Ceritasilat Novel Online

Kidung Senja Di Mataram 9


Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



Suara yang besar dan tegas dari Santiko itu berwibawa. Bargolo tersenyum.

   "Baiklah, kakang Santiko. Aku sendiripun ingin mengambil kepu- tusan agar aku dapat menentukan langkahku selanjutnya."

   "Sekarang aku sekali lagi hendak bertanya. Engkau adalah adikku, adik kandungku, kita seayah dan seibu. Karena ayah dan ibu sudah tidak ada, maka sudah sepatutnya kalau aku sebagai kakakmu menjadi pengganti ayah dan ibu. Akan tetapi aku tidak ingin memaksakan kehendakku kepadamu. Nah, aku bertanya, apakah engkau ini, adik kandungku, benar-benar hendak melanjutkan dorongan nafsumu, hendak menjadi seorang pengkhianat? Engkau hendak membelakangi Ponorogo dan menyeberang, membantu Mataram?"

   "Memang benar, kakang Santiko. Hatiku sudah bulat, aku bertekat untuk membantu Mataram, bukan

   (Lanjut ke Jilid 09)

   Kidung Senja Di Mataram (Cerita Lepas)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 09

   untuk menjadi pengkhianat"".."

   "Gila! Engkau hendak membantu Mataram dan melawan Ponorogo, dan engkau mengatakan bahwa engkau bukan menjadi pengkhianat? Lalu apa? Lupakah engkau akan semua wejangan bapa guru di puncak Merbabu, bahwa seorang gagah tidak akan bertindak khianat? Kita adalah kawula Ponorogo, kita harus membela Ponorogo dengan taruhan nyawa, itulah sikap seorang ksatria!"

   "Hemm, kakang Santiko, engkau hanya ingat yang satu akan tetapi lupa yang lain. Lupakah kakang akan wejangan bapa guru bahwa kita harus menjadi orang yang selalu menjunjung tinggi tinggi kebenaran dan menentang kejahatan? Kita harus membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan, kalau perlu dengan taruhann nyawa! Nah, itulah sebabnya mengapa aku membela Mataram, kakang Santiko. Jelas bahwa dalam pertentangan antara Ponorogo dan Mataram, pihak Ponorogo yang bersalah. Ponorogo adalah termasuk wilayah Mataram sejak dahulu, kenapa sekarang Ponorogo meniru daerah lain, memberontak terhadap Mataram? Seorang ksatria yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak akan membenarkan pemberontakan yang pada dasarnya adalah karena iri hati dan hendak merebut kekuasaan."

   "Hemm, engkau selalu mengajukan pendapat seperti itu. Agaknya engkau hendak meniru kelakuan Wibisono yang berkhianat terhadap Alangka dan memihak Roma untuk memerangi kerajaan kakaknya sendiri!"

   "Tidak kusangka, kakang. Dan engkau agaknya hendak meniru raksasa Kumbokarno, tidak perduli bahwa kakaknya jahat dan keji, membela angkara murka dengan alasan membela tanah air!"

   Bargowo membalas.

   "Memang benar, karena kuanggap bahwa Kumbokarno itulah yang benar! Biarpun dia raksasa, akan tetapi hatinya adalah hati seorang ksatria, seorang pahlawan. Dia rela mati demi membela tanah air dan bangsa. Dan aku memang mandaulad tindakan itu. Aku pun rela mati demi membela Ponorogo!"

   "Akan tetapi itu berarti bahwa engkau membela yang salah, kakang!"

   "Dan kau kira Sang Prabu Hanyokrowati dari Mataram itu yang benar? Engkau mengkhianati Ponorogo, tempat di mana ibu melahirkan kita, dan membela Mataram? Sungguh memalukan sekali!"

   Kakak beradik itu saling tatap dengan muka merah. Keduanya sudah marah sekali, yakin akan kebenaran masing-masing. Memang sungguh aneh keadaan mereka itu, sama benar dengan yang dialami oleh kakak beradik Kumbokarno dan Wibisono dalam kisah pewayangan Ramayana. Kumbokarno yang berujud raksasa dan Wibisono yang berujud bambang yang tampan itu saling berhadapan seperti musuh karena mereka pun berbeda bahkan bertentangan pendapat seperti halnya Santiko dan Bargowo sekarang ini. Kakak mereka Sang Prabu Dasamuka, menculik Dewi Sinta isteri Ramawijaya sehingga Rama mengerahkan pasukan monyet menyerbu Alengka, negara Dasamuka.

   Wibisono yang tidak berhasil membujuk kakaknya, Dasamuka untuk mengembalikan Shinta dan mengaku kesalahan, lalu menyeberang dan memihak kepada Ramawijaya. Sebaliknya, ketika Kumbokarno juga gagal mengingatkan Dasamuka, dia bahkan menjadi senopati, melawan pasukan Ramawijaya dengan penuh kesadaran akan kelaliman kakaknya akan tetapi dia melawan pasukan Ramawijaya bukan demi membela kakaknya melainkan membela tanah air dan bangsa dari serbuan musuh, sampai dia gugur di medan laga. Keduanya membela kebenaran masing-masing, dan masing-masing memiliki alasan yang kuat. Wibisono hendak membela kebenaran dan keadilan dan untuk itu, dia rela menentang kakak sendiri karena kakaknya berada di fihak yang lalim dan bersalah.

   Sebaliknya, Kumbokarno mati-matian membela negara dan bangsa, walaupun dia sadar bahwa kakaknya berada di pihak yang bersalah. Dia membela tanah air, bukan membela kakaknya, berarti dia membela kebenaran pula. Kakak beradik sama-sama membela kebenaran, akan tetapi kebenaran masing-masing, seperti kebenaran yang diakui oleh setiap orang, seringkali bertentangan!

   "Kakang Santiko, benar-benarkah kita yang tadinya menjadi kakak beradik yang saling mencinta, saling membela, sekarang harus saling berhadapan sebagai musuh? Kakang, tidak adakah jalan lain?"

   Bargowo berkata dengan suara penuh duka. Santiko menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Aku menyesal sekali, adi Bargowo. Akan tetapi sampai matipun aku tidak mungkin mengubah pendirianku. Aku harus membela Ponorogo, sampai tetes darah terakhir!"

   "Kakang Santiko, sungguh hancur perasaan hatiku melihat keadaan kita. Ah, bapa guru begitu jauh sehingga kita tidak dapat memohon petunjuk beliau. Lalu kepada siapakah kita akan minta petunjuk dan keadilan?"

   Keluh Bargowo.

   Pada saat itu, terdengarlah lengking suling yang mendayu-dayu mengalun indah, seolah suara suling itu datang bersama sinar matahari, halus lembut menyusup kalbu. Kedua orang kakak beradik itu saling pandang, agak terkejut. Kemudian timbul suatu pikiran dalam benak Bargowo.

   "Kakang Santiko, kita tidak tahu siapa peniup sulung itu. Akan tetapi dalam keadaan seperti ini, tiba-tiba ada orang meniup suling semerdu itu. Agaknya suara itu akan mendatangkan kunci bagi kita untuk membuka keruwetan ini. Bagaimana kalau kita menemui peniup suling itu dan menentukan bahwa kita berdua akan mendengarkan pendapatnya sehingga ada yang akan menengahi pertentangan pendapat di antara kita?"

   Santiko mengerutkan alisnya. Akan tetapi mengangguk dan berkata.

   "Mudah-mudahan dia akan dapat mendamaikan antara kita, akan tetapi kalau dia tidak mempunyai alasan yang kuat, aku tidak akan mangubah keputusanku."

   "Tentu saja, kakang. Kalau dia ternyata hanya seorang biasa saja yang kepandaiannya hanya meniup suling dan tidak mempunyai pandangan yang tepat, akupun enggan untuk mengubah pendirianku. Mari kita songsong dia, kakang!"

   Kakak beradik itu bangkit dari atas batu, akan tetapi mereka tidak perlu pergi jauh karena pada saat itu, si peniup suling sudah tiba di tikungan dan sedang menuju ke arah mereka sambil terus meniup sulingnya dan melangkah perlahan sambil menundukkan mukanya. Kakak beradik itu memandang penuh perhatian kemudian mereka saling pandang, lalu memandang lagi kepada pemuda peniup suling yang melangkah perlahan menuju ke arah mereka itu. Peniup suling itu seorang pemuda, masih muda sekali, tidak akan lebih dari dua puluh tahun usianya, tidak berbaju, hanya mengenakan celana hitam dan berkalung kain. Tubuhnya sedang dan tegap , keadaannya sederhana saja dan melihat itu, kakak beradik ini sudah merasa kecewa.

   Agaknya hanya seorang pemuda dusun yang biasa bertani atau menggembala ternak, walaupun wajah pemuda itu tampan dan gerak geriknya halus. Seorang pemuda sederhana seperti itu bagaimana mungkin dapat menengahi pertentangan pendapat di antara mereka, apa lagi mengenai urusan membela kebenaran? Pemuda itu adalah Aji, atau nama lengkapnya Banu Aji. Dengan kecerdikannya, ketika dia menjajak lari Ki Sinduwening dan Mawarsih, pada saat ayah dan puterinya itu dikeroyok penjaga, Aji berhasil menyelinap dan menggunakan saat kacau itu, dia berhasil keluar dan melarikan diri. Semenjak malam itu, tentu saja dia tidak berani kembali lagi ke kadipaten Ponorogo. Masih untung bahwa dia tidak dibunuh oleh Brantoko yang telah menghajar dan memukulinya sampai babak belur.

   "Kisanak, harap berhenti sebentar!"

   Bargowo menegur Aji yang tadinya masih melangkah dan melanjutkan tiupan sulingnya tanpa memperdulikan dua orang itu karena dia tidak mengenal mereka.

   Mendengar teguran itu, Aji menghentikan tiupam sulingnya, mengangkat muka memandang kepada dua orang itu. Kini kakak beradik itu melihat betapa pemuda sederhana ini memiliki wajah yang tampan dan manis, dengan sinar mata yang tajam. Pandang mata seperti itu jelas bahkan pandang mata seorang yang bodoh dan sederhana. Pandang mata itu membayangkan kecerdikan, dan senyum di bibirnya itu membayangkan ketenangan dan keramahan.

   "Maaf, apakah andika berdua mempunyai urusan dengan aku?"

   Tanyanya ramah.

   "Kami yang minta maaf karena telah mengganggu andika, kisanak,"

   Kata Bargowo.

   "Memang kami mempunyai sebuah urusan yang ingin kami bicarakan dengan andika."

   Melihat sikap ramah dan sopan dari Bargowo, diam-diam Aji merasa kagum. Tak disangkanya di tepi telaga yang sunyi ini dia bertemu dengan orang yang selain kelihatan anggun dan gagah, juga bersikap lembut dan sopan.

   "Dengan senang hati, kisanak. Apakah yang akan andika berdua bicarakan dengan aku?"

   Tanyanya. Santiko yang tidak biasa menggunakan basa basi, berkata dengan suaranya yang besar dan lantang.

   "Kisanak, mari kita duduk di batu ini. Ketahuilah bahwa kami kakak beradik. Namaku Santiko dan ini adikku bernama Bargowo. Bolehkah kami mengetahui nama andika?"

   Aji memandang dengan tertarik sekali dan senyumnya mengembang. Sungguh amat menarik, pikirnya. Kakak beradik yang bukan hanya wajahnya berlawanan, akan tetapi juga sikapnya. Yang seorang, adiknya,tampan dan halus ramah dan sopan, yang kedua kakaknya, kekar dan gagah seperti Bimaseno, terbuka dan jujur. Mungkin yang seorang seperti ayahnya dan yang seorang lagi seperti ibunya, pikir Aji.

   "Namaku Banuaji, biasa dipanggil Aji begitu saja."

   Katanya singkat.

   "Hemm, begini, kisanak. Kami kakak beradik ini tadi sedang bertengkar dan kami ingin agar engkau menjadi penengahnya dan""". dan"".."

   Santiko memang tidak begitu pandai mengatur kata-kata, maka dengan bingung dia menoleh kepada adiknya.

   "engkau sajalah yang menerangkan kepadanya!"

   Bargolo tersenyum. Mereka duduk saling berhadapan dan dia lalu manatap Aji dan menerangkan dengan kata-kata yang jelas dan tidak tergesa-gesa.

   "Seperti yang dikatakan kakang Santiko tadi, dimas Aji, bolehkah aku menyebutmu dimas? Andika masih begini muda, pantas menjadi adik kami."

   "Tentu saja, kakangmas Bargowo. Lanjutkan keteranganmu tadi,"

   Kata Aji dan jawaban serta sikap Aji itu menyadarkan kakak beradik itu bahwa yang mereka hadapi bukanlah seorang pemuda dusun, melainkan sudah tahu akan tata-krama. Maka pandangan mereka berubah dan timbul harapan mereka bahwa pemuda ini akan dapat membikin terang kemelut di antara mereka berdua.

   "Seperti dikatakan kakang Santiko tadi, kami kakak beradik menghadapi suatu masalah yang membuat kami saling bertentangan, saling memperebutkan kebenaran masing-masing. Ketika kami mendengar tiupan suling andika tadi, kami lalu mengambil keputusan untuk minta pendapat si peniup suling agar kami dapat mengambil keputusan siapa di antara kami yang benar dan apa yang harus kami lakukan."

   Aji tersenyum dan mengangkat kedua alisnya, merasa heran sekali. Bagaimana mungkin mereka itu minta pendapat seseorang yang sama sekali tidak mereka kenal, hanya menentukan dari suara suling saja?

   "Masalah apakah itu, dan bagaimana aku dapat membantu andika berdua?"

   "Dimas Aji, pernahkah andika nonton wayang kulit?"

   Tiba-tiba Santiko bertanya. Aji terbelalak, heran mendengar pertanyaan yang aneh dan diajukan secara tiba-tiba itu. Akan tetapi keherannya bertambah ketika Bargowo juga berkata.

   "Aku merasa yakin bahwa seorang yang pandai meniup suling seperti tadi, tentulah seorang seniman, adimas Aji, dan sebagai seorang seniman, tentu andika mengerti tentang kisah pewayangan. Benarkah itu?"

   Aji tertawa, merasa aneh dan lucu.

   "Tentu saja aku sering menonton wayang, bahkan aku pernah mempelajari seni pedalangan. Akan tetapi apa hubuangannya masalah andika berdua dengan pewayangan?"

   "Kalau begitu begus sekali!"

   Bargowo berkata girang dan ketika Aji melihat wajah Santiko yang gagah, dia pun melihat betapa orang ini juga memandang kepadanya dengan wajah berseri.

   "Kalau begitu, sungguh kebetulan, agaknya memang andikalah orangnya yang dapat menjadi penengah kami yang adil. Andika tentu mengenal kisah Ramayana, bukan?"

   Aji semakin tertarik. Kakak beradik ini sungguh aneh sekali, akan tetapi dia mengangguk.

   "Aku hafal akan isi kisah itu."

   "Andika tentu tahu akan kisah perang yang terjadi di Alengka, ketika Prabu Ramawijaya menyerbu dengan pasukan keranya ke sana?"

   Kini Sabtiko yang bertanya. Kembali Aji mengangguk.

   "Aku bahkan dapat menceritakan kisah itu dari permulaannya sampai akhirnya. Apakah andika berdua ingin aku bercerita tentang kisah Ramayana?"

   "Tidak, dimas Aji!"

   Kata Bargowo.

   "Kami berdua hanya ingin mendapatkan kepastian, dan kami minta pendapatmu tentang peranan Kumbokarno dan Wibisono dalam perang antara Ramawijaya dan Dasamuka. Andika tahu bukan, bagaimana sikap Kumbokarno dan Wibisono dalam menghadapi perang yang melanda kerajaan Alengka? Nah, yang ingin kami minta pendapat andika adalah ini: menurut pendapat andika, siapakah yang benar dan siapa yang salah antara kedua tokoh itu dengan sikap mereka menghadapi penyerbuan Ramawijaya ke Alengka itu?"

   Aji memandang kepada kakak beradik itu bergantian. Betapa anehnya. Menghentikan seorang yang sama sekali tidak dikenalnya, hanya untuk ditanya tentang sikap Kumbokarno dan Wibisono! Akan tetapi dia mereka yakin bahwa di balik pertanyaan tentang pewayangan itu tentu terdapat hal lain yang lebih penting, maka dengan sikap serius diapun menjawab, suaranya tenang dan tegas.

   "Kakangmas Santiko dan Bargowo, sikap kedua orang tokoh itu sudah jelas, seperti yang terdapat dalam kisah Ramayana. Sang Kumbokarno, raksasa berwatak ksatria yang gagah perkasa itu memihak Alengka dan menjadi senopati pasukan Alengka menghadapi penyerbuan pasukan kera Sang Prabu Ramawijaya yang kahirnya dia gugur sebagai seorang senopati yang gagah perkasa, yang bahkan dihormati oleh Ramawijaya sendiri. Adapun Sang Wibisono, keluarga raksasa yang tampan halus seperti bambang itu dan yang bijaksana, sebaliknya membantu Ramawijaya untuk menentang kakaknya sendiri, yaitu Sang Prabu Dasamuka atau Rahwanaraja yang lalim."

   "Benar!"

   Kata Bargowo.

   "Akan tetapi yang kami ingin ketahui menurut pendapat andika siapakah yang lebih benar di antara mereka berdua? Dan siapa yang tindakannya salah?"

   "Ya, katakan terus terang saja, berikut alasannya, adimas Aji. Siapakah yang benar dan siapa yang salah di antara di antara keduanya itu?"

   Sambung pula Santiko.

   "Kalau menurut pengamatanku, keduanya benar dan keduanya juga salah!"

   Jawaban ini sungguh di luar dugaan kakak beradik itu, mereka saling pandang, lalu dengan alis berkerut keduanya menatap wajah Aji, merasa tak senang karena menganggap pemuda itu mempermainkan mereka.

   "Dimas Aji, ketahuilah bahwa kami kakak beradik adalah pendiri perkumpulan kanuragan Dayatirta yang terkenal di seluruh wilayah ini."

   Kata Bargowo.

   "Kami adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, kebenaran dan keadilan dan kami menghadapi masalah yang penting dan gawat. Karena itu, kami minta kepada andika, Dimas Aji, harap jangan main-main dan memberi jawaban yang sebenarnya dan sejujurnya."

   "Sungguh, aku tidak main-main. Pendapat itu lahir dari penilaian, dan penilaian didasari kepentingan pribadi, kakangmas Santiko dan Kakangmas Bargowo. Yang berpihak kepada Kumbokarno tentu akan mengatakan dia benar, sebaliknya yang berpihak kepada Wibisono tentu akan mengatakan dia yang benar, dan yang berpihak itu tentu ada hubungannya dengan kepentingan pribadi, merasa cocok sesuai, sependapat dan satu selera. Di dalam yang salah tentu akan ditemukan benarnya, sebaliknya di dalam yang benar terdapat pula kesalahannya. Yang mutlak benar dan sempurna itu hanyalah Tuhan Yang Maha Sempurna. Karena itu, kalau andika berdua tanya kepadaku, aku dengan sejujurnya mengatakan bahwa Kumbokarno dan Wibisono itu, kalau dikatakan benar yang benar, dikatakan salah ya salah."

   Kembali kakak beradik itu saling pandang dan Bargowo yag wataknya lebih periang, segera dapat melihat kejanggalan dan kelucuan dalam pendapat Aji itu, maka dia tersenyum.

   "Wah jawabanmu membuat kami menjadi semakin bingung, adimas, Aji. Bukankah sudah jelas bahwa Wibisono yang benar, karena dia sebagai ksatria yang bijaksana membela yang benar dan menentang yang lalim, walaupun yang lalim itu kakaknya sendiri? Dan bukankah Kumbokarno itu bersalah, karena dia membela yang lalim dan menentang Ramawijaya yang menuntut kembalinya isterinya yang diculik Dasmuka?"

   "Yang benar adalah Kumbokarno!"

   Kata Santiko suaranya tegas.

   "Kumbokarno adalah seorang ksatria yang mengorbankan nyawa membela tanah air dan bangsa dari penyerbuan pasukan kera, sedangkan Wibisono adalah seorang pengecut dan pengkhianat kakaknya sendiri, membantu musuh dan membelakangi negara dan bangsa sendiri!"

   Aji melihat betapa kedua orang kakak beradik itu saling pandang dengan penuh kemarahan dan sikap mereka seperti dua ekor ayam jago yang sedang dalam keadaan siap untuk berkelahi!

   "Ahhh, harap andika berdua memaafkan aku, aku harap bersabar. Mengapa kita ribut-ribut soal kisah pewayangan? Itu hanya dongeng, tidak ada harganya untuk kita pertengkarkan. Lebih baik kalau andika berdua menjelaskan, sebetulnya ada masalah apakah di antara andika berdua? Siapa tahu, mungkin saja aku akan dapat membantu memecahkan persoalan itu. Kita bicara tentang andika berdua saja secara langsung, bukan bicara tentang kisah pewayangan,"

   Suara Aji penuh ketenangan dan kesabaran yang tulus, membuat kakak beradik itu aga reda dan sabar. Kembali mereka saling pandang dan keduanya mengangguk. Tanpa katapun keduanya menyetujui untuk menceritakan tentang persoalan yang mereka hadapi kepada pemuda itu.

   "Begini, adimas Aji,"

   Kata Bargowo.

   "Keadaan kami berdua hampir sama dengan keadaan Kumbokarno dan Wibisono, oleh karena itu tadi kami menanyakan pendapat andika tentang mereka berdua. Kini, perang berada di ambang pintu. Agaknya, tak lama lagi Mataram akan menyerang Ponorogo dan menghadapi perang itu, timbul pertentangan pendapat antara aku dan kakang Santiko. Seperti Kumbokarno, kakang Santiko berkeras akan membantu Ponorogo menentang Mataram, sedangkan aku berkeras untuk membantu Mataram melawan Ponorogo. Seperti Kumbokarno dan Wibisono, kami berdua juga mempunyai alasan kami masing-masing. Kakang Santiko berlandaskan membela tanah air dan bangsa, sedangkan aku sendiri berlandaskan membela kebenaran dan keadilan karena kuanggap bahwa Sang Adipati Ponorogo telah memberontak terhadap Mataram. Nah, kami bedua sungguh mengharapkan pendapatmu dalam hal ini, adimas Aji. Bagaimana menurut pendapat andika?"

   Aji bersikap hati-hati. Diam-diam dia terkejut dan maklum akan gawatnya persoalan. Pemberontakan terjadi di mana-mana, para adipati dan bupati saling berlomba untuk memperebutkan kekuasaan. Kesatuan rakyat terpecah-belah karena membela junjungan masingmasing, seperti halnya kakak beradik ini. Setelah dia berdiam diri sebentar, seperti biasa dia mohon petunjuk dan bimbingan Tuhan Yang Maha Kasih dalam menghadapi keadaan yang gawat, dia lalu memandang kepada kedua kakak beradik itu.

   "Sebelumnya aku menyatakan pendapatku, aku mengharap andika berdua bersikap jujur dan suka menjawab semua pertanyaanku secara terus terang. Nah, pertama-tama aku bertanya kepada andika berdua, andika ini bertanah air apa dan berbangsa apa?"

   "Kami berkelahiran daerah Ponorogo, tentu saja kami berbangsa Ponorogo!"

   Kata Santiko.

   "Ponorogo termasuk wilayah Mataram, aku merasa lebih tepat kalau mengatakan bahwa kami adalah bangsa Mataram!"

   Kata Bargowo.

   "Kalau begitu, pertentangan pendapat antara andika berdua adalah bahwa kakang mas Santiko membela Ponorogo dan kakangmas Bargowo membela Mataram, begitukah?"

   "Benar sekali!"

   Kata Bargowo.

   "Tidak salah!"

   Sambung Santiko.

   "Lupakah andika berdua bahwa sebetulnya Ponorogo, atau Mataram, hanya merupakan sebagian saja dari Nusantara? Di jaman Mojopahit dahulu, bukankah tidak ada perbedaan antara Ponorogo dan daerah manapun juga, yang ada hanyalah suatu negara kesatuan? Kita tinggal di Pulau Jawa, kawasan Nusantara, dan kita ini sebangsa dan setanah air. Kita ini bersaudara dan kini kita akan bercerai-berai, terpecah-pecah karena adanya perebutan kekuasaan di antara para pemimpin kita. Kakangmas Santiko mengatakan hendak membela Ponorogo? Ponorogo dan rakyatnya yang akan kakangmas bela, ataukah kakangmas sebetulnya hanya membantu Adipati Ponorogo yang hendak merebut tahta kerajaan rakandanya, Sang Prabu Hanyokrowati di Mataram? Dan kakangmas Bargowo mengatakan hendak membela Mataram dan mempertahankan kebenaran dan keadilan, ataukah sebenarnya kakangmas Bargowo henya akan membantu Sang Prabu Hanyokrowati yang hendak mempertahankan tahta kerajaan dan menundukan Ponorogo yang dianggap pemberontakan?"

   Kakak beradik itu saling pandang, agak bimbang karena apa yang diucapkan Aji itu merupakan pandangan yang baru bagi mereka.

   "Harap andika berdua pertimbangkan dengan tenang. Bukankah kalau terjadi perang antara Ponorogo dan Mataram, maka perang itu merupakan perang antara dua saudara yang saling memperebutkan kekuasaan? Angkara murka telah menguasai hati dua saudara yang saling memperebutkan kekuasaan, dan akibatnya, rakyat jelata ikut terseret dalam perang saudara yang mengerikan, saling terkam demi membela dua saudara keluarga kerajaan yang saling memperebutkan kekuasaan."

   "Akan tetapi Ponorogo diserang, tentu saja kami harus mempertahankan!"

   Kata Santiko.

   "Ponorogo memberontak, maka Mataram akan menyerbu!"

   Kata pula Bargowo.

   "Tentu saja terdapat seribu satu macam alasan, yang pada hakekatnya bersumber kepada perebutan di antara kedua pemimpin. Kalau Sang Adipati Ponorogo dan Sang Prabu di Mataram bijaksana, mereka tentu tidak akan saling serang. Mereka tentu akan bersatu padu, mengatasi semua pertentangan pendapat dengan musyawarah, dan memperkuat pertahanan tanah air yang kini diancam oleh musuh kita yang kini diancam oleh musuh kita yang sebenarnya, musuh yang mengancam tanah air dan bangsa, yang datang dari barat dan yang kini mulai menguasai daerah pesisir di Banten. Perang saudara hanya akan melemahkan kita sendiri, dan penyebabnya hanya kerena keangkara-murkaan dua orang bersaudara yang saling memperebutkan kekuasaan saja. Oleh karena itu, aku berani mengatakan bahwa yang membela Mataram pada hakekatnya membantu Sang Prabu Hanyokrowati mempertahankan kekuasaannya, sedangkan yang membela Ponorogo sesungguhnya hanya membantu Adipati Jayaraga untuk merebut kekuasaan dari tangan rakandanya. Nah, andika berdua dapat mempertimbangkan sendiri siapa di antara andika yang benar atau salah. Aku sudah terlalu banyak bicara. Selamat tinggal dan semoga Tuhan akan menunjukkan jalan bagi andika berdua."

   Setelah berkata demikian, Aji bangkit berdiri, lalu meninggalkan kakak beradik itu. Mereka tertegun, sampai lama tak mampu bicara, kemudian mendengar suara tiupan suling itu yang sudah terdengar menjauh. Kakak beradik itu saling pandang sampai beberapa lamanya, masih termangu oleh ucapan pemuda yang pandai meniup suling itu. Akhirnya, keduanya menghela napas panjang.

   "Apa yang akan kita lakukan sekarang?"

   Akhirnya Santiko bertanya kepada adiknya. Bargowo menatap wajah kakaknya.

   "Kurasa benar sekali apa yang dikatakan dimas Aji tadi, kakang Santiko. Kalau di antara kita sampai terjadi bentrokan, bahkan saling serang dan saling bunuh, semua itu hanya untuk membela kepentingan dua orang yang hanya didorong angkara-murka belaka. Mereka sampai melupakan persaudaraan, hanya untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka bahkan rela mengorbankan dan mempertaruhkan nyawa ribuan orang perajurit dan rakyat yang saling berbunuhan."

   Santiko mengangguk.

   "Kalau begitu, mari kita kumpulkan para murid dan kita mempersiapkan diri menghadapi perang saudara, tidak mencampuri perang itu sendiri, tidak berpihak melainkan kita harus siap membela dan melindungi rakyat jelata apa bila mereka diancam oleh perbuatan yang jahat dan penindasan dari mana dan dari siapapun datangnya. Musuh kita adalah kejahatan, seperti yang seringkali kita dengar dari wejangan bapa guru. Kita hanya memihak kebenaran dan menentang kejahatan, tidak mau melibatkan diri dengan perebutan kekuasaan antara para bengsawan."

   Bargowo merangkul kakaknya.

   "Aku setuju dan mentaati perintahmu, kakang Santiko!"

   Keduanya lalu bangkit dan pergi meninggalkan tepi telaga, dan kini wajah mereka berseri dan ada suatu nyala api di dalam sinar mata mereka. Mereka merasa gembira sekali karena telah menemukan jalan tengah yang amat baik, yang membuat bukan saja di antara mereka tidak ada pertentangan, bahkan juga jalan keluar itu akan membebaskan para murid mereka dari perpecahan pula. Mereka mempunyai murid-murid dari berbagai asal-usul, ada yang merasa sebagai kawula Ponorogo, ada yang sebagai kawula Mataram sehingga andaikata kakak beradik ini jadi terpecah, maka di antara para murid mereka akan terjadi perpecahan pula.

   Dengan pasukan yang besar jumlahnya Sang Prabu Hanyokrowati mulai menyerang Ponorogo. Akan tetapi, sebelum penyerangan digerakkan, pihak kadipaten Ponorogo sudah mengetahui akan semua rencana penyerangan itu, karena Nurseta diam-diam telah mengirim berita. Maka, pasukan Ponorogo telah membuat persiapan yang amat baik dan pertahanan dikerahkan ke arah utara untuk menyambut penyerangan yang dipimpin oleh Ki Sinduwening dan para senopati lain.

   
Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sedangkan pertahanan di selatan secukupnya saja karena pasukan Mataram yang menyerbu dari selatan dipimpin oleh Nurseta sendiri, sehingga tidak perlu dikhawatikan. Akan tetapi untuk dapat mengendalikan Nurseta, Sang Adipati Ponorogo memberi tugas kepada Mayaresmi dan Brantoko untuk memimpin pasukan melakukan pencegatan di selatan. Sedangkan Ki Danusengoro, adik seperguruan Ki Sinduwening, memperkuat para senopati Ponorogo untuk menghadang dan menjebak pasukan Mataram yang datang dari utara itu. Di manapun dan kapanpun juga, apapun alasannya, perang sudah pasti menimbulkan kekacauan dan kesengsaraan kepada rakyat jelata.

   Kalau terjadi perang, segala macam jin setan brekasakan seolah berpesta pora, muncul dan menyeret manusia yang menjadi nekat, lupa diri, dipenuhi nafsu dan terjadilah perbuatan-perbuatan yang kejam dan keji, segala macam bentuk kejahatan dilakukan manusia yang berbatin lemah. Karena keadaan dalam kekacaun, pamong praja sedang disibukkan perang, maka tidak ada lagi kekuasaan yang mempertahankan keamanan di antara rakyat jelata. Semua lurah, kepala dusun dan kepala daerah, sibuk dengan perang, juga semua petugas keamanan terjun ke dalam peperangan.

   Maka, hukum tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah hukum rimba, siapa kuat dia akan menang dan siapa menang dia akan benar! Penindasan terjadi di mana-mana, yang pintar menipu yang bodoh, yang kuat memaksakan kehendaknya menekan yang lemah. Yang menang berkuasa dan yang berkuasa mengendalikan hukum untuk memperkuat dan mempertahanklan kekuasaannya, agar hukum-hukum itu dapat membelenggu yang kalah. Kekuasaan Tuhan yang nampak bekerja di seluruh alam semesta merupakan Hukum yang agung, merupakan garis pembatas yang menjamin adanya ketertiban.

   Tanpa adanya hukum atau ketentuan yang sudah teratur dan berjalan rapi itu, alam semesta akan menjadi kacau balau. Hukum Tuhan berujud ketertiban yang mengatur alam semesta, bahkan menjadi syarat kelangsungan hidup. Namun sebaliknya, hukum buatan manusia kadang membelenggu yang berada di bawah, walaupun pada hakekatnya dibuat untuk melindungi yang berada di bawah atau yang lemah. Dalam kenyataan, betapa seringnya terjadi bahwa hukum menjadi senjata dan perisai dari mereka yang menang dan berkuasa. Bahkan banyak terjadi betapa hukum membelenggu kemerdekaan seseorang, tentu saja yang merasa terbelenggu kemerdekaannya itu adalah mereka yang lemah, bukan mereka yang berkuasa. Kekuasaan merupakan puncak yang diperebutkan manusia di dunia ini, karena kekuasaan menjadi sumber segala kesenangan lahir batin.

   Kekuasaan membuka pintu lebar bagi penonjolan diri, kekayaan, kehormatan dan kemuliaan, kekuasaan mendatangkan perasaan bangga diri karena menang dan merasa menang. Kekuasaan menuntut ketaatan mereka yang berada di bawah. Kerena itu amat menyenangkan dan menjadi rebutan. Bukan hanya kekuasaan dari mereka yang menjadi pemimpin dan penguasa pemerintah, melainkan juga kekuasaan ini dirasakan sebagai sumber kesenangan bagi pemimpin kelompok, pemimpin masyarakat, perkumpulan sampai pemimpin keluarga. Kekuasaan selalu mendatangkan kemenangan dan kesenangan. Perebutan kekuasaan inilah yang menimbulkan sengketa, bentrokan, bahkan perang! Perang!

   Betapa mengerikan. Dalam perang nafsu sepenuhnya menguasai manusia. Tidak ada lagi perikemanusiaan. Yang ada hanyalah nafsu untuk menang, dengan cara dan jalan apapun juga. Yang curang dianggap cerdik. Yang kejam dianggap gagah perkasa! Segala cara ditempuh, kelicikan, kekejaman, pembunuhan, siksaan, kecurangan apa saja ditempuh, asal menang! Bahkan Nama Tuhan diperebutkan kedua pihak yang berperang, seolah Tuhan hendak ditarik oleh kedua pihak, diperebutkan agar membantu mereka masing-masing! Perang, puncak kelemahan manusia puncak kekuasaan nafsu atas diri menusia. Penyerbuan pasukan Mataram ke Ponorogo menimbulkan perang saudara yang hebat.

   Di seluruh daerah Ponorogo, suasana menjadi kacau dan keruh. Dalam kesempatan ini, para penjahat bermunculan dan merajalela tanpa kendali tanpa halangan. Nafsu angkara murka dibiarkan meliar. Bukan hanya para penjahat yang berpesta pora mengail di air keruh yang timbul kerena perang. Juga dendam pribadi menuntut balas tanpa ada yang menghalangi karena pihak penguasa sibuk dengan perang. Dalam keadaan itu, kakak beradik Santiko dan Bargowo, pendiri perkumpulan pencak silat Dayatirta, mendapatkan kesempatan untuk berdarma bakti kepada bangsa, yaitu tidak membiarkan diri terseret ke dalam kancah perang saudara antara Mataram dan Ponorogo, melainkan menjadi pelindung rakyat di daerah selatan, menentang perbuatan sewenangwenang.

   Mereka bertindak sebagai pengganti penguasa daerah yang tidak lagi mampu mengurusi keamanan rakyat. Anak buah atau para murid Dayatirta tersebar di mana-mana, selalu siap untuk menentang kejahatan yang mempergunakan kesempatan selagi suasana dalam kacau. Di Pacitan yang terletak di pantai Laut Selatan, penduduknya juga dikecam kegelisahan. Sebagian besar para pemuda daerah itu telah meninggalkan kampung halaman, untuk ikut berperang membantu Ponorogo, dipimpin oleh Demang Pacitan. Yang tinggal di Pacitan hanyalah kaum wanitanya, kanak-kanak dan orang-orang tua. Ketika sering kali terjadi kejahatan merajarela pula di daerah itu, penduduknya dicekam rasa takut.

   Malam itu hujan turun rintik-rintik sejak sore. Semua yang berada di luar rumah basah kuyup. Jalan-jalan menjadi becek dan hawa udara dingin sekali. Tidak ada penduduk Pacitan yang keluar rumah dalam cuaca seperti itu, kecuali mereka yang mempunyai urusan penting. Hanya nampak beberapa orang berjalan tergesa-gesa, melindungi diri mereka dari hujan dan dingin dengan payung atau caping lebar dan baju rangkap. Akan tetapi, kalau orang berada lebih lama di luar dan tidak tergesa-gesa mungkin dia akan dapat melihat beberapa bayangan hitam yang memakai kerudung untuk melindungi diri mereka dari hujan menyelinap di antara rumah-rumah dan pohon-pohon di tepi jalan. Dan ia pun akan melihat serombongan orang memasuki gerbang Pacitan.

   Mereka ini terdiri dari delapan orang, dipimpin seorang pria yang usianya sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti rakasa dengan kulit dan wajah bengis. Mereka melangkah dengan cepat menuju ke arah sebuah rumah mungil yang terletak di ujung barat kotitu. Rumah kecil mungil ini dikenal oleh seluruh penduduk Pacitan kerena penghuninya adalah Suminten yang lebih terkenal dengan nama Madularas, seorang ledhek yang cantik manis, bersuara emas dan pandai menari. Suminten tinggal di rumah itu bersama ibunya yang janda, seorang bibinya yang membantu pekerjaan rumah tangga. Ledhek muda usia bersama ibunya itu dapat tinggal di rumah yang mungil dan berkeadaan cukup kerena Suminten berpenghasilan lumayan.

   Usianya hampir delapan belas tahun, akan tetapi ia masih belum menikah, walaupun lamaran yang datang sudah puluhan kali. Semua lamaran itu ditolaknya dengan halus. Suminttak ingin meninggalkan ibunya yang janda, pula ia masih belum tertarik untuk melayani seorang Begitu tiba di luar rumah mungil itu, lima orang berjaga di sekeliling rumah, dan si raksasa hitam bersama dua orang temannya, ke tiganya bermuka bengis dan memegang golok telanjang, menggedor daun pintu.

   Tiga orang wanita yang berada di dalam rumah itu sudah masuk ke dalam kamar. Suminten memasuki kamarnya sendiri, ibunya dan bibinya masih bercakap-cakap di dalam kamar ibunya. Tiga orang wanita itu menghambur keluar ketika mendengar daun pintu digedor orang sampai lama mereka berdiri berhimpitan di ruangan tengah, memandang ke arah pintu depan dengan mata terbelalak. Siapa yang malam-malam begini, hujan rintik-rintik pula, datang bertamu? Dan cara mengetuk pintu itupun luar biasa, bukan mengetuk melainkan memukul keras-keras. Apa lagi waktu, semua orang di dusun dan kota sudah dicekam perasaan takut dengan adanya perang yang membuat semua tempat menjadi keruh dan orang-orang jahat berani bermunculan dengan ganas.

   "Dor-dor-dorrr""!"

   Kembali daun pintu dipukul kuat-kuat dari luar.

   "Buka pintu!"

   Gedoran pintu itu disusul suara yang parau, yang membuat tiga orang wanita itu menjadi semakin ketakutan.

   "Ibu"". jangan buka".. aku takut""."

   Bisik Suminten sambil merangkul ibunya.

   "Siapa itu?"

   Janda itu memberanikan diri bertanya dari dalam, suaranya cukup lantang namun gemetar.

   "Buka pintu, kami datang untuk mengundang ledhek Madularas bermain di rumah kami!"

   Kata pula suara parau itu. Kedua tangan Suminten yang merangkul ibunya menggigil dan rangkulannya semakin ketat. Ia menggeleng-geleng kepala untuk menyatakan kepada ibunya bahwa ia tidak ingin pergi pada waktu malam gelap dan dingin seperti itu.

   "Ki sanak, harap besok pagi saja Ki sanak datang lagi dan kita bicarakan urusan itu. Malam ini Suminten tidak dapat pergi karena ia agak masuk angin. Besok saja andika datang lagi!"

   "Buka dulu pintunya, biar kami masuk dan kita bicara!"

   Kata pula suara parau itu.

   "Malam sudah larut, dingin dan gelap pula. Besok saja kita bicara""."

   "Dor dor dorrr"".! Buka dulu pintunya, atau ingin kami menjebol dulu daun pintu ini?"

   Bentakan itu disusul pula gedoran yang lebih kuat, membuat daun pintunya terguncang.

   "Nanti sebentar""..!"

   Kata ibu Suminten dengan suara gemetar dan ia mendorong puterinya sambil berbisik.

   "Cepat masuk kamarmu dan palangi pintunya dari dalam!"

   Suminten lari memasuki kamarnya dan menutupkan daun pintu dan memalangkannya dari dalam, lalu ia bersimpuh di atas pembaringannya dengan tubuh menggigil dan menahan tangisnya.

   Karena maklum bahwa kalau ia menolak untuk membuka pintu, orang di luar itu akan menjadi semakin marah dan pintunya tentu akan benar-benar dijebolnya, maka dengan tubuh gemetar, ibu Suminten terpaksa menghampiri daun pintu dan membuka palangnya. Daun pintu terbuka dan masuklah tiga orang laki-laki yang berwajah bengis itu. Mata mereka agak silau oleh sinar lampu gantung karena baru saja mereka masuk dari tempat yang gelap. Mata tiga orang itu jelalatan, memeriksa ke seluruh ruangan itu. Yang nampak hanya dua orang wanita tua.

   "Mana Madularas?"

   Tanya laki-laki raksasa hitam, matanya yang kemerahan itu masih jelalatan.

   "Ia".. ia sedang sakit""

   Masuk angin"""

   Kata ibu Suminten.

   "Suruh ia keluar, aku mau bicara dengannya!"

   Kata pula laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu dengan berang.

   "Tapi ia""

   Ia sakit"""

   "Suruh keluar kataku! Atau kucari sendiri ia dan kuseret keluar?"

   Wanita itu menjadi pucat wajahnya. Belum pernah ia berhadapan dengan laki-laki segalak dan sekasar itu.

   "Tapi ia"".. ia". tidak berada di rumah, ia sedang keluar""""

   Katanya tergagap dan ketakutan.

   "Keparat! Tadi bilang sakit sekarang bilang tidak berada di rumah! Pembohong busuk!"

   Melihat betapa dua orang wanita itu melirik ke arah sebuah kamar yang daun pintunya tertutup, laki-laki itu melangkah ke arah kamar itu.

   "Jangan"". jangan"".. jangan ganggu anakku"""

   Ibu Suminten berteriak dan mencoba menghalangi. Akan tetapi, laki-laki itu menggerakan tangan menampar.

   "Plakk!"

   Demikian kuatnya tamparan yang menganai muka wanita itu sehingga ia terpelanting keras dan terbanting. Kepalanya terbentur lantai dan ia pun pingsan. Bibi Suminten lari pula menghalang, akan tetapi kembali ia roboh oleh tamparan tangan laki-laki raksasa hitam itu sehingga ia pun pingsan di dekat tubuh ibu Suminten.

   "Dor-doorr".. brakkk!"

   Daun pintu itu jebol dan Suminten yang masih bersimpuh di atas pembaringan dengan tubuh menggigil, terbelalak memandang laki-laki yang melangkah masuk ke dalam kamarnya. Ia mengenal laki-laki itu yang bukan lain adalah Ganjur!

   "Kau""

   Mau apa kau"..?"

   Katanya tersendat-sendat, suaranya gemetar, tubuhnya menggigil. Ganjur tertawa menyeringai.

   "Ha-ha-ha, Madularas, aku datang untuk menjemputmu. Engkau akan menjadi milikku selamanya, dan tak seorangpun boleh menghalanginya!"

   "Tidak"""""

   Ti""""

   Akan tetapi Ganjur sudah menubruk dan meringkusnya, memondongnya. Suminten meronta-ronta, menggunakan kakinya menendang-nendang, tangannya mencakar-cakar.

   "Tidak, aku tidak sudi! Lepaskan aku"".., lepaskan"".!"

   Akan tetapi sambil tertawa-tawa, Ganjur memondong tubuh mungil itu di pundak kirinya, dirangkul lengan kirinya yang kokoh kuat, dan tangan kanan masih memegang golok, lalu melangkah keluar dari kamar. Bibi Suminten sudah siuman dari pingsannya dan melihat Suminten menjerit-jerit di pondong Ganjur, ia mencoba bangkit, akan tetapi sebuah tendangan kaki Ganjur membuatnya terjengkang dan terbanting keras, pingsan lagi! Ibu Suminten juga bangkit dan dengan nekat menerjang maju hendak menolong Suminten, akan tetapi Ganjur yang sudah marah itu

   menggerakkan goloknya dan wanita itu roboh mandi darah.

   "Bibi"..! Ibuuuu""..!!"

   Suminten menjerit-jerit melihat bibinya ditendang roboh dan ibunya dibacok sampai mandi darah. Namun, Ganjur membawanya lari keluar diikuti dua orang temannya yang tadi tidak menyia-nyiakan kesempatan dan menyambar barang-barang berharga yang dapat mereka temukan di dalam rumah itu. Setelah tiba di luar, bersama tujuh orang pengikutnya yang kesemuanya adalah warok-warok muda yang bengis dan kuat, Ganjur melarikan Suminten di kegelapan malam. Suminten berteriak dan meronta-ronta.

   "Tolong"""..! Tolooong"""!!"

   Ia menjerit-jerit akan tetapi mulutnya segera dibungkam tangan kanan Ganjur yang besar. Dan pula, andaikata ada yang mendengar teriakannya, siapa berani keluar menolong! Yang ada di dusun itu hanyalah para kakek dan bocah yang lemah! Ganjur sudah tertawa-tawa girang. Merangkul dan memondong tubuh ledek muda yang sudah lama membuatnya tidak dapat tidur nyenyak itu sudah merupakan suatu kesenangan tersendiri.

   Tubuh yang sintal dan kenyal hangat itu menjanjikan kenikmatan yang membakar gairahnya, apa lagi tubuh itu meronta-ronta dalam rangkulannya. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar dusun Pacitan, tiba-tiba muncul tiga sosok bayangan orang yang menghadang mereka. Dua buah obor dinyalakan tiga orang itu dan ditancapkan di bawah pohon besar. Api obor tidak padam karena rintik hujan yang tertahan daun-daun pohon, dan angin dingin yang bersilir membuat api obor menari-nari, menimbulkan bayangbayang yang menyeramkan.

   Dari penerangan itu dapat terlihat bahwa tiga orang yang menghadang itu adalah tiga orang pria yang berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan mukanya brewok, nampak gagah perkasa. Orang ke dua bertubuh sedang wajahnya tampan dan sikap atau gerak-geriknya lembut walaupun juga membayangkan kegagahan. Orang ke tiga bertubuh agak pendek dan perutnya gendut, juga berdiri dengan tegak dan sikapnya gagah dan pemberani. Mereka adalah Santiko, adiknya Bargowo, dan seorang rekan mereka yang menjadi pembantu mereka dalam memimpin perguruan pencak silat Dayatirta.

   "Hemm, kiranya andika, ki sanak. Bukankah andika Si Ganjur, jagoan dusun Beledug? Sungguh tidak kami sangka, seorang jagoan begini rendah untuk berubah menjadi seorang pemimpin perampok dan gerombolan yang menculik seorang wanita!"

   Kata Santiko dengan suaranya yang menggeledek.

   Ganjur juga mengenal wajah kakak beradik yang menjadi pemimpin perguruan Dayatirta itu.

   "Babo-babo!"

   Sumbarnya.

   "Sejak kapan pula orang-orang Dayatirta lancang mencampuri urusan pribadi orang lain?"

   "Toloooong! Dia membunuh bibi dan ibuku!"

   Suminten berteriak sambil menangis.

   "Ganjur, sudah lama kami mendengar bahwa andika adalah seorang yang suka berbuat sewenang-wenang. Sekarang, agaknya menggunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau dan keruh karena perang, engkau tidak segan melakukan kejahatan. Jangan harap andika akan dapat berbuat semena-mena selagi masih ada kami!"

   Kata pula Bargowo dengan suaranya yang lembut namun mengandung kekuatan.

   "Babo-babo, keparat! Bunuh mereka!"

   Bentak Ganjur kepada tujuh orang temannya. Tujuh orang itu sudah menerjang dan mengeroyok tiga orang pimpinan Dayatirta, mengguna- kan kolor atau golok mereka. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kedigdayaan, maka Santiko, Barowo dan temannya harus mengerahkan tenaganya untuk melawan.

   Ganjur sendiri cepat mengikat kaki tangan Suminten, menggunakan kemben yang dipakai gadis itu sendiri, kemudian diapun menggunakan goloknya untuk membantu teman-temannya mengeroyok tiga orang penghalang itu. Terjadilah perkelahian yang seru antara tiga orang pimpinan Dayatirta melawan delapan orang warok muda yang bengis dan ganas itu. Kalau saja mereka itu bertanding satu lawan satu, pihak Ganjur tentu akan kalah. Namun, Ganjur berdelapan, sedangkan lawannya yang dikeroyok hanya bertiga. Selisih tingkat kepandaian mereka tidak banyak, maka tentu saja pihak Santiko dan Bargowo terdesak hebat. Mereka dikepung ketat dan dihujani serangan senjata sehingga ketiganya hanya mampu mengelak dan menangkis dengan keris mereka, tanpa mendapat banyak kesempatan untuk balas menyerang. Ganjur sudah tertawa-tawa mengejek.

   "Bunuh mereka! Bunuh!"

   Teriaknya berulang kali, memberi semangat kepada tujuh orang temannya. Pada saat keadaan menjadi amat gawat bagi keselamatan tiga orang pendekar Dayatirta itu, tiba-tiba nampak bayangan hitam berkebat dan di bawah sinar obor berdirilah seorang ymengenakan pakaian serba hitam, dan mukanya tertutup kedok hitam pula, Si Kedok Hitam ini tidak banyak cakap lagi, dengan sebatang suling di tangannya, dia sudah menerjang ke dalam medan perkelahian dan begitu dia menggerakkan sulingnya, terdengar suara melengking seolah suling itu ditiup, nampak sinar bergulung dan dua orang sudah roboh terpelanting! Melihat datangnya bantuan yang tangguh inim, tentu saja Santiko dan Bargowo menjadi gembira bukan main.

   "Terima kasih, kawan!"

   Kata mereka dan kini mereka menggerakkan keris mereka untuk menyerang Ganjur yang menjadi biangkeladi perkelahian ini. Teman mereka membantu Si Kedok Hitam menghajar lima orang, setelah yang dua orang tadi roboh. Menghadapi seorang di antara kakak beradik itu saja, tentu Ganjur akan kewalahan, apa lagi dikeroyok dua. Dia masih mencoba untuk mengamuk dengan golok besarnya, namun kakak beradik itu terlampau tangkas baginya setelah lewat belasan jurus, akhirnya Ganjur berteriak mengaduh dan roboh dengan dua luka tusukan keris yang membuat dia tewas seketika.

   Si Kedok Hitam tidak merobohkan lawan untuk membunuh, melainkan hanya menghajar mereka dengan pukulan suling atau tangan kiri yang tidak mematikan. Akan tetapi, setelah tujuh orang itu dibuat jatuh bangun, apa lagi melihat betapa Ganjur roboh dan tewas, tujuh orang itupun maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua akan mengalami nasib seperti pemimpin mereka. Larilah mereka tunggang langgang di dalam kegelapan malam, meninggalkan Ganjur yang sudah menjadi mayat.

   "Ki sanak, kami berdua menghaturkan terima kasih kepada andika. Tanpa adanya bentuan andika, kami bertiga rekan kami tentu sudah tewas oleh Ganjur dan teman-temannya. Ganjur melarikan gadis ini dari Pacitan dan melihat perbuatan itu, kami berusaha untuk menolong gadis itu, akan tetapi kepandaian kami terlalu rendah sehingga hampir saja kami gagal bahkan mengorbankan nyawa sendiri."

   Kata Santiko.

   Sementara itu, Bargowo cepat menghampiri Suminten dan melepaskan ikatan kaki tangan gadis itu. Gadis itu masih menggigil dan saking lega hatinya terbebas dari ancaman malapetaka yang baginya lebih mengerikan dari pada maut, iapun merangkul pundak Bargowo dan menangis di dada pemuda perkasa itu. Bargowo mengelus rambut yang halus itu dan membiarkan Suminten menangis di dadanya. Air mata yang hangat terasa di dadanya yang hanya tertutup baju tipis, dan sungguh aneh, baginya seolah air mata itu meresap masuk melalui kulitnya, menembus kulit dan langsung menyiram jantungnya!

   "Sudahlah, nimas, jangan menangis lagi, bahaya telah lewat,"

   Dia menghibur, akan tetapi gadis itu masih sesenggukan di dadanya. Bargowo membiarkannya saja sambil tetap mengelus rambut dikepala yang bersandar di dadanya.

   Sementara itu, Si Kedok Hitam bertanya.

   "Kenapa dia begitu mudah menculik gadis dari kademangan Pacitan?"

   Santiko mengerutkan alisnya.

   "Semua orang muda pergi ke kadipaten Ponorogo untuk menjadi perajurit, maka tidak ada yang dapat menghalangi perbuatan Ganjur dan kawan-kawannya."

   "Dan andika bertiga, kenapa tidak ikut pula ke kadipaten?"

   "Kami tidak mau melibatkan diri dalam perang saudara itu,"

   Jawab Santiko yang teringat akan percakapan dia dan adiknya dengan Banuaji.

   "Ada tugas yang lebih penting bagi kami, yaitu menjaga rakyat dari perbuatan jahat seperti yang dilakukan Ganjur dan kawan-kawannya tadi. Perang saudara penuh dengan kekejaman dan kelicikan, pengkhianatan dan kemunafikan. Dari seorang rekan dalam perkumpulan kami Dayatirta, kami mendengar bahwa senopati muda dari Mataram yang bernama Nurseta itu, yang terkenal gagah perkasa dan diagungkan sebagai senopati Mataram yang dipercaya, ternyata hanyalah seorang pengkhianat pula terhadap Mataram".."

   "Ahh, apa yang terjadi?"

   Tanya Si Kedok Hitam.

   "Dia bersengkongkol dengan Ponorogo dan sekarang dia memimpin pasukan menyerang Ponorogo dari selatan. Ha-ha-ha, sekali ini Mataram kecolongan, tentu saja dia tidak membawa tentaranya menyerbu, bahkan memperkuat pertahanan Ponorogo dengan memukul pasukan Mataram! Kami tidak sudi terlibat dalam urusan yang kotor seperti perang saudara itu."

   "Hemm, sudahlah, itu bukan urusanku. Aku pergi sekarang, harap andika berdua mengantar gadis itu pulang ke rumahnya dan mengurus segalanya dengan baik."

   Sebelum Santiko sempat menahannya, Si Kedok Hitam sudah melompat dan menghilang dalam kegelapan. Pada saat itu, terdengar Suminten menangis dan memanggil nama ibu dan bibinya.

   "Mari kita antar ia pulang, kakang Santiko,"

   Kata Bargowo kepada kakaknya yang masih berdiri tertegun memandang ke arah menghilangnya Si Kedok Hitam. Baru dia sadar dan cepat menghampiri adiknya yang masih merangkul Suminten yang menangis.

   "Baik, akan tetapi bagaimana dengan mayat ini?"

   Dia menuding ke arah mayat Ganjur.

   "Kakang Santiko, kita urus dulu adik ini. Biar mayat Ganjur diurus oleh kawan-kawannya,

   atau kalau kawan-kawannya tidak mau mengurusnya, kita ajak penduduk Pacitan untuk menguburnya. Akan tetapi yang terpenting adalah mengantar adik ini pulang. Aku khawatir keadaan ibunya dan bibirnya."

   Dua orang kakak beradik itu lalu mengantar Suminten yang masih menangis memasuki kademangan Pacitan yang masih sepi dan gelap. Suminten setengah berlari menuju ke rumahnya dan lari masuk ke dalam rumah melalui pintu depan yang masih terbuka. Dua orang kakak beradik bersama seorang rekan mereka mengikutinya dari belakang dan mereka melihat seorang wanita setengah tua menangisi seorang wanita lain yang menggeletak mandi darah.

   "Ibuuu""..! Ah, ibuuu"".!!"

   Suminten menubruk tubuh yang terbujur tak bernyawa lagi itu, merangkul mayat ibunya dan akhirnya ia terkulai lemas pingsan. Gegerlah seluruh penghuni Pacitan ketika mendengar bahwa ibu Suminten terbunuh oleh perampok dan Suminten sendiri diculik oleh Ganjur, nama yang sudah mereka kenal karena pernah Ganjur membuat ribut di Pacitan. Akan tetapi, Suminten dapat ditolong oleh tiga orang pria perkasa yang mengantarnya pulang, bahkan Ganjur tewas di tangan mereka. Para penghuni datang melayat, dan mereka membantu pula pemakaman ibu Suminten. Bahkan beberapa orang laki-laki tua yang masih kuat, membantu Santiko dan Bargowo untuk mengurus jenazah Ganjur yang ternyata tidak diambil oleh kawan-kawannya. Setelah semua beres. Bargowo mengajak Suminten untuk ikut bersama dia dan kakaknya.

   "Kami khawatir kalau-kalau kawan-kawan dari Ganjur datang membuat pembalasan ke sini, nimas, Suminten."

   Kata Bargowo.

   "Sebaiknya, sementara ini sebelum keadaan aman dan penjaga keamanan di Pacitan tersusun kembali, andika ikut bersama kami. Kakang Santiko dan aku serta kawan-kawan kami akan melindungimu."

   Kini Santiko melihat betapa cantiknya ledek muda itu, yang membuatnya merasa kagum dan dia sepenuhnya setuju dengan rencana Bargowo untuk melindungi dan mengajak Suminten ikut mereka untuk sementara.

   "Apa yang dikatakan adikku Bargowo benar, nimas. Apa lagi kalau diingat bahwa Ganjur adalah murid Ki Wirobandot yang sudah terkenal sebagai jagoan di Pacitan. Dia sekarang ikut pula membantu pasukan Ponorogo, akan tetapi kalau dia sudah kembali ke sini dan mendengar tentang kematian anak buahnya, tentu dia tidak mau menerimanya begitu saja, apa lagi mendengar kematiannya adalah karena andika, nimas Suminten."

   Suminten menggunakan sapu tangannya untuk menyusut air matanya, lalu menoleh kepada bibinya dan berkata kepada kedua orang kakak beradik itu.

   "Terima kasih atas limpahan budi andika berdua, kakangmas. Kalau tidak ada andika berdua yang menolong, tentu sekarang saya sudah pergi bersama ibu""."

   Ia menangis lagi. Setelah tenang kembali ia berkata.

   "Saya menerima ajakan andika berdua, akan tetapi bibi saya ini harus ikut dengan saya, karena ia tidak mempunyai keluarga lain, dan saya takut kalau kelak kawan-kawan Ganjur akan mengganggunya karena tidak dapat menemukan saya di sini."

   Wanita berusia empat puluh lima tahun yang bernama Warsinah, sudah janda tanpa anak itu merangkul Suminten dan mereka berdua menangis. Santiko dan Bargowo saling pandang dan mereka tentu saja tidak dapat menolak permintaan yang mereka anggap sudah sepantasanya itu. Demikianlah, pada keesokan harinya, Suminten dan Bibi Warsinah pergi meninggalkan Pacitan bersama tiga orang penolongnya, diajak tinggal di perkampungan para anggota Dayatirta yang selama terjadi perang kini berpusat d dusun Jaten, sebelah selatan Ponorogo.

   Sesuai dengan laporan para penyelidik, Sang Prabu Hanyokrowati dan para senopatinya sudah memperhitungkan sampai di mana kekuatan pasukan Ponorogo, maka penyerangan dilakukan dari tiga jurusan. Dari utara akan menyerbu pasukan yang dipimpin oleh Ki Sinduwening yang dibantu oleh puterinya, yaitu Mawarsih. Gadis perkasa ini tidak mau ketinggalan dan mendesak ayahnya agar ia diperbolehkan ikut membantu ayahnya berperang. Tentu saja ia tidak memberi tahu ayahnya akan isi hatinya yang sesungguhnya. Mawarsih bukan ingin berperang, melainkan pertama sekali tentu saja ingin menjaga dan membantu ayahnya karena kalau ayahnya pergi perang dan ia menanti di rumah seorang diri, ia akan selalu merasa gelisah memikirkan ayahnya. Dan yang ke dua kalinya, setiap saat ia selalu teringat kepada dua orang yang tak pernah meninggalkan hatinya, yaitu Aji dan Si Kedok Hitam!

   Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   

Pedang Awan Merah Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Muka Buruk Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini