Alap Alap Laut Kidul 20
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 20
"O, begitukah? Lega hatiku mendengar keteranganmu, denmas. Jadi tidak ada perubahan dalam rencana semula, bukan?"
"Sama sekali tidak ada perubahan, Aki. Akan tetapi bagaimana dengan tugasmu? Andika bertugas untuk menghubungi murid-murid andika untuk diajak membantu kami bersama anak buah mereka yang cukup banyak jumlahnya. Mengapa kini kami dapati Aki berada di sini berempat saja dengan tiga murid Aki, membawa dua orang tawanan? Siapakah nama dua orang tawanan muda ini, Aki?"
"pemuda ini bernama Jatmika, dan gadis ini bernama Listyani. mereka memiliki ilmu tinggi, sakti mandraguna, denmas, maka terpaksa kami ikat kedua tangannya agar tidak memberontak."
Aji dalam pengintaiannya tersentak kaget dan heran bukan main. Kakek itu menyebut nama Sulastri sebagai Listyani! dan pemuda tampan itu ternyata adalah Jatmika, putera Ki Sudrajat! Teringatlah dia betapa Ki Sudrajat berpesan kepadanya sebelum mati agar kalau dia bertemu dengan Jatmika, dia suka membantunya. Dan sekarang dia bertemu dengan Jatmika yang menjadi tawanan bersama Sulastri. Akan tetapi mengapa Sulastri diperkenalkan sebagai Listyani? Biarpun hati Aji merasa penasaran sekali, akan tetapi dia tidak berani gegabah turun tangan. Orang-orang itu agaknya bukan orang sembarangan, terutama kakek yang disebut Aki Mahesa Sura itu. Dan tumenggung itupun bukan orang lemah, ditambah lagi tiga orang murid kakek itu dan di luar masih ada dua losin orang yang memegang senjata api! Keadaan musuh kuat sekali.
"Jatmika dan Listyani? Hemm, nama yang bagus, terutama Listyani itu. Akan tetapi ceritakan hubungan kedua orang muda ini dengan tugasmu itu, Aki!"
Aki Mahesa Sura menghela napas panjang lalu berkata,
"Kunjunganku kepada perkumpulan Munding Hideung yang dipimpin dua orang muridku, Si Munding Hideung dan Munding Bodas ternyata terlambat, denmas. Selagi aku bersama tiga orang muridku ini, Munding Beureum, Munding Koneng, dan Munding Hejo tiba di perkampungan Munding Hideung, kami bertemu seorang anggauta Munding Hideung yang menceritakan bahwa perkumpulan itu baru saja diobrak-abrik sepasang muda-mudi yang sakti mandraguna. Bahkan dua orang muridku, Munding Hideung dan Munding Bodas tewas di tangan kedua orang muda-mudi itu. Tentu saja aku menjadi marah dan dengan anggauta itu menjadi penunjuk jalan, ditemani tiga orang muridku ini, akhirnya kami dapat bertemu dengan sepasang muda-mudi itu. Kami bertanding mati-matian, akan tetapi akhirnya kami berhasil menawan mereka. Inilah muda-mudi itu, denmas, yaitu Jatmika dan Listyani ini."
"Engkau menawan kami dengan licik dan curang! engkau menangkap aku lalu Kakangmas Jatmika untuk menyerah."
Eulis membentak marah.
"Heh-heh, aku melakukan akal karena ingat agar mereka menyerah dan mau bekerja sama, denmas. Sayang kalau dua tenaganya yang begini berharga dibunuh begitu saja."
"Ah, begitukah? Bagus sekali kalau mereka mau bekerja sama dan kurasa tidak perlu lagi tangan mereka dibelenggu. Aku menerima mereka berdua sebagai pembantu-pembanruku. Lepaskan saja ikatan mereka, Aki Mahesa Sura!"
"Akan tetapi, anakmas. mereka berbahaya sekali. Kalau belum ada kepastian mereka berdua mau benar-benar bekerja sama dengan kita, aku tidak berani melepaskan ikatan mereka."
"Huh, pengecut!"
Eulis mencebirkan bibirnya.
Aji yang mengintai menahan senyumnya. Itulah Sulastri. Tak salah lagi. Gadis itu boleh mengubah namanya, boleh mengubah apa saja, akan tetapi tak dapat mengubah sikapnya yang galak pemberani dan suaranya yang lantang tajam itu!
(Lanjut ke Jilid 22)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 22
"Kenapa takut, Aki? Nona ini bicara benar. Kita orang-orang gagah tidak sepatutnya bersikap pengecut. Andaikata mereka berdua setelah dilepaskan belenggunya lalu mengamuk, mereka dapat berbuat apa terhadap kita? Ada andika di sini, ada pula tiga orang muridmu dan ada aku pula! Lihat ini!"
Tiba-tiba, begitu kedua tangan Tumenggung Jaluwisa bergerak, tahu-tahu dua pucuk pistol sudah berada di kedua tangannya. Gerakannya demikian cepat sehingga hampir tak tampak.
"Andika melihat ini, Aki?"
Tumenggung itu menimang pistol di tangan kiri.
"Pistol ini mempunyai peluru-peluru perak dan akan menembus semua aji kekebalan! Dan kalau mungkin gagal, masih ada pistol kedua ini. Andika lihat. Ini pistol berpeluru emas. Aji kekebalan mana mampu bertahan? dengan kedua pistol ini di tanganku, jagoan Mataram yang mana akan mampu dan berani melawan aku? Nah, kenapa andika takut melepaskan ikatan kedua orang muda yang mau bekerja sama dengan kita ini? Di luar masih ada anak buahku sebanyak dua losin orang yang semua bersenjata senapan laras panjang. Hayi buka saja ikatan mereka!"
Aki Mahesa Sura bangkit dan menghampiri Jatmika.
Sebelum membuka tali pengikat kedua lengan pemuda itu, dia berkata.
"Jatmika, ingat baik-baik, kalau engkau bekerja sama dengan kami, engkau akan mendapatkan kemuliaan dan kedudukan. Akan tetapi kalau engkau mencoba untuk memberontak dan melawan, engkau akan tewas. Engkau tentu pernah mendengar, betapa banyaknya para datuk dan orang-orang yang sakti mandraguna dari Mataram, yang memiliki aji kekebalan yang amat kuat, tumbang satu demi satu ketika diterjang peluru perak atau emas. Dan denmas tumenggung ini terkenal sebagai seorang ahli tembak yang seratus kali bidik seratus kali kena!"
Setelah berkata demikian dia melepaskan ikatan kedua tangan Jatmika dan juga kedua tangan Eulis.
Aji yang masih mengintai merasa khawatir sekali. Dia maklum bahwa ucapan Tumenggung Jaluwisa dan Aku Mahesa Sura tadi bukan hanya gertak kosong belaka. Dia sendiri sudah menyaksikan keampuhan pistol berpeluru perak itu. Ki Sudrajat, ayah kandung Jatmika juga tewas ketika disambar sebutir peluru perak. Pada hal, beberapa butir peluru biasa tidak mampu melukainya, Juga Ki Tejo Langit yang sakti mandraguna itu tewas karena berondongan peluru dalam keadaan tidak siap melindungi dirinya dengan aji kekebalan. Senjata api itu memang berbahaya. Kalau Jatmika dan Sulastri memandang rendah dan nekat memberontak, tentu mereka akan celaka. Akan tetapi dia merasa lega melihat sikap Jatmika tenang saja dan dia memandang kepadanya, dan di sinar matanya seperti mengisyaratkan agar gadis itu menurut saja kepadanya.
"Nah, sekarang harap kalian beritahukan kepada kami, kerja sama bagaimana yang kalian maksudkan dan tugas apa yang harus kami lakukan,"
Katanya sambil memandang tajam kepada Aki Mahesa Sura dan Tumenggung Jaluwisa.
Tumenggung Jaluwisa tertawa.
"Ha-ha-ha, Jatmika, agaknya andika seorang pemuda yang jujur dan tidak mau banyak lika-liku, langsung saja ke persoalan. Bagus, aku suka sekali sikap seperti itu. Nah, dengarlah baik-baik. Kalau andika dapat melaksanakan tugas ini dengan baik bersama nona Listyani, kalian berdua akan mendapatkan kedudukan tinggi di Sumedang."
"Soal itu kita bicarakan belakangan saja, paman. Yang penting sekarang membicarakan apa yang akan kita lakukan terhadap Kadipaten Sumedang."
"Paman? Ah, benar juga. Andika masih muda, paling banyak dua puluh dua tahun usiamu, memang pantas kau sebut paman tumenggung, akan tetapi aku akan lebih suka kalau engkau dan Listyani ini menyebut kakangmas tumenggung padaku. Ha-ha, akan tetapi tidak mengapalah. Ucapanmu itu menunjukkan bahwa andika bukan seorang yang kemaruk (tamak) dan haus akan imbalan hadiah. Baik sekali. Nah, dengar baik-baik. Adipati Sumedang Mas Gede, adalah seorang yang tidak memiliki pendirian tegas. Dalam hatinya dia setuju dengan kami, tidak suka kepada Mataram dan condong membantu pihak Kumpeni Belanda yang hendak memakmurkan rakyat kami, akan tetapi pada lahirnya dia selalu mencari muka kepada Sultan Agung di Mataram. Dia seperti ular berkepala dua, siap mengkhianati kedua pihak untuk mencari keuntungan sendiri. Oleh karena itu, kami mengambil keputusan untuk menjatuhkannya dan menyerahkan kedudukan Adipati Sumedang kepada orang lain yang lebih tepat."
"Menjatuhkan? Apa yang andika maksudkan, paman?"
Tanya Jatmika, memancing untuk mendapat keterangan yang lebih jelas walaupun dia sudah dapat menduga bahwa ternyata tumenggung ini yang menjadi pemimpin pemberontakan seperti diceritakan ayahnya.
"Apa lagi kalau tidak membunuh Pangeran Mas Gede yang tidak pantas menjadi Adipati Sumedang itu? Kita bunuh dia dan seorang pengganti yang tepat, yang menentang Mataram, diangkat."
"Hemm, maafkan aku, paman. Akan tetapi bukankah paman sendiri seorang senopati Sumedang?"
"Justeru karena aku senopati pertama di Sumedang, aku mengetahui semua keadaan dengan baik dan akan memudahkan kita mengatur rencana itu. Pangeran Mas Gede merupakan kelilip dan penghalang perjuangan yang harus disingkirkan!"
"Perjuangan apa, paman?"
"Perjuangan Sumedang menentang Mataram dan membebaskan diri dari kekuasaan Mataram, berdiri dan mendatangkan kemakmuran lep[ada rakyat kita dengan bantuan Kumpeni belanda yang kaya raya dan pandai itu."
Jatmika menanti sesaat lalu bertanya dengan hati-hati.
"Mengapa paman sekalian demikian membenci Mataram?"
Tumenggung Jaluwisa membelalakkan matanya memandang Jatmika dengan penasaran.
"Mengapa tidak? Semua orang di Pasundan harus membenci Mataram. Lupakah andika akan kisah lama yang terjadi kurang lebih tiga ratus tahun yang lalu? Sang Maharaja Purana, raja Pajajaran dengan niat baik dan rendah hati mengantarkan puterinya untuk menjadi pemaisuri Sang Prabu Hayam Wuruk atau Rajasanegara. Akan tetapi apa yang dilakukan Raja Mataram itu? Raja Pasundan, Sang Maharaja Purana malah dihina, diharuskan mempersembahkan puteri beliau untuk menjadi seorang selir sebagai tanda menaklum! Pihak Pajajaran tentu saja menolak dan di Bubat itu terjadilah pertempuran yang berakhir dengan terbasminya pasukan Pajajaran. sang Maharaja Purana sekeluarga berikut semua perwira dan perajurit binasa! Hayo katakan, siapa yang tidak membenci Mataram? Aku adalah seorang keturunan Menak (bangsawan) Pajajaran, maka aku akan selalu memusuhi Mataram. Karena Adipati Sumedang Pangeran Mas Gede condong tunduk kepada Mataram, maka dia menjadi musuhku pula!"
Jatmika menghela napas panjang. tentu saja dia sudah pernah mendengar kisah lama itu dari ayahnya, akan tetapi dengan warna atau pendapat yang lain. Menurut ayahnya, pada waktu itu Sang Prabu Hayam Wuruk atau Rajasanegara sama sekali tidak bermaksud menumpas Sang Maharaja Purana dari Pajajaran berikut semua pasukannya. Hal itu terjadi karena kesalah-pahaman antara Ki Patih Gajahmada dan para perwira Pajajaran, ditambah lagi usaha licik Raja Wengker untuk mengadu domba karena dia menghendaki Sang Prabu Hayam Wuruk agar menikah dengan seorang puterinya, bukan dengan puteri Pajajaran itu.
Ternyata kemudian, setelah terjadi Perang Bubat yang menewaskan Sang Maharaja Purana berikut seluruh keluarganya, Sang Prabu Hayam Wuruk benar-benar menikah dengan puteri Raja Wengker! Akan tetapi peristiwa itu sebetulnya adalah karena urusan pribadi, sama sekali bukan merupakan permusuhan antara kerajaan Mataram dan kerajaan Pajajaran. Maka, sungguh keterlaluan sekali kalau peristiwa itu dijadikan alasan oleh Tumenggung Jaluwisa untuk memusuhi Mataram. Akan tetapi biarpun dalam hatinya dia tidak setuju, dia maklum bahwa kalau dia mengatakan hal itu, keselamatan dia dan Eulis akan terancam. Dia harus cerdik, mengambil sikap seolah menyetujui semua ucapan tumenggung itu dan melihat perkembangan keadaan, mencari kesempatan untuk meloloskan diri bersama Eulis.
"Lalu bagaimana rencana itu, paman tumenggung? Dan kami berdua kebagian tugas apakah?"
"Begini. Kami sudah merencanakan untuk melakukan penyerangan dan membunuh sang adipati pada besok siang kalau dia melakukan perjalanan berburu binatang di sekitar lembah sungai. Kami akan mengerahkan orang-orang untuk menyerang pasukan pengawal adipati yang biasanya berjumlah sekitar seratus orang dan dalam keributan selagi para pengawal bertempur melawan orang-orang kami, andika berdua agar muncul, mendekati sang adipati dan membunuhnya."
"Hemm, pengawalnya ada seratus orang. Apakah penyerbuan itu tidak berbahaya sekali?"
"Tidak, walaupun orang-orang kami hanya sekitar lima puluh orang, namun mereka semua bersenjata bedil."
Tiba-tiba Eulis yang hanya kehilangan ingatan tentang masa lalunya namun tidak pernah kehilangan kecerdikan itu, setelah mengerti akan segala rencana itu, bertanya.
"Tumenggung, rencana besok siang itu, andaikata andika tidak bertemu dengan kami, lalu siapa yang akan melakukan itu?"
Sang tumenggung menatap wajah cantik itu dan tersenyum. Tadinya kami rencanakan agar aku sendiri atau Mahesa Sura yang melakukan pembunuhan. Akan tetapi kehadiran kalian ini sungguh menguntungkan sekali. Kalau aku atau Aki Mahesa Sura yang melaksanakan penyerangan untuk membunuhnya, tidaklah aman karena sang adipati telah mengenal baik aku dan Aki."
"Hemm, kenapa tidak menyuruh orang lain yang tidak dikenalnya? Bukankah andika
mempunyai banyak anak buah?"
"Wah, itu berbahaya. Sang Adipati bukan orang lemah. Dia cukup tangguh, Kita harus mengingat kemungkinan gagal, walaupun menurut perhitunganku, kemungkinan itu kecil sekali atau hampir tak mungkin. Akan tetapi andaikata kita gagal membunuhnya, kalau aku atau Aki yang melakukan, tentu kami akan ketahuan. Sebaliknya, kalau kalian yang melakukan, andaikata gagal sekalipun, dia tidak akan mengenal kalian. Kalau gagalpun, aku tetap aman dan dapat merencanakan penyerangan berikutnya. Mengertikah kalian sekarang?"
Jatmika dan Eulis mengangguk setelah saling pandang sejenak.
"Kami mengerti."
"Dan kalian besok siang sanggup melaksanakannya?"
Kembali Eulis memandang Jatmika dan pemuda itu yang menjawab.
"Kami sanggup!"
"Nah, sekarang kita beristirahat. Kuharap kalian setelah dibebaskan dari ikatan, tidak bertindak macam-macam karena kami belum mendapatkan bukti kesetiaan kalian dan tidak akan ragu-ragu untuk menembak mati kalian kalau kalian hendak memberontak,"
Kata pula Tumenggung Jaluwisa.
"Biar aku mengaso bersama Aki dan Jatmika. Andika boleh menempati kamar itu seorang diri,..... diajeng Listyani. Terpaksa kami harus mengawasi kalian."
Pada saat itu, Aji sudah menyelinap pergi dan dia berlari cepat di bawah sinar bulan muda. Karena tidak menemukan perahu, dia lalu menumbangkan sebatang pohon kelapa, memotongnya menjadi dua dan menggandengnya dengan tusukan bambu. Jadilah sebuah getek yang amat sederhana. Dengan getek dari dua batang pohon kelapa yang digandeng dengan bambu, diapun menyeberangi sungai dan melanjutkan perjalanannya, berlari cepat menuju arah Sumedang yang sudah diketahuinya karena tadi siang dia sudah bertanya-tanya orang dalam perjalanannya. Sambil berlari, tiada hentinya dia berpikir tentang Jatmika dan Sulastri.
Mereka itu tampak begitu akrab. Ada perasaan tidak enak menyelinap dalam hatinya. Betapa tidak? Jatmika adalah seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah. Akan tetapi sebetulnya tidak aneh kalau mereka itu berhubungan akrab, bantahnya sendiri. Bukankah mereka itu masih satu perguruan? Sulastri adalah murid atau lebih tepat, cucu murid Ki Ageng Pasisiran atau Ki Tejo Langit. Sedangkan Jatmika adalah cucu Ki Tejo Langit, putera dari Ki Sudrajat, anak angkatnya.
Berarti antara Jatmika dan Sulastri tentu saja ada hubungan baik sekali bahkan mungkin tumbuh besar dalam satu lingkungan. Maka bukan hal aneh kalau gadis itu akrab dengan Jatmika! Kenyataan ini menghapus rasa tidak enak di benak Aji. Kini yang terpenting, dia harus cepat dapat bertemu dengan Pangeran Mas Gede, Adipati Sumedang yang sedang di tunggu bahaya maut. Walaupun dia masih ragu dan juga penasaran mengapa Jatmika dan Sulastri mau menerima kerja sama itu! Benarkah Jatmika dan Sulastri sudi menjadi antek pengkhianat dan anak buah Kumpeni Belanda? Dia teringat pula kepada kakak tirinya, Hasanudin. Kakak tirinya itupun sudah terseret ke lembah hina, menjadi antek Kumpeni Belanda. Kenapa orang-orang begitu mudah terpikat umpan kedudukan dan harta benda? Untung baginya malam itu langit cerah dan bulan muda memberikan penerangan cukup
sehingga dia dapat melakukan perjalanan cepat sekali. Ketika fajar menyingsing, tibalah dia di luar sebuah dusun. Kebetulan dia melihat seorang petani setengah tua memanggul cangkul, agaknya petani yang amat rajin ini sudah hendak bekerja di sawah ladangnya sepagi itu.
Aji menghadang di depan petani itu dan sebelum petani itu terkejut, Aji sudah mendahului dengan teguran yang ramah dan lembut.
"Selamat pagi, paman. Rajin benar sepagi ini sudah hendak bekerja di ladang."
"Yah, kalau saya menanti sampai matahari terbit, jangan-jangan saya malah tidak sempat lagi menggarap ladang, denmas."
"Jangan sebut saya denmas, paman. Saya juga orang desa seperti paman. Akan tetapi kenapa kalau matahari terbit paman malah tidak sempat menggarap ladang?"
"Wah, nakmas. Orang sedusun kami jadi repot sejak malam tadi. Kami harus melayani tamu agung, maka saya pagi-pagi sekali segera saja ke ladang agar terhindar dari kesibukan nanti."
"Tamu agung? Siapakah dia, paman?"
"Wah, bukan blaen-blaen (main-main), anakmas. Tamu yang kini bermalam di rumah kepala dusun adalah Gusti Adipati Sumedang sendiri! Para pengawalnya, kurang lebih sertaus orang bersama perwira-perwiranya mondok di pendopo rumah kepala dusun sampai penuh dan ramainya bukan main. Semalam kami harus melayani semua keperluan para perajurit itu."
Berita itulah yang dicari Aji.
"baiklah, paman. Lanjutkan perjalananmu dan terima kasih."
"Andika hendak ke mana?"
Tanya petani itu melihat Aji hendak melangkah ke arah dusun.
"Aku ingin menonton Gusti Adipati dan para perajuritnya,"
"Wah, hati-hati, nakmas. Mereka galak-galak, salah sedikit mereka main tampar!"
Aji tidak menjawab melainkan cepat memasuki dusun itu. Tidak sukar baginya menemukan rumah kepala dusun yang jauh lebih besar daripada rumah penduduk lainnya. Dan dari luar saja tampak betapa di pendopo terdapat lima orang perajurit yang bertugas jaga. Mereka melakukan penjagaan secara bergiliran. Aji cepat memasuki pekarangan rumah besar itu dan segera menghampiri pendopo.
Lima orang penjaga itu terserang kantuk yang harus mereka tahan-tahan tadi. Tidak anek kalau mereka itu menjadi tidak sabaran dan mudah marah. Melihat seorang pemuda dusun menghampiri mereka, seorang diantara para penjaga yang membawa tombak ini segera menghadang dengan galak dan kasar dia menodongkan ujung tombaknya ke depan dada Aji.
"Hei, mau apa kamu datang ke sini tanpa dipanggil? Mau nyolong (mencuri), ya?"
Aji mengerutkan alisnya. Heran dia melihat sikap seorang perajurit Sumedang ini, tiada bedanya dengan serdadu Kumpeni belanda yang angkuh.
"Ki sanak, aku datang membawa berita penting sekali untuk Gusti Adipati."
Kata Aji dengan sikap hormat dan suaranya lembut.
Penjaga itu menjadi semakin marah. Empat orang kawannya sudah datang pula menodongkan tombak mereka kepada Aji.
"Apa kaubilang? Siapa sudi menjadi sanakmu? Hayo katakana, apa makasudmu datang malam-malam ke sini. Awas, jangan bohong dan bicara yang bukan-bukan atau tombakku akan menjebolkan isi perutmu!"
"Tadi sudah kukatakan bahwa aku datang membawa berita penting sekali untuk Gusti Adipati."
Ujung tombak itu ditekan dan merapat di kulit dada Aji.
"Petani kotor macam kamu mana mempunyai berita penting untuk Gusti Adipati? Paling-paling kalau bertemu kamu ingin mengajukan permohonan, minta ini itu! Hayo pergi atau tomabak ini akan kutusukkan di perutmu!"
Bukan hanya tombak si pembicara yang menekan kulit Aji, juga empat batang tombak lain menekan kulit tubuhnya, dua di depan, satu di kiri, satu di kanan dan satu di punggungnya. Dia telah dikepung lima batang tombak yang siap menusuk.
"Kalian penindas rakyat, sungguh keterlaluan!"
Berkata demikian, dia menggerakkan kedua tangannya sambil memutar tubuhnya. Tombak-tombak itu ditusukkan karena para perajurit mengira dia melakukan perlawanan, akan tetapi senjata-senjata itu terpental dan ketika tangan Aji menampar lima kali, tombak-tombak itu patah-patah. Aji menggerakkan kakinya yang menyambar-nyambar dan lima orang itu berpelantingan dan jatuh terbanting keras.
"Hei, apa yang terjadi di sini?"
Terdengar bentakan nyaring dan dua orang dengan gerakan trengginas telah
berhadapan dengan Aji. Melihat dua orang itu berpakaian sebagai perwira, Aji cepat mencabut keris pusaka Kyai Nagawelang dan memperlihatkannya kepada dua orang perwira itu.
"Mudah-mudahan andika berdua mengenal pusaka itu!"
Kata Aji yang mengangkat keris itu sehingga tertimpa sinar lampu gantung yang berada di pendopo.
"Apa artinya ini?"
Bentak seorang perwira.
"Ah..... itu..... Keris Pusaka Kyai Nagawelang!
Andika utusan Gusti sultan Agung dari Mataram?"
Kata perwira ke dua. Aji mengangguk dan menyarungkan kembali kerisnya.
"Benar, ki sanak. Ketahuilah, aku datang hendak menghadap Gusti Adipati sekarang juga. Ada pengkhianatan dan para pengkhianat merencanakan untuk membunuh Gusti Adipati pada siang hari ini. Karena itu, harap segera laporkan kepada beliau agar aku dapat menghadap dan bicara dengan beliau."
Mendengar ini, dua orang perwira itu terkejut bukan main. Apalagi setelah mereka mengenal Kyai Nagawelang dan tahu bahwa pemuda yang merobohkan lima orang perajurit itu adalah utusan Sultan Agung di Mataram.
"Mari, ki sanak, mari masuk saja. Akan kami hadapkan Gusti Adipati!"
Kata dua orang perwira itu dan Aji lalu diiringakn memasuki rumah melalui pendopo. Semua perajurit pengawal ketika mendengar akan apa yang terjadi, menjadi heran dan menghujani lima orang yang dirobohkan Aji tadi dengan pertanyaan-pertanyaan.
Adipati Pangeran Mas Gede tentu saja terkejut sekali ketika digugah dari tidurnya dan seorang perwira menghadap dan melapor akan kedatangan Aji yang membawa berita pengkhianatan yang mengancam nyawa adipati itu. Cepat Adipati Pangeran Mas Gede bertukar pakaian, mencuci muka dan tak lama kemudian dia sudah menerima Aji di ruangan belakang, ditemani oleh lima orang perwira, yaitu para pimpinan pasukan pengawal itu.
Pada waktu itu, Sumedang memang dirongrong oleh gerakan-gerakan gerombolan yang tampaknya ada tanda-tanda hendak memberontak, maka dalam perjalanan berburu binatang ini Adipati Pangeran Mas Gede membawa seratus orang pengawal dipimpin lima orang perwira.
Di depan sang adipati Sumedang, kembali Aji memperlihatkan keris pusaka Kyai Nagawelang sehingga sang adipati percaya kepadanya.
"Andika bernama Lindu Aji? Nah, setelah kami merasa yakin bahwa andika memang utusan Gusti Sultan Agung, sekarang ceritakanlah dengan gamblang tentang apa yang andika sebut sebagai pengkhianatan yang mengancam keselamatan kami itu."
Dengan jelas Aji lalu menceritakan tentang percakapan antara Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura tentang pengkhianatan meraka, dan tentang rencana mereka untuk besok siang turun tangan membunuh sang adipati yang sedang melakukan perburuan binatang di Lembah Sungai Ci Lutung. Mendengar laporan ini, Adipati Pangeran Mas Gede menepuk pahanya sendiri dengan marah.
"Keparat Jaluwisa! Kiranya dia merencanakan pengkhianatan dan pembunuhan keji! Akan tetapi kami mempunyai seratus orang pasukan pengawal!"
"Gusti Adipati, harap diketahui bahwa Tumenggung Jaluwisa akan mempersiapkan orang-orangnya yang berjumlah lima puluhan orang, akan tetapi mereka semua memegang senapan yang mereka dapatkan dari Kumpeni Belanda."
"Setan jahanam! Kalau begitu berbahaya juga. Hei para perwira pengawal, bagaimana baiknya menurut kalian?"
Seorang di antara lima orang itu berkata.
"Demi keselamatan paduka, sebaiknya kalau kita segera kembali saja ke kadipaten, Gusti Adipati."
"Maafkan saya, paman adipati."
Kata Aji yang teringat akan nasib Jatmika dan Sulastri. Kalau penyerangan itu urung atau gagal, tentu keselamatan dua orang itu terancam sekali.
"Saya kira justru ini saat yang terbaik sekali bagi paduka untuk membasmi para pemberontak itu."
"Tapi mereka kuat sekali, anakmas! Bagaimana mungkin seratus orang pasukan kami dapat melawan lima puluh orang yang memegang bedil?"
Kata sang adipati.
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Juga amat membahayakan keselamatan Gusti Adipati!"
Kata seorang pengawal. Mereka semua tidak menyetujui usul Aji. Akan tetapi dengan sikap tenang Aji berkata.
"Paman Adipati, kita mempunyai suatu hal yang amat kuat dan yang menjamin kita untuk dapat mengalahkan mereka, yaitu bahwa kita telah mengetahui rencana mereka, sebaliknya mereka sama sekali tidak menduga bahwa paduka telah mengetahui keadaan dan rencana mereka. Kita dapat memanfaatkan keuntungan itu untuk menjebak mereka dan menghancurkan mereka, menangkap dan menghukum pengkhianat Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura yang membantunya itu."
"Hemm, bagaimana mengaturnya, anakmas Lindu Aji? Aku tetap khawatir kalau sampai gaga, tentu akan terjadi malapetaka. Tumenggung Jaluwisa itu cukup sakti dan dia memang pandai menggunakan senjata api. Apalagi yang namanya Aki Mahesa Sura itu! Dia sakti mandraguna dan pandai sihir, bahkan kabarnya dia dapat mengubah dirinya menjadi harimau jadi-jadian!"
"Harap Paduka jangan khawatir. Biar saya yang mengaturnya. Saya yang akan menggantikan paduka di dalam kereta, dan saya yang akan menghadapi Mahesa Sura. Sebaiknya sekarang juga kita berangkat, paman Adipati, agar kita dapat tempat yang cocok untuk melaksanakan rencana kita menjebak mereka. Kita dapat merundingkan teantang rencana jebakan itu dalam perjalanan."
Pangeran Mas Gede akhirnya menyetujui dan pagi-pagi sekali rombongan ini bergerak meninggalkan dusun dan setelah tiba di tepi sungai Ci Lutung, Aji mencari tempat yang baik untuk menjebak lawan. Ketika tiba di lembah sungai yang berhutan, Aji menghentikan rombongan itu. Dia lalu mengatur pasukan pengawal, membaginya menjadi tiga rombongan dan menyuruh mereka mempersiapkan gendewa dan anak panah sebanyaknya. Senjata bedil lawan akan dibalas dengan anak panah. Dia mengatur sedemikian rupa sehingga tiga rombongan pasukan itu bersembunyi dan mengepung tempay itu dari tiga jurusan. Mereka diperintahkan untuk tetap bersembunyi dan berlindung di balik batang-batang pohon dan batu-batuan besar. Aji lalu menggunakan tali untuk mengikat semak-semak belukar dan pohon-pohon kecil yang berada di tengah dan yang terkepung tiga rombongan itu.
"Paduka sebaiknya ikut bersembunyi bersama para perwira pengawal dan meninggalkan kereta di depan sana. Biar saya yang menggantikan paduka berada dalam kereta."
"Akan tetapi kami tidak takut, Kami bahkan ingin menghajar sendiri pengkhianat Jaluwisa itu!"
Kata Pangeran Mas Gede penuh semangat.
"Jangan, paman adipati. Saya percaya akan kemampuan paduka, akan tetapi ketahuilah bahwa Jaluwisa memiliki dua pistol berpeluru perak dan emas yang tidak dapat ditahan oleh aji kekebalan. Biarlah saya yang akan menghadapi mereka, bersama dua orang sahabat saya."
"Siapa dua orang sahabatmu itu?"
"Mereka adalah saudara-saudara seperguruan saya, seorang pria dan seorang wanita yang sekarang menjadi tawanan Tumenggung Jaluwisa. Saya akan membebaskan mereka, dan kami bertiga rasanya cukup untuk menghancurkan kekuatan Jaluwisa dan Mahesa Sura."
"Baiklah kalau begitu."
Pangeran Mas Gede lalu ikut bersembunyi dan siap bertempur kalau keadaan membutuhkan bantuannya. Aji berpesan kepada para perajurit pengawal agar jangan dulu menyerang dengan anak panah mereka sebelum dia memberi isyarat.
"Aku akan memancing mereka, dibantu beberapa orang perajurit aku akan menarik tali-tali dan menggoyang-A goyang pohon kecil dan semak belukar yang sudah diikat tali. Tentu mereka akan mengira bahwa kita bersembunyi di situ dan mereka akan menghujani tempat-tempat itu dengan tembakan bedil-bedil mereka. Nah, kalau bedil-bedil mereka kosong dan mereka sibuk mengisi bedil mereka dengan peluru baru, aku akan memberi isyarat dengan teriakan burung alap-alap seperti ini."
Aji mengeluarkan suara mirip lengkingan burung alap-alap.
"Setelah mendengar isyarat itu, barulah kalian menghujani mereka dengan anak panah itu jangan terlalu lama dan kalian harus cepat berpindah tempat berlindung yang sebelumnya harus sudah dipersiapkan agar kalau mereka memberondongkan peluru ke arah kalian tidak akan ada yang kena peluru. Kalian hanya menyerang begitu ada tanda dariku, menghujani anak panah lalu berpindah lagi. Mengerti?"
Semua perajurit mengangguk dan merasa gembira.
Pemuda senopati muda yang menjadi utusan Sultan Agung itu tampak demikian tenang dan tegas, agaknya sudah yakin akan kemenangan mereka, maka perajurit juga penuh semangat. Setelah semua orang bersembunyi di tempat masing-masing, Aji duduk pada tempat kusir kereta Adipati Sumedang yang dia sembunyikan agak jauh dari tempat yang terkepung itu, menanti dengan sikap tenang. Semua orang menanti di tempat persembunyian masing-masing, dengan hati tegang dan tidak bersuara, bahkan napaspun ditekan agar jangan bersuara keras. Matahari telah naik tinggi dan mendatangkan siang yang panas, akan tetapi mereka yang mengatur baris pendam di hutan itu mersa sejuk karena pohon-pohon besar dengan daunnya yang rimbun bagaikan payung-payung raksasa melindungi mereka dari sengatan sinar matahari.
Sejam lebih mereka menunggu, sejam yang rasanya lama sekali menimbulakan perasaan jemu, ragu-ragu, dan semakin tegang. Akhirnya terdengar suara gaduh, suara banyak orang datang ke arah tempat itu. Semua perajurit pengawal Sumedang cepat mendekam dan bersembunyi. Tak lama kemudian muncullah rombongan itu. Tumenggung Jaluwisa dan Aki mahesa Sura berjalan di depan dan di antara mereka berjalan Jatmika dan Eulis. Di sepanjang perjalanan mereka bersikap waspada. Ketika mereka tiba di situ, tiba-tiba di depan, agak jauh tampak sebuah kereta meluncur perlahan. Tumenggung Jaluwisa segera mengenal kereta yang biasa dipakai Adipati Pangeran Mas Gede itu.
"Itu keretanya! Wah, mereka tentu berada di sini. Jatmika dan Listyani, cepat kalian sergap kereta itu dan bunuh penumpangnya. Kami yang akan menghancurkan pasukan pengawalnya!"
Kata Tumenggung Jaluwisa yang memberi isyarat kepada lima puluh anak buahnya. Mereka lalu berpencar dan siap dengan bedil mereka.
Pada saat itu, orang-orang sudah diberi petunjuk Aji menarik-narik tali, membuat beberapa semak belukar dan pohon-pohon kecil bergoyang-goyang. Melihat ini, tanpa diperintah lagi, anak buah Jaluwisa segera memberondongkan peluru bedil mereka ke arah sasaran itu. Terdengan bunyi ledakan-ledakan bergemuruh dan tampak asap mengepul dari moncong-moncong senapan.
Sementara itu, Jatmika dan Eulis sudah cepat berlari ke depan, menuju arah kereta.
"Nimas, jangan bunuh orang! Kita hanya pura-pura membantu mereka."
Kata Jatmika ketika mereka berdua berlari cepat.
Pada saat itu mereka tiba di dekat kereta, sesosok bayangan berkelebat turun dari atas kereta dan terdengar suara bayangan itu.
"Jatmika dan Sulastri, cepat lari bersembunyi ke belakang kereta!"
Suara itu demikian kuat wibawa dan pengaruhnya sehingga Jatmika dan Eulis tanpa ragu lagi cepat berlompatan ke belakang kereta dan ikut mendekam di samping Aji.
"Hei, kalian berdua pengkhianat rendah!"
Terdengar Tumenggung Jaluwisa berteriak marah ketika melihat dua orang muda yang tadinya diharapkan akan menyerang dan membunuh sang adipati yang berada di dalam kereta, kini malah berlompatan dan berlindung di belakang kereta.
"Aki, kita bunuh mereka!"
Tumenggung Jaluwisa mencabut dua buah pistolnya dan membidik ke arah kereta.
"Dar!! Dar!!"
Bidikannya ternyata memang tepat sekali. Terdengar suara kuda meringkik dan dua ekor kuda yang menarik kereta itupun roboh, berkelojotan sebentar lalu mati karena kepala mereka telah tertembus peluru pistol. Pistol itu masih meledak beberapa kali dan beberapa butir peluru menyambar ke arah kereta, tentu dimaksudkan untuk menyerang orang yang berada dalam kereta. Tentu saja peluru-peluru itu terbuang sia-sia karena dalam kereta itu tidak ada siapapun.
"Kalian jangan bergerak dulu. Dua buah pistol itu berbahaya, terisi peluru perak dan emas, dapat menembus semua aji kekebalan. Aku akan berusaha untuk menyingkirkan dua buah pistol itu lebih dulu!"
Kata Aji dan diapun cepat berkelebat meninggalkan Jatmika dan Eulis. Pemuda dan gadis itu memandang dengan kagum dan heran. Jatmika tidak mengenalnya dan pemuda itu menyebut Eulis dengan sebutan Sulastri!
"Nimas, engkau mengenalnya?"
Bisik Jatmika kepada Eulis. Gadis itu mengerutkan alisnya dan menggeleng. Ia memang sama sekali tidak ingat lagi kepada Aji.
Tumenggung Jaluwisa dan Mahesa Sura berlari menghampiri kereta itu.
"Jatmika dan Listyani, hayo keluar dari tempat persembunyian kalian! Kalian tidak dapat lolos dari tanganku!"
Bentak Jaluwisa. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi pekik burung alap-alap setelah berondongan tembakan dari para anak buah pemberontak itu berhenti.
Tiba-tiba dari berbagai jurusan, menyambar puluhan batang anak panah. tentu saja banyak anak buah pemberontak yang menjadi korban. mereka menjerit dan mengaduh. Mendengar ini, Jaluwisa dan Mahesa Sura kaget dan menengok. Mereka melihat banyak anak buah mereka roboh, akan tetapi anak buah yang lain sudah sempat mengisi bedil dan mulai memberondong ke arah dari mana datangnya anak-anak panah tadi. Melihat ini, Aji menggunakan kepandaiannya untuk melompat keluar ke depan kereta dan memperlihatkan diri kepada Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura.
"Heh kalian anjing-anjing peliharaan Kumpeni Belanda! Tidak malukah kalian mengkhianati tanah air dan bangsa? Dosa kalian sudah bertumpuk, hayo cepat menyerah!"
Tumenggung Jaluwisa tidak mengenal Aji. Dia marah sekali dan dua buah pistol di kedua tangannya meledak-ledak, akan tetapi bayangan Aji sudah lenyap lagi. Kembali terdengar pekik burung alap-alap dan hujan anak panah menyerang para anak buah gerombolan pemberontak. Terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang roboh pula menjadi korban hujan anak panah. Mereka yang masih belum terluka cepat menembakkan senapan mereka ke arah dari mana datangnya anak panah. dari teriakan yang terdengar dapat diketahui bahwa setidaknya tentu ada beberapa orang anak buah pasukan pengawal yang terkena tembakan.
Tumenggung Jaluwisa dan Aki Mahesa Sura menjadi marah sekali. Aki Mahesa Sura lalu menerjang ke arah semak belukar. Banyak anak panah menyerangnya. Akan tetapi kakek itu tidak memperdulikan serangan itu dan tetap maju dan memutar tongkat ularnya. banyak anak panah terpental oelh putaran tongkat ular itu dan beberapa batang anak panah mengenai pundak dan dadanya, akan tetapi anak-anak panah itu seperti mengenai batu karang saja dan runtuh tanpa meninggalkan bekas luka, kecuali merobek baju kakek itu. Pada saat itu, Jatmika yang sejak tadi bersembunyi di belakang kereta bersama Eulis, tak dapat menahan diri lagi untuk tidak keluar. Dia melompat keluar.
"Kakangmas Jatmika, hati-hati.....!"
Eulis juga ikut melompat ke luar. Tumenggung Jaluwisa yang masih mencari bayangan Aji, cepat membalikkan tubuhnya dan mengangkat kedua tangannya.
"Dar.....! Darr.....!"
Dua moncong pistolnya menyemburkan api dan asap. Jatmika dan Eulis yang sudah diperingatkan Aji tentang keampuhan pistol-pistol perak dan emas itu, cepat membuang diri ke atas tanah dan bergulingan ke belakang batu-batu besar sehingga mereka terhindar dari sasaran pistol.
Kemarahan Tumenggung Jaluwisa memuncak melihat pemuda dan gadis tawanannya itu ternyata tidak membantunya. Dan kemarahannya semakin berkobar ketika dia melihat kegagalan tembakannya. Dengan alis berkerut dan mata mencorong dia berlompatan untuk mencari dua orang itu yang tadi bergulingan ke belakang batu-batu.
Tiba-tiba ada angin menyambar dari arah belakangnya. Tumenggung Jaluwisa terkejut, maklum bahwa ada yang menyerangnya dengan kekuatan besar. Dia cepat membalik dan mengangkat kedua tangan, siap menembak. Akan tetapi tiba-tiba dua buah tangan menyambar dan tepat mengenai kedua pergelangan tangannya.
"Aduh.....!"
Tumenggung Jaluwisa berseru kaget, merasa kedua tangannya seperti patah dan kedua pistol yang digenggamnya terlepas dari kedua tangannya dan terlempar jauh! Jaluwisa ternyata tangguh juga. Pukulan yang tepat mengenai kedua pergelangan tangannya itu hanya mampu membuat dua buah pistolnya terlempar, akan tetapi tidak melukainya. Cepat tubuhnya melompat ke belakang. Ketika dia mengangkat muka hendak melihat siapa penyerangnya, Aji sudah melompat, tubuhnya berkelebat dan dia telah meninggalkan Jaluwisa karena dia melihat amukan Aki Mahesa Sura yang merobohkan beberapa orang perajurit pengawal.
Amukan Aki Mahesa Sura memang menggiriskan. Dengan tongkat ularnya, kakek ini menerjang puluhan orang perajurit pengawal. Melihat kakek ini tidak dapat terluka oleh anak panah mereka, para perajurit sudah menjadi panik.
Mereka mencabut golok dan ada yang menggunakan tombak menyerang kakek tua renta itu, namun mata golok dan tombakpun tidak mampu melukai kulitnya. Sambil tertawa-tawa kakek itu menggerakkan tongkat ularnya dan banyak perajurit roboh bergelimpangan sambil menjerit-jerit kesakitan, tubuh mereka berkelojotan dan bekas bagian tubuh yang terkena sambaran tongkat ular, kulitnya berubah menghitam yang makin lama menjadi semakin lebar, Ternyata senjata tongkat ular itu mengandung bisa yang amat ampuh! Dalam waktu beberapa menit saja, belasan orang perajurit pengawal berjatuhan dan berkelojotan dalam sekarat! Tiba-tiba ada angin menyambar dari samping. Kakek yang berpengalaman ini maklum bahwa ada serangan orang sakti. Dia melompat menghindar dan memutar tubuh. Kiranya yang menyerangnya dengan tamparan kuat itu hanyalah seorang pemuda tampan berpakaian sederhana, akan tetapi bukan Jatmika. Pemuda itu adalah Aji.
"Munding Hideung dan Munding Bodas adalah orang-orang sesat, akan tetapi ternyata gurunya bahkan lebih jahat lagi. Aki Mahesa Sura, andika yang sudah tua renta kenapa tidak mencari jalan terang agar kelak kepulanganmu ke alam baka tidak akan tersesat ke neraka jahanam?"
Kata Aji sambil memandang dengan sinar mata mencorong.
Melihat kakek itu menghadapi pemuda yang tadi memimpin mereka dan mengatur siasat, para perajurit pengawal timbul kembali keberanian mereka. Dua orang melompat dan menubruk dari belakang, menusukkan tombak mereka ke arah punggung Aki Mahesa Sura.
"Asrrgghh.....!"
Kakek itu mengeluarkan gerangan seperti seekor binatang buas, tubuhnya membalik, tongkatnya menyambar dan dua batang tombak itu kini bertemu dengan dadanya dan kdua senjata itu patah! tongkat ular menyambar mengenai dua orang penyerangnya yang segera terpelanting roboh dan berkelojotan!
"Semua mundur, serbu anak buah gerombolan pemberontak. Biar aku yang melawan kekek ini!"
Bentak Aji dan para perajurit itu sadar bahwa mereka bukanlah tandingan kakek itu.
Kembali mereka menyusup mencari perlindungan ketika sisa anak buah gerombolan menembaki mereka. Kini tanpa dikomando, para perajurit pengawal mengerti bagaimana caranya menghadapi musuh yang bersenjata api itu. Pada saat letusan berhenti dan musuh sibuk mengisi peluru, mereka menyerang dengan anak panah. Bahkan kemudian setelah dekat, mereka menyerbu dengan senjata tombak dan golok.
Terjadi pertempuran berdarah. Anak buah gerombolan kini tidak sempat lagi menggunakan bedil. Merekapun mencabut golok dan melawan dengan senjata itu, nmun, jumlah mereka jauh berbeda. Kalau pasukan pengawal masih memiliki sisa anak buah sebanyak enam puluh orang, pihak pemberontak kini tinggal dua puluh orang saja! Melihat Aji melompat pergi, Tumenggung Jaluwisa cepat melompat ke arah di mana dua buah pistolnya terlempar. Akan tetapi ketika dia tiba di situ, dua buah pistolnya itu telah diinjak oleh dua orang yang bukan lain adalah Jatmika dan Eulis!
"He, pengkhianat pemberontak, kamu mencari ini?"
Eulis hendak membanting kakinya untuk menginjak hancur pistol yang berada di bawah kakinya.
"Jangan injak, nimas!"
Jatmika memperingatkan sehingga gadis itu terkejut dan tidak jadi membanting kaki ke atas pistol itu. Jatmika takut kalau-kalau pistol yang diinjak itu akan meledak. Dia lalu membungkuk dan memungut dua buah pistol itu, tersenyum mengejek kepada Tumenggung Jaluwisa.
"Senjata jahanam pemberian Belanda inikah yang kau cari, Tumenggung Jaluwisa?"
Setelah berkata demikian, Jatmika mengerahkan tenaga dan melontarkan dua buah pistol itu ke arah sungai yang berada di bawah tebing.
"Keparat!"
Tumenggung Jaluwisa marah bukan main melihat dua buah pistol kesayangan dan andalannya dibuang dan lenyap ke bawah tebing. Dia mencabut goloknya yang mengkilat saking tajamnya.
"Kalian telah mengkhianatiku! Sekarang aku menyesal mengapa tidak dari kemarin kalian kubunuh. Akan tetapi aku belum terlambat. Bersiaplah kalian untuk mampus! Haaaiiittt.....!!"
Tumenggung itu melompat seperti seekor singa kelaparan, menerkam dan menerjang kedua orang muda itu dengan sambaran goloknya yang berubah menjadi sinar putih bergulung-gulung. Namun, Jatmika dan Eulis sudah siap siaga. mereka melompat ke belakang sehingga sambaran golok itu luput. Melihat keris pusakanya Kyai Cubruk kini terselip di pinggang Tumenggung Jaluwisa, Jatmika berseru nyaring.
"Manusia curang! Kalau engkau memang gagah perkasa, kembalikan keris pusakaku kepadaku, baru kita bertanding sampai seorang diantara kita mati!"
Akan tetapi seruan Jatmika ini seperti mengingatkan tumenggung itu akan pusaka yang dirampasnya dan yang kini berada dipinggangnya.
"Ha, kau menginginkan keris ini? Baik, siapkan dadamu dan keris ini akan kukembalikan padamu!"
Tangan kirinya mencabut keris pusaka itu dan kini dengan buas dia menggerakkan golok dan keris untuk menyerang kalang kabut!
Tadi Jatmika dan Eulis sudah memungut sepotong ranting kayu sebesar lengan mereka, sepanjang kurang lebih satu meter dan dengan senjata sederhana ini mereka menghadapi serangan golok dan keris itu. Tentu saja pemuda dan gadis perkasa itu bersikap hati-hati sekali, tidak membiarkan senjata mereka bertemu langsung dengan golok lawan karena kalau hal itu terjadi, tentu ranting kayu di tangan mereka akan terpotong! Mereka berdua lebih banyak mengandalkan kelincahan gerakan mereka yang ditunjang ilmu meringankan tubuh Bayu Sakti.
Terjadilah perkelahian yang seru, akan tetapi kini Jatmika dan Eulis lebih banyak menyerang dengan tongkat ranting kayu mereka. Biarpun hanya ranting kayu, namun karena ditunjang tenaga sakti yang amat kuat, maka senjata sederhana itu menjadi senjata yang ampuh sekali. Tumenggung Jaluwisa maklum akan hal ini, maka diapun berusaha keras agar jangan sampai terkena senjata dua orang pengeroyoknya. Apalagi ketika Jatmika dan Eulis menyeling serangan tongkat mereka dengan pukulan Aji Margopati (Jalan Maut) yang dahsyat bukan main, tumenggung yang tangguh itu terkejut dan mulailah dia terdesak hebat.
Sementara itu Aji sudah saling berhadapan dengan Aki Mahesa Sura. Tidak ada seorangpun dari kedua pihak berani membantu. Mereka berdua berdiri saling pandang. Kakek itu bertopang pada tongkat ularnya dan sepasang alis putih yang tipis itu berkerut-kerut, hidungnya kembang kempis karena kakek tua renta itu tadi mengamuk sehingga napasnya memburu. Mulut dengan bibir yang tebal itu agak menyeringai, dan dari sepasang matanya menyambar sepasang sinar yang amat berwibawa dan berpengaruh. Di lain pihak, berdiri dalam jarak dua meter, Aji berdiri dengan tegak dan kedua tangannya tergantung santai di kanan kirinya, sepasang matanya juga memandang wajah kakek itu dan menyambut "serangan"
Sinar mata lawan itu dengan berani. Ya, biarpun kedua orang itu hanya berdiri saling pandang tanpa bergerak atau mengeluarkan kata-kata, namun sebenarnya mereka sedang mengadu kekuatan melalui sinar matanya! Sepasang mata seekor kucing Candramawa mampu menjatuhkan seekor cecak yang sedang merayap di atas dinding atau mampu membuat seekor tikus yang tengah berlari menjadi lumpuh hanya dengan pandang matanya, maka Aki Mahesa Sura inipun mampu menyerang dan melumpuhkan lawan hanya dengan kekuatan sinar matanya yang lebih dahsyat daripada sinar mata seekor kucing Candramawa!
Begitu bertemu dan beradu pandang Aji sudah merasakan serangan dahsyat melalui sinar mata itu. Namun dia bersikap tenang saja dan memperkuat penyerahannya kepada kekuasaan Gusti Allah. Penyerahan total ini mendatangkan Kekuasaan Gusti Allah yang melindungi jiwanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya sehingga sebuah kekuatan mujijat terbentuk. Aji hanya tinggal mengerahkan kekuatan ini melalui pandang matanya menyambut serangan sinar mata Aki Mahesa Sura.
"Uuhhhh.....!!"
Kakek itu mengeluh dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk memperkuat serangan sinar matanya. Akan tetapi dia merasa seolah kekuatan sihir matanya itu bertemu dengan kekuatan yang maha dahsyat. Hal ini tidaklah aneh karena dia menentang sumber dari segala kekuatan yang telah menyusup ke dalam diri Lindu Aji, Kakek itu seperti kebanyakan orang sakti mandraguna yang lain, memperoleh kekuatan ajaibnya melalui segala cara, penyiksaan diri, penyembahan berhala, dan segala macam cara sesat lain lagi. Karena itu seperti kebanyakan orang, dia mendapatkan aji-ajinya dari kekuasaan gelap sehingga ilmu-ilmunya adalah ilmu hitam yang berasal dari kekuatan iblis dan setan. Memang bagi manusia biasa, kekuatan yang berasal dari kuasa gelap ini luar biasa dan dahsyat sekali sehingga menakutkan. Ilmu-ilmu hitam ini biasa dipergunakan oleh manusia sesat untuk sarana mencapai semua keinginannya, memuaskan semua gejolak nafsunya, dan akibatnya biasanya hanya menguntungkan diri sendiri merugikan orang lain, atau menyenangkan diri sendiri menyusahkan orang lain.
Ilmu hitam dari kekuasaan gelap atau iblis inilah yang menjadi sumber dari segala macam kejahatan seperti santet, tenung, sihir dan segala macam ilmu aneh yang menjadi alat bagi manusia sesat melakukan perbuatan jahat. Kekuasaan gelap ini pula yang terkadang dimiliki beberapa orang dukun. Mereka ini menggunakan kekuatan yang timbul dari kekuasaan gelap untuk membantu orang-orang, dengan imbalan yang menyenangkan tentu saja, untuk mencari "pesugihan", kenaikan pangkat, atau untuk memikat seorang wanita yang diinginkannya dan banyak lagi perbuatan-perbuatan sesat yang haram dilakukan manusia baik-baik karena semua perbuatan itu tujuannya hanya memuaskan nafsu sendiri dengan merugikan oramng lain. Manusia yang suka mencari kesenangan melalui cara ini akhirnya akan terjerumus ke dalam perangkap iblis, menjadi budak setan. Bukan hal yang tidak mungkin bahwa nafsu keinginannya yang bersifat kedagingan dan duniawi itu dapat diperoleh, akan tetapi mungkin di luar kesadarannya, dia telah terikat dan dijadikan budak iblis. Iblis tidak pernah memberi anugerah. Yang dapat diberikannya hanyalah semacam "jual beli"
Dan setiap orang yang telah memanfaatkan "jasanya"
Sudah pasti harus membelinya dengan pengorbanan tertentu. Dan biasanya, pengorbanan yang diberikan itu tidak sepadan dengan yang diterimanya. Pengorbanannya jauh lebih hebat dan mengerikan.
Berbeda dengan kekuatan yang didapatkan manusia dengan penyerahan diri kepada Gusti Allah. Apa yang didapatkan ini merupakan anugerah, merupakan tuntunan, bimbingan, suatuanugerah karena manusia itu telah mencapai tingkat keimanan yang paling dalam yaitu penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan dengan tawakal, ikhlas dan taat.
Demikianlah, tidak mengherankan ketika Aki Mahesa Sura mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya, dia merasa seolah sinar lampu bertemu sinar matahari, seperti air bertemu samudra. Dia tidak tahan lagi dan melangkah mundur sambil memejamkan matanya. Kekuatan sinar matanya yang dipergunakan untuk menyerang tadi terasa seperti membalik dan menghantam dirinya sendiri. Terpaksa Aki Mahesa Sura memejamkan kedua matanya dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Namun karena dia memang sakti dan kuat, dia dapat memulihkan keadaannya. Tidak, dia sama sekali tidak merasa kalah. Orang seperti kakek ini yang merasa telah memiliki kedigdayaan, mempunyai kemampuan tinggi dan merasa dirinya sakti mandraguna, tidak mengenal perasaan mengaku kalah atau mengaku salah. Dia merasa dirinya paling pintar!
Ini merupakan kelemahan kebanyakan manusia, yakni merasa dirinya paling pintar. Pada hal, mengaku diri pintar adalah suatu kebodohan besar, karena pengakuan atau perasaan diri sendiri pintar ini menutup semua kemungkinan untuk mencapai pengertian lebih banyak. Seolah sebuah gelas yang sudah penuh, bagaimana dapat menampung air dari luar.
Beruntunglah dia yang dengan tulus ikhlas mengaku dirinya masih bodoh, bagaikan gelas yang masih belum penuh sehingga dapat menerima pengisian dari luar sehingga "isinya"
Bertambah-tambah. Orang yang mengaku dirinya pintar, sesungguhnya hanyalah keminter (sok pintar). Cobalah tanya kepada orang yang sok pintar itu, berapa helai sih jumlah kumis atau jenggotnya? Dia tidak akan mampu menjawab. Menghitung jenggot sendiri saja tidak mampu kok berani mengaku pintar! Menggelikan dan lucu yang membuat kita senyum masam. Seperti juga tidak ada manusia sempurna, juga tidak ada manusia pintar. Mungkin dia pintar dalam satu hal, akan tetapi bodoh dalam lain hal. Yang Maha Pintar hanyalah Gusti Allah. Yang Maha Sempurna hanyalah Gusti Allah.
Bahkan sekelumit "kepintaran"
Yang dimiliki manusia juga anugerah Gusti Allah! Aki Mahesa Sura tidak merasa kalah, bahkan menjadi penasaran dan marah bukan main. Mana dia kalah oleh seorang pemuda "ingusan"? Akan tetapi dia ingin tahu juga siapa pemuda yang mampu menahan serangan sinar matanya itu.
"Huh, bocah keparat yang berani melawan Aki Mahesa Sura! Mengakulah, siapa namamu agar jangan engkau mati tanpa meninggalkan nama!"
"Aki Mahesa Sura, orang tuaku memberiku nama Lindu Aji."
Jawab Aji sejujurnya tanpa maksud merendahkan atau mengagungkan diri dengan nama itu.
Akan tetapi jawaban yang jujur itu malah membuat kakek itu membelalakkan matanya dengan jantungnya berdebar keras. Teringat dia akan mendiang gurunya, Resi Mahesa Badag yang pernah memperingatkannya.
"Awaslah kalau engkau bertemu seorang manusia yang namanya menggetarkan bumi, karena dia itu memiliki anindyaguna (keunggulan sempurna) dan karenanya dia aniwirya (tidak dapat dilawan), memiliki siyung (taring) Sang Batara Kala. Maka, jauhilah dan jangan dilawan."
Dasar manusia yang sudah menjadi budak nafsu, Aki Mahesa Sura yang sombong dan merasa diri sendiri terpandai itu sama sekali tidak terpengaruh pesan gurunya itu. Dia tetap tidak sudi mengaku kalah terhadap seorang pemuda kencur! Sepandai-pandainya pemuda itu, bagaimana mungkin dapat mengalahkannya? Waktu yang dia pergunakan untuk berjerih payah mempelajari dan mengumpulkan semua ilmu itu, masih lebih banyak dari pada usia bocah di depannya itu! Karena itu dia merasa yakin bahwa dia pasti akan dapat menglahkan dan membunuh pemuda yang lancang berani menentangnya itu.
"Lindu Aji, engkau lihat, apa yang kupegang ini?"
Bentaknya sambil mengangkat tongkat ularnya ke atas.
Aji merasa betapa dalam suara kakek itu terkandung getaran yang amat kuat maka maklumlah dia bahwa kakek itu hendak "menyerang"
Melalui suaranya yang mengandung hawa sakti. Dia masih bersikap tenang ketika memandang tongkat itu dan berkata tanpa nada mengejek.
"Aki Mahesa Sura, aku melihat engkau memegang sebuah bangkai ular kering yang kau jadikan tongkat."
"Uwah! sudah butakah matamu? Pusaka Sarpasakti ini memiliki kesaktian Kalabahnisanghara (penumpasan dengan api maut), siapa berani melawan akan dihancur binasakan! Karena itu aku perintahkan kamu, hei Lindu Aji : Berlututlah dan menyembahlah engkau agar terbebas dari kehancuran!"
Dalam suara Aki Mahesa Sura, terutama sekali dalam kalimat terakhir, terkandung getaran yang teramat kuat, yang seolah mendatangkan tangan tak tampak yang menekan dan memaksa Lindu Aji untuk bertekuk lutut. Namun, segera pemuda yang merasakan pengaruh sihir itu berzikir menyebut nama Allah berulang-ulang sesuai dengan detak jantung dan pernapasannya. Muncullah kekuatan baru dalam dirinya dan rasa tertekan tadipun lenyap, bahkan dia mengangkat muka memandang Aki Mahesa Sura yang masih mengangkat tongkat ularnya ke atas dan memandang kepadanya sambil menggerak-gerakkan tongkat itu yang seolah menjadi hidup kembali.
"Hentikan badutanmu itu, Aki. Tidak ada gunanya sama sekali."
Kata Aji dengan tenang. Aki Mahesa Sura kembali tertegun. Pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh! Sedikitpun tidak. Heran sekali dia. Pada hal, belum pernah ada orang yang mampu menolak serangan sihir melalui suaranya itu semudah itu!
"Hemmm, engkau berani, ya? Lihat sekarang serangan halilintar dari tongkat pusakaku!"
Dia mengangkat tongkat itu ke atas. kepala ular kering itu berada di atas dan ekornya di bawah.
"Hyaaaahhhh.....!"
Kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan tiba-tiba dari moncong ular kering yang terbuka itu menyambar keluar sinar kehijauan, meluncur ke arah kepala Aji! Pemuda ini sudah siap, baik batiniah maupun lahiriah. Jiwanya menyerah sepenuhnya kepada Kekuasaan Gusti Allah sedangkan raganya selalu siap untuk menjaga diri, berusaha sekuat kemampuannya untuk menyelamatkan dirinya.
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo