Kidung Senja Di Mataram 6
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Dilihatnya ayahnya tidur di atas sebuah dipan, dalam sebuah kamar yang cukup bersih dan lengkap. Memang benar, ayahnya diperlakukan sebagai seorang tamu, dan hatinya merasa lega. Bagaimanapun juga, ayahnya menjadi seorang tawanan dan dia harus membebaskannya. Dia mendorong daun pintu kamar tahanan itu. Tidak terkunci, akan tetapi agak sukar dibuka seolah ada yang menahannya. Dia manambah tenaga dan daun pintu itupun terbuka. Dia meloncat masuk dan berlutut di dekat tempat tidur ayahnya. Hatinya tegang, terharu dan juga girang. Dijamahnya pundak ayahnya.
"Bapa"., bapa""
Bangunlah"..!"
Guncangan lembut di pundak itu menggugah Ki Sinduwening. Dia membuka mata, menoleh dan bangkit duduk dengan mata terbelalak. Sejenak dia terheran melihat seorang pemuda tampan kini duduk di tepi pembaringan, akan tetapi dia mengenal suara itu! Dan kini setelah penglihatannya sama sekali terbebas dari kantuk, dia mengenal pula pandang mata dan senyum itu.
"Mawar"".!"
"Ssttt, bapa. Aku sekarang menjadi Joko Lawu, aku datang untuk membebaskanmu. Mari, bapa. Delapan orang penjaga itu sedang tidur oleh aji sirepku""."
Ki Sinduwening meloncat turun dan ketika dia memandang ke arah pintu kamar tahanannya yang terbuka, dia terbelalak.
"Celaka, Mawar! Engkau telah memandang rendah kekuatan di sini. Pintu itu akan memberitahu kepada senopati pasukan penjaga. Larilah, cepat kau lari sebelum terlambat. Aku di sini tidak apa-apa. Aku akan membantumu lari. Hayo cepat!"
Ki Sinduwening mendorong puterinya ke luar dari dalam kamar itu. Joko Lawu terkejut dan merasa heran karena dia melihat betapa keadaannya aman dan dia bahkan sudah berhasil memasuki kamar ayahnya dan mengajaknya keluar! Mereka meoncat keluar dan setelah tiba di luar rumah tahanan itu,
(Lanjut ke Jilid 06)
Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
barulah Joko Lawu maklum mengapa ayahnya gelisah seperti itu. Kiranya, di depan rumah itu telah datang puluhan orang prajurit pasukan penjaga! Dia tidak tahu betapa pintu kamar tahanan ayahnya dipasang tali yang kecil namun kuat.
Tali ini direntang keluar dari rumah tahanan itu dan kalau pintu kamar itu dibuka paksa, maka tali itu akan menarik sebuah genta kecil yang dipasang di rumah senopati yang menjadi panglima pasukan penjaga di kadipaten itu! Tentu saja ketika tadi Joko Lawu memaksa pintu kamar tahanan itu sampai terbuka, alat rahasia ini bekerja dan Senopati Surodigdo segera mengerahkan lima puluh orang prajuritnya yang dengan cepat telah tiba di depan rumah tahanan dan mengepungnya.
"Cepat lari!"
Ki Sinduwening berseru dan diapun sudah menerjang Senopati Surodigdo agar senopati yang tangguh itu tidak dapat menghalangi larinya Joko Lawu.
Karena diserang Ki Sinduwening, terpaksa Surodigdo melawannya dan kedua orang senopati yang digdaya ini sudah saling hantam dengan dahsyatnya. Joko Lawu maklum bahwa dia gagal. Kalau dia sampai tertawan pula, lenyaplah harapan untuk menolong ayahnya. Maka, dengan berat hati diapun lalu mengamuk dan mencari jalan keluar. Para perajurit itu merupakan lawan yang lunak, akan tetapi karena jumlah mereka banyak, diapun kewalahan dan akhirnya dia terpaksa meloncat jauh dan melarikan diri ke tempat gelap, dikejar oleh puluhan orang perajurit.
Sukar bagi Joko Lawu untuk dapat membebaskan diri karena ke manapun dia lari, dia dikejar dan dari mana-mana berdatangan perajurit penjaga keamanan. Beberapa kali dia terkepung dan dikeroyok lagi. Hanya berkat kelincahan gerakan tubuhnya saja dia tidak sampai terluka dan sudah banyak pengeroyok yang roboh oleh tamparan dan tendangannya. Dia mulai terdesak dan hampir kehabisan tenaga. Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan beberapa orang pengeroyok berpelantingan. Bagaikan seekor burung garuda, bayangan hitam itu mengamuk, berkelebat ke sana-sini merobohkan banyak pengeroyok, membuat para perajurit Ponorogo menjadi gentar.
Joko Lawu melihat bahwa yang membantunya adalah seorang yang berpakaian serba hitam dan mukanya tertutup kain hitam pula. Hanya sepasang matanya yang nampak, seperti mata harimau,mencorong di dalam kegelapan. Gerakan orang itu tangkas bukan main dan tahulah Joko Lawu bahwa dia ditolong oleh seorang ksatria yang sakti mandraguna. Karena banyaknya pengeroyok, baju penolong itu robek di sana-sini terkena tusukan tombak dan keris, bacokan pedang dan golok. Akan tetapi tidak ada setetespun darah keluar. Hal ini menunjukkan bahwa dia memiliki aji kekebalan yang hebat.
"Cepat lari, ke sini""..!"
Si kedok hitam berbisik ketika dia mendekati Joko Lawu yang juga mengamuk. Joko Lawu melompat dan mengikuti larinya si kedok hitam. Bukan lari ke arah kandang kuda seperti niatnya semula, melainkan lari ke taman kadipaten di sebelah kiri. Para perajurit mengejar sambil berteriak-teriak karena kini musuh menjadi dua orang, sedangkan orang kedua yang berkedok itu bahkan lebih ganas dari pada orang pertama.
Joko Lawu dan penolongnya lari sambil kadang melawan para pengejar terdekat, dan dalam keadaan kacau melarikan diri itu, Joko Lawu tidak mengenal keadaan taman itu dalam kegelapan malam, hanya dapat mengikuti penolongnya, dengan hati tetap gelisah memikirkan ayahnya.
"Cepat ke sini, loncat keluar pagar tembok melalui pohon mangga itu!"
Kata orang berkedok, Joko Lawu maklum. Dia lalu meloncat dan menyambar dahan pohon mangga, memanjat ke atas dan memang dari pohon itu, mudah baginya untuk meloncat ke atas pagar tembok, kemudian dari situ meloncat keluar. Si kedok hitam meloncat di belakangnya dan tak lama kemudian, dengan si kedok hitam sebagai penunjuk jalan, mereka berlari-larian di antara rumah-rumah penduduk Ponorogo dan berhenti di dekat rumah Pak Jiyo.
"Terima kasih, ki sanak. Andika siapakah?"
Joko Lawu bertanya. Akan tetapi orang itu mengacuhkan pertanyaannya.
"Sebaiknya andika cepat bersembunyi. Aku harus pergi."
"Tapi"".. tapi"".. dia""
Ki Sinduwening""."
Kata Joko Lawu yang mengkhawatirkan ayahnya. Terhadap si kedok inipun yang telah menolongnya, dia tidak berani membuka rahasia antara dia dan ayahnya, dan tidak berani mengaku ayah. Dia belum mengenal siapa yang berada di balik kedok hitam itu.
"Ayahmu tidak akan diganggu. Nah, selamat tinggal!"
Dia pun berkelebat lenyap ditelan kegelapan malam. Joko Lawu juga cepat menyelinap masuk ke dalam rumah Pak Jiyo karena dia mendengar suara orang menuju ke situ. Di sebelah dalam rumah itu, Pak Jiyo menyambutnya dan cepat menyuruh dia bersembunyi ke dalam sebuah ruangan bawah tanah yang sengaja dibuat oleh mata-mata Mataram itu. Ruangan ini sengaja digali seluas kamar biasa. Di bawah dapur dan di atasnya terdapat tumpukan kayu dan jerami kering di mana tersembuyi sebuah lubang sebagai pintu kamar di bawah tanah. Joko Lawu menyelinap masuk ke dalam terowongan yang segera ditutup lagi dengan kayu dan jerami kering oleh Pak Jiyo. Beberapa menit kemudian, dua orang perajurit menggedor pintu. Setelah Pak Jiyo terbongkok-bongkok membukakan pintu, dua orang perajurit itu menghardiknya.
"Pak Jiyo, apakah andika melihat seorang asing di sini?"
"Orang asing? Tidak, saya tidak melihatnya."
"Seorang pemuda tampan, dan seorang lagi berpakaian hitam dan berkedok kain hitam."
"Saya tidak melihat siapa pun, saya sudah sejak sore tadi tidur."
"Apakah ada tamu yang datang bermalam di warungmu?"
"Tidak ada,"
"Jangan bohong, ada yang melihat seorang laki-laki muda kemarin di warungmu."
"Ah, benar, memang ada seorang tamu. Akan tetapi dia sudah pergi lagi, tidak bermalam di sini."
Dua orang perajurit itu masih penasaran dan mereka melakukan penggeledahan. Akan tetapi, Pak Jiyo adalah seorang mata-mata kawakan yang sudah banyak pengalaman. Sejak Joko Lawu pergi, dia sudah menyingkirkan semua bekas dan jejak sehingga ketika dua orang perajurit itu melakukan pemeriksaan, mereka tidak menemukan apa pun dalam dua buah kamar di rumah itu. Merekapun pergi dengan kecewa. Setelah keadaan benar aman, barulah Pak Jiyo memasuki ruangan bawah tanah itu. Dia mendapatkan Joko Lawu sedang duduk bersila dan wajahnya yang tertimpa sinar dian minyak kelapa yang kecil itu nampak muram dan penuh kegelisahan, Joko Lawu menceritakan semua pengalamannya.
"Untung ada si kedok hitam yang menolongku, paman Jiyo. Aku tidak tahu siapa dia. Apakah paman dapat menduga siapa si kedok hitam itu?"
Orang itu menggeleng kepala.
"Saya tidak dapat menduganya. Di antara para kawan anak buah ayahmu tidak ada yang mengunakan kedok hitam."
"Aku hanya mengkhawatirkan keadaan ayahku""."
"Harap jangan khawatir, nak. Saya yakin bahwa Pangeran Jayaraga, adipati Ponorogo, tidak akan menggangu ayahmu. Beliau amat mengharapkan bantuan ayahmu yang dikenalnya sebagai senopati yang pernah berjasa di masa pemerintahan Sang Prabu Panembahan Senopati."
Lalu apa yang harus kulakukan, paman? Kegagalan ini membuat aku menjadi sedih dan bingung. Aku harus membebaskan bapaku, harus!"
"Tenanglah, nak. Kita harus bersabar, menaati sampai keadaan tenang kembali. Sekarang ini, tentu saja mereka akan memperkuat penjagaan dan tidak akan mungkin mengulangi percobaan itu. Kita harus berhati-hati dan bersembunyilah dulu di sini sampai beberapa hari. Kalau keadaan sudah aman, saya akan memberitahu. Akan saya beritahukan kawan-kawan agar membantumu."
Karena tidak ada jalan lain yang lebih baik, terpaksa Joko Lawu menurut.
"Ada satu hal yang ingin kulakukan, paman, yaitu menghubungi Aji. Dia adalah perawat kuda yang bekerja di kadipaten Ponorogo. Dialah yang telah membantuku masuk ke dalam kadipaten sebagai penjual rumput. Dia sering membawa kuda kadipaten keluar masuk kota, ke lembah sungai untuk mencari rumput. Kalau saja dia suka membantu, kiranya dia akan mudah menyelidiki keadaan ayah."
"Kalau begitu, saya akan menyuruh seorang kawan untuk menghubunginya."
"Jangan, paman. Jangan!"
Seru Joko Lawu yang merasa khawatir sekali. Kalau hal itu dilakukan, maka berarti keselamatan Aji terancam. Andaikata ada yang tahu bahwa Aji si tukang kuda itu membantu orang yang menjadi mata-mata Mataram, akan celakalah pemuda itu. Tentu akan dihukum, disiksa, mungkin dibunuh!
"
Eh, kenapa?"
"Jangan hubungi dia. Jangan libatkan dia dalam urusan kita. Dia mau membantuku, karena kami pernah bertemu dan berkenalan. Dia seorang abdi kadipaten Ponorogo, mungkin sekali dia setia kepada Ponorogo. Akan celakalah kita kalau dia tahu tempat persembunyian ini. Biar nanti kalau keadaan sudah aman, aku sendiri yang akan mencarinya."
"Baiklah kalau begitu."
Kata Pak Jiyo dan sejak malam itu, terpaksa Joko Lawu tidak berani meninggalkan rumah itu, bahkan tidak berani memperlihatkan diri di dalam rumah. Setiap saat dia siap untuk memasuki kamar bawah tanah kalau ada bahaya mengancam. Sama sekali Joko Lawu tidak tahu bahwa memang ada bahaya besar mengancamnya. Ayahnya memang tidak diapa-apakan. Ki Sinduwening dihadapkan Adipati Ponorogo setelah peristiwa malam itu. Ketika ditanya siapa pemuda tampan yang hendak membebas- kannya, KI Sinduwening menjawab dengan sikap tenang.
"Paduka maklum bahwa saya telah diangkat sebagai seorang senopati oleh Sang Prabu Hanyokrowati. Sebagai senopati tentu saja saya mempunyai anak buah dan melihat saya ditawan di sini, tentu ada anak buah yang berusaha untuk membebaskan saya."
"Paman, andika telah kami perlakukan dengan baik sebagai tamu, kenapa andika membantu pengacau itu dan menyerang Senopati Surodigdo, menghalangi Surodigdo untuk menangkapnya?"
"Kanjeng Pangeran, anak buah itu datang untuk menyelamatkan saya tanpa menghiraukan kaselamatan dirinya sendiri. Setelah dia ketahuan dan terancam bahaya, sebagai seorang senopati dan ksatria, bagaimana mungkin saya dapat tinggal diam saja tanpa menolongnya? Apa yang kami lakukan, dia sebagai anak buah saya dan saya sebagai atasannya adalah wajar saja. Kalau paduka hendak menghukum saya silakan!"
Adipati Ponorogo dapat menerima alasan itu dan diapun tidak menjatuhkan hukuman keoada Ki Sinduwening, bahkan tidak bertanya lagi. Akan tetapi, dia bukan seorang bodoh dan setelah berunding dengan para pembantunya, Pangeran Jayaraga dan para senopatinya dapat menduga bahwa tentu orang berkedok yang membantu anak buah Ki Sinduwening sehingga dapat melarikan diri dan tidak tertangkap itu seorang mata-mata dari Mataram yang sudah berhasil menyelundup ke kadipaten dan sudah dikenal. Oleh karena itu, maka agar dirinya tidak dikenal, dia menggunakan kedok hitam. Akan tetapi siapakah yang patut dicurigai? Abdi di kadipaten amat banyaknya, termasuk para senopati, perwira dan para perajurit pasukan pengawal dan penjaga.
Kemudian Mayaresmi, janda yang cantik jelita itu! Dan wanita yang setia kepada Ponorogo ini melapor bahwa ia berhasil membujuk Nurseta yang kini menggantikan Ki Sinduwening menjadi pemimpin pasukan mata-mata di Ponorogo. Bahkan ia menceritakan betapa di Ponorogo, para mata-mata dari Mataram itu mempunyai tempat pertemuan rahasia, yaitu di warung Pak Jiyo! Terkejutlah Pangeran dan para pembantunya. Siapa kira bahwa tempat sederhana, warung yang dikelola Pak Jiyo, orang tua yang dikenal oleh banyak orang itu, menjadi sarang para mata-mata yang amat berbahaya bagi Ponorogo. Mereka lalu berunding dan mengatur siasat.
"Kalau begitu, tangkap Pak Jiyo dan seret ke sini, hancurkan warung itu dan ratakan dengan tanah!"
Pangeran Jayaraga berkata marah.
"Maaf, kanjeng pangeran!"
Kata Mayaresmi sambil menyembah.
"Hamba mohon agar dipetimbangkan masak-masak sebelum perintah itu dilaksanakan. Hamba kira keuntungannya sedikit kalau hanya menghancurkan warung Pak Jiyo, bahkan akhirnya kita menderita rugi. Hamba telah berhasil membujuk Nurseta dan kalau kita membiarkan dia bekerja sebagai pemimpin pasukan mata-mata kemudian melaporkan ke Mataram, dan kita menjadikan laporannya itu sebagai bahan mengatur siasat, tentu kita akan mampu mengalahkan Mataram yang dapat kita jebak dengan laporan Nurseta. Kita ubah keadaan pertahanan kita sedemikian rupa, dan dengan bantuan Nurseta, kita akan memperoleh kemenangan. Sebaliknya, kalau kita melakukan perintah paduka, Nurseta tentu akan terkejut dan tidak percaya lagi kepada hamba. Bahkan kita harus membantu dia agar dia berjasa kepada Mataram dan dipercaya, misalnya dengan membiarkan dia menolong Ki Sinduwening. Kalau dia dipercaya oleh Mataram, tentu semua laporannya tentang Ponorogo diterima dan dipercaya, dan penyerbuan Mataram ke Ponorogo akan sesuai dengan laporan itu."
Semua orang mengangguk-angguk dan kagum akan siasat yang direncanakan wanita cantik itu. Brantoko mengajukan usul.
"Hamba kira semua laporan dan usul mbakayu Mayaresmi benar dan tepat, kanjeng pangeran. Lebih baik kalau kita pura-pura tidak tahu tentang mata-mata itu, agar mereka tidak curiga dan kita akan lebih mudah mengamati mereka. Dan tentang orang yang berusaha membebaskan Ki Sinduwening itu, hamba kira ia adalah puteri Ki Sinduwening sendiri yang bernama Mawarsih. Menurut hasil penyelidikan hamba, bentuk tubuh dan wajah pemuda tampan itu mengingatkan hamba akan puteri Ki Sinduwening. Kalau kita dapat menawannya pula maka hal itu akan menguntungkan, dan kalau kelak kita membiarkan Nurseta menolong ayah dan anak itu, maka dia akan lebih dipercaya oleh Mataram sehingga mbakayu Mayaresmi akan lebih dapat memanfaatkannya demi kemenangan Ponorogo. Karena itu kalau paduka dan para senopati menyetujui, hamba akan menggunkan siasat, memanggil Pak Jiyo dengan alasan dimintai keterangan, dan hamba akan melakukan pemeriksaan yang teliti. Hamba yakin di tempat itu dijadikan tempat persembunyian mereka yang hendak menolong Ki Sinduwening."
Pangeran Jayaraga mendengar usul-usul, memperbincangkan siasat yang akan mereka laksanakan dan akhirnya Ki Danusengoro berkata dengan suaranya yang berwibawa.
"Kanjeng Pangeran setelah mendengarkan semua usul yang diajukan, memang hamba merasa yakin bahwa kalau Nurseta dapat dibujuk Mayaresmi membantu Ponorogo, hal itu memang jauh lebih menguntungkan dari pada kalau seandainya kakang Sinduwening yang membantu paduka. Hamba mengenal kakang Sinduwening, kakak seperguruan hamba. Andaikata dia mau membantu, tentu bantuannya itu hanya terbatas pada tenaganya saja. Dia tidak akan mau disuruh menjebak pasukan Mataram seperti halnya Nurseta. Hamba sendiri mengenal Nurseta, murid keponakan hamba sendiri karena kabarnya dia adalah murid kakang Ageng Jayagiri. Akan tetapi kalau menurut laporan Mayaresmi tadi, agaknya orang muda itu lebih dapat dimanfaatkan. Tenaga bantuan kakang Sinduwening tidak artinya kalau dibandingkan dengan bantuan Nurseta yang dapat membawa pasukannya membantu Ponorogo, apa lagi kalau dapat mempergunakan dia untuk menjebak pasukan musuh. Dan hamba kira Mayaresmi lebih mengenal pemuda murid bekas suaminya itu."
Semua orang mengangguk-angguk pula dan diaturlah siasat untuk memanfaatkan keadaan itu sebaik-baiknya. Inilah bahaya yang mengancam, bahaya yang sama sekali tidak diketahui Joko Lawu yang bersembunyi di dalam kamar bawah tanah di warung Pak Jiyo.
Dua orang yang berpakaian petani itu nampak kelelahan ketika memasuki warung Pak Jiyo. Mereka duduk di atas bangku panjang dan memesan wedang teh. Nampaknya mereka baru saja pulang dari pasar menjual hasil ladang mereka. Pak Jiyo yang bongkok menyambut mereka, melayani dan bahkan menyuguhkan dua piring nasi yang mereka pesan. Tanpa bicara mereka itu makan sampai nasi mereka habis, lalu minum air teh panas. Mereka hanya saling bertukar pandang dengan Pak Jiyo yang melayani beberapa orang langganan lain. Setelah para tamu lainnya pergi meninggalkan warung dan hanya dua orang itu saja yang tinggal, Pak Jiyo yang mengelap meja membersihkan bekas teh tumpah di sudut yang lain, berbisik.
"Ada kabar apa?"
Seorang di antara mereka, setelah melihat ke kanan kiri dan yakin bahwa tidak ada orang lain mendengar, berbisik kembali.
"Raden Nurseta menggantikan Ki Sinduwening. Bersama pengawalnya dia kini sudah berada di luar Ponorogo. Malam nanti akan masuk ke sini. Bersiaplah menyambutnya."
Pak Jiyo mengangguk-angguk dan kedua orang itu lalu pergi meninggalkan warung. Mereka adalah mata-mata Mataram yang diutus oleh Nurseta untuk menghubungi Pak Jiyo. Sebelum gelap, dia tidak berani lancang memasuki Ponorogo. Bagaimanapun juga, dia seorang senopati yang cukup dikenal. Dia khawatir akan diketahui kedatangannya di Ponorogo oleh pihak lawan, walaupun Mayaresmi telah menjamin bahwa dia tidak akan diganggu kalau memasuki Ponorogo. Baru saja dua petani itu pergi muncul empat orang di warung itu dan sekali ini Pak Jiyo benar-benar terkejut, walaupun dia bersikap tenang saja. Empat orang itu dikenalnya sebagai perajurit pengawal kadipaten!
"Mari, silakan duduk. Andika sekalian hendak minum apa?"
Sapanya dengan sikap hormat.
Seorang di antara mereka berkata.
"Kami datang bukan untuk minum Pak Jiyo, melainkan untuk menjemputmu. Andika dipanggil oleh atasan kami. Senopati Surodigdo."
Pak Jiyo terkejut dan terbelalak memandang kepada mereka.
"Ehh?? Akan tetapi saya"""
Saya tidak melakukan sesuatu yang salah"".."
"Jangan takut, pak. Andika hanya dipanggil untuk dimintai keterangan saja. Tutuplah warungmu sebentar dan mari kami hadapkan kepada beliau."
Tentu saja Pak Jiyo tidak berani membantah.
Dia menutup warungnya dan kalau kini dia nampak gemetar ketakutan, hal itu tidak perlu dia sembunyikan lagi. Siapa orangnya yang tidak akan memperlihatkan perasaan takut kalau dipanggil Senopati Surodigdo, kepala atau panglima pasukan keamanan yang kabarnya amat galak itu? Bahkan akan nampak mencurigakan kalau dia tidak tajut. Setelah Pak Jiyo menutup warungnya dan dibawa pergi empat orang perajurit itu, muncullah Brantoko yang diikuti lima orang anak buahnya. Lima orang ini merupakan perwira-perwira pembantunya yang semua memiliki kepandaian dan merupakan pembantu yang tangguh. Dia harus berhati-hati menghadapi Mawarsih yng selain galak dan berani, juga digdaya itu. Dia sendiri saja tidak dapat mengungguli dara itu. Kepandaian dan kekuatan mereka seimbang.
Akan tetapi kalau dia di bantu lima orang ini, dia yakin akan mampu menundukkan puteri Ki Sinduwening itu. Setelah berhasil membuka pintu dan memasuki rumah Pak Jiyo, Brantoko dan lima orang pembantunya lalu melakukan penggeledahan. Karena kini mereka mencari orang yang diduganya bersembunyi di situ, tentu saja mereka teliti sekali danakhirnya mereka dapat menemukan ruangan yang berada di bawah dapur itu. Gembira sekali hati Brantoko dan dia merasa yakin bahwa orang yang dicarinya tentu berada di dalam ruangan itu, apa lagi dia sudah melihat gerakan sesosok bayangan dalam ruangan yang gelap itu.
Mereka memasuki ruangan bawah tanah. Orang yang berada di tempat persembunyian itu menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi betapa kecewanya hati Brantoko ketika mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah seorang laki-laki tinggi kurus yang usianya sudah lima puluh tahun, sama sekali bukan Joko Lawu yang dicarinya. Tanpa banyak cakap lagi, laki-laki yang mengaku bernama Jangir itu mereka tangkap dan mereka bawa pergi dari warung Pak Jiyo.
"Paksa dia agar mengaku di mana adanya Joko Lawu!"
Kata Brantoko kepada para pembantunya. Jangir lalu disiksa, dipaksa untuk mengaku.
Dalam keadaan seperti itu, di bawah siksaan yang mengerikan, orang akan mengaku apa saja asal siksaan dihentikan. Apalagi kalau mengetahui apa yang ditanyakan. Jangir tidak tahan dan khirnya dalam keadaan sekarat, dia mengaku bahwa orang yang dicarinya itu semalam telah meninggalkan warung Pak Jiyo, dan bersembunyi di luar kota Ponorogo, sebelah selatan dan tinggal di sebuah gubuk kecil di lembah sungai. Sungguh siasia belaka, pengakuan Jangir kerena begitu dia mengaku, penyiksaanya memberi pukulan terakhir yang membuat dia tewas!
Tidak seperti yang dia khawatirkan, Pak Jiyo yang dipanggil panglima pasukan diperlakukan dengan baik. Sama sekali tidak disiksa seperti yang dia ditakutkan, juga tidak dicurigai sebagai mata-mata, melainkan ditanya apakah malam peristiwa di kadipaten itu dia tidak melihat orang laki-laki muda tampan berbana Joko Lawu, dan seorang yang mengenakan kedok hitam. Senopati Surodigdo menjanjikan hadiah yang banyak kalau dia dapat memberi keterangan tentang dua orang itu. Pak Jiyo dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak melihat mereka.
"Kalau benar andika tidak melihat mereka, sudahlah. Akan tetapi, kami harap andika suka membantu. Kalau andika melihat dua orang seperti yang kami gambarkan tadi, harap cepat memberi laporan kepada perajurit keamanan."
Demikian pesan panglima itu setelah mengakhiri pemeriksaan itu.
Pak Jiyo hampir tidak percaya akan nasib baiknya. Tadinya dia sudah merasa hampir putus asa. Dia sejak lama menjadi mata-mata Mataram, sengaja membuka warung di Ponorogo dan bertugas mengamati keadaan di kadipaten itu. Kemudian, dia pula yang pertama kali melaporkan akan gejala yang timbul, betapa Ponorogo menyusun kekuatan dan bermaksud memberontak kepada Mataram. Dia pula yang menampung semua penyelidik dari Mataram dan warungnya menjadi pusat pertemuan.
Maka ketika dia dipanggil, tentu saja menduga bahwa rahasianya telah diketahui dan akan berakhirlah riwayatnya. Siapa kira, dia hanya ditanya tentang Joko Lawu dan orang berkedok yang membikin kacau di kadipaten! Dia mendapatkan rumahnya tidak berubah. Akan tetapi ketika dia melongok ke dalam ruangan bawah tanah, dia terkejut dan cepat dia masuk ke dalamnya, meneliti bekas-bekas di tempat itu. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Tidak ada tanda bekas perkelahian atau sebagainya. Padahal ketika dia pergi, di situ terdapat si Jangir, seorang mata-mata yang datang malam tadi.
Bahkan Jangir yang mengantar Joko Lawu keluar dari Ponorogo mencari tempat persembunyian lain di luar kota agar dia dapat leluasa bergerak. Malam tadi, Joko Lawu sudah meninggalkan warungnya dan kini bersembunyi di lembah sungai di selatan, sedangkan Jangir yang kini berada di warung. Ketika dia didatangi empat orang perajurit, Jangir cepat bersembunyi di dalam kamar bawah tanah. Kenapa sekarang dia tidak ada di situ? Jangir telah pergi dengan diam-diam, mungkin saja Jangir mengkhawatirkan keadaannya dan pergi menyelidiki, mengira dia ditangkap.
Joko Lawu duduk termenung di atas batu besar di dekat padang rumput lembah sungai itu. Usahanya membebaskan ayahnya telah gagal! Biarpun dia merasa kecewa dan menyesal sekali, namun hatinya lega melihat ayahnya dalam keadaan selamat dan sehat. Selama ayahnya dalam keadaan selamat dan dia sendiri masih bebas, masih ada harapan baginya untuk menyelamatkan ayahnya. Dia tidak akan pernah berhenti berusaha. Karena dia ingin segera mencoba lagi membebaskan ayahnya, maka bersembunyi di dalam kamar bawah tanah di warung Pak Jiyo membuat dia tidak tahan lagi. Dia harus keluar dan harus berusaha lagi. Oleh karena itu, ketika pada malam hari itu seorang anak buah ayahnya muncul, yaitu matamata yang bernama Jangir, dia diantar Jangir mencari tempat persembunyian baru, di luar kota.
Malam tadi dia sudah melewatkan malam seorang diri di dalam sebuah gubuk di lembah sungai. Dan sore hari ini dia suda menanti munculnya Aji di padang rumput itu. Siapa lagi yang dapat dia harapkan bantuannya kecuali Aji? Setidaknya, dari pemuda yang mengabdi di kadipaten sebagai perawat kuda itu, dia akan mencari berita tentang keadaan ayahnya setelah terjadi percobaan membebaskan yang gagal itu. Juga dari Aji dia mengharapkan keterangan, siapa tahu pemuda itu dapat menceritakan siapa adanya orang berkedok hitam yang menolongnya, setidaknya dapat membantunya menduga-duga siapa orangnya.
Dan mungkin saja Aji dapat menolongnya lagi, memberi jalan kapadanya agar di dapat menyelundup lagi ke dalam kadipaten. Pendeknya, dia tidak akan berhenti berusaha menolong ayahnya! Tiba-tiba wajahnya berseri penuh harapan. Dia mendengar derap kaki kuda! Siapa lagi kalau bukan Aji yang datang bersama kuda-kuda yang digembalanya? Joko Lawu sudah bangkit berdiri dan dengan wajah berseri menanti datangnya orang yang sejak tadi dinanti-nantinya. Akan tetapi, alisnya berkerut ketika dia melihat tidak kurang dari lima orang penunggang kuda datang dari depan, membalapkan kuda mereka ke arah tempat ia berdiri.
Dia merasa curiga dan selagi dia hendak pergi menyembunyikan diri, terdengar derap kuda dari kanan kiri dan ketika dia memandang, dari arah kanan dan kiri bermunculan pula banyak penunggang kuda. Dia sudah dihadang dari depan, kanan dan kiri, sedangkan di belakangnya adalah sungai! Tidak ada lagi jalan pelarian baginya. Terpaksa dia berdiri tegak, siap menghadapi banyak orang itu. Betapa marahnya ketika sedikitnya dua puluh orang itu sudah berloncatan turun dan mengepungnya, dia melihat bahwa yang memimpin gerombolan itu bukan lain adalah Brantoko! Akan tetapi dia teringat bahwa dia dalam penyamaran.
Dia tidak ingin dikenal sebagai Mawarsih, karena dia masih mempunyai tugas penting, yaitu membebaskan ayahnya. Kalau dia dikenal sebagai Mawarsih, tentu akan lebih sulit menolong ayahnya. Biarlah dia dikenal sebagai Joko Lawu dan tentu hanya akan dikira seorang di antara anak buah ayahnya yang hendak menolong pemimpinnya yang tertawan. Maka, diapun menahan kemarahannya melihat Brantoko yang sebetulnya masih ada hubungan perguruan dengannya. Ketika mereka semua sudah berdiri mengepungnya, diapun membentak marah.
"Siapa kalian dan mau apa kalian mengepungku?"
Brantoko yang tampan dan bertubuh tinggi besar itu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, bocah bagus! Aku seperti telah mengenalmu baik-baik, dan mustahil kalau mataku menipuku. Bocah bagus, engkau menyerahlah saja menjadi tawanan kami. Sayang kalau terpaksa kami menggunakan kekerasan dan kulitmu yang halus itu akan pecah-pecah!"
Diam-diam Joko Lawu bergidik. Agaknya Brantoko sudah mengenalnya. Sungguh mengerikan kalau membayangkan dia akan ditawan pemuda itu sebagai Mawarsih, jauh lebih mengerikan dari pada ancaman maut kalau dia ditawan sebagai Joko Lawu.
"Jahanam, kalian pengecut-pengecut rendah, jangan harap dapat menawanku hidup-hidup!"
Bentaknya dan diapun sudah menerjang ke depan sambil menyerang dengan Dahsyat.
Sekali terjang saja, dua orang pengepung terjengkang. Mereka segera mengepung dan mengeroyok. Ketika melihat anak buahnya mencabut senjata, Brantoko berseru, suaranya lantang.
"Jangan pergunakan senjata. Aku ingin menawan dia hidup-hidup!"
Brantoko sendiri sudah menerjang ke depan dengan tangan kosong, mencoba untuk meringkus Joko Lawu. Namun, Joko Lawu menyambutnya dengan tamparan yang amat kuat ke arah kepalanya. Brantoko manangkis dan dua lengan bertemu dengan sama kuatnya.
"Dukkk!"
Brantoko terhuyung dan diapun semakin yakin bahwa yang dihadapinya adalah Mawarsih. Joko Lawu mengamuk. Akan tetapi pihak lawan terlalu banyak. Brantoko sendiri sudah merupakan seorang lawan yang tangguh yang kepandaiannya seimbang dengan dia, apa lagi kini Brantoko dibantu oleh belasan orang yang kesemuanya merupakan perajurit pilihan. Segera dia terdesak dan terpaksa harus mengerahkan kepandaiannya dan kecepatannya untuk meloncat ke sana sini, mengelak dan menangkisi serangan yang bertubi-tubi datangnya. Belasan pasang tangan itu silih berganti menyerangnya dengan cengkeraman, tangkapan, tamparan sehingga dia tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang sama sekali. Ketika untuk ke sekian kalinya Joko Lawu terhuyung dan hampir roboh, Brantoko tertawa lagi.
"Ha-ha-ha, bocah bagus, menyerahlah saja. Akan kuhadapkan engkau kepada kanjeng adipati!"
Melihat dirinya terancam bahaya, Joko Lawu cepat melolos senjatanya, yaitu sehelai kemben (sabuk) merah yang panjangnya satu setengah meter. Begitu dia menggerakkan kembennya, nampak sinar merah berkelebat dan dua orang pengeroyok terjungkal! Melihat kemben ini, Brantoko semakin yakin siapa yang dihadapinya, maka diapun berteriak kepada anak buahnya.
"Jangan takut, kepung yang ketat. Tangkap dia hidup-hidup!"
Dan dia sendiri lalu menghadapi kemben merah itu dengan senjata kerisnya. Kemben merah itu membentuk sinar merah bergulung-gulung disertai ledakan-ledakan ujung sabuk yang melecut-lecut, namun karena di situ terdapat Brantoko dengan kerisnya yang berbahaya, dan pula para pengeroyok itu banyak di antaranya mempergunakan senjata kolor lawe yang ampuh, kembali Joko Lawu terdesak hebat. Agaknya setiap saat dia pasti akan roboh dan tertawan.
Pada saat itu, terjadi kekacauan pada para pengeroyok. Bahkan seorang demi seorang roboh berpelantingan. Kiranya si kedok hitam kembali muncul dan mengamuk dari luar kepungan! Si kedok hitam juga mempergunakan senjata yang aneh, yaitu sebatang suling! Dan biarpun hanya terbuat dari pada bambu kuning, namun suling itu hebat bukan main. Demikian cepatnya suling itu digerakkan sehingga yang nampak hanya sinar kuning bergulung-gulung dan suling bambu kuning itu bahkan berani menyambut serangan kolor lawe yang ampuh! Tentu saja keadaan menjadi kacau.
Si kedok hitam itu memang tangguh. Setiap kali sinar sulingnya mencuat, seorang pengeroyok yang berusaha menangkis atau mengelak maka selalu gagal dan roboh. Apa lagi nyali para pengeroyok, kecuali Brantoko sendiri, sudah menjadi kecil ketika melihat si kedok hitam. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang si kedok hitam yang pernah pula menolong Joko Lawu sehingga dapat meloloskan diri dari kadipaten. Sementara itu, Joko Lawu gembira bukan main melihat munculnya orang yang amat dikaguminya itu dan munculnya si kedok hitam mendatangkan semangat besar dalam dirinya. Diapun mengamuk dan kemben merahnya meledak-ledak semakin ganas, membuat para pengepungnya menjadi semakin kacau.
Melihat betapa kepungan itu sudah mengendur dan para pengeroyok menjadi gentar, si kedok hitam melompat dekat di samping Joko Lawu dan berkata lirih.
"Lari""!"
Dan dia sendiri mendahului lari ke arah barat, diikuti oleh Joko Lawu.
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kiranya di belakang sebuah batu besar di tepi sungai terdapat sebuah perahu kecil dan si kedok hitam mengajak Joko Lawu memasuki perahu yang segera didayungnya ke tengah sungai yang pada saat itu sedang pasang airnya oleh air hujan, Brantoko yang marah sekali meneriaki kawan-kawannya untuk melakukan pengejaran dan ketika melihat dua orang itu melarikan diri dengan perahu menyeberangi sungai, diapun menggerakkan tangan kanannya.
"Serrr""".! Serrr""".!!"
Dua batang belati terbang telah dilontarkan ke arah punggung si kedok hitam.
"Awas"".!"
Teriak Joko Lawu. Akan tetapi, si kedok hitam menoleh dan dengan tenang saja kedua tangan melepas dayung dan menangkap dua batang pisau belati yang terbang menyambarnya itu dari samping!
"Serang dengan panah!"
Teriak Brantoko. Akan tetapi karena belum siap sebelumnya, anak buahnya terlambat mempergunakan anak panah dan setelah mereka dapat menyerang perahu sudah jauh hampir mencapai seberang sehingga anak-anak panah itu tidak ada gunanya lagi, tidak dapat mencapai sasaran dengan tepat karena terlampau jauh. Brantoko mencak-mencak saking kecewa dan marahnya.
"Kalian semua goblok! Menangkap seorang lawan saja tidak becus dan membiarkan dia lolos!"
Para anak buahnya yang saling bantu karena luka-luka, hanya saling pandang dan tidak ada yang berani membantah. Akan tetapi di dalam hati mereka, semua mengomel,
"Engkau lebih dari goblok! Engkau yang memimpin, dan dibantu oleh kami, tetap engkau tidak becus menangkapnya."
Sementara itu, perahu yang didayung si kedok hitam telah tiba di seberang sungai. Selama perahu diluncurkan menyeberang, di antara mereka tidak terjadi percakapan apapun. Setelah tiba di seberang, si kedok hitam berkata.
"Mendaratlah, andika aman sekarang."
Joko Lawu meloncat ke darat dan bertanya.
"Terima kasih atas pertolonganmu, ki sanak. Akan tetapi, siapakah andika? Bolehkah saya mengetahui"""
"Aku hanya seorang biasa saja, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Selamat tinggal!"
Dan diapun mendayung pula perahunya, meluncurkan perahu itu ke hilir.
Joko Lawu berdiri termangu, mengikuti perahu itu dengan pandang matanya sampai perahu itu menghilang di tikungan sungai. Joko Lawu pergi dari tepi sungai itu, mencari tempat yang sunyi karena besar kemungkinan Brantoko dan anak buahnya akan menyeberang dan mencarinya. Setelah tiba di tempat sunyi, dia duduk termenung. Dia kagum sekali kepada si kedok hitam. Sayang penolongnya itu sama sekali tidak mau memperkenalkan wajahnya. Akan tetapi harus diakuinya bahwa si kedok hitam itu tangguh bukan main, dan jelas lebih pandai, lebih digdaya dibandingkan dengan Brantoko, atau bahkan Nurseta sekalipun.
Cara dia tadi menangkap pisau terbang, hal itu mungkin hanya dapat dilakukan oleh ayahnya, Ki Sinduwening. Dan senjatanya tadi! Sebuah suling bambu kuning inipun membuktikan betapa tinggi ilmu si kedok hitam. Tanpa penyaluran tenaga yang dahsyat, tentu suling dari bambu kuning itu akan remuk bertemu dengan kolor lawe yang ampuh. Akan tetapi diapun merasa bersedih.
Niatnya untuk bertemu Aji dan minta bantuannya lagi gagal. Bagaimana dia akan dapat bertemu dengan Aji? Tanpa bantuan perawat kuda kadipaten itu, bagaimana mungkin dia akan dapat menyelundup ke kadipaten dan membebaskan ayahnya? Ingin rasanya dia menangis kalau teringat akan ayahnya yang masih menjadi tawanan musuh. Setelah merasa yakin bahwa Brantoko dan anak buahnya tidak melakukan pengjaran, dan hari telah menjelang senja, Joko Lawu menyusuri sungai untuk mencari alat menyeberang. Di musim kemarau, mudah saja menyerberangi sungai itu karena airnya hanya sedikit dan dia dapat berloncatan dari batu ke batu. Akan tetapi, akhir-akhir ini turun banyak hujan dan air sungai naik cukup tinggi. Hanya dengan perahu saja dia dapat menyeberang. Cuaca sudah mulai gelap dan perutnya sudah mulai lapar, juga tubuhnya lelah oleh perkelahian tadi.
Pangkal lengan kiri dan paha kanannya juga terasa nyeri karena tadi di kedua bagian tubuhnya itu sempat terpukul kolor lawe para pengeroyok. Tidak sampai terluka parah, hanya kulitnya saja yang membiru. Selagi dia merasa bingung bagaimana akan dapat menyeberang, tiba-tiba wajahnya berseri ketika dari sebelah hulu sungai, muncul dari tikungan, nampak sebuah rakit meluncur perlahan di bagian pinggir sungai. Rakit itu terbuat dari beberapa batang bambu yang disambung-sambung berjajar, dan seorang laki-laki setengah tua berdiri di atas rakit, menggunakan sebatang bambu untuk mendorong rakitnya. Di atas rakit terdapat beberapa tundun pisang yang diikat dengan rakit. Agaknya orang itu hendak membawa barang dagangan itu ke pasar di hilir sungai. Melihat ini cepat Joko Lawu berseru.
"Paman, tolonglah saya menyeberang!"
Orang itu menoleh dan memandang heran kepada pemuda tampan yang berdiri di tepi sungai. Dia nampak ragu-ragu.
"Tolonglah, paman. Saya mempunyai urusan penting sekali di seberang sana. Nanti saya beri upah satu reyal."
Orang itu terbelalak. Satu reyal? Empat tundun pisangnya belum tentu menghasilkan satu
reyal.
Dia mengangguk dan mendorong perahunya ke tepi. Joko Lawu melangkah ke atas rakit dan orang itu pun mendorong perahunya menyeberang. Bambu pendorong itu cukup panjang untuk mencapai dasar sungai dan rakit meluncur dengan mulusnya ke tengah sungai. Ngeri juga perasaan hati Joko Lawu ketika dia berdiri di atas rakit itu. Kakinya terendam air sampai ke mata kaki. Berbeda dengan ketika naik perahu bersama si kedok hitam tadi. airnya tidak masuk. Akan tetapi rakit ini agak tenggelam karena hanya terbuat dari beberapa batang bambu saja.
Agaknya tidak cukup kuat menahan berat badan dua orang dan beberapa tundun pisang. Dia tidak pandai renang, inilah yang membuat Joko Lawu merasa ngeri. Ketika rakit itu tiba di tengah sungai, tiba-tiba dari tikungan sungai muncul empat buah perahu yang didayung cepat menghampiri rakit. Joko Lawu memandang terbelalak ketika dia mengenal Brantoko dan anak buahnya memenuhi empat buah perahu itu.
"Paman, cepat bawa rakit ke tepi!"
Teriaknya kepada tukang rakit. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat orang yang ditumpangi rakitnya itu meloncat ke dalam air sambil membawa batang bambu yang tadi digunakan untuk mendorong rakit! Rakit itu kini tidak terkendali lagi, hanyut oleh arus air sungai dan malang-melintang. Joko Lawu melolos kembennya, siap untuk menghadapi pengeroyokan. Akan tetapi, perahu-perahu itu menggunakan bambu panjang untuk mendorong rakit ke sana ke mari, membuat rakit itu berputar-putar. Joko Lawu tidak dapat berdiri tegak. Rakit itu terguncang-guncang, bahkan tiba-tiba saja terbalik ketika beberapa orang anak buah Brantoko terjun ke air dan menggulingkan rakit.
Tak dapat dicegah lagi, tubuh Joko Lawu terlempar ke dalam air. Karena dia tidak pandai renang, maka dia gelagapan dan tak lama kemudian diapun tak sadarkan diri, tidak tahu bahwa ia telah ditangkap dan ditelikung! Ketika sadar, Joko Lawu mendapatkan dirinya sudah berada di dalam kereta, dan dibelenggu kaki tangannya, pakaiannya masih basah, dan jauh dari tempat dia terbelenggu, duduk pula Brantoko yang memandang kepadanya dengan senyum menyeringai.
Di belakang kereta terdengar derap kaki banyak kuda, tentu anak buah Brantoko yang mengawal di belakang. Di depan duduk seorang kusir dan kereta itu memasuki pintu gerbang kadipaten Ponorogo. Dia telah menjadi seorang tawanan! Setelah tiba di kadipaten, Joko Lawu dimasukkan dalam sebuah kamar tahanan oleh Brantoko sendiri yang mendorongnya dan merebahkannya di atas dipan dalam kamar tahanan itu. Barulah dia melepaskan belenggu kaki tangan Joko Lawu dan berkata.
"Sebaiknya engkau jangan memberontak di sini. Ingat, kalau engkau membuat keributan, Paman Sinduwening dapat dibunuh seketika. Kalau engkau tidak memberontak, engkau akan diperlakukan dengan baik."
Joko Lawu menggosok-gosok pergelangan kaki tangannya bekas ikatan belenggu tadi dan dia memandang kepada pemuda tinggi besar itu penuh kemarahan.
"Engkau jahanam pengecut!"
Akan tetapi Brantoko hanya tersenyum dan meninggalkannya dalam kamar tahanan, mengunci kamar berjeruji itu dari luar dan meninggalkan enam orang penjaga di luar pintu kamar tahanan. Joko Lawu marah sekali. Kenapa dia tidak dijadikan satu dalam tahanan ayahnya? Biarpun menjadi tawanan, kalau dapat berkumpul dengan ayahnya hatinya akan tenang. Dia tidak tahu bahwa sebetulnya ayahnya tidak berada jauh darinya, akan tetapi dalam kamar lain walaupun satu atap.Setelah meninggalkan Joko Lawu, Brantoko lalu menghadap Adipati Ponorogo untuk memberi laporan akan hasilnya menangkap Joko Lawu.
"Seperti yang hamba duga, Joko Lawu adalah Mawarsih, puteri Paman Sinduwening, kanjeng pangeran. Hamba masih berpura-pura tidak mengenalnya. Dengan gadis itu menjadi tawanan kita, hamba yakin ayah dan anak itu akan suka membantu kita. Hamba akan membujuk mereka. Tentu mereka akan saling menyelamatkan dan untuk itu, tentu mereka akan suka berkorban apa saja."
Brantoko menambahkan, merasa bangga akan hasil tugasnya yang baik.
"Bagus Brantoko. Pekerjaanmu berhasil baik sekali dan kami merasa gembira. Akan tetapi tentang bujukan itu, tidak perlu kaulakukan. Ketahuilah bahwa sesuai dengan rencana kita, maka Nurseta akan diberi kesempatan untuk membebaskan ayah dan anak itu. Dengan demikian, maka Mataram akan semakin percaya kepadanya dan akan menelan semua laporannya tentang pertahanan di Ponorogo. Juga Nurseta akan berterima kasih karena dia ingin sekali berjasa kepada ayah dan anak itu sehingga kelak dia pasti akan menjadi pembantu kita yang boleh diandalkan, mengingat dia menguasai pasukan yang besar."
Demikian ucapan Pangeran Jayaraga, adipati Ponorogo. Semua orang yang hadir mengangguk membenarkan, dan tentu saja Brantoko juga tidak berani membantah. Namun sesungguhnya perintah ini berlawanan dengan kainginan hatinya. Diapun ingin berbaik dengan Ki Sinduwening, akan tetapi dengan pamrih lain. Dia tergila-gila kepada Mawarsih, dan ingin agar Mawarsih menjadi isterinya. Atau setidaknya, demikian nafsu bicara, dia harus lebih dahulu dapat mengusai diri gadis yang setiap malam menjadi kembang mimpinya itu sebelum dibebaskan oleh Nurseta seperti yang menjadi rencana siasat Ponorogo.
Dan inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Selagi Mawarsih menjadi tawanan, terbuka kesempatan lebar baginya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Demikianlah, setelah rapat itu bubaran, Brantoko tak dapat tidur, gelisah selalu memikirkan Mawarsih. Kalau saja menurut kehendaknya, tidak perlu Nurseta diberi kesempatan membebaskan Ki Sinduwening dan Mawarsih. Bahkan dialah yang seharusnya diberi kesempatan itu, diam-diam diatur agar dia yang berjasa sehingga Ki Sinduwening dan Mawarsih mesara berhutang budi kepadanya dan memperbesar kemungkinan dia akan diterima sebagai jodoh Mawarsih. Kenapa harus Nurseta? Dia teringat akan pemuda itu yang dahulu pun sudah berjasa membantu Ki Sinduwening dan Mawarsih ketika terjadi pertempuran antara ayah dan anak itu melawan ayahnya dan dia bersama pembantu mereka.
"Aku harus dapatkan Mawarsih! Harus,"
Demikian tekadnya sambil mengepal tinju. Kalau hal itu terjadi, maka hanya merupakan urusan pribadi antara dia dan Mawarsih. Adipati Ponorogo tidak terlbat dan tidak ada urusannya dengan hal itu. Pula, tidak akan menghalangi perjuangan Ponorogo. Sesudah tercapai apa yang dia kehendaki, boleh saja Nurseta menyelamatkan atau membebaskan ayah dan anak itu. Bahkan boleh saja kelak Nurseta mengawini Mawarsih. Dia tersenyum menyeringai, menertawakan Nurseta.
Nurseta telah benar-benar terjatuh ke dalam genggaman Mayaresmi. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kenangan seperti yang dialaminya bersama wanita itu. Dia telah tunduk dan menyerah, dan menuruti semua bujukan Mayaresmi. Nurseta telah lupa segala, bahkan menganggap bahwa tindakannya itu benar. Dia akan memperoleh kekuasaan kalau membantu Pangeran Jayaraga dan dia dapat diyakinkan oleh Mayaresmi bahwa perjuangan Pangeran Jayaraga pasti berhasil. Mungkin dia akan diangkat menjadi patih kelak kalau Adipati Ponorogo itu dapat menumbangkan tahta Kerajaan Mataram dan merampas singgasana.
Bahkan Mayaresmi menjanjikan akan membantu dia agar dia dapat meraih gadis yang amat dicinta dan diridukannya, yaitu Mawarsih. Dan semua tugas yang dibebankan kepadanya hanya mudah sekali. Dia akan terus melanjutkan tugasnya sebagai senopati Mataram mengepalai penyelidik menggantikan Ki Sinduwening yang tertawan. Dia akan mengirim laporan-laporan seperti apa adanya kepada Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram. Semua akan berjalan seperti biasa, seolah tidak terjadi perubahan pada dirinya. Hanya dia akan membujuk agar ayahnya, Ki Demang Padangsuta yang menjadi demang di Praban, diam-diam mempersiapkan diri agar agar kelak kalau terjadi perang antara Ponorogo dan Mataram, ayahnya akan membantu Ponorogo pula. Juga dia akan mempersiapkan pasukan yang dipimpinnya di Mataram kelak untuk melakukan gerakan dari dalam kalau terjadi perang, membantu Ponorogo.
Semua itu demikian mudahnya! Tepat seperti dijanjikan Mayaresmi yang lebih dahulu sudah mengatur siasat dengan dia, Nurseta malam itu memasuki Ponorogo dan tidak mendapat halangan atau gangguan apapun. Para perajurit penjaga melihat dia seperti melihat seorang pemuda biasa saja dan tidak ada yang menaruh curiga, tidak ada yang bertanya atau menegur. Ketika Nurseta tiba di warung Pak Jiyo, warung itu sudah tutup dan dia mengetuk daun pintu itu perlahan, tiga kali berturutturut setiap kali tiga ketukan pendek. Itulah isarat ketukan yang dipergunakan di antara anggota penyelidik dari Mataram. Daun pintu terbuka dan Pak Jiyo menyambut kedatangan Nurseta dengan ramah dan hormat.
"Silakan masuk, raden."
Daun pintu segera ditutup kembali setelah Nurseta masuk dan mereka segera duduk bercakap-cakap di ruang dalam.
"Paman Jiyo, aku datang sebagai utusan Sang Prabu di Mataram untuk menggantika pimpinan Paman Sinduwening, juga aku bertugas untuk membebaskan dia dari tahanan. Nah, ceritakan semua yang telah terjadi di Ponorogo. Setelah itu, aku juga mencari keterangan apakah puteri Paman Sinduwening yang bernama Mawarsih berada di Ponorogo."
Pak Jiyo bercerita. Dia menceritakan tentang penangkapan atas diri Ki Sinduwening, kemudian tentang Joko Lawu, penyamaran dari Mawarsih yang berusaha menyelamatkan ayahnya.
"Akan tetapi usahanya itu gagal, raden. Untung ada seorang rahasia yang berkedok hitam menolongnya sehingga Joko Lawu dapat melarikan diri dan bersembunyi di sini."
Bukan main gembiranya hati Nurseta mendengar itu.
"Di mana dia sekarang, paman?"
"Joko Lawu sudah meninggalkan tempat ini, raden. Malam kemarin datang Jangir, seorang rekan kami dan Jangir yang membawa dan mengantarnya keluar kota. Joko Lawu merasa tidak aman di sini, juga tidak betah karena dia bertekad untuk mencoba lagi membebaskan ayahnya."
"Di mana Jangir? Aku ingin tahu di mana adanya Joko Lawu."
"Jangir juga telah pergi diam-diam ketika saya dipanggil oleh Senopati Surodigdo. Saya ditanya tentang Joko Lawu, akan tetapi saya mungkir dan akhirnya dilepas kembali. Ketika saya kembali ke sini. Jangir telah pergi. Mungkin dia merasa tidak aman."
"Hemm, sudahlah. Kauhubungi kawan-kawan dan kabarkan bahwa aku di sini menggantikan pimpinan Paman Sinduwening, dan besok lusa malam agar semua datang ke sini menyampaikan segala laporan yang berhasil mereka kumpulkan kepadaku. Aku sendiri akan segera berusaha untuk membebaskan Paman Sinduwening."
Pak Jiyo membelalakkan matanya.
"Akan tetapi, itu berbahaya sekali, raden. Apakah paduka memerlukan tenaga bantuan untuk tugas itu?"
"Tidak, paman. Akan kulakukan seorang diri saja. Mungkin banyak kawan semakin sulit dan mudah diketahui."
"Akan tetapi betapa sukarnya, raden! Joko Lawu yang digdaya itupun gagal, nyaris tertangkap."
Kata Pak Jiyo, pandang matanya kagum. Tentu saja dia sudah mendengar ketangguhan panglima muda ini, akan tetapi mencoba untuk membebaskan Ki Sinduwening seorang diri saja sungguh merupakan usaha yang nekat.
"Di kadipaten terdapat banyak orang sakti, raden."
Pemuda itu tersenyum.
"Aku tidak takut, paman. Di samping kesaktian dan kekuatan masih ada akal, bukan? Yang penting, setelah saatnya tiba, aku, minta disediakan beberapa ekor kuda yang baik di luar pintu gerbang kota sebelah barat."
"Baik, raden."
Setelah berbincang-bincang mengenai keadaan dan pertahanan di Ponorogo, Nurseta meninggalkan warung itu, menyelinap ke dalam kegelapan malam. Tak lama kemudian dia sudah dalam sebuah kamar dengan Mayaresmi! Dari wanita ini dia mendengar bahwa Joko Lawu telah ditawan pula.
"Ahhh? Siapa yang menangkapnya?"
Tanya Nurseta kaget.
Mayaresmi tersenyum.
"Yang menangkapnya adalah Brantoko dan pasukannya. Sekarang dia ditahan dalam rumah tahanan bersama Ki Sinduwening, namun berpisah kamar."
"Aku harus cepat membebaskannya!"
Mayaresmi merangkul.
"Jangan khawatir, raden. Kanjeng Adipati sudah diberitahu oleh Brantoko bahwa Joko Lawu adalah Mawarsih, dan kanjeng adipati sudah memerintah- kan agar Ki Sinduwening dan Mawarsih diperlakukan dengan baik, menanti saatnya andika menolong dan membebaskan mereka seperti yang kita rencanakan. Kebetulan sekali Mawarsih menjadi tawanan pula. Kalau andika membebaskan ayah dan anak itu, akan berjasa besar andika dan mempersunting gadis itu tentu bukan merupakan persoalan sukar lagi! Nah, andika lihat, aku memenuhi semua janjiku, bukan? Andika akan hidup berbahagia dan tercapai semua keinginan andika kalau bergabung dengan kami."
Nurseta girang sekali. Memang, dia melihat betapa dengan kerja sama ini dia memperoleh banyak sekali keuntungan. Pertama, tugasnya seolah-olah tidak mengecewakan, bahkan Sang Prabu di Mataram akan merasa puas dan memujinya sebagai seorang senopati yang berhasil. Ke dua, Ki Sinduwening dan Mawarsih akan berhutang budi kepadanya dan hal ini amat menguntungkan kerena tentu pinangannya terhadap Mawarsih akan mereka terima dengan senang hati. Ke tiga, dia mendapatkan seorang kekasih yang demikian hebat dan menyenangkan seperti Mayaresmi, bekas isteri gurunya itu, dan ke empat, kelak dia akan memperoleh kedudukan tinggi kalau pemberontakan Ponorogo berhasil!
Dia menjadi seperti sebatang pedang bermata dua yang dapat membacok ke kanan kiri, dan semua ini berkat cinta kasih Mayaresmi kepadanya! Orang-orang seperti Nurseta dan Mayaresmi, bagaimana mungkin mengenal cinta kasih yang sejati? Bagi Mayaresmi, Nurseta hanya merupakan sarana untuk mendapatkan kesenangan dalam hal pengejaran kedudukan dan kenikmatan berahi belaka, sedangkan bagi Nurseta,
Mayaresmi juga hanya sebagai pemuas nafsu belaka! Keduanya telah menjadi hamba nafsu mereka sendiri. Nafsu selalu menghendaki kepuasan dan kesenangan. Kalau masih mendatangkan kepuasan dan kesenangan, mengaku cinta. Kalau sekali waktu tidak ada lagi kepuasan dan kesenangan, maka cintanya berubah benci. Itulah pekerjaan nafsu. Mereka bukanlah orang-orang jahat sejak kecil. Sama sekali bukan. Akan tetapi, kalau orang sudah menjadi abdi nafsunya sendiri, maka segala pertimbangannya sudah patah, setiap pandangannya kabur dan satu-satunya yang berkuasa adalah keinginan untuk mencapai kesenangan yang dikejarnya.
Mereka lalu mengatur rencana siasat mereka selanjutnya dan menurut petunjuk Mayaresmi yang sudah mengatur siasat bersama para pembantunya adipati Ponorogo, besok malam Nurseta harus membebaskan Ki Sinduwening dan Mawarsih. Nurseta akan memasuki kadipaten melalui pagar tembok belakang, memasuki kebun lalu melalui tamansari, dia akan menuju ke rumah tahanan di mana ayah dan anak itu dikeram. Tentu saja para penjaga dan pengawal kadipaten di malam hari itu akan pura-pura tidak melihatnya! Kalaupun ada mata-mata Mataram yang melihat pemimpin baru mereka menginap di rumah mungil bersama seorang wanita cantik, dia tidak akan tahu bahwa Mayaresmi adalah seorang di antara kaki tangan kadipaten Ponorogo yang amat berbahaya bagi pihak lawan.
Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo