Alap Alap Laut Kidul 22
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 22
Setelah Jatmika dan Sulastri pergi tak tampak lagi bayangannya, Aji menjatuhkan dirinya dengan lemas lunglai ke atas batu yang tadi diduduki Sulastri. Dia meraba-raba dan merangkul batu itu dengan hati penuh rindu dendam kepada Sulastri. Dia merasa nelangsa sekali, akan tetapi ketika merasa betapa kedua matanya panas, hatinya seperti diremas-remas, Aji cepat duduk bersila di atas batu dan menegakkan tubuhnya, seluruh jati dirinya berlutut pasrah menyembah Gusti Allah dan seketika cengkeraman nafsu yang membuat dia menderita duka dan kehilangan itupun sirna.
"Terima kasih, aduh Gusti, bahwa Nimas Sulastri masih hidup dan selamat. Semoga Paduka senantiasa melindungi dan membimbingnya sehingga ia dapat hidup dalam kebenaran dan berbahagoa selalu."
Bisiknya diapun bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu.
Biarpun dia juga ingin dapat menemukan Banuseta yang jahat dan menjadi antek Kumpeni Belanda untuk menentang dan membasminya, juga ingin mencari Hasanudin untuk menyadarkannya, namun Aji mengesampingkan keinginannya itu. Dia merasa amat heran melihat kenyataan bahwa Tumenggung Jaluwisa, senopati yang menjadi tangan kanan dan kepercayaan Adipati Sumedang, memberontak terhadap Adipati Pangeran Mas Gede. Kadipaten Sumedang merupakan tempat yang amat penting bagi pasukan Mataram apabila nanti balabantuan Mataram menyerang ke Batavia.
Selain balabantuan diharapkan dari Kadipaten Sumedang, juga tempat ini bisa dijadikan tempat peristirahatan dan menyusun kekuatan, juga sebagai sumber ransum. Kadipaten itu perlu diselidiki, pikirnya dan dia lalu mengambil keputusan untuk pergi ke Sumedang.
Malam mulai tiba ketika Aji memasuki Kadipaten Sumedang. Bulan yang cukup besar, walaupun belum purnama, telah muncul dan membuat suasana malam itu tampak meriah dan gembira. Orang-orang memenuhi halaman rumah dan jalan-jalan. Langit bersih dan bulan cerah hawa udara di Kadipaten Sumedang sejuk dari biasanya. Tadi sebelum memasuki pintu gapura kadipaten itu, dari jauh Aji sudah mendengar suara gamelan. Gamelan Sunda masih agak asing dalam pendengaran Aji, akan tetapi setelah beberapa kali mendengarnya sejak dia memasuki daerah pasundan, dia mulai dapat menikmati iramanya. Berbeda dengan gamelan Jawa yang lembut, gamelan Sunda terdengar gagah, dengan bunyi suling yang mendayu-dayu dan kendangnya yang demikian menghentak-hentak penuh semangat. Kalau gamelan Jawa pada umumnya mengandung kelembutan dan keluwesan seperti gerak-gerik satria Harjuna, maka gamelan Sunda mengandung keperkasaan seperti gerak gerik satria Gatotkaca.
Hentakan kendangnya seperti merangsang kaki tangan untuk ikut bergerak! Setelah memasuki gapura, Aji melihat banyak orang, terutama laki-laki muda, berbondong menuju ke tengah kota kadipaten, ke arah datangnya suara gamelan. Aji dapat menduga bahwa di sana tentu sedang diadakan pesta, maka diapun ikut dengan orang-orang itu menuju ke tengah kota. Ketika ada seorang pemuda tinggi kurus berjalan didekatnya, dia menyapa dengan ramah.
"Maaf, sobat. Kalau boleh saya bertanya, ada perayaan apakah di sana?"
Laki-laki itu memandang Aji dengan sinar mata heran.
"Agaknya andika bukan orang sini, maka tidak tahu akan perayaan itu." "Memang saya bukan orang sini, ki sanak."
"Pantas andika tidak mengetahui. Nah, ketahuilah bahwa untuk merayakan kemenangan Gusti Adipati atas pemberontakan Tumenggung Jaluwisa, juga atas keselamatan Gusti Adipati, maka senopati Tumenggung Jayasiran mengadakan pesta semalam suntuk dan yang amat menarik perhatian adalah diundangnya waranggana yang terkenal dari Galuh yang bernama Neneng Salmah yang cantik jelita, bersuara emas dan kalau menari, aduh, goyang pinggul dan pundaknya membuat orang mabok kepayang! Malah diadakan pertandingan antara jawara, siapa menang berhak untuk berjoget dilayani Neneng Salmah. Wah, bakal ramai sekali!"
Kata laki-laki tinggi kurus itu dan diapun bergegas mempercepat langkahnya.
Aji merasa tertarik. Pernah dia melihat pesta dengan tampilnya seorang waranggana yang cantik bernyanyi dan menari. Akan tetapi dia belum pernah melihat para jagoan bertanding untuk memperebutkan kemenangan agar dapat berjoget bersama seorang waranggana yang terkenal. Diapun tidak mungkin pergi menghadap adipati Sumedang pada malam hari begitu. Dia harus menanti sampai besok pagi dan dia tidak tahun di mana dia akan melewatkan mala mini. lebih baik nonton keramaian yang akan berlangsung semalam suntuk. Dia lalu mempercepat langkahnya mengikuti orang-orang itu.
Pesta itu diadakan di depan pendopo sebuah rumah besar. Di pekarangan rumah itu dibangun sebuah panggung yang tingginya satu setengah meter, panggung yang luas dan terbuat dari papan yang kokoh. Banyak lampu besar membuat tempat itu terang benderang dan suasananya meriah sekali. Di pendopo yang menyambung panggung itu penuh dengan kursi yang sudah diduduki para tamu undangan. Karena yang mengadakan pesta adalah seorang senopati, maka para tamunya tentu saja orang-orang penting di Sumedang. Hanya Sang Adipati Pangeran Mas Gede yang tidak hadir walaupun pesta itu diadakan untuk merayakan keselamatannya, karena sang adipati merasa lelah dan membutuhkan istirahat.
Di dalam pekarangan yang luas itu, di bawah panggung, penuh dengan orang-orang yang datang menonton. Di belakang panggung terdapat para penabuh gamelan yang sejak tadi sudah mulai menabuh gamelan sehingga suasana meriah walaupun sang waranggana yang ditunggu-tunggu itu masih duduk di antara penabuh gamelan dan belum menari, hanya kadang-kadang saja melengkapi suara gamelan dengan lengkingan suaranya yang merdu mendayu-dayu. Hampir semua mata ditujukan kepadanya. Karena ia duduk bersimpuh di tengah-tengah para penabuh gamelan, maka yang tampak hanya mukanya yang memang cantik sekali, cantik dan segar bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar, dengan kulit yang putih kuning seperti tampak pada lehernya yang panjang dan indah. Rambut hitam ngandan-andan (berombak) digelung rapi dan dihias dengan untaian bunga melati, membuat rambut itu tampak semakin hitam. Sinom (anak rambut) bergantung manja di atas dahi yang halus dan indah bentuknya. Sepasang alis melengkung rapi, hitam dan lebat, melindungi sepasang mata yang jeli indah, kedua ujungnya agak berjungat ke atas, dengan sinar mata yang lembut namun bercahaya mengandung daya pikat dan tantangan yang kuat.
Kedua pipinya berkulit segar kemerahan, mengapit sebatang hidung yang kecil mancung dan lucu serta sebuah mulut yang indah menggairahkan. Sepasang bibir itu merah basah dan selalu tersungging senyum simpul yang juga memiliki daya tarik amat kuat yang merangsang hati kaum pria karena bibir itu seolah menantang. Ketika ia bernyanyi, kadang-kadang mulutnya terbuka dan tampaklah sekilas deretan gigi putih rapi seperti mutiara, lidah merah muda dan rongga mulut yang lebih merah lagi. Mulut itu bagaikan sarang madu, penuh kesan menjanjikan kemanisan yang nikmat. Dagunya runcing dan setitik tahi lalat hitam di dagu menambah kemanisan wajah itu.
Aji dapat menyelinap dan mendapat tempat berdiri tak jauh dari panggung sehingga dia dapat melihat keadaan di atas panggung dan pendopo dengan jelas. Dia memperhatikan orang-orang yang duduk di pendopo, pada deretan paling depan. Jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang penting. Kursi merekapun lebih besar, berbeda dengan kursi-kursi lain. Dari seorang laki-laki yang berdiri di dekatnya, Aji mendapat tahu bahwa laki-laki tinggi besar berpakaian seperti seorang pembesar dan sikapnya yang berwibawa dan congkak itu adalah tuan rumah yang mengadakan pesta, yaitu Tumenggung Jayasiran, seorang senopati Sumedang.
Aji memperhatikan dua orang yang duduk di kanan kiri sang tumenggung itu. Di sebelah kanan tumenggung itu duduk seorang kakek yang usianya sudah mendekati tujuh puluh tahun. Ketika bicara, kakek itu mengeluarkan suaranya yang lemah lembut. Kepalanya kecil dan botak, rambut yang tumbuh disekeliling kepalanya keriting dan sudah berwarna dua.
Wajahnya masih tampak muda, bahkan bersih dan tampan tanpa kumis atau jenggot. Hidungnya pesek dan mulutnya kecil, akan tetapi bentuk mukanya tampan. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kobra. Dari penampilannya saja, Aji dapat menduga bahwa kakek itu tentu seorang yang sakti mandraguna. Hal ini jelas tampak pada sinar matanya yang terkadang mencorong seperti mata harimau.
Orang kedua yang duduk di sebelah kiri tumenggung juga menarik perhatian Aji. Orang itu masih muda, berusia sekitar tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi kurus namun karena cara duduknya, sikap dan tongkrongannya seperti jagoan, dia tampak tegap dan kokoh. Wajahnya cukup tampan walaupun kulitnya hitam gelap. Sikapnya membayangkan kesombongan, apa lagi karena di punggungnya tergantung sebatang pedang yang warangkanya terukir indah. Pemuda ini memandang ke sekeliling dengan mulut tersenyum mengejek, agaknya memandang rendah semua yang berada di situ. Akan tetapi kalau pandang matanya berhenti pada wajah sang waranggana, Neneng Salmah, Aji melihat betapa mata itu bersinar penuh gairah, seperti mata seekor kucing kelaparan melihat tikus.
Aji juga melihat betapa tuan rumah bersikap amat hormat kepada dua orang itu dan ketika dia mengerahkan pendengarannya, dia dapat menangkap betapa logat bicara tuan rumah dan dua orang tamunya itu serupa, yaitu logat bicara orang yang datang dari Banten. Dari tempat dia berdiri, Aji dapat mencium bau minuman keras yang dihidangkan kepada para tamu beserta makanan yang membuat dia merasa semakin lapar. Tiba-tiba Tumenggung Jayasiran memberi isyarat dengan mengangkat tangannya. Isyarat ini ditujukan kepada para penabuh gamelan atau lebih tepat kepada pimpinan para penabuh agar tarian para waranggana dimulai.
Mulailah para penari itu bangkit berdiri. Dua orang gadis penari yang cukup manis bangkit berdiri, akan tetapi Neneng Salmah sendiri masih belum mulai. Tentu saja sebagai primadona, ia dijual mahal baru akan menari sebagai puncak acara perayaan itu. Namun dua orang penari itu cukup menarik. Dari leher, pundak dan lengan yang tidak tertutup itu dapat dilihat betapa mereka memiliki kulit yang putih mulus. Wajah mereka berdua manis dan usia mereka bahkan baru sekitar tujuh belas tahun. Tubuh mereka belum mekar benar, bagaikan bunga baru setengah mekar, bagaikan buah masih ranum.
Namun ketika mereka mulai menari diiringi suara gamelan dan hentakan suara kendang, tubuh mereka bergerak lemah gemulai dengan indahnya. Goyangan pundak dan pinggul, gelengan kepala, sedemikian hidup membuat hati para pria berdebar-debar. Semua gerakan yang menarik hati ini masih dipermanis dengan senyum memikat dengan kerlingan mata yang menantang. Keadaan mulai ramai dan gembira. Suara tawa, sorak dan tepuk tangan menyambut setiap goyangan pinggul yang merangsang, keadaan menjadi riuh rendah dan seruan-seruan nakal mulai terlontar dari mulut para penonton.
Aji yang merasa lapar itu melihat betapa di luar pekarangan, di tepi jalan, banyak orang berjualan makanan dan minuman dengan memasang obor. Dia segera menyelinap di antara penonton, keluar dan segera membeli makanan dan minuman teh. Sejak pagi tadi dia belum makan dan perutnya terasa lapar sekali. Karena itu, biarpun membeli makanan sederhana terdiri dari nasi dan sayur gudang (sayur dengan sambal kelapa) dan minum air teh cair, Aji merasa nikmat dan puas. Sementara itu, perebutan untuk tampil berjoget dilayani dua orang penari itupun sudah dimulai. Pertama-tama seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun melompat ke atas panggung dan langsung saja dia berjoget bersama seorang penari yang berselendang biru. Penari kedua berselendang merah segera mengundurkan diri untuk memberi kesempatan kepada si selendang biru melayani laki-laki itu berjoget.
Orang-orang bertepuk tangan ketika laki-laki itu dengan beraninya, memutar-mutar tubuh dan menggoyang pinggul dekat sekali dengan tubuh si penari sehingga beberapa kali tangannya menyentuh dan mencolek tubuh penari itu. Yang dicolek hanya tersenyum genit dan dengan lincahnya mengelak dan menghindar. Tarian itu menjadi seperti sepasang kupu-kupu yang saling berkejaran. Aji melihat bahwa tidak ada tamu yang duduk di pendopo yang bangkit untuk memperebutkan penari itu. Agaknya dua orang penari itu kurang layak diperebutkan para tamu yang terhormat itu, melainkan menjadi sajian bagi para penonton yang berdiri di bawah panggung, yaitu para penonton yang tak diundang atau rakyat jelata.
Setelah laki-laki itu menari beberapa menit lamanya, tiba-tiba seorang laki-laki lain yang usianya dua puluh lima tahun melompat ke atas panggung. Tepuk tangan menyambutnya karena penonton mulai merasa tegang dan bersemangat. Naiknya seorang laki-laki lain ke atas panggung itu berarti akan ada adu kekuatan agar yang menang mendapat hak untuk berjoget dengan penari itu. Munculnya laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan kokoh ini segera disambut oleh laki-laki pertama, seolah seekor jago (ayam jantan) yang mendapat gangguan selagi dia bercumbu dengan seekor ayam betina. Mereka berdua segera membuka pasangan kuda-kuda dalam gerakan silat yang indah dan gagah, saling berhadapan. Penari wanita itupun segera mundur dan duduk bersimpuh, menanti siapa yang akan keluar sebagai pemenang dan berhak untuk ia layani berjoget. Sementara itu, Neneng Salmah bertembang dengan suaranya yang merdu merayu.
Para penabuh gamelan yang mahir itu segera mengubah irama gamelan mereka. Kini suara gamelan itu berdetak-detak garang, membunyikan gamelan perang yang gegap gempita. Tukang kendangnya dengan penuh semangat memukul kendangnya dengan jari-jari tangan yang trampil. Suasana menjadi tegang dan gembira. Diiringi suara gamelan, dua orang itu tanpa banyak kata lagi sudah mulai saling terjang. mereka bersilat dengan gagah dan gerakan mereka ditimpali hentakan bunyi kendang, diseling teriakan mereka ber-ciat-ciat dan ber-hait-hait. Mereka saling tampar, saling tonjok, saling sikut, saling tending dan pertandingan berjalan dengan serunya.
"Plak-ketipak-tipak..... blang.....!"
Suara kendang bergaya.
"Ciattt.....!"
Pemuda tinggi besar menerjang dengan tonjokan kuat sekali ke arah dada. Lawannya dengan sigapnya menangkis, akan tetapi agaknya pukulan itu terlalu kuat baginya sehingga dia terhuyung ke belakang. Pemuda itu cepat maju dan kakinya menyerampang.
"Bresss.....!"
Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh lawannya terpelanting roboh dan pada saat itu, pemuda tinggi besar menendang dengan kaki kirinya.
"Pak-dupak-pak..... jerr.....!"
Tubuh laki-laki pertama kena tendang perutnya dan dia terguling-guling sampai keluar dari panggung dan jatuh ke bawah! Tepuk tangan menyambut kemenangan pemuda tinggi besar itu yang kini menari-nari dengan gagahnya menghampiri penari berselendang biru tadi seperti lagak Raden Gatotkaca menghampiri Dyah Pergiwa! Penari itupun tersenyum manis dan ketika pemuda itu menjulurkan tangan iapun menyambutnya, membiarkan tangannya dituntun dan ia bangkit berdiri. Mereka lalu menari bersama dan laki-laki itu merapatkan tubuhnya sampai mukanya hampir merapat dengan muka si penari dan hidungnya menyentuh pipi yang halus itu. Para penonton bersorak gembira menyambut kemenangan pemuda yang mendapat "hadiah"
Dari penari itu.
Ketika mereka berdua menari dengan astiknya, diseling senggakan para penabuh gamelan dengan bunyi "serr! serr!"
Sehingga suasana menjadi semakin meriah dan merangsang, tiba-tiba tampak seorang laki-laki yang usianya tentu sudah ada lima puluh tahun lebih. Akan tetapi laki-laki ini tidak meloncat ke atas panggung yang tingginya satu setengah meter, melainkan memanjat melalui tihang di sudut panggung!
Tentu saja pemandangan yang lucu ini membuat banyak orang tertawa geli, apalagi ketika laki-laki itu memanjat tihang bambu yang licin beberapa kali terpeleset dan melorot turun lagi. Membayangkan laki-laki tua kurus kerempeng dan tak dapat meloncat itu hendak naik panggung dengan memanjat tihang bambu dan hendak merebut penari ayu, tentu saja orang-orang menjadi geli dan tertawa terbahak-bahak.
Akhirnya orang itu dapat juga naik ke atas panggung dan begitu tiba di atas panggung, dia lalu memasang kuda-kuda sambil berjoget mengikuti irama kendang. Jogetnya lucu, tubuhnya kerempeng ditekuk ke belakang, pantatnya yang tepos (tak berdaging) meruncing megal-megol. Orang-orang semakin riuh tertawa. Bahkan penari selendang biru itupun tak tahan untuk tak tertawa. Ia menutupi mulut dengan tangan kiri lalu mundur dan duduk bersimpuh seperti tadi, menanti pertandingan sampai seorang di antara dua pria itu keluar sebagai pemenang.
Pemuda itu mengerutkan alis dan mulutnya tersenyum menyeringai melihat lagak kakek itu. Orang macam itu hendak menantangnya? Sekali tampar saja kakek itu tentu akan roboh ke bawah panggung dan copot semua giginya. Tanpa banyak membuat gerakan kembangan lagi, pemuda tinggi besar itu sudah menerjang ke arah lawan yang berusia setengah abad dan bertubuh kerempeng itu.
"Heiiiitttt.....! Pecah kepalamu!"
Tangan kanannya yang panjang besar dengan kepalan sebesar kepala lawan menyambar ke arah kepala kakek itu. Akan tetapi dengan gerakan lucu dan agak kaku, kakek itu telah dapat mengelak dengan menekuk kedua lututnya. Akan tetapi pemuda itu sudah menyerang lagi dengan tendangan kaki yang kuat sekali.
"Syuuuuttt..... ambrol dadamu!"
Dia membentak dan kaki kanannya mencuat, menyambar ke arah dada lawan.
"Hossshhh!"
Kakek itu menggerakkan kedua lengannya untuk menangkis tendangan dari samping.
"Plakk!"
Dua lengannya berhasil menangkis tendangan kaki, namun tangkisan ini membuat dia terhuyung. Kembali pemuda itu menyerang semakin cepat dan kakek itu segera terdesak hebat, hanya mampu menangkis dan mengelak saja. Gerakannya kacau dan lucu sehingga terdengar suara tawa geli di sana sini. Akan tetapi Aji yang menonton pertandingan itu mempunyai pendapat lain. Dia tahu bahwa kakek itu kalah besar tenaganya, juga kalah dalam hal ketangkasan, namun harus diakui bahwa kakek itu bergerak mengelak dengan cerdik sekali dan yang menguntungkan adalah bahwa dia memiliki tubuh yang ringan dan lincah sehingga sampai sebegitu lama semua serangan lawan dapat dia hindarkan.
Tiba-tiba pemuda itu menyerangnya dengan pukulan beruntun sambil berseru nyaring.
"Mampus kau!"
Tiba-tiba tubuh kakek itu rebah dan bergulingan. gerakannya sedemikian cepatnya sehingga ketika dia bangkit, dia berada di samping pemuda itu. Tangan kanannya menyambar ke arah pinggang lawan, lalu menarik dan.....
"bret.....!"
Tali celana pemuda itu putus sehingga celananya melorot! Pemuda itu terkejut dan cepat menggunakan kedua tangan untuk menahan dan memegangi celana yang kedodoran.
Tentu saja pemandangan ini disambut ledakan suara tawa para penonton. Semua orang tak dapat menahan tawa karena geli melihat kejadian yang lucu itu. Apalagi sekarang kakek itu begitu bernafsu untuk mengalahkan lawan dan mengejarnya, mengirim pukulan dan tendangan membabi buta sedangkan pemuda ang menggunakan kedua tangan memegangi celananya yang tidak berkolor lagi itu berlari-larian memutari panggung dikejar-kejar kakek itu! Sungguh suatu pemandangan yang lucu. Pertunjukan adu ilmu pencak silat itu kini berubah menjadi pertunjukan pelawak! Akhirnya pemuda itu yang tak dapat bertahan lagi sehingga dia terjerumus keluar dan turun dari panggung! Tentu saja dia dianggap kalah dan tidak berani naik lagi, malah melarikan diri sambil memegangi celananya.
Kini kakek itu mulai menari dengan gayanya yang lucu. Semua orang yang tadi terpingkal-pingkal menyaksikan adegan itu, kini bersorak menambut kemenangan yang lucu itu dan tertawa-tawa melihat betapa kekek itu kini beraksi dan menggerakkan kaki tangannya, berjoget dilayani oleh penari berselendang biru. Tarian kakek itu juga kucu. Dari gerakannya yang kaku orang dapat mengetahui bahwa dia bukan ahli berjoget, akan tetapi dia hanya memiliki keberanian atau tebal muka. Dia lebih banyak menggerak-gerakkan pinggulnya yang kerempeng dan mulutnya tersenyum-senyum, matanya melirik kekanan kiri, agaknya merasa bahwa dia seperti Raden Gatotkaca yang gagah perkasa! Penari berselendang biru itu mengerutkan alisnya dan wajahnya yang ayu kini tampak sebal dan tidak suka, akan tetapi menurut peraturan ia harus melayani sang pemenang dan kakek ini dianggap sebagai pemenang. Ia merasa lebih sebal lagi ketika kakek itu tanpa malu-malu menyentuh pipinya dengan hidung, disoraki banyak penonton!
Para penabuh gamelan, melihat joget yang lucu ini, bersemangat dan mengimbanginya dengan tabuhan yang lucu pula, terutama si tukang kendang. Dia sengaja memukul kendang dengan gencar dan sengaja mengacaukan bunyi kendang sehingga terkadang cocok dengan gerakan si kakek, akan tetapi terkadang berlawanan sehingga kakek itu bergerak gerak bingung dalam usahanya mengikuti irama kendang! Tentu saja para penonton menjadi semakin geli disuguhi adegan seperti badut ini.
Tiba-tiba tampak seorang wanita berusia empat puluh tahun, bertubuh gendut sekali sehingga tampak bulat, dengan susah payah memanjat ke atas panggung melalui tihang bambu. Tangan kanannya memegang sebatang sapu bergagang kayu dan dengan bantuan sapu itu yang ditekankan pada tanah, akhirnya ia dapat juga naik ke atas panggung. Semua orang terheran-heran, akan tetapi segera mereka semua tertawa terbahak-bahak melihat adegan yang lebih lucu lagi. Wanita gendut itu segera saja menyerang kakek yang sedang berjoget dengan gagang sapunya, menyerang dan memukuli kalang kabut, sambil memaki-maki.
"Cih, lelaki gelo, teu boga era, sia! (Huh, laki-laki gila, tak punya malu, kamu!)."
Teriaknya sambil memukuli kepala dan tubuh laki-laki yang m,enjadi suaminya itu.
"Heitt..... huutt..... aih, aduh..... wadouww..... aih, amit-mit..... sabarlah. Cicih.....!"
Laki-laki itu mencoba mengelak dan menangkis, namun tetap saja tubuh dan kepalanya kena dihajar sehingga terdengar suara bak-bik-buk dan di dahinya muncul benjolan sebesar telur ayam. Dia berlari larian memutari panggung, dikejar isterinya yang memaki-maki. Semua orang terpingkal pingkal, bahkan ada yang memegangi perut dan terjungkal dari tempat duduknya di pendopo. Penonton yang berada di bawah panggung juga terpingkal-pingkal, bersorak bergemuruh. Akhirnya suami kerempeng itu meloncat turun dari atas panggung, disusul isterinya yang gembrot dan dia melarikan diri dikejar-kejar wanita yang mengacung-acungkan gagang sapu itu.
"Ha-ha-ha-ha, jago dikejar babon! Ha-ha-ha!"
Semua orang terbahal-bahak. bahkan ada beberapa orang laki-laki yang bergegas keluar dari kerumunan penonton utnuk pergi ke tempat sunyi karena mereka tidak tahan untuk tidak membuang air kecil. Saking gelinya tertawa tepingkal-pingkal membuat mereka terkencing-kencing dan biarpun sudah berada di tempat sunyi dan membuang air kecil, mereka masih tetap terkekeh-kekeh!
Penari berselendang biru mengundurkan diri di tengah-tengah para penabuh gamelan dan kini giliran penari berselendang merah untuk tampil di panggung. Penari berselendang merah ini lebih manis dibandingkan si selendang biru, maka banyak penonton menelan air liur membayangkan betapa akan nikmat dan menggembirakan kalau dapat berjoget bersama penari itu! Akan tetapi karena sekali ini, pertunjukan tarian itu juga merupakan pertunjukan adu kedigdayaan, tentu saja jarang ada yang berani naik ke panggung dengan resiko patah tulang dan memar-memar, terbanting jatuh ke bawah panggung dan mendapatkan malu! Penari berselendang merah itu mulai menari dan semua orang menahan napas. Ternyata penari ini memiliki keistimewaan dalam gerak tariannya, yaitu pinggulnya dapat berputar secara menggairahkan dan lentur. Terdengar tepuk tangan dan teriakan-teriakan para pria yang seperti mabok karena terangsang oleh tarian itu.
Tiba-tiba dari tempat duduk para tamu di pendopo, bangkit seorang laki-laki dan dengan langkah lebar dia menuju panggung. Ketika para penonton melihat laki-laki itu, mereka bersorak dan bertepuk tangan menyambut. Laki-laki itupun segera berjoget dan gerakannya menari cukup gagah. Aji melayangkan pandangannya ke atas panggung. Laki-laki itu memang gagah. Ikat kepala dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit agak kehitaman. Sepasang matanya bundar dan lebar, sinarnya galak dan angkuh. Hidung dan mulutnya juga besar dan ketika dia berhadapan dengan penari selendang merah, dia menyeringai memperlihatkan giginya yang agak tongos dan besar-besar.
Begitu mulai berjoget, laki-laki itu mengambil beberapa butir uang reyal dan dengan bangga dia memasukkan uang itu ke celah-celah antara sepasang bukit dada penari itu. Si penari tersenyum girang karena hadiah itu merupakan jumlah yang cukup besar. Mereka berdua mulai berjoget dan penari itu melayaninya dengan penuh semangat sehingga tariannya menjadi semakin menggairahkan dan merangsang. Beberapa kali laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mencolek dagu atau pipinya, bahkan mengelus pundak dan lengan yang telanjang itu. Semua penonton yang tinggal di Sumedang mengenal laki-laki ini. Dia bernama Badrun dan dikenal dengan julukan Maung (Macan) Sumedang. Dia kaya dan juga terkenal digdaya, juga orang-orang mengenalnya sebagai seorang bandar yang suka menyelenggarakan perjudian adu ayam jago.
Karena seringnya memukul roboh orang-orang yang berani menentangnya, maka Si Maung Badrun ini ditakuti orang dan ketika semua penonton melihat dia kini naik panggung berjoget dengan penari berselendang merah, mereka mengira bahwa tak seorangpun penduduk Sumedang yang akan berani "mencari penyakit"
Menyainginya di atas panggung.
Si Maung Badrun agaknya juga maklum akan hal ini. Dia merasa bangga dan memamerkan keperkasaannya di depan para tamu kehormatan Tumenggung Jayasiran yang juga mengundang dia. Maka setelah berjoget lama dan melihat belum juga ada orang berani naik panggung, sambil berjoget dia melempar pandang ke arah penonton di bawah panggung. Dia memang menantang para penonton yang sebagian besar merupakan penduduk Sumedang yang sudah mengenal kebesarannya. Dia tidak begitu bodoh untuk menantang mereka yang menjadi tamu undangan karena dia tahu bahwa di antara mereka terdapat banyak perwira yang sakti.
"Hei, para penduduk di Kadipaten Sumedang! Tida adakah di antara kalian yang cukup jantan untuk mencoba merebut si geulis (si cantik) ini dari tanganku?"
Beberapa kali dia mengajukan pertanyaan ini kepada para penonton di bawah, namun jawaban mereka hanya menyeringai saja. Badrun melanjukan jogetnya. Akhirnya dia menjadi bosen juga. Dia lebih ingin menonjolkan diri melalui pertarungan dan merobohkan orang-orang yang berani menyainginya. Dia tidak begitu suka berjoget. Kalau dia menginginkan seorang wanita, dia dapat langsung membawanya, dengan halus maupun kasar.
"Heh, apakah semua penonton di sini pengecut? Hayo saingilah aku Si Maung Badrun, kita main-main sebentar untuk memeriahkan pesta perayaan Gusti Tumenggung Jayasiran mala mini!"
Terdengar banyak orang saling berbisik-bisik. Si Maung Badrun itu sekali ini sudah keterlaluan sombongnya. Di tempat umum berani mengatakan semua penonton pengecut! Pada hal semua orang tahu bahwa di antara penduduk Sumedang terdapat banyak pendekar, hanya mereka tidak mau naik panggung karena mereka sungkan untuk membuat keributan hanya untuk dapat berjoget dengan penari selendang merah itu. Apa lagi yang mengadakan pesta adalah seorang senopati Sumedang. Kalau mereka tidak mengacuhkan dan tidak meladeni sesumbar dan tantangan Maung Badrun, bukan karena mereka takut kepada sang senopati. Akan tetapi sekiranya Neneng Salmah yang menari, tentu akan banyak orang yang akan mencoba merebutnya dari tangan Badrun.
Bahkan mereka yang duduk di pendopo sebagai tamu undangan juga banyak yang tergila-gila kepada Neneng Salmah. Baru mendengar suara tembang Neneng Salmah saja yang amat merdu, lirikan matanya yang tajam memikat dan senyumnaya yang seolah menantang dan menjanjikan seribu satu macam kenikmatan, para tamu pria sudah gandrung, apa lagi kalau ia menari, melenggang-lenggokkan tubuhnya yang aduhai itu!
Sementara itu, di atas panggung Senopati Tumenggung Jayasiran dengan hormatnya bercakap-cakap dengan kakek yang tadi menarik perhatian Aji. Tidak salah dugaan Aji bahwa kakek itu seorang yang memiliki kesaktian karena dia bukan lain adalah Kyai Sidhi Kawasa, datuk dari Banten yang sudah terkenal sekali kehebatan kepandaiannya. Kalau saja dia tahu bahwa kakek itu adalah Kyai Sidhi Kawasa, tentu dia akan terkejut sekali karena dia pernah mendengar nama datuk ini sebagai seorang yang anti Kerajaan Mataram. Juga Tumenggung Jayasiran bersikap menghormat sekali kepada pemuda tinggi kurus yang duduk di sebelah Kyai Sidhi Kawasa. Pemuda ini bukanlah orang sembarangan. selain menjadi murid Kyai Sidhi Kawsa, juga pemuda yang usianya tiga puluh tahun ini masih pangeran, putera Adipati Banten dari seorang selir. Karena Tumenggung Jayasiran juga berasal dari Banten, tentu saja dia mengenal baik guru dan murid ini dan karenanya dia bersikap hormat.
Pemuda Banten ini bernama Raden Jaka Bintara. Tadi ketika terjadi pertandingan untuk memperebutkan penari, dia bersikap tak acuh, memandang rendah semua itu dan minum arak sepuasnya. Kini mukanya kemerahan, minuman telah mulai mempengaruhinya dan matanya yang lebar kemerahan itu ditujukan kepada Badrun yang masih menantang-nantang lawan di atas panggung. Pemuda bangsawan dari Banten itu mengerutkan alisnya dan akhirnya dia tak tahan lagi melihat sikap yang jumawa dari Badrun.
"Hemm, alangkah sombongnya monyet itu!"
Katanya.
Kyai Sidhi Kawasa yang duduk di sebelahnya berkata.
"Ah, Raden, untuk apa memperhatikan orang macam itu? Tidak ada harganya."
Akan tetapi Jaka Bintara masih merasa penasaran dan bertanya kepada sang senopati Sumedang.
"Paman tumenggung, siapa sih monyet sombong itu?"
Tumenggung Jayasiran memandang ke arah panggung di mana Badrun masih berjoget dengan penari berselendang merah dengan penuh gaya. Karena tidak ada yang berani menyambut tantangannya, Badrun menjadi semakin berlagak, bahkan kini dia berani menari sambil menggerayangi tubuh penari itu secara kurang ajar sekali. Apalagi setelah para penonton yang terdiri dari laki-laki muda tertawa gembira menyambut kekurang-ajaran itu. Penari berselendang merah itu menjadi merah sekali wajahnya dan matanya menunjukkan bahwa ia merasa malu sekali dan hampir menangis.
"Oh itu! Dia seorang kaya di Sumedang, hubungannya dengan para pamong praja cukup baik maka diapun terkenal memiliki kedigdayaan dan setiap ada perayaan yang diramaikan dengan pertunjukan penari yang diperebutkan, dia selalu tampil sebagai bintang."
Kata Tumenggung Jayasiran.
"Paman, saya tak senang denagn lagaknya. saya ingin menyambut tantangannya!"
Kata Jaka Bintara.
"Raden, untuk apa melayani dia? Tentu saja dia bukan lawan andika!"
Kata Tumenggung Jayasiran yang sudah mengenal kesaktian murid Kyai Sidhi Kawasa itu.
"Orang itu perlu dihajar!"
Jaka Bintara berkata dan dia lalu bangkit berdiri dan denganlangkah lebar dia menuju ke panggung di mana Badrun masih berjoget bersama si selendang merah. Kekurangajaran Badrun mencapai puncaknya. Ketika mereka berjoget berdekatan, tangan kiri Badrun tiba-tiba merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh si selendang merah itu sehingga merapat dengan tubuhnya sendiri dan dia menciumi muka ledek itu! Tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram pundaknya. Badrun berteriak kesakitan dan pelukannya kepada ledek itu terlepas. Dia cepat melangkah ke pinggir dan membalikkan tubuhnya untuk melihat siapa yang berani berbuat kurang ajar kepadanya.
Jaka Bintara memberi isyarat kepada si selendang merah untuk mundur, Sambil menahan isak ledek itu lalu berlari ke tempat semula di antara para penabuh gamelan, duduk bersimpuh di dekat dua orang ledek lainnya dan menangis tanpa suara, hanya menutupi mukanya dengan selendang merahnya. Kini Badrun sudah berhadapan dengan Jaka Bintara. Badrun tidak mengenal pemuda jangkung itu walaupun tadi dia tahu bahwa pemuda itupun merupakan seorang tamu undangan, bahkan yang duduknya dekat Tumenggung Jayasiran. Dia mengerutkan alisnya memandang dengan marah.
"Ki sanak!"
Tegurnya.
"Kalau andika ingin memperebutkan penari selendang merah itu, tandingilah aku, bukan menyerang secara menggelap seperti tadi!"
Jaka Bintara tersenyum mengejek.
"Kalau tadi aku menyerangmu engkau tentu sudah mampus! Aku hanya ingin menghentikan perbuatanmu tak tahu malu."
Mendengar logat bicara pemuda jangkung itu asing, Badrun yang dijuluki Maung (Harimau) Sumedang itu menjadi marah.
