Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 15


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



"Kita sudah mengerti dan menaruh curiga, ini baik, Lastri. Akan tetapi kita besikap tidak tahu saja dan diam-diam waspada menjaga segala kemungkinan. Kalau kita diajak makan malam nanti, kau harus berhati-hati dan jangan menyentuh suatu hidangan sebelum tuan rumah mengambil dan memakannya lebih dulu."

   "Bagaimana kalau mereka menghidangkan minuman?"

   "Sama saja, jangan diminum. Kita lihat saja nanti perkembangannya."

   "Engkau khawatir kalau mereka menggunakan racun, Mas Aji?"

   "Orang-orang jahat tidak pantang menggunakan cara-cara yang licik dan jahat. Kita sudah mengalaminya sendiri ketika tertawan komplotan para antek Kumpeni Belanda itu. Karena kita tidak mengenal benar Ki Sajali dan keadaan di sini mencurigakan, maka kita harus berhati-hati."

   Sulastri mengangguk-angguk, lalu berbisik.

   "Sstt, dia datang."

   Ki Sajali yang kini sudah pula berganti pakaian menghampiri mereka.

   "Denmas dan denroro sudah mandi? Ah, kenapa andika berdua membawa-bawa senjata pusaka? Saya hanya ingin mengundang andika berdua untuk makan malam!"

   Aji cepat menjawab.

   "Paman, kami adalah pengemban-pengemban tugas penting yang selalu menhadapi bahaya dimanapun kami berada. Oleh karena itu, terpaksa kami selalu membawa pusaka untuk melindungi diri kami."

   "Akan tetapi di sini andika berdua aman! Marilah, kita makan dulu sebelum beitirahat. Akan tetapi di dusun ini kami tidak dapat menyuguhkan makanan yang pantas untuk andika berdua."

   "Ah, sambutan paman ini saja sudah cukup menyenangkan hati kami dan kami berterima kasih sekali."

   Kata Aji dan bersama Sulastri dia mengikuti tuan rumah itu menuju ke ruangan makan yang berada di bagian kiri rumah.

   Ketika mereka memasuki ruangan yang diterangi tiga lampu gantung yang cukup besar itu, mereka melihat di ruangan yang luas itu sebuah meja besar yang penuh dengan masakan sayur-sayuran dan daging ayam dan kambing! Cukup mewah bagi suguhan di dusun yang kecil dan sunyi itu. Juga masakan-masakan itu masih mengepulkan uap, tanda bahwa masakan itu masih hangat. Nasinya dalam bakul juga putih dan masih hangat. Dua orang muda itu dipersilahkan duduk bersanding, berhadapan dengan tuan rumah terhalang meja yang penuh hidangan itu. Agaknya memang sudah diatur. Di depan mereka terdapat dua gelas minuman air teh. Akan tetapi di depan Ki Sajali tidak tersedia gelas terisi minuman teh, melainkan terdapat sebuah kendi besar hitam mengkilap.

   "Mari denmas, denroro, silakan makan seadanya!"

   Ki Sajali mempersilakan dua orang tamunya. Aji dan Sulastri melihat ada dua orang laki-laki muda bertubuh tinggi besar di dekat dinding, sikapnya seperti pelayan-pelayan yang siap menanti perintah. Sulastri melirik ke arah Aji. Gadis ini bersikap hati-hati, tidak mau sembarangan mengambil makanan. Ia hendak menanti apa yang akan diperbuat kawannya itu.

   "silakan paman mengambil lebih dulu,"

   Kata Aji dengan sikap menghormati tuan rumah yang lebih tua.

   Ki Sajali tersenyum.

   "Harap andika berdua tidak malu-malu,"

   Katanya dan diapun mulai mengambil nasi di atas piringnya. Aji dan Sulastri diam-diam mengusap piring kosong mereka dengan jari tangan untuk merasa yakin bahwa piring mereka itu bersih dari olesan atau taburan racun. Juga mereka mempergunakan ketajaman penciuman mereka. Piring mereka bersih. Merekapun baru berani mengambil nasi seperti yang dilakukan tuan rumah dan sengaja menyendok nasi di bekas yang disendok tuan rumah. Demikian pula cara mereka mengambil masakan.

   Selalu mengambil sayuran atau daging yang lebih dulu diambil tuan rumah. Bahkan ketika mereka mulai makanpun, mereka selalu menyentuh dan makan hidangan setelah melihat tuan rumah memakannya. sikap hati-hati mereka itu agaknya tidak diketahui Ki Sajali dan mungkin dia menganggap kecanggungan dua orang tamu mudanya itu karena rikuh dan malu-malu.

   Setelah selesai makan, Ki Sajali mempersilakan dua orang tamunya untuk minum air teh mereka. Dia sendiri minum dari kendi dengan mengucurkan air dari mulut kendi yang langsung diterima mulutnya yang ternganga. Melihat ini, Aji mengedipkan mata kepada Sulastri dan mengerling ke arah kendi yang dipergunakan tuan rumah untuk minum. Sulastri mengangguk.

   Ki Sajali menurunkan kendinya ke atas meja. Melihat dua orang tamunya belum minum air teh mereka, dia kembali mempersilakan.

   "Mari, silakan minum air tehnya, denmas dan denroro, selagi masih hangat."

   Aji tersenyum dan berkata.

   "Paman Sajali, melihat paman minum air kendi itu kelihatannya segar sekali dan membuat saya ingin sekali minum air kendi itu pula!"

   Dia menuding ke arah kendi besar itu.

   "Aku juga demikian! Kelihatan sejuk dan segar sekali!"

   Kata Sulastri sambil memandang kendi besar itu penuh gairah.

   "Ah, begitukah? Silakan!"

   Kata Ki Sajali.

   Aji mengambil kendi itu dan menyerahkannya kepada Sulastri. Karena dia yakin bahwa minum air kendi itu tentu aman, seperti telaj dilakukan oleh Ki sajali, maka dia membiarkan Sulastri minum lebih dulu. Tanpa ragu lagi Sulastri mengangkat kendi, mengucurkan air dari mulut kendi ke mulutnya yang dibuka sedikit tidak seperti Ki Sajali tadi yang mulutnya dingangakan lebar. Setelah minum beberapa teguk air kendi, Sulastri bangkit dari duduknya, meletakkan kendi ke atas meja, lalu ia memegangi perutnya dan terhuyung, menabrak kursi yang tadi didudukinya sehingga kursi itu terpelanting.

   "Lastri.......!"

   Aji cepat bangkit dan memegang lengan gadis itu untuk menjaganya agar jangan sampai jatuh. Dia lalu menarik gadis itu dan didudukkan di kursinya sendiri.

   Sulastri terkulai, kepalanya di atas meja dan kedua tangannya menekan-nekan perutnya.

   "Aduh..... perutku..... di ulu hati..... nyeri dan perih..... panas.....!"

   Aji menendang kursi yang menghalanginya dan dia sudah melompati meja, tiba di dekat Ki Sajali dan memegang pergelangan tangan orang itu. Seketika dia tahu apa yang terjadi. Air kendi itu dicampuri racun! Kalau tadi Ki Sajali dapat minum dan tidak keracunan, tentu dia telah menelan obat penawarnya.

   "Engkau menaruh racun dalam air kendi itu!"

   Bentak Aji sambil mencengkeram pergelangan tangan Ki Sajali dengan kuatnya.

   "Cepat keluarkan obat penawarnya!"

   Akan tetapi tiba-tiba Ki Sajali bangkit dan tangan kanannya bergerak memukul ke arah kepala Aji. Angin yang berdesir menunjukkan bahwa orang tinggi kurus ini memiliki tenaga yang hebat juga! Dan pada saat itu, dua orang laki-laki muda yang tadi berdiri dekat dinding dan bersikap sebagai pelayan, telah berlompatan mendekat sambil memegang pisau belati dan langsung menyerang Aji! Melihat gerakan mereka, jelas bahwa dua orang inipun bukan orang-orang lemah.

   Melihat serangan Ki Sajali, Aji menangkis dengan tangan kirinya lalu mendorong dada Ki Sajali sehingga laki-laki setengah tua itu terjengkang dan jatuh terguling. Pada saat itu, serangan dua orang yang bersenjata pisau belati menyambar. Aji mengelak dengan loncatan ke kiri, kemudian sebelum dua orang itu sempat menyerang lagi, dari samping dia mengayun kedua tangannya menampar.

   "Plak-plakk!"

   Dua orang itu terpelanting roboh. Ketika mereka bergerak untuk bangkit, Aji mengayun kakinya dua kali menendang, mengenai tangan mereka yang memegang pisau. Dua orang muda itu berseru kesakitan dan pisau belati mereka terlepas dari pegangan, terlempar jauh. Mereka agaknya maklum bahwa yang mereka hadapi adalah orang yang sakti, maka cepat mereka merangkak dan melarikan diri.

   Aji melihat Ki Sajali juga sudah bangkit dan melarikan diri. Cepat dia melompat dan berhasil menangkap tengkuk orang itu, menekan sehingga tubuh Ki Sajali terpaksa berjongkok. Dengan tangannya yang terisi tenaga sakti, Aji menekan tengkuk itu.

   "Aduhhh....... aduhhh.......!"

   Ki Sajali mengeluh kesakitan, merasa tengkuknya seperti dijepit catut baja yang amat kuat.

   "Cepat berikan obat penawar itu!"

   Bentak Aji lagi dan memperkuat cengkeraman tangannya pada tengkuk itu.

   "Aduhhhh..... baik..... baik..... akan tetapi..... lepaskan..... ,"

   Keluh Ki Sajali yang wajahnya menjadi pucat sekali saking nyerinya.

   Aji melepaskan cengkeramannya dan Ki Sajali bangkit berdiri, kedua tangan memegangi leher dan menjatuhkan diri duduk di atas kursi, terengah-engah. Lalu tangannya meraba-raba ikat pingang dan dia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan putih, lalu menyerahkan botol kecil itu kepada Aji.

   "Cara menggunakannya?"

   Tanya Aji.

   "Minumkan semua dan ia akan sembuh."

   "Awas, kalau engkau membohongiku, engkau akan dihukum seberat-beratnya."

   Kata Aji dan diapun cepat menghampiri Sulastri yang masih duduk dan menyandarkan kepalanya menelungkup di atas meja, berbantal lengan. Ia tampak pucat dan lemah, napasnya agak terengah.

   Pada saat ia duduk di atas kursi mendekati Sulastri, dia mendengar gerakan dibelakangnya. Cepat dia menoleh dan melihat Ki Sajali membuat gerakan melarikan diri. Disambarnya kendi yang berada di atas meja dan sekali menggerakkan tangan, kendi itu telah dilontarkan ke arah Ki Sajali yang melarikan diri.

   "Wuuuttt....... prakkkk!"

   Kendi itu menghantam kepala Ki Sajali dan pecah berantakan. Air kendi muncrat dan tubuh Kim Sajali terpelanting roboh. Dia mengaduh dan merintih sambil berusaha untuk bangkit. Dengan beberapa langkah Aji sudah mendekatinya.

   "Manusia jahat, engkau hendak melarikan diri? Tunggu, engkau tidak boleh pergi ke manapun juga sebelum Sulastri sembuh dari keracunan. Engkau harus bertanggung jawab. Benarkah obat ini akan dapat mentembuhkannya? Jawab yang benar atau terpaksa aku akan menyakitimu!"

   Aji mencengkeram lengan kanan Ki Sajali sedemikian kuatnya sehingga orang itu merasa tulang lengannya seperti remuk.

   "Aduh..... ampuuun..... obat..... obat itu akan menyembuhkannya.....

   "

   Dia meratap. Aji cepat melepaskan lengannya dan kembali menghampiri Sulastri. Kini dia merasa yakin bahwa Ki Sajali pasti tidak akan berani berbohong setelah dapat hajaran keras itu. Dia membantu Sulastri, menengadahkan kepalanya dan membuka mulut gadis itu dengan tangan kirinya. Sulastri tidak pingsan, akan tetapi lemas dan pening. Akan tetapi ia masih menyadari bahwa Aji yang berusaha menolongnya, maka ia menurut saja ketika kepalanya didongakkan dan mulutnya dibuka. Iapun menelan saja ketika isi botol itu dimasukkan ke dalam mulutnya.

   Tak lama kemudian, Sulastri membungkuk dan muntah-muntah. Semua makanan dan juga air yang mengandung racun tadi ikut tumpah keluar semua dari dalam perutnya. Aji membantunya dan memijit-mijit tengkuknya, mengurut punggungnya sampai semua isi perutnya dimuntahkan. Tubuh gadis itu penuh keringat. Akan tetapi setelah muntah-muntah, peningnya hilang, ulu hatinya tidak nyeri lagi dan ia merasa ringan dan lemas. Aji menggandengnya dan didudukkan di kursi yang agak jauh dari meja itu. Sulastri duduk dan mengusap keringat dari dahinya.

   "Bagaimana rasanya, Lastri?"

   Gadis itu tersenyum! "Rasanya sudah sembuh, Mas Aji. tidak penting lagi, tidak nyeri lagi perutku, racun itu pasti telah keluar semua. Aku hanya merasa lemas..... eh, mana dia manusia jahanam itu? Aku harus membunuhnya! Dia meracuni aku, keparat!"

   Sulastri bangkit dengan cepat, akan tetapi karena tubuhnya terasa lemas, ia terhuyung dan cepat dirangkul Aji dan dibantunya lagi duduk. Aji menengok ke arah di mana tadi ki Sajali berada, akan tetapi orang itu ternyata telah pergi.

   Agaknya Ki Sajali menggunakan waktu selagi dia menolong Sulastri tadi, diam-diam dia melarikan diri dari rumah itu.

   "Hemm, keparat itu telah melarikan diri."

   Kata Aji.

   "Kejar dia, Mas Aji. kejar dan tangkap. orang itu harus dipaksa mengaku siapa yang berada di belakangnya dan dia harus dibunuh!"

   Suara Sulastri masih lantang galak walaupun tubuhnya masih lemas.

   "Percuma, Lastri. Dia sudah melarikan diri keluar dari rumah ini. Tentu akan sukar menemukannya di tempat gelap. Pula, aku tidak mau meninggalkanmu seorang diri di sini selagi engkau masih dalam keadaan lemah seperti ini. Mari, engkau harus beristirahat di kamarmu itu. aku akan mencari beras dan membuatkan bubur untukmu. Engkau lemas karena perutmu kosong sama sekali."

   Aji membantu Sulastri bangkit berdiri lalu memapahnya ke dalam, mengantarnya masuk ke dalam kamar yang disediakan untuknya. Untung bahwa di kamar itu, juga di ruangan lain dalam rumah itu, dipasangi lampu-lampu yang cukup terang.

   Setelah Sulastri merebahkan tubuhnya, Aji mengeluarkan sehelai kain dari buntalan pakaian gadis itu lau menyelimutinya. Dia menepuk-nepuk pundak Sulastri dan berkata.

   "Kasihan sekali engkau, Lastri. Dua kali berturut-turut engkau diracuni orang sehingga keselamatan dirimu terancam maut dan engkau menderita sekali."

   Sulastri menyentuh tangan Aji yang menepuk-nepuk pundaknya dan ia tersenyum.

   "Dan untuk kedua kalinya pula engkau yang menolong dan menyelamatkan aku, kakangmas Aji."

   "Akan tetapi engkaupun tahu bahwa engkau dua kali keracunan adalah karena engkau melakukan perjalanan bersama aku. aku yang menyebabkan engkau diserang orang jahat."

   "Sudahlah, apa kaukira aku akan diam saja dan tidak berusaha sekuat kemampuan untuk menolongmu kalau engkau yang terancam bahaya seperti yang kaulakukan tehadap diriku ini? Kita melakukan perjalanan bersama, harus menghadapi segala bahaya bersama pula. Bukankah begitu?"

   Aji tersenyum dan memandang kagum. Dalam keadaan nyaris tewas dan baru saja lolos dari maut, gadis itu sudah bersikap sedemikian tabah dan gagahnya.

   "Sulastri, engkau ...... seorang gadis yang hebat! Mengasolah, aku akan membuatkan bubur untukmu."

   Katanya dan dia lalu keluar dari dalam kamar itu, dan memeriksa semua jendela dan pintu belakang dan depan. Dipalangnya semua jendela dan pintu.

   Setelah memeriksa seluruh ruangan dalam rumah itu dan merasa aman meninggalkan Sulastri seorang diri di kamarnya, Aji lalu masuk ke dalam dapur. Dia mendapatkan prabot dapur yang cukup lengkap dan dapat menemukan beras dan garam. maka dengan girang dia lalu memasak bubur secukupnya untuk Sulastri. Selagi melakukan pekerjaan ini, dia selalu waspada, menggunakan ketajaman pendengarannya untuk menjaga keamanan Sulastri yang berada di dalam kamarnya.

   Setelah buburnya matang, dia membawa makanan itu dalam sebuah mangkok besar ke kamar Sulastri. Gadis itu ternyata tidak tidur, sedang rebah telentang memandang ke atap kamar. Ia tersenyum ketika Aji memasuki kamar sambil membawa semangkuk bubur panas dan sendoknya.

   "Aah, Mas Aji. Engkau membuat aku merasa malu sekali."

   Kata gadis itu sambil bangkit duduk. Ia tidak begitu lemas lagi dan dapat bankit duduk sendiri tanpa bantuan. Aji duduk di atas sebuah bangku dekat pembaringan.

   "Mengapa engkau merasa malu kepadaku, Sulastri?"

   Tanyanya heran.

   "Kalau engkau masih lemas, mari kusuapi, jangan malu-malu."

   "Jangan, mas. kesinikan, aku dapat makan sendiri."

   Ia menerima mangkuk bubur itu dengan tangan gemetar.

   "Masih agak panas, Lastri. Ditiup dulu agar lebih dingin."

   "Mas Aji, bagaimana aku tidak menjadi malu. Keadaan kita sungguh terbalik. Masa engkau yang malah melayani aku, memasak bubur untuk aku? Semestinya wanita yang sibuk di dapur membuat masakan!"

   "Ah, kenapa engkau berpendapat begitu, Lastri? Dalam keadaan seperti ini, mengapa kita harus bersikap sungkan-sungkan lagi? Engkau keracunan, bahkan hampir saja tewas. Keadaanmu masih lemah, tentu saja harus aku yang membuatkan bubur untukmu! Dalam keadaan darurat seperti ini, tidak ada perbedaan antara tugas seorang laki-laki atau seorang perempuan. Makanlah, aku akan melakukan pemeriksaan dan penjagaan di luar, untuk menjaga segala kemungkinan."

   "Mas Aji!"

   Sulastri memanggil ketika Aji sudah bergerak ke pintu kamar. Aji berhenti melangkah dan menoleh "Ada apakah, Lastri?"

   "Aku berpendapat bahwa tuan rumah ini tentu mempunyai hubungan dengan gerombolan yang dipimpin Munding Hideung. Ketika dia mendengar bahwa kita bertugas menumpas gerombolan itu, dia lalu turun tangan hendak membunuh kita."

   "Akan tetapi dia kepala dusun ini.......

   "

   Kata Aji meragu.

   "Itu menurut orang-orang yang kita tanyai di dusun ini. Ingat, kita tidak melihat wanita atau kanak-kanak di dusun ini, hanya laki-laki muda. siapa tahu mereka itu semua anak buah gerombolan yang kita sedang selidiki."

   "Aku sependapat denganmu, Lastri. Akan tetapi malam ini kita tidak dapat berbuat sesuatu. Malam gelap sekali dan kita tidak mengenal medan. Makan lalu beristirahatlah. Engkau perlu menghimpun kembali tenagamu karena besok kita tentu akan menghadapi ancaman mereka. Aku akan melakukan pengintaian di luar pondok."

   "Baiklah, mas Aji. Akan tetapi berhati-hatilah."

   Aji melangkah keluar dan Sulastri mulai menyendok dan makan buburnya yang masih hangat. Setelah menghabiskan bubur semangkuk itu tubuhnya mulai pulih dan sehat kembali, tidak terlalu lemas seperti tadi. Ia lalu duduk bersila dan menghimpun tenaga sakti untuk memulihkan keadaan tubuhnya.

   Sementara itu, Aji membuka daun pintu depan dengan hati-hati. Di luar pondok gelap dan sunyi. Bahkan rumah-rumah dalam perkampungan itu tampak gelap. Tidak ada sinar lampu sama sekali dari sekeliling pondok milik kepala dusun itu. Agaknya semua rumah di dusun itu tidak memasang lampu! Atau Ki Sajali yang memerintahkan semua penduduk untuk memadamkan lampu di rumah mereka? Dia menyelinap keluar dengan cepat lalu menutupkan kembali daun pintu rumah dari luar. Dengan hati-hati dia membiasakan pandang matanya dengan kegelapan di luar rumah. Lambat laun tampaklah kelap-kelip beberpa kelompok bintang di langit dan pandang matanya mulai terbiasa dengan kegelapan di luar. Dia lalu melangkah perlahan dan berjalan mengelilingi pondok itu sambil memperhatian keadaan sekeliling. Sunyi saja di luar.

   Tidak terdengar suara manusia, sesepi kuburan! Aji mendapat perasaan bahwa dusun itu telah ditinggalkan dan agaknya malam itu tidak ada lagi seorangpun berada di sini! Setelah melakukan pengamatan selama hampir dua jam, Aji masuk lagi ke dalam pondok dan dia menghampiri kamar Sulastri, membuka daun pintu kamar perlahan-lahan. Lampu kecil itu masih bernyala dan di atas meja dalam kamar dan dia melihat gadis itu rebah miring. Mangkuk bubur kosong berada di atas meja. Aji tersenyum lega. gadis itu telah menghabiskan bubur dan dari pernapasannya yang lembut itu dia dapat mengetahui bahwa Sulastri telah tidur pulas! Dengan hati-hati dia keluar dan menutupkan kembali daun pintu kamar, lalu ia duduk di atas sebuah kursi, di ruangan dalam. Dari situ dia dapat melihat ke pintu kamar yang ditiduri Sulastri.

   Karena maklum bahwa keadaan mereka terancam bahaya, maka Aji tidak tidur, melinkan duduk di atas kursi dengan bersila seperti orang sedang bersamadhi. Biarpun dia memejamkan kedua matanya, namun dia sama sekali tidak tidur, bahkan dia waspada sekali. Semua panca inderanya bekerja sepenuhnya, bahkan peka sekali, terutama pendengarannya. Sedikit saja ada suara yang tidak wajar pasti akan dapat didengarnya dan semua urat syarafnya siap bergerak menghadapi segala macam keadaan darurat dan bahaya. Pada saat sudah jauh lewat tengah malam, tiba-tiba Aji terkejut. Biapun amat lirih, dia dapat mendengar berkesiurnya angin dari arah belakangnya. Dia memang duduk menghadap ke arah pintu depan dan membelakangi kamar di mana Sulastri tidur. Dengan cepat diapun memutar lehernya dan menengok.

   Alangkah herannya ketika dia melihat Sulastri yang mengakibatkan berkesiurnya angin lembut itu. Gadis itu sedang menghampirinya dan tubuhnya bagaikan bayangan saja, demikian ringan dan gesit. Dia merasa kagum sekali. Jelas dapat dia ketahui bahwa gadis itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang hebat.

   "Kiranya engkau, Lastri? Mengapa engkau bangun? Malam telah larut, tidurlah lagi dan jangan bangun sebelum pagi."

   Gadis itu memandang Aji dengan sinar mata menyatakan kekagumannya yang tidak disembunyikan.

   "Aah, Kakangmas Aji! Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuanku untuk meringankan tubuh, W namun tetap saja engkau dapat mengetahui kedatanganku. Tadinya aku hendak mengejutkanmu, akan tetapi aku kecelik."

   Aji bangkit berdiri dan tersenyum memandang gadis itu.

   "Aku cukup mendapat kejutan, Lastri, kejutan yang menggembirakan. Gerakan dan sikapmu menunjukkan bahwa engkau telah sembuh dan tenagamu sudah pulih sama sekali. Sukurlah, Lastri. Akan tetapi kenapa engkau sudah bangun? Tidurlah lagi."

   "Tidak! Aku sengaja bangun untuk menggantikanmu, mas Aji. sekarang engkaulah yang harus istirahat, biar aku menjaga di sini."

   "Tidak perlu, Lastri. Aku juga berjaga di sini juga sambil beristirahat."

   "Akan tetapi engkau perlu tidur agar besok pagi segar untuk bersamaku menghadapi gerombolan. Hayo, pergilah ke kamarmu dan tidur. Aku yang akan melanjutkan tugas berjaga di sini."

   "Tapi Lastri.......

   "

   "Tidak ada tapi, Mas Aji. Kalau engkau menolak, hatiku akan merasa tidak senang karena berarti engkau tidak menghargai kerja sama dengan aku. Hayo, pergilah mengaso!"

   Melihat kesungguhan gadis itu, Aji menurut karena dia maklum bahwa Sulastri benar-benar akan merasa tersinggung dan akan marah kalau dia berkeras menolak. Pula, menyaksikan gerakan gadis itu tadi, demikian gesit dan ringan tubuhnya, dia percaya bahwa Sulastri akan mampu menghadapi ancaman yang bagaimanapun juga. Diapun pergi ke kamarnya dan tanpa ragu-ragu lagi diapun merebahkan dirinya dan sebentar saja dia tenggelam ke dalam tidur yang pulas.

   Untung bahwa dalam kamar mandi di rumah itu masih tersedia banyak air dalam bak sehingga Aji dan Sulastri dapat mandi sepuasnya. Setelah mandi dan sarapan bubur, mereka berdua membuka pintu depan dan memandang ke luar. Cuaca masih remang-remang dan keadaan di dusun itu sunyi sekali. Yang terdengar hanya keruyuk ayam jago di sana sini dan burung-burung gereja berceloteh riang. Mereka berdua keluar dari dalam rumah, buntalan pakaian mereka telah bertengger di punggung masing-masing.

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ketika mereka mencari-cari, ternyata seperti yang sudah mereka duga dan khawatirkan, dua ekor kuda tunggangan mereka yang kemarin sore mereka tambatkan pada batang pohon di pekarangan rumah, sudah tidak tampak. Dua ekor kuda mereka telah dicuri orang! "Jahanam keparat Ki Sajali itu!"

   Sulastri mengepal tangan kanannya.

   "Awas kamu, sekali tertangkap olehku, akan tahu rasa kamu!"

   "Sabar dan tenanglah, Lastri. Agaknya kita berhadapan dengan gerombolan yang teratur, licik dan berbahaya. Lihat, dusun ini agaknya telah kosong. Kurasa dugaanmu semalam tepat sekali. Dusun ini adalah perkampungan gerombolan dan besar sekali kemungkinan mereka adalah anak buah gerombolan pimpinan Munding Hideung."

   "Barangkali Ki Sajali itu pimpinan mereka."

   Kata Sulastri.

   Aji menggeleng kepalanya.

   "Kurasa bukan. Menurut keterangan Gusti Pangeran Ratu, Munding Hideung pemimpin gerombolan itu digdaya sehingga berulang kali serbuan pasukan Cirebon gagal. Sedangkan Ki Sajali tadi, kulihat tidak berapa tangguh. Mungkin dia hanya seorang di antara para pembantunya saja."

   "Mari kita kejar dan cari mereka, kakangmas! Tanganku sudah gatal-gatal untuk segera menhajar mereka!"

   kata Sulastri yang merasa tidak sabar lagi. Kini gadis itu bukan hanya menjadi utusan Adipati Cirebon untuk membasmi gerombolan munding hideung, melainkan juga hendak membalas dendam karena nyaris ia tewas oleh gerombolan itu.

   "Nanti dulu, Lastri. Lihat, cuaca masih remang-remang, apa lagi di atas sana, di dalam hutan, tentu lebih gelap lagi. Amat berbahaya bagi kita untuk memasuki daerah yang asing itu dalam keadaan gelap. Gerombolan licik itu mungkin memasang jebakan-jebakan yang berbahaya. Kita tunggu sebentar sampai sinar matahari mengusir kegelapan dan halimun tebal ini."

   Sulastri tidak membantah karena iapun melihat kebenaran pendapat Aji itu. Mereka duduk di atas bangku di depan pondok itu sambil menanti munculnya sinar matahari. Setelah sinar matahari mulai menyentuh tanah pedusunan itu, Aji berkata.

   "Lastri, mari kita memeriksa keadaan dusun ini sambil menanti matahari naik lebih tinggi."

   Mereka berdua meninggalkan halaman rumah itu dan berjalan-jalan di sepanjang jalan dusun itu. Benar seperti yang mereka sangka, tidak ada seorangpun manusia yang berada di dusun itu. Dusun itu telah ditinggalkan orang dan ternyata pondok-pondok itupun isinya sederhana sekali. Setelah selesai memeriksa semua pondok yang telah kosong, matahari sudah menjadi semakin terang. mereka siap untuk meninggalkan dusun itu dan mendaki gunung. Akan tetapi ketika mereka berdua berjalan menuju ke pintu gerbang dusun itu, tiba-tiba terdengar suara gaduh dan sekitar dua puluh orang laki-laki yang memegang parang (golok) berserabutan memasuki dusun itu dan mereka mengepung Aji dan Sulastri!

   Baru melihat cara mereka bergerak mengepung itu saja Aji dan Sulastri sudah maklum bahwa mereka merupakan sekelompok orang yang terlatih, merupakan pasukan yang tangguh. Di antara mereka yang sekitar dua puluh orang jumlahnya itu tampak pula Ki Sajali dan seorang laki-laki tinggi besar yang mengenakan celana dan baju loreng terbuat dari kulit harimau loreng. Laki-laki yang berusia kurang lebih empat puluh tahun itu memegang sebatang tombak yang berwarna hitam dan berlekuk-lekuk, mengerikan sekali.

   Aji menudingkan telunjuk kirinya kepada Ki Sajali dan berkata dengan lantang.

   "Ki Sajali, kiranya dusun ini menjadi sarang gerombolan. tentu engkau dan semua penduduk dusun ini adalah kaki tangan gerombolan yang dipimpin Munding Hideung!"

   Ki Sajali yang memegang sebatang golok tidak menjawab, akan tetapi laki-laki gagah yang memegang

   tombak itu yang menjawab dengan suaranya yang besar dan parau.

   "bagus kalau andika sudah tahu bahwa kami adalah Gerombolan Mundung Hideung! Dan aku, Ki Manggala, yang memimpin pasukan ini. Kalian anak-anak menyerah dan berlututlah agar dengan baik-baik kami bawa menghadap pimpinan kami!"

   "Gerombolan busuk! Gerombolan licik! Kalian pengecut, hanya berani menggunakan racun dan main keroyokan! Ki Sajali, engkau sudah berani meracuni aku, sekarang engkau harus menebus perbuatanmu yang curang dan keji itu!"

   Bentak Sulastri dan secepat kilat tangan kanannya sudah mencabut Pedang Nogo Wilis. Sinar kehijauan tampak menyilaukan mata dan gadis itu dengan gerakan yang cepat dan ringan sekali sudah melompat ke depan. Gulungan sinar hijau pedangnya menyambar ke arah leher Ki Sajali.

   Orang tinggi kurus itu terkejut bukan main melihat sinar hijau menyambar sedemikian dahsyatnya seperti kilat saja. Dia cepat menggerakkan goloknya menangkis, dibantu oleh dua orang di kanan kirinya yang juga ikut menangkis sambaran sinar hijau itu.

   "Trang-cring-trakkk.......!"

   Golok Ki Sajali terpental, juga golok kawannya yang berada dikirinya, akan tetapi golok seorang lagi di sebelah kanannya, yang menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaga untuk mematahkan pedang hijau itu sebaliknya malah patah menjadi dua potong! Pada saat itu, orang yang mengaku bernama Ki Manggala, yang memimpin gerombolan itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah menusukkan tombak hitamnya ke arah dada Sulastri!

   "Tranggg!!"

   Tombak itu terpental dan Ki Manggala terkejut melihat bahwa yang menangkis dan membuat tombaknya terpental itu hanya sebatang keris yang digerakkan Aji untuk menangkis tombaknya tadi.

   Sementara itu, Sulastri sudah mengamuk, dikeroyok oleh Ki Sajali dengan kawan-kawannya. Dikeroyok belasan orang itu, Sulastri sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan ia seperti mendapat kegembiraan, dengan penuh semangat ia bergerak ringan dan cepat bagaikan bayang-bayang, berkelebatan ke sana sini dan pedangnya digerakkan cepat, berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung dan menyambar-nyambar. Dalam waktu beberapa menit saja terdengar teriakan-yeriakan disusul robohnya empat orang pengeroyok, menjadi korban Pedang Nogo Wilis.

   Aji juga sudah dikeroyok. Mula-mula Ki Manggala menggerakkan tombaknya. menyerang secara bertubi-tubi. namun dengan mudah Aji dapat menghindarkan diri dari serangkaian serangan tombak itu. Tubuhnya seperti tubuh seekor burung alap-alap ketika dihujani serangan patukan ular, mengelak dengan cepat dan ringan sehingga serangan tombak itu selalu mengenai tempat kosong belaka. Kemudian dia bergerak sambil membalas, dengan tamparan tangan kiri dan tendangan kedua kakinya silih berganti. Dia tidak menggunakan kerisnya karena Aji sama sekali tidak ingin membunuh lawannya. Akan tetapi serangan balasan itu cukup hebat sehingga akhirnya Ki Manggala tidak mampu menghindarkan diri dari sambaran kaki kiri Aji.

   "Bukk!!"

   Pinggangnya menjadi sasaran tendangan yang dilakukan dengan tubuh miring dan Ki

   (Lanjut ke Jilid 17)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 17

   Manggala terpental dan roboh terbanting. Akan tetapi dia memang cukup tangguh. Dia melompat bangun dan menyerang semakin ganas, kini dibantu oleh lima orang anak buahnya, sisa dari mereka yang mengeroyok Sulastri.

   Terjadilah pertempuran yang hebat di dekat pintu gerbang perkampungan gerombolan itu. Sulastri mengamuk dan pedangnya bergerak semakin ganas, Gulungan sinar kehijauan itu menyambar-nyambur dan terdengar bentakan-bentakannya yang nyaring. Lima belas orang yang mengeroyok kini tinggal delapan orang saja karena yang lain telah roboh terluka oleh pedangnya. Ketika Sulastri mempercepat gerakannya, delapan orang termasuk Ki Sajali itu bergabung menjadi satu dan selalu main mundur. Demikian cepat gerakan pedang sinar hijau itu sehingga mereka hampir tidak memiliki kesempatan untuk menyerang!

   Biarpun Ki Manggala merupakan lawan yang cukup tangguh dan masih dibantu lima orang pula, namun Aji merupakan lawan yang terlalu berat bagi mereka. Sambaran kaki Aji telah merobohkan dua orang pengeroyok dari tangkisan Keris Nogo Welang telah membuat buntung dua batang golok para pengeroyok. Ki Manggala menjadi gentar juga dan melihat betapa Ki Sajali yang mengeroyok gadis itupun kini terdesak hebat bahkan banyak yang roboh mandi darah, Ki Manggala memberi aba-aba sambil melompat ke belakang untuk melarikan diri.

   "Kita pergi.......!!"

   Dia sendiri sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu.

   Mendengar ini, para anak buah yang memang sejak tadi sudah merasa gentar, cepat berlompatan untuk melarikan diri meninggalkan kawan-kawan yang terluka. ketika melihat Ki Sajali melarikan diri, sulastri cepat membungkuk dan mengambil sebatang golok yang terlepas dari tangan anggota gerombolan yang dirobohkannya dan sambil mengerahkan tenaganya, ia melontarkan golok itu kearah Ki Sajali yang melarikan diri.

   "Singgg.......!!"

   Golok itu mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya lontaran itu dan tak dapat dihindarkan lagi, golok itu tepat mengenai punggung Ki Sajali, menancap sampai setengahnya. Ki Sajali mengeluarkan teriakan mengerikan dan tubuhnya roboh menelungkup, tewas seketika!

   "Mari kita kejar mereka, Mas Aji!"

   Seru Sulastri.

   "Tunggu dulu, Lastri!"

   Kata Aji.

   "Tunggu apa lagi?"

   Gadis itu mencela.

   "Jangan biarkan mereka semua lolos. Kita harus membasmi mereka semua!"

   "Mereka hanya anak buah, Lastri. Lebih baik kita mencari seorang yang dapat membawa kita ke sarang mereka dan bertemu dengan pimpinan mereka. Kita dapat memaksa seorang di antara mereka yang terluka itu."

   Pada saat itu, seorang diantara para anak buah gerombolan yang roboh terluka, bangkit berdiri dan dia melarikan diri. Akan tetapi dengan lebih cepat lagi Aji melompat dan tiba di depan orang itu. Ternyata orang itu tidak terluka. Tapi dia roboh pingsan ketika tengkuknya terkena pukulan tangan Aji dan setelah siuman dia berusaha untuk melarikan diri. Akan tetapi alangkah kagetnya melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Aji sudah berada di depannya. Karena tidak melihat jalan lain, dia menjadi nekat dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Aji.

   "Wuuuttt....... plakkk!"

   Tangan kanan yang memukul itu tertahan dan telah ditangkap tangan kiri Aji yang segera mengerahkan tenaga untuk mencengkeram pergelangan tangan lawan itu.

   "Aduhhh..... aduhhh..... ampun.....!"

   Orang itu berteriak-teriak kesakitan. Sulastri sudah meloncat dekat dan pedangnya menodong lambung orang itu disusul bentakannya.

   "Dengar! Engkau harus menunjukkan sarang gerombolan Munding Hideung kepada kami. Awas kalau engkau menipu kami, pedangku akan membuntungi semua kaki tanganmu!"

   Merasa betapa ujung pedang itu menempel di lambungnya orang itu terbelalak dengan wajah pucat. Dia menangguk-angguk dan berkata dengan takut.

   "..... baik..... baik..... akan saya antar.....!"

   Sulastri menarik kembali pedangnya dan Aji melepaskan cengkeraman tangannya. Orang itu memijit-mijit pergelangan tangan kanannya yang masih terasa nyeri berdenyut-denyut.

   "Hayo cepat antar kami ke sarang itu!"

   Bentak pula Sulastri dan dengan wajah ketakutan orang itu lalu mengangguk-angguk dan berjalan mendaki lereng bukit.

   Diam-diam Sulastri harus membenarkan pendapat Aji. Ternyata pendakian Gunung Careme itu tidaklah mudah dan lerengnya penuh dengan hutan dan semak belukar. Tanpa penunjuk jalan, mereka berdua tentu akan mendapatkan kesukaran untuk dapat menemukan jalan setapak yang membawa mereka ke atas. Lereng yang penuh dengan jurang-jurang yang curam dan jalannya melalui semak belukar dan licin sekali. Akan tetapi anggauta gerombolan yang menjadi penunjuk jalan itu agaknya sudah hafal akan keadaan di situ. Dia melangkah tanpa ragu. Agaknya dia mengambil jalan pintas karena hanya dalam waktu sekitar dua jam mereka sudah tiba di lereng paling atas, dekat puncak.

   "Berhenti dulu!"

   Kata Aji. Orang itu berhenti melangkah dan Sulastri memandang kepada Aji, tidak mengerti apa kehendak Aji menghentikan perjalanan mereka itu.

   "Ada apakah, mengapa kita berhenti di sini?"

   Tanya Sulastri dan juga tawanan mereka itu memandang wajah Aji dengan sinar mata bertanya.

   "Kita sudah hampir tiba di puncak, mengapa belum juga sampai di sarang kalian?"

   Tanya Aji kepada orang itu.

   "Di manakah sarang gerombolan itu? Jangan coba-coba untuk menipu kami!"

   Orang itu menggeleng kepala, apa lagi ketika Sulastri memandang kepadanya dengan sinar mata marah dan penuh ancaman. Dia merasa lebih takut terhadap gadis itu daripada Aji. Dia tadi melihat betapa banyak kawan-kawannya yang mengeroyok gadis itu roboh dan mandi darah, terluka parah atau tewas, bahkan Ki Sajali juga tewas oleh gadis itu. Sedangkan para pengeroyok Aji yang roboh tidak terluka parah seperti dia, dan agaknya tidak ada yang tewas.

   "Tidak, saya tidak berani menipu. dahulu, sarang kami memang berada di hutan sebelah bawah itu. Akan tetapi setelah dua kali kami diserang pasukan Kadipaten Cirebon, pimpinan kami lalu memindahkan sarang kami di lereng balik gunung, di seberang sebuah danau kecil yang terdapat di sana."

   "Cepat antar kami ke sana! Ingat, kalau engkau berani menipu kami, aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit tubuhmu agar engkau mati dengan tersiksa sekali!"

   Bentak Sulastri. Orang itu mengangguk dan melanjutkan perjalanan. Aji menegerling kepada Sulastri dan mengerutkan alisnya.

   Sebetulnya dia tidak setuju dengan sikap dan sepak terjang Sulastri yang demikian ganas, akan tetapi dia tidak berani menegurnya, maklum bahwa teguran akan membuat gadis itu marah dan ersinggung. mereka berdua jalan berdampingan di belakang penunjuk jalan itu. Kini mereka menuruni lereng di balik gunung. Dari atas sudah tampak sebuah danau kecil di lereng bawah puncak. Air danau berkilauan tertimpa sinar matahari yang mulai meninggi, putih seperti cermin.

   "Di seberang danau itulah sarang kami yang baru!"

   Kata penunjuk jalan itu. Mereka bertiga menuruni puncak dengan cepat. setelah tiba di tepi danau, Aji bertanya.

   "Di mana sarang itu?"

   Penunjuk jalan itu menunjuk ke seberang danau. Danau itu tidak serapa luas dan keadaan di situ sunyi sekali. Di seberang sana tampak hutan lebat.

   "Bagaimana kita harus menyeberangi danau ini?"

   Tanya pula Aji.

   "Tidak ada jalan lain menuju ke sana kecuali dengan menyeberang. Biasanya terdapat perahu-perahu kami di sini. akan tetapi sekarang tidak tampak sebuahpun perahu. Tentu para pimpinan kami sudah mendengar dari teman-teman kami yang melarikan diri dan mereka menarik semua perahu ke darat agar andika tidak dapat mendatangi sarang kami. Aku....... aku takut, karena kalau Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas melihat bahwa aku telah menjadi penunjuk jalan, mereka pasti akan menyiksa dan membunuhku."

   Orang itu memandang ke arah seberang dengan muka pucat.

   Aji memandang keadaan sekeliling danau. memang tidak ada jalan lain menuju ke seberang danau di mana terdapat hutan luas. Danau itu dikelilingi tebing yang tinggi sehingga untuk menuju ke hutan di seberang itu jalan satu-satunya hanya menyeberangi danau. Kalau mengambil jalan memutari tebing itu tentu akan makan waktu lama dan juga amat sukar karena terdapat jalan setapak.

   "sarang kalian berada di hutan seberang danau itu?"

   Tanyanya.

   "Benar, denmas,"

   Kata orang itu.

   "Lihat itu ada asap mengepul. tentu asap dari dapur umum kami."

   Dia menuding ke seberang. Aji dan Sulastri melihat itu dan mereka percaya.

   "Berapa banyaknya anggauta gerombolan?"

   Tanya Sulastri.

   "Ada lima puluh orang lebih, den roro."

   "siapa saja yang menjadi pemimpin mereka?"

   Aji bertanya.

   "Pemimpin kami adalah Ki Munding Hideung dan adiknya, Ki Munding Bodas, dibantu oleh lima orang. Kami membangun pondok-pondok kayu di dalam hutan itu."

   Matahari telah naik tinggi.

   "Lastri, kita harus menyeberang."

   Kata Aji.

   "Kurasa juga begitu. Akan tetapi dengan apa? Tidak ada perahu di sini."

   "Mudah saja. banyak bambu besar tumbuh di sana."

   Aji menuding ke kiri. Sulastri maklum.

   "Heh kamu! Cepat tebang tiga batang pohon bambu besar dan buatkan rakit untuk kami1"

   Bentaknya kepada orang itu.

   Orang itu mengangguk.

   "baik, denroro. akan tetapi ........ saya tidak mempunyai alat menebang."

   Sulastri mencabut pedang Nogo Wilis.

   "Aku yang akan menebang. Engkau harus membuatkan rakit untuk kami!"

   Setelah berkata demikian, gadis itu mengajak anak buah gerombolan itu menghampiri rumpun bambu. Dengan tiga kali sabetan saja, tiga batang bambu yang besar dan sudah tua tumbang. Sulastri lalu memotong-motong tiga batang bambu itu sesuai dengan prtunjuk orang itu. Karena orang itu memang ahli dalam pekerjaan itu, sebentar saja dia telah merampungkan pembuatan rakit yang kokoh, terdiri dari bambu-bambu disejajarkan dan diikat dengan tali bambu yang kuat.

   Aji membantu anak buah gerombolan mengangkat rakit ke tepi danau. Setelah mereka siap menyeberang danau dengan rakit, orang itu memandang Aji dan mukanya pucat sekali, tubuhnya gemetar.

   "denmas....... denroro....... kasihanilah saya....... saya tidak berani ikut...... mereka tentu akan mencincangku melihat saya membawa andika berdua ke sana. Kasihanilah saya....... jangan ajak saya ke sana........

   "

   "Engkau harus ikut! Kalau engkau tidak ikut, bagaimana kami tahu apakah engkau menipu kami atau tidak?

   Hayo ikut kami menyeberang!"

   Sulastri membentaknya. Orang itu ketakutan dan memandang Aji dengan sinar mata penuh permohonan.

   "Ikutlah, aku akan melindungimu dari mereka,"

   Kata Aji yang tidak dapat menyalahkan sikap Sulastri karena memang orang itu perlu ikut untuk menjamin bahwa dia tidak akan menipu mereka. mendengar ucapan Aji itu, anggauta gerombolan itu tampak lega dan dia lalu ikut naik ke atas rakit sambil membawa dua potong kayu yang dibentuk sebagai dayung. Dia menyerahkan sepotong kepada Aji, kemudian dua orang laki-laki itu mulai menggerakkan dayung. Sulastri berdiri didepan sambil mengamati keadaan depan dengan waspada.

   Karena rakit itu didayung dua orang dan tenaga Aji yang mendayung amat kuat, rakit meluncur cepat. Danau itu termasuk kecil sehingga sebentar saja rakit itu sudah hampir mencapai seberang. Tiba-tiba tampak bayangan banyak orang bermunculan dari balik batang-batang pohon dan meluncurlah puluhan batang anak panah menyambar ke arah tiga orang yang berada di atas rakit!

   Karena Sulastri berdiri di bagian depan rakit, tentu saja ia yang lebih dulu menjadi sasaran hujan anak panah itu. Ia memutar pedangnya dan tampak gulungan sinar hijau menjadi perisai dan semua anak panah yang menerjang perisai gulungan sinar hijau itu runtuh dan terlempar ke kanan kiri. Anak buah gerombolan yang melihat penyerangan anak panah ini, berderu ketakutan dan dia sudah melompat ke dalam air, berenang sekuatnya berusaha menjauhi pantai itu. Akan tetapi beberapa batang anak panah menyambar ke arahnya. Terdengar dia menjerit dan dia tenggelam. Tampak gelembung-gelembung di permukaan air yang berwarna agak kemerahan.

   "Putar terus pedangmu, Lastri!"

   Kata Aji dan pemuda ini mengerahkan tenaganya mendayung sehingga rakit itu meluncur dengan cepatnya ke tepi danau. Anak panah semakin gencar meluncur dan menyerang, namun tidak sebatangpun mampu menerobos gulungan sinar hijau dari Pedang Nogo Wilis yang diputar cepat sekali olah Sulastri. Puluhan batang anak panah itu terlempar ke sana sini, banyak di antaranya patah ketika bertemu sinar hijau. Setelah rakit meluncur dekat, dalam jarak dua tiga meter dari darat, Aji berseru kepada Lastri.

   "Lastri, kita mendarat!"

   Aji melompat ke darat sambil memutar dayungnya sedangkan Sulastri melompat sambil memutar pedangnya.

   Mereka menangkis anak panah yang masih menyerang seperti hujan. Akhirnya mereka tiba dan berdiri di atas tanah. Tidak ada anak panah lagi menyerang, akan tetapi puluhan orang mengepung mereka. Orang-orang itu tampak terbelalak, kagum dan heran. Sama sekali mereka tidak mengira bahwa yang "menyerbu"

   Sarang mereka itu hanya dua orang muda, yang seorang malah seorang gadis remaja! Ketika mendengar laporan-laporan para anak buah yang melarikan diri dari dusun Kapayun, mereka tidak mau percaya begitu saja. Akan tetapi sekarang mereka melihat buktinya, juga melihat betapa gadis remaja itu mampu menangkis semua anak panah dengan pedangnya!

   Yang berdiri paling depan adalah dua orang yang jelas merupakan pimpinan mereka. Bahkan Aji dan Sulastri yang sudah mendengar dari anak buah gerombolan yang mereka tawan tadi siapa yang menjadi pemimpin mereka, segera dapat menduga siapa dua orang tinggi besar yang mengenakan pakaian seorang senopati yang gagah dan mewah. Selain pakaian mereka terbuat dari kain halus dan potongannya seperti pakaian seorang senopati, juga mereka memakai kalung dan gelang yang terbuat dari emas! Begitu kakinya mendarat dan saling adu pandang dengan dua orang laki-laki tinggi besar itu, Sulastri segera bertolak pinggang dengan tangan kiri dan pedangnya kini menuding ke arah muka dua orang itu.

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Heh, kalian berdua manusia-manusia curang dan licik! Kelihatannya saja kalian ini gagah perkasa dan tinggi besar, tidak tahunya kalian hanya pengecut-pengecut besar yang kalau berhadapan dengan musuh beraninya menggunakan racun dan main keroyokan! Aku mengenal siapa kalian. Kamu yang bermuka hitam tentulah si kerbau hitam (Munding Hideung) dan kamu yang bermuka putih tentulah si kerbau putih (Munding Bodas). Hayo, kutantang kalian untuk bertanding satu lawan satu! Kalau main keroyokan ternyata kalian memang hanya kerbau-kerbau tolol yang pengecut!"

   Semua anggauta gerombolan itu terbelalak. Belum pernah selama hidup mereka menyaksikan seorang gadis remaja seberani dan segalak ini! Menantang Munding Hideung dan Munding Bodas! Dan menghina mereka lagi, menghina secara keterlaluan dan tidak kepalang tanggung! Bahkan Aji sendiri merasa betapa Sulastri telah menghina orang secara berlebihan, akan tetapi tentu saja dia diam dan hanya waspada, siap menghadapi segala kemungkinan. akan tetapi diam-diam diapun kagum karena dia dapat menduga bahwa kegalakan sikap Sulastri itu memang disengaja untuk memanaskan perut dua orang pemimpin gerombolan agar mereka menyambut tantangannya demi harga diri mereka! Hal ini menunjukkan betapa cerdiknya Sulastri.

   Dugaan Aji memang tepat dan ternyata akal Sulastri itupun berhasil baik. Wajah Munding Hideung yang hitam itu berubah menjadi semakin hitam dan wajah Munding Bodas yang putih itu kini tampak kemerahan. Dari sinar mata mereka tampak bahwa dua orang benggolan perampok itu marah bukan main mendengar ucapan Sulastri yang amat menghina mereka.

   Dua orang itu, kakak beradik Munding Hideung dan Munding Bodas, adalah tokoh-tokoh yang mewarisi aji kesaktian dari peninggalan Kerajaan Pajajaran. Guru mereka adalah mendiang Ki Mahesa Sura, seorang datuk yang berasal dari kerajaan Pakuwan (Bogor). Mereka memang digdaya sehingga tidak aneh kalau dua kali serangan pasukan Cirebon dapat mereka pukul mundur. Selain aji kanuragan, yaitu ilmu pencak silat yang disertai penggunaan tenaga sakti, juga mereka mempelajari ilmu sihir dari mendiang guru mereka. Kakek dari Ki Mahesa Sura yang bernama Mahesa Badag, dahulu terkenal sebagai seorang datuk Kerajaan Pakuwan yang kemudian merajalela sampai ke Kerajaan Pajajaran sukar dicari tandingnya.

   Mendiang Ki Mahesa Badag ini memiliki aji kesaktian yang dapat membuat dirinya berubah menjadi berbagai binatang buas. Dapat berubah menjadi seekor harimau, atau seekor kerbau liar yang amat ganas. bertahun-tahun dia merajalela di Kerajaan Pajajaran. Akhirnya, dia bertemu juga dengan seorang lawan yang sakti mandraguna, yang bukan lain adalah Sunan Gunung Jati yang semula dikenal dengan banyak nama, antara lain Nurullah, atau Syekh Ibnu Molana. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Faletehan atau Tagaril. Dia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati karena setelah wafat dia dimakamkan di sebuah gunung yang disebut Gunung Jati dekat ibu kota Cirebon. Ketika kebetulan Sunan Gunung Jati berada di Kerajaan Pajajaran, dia bertemu dengan kakek bernama ki Mahesa Badag ini.

   Mereka bertanding, kabarnya sampai sehari semalam lamanya dan akhirnya Ki Mahesa Badag harus mengakui keunggulan Sunan Gunung Jati, penyebar agama baru Islam itu. Semenjak itu, Ki Mahesa Badag mengundurkan diri ke Pegunungan Careme sampai anak cucunya yang hidup sebagai petani juga tidak pernah meninggalkan Pegunungan Careme.

   Dia menurunkan ilmu-ilmunya kepada keturunannya, akan tetapi setelah ilmu-ilmu itu dipelajari oleh dua orang buyutnya, yaitu Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas, ilmu-ilmu itu hanya tinggal kurang lebih setengahnya saja. Pada jaman itu, seorang guru menurunkan ilmu kepada muridnya tidak sepenuhnya sehingga makin lama ilmu itu semakin merosot tingkatnya.

   Biarpun demikian Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas masih mewarisi aji kesaktian yang cukup hebat, diantaranya mengubah diri menjadi harimau besar yang ganas! Maka, tentu saja mereka menjadi marah sekali ketika ada seorang gadis remaja menghina mereka di depan anak buah mereka. Kemarahan membuat mereka menjadi lengah, kemarahan membuat mereka lupa betapa pembantu mereka, Ki Sajali dikabarkan tewas di tangan gadis ini dan dua puluh lebih anak buah mereka dibuat kocar-kacir, ada yang tewas dan ada yang terluka, sisanya melarikan diri dan melapor kepada mereka berdua. Mereka lupa bahwa mereka kini sedang berhadapan dengan lawan yang sakti mandraguna. Mereka terlalu tekebur dan mengandalkan kekuatan sendiri, memandang rendah kepada orang lain.

   Dua kakak beradik itu saling pandang dan maklumlah mereka akan isi hati masing-masing, bahwa mereka harus membunuh gadis remaja yang telah melontarkan penghinaan yang amat menyakitkan hati mereka itu. Mereka berkemak-kemik membaca mantera, lalu keduanya mengeluarkan suara gerengan yang menyeramkan. Bukan suara manusia lagi, melainkan suara harimau yang menggereng-gereng marah, lalu suara itu makin meninggi menjadi auman harimau yang menggetarkan hati. Tiba-tiba mereka berdua menurunkan kedua tangan ke atas tanah, seperti merangkak, berjungkir balik tiga kali dan dua orang kakak beradik itu seketika berubah menjadi dua ekor harimau sebesar anak lembu! Dua ekor harimau itu mengaum-aum, mendesis memperlihatkan taring dan mencakar-cakar tanah dengan kedua kaki depan membuat tanah dan batu berhamburan! Sulastri tidak merasa gentar. Gadis itu melintangkan pedangnya dan siap melawan dua ekor harimau itu dengan pedangnya. Akan tetapi Aji lalu melangkah ke depan.

   "Mundurlah, Lastri. Biarkan aku yang menghadapi permainan mereka ini!"

   Aji kini maju menghadapi dua ekor harimau yang tampaknya menjadi semakin ganas. Auman mereka menggetarkan seluruh tepi danau, bergema di dalam hutan di belakang mereka. Akan tetapi Aji tenang-tenang saja, lalu dia membungkuk, meraup tanah dengan kedua tangannya lalu menyambit dua ekor harimau itu dengan tanah yang digenggamnya.

   "Demi Asma Gusti Allah, yang palsu akan lebur, dari tanah kembali menjadi tanah! Mahluk jadi-jadian, kembalilah kalian ke asalmu!"

   Sambitan itu dengan tepat mengenai kepala dua ekor harimau yang mengaum-aum dan sungguh aneh. Dua ekor harimau besar yang kelihatan amat liar dan kuat itu, begitu terkena hantaman tanah itu, roboh terguling-guling dan ketika mereka bangkit kembali, mereka telah berubah menjadi Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Dua orang itu membelalakkan mata dan memandang kepada Aji dengan penuh kemarahan.

   "Keparat!"

   Bentak Ki Munding Hideung sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah Aji dan Sulastri yang kini sudah melangkah maju di samping Aji.

   "Katakan siapa kalian dan mengapa kalian berdua mambuat kacau di wilayah kami!"

   Dengan sikap tenang namun suaranya yang lembut penuh wibawa, Aji menjawab.

   "Ki Munding Hideung dan Ki Munding Bodas! Benarkah kalian yang bernama demikian dan menjadi pimpinan gerombolan yang suka mengacau di Kadipaten Cirebon selama ini?"

   "Benar, kamilah pimpinan gerombolan Munding Hideung! Siapa kalian?"

   "Aku bernama Lindu Aji dan gadis ini adalah Sulastri. Kami berdua merupakan utusan dari Gusti Pangeran Ratu di Cirebon untuk menangkap kalian yang mendatangkan kekacauan."

   "Hoa-ha-ha-ha!"

   Ki Munding Hideung tertawa bergelak.

   "Adi Munding Bodas, kamu dengar ocehan bocah ini? Mereka hanya datang berdua tanpa pasukan dan katanya hendak menangkap kita. Ha-ha-ha!"

   Ki Munding Bodas juga tertawa bergelak.

   "Heh, kalian dua ekor kerbau gila yang tolol! Apa kalian berani menerima tantanganku tadi untuk bertanding satu lawan satu? Atau kalian adalah pengecut-pengecut yang hendak melakukan pengeroyokan? Kalau begitupun kami berdua tidak takut dan akan membasmi kalian semua!"

   "Gadis sombong! Aku yang akan menandingimu dan kalau engkau tertawan olehku, engkau harus menghiburku sampai aku merasa bosan dan membunuhmu!"

   Teriak Ki Munding Bodas dan dia sudah menerjang gadis itu menggunakan sebatang senjata ruyung, yakni sebuah penggada terbuat dari galih asem (bagian tengah pohon asam) yang diberi benjol-benjol runcing. Senjata yang menggiriskan ini berat sekali, akan tetapi Ki Munding Bodas dapat menggerakkannya dengan cepat seolah senjata itu hanya seringan kayu. Angin mengiuk dan menyambar ketika dia menyerang Sulastri dengan ruyungnya.

   "Wuuuttt..... wesss!!"

   Pukulan ruyung ke arah kepala Sulastri itu dapat dielakkan gadis itu dengan mudah ke kiri dan dari bawah pedangnya mencuat dan menusuk ke arah perut lawan. Ki Munding Bodas terkejut sekali melihat betapa serangannya dibalas secara langsung oleh gadis itu. Dia memutar pergelangan tangannya. Ruyungnya yang tadi luput menghantam kepala gadis itu membalik ke bawah dan menangkis pedang bersinar hijau itu. Ki Munding Bodas mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud untuk memukul patah pedang lawan atau setidaknya membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan Sulastri.

   "Cringggg.......!!"

   Biarpun ruyung itu terbuat dari kayu asam, akan tetapi keras sekali dan bertemunya ruyung dengan pedang itu sampai menimbulkan bunga api yang berpijar. Alangkah kaget hati Ki Munding Bodas ketika melihat bahwa pedang hijau di tangan gadis itu sama sekali tidak patah atau terlepas, bahkan sebaliknya dia merasa tangan kanannya tergetar hebat, tanda bahwa tangan kecil lembut putih mulus yang memegang pedang itu memiliki tenaga sakti yang dahsyat! Barulah dia menyadari bahwa gadis itu bukan sekedar sombong melainkan benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh. Maka diapun segera memutar ruyungnya dan mengamuk dengan mengerahkan semua tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya.

   Namun, Sulastri tidak menjadi gentar dan dapat mengimbangi permainan senjata lawan, bahkan iapun tidak mau mengalah melainkan membalas serangan dengan serangan yang berbahaya dan mematikan. Terjadilah pertandingan yang seru dan mati-matian. Sementara itu, melihat adiknya sudah saling serang dengan gadis berpedang sinar hijau itu, Ki Munding Hideung lalu mencabut senjatanya, sebatang parang (golok) yang besar dan berat.

   "Bocah lancing, mampus kau!"

   Bentaknya dan parangnya yang sudah menyambar dengan amat cepat dan kuatnya ke arah leher Aji. Agaknya dia ingin memenggal kepala pemuda itu dengan satu kali bacokan!

   "Singggg.......!"

   Golok itu menyambar lewat atas kepala Aji ketika pemuda ini mengelak dengan merendahkan tubuhnya. Akan tetapi dengan amat cepat, golok itu seperti terbang membalik dan sudah menyambar lagi ke arah dadanya. Bukan main cepatnya gerakan golok di tangan Munding Hideung itu. Namun Aji lebih cepat lagi. Dia sudah melangkah ke belakang sehingga ujung golok menyambar lewat di depan dadanya. Akan tetapi kembali golok itu membalik dan sudah menyerang lagi dengan cepat, menyambar ke arah kedua kaki pemuda itu.

   

Si Teratai Merah Karya Kho Ping Hoo Kumbang Penghisap Kembang Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini