Alap Alap Laut Kidul 17
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 17
Setelah melihat keadaan Eulis sudah sembuh benar, mulailah Jatmika merasa bingung sendiri. Apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu? Gadis itu kehilangan ingatan, tidak ingat lagi siapa dirinya dan siapa pula orang tuanya, tidak tahu di mana tempat tinggalnya. Tentu saja dia tidak dapat meninggalkan Eulis begitu saja! Gadis itu akan menjadi terlantar walaupun ia sakti dan tampaknya juga cerdik. Sore pada hari ketiga di rumah Ki Lurah itu, Jatmika mengajak Eulis untuk duduk berdua saja di dalam kebun belakang rumah Ki Lurah. Tuan rumah dan keluarganya tidak berani mengganggu. Mereka semua menaruh hormat kepada Jatmika dan Eulis, buka hanya karena sikap kedua orang muda itu, melainkan juga karena Jatmika tidak mau menyusahkan mereka dan selalu mengeluarkan uang untuk membiayai semua keperluan mereka berdua. Untuk Eulispun Jatmika telah membeli beberapa perangkat pakaian pengganti. Mereka berdua duduk berhadapan di atas bangku yang berada di kebun merangkap taman itu.
"Nimas Eulis,"
Jatmika mulai membuka percakapan. Selama ini dia selalu bersikap sopan, bahkan jarang mengajak gadis itu bercakap-cakap karena tidak ingin menambah kebingungan pikiran gadis itu. Dia merasa kasihan kepada gadis itu, bahkan diam-diam dia harus mengaku bahwa dia tertarik sekali dan jatuh cinta kepada gadis yang lupa akan namanya sendiri itu.
"Ya, kakangmas Jatmika. Ada apakah?"
"Nimas, kulihat kesehatanmu sudah pulih. Luka-lukamu hampir sembuh dan engkau tidak merasa nyeri lagi, bukan?"
"Tidak, kakangmas. Aku sudah sembuh dan semua ini berkat kebaikan hati dan pertolonganmu."
Eulis memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata bersukur dan berterima kasih.
"Jangan disebut lagi tentang pertolongan itu, nimas. Sekarang yang ingin kubicarakan adalah, bagaimana selanjutnya dengan dirimu? Ke mana engkau hendak pergi setelah kita meninggalkan rumah Ki Lurah ini?"
Ditanya begitu, sulastri atau Eulis merasa seperti orang ditodong keris. Ia termangu-mangu, matanya sejenak menatap wajah Jatmika, lalu memandang ke kanan kiri seperti ingin minta bantuan dari mana saja, kemudian tampak bingung dan akhirnya ia menghela napas dan menggeleng kepalanya.
"Aku sungguh tidak tahu, kakangmas. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tidak tahu ke mana aku harus pergi.
Akan tetapi yang jelas, aku harus pergi meninggalkan rumah Ki Lurah ini dan aku akan pergi, entah ke mana. Aku akan menghadapi ketidakpastian itu dengan berani!"
"Engkau akan mencari orang tua dan tempat tinggalmu?"
"Aku tidak ingat siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggalku, akan tetapi aku tahu bahwa namaku Listyani dan panggilanku Eulis. Siapa tahu akan ada yang mengenalku dan memberitahu di mana dan siapa orang tuaku."
Jatmika menatap wajah ayu itu dan merasa kasihan sekali. Dia tidak tega untuk mengatakan bahwa nama Listyani atau Eulis itu sesungguhnya hanyalah nama pemberiannya, bukan nama aseli gadis itu!
"Nimas Eulis, aku bersedia untuk membantumu, mencari orang tua dan tempat tinggalmu sampai dapat. Akan tetapi sungguh sayang, saat ini aku terpaksa tidak dapat menyertaimu karena aku mempunyai tugas kewajiban yang teramat penting."
Tadinya hati Eulis merasa girang sekali mendengar pemuda itu hendak membantunya mencari orang tuanya, akan tetapi ia kecewa mendengar lanjutan kalimat itu bahwa Jatmika tidak dapat menyertainya karena mempunyai tugas yang penting sekali.
"Tugas penting apakah itu, kakangmas Jatmika? Engkau sudah menolongku, maka aku akan merasa girang sekali kalau dapat membalasmu dan membantumu dalam melaksanakan tugasmu itu."
Wajah yang tampan itu berseri.
"Benarkah, nimas? Akan tetapi tugasku berbahaya sekali."
Eulis tersenyum lebar dan jantung dalam dada Jatmika berdebar keras, matanya terpesona memandang keindahan wajah ketika tersenyum itu. Manisnya!
"Apa artinya bahaya, kakangmas? Ketika engkau menolongku melawan kakek bertongkat ular yang sakti dan para pembantunya itupun berbahaya. Bahaya merupakan makanan bagi kita yang menentang kejahatan. Bukankah begitu?"
Jatmika semakin kagum. Biarpun dia tidak tahu benar siapa sebenarnya gadis ini, namun dari sikapnya jelas mudah diketahui bahwa gadis ini mempunyai watak pendekar yang gagah perkasa.
"Aku merasa girang dan berterima kasih sekali kalau engkau mau membantuku, Nimas Eulis. Dengan bantuan seorang yang digdaya sepertimu, pekerjaanku akan menjadi lebih mudah. Akan tetapi bukankah amat perlu bagimu untuk mencari orang tuamu agar dapat memulihkan ingatanmu?"
Sulastri menggeleng kepalanya.
"Bagaimana aku dapat mencari meraka kalau aku tidak ingat siapa nama mereka, bagaimana rupa mereka dan di mana mereka tinggal? Biarkan aku ikut denganmu dan membantumu, kakangmas, karena saat ini hanya engkaulah satu-satunya orang yang kukenal dan kupercaya kebaikannya. Nah, ceritakan, apa sih tugasmu itu?"
"Begini, nimas. Sebenarnya aku mengembara ini membawa pesan dan tugas yang diberikan ayahku dan eyangku (kakekku). Mereka adalah dua orang yang paling kuhormati dan kupatuhi di dunia ini, maka aku harus menaati pesan dan perintah mereka."
Sulastri memandang wajah pemuda itu dengan kagum.
"Ah, ternyata engkau seorang yang berbakti sekali, kakangmas. Siapakah ayah dan eyangmu itu?"
"Ayahku bernama Ki Sudrajat. Ibuku telah meninggal dunia dua tahun yang lalu. Tadinya ayah dan aku tinggal di Banten. Akan tetapi sekarang kami tinggal di pantai Dermayu untuk menemani eyang yang sudah tua sekali. Tadinya ayah sendiri yang pergi ke Dermayu, aku menyusul tak lama kemudian. Setelah tinggal di sana beberapa minggu, aku merasa tidak betah karena menganggur, maka aku berpamit hendak pergi merantau. Lalu ayah dan eyang memberi tugas ini kepadaku."
"Engkau belum mengatakan siapa nama eyangmu, kakangmas."
"O, ya, eyang bernama Ki Ageng Pasisiran dan dia sudah tua sekali, maka perlu ditemani ayahku."
Ingatan Sulastri ternyata telah terhapus sama sekali sehingga nama gurunya inipun sama sekali tidak teringat olehnya. Ia seperti seorang hidup baru dan yang diketahuinya hanyalah bahwa ia bernama Listyani atau Eulis dan satu-satunya orang yang dikenalnya hanyalah Jatmika!
"Dan apa tugas yang penting itu?"
Tanyanya.
"Menurut ayah dan eyang, pada saat ini Kadipaten Sumedang sedang menghadapi pemberontakan yang kabarnya dipimpin oleh orang-orang yang sakti. karena antara eyang dan Sang Adipati di Sumedang masih ada hubungan sanak keluarga walaupun sudah jauh, maka eyang menuruh aku agar pergi ke Sumedang dan membantu Kadipaten Sumedang menghancurkan para pemberontak itu."
"Sumedang? Di manakah itu, kakangmas?"
Jatmika menghela napas dan memandang dengan sinar mata penuh iba. Gadis ini bagaikan seorang asing yang baru datang dari luar negeri dan baru saja berada di Nusantara sehingga tidak mengenal apa-apa, bahkan Kadipaten Sumedang tidak tahu. Pada hal, kalau menurut logat bicaranya, jelas bahwa gadis ini tentu berasal dari daerah Cirebon.
"Kadipaten Sumedang terletak di sebelah barat sana. Kalau memang engkau mau ikut dan membantuku, nimas, marilah kita berangkat sekarang juga. Tidak enak kalau kita terlalu lama mengganggu Ki Lurah."
"Baiklah, kakangmas. Aku memang ingin sekali membantumu, akan tetapi kelak engkau harus membantu aku mencari orang tuaku."
"Tentu saja! Jangan khawatir, nimas Eulis. Aku pasti akan membantumu sampai engkau dapat bertemu kembali keluargamu."
Dalam hatinya Jatmika merasa khawatir.
Bagaimana mungkin dia dapat menemukan orang tua gadis ini yang tidak diketahui namanya, bahkan wajahnyapun tidak dikenal oleh Eulis sendiri? Dan pula, hal ini yang merisaukan hatinya, siapa tahu gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini telah memiliki suami atau calon suami! Setelah berpamit kepada Ki Lurah sekeluarga dan mengucapkan banyak terima kasih, Jatmika dan Eulis lalu meninggalkan dusin itu, melakukan perjalanan ke barat.
Ketika Aji memasuki kadipaten Cirebon, dia melihat keadaan kota itu ramai dan makmur, seperti keadaan kota-kota pasisir pada waktu itu. Perdagangan agak ramai di kota Cirebon dan terdapat toko-toko bangsa Cina yang menjual berbagai barang yang tidak tedapat di pedalaman. Juga keadaan kota itu biasa saja, seolah tidak ada persiapan menghadapi perang besar yang direncanakan Sultan Agung untuk menyerang Kumpeni Belanda di Batavia. Pada hal, menurut keterangan yang dia dengar dari Suroantani, Adipati atau Raja di Cirebon sudah merupakan sekutu yang mengakui kekuasaan Mataram. Dia mencari keterangan dari penduduk tentang kota Dermayu dan setelah mendapat petunjuk lengkap, berangkatlah dia ke Dermayu dengan maksud mencari Ki Subali, ayah Sulastri.
Setelah memasuki Dermayu (Indramayu), dia bertanya-tanya dan semua orang tahu siapa ki subali dan di mana rumahnya. Ki Subali adalah seorang dalang, satrawan dan seniman yang terkenal, bukan hanya Dermayu, bahkan terkenal sampai ke kota raja Cirebon. Setelah mendapat keterangan, siang hari itu Aji langsung saja berkunjung ke rumah Ki Subali. Rumah itu cukup besar dan terbuat dari kayu jati. Hal ini menunjukkan bahwa pemiliknya seorang yang memiliki penghasilan cukup. Di pekarangan depan terdapat taman bunga yang terawat oleh tangan-tangan mungil Sulastri! Dia memasuki pintu pagar yang tidak terjaga, melangkah di atas jalan berkerikil di tengah taman pekarangan. Keharuman bunga mawar daan melati menyambutnya dan kembali keharuman ini mengingatkan dia akan Sulastri
yang suka menyelipkan bunga mawar dan melati ke rambutnya.
Setelah tiba di serambi depan, dia berhenti, berdiri menghadap pintu depan yang terbuka, lalu berseru dengan lembut namun disertai tenaga dalam sehingga suaranya dapat terdengar sampai jauh.
"Kulo nuwun.....!!"
Tidak ada jawaban. aji teringat bahwa di tempat itu mungkin cara memberi salam lain lagi karena bahasanya juga sudah banyak menggunakan bahasa Sunda. Maka di menyusulkan salam dalam bahasa Sunda.
"Puuuunnnnten.......!"Kembali dia menanti dan tidak terdengar jawaban. Kemudian dia teringat. Orang-orang pesisiran ini sudah banyak yang beragama Islam, berbeda dengan di daerah pedalaman yang belum begitu banyak umat Islam. Maka sekali lagi dia memberi salam.
"Assalaamualaikum.....!"
Benar saja. Tak lama kemudian terdengar jawaban dari dalam, suaranya agak lemah, tanda bahwa yang menjawab itu berada jauh di bagian dalam rumah.
"Alaikum salaam.....!"
Suara wanita. Berdebar rasa jantung Aji. Kalau yang muncul ibu Sulastri, bagaimana dia akan dapat menceritakan apa yang telah menimpa diri Sulastri? Dia menunggu dan terdengar langkah lembut menuju ke luar.
Seorang wanita muncul. Tubuhnya masih ramping dan wajahnya masih meninggalkan bekas kecantikan. Pakaiannya sederhana namun sopan dan rapi. Melihat bahwa tamunya seorang pemuda tampan, wanita itu memandang ragu karena tidak merasa kenal pemuda itu.
"Andika siapakah, ki sanak? Dan keperluan apakah yang membawa andika datang berkunjung"
Pertanyaan itupun lembut dan sopan, membuat Aji harus hati-hati untuk bersikap.
"Maafkan saya, bibi. Saya bernama Lindu Aji dan kalau diperkenankan, saya mohon bertemu dengan Paman Subali. Benarkah ini rumah kediman Paman Subali?"
Wanita itu adalah istri ki subali. Ia senang melihat sikap dan mendengar jawaban Aji yang demikian lembut dan sopan.
"Benar, anakmas, ini adalah rumah kediaman Ki Subali dan aku adalah isterinya."
"Ah, maaf, kanjeng bibi. Terimalah, hormat saya,"
Kata Aji sambil membungkuk dengan sikap hormat.
"Andika hendak bertemu dengan Ki Subali? Masuklah dan duduklah, anak mas. Tunggulah sebentar, aku akan memberitahu kepadanya."
Wanita itu mempersilakan Aji duduk di atas kursi yang terdapat di serambi itu.
"Terima kasih, kanjeng bibi,"
Kata Aji dan diapun duduk di atas kursi serambi, menghadap ke arah pintu yang menembus ke dalam yang dimasuki wanita itu.
Tak lama kemudian muncullah seorang laki-laki di ambang pintu. Usianya sekitar lima puluh tahun, beberapa tahun lebih tua dari wanita tadi, tubuhnya agak jangkung kurus, wajahnya membayangkan kesabaran dan sinar matanya tajam. Gerak-geriknya lembut ketika dia keluar dari pintu, memandang kepada Aji dengan mulut terhias senyum lembut. Aji cepat bangkit berdiri dan membungkuk hormat kepada pria itu.
"Maafkan saya kalau kedatangan saya ini mengganggu, paman. Apakah kanjeng paman ini yang bernama Ki Subali, ayah dari nimas Sulastri?"
Wajah itu berseri gembira.
"Ah, andika mengenal Sulastri? Benar, ia adalah anak tunggal kami dan sudah agak lama pergi merantau meninggalkan rumah. Andika mengenalnya? Di mana ia sekarang, anakmas?"
Aji tidak mau langsung mengejutkan hati pria itu dengan berita tentang musibah yang menimpa Sulastri, maka dia lalu berkata.
"Kanjeng paman, ceritanya agak panjang. Sebaiknya kalau saya ceritakan dari pemulaan saya bertemu dan berkenalan dengan Nimas Sulastri."
"Ah, sebaiknya begitu. Mari, silakan duduk, anak mas...... eh siapa namamu tadi? Ibunya Sulastri tadi memberi tahu, akan tetapi aku lupa."
"Nama saya Lindu Aji, kanjeng paman."
"Lindu Aji? Nama yang jarang kutemui, akan tetapi nama yang bagus, Nak Aji."
"Terima kasih, paman."
Mereka lalu duduk, saling berhadapan dan sejenak Ki Subali mengamati wajah pemuda itu dan agaknya dia merasa suka.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang kauketahui tentang anak kami Sulastri, Anakmas Aji."
Pada saat itu, Nyi Subali keluar membawa baki yang terisi cangkir-cangkir dan sebuah teko tempat air teh. Ia menaruh semua itu di atas meja.
"Kebetulan engkau datang, bune. Anakmas Aji akan bercerita tentang anak kita dan engkau berhak pula mendengarnya. duduklah."
Kata Ki Subali kepada isterinya.
Wanita itu memandang Aji dengan wajah berseri lalu duduk di sebelah suaminya. Aji tahu bahwa ceritanya akan membuat kedua orang suami esteri itu terkejut dan berduka, maka dia harus berhati-hati menceritakannya.
"Begini, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya datang dari Mataram dan sedang melakukan perjalanan merantau. Aku tiba di Loano dan berkenalan dengan adik paman yang bernama Ki Sumali, dan kami menjadi sahabat. Saya membantu Paman Sumali melawan orang-orang jahat yang hendak memaksanya bersekutu dengan mereka untuk menentang Mataram. Paman Sumali menolak dan terjadi pertempuran. Saya membantunya dan pada saat itu muncul Nimas Sulastri yang segera membantu kami. Akhirnya musuh dapat diusir pergi dan kami kembali ke rumah Paman Sumali.
"Ah, jadi Lastri telah bertemu dengan pamannya dengan selamat. Bagus sekali kalau begitu."
Kata Ki Subali.
"Kemudian bagaiman, anakmas? Apakah masih berada di rumah Adi Sumali?"
Tanya Nyi Subali. Aji menghela napas. Saat yang paling sulit untuk bicara tiba. Akan tetapi dia harus menceritakannya, tak mungkin mengelak lagi.
"Ketika saya berpamit kepada Paman Sumali untuk melanjutkan perjalanan saya ke barat, tiba-tiba Nimas Sulastri menyatakan untuk melakukan perjalanan bersama karena katanya iapun hendak pulang ke Dermayu. Paman Sumali dan isterinya tidak mampu menahannya, dan saya sendiri tentu saja tidak dapat menolak keinginannya. Maka, kami berdua lalu melakukan perjalanan bersama."
Ki Subali tersenyum.
"Ah, Adi Sumali telah menikah? Bagus sekali! Dan mana kalian semua mampu menghalangi kehendak Sulastri? Anak itu kalau sudah mempunyai keinginan, siapapun tidak akan dapat mencegahnya! Lalu bagaimana, anakmas? Kalau kalian melakukan perjalanan bersama, bagaimana sekarang engkau datang ke sini tanpa Sulastri?"
Pertanyaan terakhir ini mulai dilontarkan Ki Subali dengan alis berkerut karena dia mulai merasa heran dan penasaran. Juga isterinya memandang Aji dengan mata terbelalak penuh pertanyaan.
Aji menguatkan hatinya dan sedapat mungkin bersikap tenang.
"Ketika kami berdua melaksanakan perjalanan, di tengah perjalanan kami dihadang oleh orang-orang yang pernah kami kalahkan ketika kami membantu Paman Sumali. Mereka adalah orang-orang sakti yang kemudian ternyata adalah antek-antek Kumpeni Belanda, diantara mereka terdapat Nyi Maya dewi, Ki Harya Baka Wulung, dan Aki Somad yang sakti mandraguna. Kami berdua melawan, akan tetapi kalah kuat dan kami berdua ditawan oleh mereka."
"Oo..... Allah.....! Lalu bagaimana dengan anakku Sulastri?"
Tanya Nyi Subali dengan kaget.
"Tenanglah, bune. Biarkan Anakmas melanjutkan ceritanya,"
Kata Ki Subali yang lebih tenang.
"Lanjutkan, anakmas!"
"Kami berdua ditawan dan dibawa ke Tegal, ke rumah seorang yang bernama Ki Warga, yang saya kira tentu merupakan orang penting dari Kumpeni Belanda. Kemudian kami dibawa ke atas sebuah kapal Belanda yang berlabuh di laut sebelah utara Tegal. Oleh Kapten De Vos, kami dipaksa mengaku tentang rencana penyerbuan Mataram ke Batavia. Kami menggunakan siasat untuk menjawab keesokan harinya dan malamnya kami mencari jalan untuk meloloskan diri."
"Akan tetapi mengapa kalian tidak melawan?"
Tanya Ki Subali penasaran.
"Tidak mungkin, paman. Perempuan jahat itu, Nyi Maya Dewi, telah memberi racun kepada tubuh Nimas Sulastri dan tanpa obat pemunah darinya, nyawa Nimas Sulastri takkan dapat tertolong lagi."
"Ah, jahat sekali perempuan itu!"
Teriak Nyi Subali.
"Karena itu kami berdua tak berdaya dan terpaksa menurut saja ketika ditawan dan dibawa ke kapal. Setelah merencanakan siasat, malam itu kami berdua bergerak. Kami membakar kapal dan saya menangkap Kapten de Vos! Dengan kapten itu sebagai sandera, saya dapat memaksa Nyi Maya Dewi menyerahkan obat penawar bagi racun di tubuh Nimas Sulastri dan kami dapat melarikan diri dengan perahu yang mereka sediakan sambil membawa Kapten de Vos sebagai sandera."
"Bagus! Siasat yang bagus sekali!"
Seru Ki Subali gembira.
"Dan bagaimana dengan keracunan anakku? Apakah dapat disembuhkan? Tanya Nyi Subali.
"Kami mendapat obat penawar itu dan ternyata manjur. Nimas Sulastri dapat disembuhkan."
"Dan bagaimana dengan Belanda tawananmu itu?"
Tanya Ki Subali.
"Sulastri tentu membunuhnya!"
"Tidak, paman. Saya mencegahnya dan kami membebaskannya, sesuai dengan yang telah kami janjikan ketika kami menawannya dan minta obat penawar."
Ki Subali mengangguk-angguk.
"Bagus, memang kita harus memegang janji. Akan tetapi di mana Sulastri sekarang?"
"Setelah kami berdua bebas, kami melanjutkan perjalanan dan setibanya di Kadipaten Cirebon, kami pergi menghadap Gusti Pangeran Ratu, adipati Cirebon untuk menceritakan tentang kapal Kumpeni itu dan tentang nama orang-orang yang menjadi antek Kumpeni Belanda agar Kadipaten Cirebon siap menghadapi orang-orang berbahaya yang mengkhianati nusa dan bangsa itu."
Ki Subali mengangguk-angguk.
"Tindakan kalian itu benar. Lalu bagaimana?"
"Setelah mendengar laporan kami, Gusti Adipati lalu minta bantuan kami berdua untuk menangkap pemimpin gerombolan Munding Hideung yang mengacau di sekitar Gunung Careme. Sebagai seorang hamba Mataram yang mengemban tugas Gusti Sultan Agung untuk membantu daerah-daerah menghadapi kejahatan, saya menerima tugas itu dan Nimas Sulastri juga menyatakan sanggup membantu. Gusti Adipati senang mendengar bahwa Nimas Sulastri adalah puteri paman, karena katanya beliau sudah mengenal paman."
"Ya, aku pernah mendalang di Kadipaten Cirebon,"
kata Ki Subali mengangguk.
"Akan tetapi, lalu bagaimana kelanjutannya?"
Dalam suaranya terdengar kekhawatiran.
"Kami berdua pergi melakukan penyelidikan ke Gunung Careme, paman. Kami berhasil menemukan sarang gerombolan yang dipimpin oleh Munding Hideung dan Munding Bodas dan terjadi pertempuran. Kami dikeroyok banyak anak buah gerombolan, akan tetapi Nimas sulastri dan saya dapat merobohkan banyak di antara mereka. Bahkan nimas sulastri berhasil menewaskan Munding Bodas, akan tetapi.....
"
Sukar sekali Aji melanjutkan ceritanya mengenai malapetaka yang menimpa diri gadis itu.
"Akan tetapi apa, Anakmas Aji? Tanya nyi Subali setengah berteriak.
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa yang terjadi dengan anakku?"
(Lanjut ke Jilid 19)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
"Ketika itu Nimas Sulastri mengejar Munding Bodas ke puncak tebing. Saya sudah berseru dan berusaha mencegahnya, akan tetapi ia nekat mengejar dan berhasil memukul roboh Munding Bodas sehingga terjatuh ke bawah tebing yang curam. Akan tetapi pada saat itu, Nimas Sulastri dihujani anak panah oleh anak buah gerombolan. Saya melihat sebatang anak panah mengenai pundaknya dan ia..... ia.....
"
"Ia mengapa?"
Ki Subali membentak dan wajah isterina menjadi pucat sekali.
"Kenapa anakku sulastri?"
Teriak wanita itu, bangkit berdiri.
Aji menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata mereka dan berkata lirih.
"..... ia..... terjatuh ke bawah tebing itu.....
"
"Aaaaiiiihhhh.....
"
Jerit melengking ini disusul robohnya tubuh Nyi Subali.
Suaminya cepat merangkulnya sehingga wanita yang pingsan itu tidak sampai terbanting roboh. Dengan bantuan Aji, wanita yang pingsan itu lalu diangkat dan direbahkan di atas sebuah dipan.
"Biarkan saya menolongnya, paman."
Kata Aji dan dia segera memijit lekukan bibir atas tepat di bawah hidung nyi Subali dan mengurut tengkuknya beberapa kali. Wanita itu siuman dan mengeluh lirih. Ia membuka mata dan segera teringat. Ia serentak bangkit dan memandang kepada Aji dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat sekali.
"...... anakku..... Sulastri..... bagaimana dengan ia..... ?"
Ia bertanya lirih dan suaranya yang gemetar itu sudah diselingi isak tangis.
"Saya cepat turun ke bawah tebing untuk mencarinya, Saya hanya menemukan mayat Munding Bodas dan juga pedang Nogo Wilis milik Nimas Sulastri ditemukan orang-orang yang membantu saya. Nimas Sulastri lenyap tanpa meninggalkan bekas.....
"
"Sulastri.....! O allah, anakku.....!"
Nyi Subali menangis tersedu-sedu. Ki Subali segera bangkit menghampiri isterinya yang duduk di atas kursi sambil mengguguk dalam tangisnya. Dia meletakkan tangannya di pundak isterinya, menghiburnya.
"Tenanglah, ibune dan jangan putus asa. Bagaimanapun juga, belum ada buktinya bahwa anak kita tewas."
"Itu benar, kanjeng bibi. Saya sudah mencari, bahkan dibantu puluhan orang namun tidak ada tanda-tandanya bahwa Nimas Sulastri tewas di dasar tebing itu.Masih besar sekali harapan dan kemungkinan bahwa ia masih hidup, kanjeng bibi."
Ucapan dua orang laki-laki meredakan tangis Nyi Subali. Ia menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya dengan sepasang mata yang kemerahan.
"Akan tetapi, kalau ia masih hidup, ke mana ia pergi? Kenapa ia tidak menemui Anakmas Aji?"
Ki Subali tentu saja tidak mampu menjawab dan dia menghadapi Aji, berkata.
"anakmas Aji, bukankah tebing itu tinggi sekali? Bagaimana mungkin Sulastri yang terjatuh ke bawah tebing itu dapat lolos dari maut?"
"Memang tampaknya aneh sekali, kanjeng paman. Sesungguhnya, kalau menurut perhitungan akal kita, saya juga tidak dapat percaya bahwa orang yang terjatuh ke bawah tebing yang demikian curam dan tinggi, dapat lolos dari kematian. Munding Bodas yang terjatuh itupun tewas dengan tulang patah-patah."
Dia teringat akan tanda telapak tangan hitam di dada mayat Munding Bodas.
"Akan tetapi kenyataannya, tidak dapat ditemukan jenazah Nimas Sulastri. Karena itu saya yakin, kanjeng paman dan kanjeng bibi, bahwa Sulastri pasti masih hidup!"
Ucapan Aji yang penuh keyakinan ini menghidupkan harapan dalam hati suami isteri itu.
"Akan tetapi bagaimana mungkin, Anakmas Aji."
Tanya Ki Subali.
"Paman Subali, apakah paman percaya akan kekuasaan Gusti Allah yang mujijat?"
Tanya Aji.
"Tentu saja!"
"Nah, kalau benar demikian, mengapa kanjeng paman masih merasa sangsi dan heran kalau Nimas Sulastri tidak tewas, biarpun ia telah terjatuh ke bawah tebing? Kalau Gusti Allah menghendaki ia hidup, apa sukar dan anehnya bagi Kekuasaan Gusti Allah untuk menyelamatkannya?"
Ki Subali menghela napas panjang, hatinya merasa lega.
"Maaf, aku yang bodoh, anakmas. Aku hampir K saja lupa bahwa tidak ada hal yang mustahil bagi Gusti Allah. Andika benar, sekarang aku pun mulai merasa yakin bahwa anakku Sulastri masih hidup karena buktinya, andika tidak dapat menemukan jenazahnya, berarti ia belum tewas dan dengan mujijat dan ajaib Gusti Allah menolongnya."
"Akan tetapi, kalau Sulastri selamat, semoga Gusti Allah mengampuni kami dan menyelamatkan anakku, lalu di mana ia berasa? kenapa ia menghilang tanpa meninggalkan jejak?"
Tanya Nyi Subali yang kini telah menjadi tenang akibat ucapan-ucapan Aji dan Ki Subali.
"Memang terjadi keanehan, kanjeng bibi. Saya sendiri juga merasa heran dan sama sekali tidak mengerti ke mana Nimas sulastri pergi. Akan tetapi, saya yakin bahwa ia selamat dan mungkin saja ada orang telah menyelamatkannya lalu ia pergi bersama penolongnya itu."
Kata Aji.
"Mudah-mudahan dugaanmu itu benar, Anakmas Aji,"
Kata Ki Subali penuh harapan.
"Kanjeng paman, saya ingin menanyakan sesuatu kepada paman."
"Silakan, apa yang ingin andika ketahui?"
"Saya mendengar dari Nimas Sulastri bahwa gurunya bernama Ki ageng Pasisiran. di manakah beliau itu?"
"Ki Ageng Pasisiran tinggal di sebuah pondok di pantai laut. mengapa andika yanyakan hal itu?"
"Begini, paman. Saya melihat ada aji pukulan yang dilakukan Nimas Sulastri, dan aji pukulan itu saya kenal baik. Karena itu saya ingin bertemu dengan Ki Ageng Pasisiran itu. Biarlah nanti saya mencarinya di pantai. Sebuah pertanyaan lagi, paman. Apakah paman mengenal seorang yang bernama Raden Banuseta, yang merupakan seorang tokoh persilatan terkenal di kerajaan Galuh."
"Raden Banuseta? Tentu saja mengetahuinya, anakmas. Dia adalah ketua cabang perguruan Dadali Sakti di Dermayu. Dulu, ketika Sulastri merengek minta belajar silat, hendak kumasukkan di perguruan silat Dadali Sakti, akan tetapi anak itu tidak mau dan berkeras minta agar menjadi murid Ki Ageng Pasisiran."
Berdebar rasa jantung Aji mendengar ini.
"Kanjeng paman mengenalnya?"
"Tidak mengenal secara pribadi, anakmas. Aku tidak suka berkenalan dengan orang yang namanya dikabarkan sebagai orang yang tidak pantas kujadikan sahabat."
"Ah, bagaimana kabarnya tentang Raden banuseta itu, kanjeng paman?"
"Dia terkenal angkuh dan sombong, suka mengandalkan kedigdayaannya dan bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kedudukannya sebagai putera bangsawan. Kabarnya dia juga laki-laki mata keranjang yang suka merusak pagar ayu mengganggu anak bini orang. Dan itu masih belum seberapa, belakangan ini aku mendengar desas desus bahwa dia berhubungan akrab dengan Kumpeni Belanda."
"Hemm, benarkah itu?"
"Belum ada bukti nyata, akan tetapi ketika ada kapal Belanda mengadakan pesta, diapun termasuk salah seorang yang datang sebagai tamu undangan. Sejak itu didesas desuskan bahwa Raden Banuseta itu membantu Kumpeni Belanda, atau setidaknya ada hubungan dengan mereka."
Girang hati Aji mendengar ini. Ternyata Raden Banuseta adalah seorang yang tersesat. Selain angkuh dan sombong, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kedigdayaan dan kedudukannya sebagai putera bangsawan, mata keranjang dan suka merusak pager ayu, juga dicurigai sebagai pembantu Kumpeni Belanda. Alasan ini cukup baginya untuk menentang orang yang telah membunuh ayah kandungnya itu! Dia masih ingat akan ajaran Ki Tejo Budi. Dia tidak akan membalas dendam kematian ayahnya, melainkan dia akan menentang Raden Banuseta karena kejahatannya.
"Kanjeng paman, di manakah rumah perguruan Dadali Sakti itu?"
"Di ujung jalan besar kota ini, dekat gapura kota. Rumahnya besar dan pekarangannya luas. Semua orang tahu di mana rumah perguruan Dadali Sakti itu."
Kata Ki Subali, sama sekali tidak tahu apa yang berada dalam hati Aji.
"Sekarang saya hendak mohon diri, kanjeng paman dan kanjeng bibi. Saya berjanji akan mencari keterangan tentang Nimas Sulastri, dan kalau sudah berhasil, akan saya kabarkan ke sini."
"Baik dan terima kasih atas semua berita yang andika bawa tentang anak kami, juga terima kasih sebelumnya bahwa andika akan mencarinya."
Kata Ki Subali.
Aji bangkit, memberi hormat lalu meninggalkan rumah orang tua Sulastri itu. dari situ dia langsung pergi mencari rumah perguruan Dadali Sakti. Akan tetapi baru belasan langkah dia meninggalkan rumah keluarga Ki Subali, dia teringat akan pedang Nogo Wilis milik Sulastri yang masih dia bawa. Pedang itu sudah tidak ada sarungnya, dan hanya dia libat dengan kain dan dia selipkan di pinggangnya. teringat akan ini, dia segera memutar tubuhnya dan kembali ke rumah Ki Subali.
Suami isteri itu masih berdiri di serambi depan, masih termenung memikirkan anak mereka. Melihat pemuda itu datang lagi, mereka menyambut.
"Andika kembali lagi, ada berita apa lagi, anakmas?"
Tanya Ki Subali penuh harap.
Aji menghela napas, merasa iba kepada orang tua itu yang tentu saja merasa amat gelisah dan kehilangan puterinya tersayang itu. Dia mencabut pedang yang terbungkus kain itu lalu menyerahkanna kepada Ki Subali sambil berkata.
"Kanjeng paman, saya tadi lupa untuk menyerahkan pedang ini kepada paman. Terima pedang ini dan simpanlah, paman. Ini adalah pedang milik Nimas Sulastri."
Ki Subali menerima bungkusan pedang itu.
"Apakah andika tidak memerlukannya, anakmas? Kalau andika memerlukannya, bawa dan pakailah dulu."
"Terima kasih, paman. Saya tidak memerlukannya. Sebaiknya paman simpan saja dan paman berikan kembali kepada Nimas Sulastri kalau ia pulang. Permisi, kanjeng paman dan kanjeng bibi."
Aji berpamit lalu melangkah keluar lagi. Kini dia melangkah cepat menuju ke ujung jalan besar kota Deramyu. Setelah tampak pintu gerbang, dia bertanya kepada seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang dia jumpai di jalan.
"Maafkan saya, paman. Saya hendak bertanya."
Laki-laki itu memandang kepadanya dan tersenyum.
"Orang muda, apakah yang hendak kautanyakan? Wajahmu tampak demikian gembira! Tentu perkara baik yang akan kautanyakan padaku."
Diam-diam Aji terkejut. Dia berwajah gembira? Apa yang menggembirakan hatinya? Dia termangu, lalu berkata.
"Saya hendak bertanya di mana rumah perguruan Dadali Sakti, paman?"
"Ah, perguruan Dadali Sakti?"
Tiba-tiba wajah orang itu tampak muram, alisnya berkerut dan pandang matanya tidak senang.
"Kiranya andika orang Dadali Sakti?"
Aji menggeleng kepalanya.
"Kalau saya orang Dadali Sakti, tentu tidak akan bertanya di mana rumah perguruan itu, paman."
"Hemm, akan tetapi andika hendak berkunjung ke sana tentu sahabat perguruan itu. Di sana tempatnya, itu yang pekarangannya luas."
Setelah berkata demikian, dengan muka membayangkan ketidak senangan hatinya, orang itu cepat melanjutkan perjalanannya, meninggalkan Aji.
Aji masih berdiri termenung. Yang teringat olehnya dan masih berdengung dalam pendengarannya adalah ucapan orang tadi yang mengatakan betapa wajahnya tampak amat gembira! Kini harus diakuinya bahwa memang hatinya gembira sekali.
Mengapa? Dia bertanya kepada diri sendiri dan dia menyadari bahwa kegembiraannya itu timbul ketika mendengar bahwa Raden Banuseta adalah orang jahat, bahkan mungkin menjadi antek Kumpeni. Dengan demikian, maka terdapat alasan untuk menentangnya, bahkan membunuhnya! Pada hal, keinginan ini memang selalu bersembunyi di dalam kalbunya, keinginan untuk membunuh Raden Banuseta, keinginan yang timbul karena dendam sakit hati, karena ayahnya telah dibunuh Raden Banuseta!
Menyadari akan hal ini, Aji tertegun! Lalu ia memejamkan mata, hatinya berbisik.
"Duh Gusti, ampuni kiranya hati hamba yang lemah ini, yang dicemari dendam kebencian. Duh eyang Tejo Budi, ampuni murig eyang ini."
Setelah menenangkan perasaannya, Aji membuka matanya dan memandang ke arah rumah berpekarangan besar yang ditunjuk orang tadi. Kini hatinya menjadi tenang, perasaan gembira yang menyembunyikan dendam itupun tak terasa lagi. Dengan tenang dia melangkah menuju ke rumah besar yang berpekarangan luas itu. Kini dia yakin apa yang akan dilakukannya. Tidak, dia tidak sudi dipengaruhi dendam sakit hati karena terbunuhnya ayah kandungnya oleh Raden Banuseta. Dia tahu bahwa ayahnya dahulu juga membunuh ayah Raden Banuseta karena bangsawan itu menculik dan memperkosa isteri pertama ayahnya sehingga wanita itu membunuh diri. Dendam mendendam, balas membalas yang tiada berkesudahan! Dia tidak boleh menambah mata rantai baru pada untaian mata rantai karma itu. Rantai balas membalas itu akan putus kalau dia tidak mendendam dan membenci. Dia akan menghadapi Raden Banuseta untuk menentang kejahatannya, bukan untuk membalas dendam.
Di pintu pagar pekarangan itu dia berhenti. Di pekarangan itu tumbuh sebatang pohon jambu dan sebuah papan yang cukup lebar tergantung di dahan pohon. Papan itu warna dasarnya putih dan ada lukisan sepasang burung dadali (wallet) hitam sedang bertarung di udara. Lukisan sepasang burung itu indah sekali dan di bawahnya terdapat tulisan :
PERGURUAN SILAT DADALI SAKTI.
Tidak salah lagi, inilah rumah perkumpulan Dadali Sakti itu dan Raden Banuseta adalah ketuanya. Dengan sikap tenang dia lalu mendorong pintu pagar itu sehingga terbuka dan dia melangkah memasuki pekarangan. Dua orang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya bertubuh tinggi besar dan berpakaian ringkas seperti yang biasa dipakai para pendekar silat muncul dari serambi rumah besar itu dan melangkah cepat menyambut Aji. Dari sikap dan wajah mereka, jelas tampak bahwa kedua orang itu merasa tidak senang dan menganggap kedatangan Aji seperti sebuah gangguan.
"Heh, ki sanak! Lancang benar kamu masuk ke pekarangan kami!"
Bentak seorang dari mereka yang berhudung pesek.
"Siapa kamu yang berani masuk tanpa ijin ke sini?"
Bentak orang kedua yang berkumis tebal. Keduanya memandang Aji dengan mata melotot galak. Aji tersenyum sabar dan sikapnya tenang saja.
"Maafkan kalau kedatanganku ini mengganggu andika berdua. Aku datang berkunjung untuk bertemu dengan Raden Banuseta."
Melihat pemuda itu tidak kelihatan gentar oleh sikap bengis mereka dan mendengar dia ingin bertemu dengan Raden Banuseta, dua orang itu saling pandang dan tiba-tiba sikap mereka berubah. Si kumis tebal melintang bertanya, nada suaranya berbeda, menjadi ramah dan merendah, bahkan kalau tadinya menyebut kami kini andika.
"Mohon tanya, siapakah nama andika dan apakah andika ini sahabat ketua kami Raden Banuseta?"
Melihat perubahan sikap mereka, tahulah Aji dengan orang-orang macam apa dia berhadapan. Orang-orang seperti ini biasanya suka menindas bawahan dan menjilat atasan! Kepada rakyat yang lemah mereka bertindak sewenang-wenang dengan kejam, akan tetapi kepada orang-orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa, mereka menjilat dan mencari muka.
"Aku bukan sahabat Raden Banuseta, akan tetapi aku mempunyai keperluan penting sekali untuk bertemu dan bicara dengan dia. Karena itu harap andika berdua suka melaporkan bahwa aku datang ingin bertemu dan bicara dengan dia."
Kembali dua orang itu saling oandang dan mereka bersikap ragu-ragu.
"Dapatkah andika memberi tahu kepada kami siapa andika dan apakah keperluan dengan ketua kami itu, agar kami dapat melaporkannya kepada wakil ketua kami?"
Tanya yang berhidung pesek.
"Kenapa kepada wakil ketua? Aku ingin bicara dengan Raden Banuseta, ketua perguruan Dadali Sakti."
"Ketua kami sedang pergi, akan tetapi marilah andika kami hadapkan kepada wakil ketua kami agar andika mendapatkan keterangan lebih jelas,"
Kata si kumis tebal yang mulai menaruh curiga dan sengaja hendak membawa tamu itu menghadap wakil ketua sehingga atasannya itu yang akan mengambil keputusan.
Aji yang memang bermaksud menyelidiki keadaan perguruan Dadali Sakti yang mempunyai nama buruk di Dermayu, yang kabarnya para anggautanya sudah bertindak sewenang-wenang, segera mengangguk menyetujui. Bukan hanya Raden Banuseta yang harus diselidiki dan ditentangnya, melainkan juga perguruan ini akan ditentangnya kalau memang benar suka bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat jelata.
"Baiklah, mari kita menghadap wakil ketua kalian,"
Kattanya dan dia lalu mengikuti dua orang anggauta Dadali Sakti itu memasuki rumah besar itu.
Ternyata rumah itu memang luas sekali, memiliki banyak kamar dan lorong. Melalui lorong mereka menuju ke bagian belakang di mana terdapat sebuah ruangan berlatih pencak silat yang amat luas. Pada saat mereka memasuki ruangan luas itu, tampak banyak orang berkumpul di situ. Aji melihat sekitar tiga puluh orang laki-laki yang sikapnya keras seperti dua orang yang mengawalnya, berpakaian seperti pendekar silat, duduk di atas lantai membentuk lingkaran luas. Dan di dalam lingkaran itu berdiri seorang laki-laki gemuk pendek, berusia kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya juga seperti yang biasa dipakai mereka yang menganggap dirinya jagoan atau pendekar silat. Biarpun pakaiannya gagah dan ada sebatang keris dengan warangka terukir indah terselip di pinggangnya, namun karena bentuk tubuhnya yang pendek gemuk itu, dia sama sekali tidak tampak gagah malah lucu menggelikan.
Di depan laki-laki pendek gendut itu berdiri seorang pemuda dan seorang gadis. Pemudanya berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya tampan, sedangkan gadis yang berdiri di sebelahnya dan selalu memegangi lengan kiri pemuda itu dengan kedua tangan, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah manis dan tubuhnya indah bagaikan kembang yang sedang mekarnya. Akan tetapi ia tampak ketakutan, mukanya agak pucat dan ia tidak pernah melepaskan lengan pemuda itu seolah minta perlindungannya. Pemuda itu juga bersikap tegang, akan tetapi tidak tampak takut, bahkan sinar matanya menyinarkan kemarahan.
Aji melihat betapa dahi gadis itu masih jelas tampak bekas dicukur seperti biasa pada pengantin wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis itu belum lama melangsungkan pernikahannya, mungkin baru beberapa hari yang lalu. Hemm, agaknya mereka sepasang pengantin baru, pikirnya sambil mengamati dua orang muda yang berdiri di depan laki-laki gendut pendek yang mulutnya cemberut dan matanya melotot akan tetapi tidak tampak menyeramkan, melainkan tampak lucu seperti seorang badut sedang beraksi.
"Wakil ketua kami sedang sibuk, kita tunggu saja dan duduk di sini."
Kata si kumis tebal kepada Aji. Mereka berdua lalu duduk di luar lingkaran. Aji juga duduk di atas lantai, bersila dan memperhatikan apa ang akan terjadi.
"Ki sanak,"
Terdengar pemuda itu berkata dengan suara lantang dan tabah.
"Karena mendengar bahwa Dadali Sakti merupakan sebuah perguruan silat yang terkenal, maka kami memenuhi panggilan untuk datang ke sini pada hari ini. Akan tetapi mengapa kini kami dibawa ke ruangan ini, dikepung dan diperlakukan seperti orang-orang yang dihadapkan ke pengadilan?"
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Heh, bocah! Kamu yang bernama Sumanta, bukan? Nah, bukalah matamu dan ketahuilah bahwa aku adalah Raden Wiratma, wakil ketua dari Cabang Dadali Sakti di Dermayu ini! Jangan sebut aku ki sanak, apa kaukira aku ini masih sanak keluargamu? Sebut aku Raden, tahu?"
Si pendek gendut itu membentak dengan suara digalak-galakkan, namun tetap saja terdengar seperti orang merengek karena suaranya kecil dan serak. Dari sikap dan cara bicara pemuda dan wakil ketua Dadali Sakti itu saja jelaslah bagi Aji siapa di antara mereka yang baik dan buruk, siapa yang harus dibelanya dan siapa yang harus ditentangnya.
"Baiklah, raden dan maaf, karena saya tidak tahu sebelumnya. Akan tetapi mengapa kami berdua dipanggil untuk datang ke sini dan apa artinya semua ini?"
"Aku mewakili Adimas Raden Banuseta ketua Dadali Sakti untuk mengadili kamu, Sumanta! Kamu telah berani mati merampas Sriyani menjadi isterimu, pada hal Adimas Raden Banuseta menaksirnya. Kamu telah mendahului dan mengawini wanita ini!"
Si pendek gendut itu menudingkan telunjuknya ke arah wanita yang memegang erat lengan Sumanta.
"Kakang, mari kita pergi saja dari sini. aku takut.....
"
Sriyani berbisik.
"Jangan takut, Yani. Kita tidak mempunyai kesalahan apapun, tidak ada yang perlu ditakuti."
Sumanta menghibur isterinya, kemudian menghadapi Raden Wiratma dan berkata dengan suara tegas.
"Raden Wiratma, saya sama sekali tidak merampas Sriyani dari siapapun. Saya menikahinya melalui pinangan orang tua saya dan kami menikah dengan sah. Saya tidak merasa bersalah."
"Huh! Adimas Raden Banuseta sudah menaksirnya, berarti Sriyani itu calon miliknya dan tidak ada yang boleh mengambilnya, siapapun juga, apalagi kamu!"
Sumanta menoleh kepada Sriyani.
"Yani, benarkah Raden Banuseta menaksirmu dan engkau sudah menjadi calon miliknya?"
Tanyanya dengan suara lembut. Sriyani mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Tidak, sama sekali tidak! Aku tidak pernah kenal siapa itu Raden Banuseta!"
Sumanta tersenyum lega dan memandang kepada Wakil Ketua Dadali Sakti.
"Raden Wiratma, andika mendengar sendiri ucapan Sriyani."
Raden Wiratma cemberut.
"Memang belum diminta secara resmi. Akan tetapi Adimas Raden Banuseta telah melihatnya dan merasa tertarik, menaksirnya dan ingin memilikinya."
Sumanta mengerutkan alisnya, hatinya merasa penasaran sekali.
"Bagaimanapun juga, kenyataannya sekarang Sriyani telah menjadi isteri saya. Lalu apa maksud andika memanggil kami berdua ke sini?"
Tanyanya.
"Sumanta, Sriyani harus kauserahkan kepada Adimas Raden Banuseta!"
Kata Raden Wiratma dengan bentakan yang mengandung ancaman. Mendengar ini saja, Aji sudah mengerutkan alis dan mengepal tangan. Sungguh bejat watak orang pendek gendut itu, pikirnya. Aturan mana itu ada seorang suami dipaksa harus menyerahkan isterinya kepada orang lain?
"Mana mungkin! Sriyani sudah menjadi istriku, tidak bisa ia menikah dengan orang lain!"
Bantah Sumanta yang mulai panas hatinya.
"Mungkin saja kalau ia sudah menjadi janda,"
Kata si gendut pendek sambil menyeringai menjemukan dan matanya mengerling ke kanan kiri.
Sumanta terbelalak, marah sekali.
"Apa maksudmu?"
Bentaknya.
"Ia akan menjadi janda kalau kamu ceraikan ia."
Kata Raden Wiratma.
"Tidak mungkin! Aku tidak mau menceraikan isteriku!"
"Kalau begitu ada jalan lain agar ia menjadi janda, yaitu kalau engkau mampus!"
Raden Wiratma tertawa, suara tawanya mengikik dan segera disusul tawa hampir semua orang yang berada di situ. Sumanta menjadi marah dan bertolak pinggang, menuruh isterinya berdiri di belakangnya.
"Hemm, beginikah kegagahan orang-orang Dadali Sakti yang mengaku sebagai pendekar-pendkar? Memaksa orang menyerahkan isterinya dan kalau menolak lalu hendak dibunuh dengan pengeroyokan banyak anggautanya? Ini curang, pengecut dan memalukan sekali!"
Wakil Ketua Dadali Sakti yang pendek gendut itu terbelalak marah, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Sumanta dan suaranya yang kecil itu terdengar semakin serak.
"Sumanta! Tutup mulutmu! Untuk membunuh seekor cacing tidak perlu menggunakan banyak orang, bahkan tidak perlu aku turun tangan sendiri. Agaknya kamu ini jagoan Jatibarang, ya? Kami adalah para pendekar Dadali Sakti, kalau menantang orang tentu satu lawan satu."
Dia menoleh ke belakang dan berseru kepada seorang pembantunya yang dianggap paling tangguh di antara para anggauta Dadali Sakti.
"Badrun, ke sini kau!"
Yang dipanggil bangkit berdiri dan Aji melihat bahwa orang itu adalah seorang raksasa muda berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun. Agaknya orang itu sengaja hendak memamerkan tubuhnya karena dia tidak memakai baju sehingga dari batas pinggang ke atas tubuhnya telanjang. Tubuh yang berotot besar dan melingkar-lingkar, kedua lengannya panjang dan kokoh, dadanya bidang dan berbulu, tengkuknya tebal seperti berpunuk dan lehernya sepeti leher seekor banteng! Menyeramkan sekali orang ini dan Aji teringat akan Hendrik De Haan, jagoan raksasa bule yang pernah diadu dengan dia di kapal Kapten De Vos. Raksasa bernama Badrun ini sama besar dan kokoh kuatnya seperti Hendrik De Haan! Bagaikan seekor biruang Badrun melangkah maju mendekati Raden Wiratma.
"Apa yang harus saya lakukan, bapa guru?"
Tanya raksasa itu kepada Raden Wiratma.
Memang dia murid wakil ketua ini, murid tersayang karena Badrun memang amat tangguh. Diperguruan itu, hanya Raden Wiratma dan Raden Banuseta saja yang melebihinya. Akan tetapi Raden Wiratma tidak menjawab melainkan memandang Sumanta sambil menyeringai penuh ejekan.
"Bagaimana, Sumanta. Mau kamu menceraikan Sriyani atau kamu berani menandingi muridku Badrun ini?"
"Kang..... jangan..... aku takut, kang.....
"
Sriyani yang berdiri di belakang suaminya mengeluh.
"Tenanglah, Yani, engkau isteriku, aku akan membelamu sampai mati!"
Kemudian Sumanta lalu menghadapi Raden Wiratma dan raksasa itu, bertanya dan suaranya terdengar tetap tenang.
"Kalau aku dapat memenangkan pertandingan ini, tentu andika akan membiarkan aku dan isteriku pulang, bukan?"
"Kamu menang? Heh-heh-heh.....!"
Raden Wiratma tertawa terkekeh, diikuti suara tawa semua anggauta Dadali Sakti. Bagi mereka menggelikan sekali mendengar pertanyaan Sumanta itu. Bagaimana mungkin Sumanta dapat mengalahkan Badrun? Pernah raksasa itu dikeroyok lima orang dan semua pengeroyoknya akhirnya roboh dengan tulang patah-patah.
"Jawablah, Raden Wiratma dan jangan berlaku curang. Kalau aku kalah, mungkin aku akan mati di sini dan isteriku menjadi janda. Akan tetapi bagaimana kalau aku keluar sebagai pemenang? Apakah aku boleh membawa istriku pergi dan pulang tanpa gangguan?"
Sambil masih tertawa, karena merasa betapa lucunya ucapan Sumanta itu, Raden Wiratma berkata.
"Boleh.....boleh, heh-heh, engkau akan mampus dan semua tulang di tubuhmu akan patah-patah, heh-heh."
Kemudian si pendek gendut itu menoleh kepada muridnya yang seperti raksasa itu.
"Badrun, habisi bocah ini!"
Dan diapun mundur sampai ke lingkaran para anggauta Dadali Sakti.
Sambil menyeringai lebar, Badrun menghampiri Sumanta. Tinggi dan besarnya satu setengan kali ukuran tubuh Sumanta dan dia tampak menggiriskan sekali. sumanta dengan lembut mendorong pundak isterinya dan berkata.
"Sriyani, engkau minggirlah dan jangan takut. Aku akan menandingi orang ini."
Sriyani mundur dan berkata lirih.
"Kakang, kuharap engkau menang. Kalau engkau kalah dan mati, akupun tidak mau hidup lagi."
Aji yang sejak tadi memperhatikan, melihat dan mendengar itu semua. Bahkan dia mendengar ketika Raden Wiratma berkata dengan bisikan kepada seorang anggauta Dadali Sakti yang duduk di belakangnya.
"Engkau siap, kalau bocah itu roboh, cepat tangkap gadis itu dan jaga jangan sampai ia membunuh diri."
Hanya Aji yang mendengar bisikan itu. Sementara itu, Badrun sudah berhadapan dengan Sumanta, menyeringai lebar sehingga deretan giginya yang besar-besar tampak.
"Heh, Sumanta bocah Jatibarang, sudah siapkah engkau menghadapi seranganku?"
"Aku sudah siap!"
Kata Sumanta tenang.
Badrun memberi isarat ke belakang dan terdengarlah bunyi terompet dan kendang bertalu-talu. Itulah bunyi gamelan kendang pencak yang biasa dimainkan para murid Dadali Sakti untuk mengiringi gerakan pencak silat kalau mereka sedang berlatih. Badrun yang tinggi besar itu mulai dengan gerakan pembukaan dan kembangan. Gerakannya gagah, diikuti suara berketipak-tipungnya kendang yang berirama keras. Melihat ini, Sumanta yang juga seorang ahli pencak silat segera mengimbangi, membuat gerakan pembukaan dan kembangan yang indah. Mereka berdua bak dua ekor ayam jantan saling mengintai untuk mencari kesempatan memasukkan pukulan atau tendangan. Mereka membuat gerakan berkeliling, mengubah-ubah posisi, diikuti pandang mata semua anak buah Dadali Sakti.
Sriyani memandang dengan wajah pucat, penuh kekhawatiran akan keselamatan suaminya. Akan tetapi Aji yang mengikuti gerak-gerik mereka, merasa lega. dari gerakan kaki tangan mereka, Aji maklum bahwa Sumanta memiliki kemahiran pencak silat yang cukup tangguh.
"Aiiittt.....!"
Badrun tiba-tiba, menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang menampar dari samping. Dengan lincahnya Sumanta mengelak ke belakang, akan tetapi kini pukulan tangan kanan Badrun menyusul, cepat dan kuat sekali. Tangan kanan yang terbuka itu, menghantam ke arah kepala Sumanta dari atas.
"Wuutt..... dukk!"
Sumanta menangkis dari samping sehingga dia memotong luncuran lengan lawan dari atas itu, bukan menangkis dan mengadu tenaga secara langsung. Hal ini menunjukkan kecerdikannya. Sumanta agaknya maklum akan tenaga lawan yang besar, maka dengan menagkis dari samping, dia tidak mengadu tenaga, melainkan memukul dari samping, sehingga lengan kanan Badrun terdorong ke samping, membuat tubuhnya agak terhuung.
Sumanta tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi lawan terhuyung, Sumanta cepat menerjang ke depan dan menggunakan tangan kanannya memukul ke arah muka lawan. Pukulannya cukup kuat, membawa angin pukulan yang dahsyat. Badrun yang sedang terhuung, tidak sempat mengelak, akan tetapi dia miringkan tubuhnya sehingga mukanya terlindung oleh pundak kirinya.
"Wuuuttt..... dessss!!"
Pundak atau pangkal lengan kiri Badrun menerima pukulan tangan Sumanta dan kembali tubuh raksasa itu terhuyung ke belakang, bahkan kini hampir saja dia terpelanting. Akan tetapi raksasa itu memiliki tubuh yang dilindungi kulit yang tebal dan kuat, memiliki kekebalan sehingga pukulan yang mngenai pangkal lengannya itu tidak membuatnya cidera, hanya terasa agak nyeri dan panas.
Hatinya lebih panas lagi. Dia berhasil menegakkan lagi tubuhnya dan sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor singa kelaparan, dia menrejang maju, menghujani Sumanta dengan serangan bertubi-tubi. Tidak percuma Badrun menjadi murid paling tangguh dari perguruan Dadali Sakti karena biarpun tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, namun dia dapat bergerak cepat sekali. diiringi bunyi kendang dan terompet, Badrun menjadi bersemangat dan kedua tangan dan kedua kakinya bergerak cepat menyambar-nyambar dan menghujankan serangan kepada lawannya.
Namun ternyata Sumanta memiliki kelincahan dan ketangkasan. Semua serangan yang kuat dan cepat itu dapat dia hindarkan dengan elakan dan tangkisan. Melihat gaya permainan pencak Sumanta, tahulah Aji bahwa gaya silat pemuda Jatibarang itu lebih ditekankan kepada pertahanan atau penjagaan diri sehingga pertahanannya rapat. Akan tetapi karena seluruh perhatian dicurahkan untuk bertahan, maka diapun tidak mempunyai banyak kesempatan untuk balas menyerang. Maka pertandingan itu tampaknya berat sebelah.
Badrun menyerang terus-terusan sedangkan Sumanta hanya mengelak dan menangkis. Hal ini menggembirakan para anggauta Dadali Sakti karena tampaknya Badrun dapat mendesak lawannya. Bahkan anggauta Dadali Sakti yang oleh Raden Wiratma ditugasi untuk menjaga Sriyani, sudah mulai mendekati dan duduk di belakang gadis yang masih berdiri itu, siap mencegah kalau gadis itu hendak membunuh diri setelah suaminya roboh.
Akan tetapi Aji sama sekali tidak merasa khawatir. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa selain pertahanan Sumanta amat kokoh kuat sukar ditembus oleh Badrun yang mulai berkeringat dan serangan-serangannya ngawur, juga Sumanta agaknya menanti kesempatan baik untuk membalas dengan serangan yang tepat.
Dugaan Aji itu tepat sekali. Setelah Badrun mulai terengah dan berkeringat karena banyak mengerahkan tenaga yang terbuang percuma, dengan penasaran dan marah sekali tangan kanannya yang terkepal itu menghantam ke arah dagu Sumanta dari bawah. Cepat dan kuat sekali pukulan ini dan seandainya mengenai dagu Sumanta , tentu pemuda itu akan roboh dengan tulang rahang patah-patah! Akan tetapi agaknya serangan ini membuka kesempatan bagi Sumanta. Dia mengelak dan ketika lengan kanan Badrun lewat dan terangkat, cepat sekali Sumanta memasukkan pukulan melalui bawah lengan kanan Badrun, menghantam dada yang kokoh kuat itu
"Wuuuttt..... dukkk!"
Pukulan itu kuat sekali, akan tetapi tidak cukup kuat untuk merobohkan Badrun, hanya membuat raksasa itu hampir terjengkang dan mulutnya mengeluarkan seruan kaget. Saat itu, kaki kanan Sumanta menyambar ke arah perut raksasa itu.
"Dessss.....!!"
Tak dapat dicegah lagi tubuh raksasa itu terpelanting. Akan tetapi Badrun ternyata memiliki tubuh kuat. Biarpun hantaman pada dada disusul tendangan pada perutnya itu mendatangkan rasa nyeri yang cukup hebat, namun dia dapat bangun dengan cepat. Dadanya terasa nyeri dan perutnya mulas, akan tetapi hal ini membuat dia semakin marah dan tiba-tiba kaki kanannya mencuat dengan tendangan kilat.
Sumanta yang melihat bahwa tendangan yang dilakukan sekuat tenaga itu sebetulnya goyah, tanda bahwa lawannya masih menderita akibat pukulan dan tendangannya tadi, cepat mengelak ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya menangkap pergelangan kaki itu dari bawah lalu dengan sekuat tenaga dia mendorong ke atas.
"Hyaaaahhhh!!"
Sumanta membentak dan tubuh Badrun terlempar ke atas jatuh bergedebugan menimpa teman-temannya sehingga ada lima orang ikut tertindih dan terbanting. Suasana menjadi kacau dan penabuh gamelan menghentikan permainan mereka karena semua anggauta Dadali Sakti menjadi terkejut dan kecewa sekali melihat betapa jago mereka kalah mutlak karena setelah terbanting jatuh, Badrun tidak mampu bangkit lagi, melainkan duduk bersimpuh sambil gereng-gereng kesakitan.
Tiba-tiba Raden Wiratma yang gendut pendek itu bergerak maju menyerang Sumanta. Gerakannya luar biasa cepatnya. Mengherankan sekali bahwa tubuh yang pendek gendut itu dapat bergerak secepat itu. Sekali terjang, lengannya yang pendek bergerak dan tangan kanannya mencengkeram ke arah leher Sumanta, disusul tendangan ke arah bawah perut pemuda itu! Serangan ini selain cepat dan kuat, juga amat berbahaya karena keduanya merupakan serangan maut yang kalau mengenai sasaran akan mendatangkan kematian bagi Sumanta! Pemuda itupun terkejut sekali karena diserang dengan kecepata kilat. Masih untung dia dapat cepat membuang diri ke belakang dan berjungkir balik dua kali sehingga serangan itu luput.
Jaka Lola Karya Kho Ping Hoo Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo