Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 12


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 12



Kata ayahnya.

   "Apa susahnya? Ayah tinggal tinggal bilang saja bahwa aku tidak sudi, tidak ingin kawin, habis perkara. Bukan ayah yang menolak, melainkan aku yang tidak suka! Nah, aku akan berkemas karena hari ini juga aku akan pergi ke Loano."

   "Tetapi engkau belum pernah ke Loano yang jauh, Lastri. Juga, engkau baru satu kali bertemu dengan pamanmu, itupun ketika engkau baru berusia tiga tahun. Bagaimana engkau dapat mengenalnya?"

   Cegah Ki Subali.

   "Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu bahwa Loano terletak di selatan. Aku dapat bertanya-tanya orang. Dan ayah sudah menceritakan keadaan Paman Sumali. Wajahnya mirip ayah dan dia seorang gagah yang sakti mandraguna, memiliki senjata istimewa yaitu sebatang suling dan keris. Mudah sekali mengenalnya, bukan?"

   "Lastri, jangan pergi, anakku. Aku tidak akan enak makan dan nyenyak tidur memikirkanmu, takut kalau-kalau engkau menghadapi gangguan."

   Kata ibunya.

   Sulastri merangkul ibunya dengan manja.

   "Aeh, ibu, apakah ibu masih menganggap aku seorang gadis yang lemah? Jangan khawatir, ibu. Aku adalah murid Ki Ageng Pasisiran yang terkasih! Kalau ada orang jahat berani menggangguku dalam perjalanan, berarti mereka itu mencari penyakit. Aku berpamit dengan baik-baik, harap ayah dan ibu suka melepas aku pergi dengan rela. Ayah dan ibu tidak menghendaki aku pergi dengan cara minggat, bukan?"

   Ayah dan ibu itu maklum bahwa tidak mungkin mereka mengubah niat hati puteri mereka yang manja dan keras ini.

   Akhirnya terpaksa mereka membiarkan Sulastri berkemas, membawa bekal kemudian mengantar kepergian gadis itu sampai di luar kota Indramayu sebelah selatan. Demikianlah, seperti kita ketahui, akhirnya dara perkasa yang keras hati ini berhasil juga bertemu dengan pamannya, Ki sumali, bahkan dapat membantu pamannya menghadapi musuh-musuh yang tangguh. Dan kini, Sulastri melakukan perjalanan menuju Galuh ditemani Aji.

   Kalau Sulastri semakin suka dan kagum kepada Aji yang ia lihat berbeda dari kebanyakan pemuda yang kalau memandang kepadanya mata mereka membayangkan gairah dan sikap mereka menjadi kurang ajar, di lain pihak Aji juga diam-diam kagum kepada gadis itu. Dia melihat bahwa Sulastri benar-benar seorang dara yang perkasa, tidak pemalu, sama sekali tidak lemah dan tidak cengeng walaupun terkadang agak manja. Seorang dara perkasa yang masih amat muda namun cerdik dan pemberani, juga yang dapat menghadapi segala kesukaran dengan sikap yang selalu lincah jenaka. Terkadang dara itu bersikap ugal-ugalan dan kekanak-kanakan, akan tetapi harus dia akui bahwa semua sepak terjang Sulastri menyeretnya ke dalam suasana yang menggembirakan.

   Dia yang biasanya memandang dunia ini dengan sikap serius, kini seolah baru terbuka matanya bahwa di dunia ini orang dapat memandang dunia ini sebagai sebuah tempat yang indah dan serba menggembirakan. Apapun yang terjadi kepada mereka, gadis itu selalu dapat menanggapinya dengan gembira yang tidak dibuat-buat, melainkan dapat menerima apa adanya dan selalu dapat mengambil yang terbaik dan yang paling menggembirakan dari keadaan itu.

   Seperti Misalnya ketika mereka kehujanan sampai basah kuyup dan mereka berlari-lari mencari tempat untuk meneduh, gadis itu tertawa-tawa gembira.

   "Wah, mengingatkan aku ketika aku masih kecil dan berhujan-hujan, alangkah senangnya!"

   Dan ketika mereka memasuki guha, membuat api unggun untuk menahan dingin, Sulastri berkata.

   "Untung sekali udara dingin menusuk tulang sehingga berapi-api begini terasa nyaman bukan main!"

   Ketika mereka berteduh di bawah pohon rindang di tengah hari yang terik panas membakar, iapun berkata dengan wajah ceria.

   "Wah, beruntung siang hari ini demikian panasnya sehingga kita dapat berteduh di sini menikmati kipasan angin dan sejuknya bayangan daun daun pohon!"

   Pendeknya, Aji tidak pernah mendengar dara itu berkeluh kesah. Dalam segala keadaan ia tetap bergembira dan tidak pernah mengeluh. Apalagi setelah mereka semakin akrab dan saling mengenal, baru Aji mengetahui bahwa selain memiliki aji-aji kesaktian, dara inipun pandai sekali bertembang dengan suara merdu, mengenal seni tari, dan pengetahuannya tentang sastera juga cukup luas. Sungguh merupakan seorang gadis yang memiliki banyak keahlian, cantik jelita bertubuh indah, sakti mandraguna, gagah perkasa dan cerdik lagi pandai. Seorang gadis pilihan di antara seribu dan sukar dicari keduanya! Selain ini, kiranya baru Sang Puteri Wandansari saja yang dapat disejajarkan dengan Sulastri!

   Aji sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dara yang setiap hari bersamanya itu mempunyai hubungan dekat dengan orang-orang yang hendak dicarinya, yaitu kakak tirinya Hasanudin dan putera gurunya yang bernama Sudrajat! Memang Sulastri yang merasa kesal kepada dua orang itu tidak pernah bercerita kepada Aji tentang mereka berdua. Ia hanya menceritakan bahwa gurunya bernama Ki Ageng Pasisiran, seorang pertapa di pantai Laut Utara, di daerah Indramayu.

   Pada suatu pagi yang cerah, tibalah mereka di dataran rendah yang penuh dengan hutan. Ada yang cukup baik untuk dapat dilalui dengan cepat. Di kanan kiri terbentang sawah yang luas dan subur kehijauan dan di depan tampak hutan yang lebat. Pagi yang cerah, matahari yang hangat itu mendatangkan kegembiraan dalam hati Sulastri.

   "Mas Aji, mari kita berlumba balap kuda. Aku teringat bahwa tidak jauh lagi, di tengah hutan depan itu atau di sebelah sananya, terdapat Kali Serayu. Mari kita berlumba siapa yang dapat lebih dulu tiba di tepi sungai!"

   Aji tersenyum, hanyut dalam kegembiraan yang dipancarkan wajah yang cantik itu. Pagi tadi Sulastri mandi di sebuah sungai yang airnya jernih sekali. Dengan menutup tubuhnya dengan tapih pinjung yang ujungnya dikaitkan di dada, dara itu mandi dengan gembira dan tanpa rikuh-rikuh lagi mengajak mandi pula! Ternyata Sulastri dapat juga berenang walaupun bukan ahli. Ia mandi dan mencuci rambutnya yang hitam panjang sampai ke punggung. Setelah puas mandi dan bertukar pakaian di balik batu besar, dara itu tampak segar dan semakin ayu manis merak ati. Rambutnya dibiarkan terurai agar kering, wajahnya tampak putih mulus kemerahan, matanya bersinar-sinar penuh semangat hidup, bibirnya selalu merekah dengan senyum manis. Setelah menunggang kuda beberapa lamanya dan rambutnya yang berkibar itu dikeringkan oleh angin, kini ia menggelung rambutnya dengan sederhana namun membuatnya tampak lebih dewasa.

   "Hai, Mas Aji jangan melamun. Aku hitung sampai tiga dan kita mulai berlumba. Siap! Satu-dua-tiga........!"

   Sulastri sudah membedal kudanya yang melompat jauh ke depan lalu membalap dengan cepat.

   Aji tersenyum dan membalapkan kudanya pula. Dia merasa yakin bahwa kalau dia bersungguh-sungguh, kuda yang ditungganginya pasti mampu mengalahkan kuda yang dirunggangi Sulastri. Kudanya adalah pemberian Sultan Agung, seekor kuda Arab yang kuat dan dapat berlari cepat sekali. Akan tetapi dia sudah mulai mengenal watak dara itu. Seorang dara yang keras hati dan dara seperti itu tidak mudah mengaku kalah! Bahkan kalau dikalahkan mungkin saja hatinya akan menjadi jengkel! Biarlah lebih baik membiarkan Sulastri yang menang karena dengan demikian gadis itu tentu akan senang hatinya. Maka diapun membatasi kecepatan larinya kuda dan hanya mengikuti dari belakang dalam jarak sekitar lima puluh meter. Cukup jauh akan tetapi dia masih dapat melihat bayangan gadis di atas kuda itu, setidaknya dia masih dapat melihat kepulan debu yang ditimbulkan keempat kaki kuda itu.

   Mereka berdua sudah memasuki daerah berhutan. Aji melihat bayangan gadis itu lenyap, membelok di sebuah tikungan jalan. Dia membedal kudanya untuk mengejar lebih dekat karena daerah yang cukup gawat karena biasanya di tempat seperti itu munculnya orang-orang jahat yang suka mengganggu orang lewat.

   Setelah dapat melihat lagi Sulastri yang duduk di atas kudanya yang membalap, tiba-tiba terdengar seruan nyaring gadis itu dan Aji melihat betapa kuda yang ditunggangi Sulastri terjungkal! Dia terkejut sekali akan tetapi legalah hatinya ketika dia melihat tubuh Sulastri itu tidak terbawa jatuh. Tubuh gadis itu melayang ke atas, berjungkir balik di udara sampai lima kali lalu gadis itu dengan ringannya turun dan hinggap di atas tanah. Bukan main tangkasnya gerakan itu, tangkas dan indah sekali sehingga Aji merasa kagum bukan main. Akan tetapi dia juga merasa khawatir karena terjungkalnya kuda yang ditunggangi Sulastri pasti ada sebabnya. Aji membalapkan kudanya dan setelah tiba di tempat itu, cepat dia menghentikan kudanya dan melompat, langsung tubuhnya melayang turun dekat Sulastri.

   "Engkau tidak apa-apa, Lastri?"

   Tanyanya khawatir.

   Sulastri menggeleng kepala, mengerutkan alisnya memandang ke depan dan berkata sambil mengertakkan giginya.

   "Keparat, agaknya mereka itulah yang merobohkan kudaku!"

   Aji memandang ke arah depan dan diapun melihat empat orang melangkah perlahan menghampiri mereka. Kuda yang tadi ditunggangi Sulastri telah menggeletak tak bergerak, agaknya telah mati. Ketika Aji mengenal tiga orang di antara empat orang yang melangkah perlahan menghampiri mereka, dia terkejut. Tiga orang yang dikenalnya dengan baik itu bukan lain adalah Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad, dan Nyi Maya Dewi! Sedangkan seorang lagi laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang gagah dan tampan, berpakaian mewah, yang tidak dikenalnya.

   Sulastri juga segera mengenal Aki Somad dan Nyi Maya Dewi, dua orang yang pernah menjadi lawan ketika ia membantu Ki Sumali dan gadis inipun maklum bahwa ia dan Aji berhadapan dengan lawan yang tangguh. Akan tetapi karena ia merasa mampu melawan Nyi Maya Dewi, sedangkan ia tahu bahwa Aji juga mampu melawan Aki Somad, hatinya besar dan ia memandang dengan berani dan marah. Ia sama sekali tidak mengenal Ki Harya Baka Wulung dan pria berpakaian mewah itu, tidak tahu bahwa Ki Harya Baka Wulung adalah seorang yang sakti mandraguna, tidak kalah digdayanya dibandingkan Aki Somad sendiri sehingga mereka tentu saja merupakan lawan yang amat berat dan bernahaya.

   Aji tahu akan hal ini, namun dia tetap bersikap tenang. Dia hendak memperingatkan Sulastri akan lawan-lawan yang berbahaya itu, akan tetapi dia tidak dapat mencegah Sulastri yang telah mendahuluinya. Gadis itu melangkah maju dan dengan suara lantang ia sudah memaki sambil menudingkan telunjuknya ke arah hidung Nyi Maya Dewi.

   "Heii, nenek genit tak tahu malu, iblis betina Maya!"

   Sulastri sudah mendengar dari Aji bahwa wabita cantik genit itu bernama Maya Dewi, akan tetapi ia sengaja memanggilnya Iblis Betina Maya.

   "Sungguh mukamu tebal sekali. Engkau sudah kalah, kini muncul mengandalkan banyak orang, bahkan dengan curang sekali menyerang dan membunuh kudaku! Kalau kamu bukan pengecut hina yang tidak tahu malu, hayo lawan aku. Jangan sebut aku Sulastri kalau pedang pusakaku Naga Wilis ini tidak akan memenggal batang lehermu!"

   Aji mengerutkan alisnya. gadis itu pemberani, akan tetapi sekali ini benar-benar sembrono dan terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Dia tahu benar bahwa mereka berdua saat ini berada dalam ancaman bahaya besar.

   Melawan Ki harya Baka Wulung atau Aki somad dia masih sanggup kalau satu lawan satu, akan tetapi kalau mereka berdua maju berbareng, sungguh merupakan lawan yang teramat tangguh dan berat. Dia tahu pula bahwa tingkat kepandaian Sulastri berimbang dengan tingkat Nyi Maya Dewi, bahkan Sulastri mungkin akan dapat mengatasinya, akan tetapi di sana ada seorang laki-laki yang tampak gagah perkasa dan mudah dilihat bahwa dia pasti bukan orang lemah!

   Nyi Maya Dewi tertawa, suara tawanya masam dan jelas bahwa ia mencoba untuk menyembunyikan kemarahannya di balik sikap mengejek dan tertawa itu.

   "Bocah lancang dan sombong, engkaulah yang sekarang harus mati ditanganku. Engkau tidak akan dapat meloloskan diri dari kematian. Sayang, engkau harus mati dalam usia begini muda!"

   Dengan gerakan perlahan penuh ancaman, dan mulutnya menyeringai penuh ejekan, Nyi Maya Dewi melolos sabuk cindenya. Sabuk Cinde Kencana itu berkilauan ketika tertimpa sinar matahari yang menerobos di antara celah-celah dedaunan. Akan tetapi Sulastri juga sudah mencabut pedangnya dan tampak sinar hijau menyilaukan mata.

   Akan tetapi pada saat itu, laki-laki tampan gagah berusia empat puluhan tahun itu berkata, suaranya lembut dan kata-katanya teratur seperti biasanya kaum menak (priyayi) bicara.

   "Nyi Maya Dewi, perlahan dulu dan tahan kemarahanmu. Aku merasa sayang sekali kalau dara ayu manis merak ati ini terbunuh. Aku menginginkan ia dapat ditawan hidup-hidup dan tidak sampai cidera berat."

   "Andika menginginkannya, raden?"

   Kata Nyi Maya Dewi.

   "Ia ini seperti seekor kuda betina liar. Tidak mudah untuk menangkapnya hidup-hidup, maka andika harus membantuku."

   "Mari kita berdua menangkapnya!"

   Laki-laki itu mencabut sebatang golok bergagang emas.

   "Aku akan menahan pedangnya dan andika yang membuatnya tidak berdaya."

   "Baik, Raden, akan tetapi jangan melupakan aku kalau gadis itu sudah berhasil kaudapatkan!"

   Mendengar percakapan antara dua orang itu, Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Jahanam-jahanam busuk!"

   Bentaknya dan gadis itu sudah menerjang maju menyerang laki-laki itu. Yang diserang menggerakkan goloknya yang bergagang emas.

   "Trang.......!!"

   Bunga api berpijar ketika pedang bertemu golok dan laki-laki itu tampak terkejut bukan main ketika dia merasa betapa tangannya yang memegang golok tergetar hebat, tanda bahwa gadis muda itu memiliki tenaga sakti yang kuat bukan main. Akan tetapi pada saat itu, sinar keemasan menyambar ke arah pundak Sulastri. Gadis ini maklum bahwa Nyi Maya Dewi menyerangnya dari samping, maka ia cepat mengelak dan memutar pedangnya membalas.

   Segera dara perkasa itu dikeroyok dua dan ia mengamuk, memutar pedangnya sehingga pedang Nogo Wilis itu berubah menjadi gulungan sinar hujau. Sementara itu, Aji sudah dihadapi dua orang kakek sakti itu. Dia berdiri dengan sikap tenang walaupun hatinya mengkhawatirkan keselamatan Sulastri yang dikeroyok dua.

   "Heh, orang muda! Dahulu andika menggagalkan kami membunuh Puteri Wandansari! Sekarang tiba saatnya kami membunuhmu atas dosamu mencampuri urusan kami dan menggagalkan usaha kami!"

   Kata Ki harya Baka Wulung dengan suara nyaring sambil mencabut kerisnya yang besar berluk sembilan.

   "Ki Harya Baka Wulung, aku telah mendengar dari sang puteri siapa sebenarnya andika. Kalau andika memusuhi Mataram sebagai seorang tokoh Madura, hal itu masih dapat kumengerti. Akan tetapi sekarang andika bergabung dengan Aki Somad ini dan Nyi Maya Dewi! Tidak tahukah andika siapa mereka? Mereka adalah telik sandi (mata-mata) Kumpeni Belanda, menjual tanah air kepada bangsa asing?"

   "Orang muda sombong, tutup mulutmu! Kami semua adalah musuh-musuh Mataram. Siapa yang memusuhi Mataram adalah sekutu kami. Bersiaplah engkau untuk mampus di tanganku!"

   Bentak Aki Somad yang menjadi marah sekali dan langsung saja dia sudah menggerakkan senjatanya tongkat ular kering, menyerang dengan tusukan ke arah tenggorokan Aji.

   Senjata kakek ini berbahaya sekali karena tongkat ular kering itu amat beracun. Sekali kulit tergores robek sudah cukup untuk mendatangkan kematian karena keracunan. Maklum akan ketangguhan lawan ini, apa lagi di situ masih ada Ki Harya Baka Wulung, Aji cepat mencabut keris pusaka Kyai Nogowelang pemberian Sultan Agung dan diapun bergerak dengan ilmu silat Alap-alap sakti yang dirangkainya sendiri. Ilmu silat ini berdasarkan gerakan burung alap-alap ketika berkelahi melawan ular, mengandalkan kegesitan dan loncatan-loncatan seperti terbang. Karena tubuh Aji sudah terlatih baik dalam kelincahan ilmu silat Wanara Sakti yang dipelajarinya dari Resi Tejo Budi, maka dia dapat mainkan ilmu silat Alap-alap Sakti dengan baik sekali. Dengan gerakan yang amat gesit, mudah saja dia menghindarkan tiga kali serangan berturut-turut yang dilakukan Aki Somad dengan elakan, bahkan segera membalasnya dengan tendangan kakinya yang mencuat dari samping dan hampir saja mengenai lambung Aki somad yang menjadi terkejut sekali. Kalau dia tidak cepat membuang dirinya ke samping, tentu lambungnya terkena sambaran kaki pemuda itu. Melihat Aki Somad sudah mulai bertanding melawan pemuda yang dia tahu amat digdaya itu, Ki Harya Baka Wulung cepat menggerakkan kerisnya mengeroyok Aji.

   Seperti kita ketahui, Ki Harya Baka Wulung adalah seorang tokoh Madura yang mendendam terhadap S Mataram. Bukan itu saja karena Mataram telah menundukkan seluruh Madura, akan tetapi terutama sekali karena putera tunggalnya yang amat disayangnya, yang bernama Dibyasakti, telah tewas dalam pertempuran melawan pasukan Mataram. Dia bersumpah untuk membalas dendam dengan memusuhi Mataram. Berbagai upaya dilakukan.

   Setelah Madura jatuh dan kalah melawan Mataram, Ki Harya Baka Wulung mati-matian membantu Surabaya dan Giri melawan Mataram, bersama dua rekannya, yaitu Wiku Menak Koncar datuk dari Blambangan dan Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten. Usahanya ini gagal pula karena Surabaya dan Giri juga jatuh dan menakluk kepada Mataram. Semua kegagalan ini bahkan membuat kebencian dan dendam dalam hatinya terhadap Mataram semakin menjadi-jadi. Dia tidak pernah putus asa dalam usahanya membalas dendam, kepada Sultan Agung pada khususnya. Dia sudah berusaha untuk membujuk Adipati Cakraningrat, yang dahulu bernama Prasena putera Adipati Tengah Arisbaya dan telah diangkat oleh Sultan Agung menjadi adipati seluruh Madura, untuk memberontak. Akan tetapi muridnya ini menolak dan tetap setia kepada Mataram.

   Akhirnya Ki Harya Baka Wulung mengajak Wiku Menak Koncar dari Blambangan untuk membunuh Puteri Wandansari, puteri Sultan Agung yang menikah dengan Pangeran Pekik Adipati Surabaya, selain untuk membuat Sultan Agung berduka juga untuk membuat hubungan antara Mataram dan Surabaya menjadi renggang. Akan tetapi usaha ini bukan hanya gagal karena Puteri Wandansari dibantu Aji, bahkan Wiku Menak Koncar tewas di tangan Puteri Wandansari! Semua kegagalan ini tidak membuat Ki Harya Baka Wulung mundur. Ketika dia bertemu dengan Aki Somad dan dibujuk untuk membantu Kumpeni Belanda, dia segera menerimanya dengan senang. Sama sekali bukan karena dia suka menjadi antek Belanda. Tidak, dia sendiri juga membenci bangsa Belanda.

   Akan tetapi karena dia melihat betapa Mataram bermusuhan dengan Kumpeni Belanda, maka dengan membantu Belanda dia mendapatkan kesempatan untuk membalas dendamnya kepada Mataram! Dendam kebencian selalu merupakan racun yang merusak pertimbangan akal budi dan menghilangkan kebijaksanaan. demi pelampiasan dendam kebencian, orang tidak segan-segan melakukan segala cara!

   Kini, menghadapi Aji yang dia tahu sebagai seorang yang setia kepada Mataram dan pernah membela Puteri Wandansari, Ki Harya Baka Wulung menjadi marah sekali. Tanpa memperdulikan lagi kehormatan diri seorang datuk besar yang biasanya merasa malu dan pantang melakukan pengeroyokan, apa lagi terhadap seorang pemuda, Ki harya Baka Wulung mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk merobohkan Aji.

   Akan tetapi ternyata pemuda itu tidak mudah dikalahkan begitu saja. Gerakannya tangkas, ringan dan juga tenaga saktinya kuat sekali. Dengan Aji Bayu Sakti, gerakan Aji seperti angin saja, tubuhnya berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua orang pengeroyoknya yang sudah tua. Juga keris di tangannya adalah sebuah pusaka ampuh, ditambah lagi Aji Surya Candra yang terkandung dalam tenaganya membuat kedua orang kakek itu terkadang sampai terhuyung apabila terpaksa mengadu tenaga. Dua orang kakek itu maklum bahwa percuma saja menggunakan kekuatan sihir mereka karena semua sihir itu tidak mempan terhadap pemuda luar biasa ini. Mereka mengandalkan pengeroyokan untuk mendesak Aji. Berulang-ulang tongkat ular kering di tangan Aki Somad dan keris besar di tangan Ki Harya Baka Wulung bertemu dengan keris pusaka Nagawelang di tangan Aji.

   Setiap kali beradu senjata, bunga api berpijar dan setelah beberapa kali bertemu keris, ujung tongkat ular kering di tangan Aki Somad patah! Hal ini membuat pertapa dari Nusakambangan itu terkejut dan marah sekali. Akan tetapi dia tetap tidak mampu mendesak Aji yang memiliki pertahanan amat kuatnya. Pertandingan antara Aji dan dua orang kakek itu berlangsung seru dan mati-matian.

   Yang gawat keadaannya adalah Sulastri. Sesungguhnya bahwa dara yang berusia delapan belas tahun ini telah mendapatkan gemblengan hebat dari Ki Ageng Pasisiran selama delapan tahun dan telah menguasai aji kanuragan yang amat hebat. Akan tetapi, dalam usianya yang masih muda itu ia belum memiliki banyak pengalaman dan sekali ini ia berhadapan dengan dua orang lawan yang amat tangguh. Kalau saja ia harus bertanding satu lawan satu dengan kedua orang pengeroyoknya itu, agaknya ia masih akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan itu, setelah mengadakan perlawanan mati-matian, akhirnya ia mulai terdesak juga.

   Tingkat kepandaian Sulastri tak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian Nyi Maya Dewi sehingga melawan wanita itu saja keadaannya berimbang. Kini dikeroyok oleh seorang lawan yang juga amat tangguh, yang tingkat kepandaiannya hanya sedikit di bawah mereka, tentu saja Sulastri menjadi kewalahan. Laki-laki tinggi kurus, tampan gagah berusia empat puluh tahun itu adalah seorang tokoh yang kini menjadi ketua Perguruan Dadali Sakti menggantikan guru atau ketua perguruan itu yang meninggal dunia karena usia tua. Dia bernama Raden Banuseta yang tinggal di Galuh.

   Kita masih ingat bahwa Raden Banuseta ini bukan lain adalah orang yang dulu membunuh Harun Hambali dan Ujang Karim di dusun Gampingan dekat pantai Laut Kidul. Raden Banuseta adalah putera mendiang Aom Bahrudin, seorang menak (priyayi) di Galuh yang terbunuh oleh Harun Hambali karena dia merampas dan memperkosa isteri Harun sehingga wanita itu membunuh diri. Harun membalas kematian isterinya itu dengan membunuh Aom Bahrudin sehingga dia terpaksa melarikan diri meninggalkan Galuh karena dikejar-kejar.

   Ketika hal itu terjadi, Raden Banuseta berusia kurang lebih dua puluh tahun. Raden Banuseta tentu saja mendendam kepada Harun Hambali. Dia memperdalam ilmu silatnya di Perguruan Dadali Sakti. Setelah menjadi seorang yang digdaya, mulailah dia pergi mencari pembunuh ayahnya. Akhirnya, setelah belasan tahun ayahnya terbunuh, dia dapat menemukan Harun Hambali di dusun Gampingan dan membunuhnya, bersama teman Harun yang bernama Ujang Karim. Sudah lama Raden Banuseta berkenalan, bahkan berhubungan sebagai kekasih gelap dengan Nyi Maya Dewi.

   Karena itu, ketika wanita itu membujuknya untuk membantu Kumpeni Belanda, dia setuju dan diam-diam Raden Banuseta juga menjadi komplotan yang mendukung Kumpeni Belanda memusuhi Mataram. Ketika dia berkunjung ke Nusakambangan untuk bertemu dengan Nyi Maya Dewi dan Aki Somad, kebetulan Ki Harya Baka Wulung juga datang berkunjung. Mendengar akan kekalahan Aki Somad dan Nyi Maya Dewi yang membantu Gerombolan Gagak Rodra melawan Ki Sumali yang dibantu Aji dan Sulastri, maka mereka berempat lalu bersepakat untuk menuntut balas dan kebetulan sekali di tengah perjalanan mereka melihat Aji dan Sulastri yang sedang menuju ke barat. Di dalam hutan di lembah Sungai Serayu ini mereka lalu menghadang sehingga terjadilah pertempuran itu.

   "Heeiiiitttt.......!"

   Sulastri berseru dengan suara melengking nyaring. Pedangnya menjadi sinar hijau yang menyambar ke arah Raden Banuseta, meluncur ke arah leher pria itu. Raden Banuseta terkejut, maklum akan hebatnya serangan ini karena tadi beberapa kali dia sudah merasakan betapa kuatnya tenaga gadis itu ketika senjatanya bertemu pedang. Serangan itu demikian cepat sehingga tidak mungkin menghindarkan diri dengan elakan. maka terpaksa dia menyambut lagi dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya.

   "Tranggggg.......!! Maya, cepat.......!"

   Raden Banuseta yang menangkis pedang itu terpental dan terhuyung, akan tetapi selagi Sulastri mengejarnya dengan tusukan pedangnya, Nyi Maya Dewi dari belakang sudah menggerakkan sabuk cinde kencana. Sulastri dapat merasakan sambaran angin dari belakang itu. Ia membalikkan pedangnya, tidak jadi menusuk pria yang sudah terdesak itu, melainkan menggerakkan ke belakang untuk menangkis sabuk cinde kencana.

   "Plakkk!"

   Ujung sabuk cinde yang lemas itu membelit pedang. sulastri mengerahkan tenaga dan hendak menarik pedangnya untuk membikin putus sabuk itu, akan tetapi pada saat itu Raden Banuseta sudah mengeluarkan sehelai kain berwarna merah dan sekali dia mengebutkan kain merah itu ke arah muka Sulastri, ada debu berwarna merah mengepul dan mengenai muka gadis itu. Sulastri yang tidak mengenal serangan ini, terkejut dan tanpa dapat dicegah lagi, ia telah menyedot debu merah ini ketika bernapas. tiba-tiba pandang matanya menjadi gelap dan iapun terkulai roboh. Raden Banuseta Melihat gadis itu sudah dapat ditawan, Nyi Maya Dewi membentak ke arah Aji yang masih bertanding melawan pengeroyokannya dua orang kakek sakti.

   "Lindu aji menyerahlah kalau tidak ingin melihat gadis ini kami bunuh di depan matamu!"

   Aji melirik dan terkejut bukan main melihat Sulastri terkulai lemas dalam rangkulan laki-laki berpakaian mewah itu.

   Dia menjadi serba salah. Dia tahu bahwa wanita itu seorang yang amat kejam, seorang yang melatih diri dengan ilmu keji sehingga tega untuk membunuhi anak-anak dengan menyedot habis darah mereka. Tentu ancaman wanita itu bukan kosong belaka. Dia akan menyesal selama hidupnya kalau dia tidak menyerah kemudian mereka benar-benar membunuh Sulastri di depan matanya. Sedangkan kalau dia menyerah, walaupun dia belum tahu bagaimana nanti jadinya dengan dirinya dan Sulastri, setidaknya dia masih mempunyai harapan untuk kemudian berusaha membebaskan dan menyelamatkan Sulastri. Maka, diapun cepat melompat ke belakang dan berkata.

   "Aku menyerah. Jangan bunuh gadis itu!"

   Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung menghentikan serangan mereka. Mereka lebih suka melihat pemuda itu menyerah karena mereka tadi merasa betapa sukarnya mengalahkan pemuda yang memiliki kepandaian hebat itu.

   "Aji, kalau engkau benar-benar menyerah, lemparkan kerismu ke sini!"

   Perintah Nyi Maya Dewi. Wanita ini bersikap sebagai pimpinan dan memang sesungguhnyal ah, dalam hal bekerja untuk Kumpeni Belanda, wanita ini merupakan orang penting. Ia yang berhubungan langsung dengan para pembesar Kumpeni Belanda di Batavia, dan ia pula yang melaksanakan perintah Kumpeni dan menyampaikannya kepada para tokoh lain. Biarpun Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari Nyi Maya Dewi, akan tetapi dalam hal bekerja membantu Kumpeni, wanita itu menjadi atasan mereka!

   Melihat keadaan Sulastri yang agaknya pingsan, terkulai dalam rangkulan laki-laki yang tidak dikenalnya itu, Aji terpaksa lalu berkata.

   "Nyi Maya Dewi, aku mau menyerah, akan tetapi janjilah dulu bahwa gadis itu tidak akan diganggu!"

   Biarpun janji orang-orang yang telah menjadi antek Kumpeni Belanda ini sama sekali tidak boleh dipercaya, akan tetapi dalam keadaan tidak berdaya seperti itu, demi menyelamatkan Sulastri, Aji minta wanita itu berjanji.

   Aji lalu melemparkan kerisnya sambil mengerahkan tenaga dan keris itu meluncur cepat sekali menjadi sinar berkeredep menuju ke arah kaki wanita itu. Nyi Maya Dewi terkejut bukan main, tidak sempat mengelak. Keris meluncur terlalu cepat, bagaikan kilat menyambar.

   "Celak.......!"

   Ia menjerit dan matanya terbelalak, mukanya pucat.

   "Sing....... cappp.......!!"

   Keris Kyai Nogowelang itu menancap di atas tanah sampai ke gagangnya, hanya beberapa senti di depan kaki Nyi Maya Dewi. Lontaran ini saja membuktikan bahwa kalau Aji menghendaki, keris itu tidak menancap di tanah, melainkan dapat menancap di tubuh wanita itu! Diam-diam perbuatan Aji ini mengandung peringatan kepada para antek Kumpeni Belanda itu agar mereka tidak main-main dengannya dan agar memegang janji tidak akan membunuh Sulastri!

   Setelah Nyi Maya Dewi dapat menenangkan lagi hatinya yang tadi terguncang, ia membungkuk dan mencabut keris yang menancap di tanah itu. Ia mengamati keris itu lalu mendekati Ki Harya Baka Wulung.

   "Paman Harya, apakah andika mengenal pusaka ini?"

   Ki Harya Baka Wulung menerima keris itu dari tangan Nyi Maya Dewi, mengamatinya lalu dia berseru sambil memandang kepada Aji.

   "Keris seperti ini merupakan pusaka Mataram, pasti milik Sultan Agung dan hanya diberikan kepada para senopatinya!."

   "Kalau begitu dia seorang senopati Mataram! Tunggu apa lagi?"

   Aki Somad berseru dan dia sudah mengangkat tongkat ularnya. Juga Ki Harya Baka Wulung sudah mencabut lagi kerisnya. Agaknya dua orang kakek ini hendak menyerang Aji yang kini sudah tidak memegang senjata itu.

   "Hemm. aku tahu bahwa kalian hanyalah pengecut-pengecut curang!"

   Bentak Aji dan diapun sudah siap menghadapi dua orang lawan itu, walaupun dia tidak memegang senjata. Akan tetapi pada saat itu Nyi Maya Dewi sudah melompat ke depan dua orang kakek itu.

   "Tahan! Paman berdua andika tidak boleh membunuh dia! Dia adalah senopati Mataram dan merupakan seorang tawanan yang teramat penting. Tuan Besar Jenderal tentu akan senang sekali mendapatkan tawanan ini dan merupakan jasa besar sekali kalau kita dapat menyerahkan dia hidup-hidup kepada Kumpeni."

   Mendengar ucapan Nyi Maya Dewi itu, Aki Somad dan Ki Harya Baka Wulung menyimpan kembali senjata mereka. Mereka maklum bahwa dalam hal ini mereka harus menaati

   semua perintah Nyi Maya Dewi yang merupakan pemimpin mereka. Nyi Maya Dewi menjadi pemegang dinar emas yang ada gambarnya dua ekor singa sebagai tanda bahwa ia telah mendapatkan kepercayaan besar dari para pimpinan Kumpeni Belanda di Batavia.

   "Nyi Maya Dewi, aku menyerah. karena itu kuharap engkau suka menyerahkan Sulastri kepadaku. Ia kelihatan pingsan, biarkan aku merawat dan menyadarkannya."

   Kata Aji ketika melihat Sulastri masih terkulai dalam rangkulan laki-laki itu.

   "Maya, jangan serahkan gadis ini kepadanya! Ia milikku, aku akan membawanya pergi dulu!"

   Kata Banuseta sambil mengangkat tubuh Sulastri yang masih pingsan dan memondongnya. Mendengar dan melihat ini, Aji terkejut bukan main.

   Dia merasa tertipu. Tadi Nyi Maya Dewi berjanji tidak akan membunuh Sulastri, akan tetapi orang laki-laki itu dapat melakukan bencana yang lebih hebat dari pada kematian bagi gadis itu! Dia lalu membentak dengan suaranya yang mengandung penuh getaran dan penuh wibawa karena dia mengerahkan tenaga saktinya.

   "Kalau Sulastri diganggu, aku bersumpah utnuk melawan samapi mati dan akan membunuh kalian semua!"

   Aji bersiap melompat dan menerjang Banuseta.

   Melihat ini, Nyi Maya Dewi lalu cepat berkata kepada kekasihnya itu.

   "Raden, lepaskan dulu gadis itu!"

   "Tapi, Maya.......

   "

   Banuseta terkejut dan hendak membantah.

   "Lepaskan kataku!"

   Banuseta tidak berani membantah lagi dan dia melepaskan tubuh Sulastri sehingga tubuh yang masih lemas itu terkulai dan rebah miring di atas tanah. Aji tidak memperdulikan lagi kepada mereka. Dia cepat menghampiri Sulastri yang menggeletak miring dan memeriksa keadaannya. Gadis itu masih pingsan dan biarpun dia sudah memijit dan mengurut jalan darah di tengkuk dan kedua pundaknya, tetap saja gadis itu masih terus pungsan.

   "Aji, ia pingsan oleh debu racun pembius. Tanpa obat penawar, ia tidak akan dapat siuman."

   Kata Nyi Maya Dewi Aji mengerutkan alisnya.

   "nyi Maya Dewi, sadarkan Sulastri!"

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Hemm, nanti dulu, orang muda. Engkau tidak berada dalam keadaan menuntut dan memerintah, melainkan harus menaati kami. Kalian berdua menjadi tawanan kami, ingat?"

   Aji menahan kemarahannya. Memang wanita itu benar. Dalam keadaan seperti ini, dia terpaksa mengalah dan tuntuk. andaikata tidak ada Sulastri di situ, yang tidak berdaya dan terancam, pasti dia tidak akan mau tunduk begitu saja. Dia akan mengamuk dan mencari jalan untuk meloloskan diri. Akan tetapi demi keselamatan Sulastri, dia harus mengalah dan menahan kemarahannya.

   "Nyi Maya Dewi, sebetulnya apa yang kalian kehendaki dari kami?"

   "Tidak banyak. pertama-tama, kalau engkau menghendaki kami menyadarkan gadis ini, engkau harus menceritakan kepada kami segala hal tentang keadaan Mataram, kekuatan pasukan, dan rencana Sultan Agung untuk menyerang Batavia."

   Pikiran Aji bekerja dengan cepat. Dia sesungguhnya sama sekali tidak tahu bagaimana dan berapa kekuatan pasukan Mataram, juga dia sama sekali tidak tahu rencana penyerangan Mataram yang kedua kalinya ke Batavia. Tugasnya hanyalah membantu Mataram dalam perjalanannya ke Galuh dan Banten, membantu pihak-pihak yang mendukung Mataram dan menentang pihak-pihak yang membantu Kumpeni. Akan tetapi pikirannya bekerja dengan cepat dan dia segera berkata.

   "Nyi Maya Dewi, aku tidak begitu bodoh untuk dapat kalian tipu begitu saja. Memang aku sebagai pembantu Sultan Agung mengetahui benar akan keadaan kekuatan pasukan Mataram. Adapun tentang rencana penyerangan Mataram ke Jayakarta, Sulastri lebih mengetahuinya karena ia bertugas sebagai penghubung para kadipaten di sepanjang pantai utara dengan pasukan Mataram. Akan tetapi kami berdua tentu saja tidak akan mau menceritakan kepada kalian sebelum kami yakin bahwa kalian tidak akan membunuh kami dan akan membebaskan kami setelah kami bercerita."

   Aji memandang wajah Nyi Maya Dewi dengan penuh perhatian dan diapun melihat betapa wanita itu tampak tertarik sekali dan mencoba untuk menyembunyikan kegembiraan hatinya mendengar pengakuan Aji bahwa Aji dan Sulastri ternyata akan dapat menceritakan rahasia kekuatan dan rencana penyerbuan Mataram. Sungguh merupakan penemuan yang penting sekali!

   Kini yakinlah hati Aji bahwa untuk sementara keselamatan Sulastri pasti terjamin. Nyi Maya Dewi pasti tidak akan membiarkan gadis itu terganggu atau terbunuh karena gadis itu dapat menceritakan tentang rencana penyerbuan Mataram ke Batavia. Para pimpinan Kumpeni Belanda tentu akan senang sekali mendengar ini!

   "Lindu Aji, akupun tidak begitu bodoh untuk membebaskan kalian begitu saja sebelum engkau dan gadis ini menceritakan segalanya di depan Kapten De Vos."

   "Kapten De Vos?"

   Aji mengulang nama asing itu.

   "Dia atasanku. Baiklah, aku akan menyadarkan Sulastri ini. Akan tetapi ia akan tetap kami sandera dan kami jaga. Kalau engkau membuat ulah mencurigakan, kami tidak segan-segan membunuhnya. Mundurlah Paman Somad dan Paman Harya, harap andika berdua menjaga pemuda itu, jangan memberikan kesempatan kepadanya untuk melawan!"

   "Nyi Maya Dewi, aku sudah berjanji untuk menyerah. Pula, aku tidak membawa senjata lagi, sedangkan Sulastri berada dalam keadaan tak berdaya. Kenapa engkau masih tahut?"

   Kata Aji, setengah mengejek.

   "Mundur kau, orang muda!"

   Ki Harya Baka Wulung dan Aki Somad menodongkan senjata mereka menyuruh Aji menjauhi Sulastri. Aji mundur sampai agak jauh.

   Nyi Maya Dewi mengambil pedang Naga Wilis milik Sulastri dan mengambil pula sarungnya dari punggung gadis itu, lalu memakai pedang dan sarungnya di punggungnya sendiri. Sedangkan keris Nogowelang ia selipkan di ikat pinggang. Kemudian ia mengeluarkan sebatang jarum yang dibungkus kain kuning, lalu menusukkan jarum itu di kedua pundak Sulastri yang masih pingsan. Aji mengira bahwa tusukan jarum pembius yang membuat Sulastri pingsan. Akan tetapi, dia melihat Nyi Maya Dewi berpaling kepadanya dan tersenyum. senyum yang amat manis penuh ejekan.

   "Nah, Lindu Aji, kalau engkau membuat banyak ulah, nyawa Sulastri tidak akan tertolong lagi."

   "Nyi Maya dewi! Apa yang kaulakukan kepadanya?"

   Aji membentak dan dia sudah mengepal kedua tangannya, siap menerjang.

   "Eit-eit........ tenang, Aji. Aku sudah Memasukkan Racun Penghancur jantung dalam tubuh Sulastri. Racun itu akan Menjalar perlahan-lahan dan ia tidak merasakan apa-apa. Akan tetapi, kalau lewat tiga bulan ia tidak mendapatkan obat penawarku, ia akan mati dan tidak ada seorangpun di dunia dapat menyelamatkan nyawanya. Karena itu, selama tiga bulan ini, engkau jangan membuat ulah atau gadis ini akan tewas dalam keadaan yang amat menderita dan mengerikan!"

   "Kau....... manusia kejam bergati iblis!"

   Aji memaki marah.

   "Aku belum habis bicara. dengarkan baik-baik, Aji. Aku akan membuat Sulastri sadar, akan tetapi beritahu kepadanya bahwa racun penghancur jantung itu bukan saja akan membunuhnya dalam waktu tiga bulan, akan tetapi kalau ia berani mengerahkan tenaga saktinya, tenaganya itu akan mempercepat jalannya racun dan ia akan mati seketika! Karena itu, jangan kalian berdua coba-coba untuk memberontak."

   Aji merasa tak berdaya sama sekali. Dia dan Sulastri sudah benar-benar terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang amat jahat dan kejam. Dia harus bersikap cerdik. Dia menekan perasaan marahnya dan berkata.

   "Baik, sadarkanlah ia dan kami tidak akan melakukan perlawanan."

   "Nah, begitu baru namanya ujang kasep (anak tampan)!"

   Nyi Maya Dewi tersenyum memuji. Kemudian ia menoleh kepada Banuseta dan berkata.

   "Raden, keluarkan obat penawarnya."

   "Akan tetapi, ia akan kauberikan kepadaku, bukan?"

   Tanya pemuda jangkung itu. rupanya dia sudah tergila-gila benar Silastri.

   "Hushh, Raden! Lupakah engkau akan tugas kita? Kita harus dapat menahan keinginan nafsu sendiri dan mementingkan tugas. Gadis ini mempunyai rahasia yang teramat penting. Ia sama sekali tidak boleh diganggu, sebelum dihadapkan Kapten De Vos, sebelum menceritakan rahasia itu, mengerti?"

   Raden Banutirta menghela napas panjang. Dia merasa menyesal sekali telah terlibat dengan urusan menjadi telik sandi membantu Kumpeni Belanda karena merasa tidak bebas dan harus menurut perintah. Akan tetapi diapun maklum bahwa berkhianat merupakan bahaya maut. Pihak Kumpeni Belanda memiliki banyak antek yang berbahaya. baru Nyi Maya Dewi ini saja sudah amat berbahaya. Dia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna hijau.

   Dibukanya tutup botol itu dan botol itu dia dekatkan lubang hidung Sulastri sehingga dengan sendirinya isi botol tersedot ketika gadis itu bernapas.

   Aji memandang penuh perhatian, bersiap siaga. Kalau sampai Sulastri tewas atau terancam kehormatannya, dia pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa! Dia melihat Sulastri menggerakkan kedua tangannya, kemudian berbangkis tiga kali, membuka matanya. Agaknya begitu membuka mata, gadis itu menyadari keadaannya dan ia sudah melompat dengan cepat sekali, siap untuk berkelahi! Melihat ini, Nyi Maya Dewi dan Raden Banuseta cepat melangkah mundur, menjauhinya.

   Melihat Sulastri bersiap hendak menyerang, Aji cepat melompat mendekati.

   "Lastri, jangan.......!"

   Dia memegang lengan gadis itu.

   Sulastri memandang Aji dengan alis berkerut, matanya mencorong memandang ke arah empat orang lawan yang kini sudah berdiri berjajar itu. Hatinya lega melihat Aji dalam keadaan selamat. Ia tidak ingat lagi apa yang telah terjadi dengan dirinya. Yang diingat hanyalah bahwa ia dan Aji menghadapi empat orang lawan yang tangguh.

   "Mas Aji, apa maksudmu mencegah aku? Mari kita hajar mereka. Eh, mana pedangku?"

   "Hi-hi-hik! Pedangmu dan keris Aji sudah berada di tanganku, Sulastri!"

   Kata Maya Dewi mengejek.

   "Mas Aji, mari kita gempur mereka. Dengan tangan kosong aku masih sanggup untuk menjebol dada nenek genit itu!"

   Sulastri berseru marah.

   Terdengar Nyi Mya Dewi tertawa terkekeh-kekeh dan Aji teringat ancaman wanita itu tadi. Maka dia cepat berkata,

   "Jangan Lastri, jangan melawan dan jangan mencoba untuk mengerahkan tenaga saktimu."

   "Kenapa?"

   Sulastri bertanya penasaran dan ia mencoba untuk mengerahkan tenaga saktinya.

   Akan tetapi segera ia mengeluh kesakitan dan mukanya berubah pucat, bibirnya sitarik menahan rasa yeri yang menusuk jantungnya sehingga tangan kirinya bergerak menekan dada kirinya. Kembali terdengar suara Nyi Maya Dewi tertawa terkekeh.

   Aji memegang lengan Sulastri dan menekannya agak kuat.

   "Lastri, dengar baik-baik! Kita sudah tertawan, tidak berdaya. mereka telah memberimu racun penghancur jantung. Kalau kau kerahkan tenaga saktimu, engkau akan tewas. Engkau akan bertahan selama tiga bulan maka jangan melawan."

   Sulastri memandang kepada empat orang itu dengan mata mencorong penuh kemarahan.

   "Akan tetapi apa yang mereka kehendaki dari kita?"

   "Rahasia kita, Lastri. Engkau tahu akan rencana penyerangan Mataram kepada Kumpeni belanda dan aku tahu akan keadaan kekuatan pasukan Mataram."

   Diam-diam Aji memberi isarat dengan tekanan-tekanan pada lengan gadis itu yang masih dipegangnya. Tentu saja Sulastri merasa heran mendengar ucapan itu karena sesungguhnya ia sama sekali tidak tahu menahu tentang rencana penyerangan Mataram. akan tetapi ia adalah seorang gadis yang cerdik. Tekanan-tekanan pada lengannya itu membuat ia mengerti bahwa itu merupakan isarat.

   "Hemm, kalau begitu mengapa?"

   Bersikap pura-pura memang menyimpan rahasia itu!

   "Mereka ingin agar kita mengaku tentang rahasia itu. Akan tetapi kita tidak boleh bodoh. Kita tidak akan mengaku sebelum mereka memberimu obat penawar racun, dan sebelum mereka membebaskan kita. Rahasia itu harus ditukar dengan pembebasan kita."

   "Begitukah?"

   Sulastri memandang kepada Nyi Maya Dewi dengan mulut tersenyum mengejek dan mata menantang.

   "Hei, nenek genit1 Aku Sulastri bukan orang yang takut mati! Kalau engkau tidak memberi obat penawar dan membebaskan kami, aku tidak sudi membuka rahasia itu. Biar aku mati, akan tetapi Batavia pasti akan hancur diserang mataram dan engkau, nenek genit pengkhianat bangsa ini, akan ditangkap dan dihukum gantung kaki di atas kepala di bawah, dihukum picis, setiap orang lewat akan diharuskan mengerat kulit daging lalu mengoleskan asam dan garam pada lukanya!"

   Ancaman Sulastri itu mengerikan sekali. Hukum picis yang dimaksudkan merupakan hukuman yang paling sadis dan mengerikan.

   Terhukum akan diikat di tepi jalan perempatan dan di situ disediakan pisau, garam dan asam. setiap orang lewat diharuskan menggunakan pisau untuk menoreh tubuh si terhukum sampai terluka berdarah, kemudian mengoleskan asam dan garam pada luka itu. Dapat dibayangkan betapa tersiksanya si terhukum dan dia akan menderita hebat dan mati sedikit demi sedikit!

   Bergidik juga Maya Dewi membayangkan hukuman seperti itu. Akan tetapi ia menutupi kengeriannya dengan senyum mengejek.

   "Jangan khawatir, neng geulis (nona cantik), asal engkau dan Aji tidak banyak tingkah dan di depan Kumpeni mau membuka semua rahasia itu, kalian berdua pasti akan dibebaskan dan aku akan memberi obat penawar untukmu."

   Rombongan itu lalu membawa kereta yang tadinya mereka sembunyikan dalam hutan itu. mereka memang sudah mempersiapkan segalanya. Kuda milik Aji lalu dipasang di depan kereta, menambah dua ekor kuda yang sudah ada. Kereta itu cukup besar. Raden Banuseta menjadi kusirnya.

   Aji dan Sulastri duduk di dalam dijaga oleh Ki Harya Baka Wulung , Aki Somad dan Nyi Maya Dewi sendiri. Nyi Maya Dewi sudah merasa yakin bahwa dua orang tawanan itu tidak akan membuat ulah karena keadaan Sulastri membuat mereka sama sekali tidak berdaya dan tidak berani memberontak. Sementara itu, diam-diam Aji dan Sulastri juga memutar otak untuk mencari jalan keluar agar dapat membebaskan diri. Untuk sementara mereka merasa aman. Dengan adanya "rahasia"

   Tentang Mataram yang mereka miliki seperti disangka oleh para antek Kumpeni Belanda itu, mereka tidak akan diganggu.

   Bahaya maut yang mengancam nyawa Sulastri juga baru akan tiba tiga bulan kemudian dan sementara itu mereka akan mencari jalan dan melihat perkembangannya nanti. Di sepanjang perjalanan itu, Aji dan Sulastri memperhatikan keadaan para penawan mereka. Dari sikap mereka, tahulah Aji bahwa yang menjadi pemimpin adalah Nyi Maya Dewi walaupun bukan wanita itu yang paling sakti di antara mereka. Juga dia dapat mengerti bahwa Ki Harya Baka Wulung mau menjadi antek Kumpeni karena rasa bencinya terhadap Mataram. Tentang Aki Somad, dari sikap dan pembicaraan mereka, dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang mudah terpikat oleh rajabrana (kekayaan) dan kedudukan dan dia mau menghambakan diri kepada Kumpeni Belanda tentu karena ingin memperoleh harta benda dan kedudukan.

   Yang masih menjadi teka-teki baginya adalah pria berusia empat puluh bertubuh jangkung itu. Dia tidak pernah mendengar namanya disebut, Nyi Maya Dewi hanya memanggilnya dengan sebuta Raden saja yang menyatakan bahwa orang itu tentu masih keturunan bangsawan. Karena orang itu duduk sebagai kusir di depan kereta, maka Aji tidak dapat menilai lebih lanjut. Akan tetapi dia mencatat bahwa pria itu mempunyai niat kotor terhadap diri Sulastri. Pria itu agaknya tergila-gila kepada Sulastri dan kalau diberi kesempatan, tentu Sulastri berada dalam bahaya, Untunglah bahwa Nyi Maya Dewi menganggap Sulastri menyimpan rahasia yang amat penting sehingga untuk sementara Sulastri aman dari gangguan pria berpakaian mewah itu.

   Setelah rombongan tiba di sungai Serayu, ternyata di situ telah siap anak buah Nyi Maya Dewi dengan sebuah perahu besar untuk menyeberangkan semua penumpang berikut kuda dan kereta. Akan tetapi Nyi Maya Dewi berkata kepada lima orang anak buahnya yang berada di situ.

   "Kami tidak akan menyeberang, kami akan melakukan perjalanan menuju Kadipaten Tegal di utara. Akan tetapi dua orang harap cepat memberi kabar ke Cirebon dan membawa suratku, kalian tahu ke mana suratku harus disampaikan!"

   Aji hanya melihat betapa wanita itu menyerahkan surat kepada dua orang anak buahnya. Kemudian perjalanan kereta itu menuju ke utara. Dan di sepanjang pejalanan, kalau malam tiba, di setiap tempat ada saja anak buah Nyi maya Dewi yang menyambut dan memberi tempat penginapan yang pantas utnuk mereka. Juga hidangan yang disuguhkan cukup mewah, setidaknya pasti ada yang menyembelih ayam. Perjalanan itu berjalan dengan lancar dan lima hari kenudian barulah kereta mereka memasuki Kadipaten Tegal.

   Aji dan Sulastri merasa heran sekali ketika kereta itu memasuki kadipaten dengan aman. Agaknya para penjaga di kadipaten itu mengenal baik Nyi Maya Dewi! Agaknya tidak ada seorangpun yang curiga dan menduga bahwa wanita cantik itu sebetulnya adalah seorang telik sandi, seorang antek Kumpeni Belanda! Pada hal Aji pernah mendengar dari Senopati Suroantani bahwa Tumenggung

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   Tegal dan juga Adipati di Cirebon sudah setuju untuk dijadikan lumbung beras bagi keperluan ransum balatentara Mataram kalau nanti menyerbu Batavia untuk kedua kalinya. Dengan demikian berarti bahwa Tumenggung Tegal bersedia membantu Mataram. Akan tetapi kenyataannya kini, seorang telik sandi penting dari Kumpeni Belanda dapat masuk dan bergerak dengan leluasa di Tegal!

   Bahkan rombongan ini diterima oleh seorang laki-laki tinggi besar yang dari sikap dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang penting. Rumahnya besar dan rombongan itu disambut dengan hormat dan diadakan pesta. Aji dan Sulastri tidak diperkenalkan, akan tetapi mereka mendengar orang tinggi besar berusia sekita empat puluh tahun itu disebut Ki Warga. Rumah itu besar dan megah, tanda bahwa penghuninya orang yang kaya. Aji dan Sulastri diberi masing-masing sebuah kamar dan dua orang tawanan ini dibiarkan berada dalam keadaan bebas, seperti tamu, namun mereka maklum bahwa mereka dijaga oleh sekelompok orang dengan ketat. Pula, mereka sama sekali tidak berani meloloskan diri karena keselamatan nyawa Sulastri terancam. Hal ini yang membuat mereka merasa tak berdaya dan terpaksa harus menyerah.

   Mereka bermalam di rumah orang bernama Warga ini sampai tiga hari. Aji tidak tahu apa yang mereka lakukan atau rencanakan. Mereka berdua dapat saling bertemu karena mereka diberi kebebasan keluar dari kamar. Akan tetapi mereka tidak dapat saling bicara empat mata karena selalu ada saja penjaga yang mengamati dari dekat. Mereka hanya bicara seperlunya saja dan Aji hanya dapat menanyakan bagaimana keadaan Lastri.

   Sulastri selalu menggeleng kepala dan menghela napas panjang kalau ditanya tentang kesehatannya

   dan menjawab singkat.

   "Masih belum ada perubahan."

   Jawaban ini cukup bagi Aji. Berarti gadis itu masih merasakan akibat keracunan itu dan kalau mengerahkan tenaga saktinya merasa dalam dadanya nyeri. Selama gadis itu masih menderita karena keracunan, mereka berdua tidak berdaya dan tidak berani meloloskan diri karena hal itu berarti ancaman bahay maut bagi Sulastri.

   Tentu saja selama menjadi tawanan itu, Aji tiada hentinya mencari kesempatan. Dia sendiri belum tahu kesempatan bagaimana yang dapat dia manfaatkan untuk keselamatan mereka berdua karena dia sendiri tidak tahu apa yang dapat dia lakukan dalam keadaan Sulastri keracunan seperti itu. Dia merasa benar-benar tidak berdaya. Akan tetapi dia tidak pernah putus asa dan selalu waspada mencari jalan keluar untuk menanggulangi ancaman yang membayangi dia dan Sulastri. Beberapa kali Sulastri hampir tak dapat menahan kesabarannya dan gadis itu ingin mengamuk saja tanpa memperdulikan keselamatannya. Akan tetapi selalu Aji, dengan isarat gerakan dan pandang matanya, dapat menyabarkannya.

   "Selama kita masih hidup, selalu masih ada harapan."

   Demikain dia berkata pada suatu kesempatan tanpa terdengar oleh para penjaga yang mengamati mereka. Sulastri cemberut, akan tetapi mengangguk tanda bahwa ia mematuhi ucapan pemuda itu.

   Malam itu udara dingin sekali. Aji duduk bersila dalam kamarnya. Dia maklum bahwa di luar kamarnya terdapat dua orang yang bertugas mengawasinya. Nanti lewat tengah malam, dua orang penjaga itu akan diganti dua orang lain.

   Demikian yang dia ketahui pada malam-malam yang lalu. Dia sudah mengambil keputusan tetap. Malam itu adalah malam terakhir dia dan Sulastri berada di rumah itu. Siang tadi Nyi Maya Dewi sudah memberitahukan kepadanya bahwa besok pagi-pagi mereka akan melanjutkan perjalanan, entah kemana wanita itu tidak mau memberi tahu. Maka, malam ini dia harus dapat melakukan penyelidikan ke mana mereka akan dibawa pergi dan menyelidiki rahasia lain yang ada hubungannya dengan keselamatan Sulastri. Dia ingin mengetahui di mana Nyi Maya Dewi menyimpan obat penawar racun yang mempengaruhi tubuh Sulastri. Setelah keadaan di rumah itu sunyi, tanda bahwa semua penghuninya sudah memasuki kamar masing-masing, Aji perlahan-lahan membuka daun pintu kamarnya. Sedikit gerakan ini cukup membuat dua orang penjaga itu menengok lalu menhampiri.

   "Andika hendak pergi ke mana?"

   Tanya mereka dan kedua orang itu berdiri di kanan kiri Aji.

   "Aku melihat di sana itu yang berkilauan itu apakah?"

   Dia menuding ke depan. Dua orang penjaga itu tentu saja menoleh dan memandang ke arah yang ditunjuk Aji. Pada saat itu, kedua tangan Aji bergerak cepat, menyambar ke arah tengkuk mereka dengan tangan miring.

   Tanpa dapat mengeluarkan keluhan, dua orang itu terkulai dalam keadaan pingsan. Aji menyambar tubuh mereka dengan kedua tangannya, mencegah mereka roboh, lalu membawa mereka ke tempat mereka berjaga tadi. Dia mendudukkan mereka di atas bangku yang tadi mereka duduki, menyandarkan tubuh itu ke dinding. Setelah itu dia menutupkan daun pintu kamarnya dan berindap-indap dia menuju ke kamar besar di bagian kiri. Dia tahu bahwa kamar itu adalah kamar Nyi Maya Dewi, sedangkan kamar Ki Harya Baka Wulung, Aki Somad dan laki-laki jangkung berada di bagian kanan. Dengan pengerahan Aji Bayu Sakti, tubuh Aji bergerak seperti angin, cepat dan ringan dan tak lama kemudian dia sudah melakukan pengintaian di luar jendela kamar yang didiami Nyi Maya Dewi. Jantungnya berdebar tegang dan girang ketika dia melihat bayangan dua orang duduk di atas pembaringan dalam keadaan saling berpelukan mesra. Mereka itu bukan lain adalah Nyi Maya Dewi dan pria jangkung itu! Aji merasa rikuh dan malu menyaksikan penglihatan itu, maka dia mengalihkan pandangan dan menempelkan telinganya pada jendela untuk dapat menangkap pembicaraan mereka sebaiknya.

   "Maya, sampai kapan engkau akan menggodaku seperti ini? Engkau selalu menahan-nahan dan menghalangi aku memiliki gadis itu. Maya, apakah ini berarti bahwa engkau cemburu dan tidak rela kalau aku menggauli gadis itu?"

   Terdengar suara pria itu dengan nada menyesal dan menegur.

   "Cemburu? Ah, sama sekali tidak, Raden, di antara kita sudah terdapat janji bahwa kita tidak akan saling mengikat, tidak ada cemburu dan kita boleh bercinta dengan siapa saja tanpa yang lain mencegahnya. Bersabarlah, Raden. Kita membutuhkan gadis itu, Kalau ia kuserahkan padamu sekarang, kemudian ia tidak mau membuka rahasia penyerangan Mataram itu, bukankah kita yang menderita rugi? Sabarlah. Kalau ia sudah membuka rahasia itu, pasti ia akan kuserahkan padamu."

   "Bagaimana engkau dapat memastikan hal itu akan dapat terjadi, Maya?"

   "Jangan khawatir, Raden. Bukankah obat penawar itu selalu ada padaku? Obat penawar itu adalah nyawa Sulastri! Selama obat penawar itu ada padaku, selama tiga bulan sejak dara itu keracunan, ia sepenuhnya berada di tanganku."

   "Kalau begitu, berikan obat penawar itu kepadaku, Maya sayang? Setelah ia membuka rahasia, obat penawar itu akan dapat kupergunakan untuk membujuk dan mengancamnya agar ia suka menyerahkan diri dengan suka rela kepadaku. Aku tidak ingin mendapatkan ia secara paksa. Aku ingin ia menyerah dengan suka rela."

   

Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini