan yang mengagumkan. Otomatis dia menghentikan gerakan tangannya menyabit rumput, melongo saking heran dan kagetnya karena pertemuan ini sungguh tak pernah disangkanya.
"Ki sanak, engkau mempunyai dua ekor kuda yang bagus sekali."
Kata Joko Lawu untuk membuka percakapan, diam-diam merasa geli melihat pemuda yang pandai meniup suling, pandai beryanyi, bahkan pandai menari itu melongo seperti seorang yang kehilangan akal. Aji bangkit berdiri, sudah dapat menguasai kekagetan dan ketegangan hatinya.
"Ah, kiranya andika, orang muda aneh yang sakti mandraguna itu, yang muncul di pesta paman lurah seperti seorang ksatria dalam dongeng saja. Siapa pula namamu, ki sanak? Kalau tidak salah, namamu Joko Lawu, bukan?"
Joko Lawu berlagak seolah-olah baru dia teringat.
"Ah, benar! Kiranya andika adalah pemuda yang pandai menari tayuban itu, andika"""
Eh, keponakan ki lurah Muncang, bukan? Namamu"".. ah, aku lupa lagi, kisanak."
"Panggil saja aku Aji."
"Oh, benar. Namamu Aji, engkau yang kejatuhan sampur, dipilih oleh ledek yang manis itu. Siapa pula namanya! Madu".. Madu""."
"Madularas. Akan tetapi, dibandingkan andika, aku kalah jauh, baik dalam kepandaian menari, dalam menarik hati Madularas, apa lagi dalam hal kepandaian berkelahi. Ki Sanak Joko Lawu, bagaimana tiba-tiba saja andika dapat muncul di sini? Tempat ini amat sepi"".."
"Pertanyaanku tadi belum habis dan belum sempat kau jawab. Engkau mempunyai dua ekor kuda yang bagus sekali. Milikmukah ini?"
Mendengar pertanyaan ini, Aji tertawa dan Joko Lawu memandang dengan jantung berdebar.
Alangkah tampan pemuda ini kalau tertawa. Nampak lebih muda dan giginya yang berderet rapi dan putih terawat itu mendatangkan rasa suka di hatinya. Juga tawanya amat menular. Mau tidak mau diapun harus tersenyum karena sukarlah menahan diri untuk tidak ikut tertawa melihat dan mendengar pemuda itu tertawa. Kiranya pemuda itu membawa dua ekor kudanya ke lembah sungai selatan kota. Ponorogo memang dikepung beberapa sungai yang datang dari pegunungan Wilis, Liman dan bukitbukit di barat.
Sungai-sungai yang cukup besar, apalagi kalau musim hujan, di antaranya adalah Kali Watu dan Kali Ngebel yang datang dari timur, dan Kali Tempuran yang datang dari barat, semua airnya bersatu dengan Kali Madiun yang datang dari selatan untuk mengalir terus ke utara dan akhirnya menjadi satu dengan Bengawan Solo. Di daerah lembah sungai memang merupakan daerah subur, dan banyak terdapat rumput yang gemuk. Aji membawa dua ekor kuda itu ke padang rumput dan melepas mereka di sana.
"Heh-heh-heh, jangan mengejek, sobat. Orang seperti aku ini mempunyai dua ekor kuda seperti ini? Ha-ha-ha, ketahuailah, kawan, biar aku bekerja sampai tua, aku tidak akan mampu membeli seekor saja kuda seperti ini! Bahkan lebih lagi, harga dua ekor kuda ini jauh lebih tinggi dari pada harga diriku sebagai manusia."
Joko Lawu mengerutkan alisnya.
"Hemm, andika terlalu merendahkan diri, sobat. Bukankah andika keponakan lurah Muncang? Dan bagaimana pula harga diri seorang manusia kalah oleh dua ekor kuda?"
Joko Lawu tidak setuju sama sekali mendengar pemuda itu merendahkan diri sedemikian rupa. Orang boleh rendah hati, bahkan sepatutnya manusia rendah hati, akan tetapi rendah diri? Ini hanya kelakuan seorang penakut, seorang pengecut yang sudah tidak percaya lagi kepada dirinya sendiri. Dan dia tidak melihat pemuda ini seorang manusia semacama itu. Bukankah di medan pesta itu Aji memperlihatkan harga dirinya sebagai manusia? Dia berani membela seorang ledek dari penghinaan orang kasar, walaupun dia tidak memiliki kedigdayaan apapun.
"Apa artinya keponakan seorang lurah? Hanya lurah, dan hanya keponakan. Di kadipaten ini, seorang lurah tidak ada artinya, apa lagi hanya keponakan lurah. Dan tentang harga diri, maksudku begini. Aku bekerja sebagai tukang memelihara kuda di kadipaten. Andika lihat kuda ini. Kuda tunggangan sang pangeran, sang adipati sendiri. Dan kalau sampai dua ekor kuda ini hilang atau mati selagi kurawat, mungkin saja aku akan dihukum mati. Nah, bukankah itu berarti harga diriku lebih rendah dari pada harga dua ekor kuda ini? Akan tetapi jangan khawatir, dua ekor kuda ini takkan hilang atau mati, aku merawatnya baik-baik dan dalam hal merawat kuda, aku boleh berbangga diri. Aku ahlinya!"
Hanya ada satu hal yang seketika amat menarik hati Joko Lawu dalam kata-kata yang agak panjang itu, yaitu bahwa Aji adalah seorang hamba kadipaten Ponorogo!
"Ah, kiranya andika seorang abdi kadipaten Ponorogo yang setia? Akan tetapi bukankah belum lama ini aku melihat andika di Muncang?"
"Ketika itu, aku sudah menjadi abdi kadipaten. Karena seorang saudara misanku di Muncang, anak paman lurah, menikah, maka aku mohon ijin dan diberi ijin untuk cuti beberapa hari. Aku sudah hampir setahun bekerja sebagai perawat kuda di kadipaten ini."
Joko Lawu memperhitungkan dalam benaknya. Kalau begitu, mungkin setelah pertemuan dengannya terakhir di lereng Lawu, Aji lalu ke Ponorogo dan bekerja di kadipaten. Inilah kesempatan yang amat baik baginya! Akan tetapi, dia tidak tahu bagaimana sikap dan pendirian Aji. Kalau dia seorang abdi yang setia terhadap kadipaten Ponorogo, tentu tidak mungkin dapat dimanfaakan kedudukannya.
"Joko Lawu, kenapa andika termenung saja?"
Aji menegur ketika melihat pemuda tampan itu diam seperti patung mendengar keterangannya itu. Joko Lawu sadar dan tersenyum.
"Aku hanya tidak mengira sama sekali akan bertemu denganmu di sini dan andika menjadi abdi kadipaten. Bukankah bekerja di kadipaten sekarang ini amat berbahaya? Aku mendengar desas-desus di mana-mana bahwa akan terjadi perang saudara antara kadipaten dan kerajaan Mataram."
Aji tertawa.
"Aku tidak ingin berperang. Aku hanya perawat kuda, aku bukan perajurit."
"Tapi, tetap saja engkau akan terlibat dalam pertempuran. Tentu engkau akan membela kadipaten Ponorogo mati-matian dengan taruhan nyawamu, bukan?"
Aji terbelalak.
"Ah, siapa bilang? Aku bekerja untuk mencari sesuap nasi, bukan untuk mempertaruhkan nyawa."
"Akan tetapi, engkau tentu akan membela Ponorogo kalau terjadi perang!"
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, aku bukan perajurit."
"Kalau begitu engkau akan membela Mataram?"
Joko Lawu memancing.
"Juga tidak! Sang Adipati di Ponorogo juga seorang pangeran, masih saudara dari Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram. Kalau terjadi perang saudara, mudah-mudahan tidak, aku akan bebas, tidak mau mencampuri. Pula, aku takut berkelahi dalam pertempuran. Mengerikan!"
Kembali Joko Lawu termenung. Sungguh sukar untuk mengambil keputusan. Keterangan Aji
membuat dia ragu-ragu dan tidak tahu bagaimana pendirian pemuda ini sesungguhnya.
"Joko Lawu, ada apakah! Engkau termenung lagi."
Joko Lawu tersenyum.
"Sebetulnya, aku ingin sekali minta pertolongan darimu, akan tetapi aku tidak tahu apakah engkau mau menolongku ataukah tidak."
"Tentu saja aku mau. Andika seorang pemuda yang amat baik. Di Muncang, andika tidak saja telah menyelamatkan Madularas dari penghinaan, akan tetapi juga membikin terang muka pamanku, lurah Muncang. Nah, katakan saja, pertolongan apa yang dapat kuberikan kepadamu?"
"Aku ingin agar engkau suka menyelundupkan aku ke dalam kadipaten."
Berkata demikian, Joko Lawu mengamati wajah Aji dengan sinar mata penuh selidik untuk melihat bagamana tanggapan pemuda itu atas permintaannya. Aji terbelalak dan alisnya berkerut, sinar matanya juga mengamati wajah Joko Lawu penuh selidik.
"Ehh? Apa maksudmu hendak menyelundup ke kadipaten? Kalau engkau hendak menculik puteri"".. memang puteri sang adipati cantik-cantik, akan tetapi""""
"Hushh, aku bukan penculik puteri, bukan mata keranjang!"
Joko Lawu cepat mencela.
Aji tersenyum dan mengangguk.
"Aku tahu, ki sanak! Andika membuat Madularas tergila-gila, namun andika acuh saja. Mengagumkan!"
Joko Lawu tersenyum mengejek.
"Hemm, karena aku tahu bahwa andika dan Madularas saling mencinta, bagaimana aku berani mengganggunya?"
Aji terbelalak.
"Heiii, jangan sembarangan menuduh. Madularas, biarpun seorang ledek terkenal di Pacitan, tidak dapat disamakan dengan para ledek lainnya. Ia seorang gadis baik-baik dan kenapa andika menduga aku dan ia saling mencinta?"
"Hemm, sikapmu demikian manis ketika kalian menari."
"Wahh, kalau bicara tentang sikap manis dan keserasian, andika dan ia lebih cocok lagi, lebih bermanis-manis dan lebih masra."
"Kalau aku lain lagi. Aku tidak tergila-gila kepadanya."
"Akupun tidak."
Joko Lawu mengerutkan alisnya, mangkel hatinya kepada diri sendiri. Kenapa pembicaraan menjadi nyeleweng lagi ke soal menari dengan Madularas? Kenapa hatinya selalu terasa panas kalau membayangkan Aji berjoget dengan ledek muda yang jelita itu?
"Sudahlah, kau boleh yakin bahwa aku ingin memasuki kadipaten bukan untuk mencari puteri."
Sikap Aji serius lagi. Dia menunduk dan mengerutkan alisnya, seperti memeras otaknya. Tiba-tiba dia mengangkat muka dan berseru keras, mengejutkan Joko Lawu.
"Wah, celaka! Engkau tentu ingin membunuh sang pangeran adipati atau siapa di sana!"
"Ngawur lagi!"
Joko Lawu cemberut.
"Aku tidak ingin membunuh siapapun juga, bahkan ingin mencegah terjadinya pembunuhan. Aku ingin menyelamatkan seseorang dari sana."
Terpaksa dia harus berterus terang dan mendapat keputusan sekarang juga bagaimana sikap Aji, suka membantunya ataukah tidak. Dia sudah terlanjur menyatakan keinginannya menyelundup ke kadipaten, suatu pekerjaan yang akan penuh bahaya dan juga amat sukar karena tentu tempat tahanan di kadipaten itu terjaga ketat. Kalau dia dapat menyusup masuk dengan bantuan Aji, dia dapat bekerja dengan diam-diam dari dalam. Mendengar ucapan Joko Lawu, Aji mengerutkan alisnya dan mengamati wajah yang tampan itu dengan penuh selidik.
"Mencegah pembunuhan? Menyelamatkan seseorang? Apa maksudmu?"
Joko Lawu merasa sudah terlanjur melangkah. Mundur salah, hanya akan menimbulkan kecurigaan, kalau maju masih untung-untungan, akan tetapi dia merasa yakin bahwa Aji adalah seorang pemuda yang pandai dan tidak jahat. Andaikata pemuda itu setia kepada Ponorogo sekalipun, orang seperti Aji tidak mungkin mau mencelakai orang lain.
"Aji, apakah engkau tahu bahwa di kadipaten terdapat sebuah tempat tahanan bagi tawanan yang penting?"
Aji mengangguk.
"Lalu kenapa?"
Dia mendesak.
"Dalam kamar tahanan itu terdapat seorang tawanan penting yang baru beberapa pekan ini ditawan. Kenalkah engkau dengan tawanan itu?"
Aji meraba dagunya yang tak berjenggot.
"Hemm, kulihat ada beberapa orang di sana. Siapa yang kau maksudkan?"
"Namanya Ki Sinduwening. Kenalkah engkau kapada orang itu?"
Aji mengangguk-angguk.
"Seorang tawanan penting dan istimewa. Aku mendengar bahwa dia lebih tepat dikatakan seorang tamu yang tidak boleh keluar dari tempat tahanan itu dari pada seorang tawanan. Demikian kabarnya yang kudengar dari para perajurit penjaga. Lalu kenapa?"
"Aku ingin menolong dan membebaskan orang itu."
Kata Joko Lawu dan kembali pandang matanya tajam penuh selidik. Aji memandang heran.
"Ehh? Kenapa? Apamukah Ki Sinduwening itu?"
"Nanti dulu. Tahukah engkau siapa Ki Sinduwening itu dan mengapa pula dia ditawan, Aji?"
Aji menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.
"Aku pernah mendengar nama Ki Sinduwening sebagai seorang tokoh di Pegunungan Lawu, seorang tokoh yang terkenal sakti mandraguna dan yang mengasingkan diri di tempat sunyi di lereng Lawu."
Joko Lawu mengangguk. Tentu saja Aji telah mendengar tentang Ki Sinduwening dari Bayu, pikirnya.
"Benar sekali, akan tetapi di samping itu, dia adalah utusan Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram."
"Utusan? Kenapa ditawan?"
"Itulah yang membuat hatiku penasaran. Dengar baik-baik, Aji. Aku yakin bahwa engkau adalah seorang yang memiliki rasa keadilan dalam hatimu dan aku percaya kepadamu. Ki Sinduwening dalah seorang senopati Mataram yang bertugas melakukan penyelidikan di Ponorogo karena sang prabu mendengar bahwa Ponorogo hendak memberontak. Ki Sinduwening adalah seorang gagah yang tidak ingin melihat terjadinya pertumpahan darah yang mengorbankan rakyat karena adanya perang saudara antara Pangeran Jayaraga yang menjadi adipati di Ponorogo dan Mataram. Maka, dengan nekat dia lalu menghadap Adipati Ponorogo untuk membujuk pangeran yang dikenalnya dengan baik itu agar menghentikan gerakannya memberontak terhadap Mataram. Akan tetapi, ternyata maksud baik Ki Sinduwening itu dibalas dengan cara yang amat curang. Dia ditangkap dan ditahan, walaupun diperlakukan dengan baik, tetap saja kebebasannya dirampas dan dia menjadi orang tawanan."
"Hemm, kenapa begitu? Apa maksudnya Gusti Adipati memperlakukannya seperti itu?"
"Karena Sang Adipati menginginkan agar Ki Sinduwening suka membantu Ponorogo memberontak kepada Mataram dengan janji-janji muluk. Akan tetapi, Ki Sinduwening adalah seorang ksatria yang tidak sudi menjual negara."
Aji mengangguk-angguk kagum.
"Bukan main! Akan tetapi, Joko, kenapa engkau ingin membebaskannya? Pekerjaan itu berbahaya sekali. Kalau ketahuan, engkau akan dikeroyok dan di sana terdapat banyak orang digdaya."
"Aku tidak takut! Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk menolong dan membebaskannya."
"Engkau sungguh gagah dan pemberani, akan tetapi juga nekat, Joko. Apamukah Ki Sinduwening itu sehingga engkau siap mempertaruhkan nyawamu untuk menolongnya?"
Betapapun hatinya untuk memperkenalkan diri sebagai Mawarsih, sebagai dara yang pernah berkenalan dengan Aji, diperkenalkan oleh Bayu. Akan tetapi, Joko Lawu merasa belum waktunya membuka rahasia penyamarnnya.
"Aku adalah seorang keponakannya. Paman Sinduwening harus kuselamatkan dan kalau engkau suka menolongku, aku akan berterima kasih sekali."
Hening sejenak. Aji nampak berpikir-pikir, kemudian dia memandang wajah Joko Lawu.
"Ada dua hal yang membuat aku bertanya-tanya. Pertama, kenapa engkau percaya kepadaku, Joko? Aku adalah seorang asing bagimu, bagaimana kalau aku melaporkanmu kepada gusti adipati? Bagaimana kalau aku mengkhianatimu?"
"Andika bukan orang asing bagiku, Aji. Bukankah kita pernah saling berjumpa di Muncang? Aku percaya kepadamu dan biasanya, suara hatiku menyakinkan dan tidak pernah salah menilai orang."
"Terima kasih, Joko. Dan hal ke dua yang membuat aku bertanya-tanya adalah apa yang dapat kubantu? Aku hanya seorang tukang merawat kuda, tempatku di kandang kuda, di bagian belakang. Aku tidak mempunyai kedudukan apa-apa di kadipaten, hanya sebagai abdi yang paling bawah. Bagaimana mungkin aku dapat menolong engkau yang mempunyai niat melakukan pekerjaan yang demikian berbahaya dan penting?"
"Aku tidak minta banyak darimu, Aji. Cukuplah kalau engkau suka membawaku ke kadipaten, membantu aku agar aku dapat memasuki istana sang adipati. Setelah itu, aku akan bekerja sendiri, dan andaikata aku gagal, aku tidak akan melibatkan dirimu. Aji."
Aji mengangguk-angguk. Lalu dia menyerahkan aritnya kepada Joko Lawu dan berkata.
"Kalau begitu, cepat kau lanjutkan pekerjaanku menyabit rumput. Penuhi sampai empat keranjang ini, aku akan mengurus kuda-kudaku. Setelah cuaca gelap, kau ikut aku ke kadipaten sambil memikul keranjang rumput. Engkau menjadi langgananku mencarikan rumput untuk kuda-kuda di kadipaten."
Joko Lawu girang sekali. Dia tahu sudah akan maksud Aji yang hendak membawanya memasuki kadipaten sebagai seorang penjual rumput untuk kuda-kuda di kadipaten. Pikiran yang bagus sekali! Dan diapun mengerahkan tenaganya, dengan cepatnya dia menyabit rumput dan memenuhi empat keranjang rumput. Setelah senja lewat, Aji mengajak Joko Lawu untuk mengantarkan rumput yang dipikulnya ke kadipaten.
Benar saja para penjaga yang telah mengenal baik Aji perawat kuda, tidak menaruh curiga ketika melihat seorang pemuda lain memikul keranjang penuh rumput memasuki pintu gerbang dan langsung menuju ke kandang kuda di belakang melalui jalan samping dekat taman. Malam hampir tiba, cuaca sudah remang-remang. Memang sering kali terdapat penjual rumput diajak oleh Aji mengantar rumput ke kandang kuda maka kemunculan Joko Lawu sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan. Bahkan tak seorangpun penjaga bertanya-tanya, dan mungkin juga tidak ada yang mengingatnya lagi.
Aji sudah mempersiapkan jawaban seandainya ada yang teringat dan menanyakan mengapa penjual rumput itu tidak nampak keluar lagi malam itu. Dia akan menjawab bahwa penjual rumput itu adalah seorang kenalannya yang akan dimintai tolong untuk membantunya membersihkan kandang, maka ditahannya agar menginap di situ bersama dia. Akan tetapi, sampai malam tiba, tidak ada seorangpun perajurit penjaga yang datang ke kandang, apa lagi bertanya.
Hal ini tentu saja melegakan hati Aji, terutama Joko Lawu yang sama sekali tidak menghendaki pemuda yang telah menolongnya itu akan terlibat dalan urusannya. Andaikata dia gagal menolong ayahnya, tertawan atau tewas sekalipun, dia rela. Akan tetapi kalau sampai Aji yang tidak tahu apa-apa tersangkut dan ikut menderita, dia akan merasa menyesal sekali. Atas nasihat Aji, baru menjelang tengah malam Joko Lawu meninggalkan kuda di mana terdapat sebuah kamar yang menjadi tempat tinggal Aji, dan dia menyelinap dan menghilang ke dalam kegelapan malam.
Dari Aji dia mendapat tambahan keterangan yang lebih jelas tentang letak tempat tahanan, di mana adanya para penjaga malam, dan bila mana diadakan ronda malam. Jalan mana yang paling aman untuk ditempuh ketika mendekati empat tahanan. Semua ini memudahkan gerakan Joko Lawu dalam usahanya menyelamatkan ayahnya. Sesuai dengan petunjuk Aji, tanpa banyak mengalami kesukaran, akhirnya Joko Lawu dapat berada di atas wuwungan kamar tahanan itu. Seperti yang telah direncanakan sesuai dengan petunjuk Aji, dia mendekam di wuwungan sambil mengamati gerakan di bawah sana.
Ada belasan orang penjaga di luar tempat tahanan, ada yang sedang santai mengobrol, ada pula yang melenggut karena kantuk, ada yang merokok dan sebagainya. Menjelang tengah malam itu, tepat seperti yang didengarkan dari keterangan Aji, nampak dua belas orang penjaga baru datang menggantikan penjaga yang sudah berjaga sejak sore tadi. Untung dia tahu akan hal itu dan tidak tergesa bergerak, karena kalau hal itu terjadi, tentu akan ketahuan para penjaga baru sehingga dia harus menghadapi dua losin penjaga. Setelah penggantian penjaga selesai, selosin perajurit yang diganti pergi meninggalkan tempat itu dan selosin yang baru mulai
melakukan tugas mereka. Empat orang diantara mereka berangkat melakukan perondaan sehingga di tempat itu tinggal delapan orang perajurit yang berjaga.
Inilah kesempatan yang dinanti nantinya. Dia sudah mempersiapkan sekantung batu-batu kecil sebesar telur ayam. Menyerang mereka dengan batu hanya akan menimbul- kan kegaduhan karena tidak mungkin merobohkan mereka dengan sambitan batu dengan serentak. Lebih baik meninggalkan tempat penjagaan yang hanya diterangi sebuah lampu gantung. Kedua tangan Joko Lawu bergerak menyambit-nyambitkan batu ke kanan kiri. Dia mencoba untuk melihat reaksi mereka. Terdengar suara gaduh di kanan kiri akibat sambitan batu.
"Ehh? Apa itu?"
"Mari kita lihat!"
Dua orang segera pergi ke kanan dan dua orang ke kiri. Joko Lawu menyambit lagi ke sana sini dan empat orang sisanya berpencaran melakukan pencarian di sekitar tempat itu. Tentu saja mereka tidak menemukan sesuatu dan mereka berkumpul lagi di depan pintu rumah tahanan.
"Heran, suara apa sih yang ribut-ribut tadi?"
"Seperti ada yang menyabiti dengan batu."
"Tapi tidak nampak seorangpun."
"Jangan-jangan setan"".."
"Ihhh! Jangan membikin takut saja?"
"Ini kan malam Jum"at?"
Orang tertua di antara mereka, yang menjadi kepala jaga, menggerakkan tangan kehilangan kesabarannya.
"Sudah, sudah, jangan ribut sendiri. Lebih baik sekarang periksa apakah tawanan yang kita jaga masih berada di dalam. Itu yang terpenting!"
Dia lalu mengambil sebuah kunci besar yang tergantung di paku dinding, lalu menggunakan kunci itu untuk membuka gembok yang dipasang di pintu tempat tahanan. Itulah yang dicari Joko Lawu.
Sekarang dia tahu di mana kunci itu disimpan. Sederhana saja. Tergantung di paku yang menancap di dinding di sudut. Dia memperhatikan cara penjaga itu membuka gembok dan daun pintu tempat tahanan. Dua orang penjaga, dengan tombak di tangan, memasuki pintu itu. Dia tidak melihat ayahnya, juga tidak mendengar suaranya. Akan tetapi, dua orang penjaga itu tidak lama keluar lagi dengan wajah lega.
"Dia tidur, keadaan aman."
Kata si kepala jaga dan daun pintu tempat tahanan itu ditutup dan digembok lagi.
Dengan hati girang Joko Lawu melihat betapa kunci itu digantung lagi di tempat semula dan agaknya para penjaga sudah melupakan lagi peristiwa tadi. Mereka mengobrol dengan santai. Kurang lebih setengah jam, rombongan peronda pertama dari empat orang itu datang dan melapor kepada kepala jaga bahwa semua dalam keadaan aman. Kedatangan empat orang peronda ini memancing percakapan tentang kegaduhan tadi dan kini mereka semua bertanya-tanya suara apakah tadi. Joko Lawu tetap mengintai dengan sabar. Dia tetap mencari kesempatan terbaik untuk turun tangan. Empat orang di antara mereka mendapat giliran meronda. Tengah malam sudah lama lewat. Suasana semakin sunyi. Hawa udara semakin dingin dan delapan orang yang ditinggal meronda itu nampak mengantuk.
Tibalah saat yang dinanti-nanti Joko Lawu. Dia menyilangkan kedua lengan depan dada, menundukkan mukanya dan memejamkan mata. Sebelum mulai dengan aji penyirepan Begananda, teringat olehnya akan pesan ayahnya ketika ia mempelajari aji ini, bahwa aji ini, seperti semua ilmu yang dipelajarinya, harus dipergunakan demi kebaikan, dan sama sekali pantang untuk dipergunakan sebagai cara untuk melakukan kejahatan. Sekali ini, dia menggunakan Aji Sirep Begananda demi untuk menolong dan membebaskan ayahnya, maka dia mengerahkan seluruh tenaga batinnya dan seluruh dirinya dipusatkan kepada mantram yang dibisikkannya.
"Hong, niatingsung matak aji sirep Begananda, Aji patunggengan Sang Aji Saka. Aing sapa katiban, jin setan peri prayangan padha mati. Aja maneh pecaking janma manusa, Ora wani ambleg sek turune kaya mati, Ora pisan-pisan tangi yen aku durung lungo."
Tanah yang diambilnya dari kuburan dan yang telah dipersiapkannya dalam kantung bersama batu-batuan tadi, dia genggam dan dia lemparkan ke atas gardu penjagaan di mana delapan orang itu berada. Tak lama kemudian, delapan orang yang terkena pengaruh Aji Sirep Begananda itu tak dapat menahan kantuk mereka dan mereka semua tertidur. Nyenyak sekali. Terdengar suara dengkur mereka saling sahutan. Bayangan Joko Lawu berkelebat dan dia sudah mengambil kunci dari paku di dinding gardu penjagaan, melangkahi tubuh-tubuh para penjaga yang malang-melintang. Dengan mudah dia membuka gembok dengan kunci, mendorong daun pintu dan memasuki rumah tahanan.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang Karya Kho Ping Hoo