"Hemm, ki sanak, Andika tentu bukan orang Sumedang dan tidak mengenal aku, maka berani bertindak lancang. Heh, ki sanak, karena andika seorang asing biarlah aku memaafkan perbuatanmu dan mundurlah sebelum aku bertindak kasar."
"Hemm, aku tidak pernah takut menghadapimu. Biarlah ada sepuluh orang macammu, aku tidak akan mundur."
Marahlah Badrun.
"Babo-babo, keparat! Katakan siapa namamu, aku Si Maung Badrun tidak suka merobohkan lawan yang tidak bernama."
"Namaku Raden Jaka Bintara dari Banten. Nah, bersiaplah engkau untuk menggelundung keluar dari panggung!"
Kata Jaka Bintara dan dia sudah memberi isyarat kepada para penabuh gamelan.
Tumenggung Jayasiran yang ingin pula memamerkan kesaktian tamunya yang bersala dari daerahnya, segera memberi isyarat pula kepada para penabuh gamelan. Segera terdengar bunyi gamelan dipukul dengan gencarnya, memainkan lagu perng yang tepat untuk mengiringi sebuah pertandingan silat. Badrun yang amat percaya akan kemampuan sendiri, sudah cepat menari dan membuka pasangan kuda-kuda yang gagah. Tidak percuma dia memakai julukan harimau karena memang dia mengandalkan pencak silat yang di namakan Aji Sardula Bhairawa (Harimau Dahsyat), sebuah ilmu silat yang mendasarkan gerakannya pada gerakan seekor harimau! Ilmu silatnya ganas bukan main, mengandalkan kekuatan otot yang amat besar.
Bahkan jari-jari tangan Badrun, kalau sudah mempergunakan aji kesaktian ini, menjadi sedemikian kuatnya sehingga mampu merobek-robek kulit tubuh lawan, seperti cakar harimau! Kini Badrun sudah membuat gerakan kembangan, memasang kuda-kuda yang gagah, kedua kaki terpentang kokoh, kedua lengan membuat gerakan di depan dada, kadang menyilang dan kedua tangan itu membentuk cakar, tergetar getar dipenuhi tenaga dahsyat! Pandang matanya yang besar itu bersinar-sinar seperti mata harimau, bibirnya bergerak-gerak meringis seperti bibir harimau dan dari tenggorokannya keluar suara menggereng-gereng. Semua orang yang menonton merasa seolah mereka melihat seekor harimau terlepas dan hendak mengamuk.
Akan tetapi Jaka Bintara tersenyum mengejek melihat sikap lawan yang mengerikan itu. Dia adalah murid Kyai Sidhi Kawasa yang telah meguasai aji-aji kesaktian dari gurunya dan sikap lawannya itu baginya seperti permainan kanak-kanak saja. Jaka Bintara mulai menari pula, membuat kembangan-kembangan silat sambil menggeser kaki mendekati lawan. Badrun juga bergerak dan keduanya seperti dua ekor ayam jago yang sedang siap berlaga, bergerak saling mengelilingi seolah hendak mengukur kekuatan lawan melalui pandang mata dan juga mengintai untuk menemukan kelemahan dalam pertahanan lawan.
"Hayo maju dan seranglah, jangan hanya memamerkan cakar kucingmu itu. engkau hendak bertanding atau mau membadut?"
Ejek Jaka Bintara.
Marahlah Badrun. Tadinya dia memang bersikap dengan hati-hati setelah mendengar bahwa lawannya datang dari Banten dan dia tahu bahwa daerah itu memiliki banyak jagoan. Kini kemarahannya membuat dia tidak sabar lagi. Tiba0tiba dioa membuat gerakan menerjang ke depan, kedia lengannya bergerak cepat dan kedua tangan itu telah menyambar dengan cengkeraman ke arah muka dan dada Jaka Bintara dan dari mulutnya terdengar bentakan nyaring.
"Haaarrrggghhh.....!"
Namun dengan gerakan yang cepat dan indah, Jaka Bintara sudah menggerakkan tubuh ke belakang, kakinya melangkah ke kanan dan tangan kirinya menampar dari kanan ke arah lambung lawan.
"Hyaaattt.....!"
Sambaran tangan itu mendatangkan angin yang dahsyat dan Badrun terkejut bukan main. Cepat dia memutar tubuh dan menggunakan tangan kiri memotong tangan lawan dengan tangkisannya.
"Wuuuuttt..... dukkk !"
Dua lengan bertemu dan mengeluarkan suara nyaring bagaikan dua potong besi bertemu. Bukan main kagetnya hati Badrun ketika merasa betapa lengannya nyeri bagaikan mau patah dan dia terdorong mundur sampai tiga langkah! Padahal dia terkenal bertenaga besar akan tetapi sekali ini, pertemuan kedua lengan itu membuat tulang lengannya terasa hendak patah. Akan tetapi dasar orang yang tak tahu diri, menganggap orang lain rendah dan dirinya sendiri paling hebat, dia tidak menyadari bahwa ilmunya kalah jauh bahkan dia menjadi penasaran dan marah.
Kembali Badrun mengeluarkan gerengan menyeramkan, lalu dia menubruk dengan loncatan ke depan, gayanya seperti seekor harimau yang menerkam kelinci. Akan tetapi sekali ini, Jaka Bintara yang diterkam itu sama sekali tidak mengelak bahkan kedua tangannya bergerak cepat menyambar kedua tangan berbentuk cakar itu dan mengangkat kedua tangannya ke atas. Tubuh Badrun tinggi besar, akan tetapi tubuh Jaka Bintara biarpun kurus lebih jangkung sehingga kini tubuh Badrun tergantung! Badrun meronta dan mengerahkan tenaga untuk melepaskan kedua pergelangan tangan yang dipegang lawannya itu, namun usahanya sia-sia. Cengkeraman tangan Jaka Bintara pada pergelangan kedua lengannya itu seperti jepitan baja! Jaka Bintara mengerahkan tenaga dalamnya dan Badrun membelalakkan matanya dan berteriak kesakitan.
"Krek-krekk! Aduuuuhhhh.....!"
Tulang pergelangan kedua tangan Badrun patah dan Jaka Bintara membanting tubuh lawannya ke atas lantai panggung.
"Brukkkk.....!"
Badrun mengeluh kesakitan sambil merangkak. Akan tetapi pada saat itu, kaki kanan Jaka Bintara menendang, tepat mengenai dadanya.
"Dessss !"
Tubuh Badrun terlempar ke bawah panggung dan dia pingsan seketika. Dua batang tulang rusuknya patah seperti kedua pergelangan tangannya. Beberapa orang temannya lalu menggotongnya pergi dari situ di bawah tepuk sorak para penonton yang mengagumi kegagahan Jaka Bintara yang luar biasa tangguhnya itu. Bayangkan saja! Dalam dua gebrakan saja Badrun yang ditakuti orang itu roboh pingsan dengan tulang-tulang patah.
Gamelan ditabuh lembut mengisyaratkan kepada penari untuk mulai menari lagi. Si selendang merah yang tahu bahwa Jaka Bintara keluar sebagai pemenang dan berhak berjoget dengannya, segera bangkit menghampiri pria jangkung itu sambil menari dan mulutnya tersenyum senang karena ia terbebas dari gangguan Badrun yang kurang ajar tadi. Akan tetapi, Jaka Bintara mengeluarkan sepotong uang reyal dari kantungnya dan sekali lempar, sekeping uang perak itu berputaran di udara lalu melayang turun dan meluncur ke atas dada ledek berselendang merah dan dengan tepat uang itu memasuki celah antara sepasang payudara ledek itu. Tentu saja perbuatan ini memancing sambutan tepuk tangan para penonton.
Aji yang menonton sejak tadi juga kagum. Jaka Bintara ini ternyata seorang yang sakti dan telah mampu mengendalikan tenaga saktinya secara hebat. Akan tetapi, Aji melihat bahwa pemuda jangkung itu memiliki watak yang kejam bukan main. Pada hal, melihat tingkatnya, dengan mudah saja dia akan dapat mengalahkan Badrun tanpa membuatnya cidera sedemikian rupa. Biarpun dia juga tak senang melihat kesombongan Badrun dan sudah sepatutnya orang sesombong itu mendapatkan hajaran keras, akan tetapi tidak sampai mematahkan kedua pergelangan tangan dan tulang-tulang rusuknya!
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendapatkan hadiah satu real secara luar biasa itu, ledek selendang merah juga merasa ngeri. Bayangkan saja, sekeping uang perak itu seperti hidup saja, dapat menyusup ke dadanya! Akan tetapi ledek ini lalu menyembah dan menekuk sedikit kedua lututnya dengan gerakan lemah gemulai sambil berkata lembut.
"Terima kasih, raden!"
Raden Jaka Bintara melambaikan tangannya kepada penari itu dan berkata.
"Sudahlah, engkau mengasolah dan suruh Neneng Salmah menggantikanmu. Aku ingin berjoget dengannya!"
Si selendang merah berseri wajahnya mendengar ini.
Biarpun laki-laki muda ini cukup tampan dan gagah berpakaian mewah, akan tetapi ada sesuatu pada sikap dan pandang matanya yang dingin itu membuatnya merasa ngeri, apalagi kalau ia teringat akan penyiksaan terhadap Badrun tadi. Ia cepat-cepat kembali ke tempat duduk di tengah-tengah para penabuh gamelan dan berbisik kepada Neneng Salmah bahwa Raden Jaka Bintara ingin berjoget dengannya. Karena dua orang ledek yang lain sudah berjoget dan ia tahu bahwa kemunculnnya dinantikan penonton, Neneng Salmah lalu bangkit berdiri dan dengan lenggangnya yang seperti macan kelaparan itu ia menuju ketengah panggung. Semua penonton, terutama kaum mudanya, menyambutnya dengan tepuk tangan dan sorak sorai gembira.
Neneng Salmah tersenyum dan semua orang ikut tersenyum dengannya. Untuk ukuran ledek, harus diakui bahwa Neneg Salmah memiliki daya tarik yang luar biasa. Memang kecantikannya tidaklah luar biasa, akan tetapi justeru karena ia tidak terlalu merias diri, bedaknya juga tipis tidak seperti rekan-rekannya, maka daya tariknya semakin menonjol dan kuat sekali. Senyumnya merekah, sepasang bibir itu terbuka sedikit memperlihatkan kilauan giginya yang berderet rapi dan putih, lesung pipit di sebelah kiri bibirnya, kerling matanya yang bagaikan mengandung besi sembrani, lalu tubuhnya yang padat ranum, dengan lekuk lengkung sempurna, terutama sekali di bagian dada dan pinggul, pinggangnya yang ramping, langkahnya yang tidak dibuat-buat namun tampak demikian lemah gemulai, kulitnya yang putih kekuningan dan mulus bersih, semua itu mengandung daya tarik yang membuat hati semua pria yang memandangnya berdebar penuh gairah.
Akan tetapi. berbeda pula dengan para rekannya, Neneng Salmah terkenal sebagai penari dan penyanyi yang sopan dan pandai menjaga kehormatannya. Bahkan dalam usia sembilan belas tahun itu masih disandangnya julukan perawan dalam arti yang seluasnya. Ia memang ramah, manis budi, pandai dan murah hati memberikan senyum manis dan kerling tajam memikat kepada setiap laki-laki, akan tetapi hanya itulah yang diberikan dengan rela hati. Ia tidak mau menyerahkan tubuhnya, untuk disentuhnyapun ia tolak, apalagi diciumi seperti ledek-ledek lain, sama sekali ia tidak mau. Banyak orang hartawan atau bangsawan yang menawarkan uang yang banyak sekali untuk membeli dirinya, namun semua itu ditolaknya dengan halus. Sikap ini mendapat dukungan kuat dari ayahnya, Ki Salmun yang sudah menjadi duda dan bekerja sebagai tukang kendang dalam rombongan anaknya.
Ayah yang bijaksana dan tidak gila harta ini sama sekali tidak mau menyerahkan puterinya untuk dibeli kehormatannya dengan harta betapapun banyaknya. Dia memberi kebebasan kepada Neneng Salmah untuk memilih sendiri siapa yang kelak akan menjadi suaminya. Akan tetapi selama ini, belum ada seorangpun pria yang berhasil mendapatkan cinta kasihnya.
Mungkin Neneng Salmah terlalu mencintai pekerjaannya sebagai penari dan penyanyi sehingga kadang ia merasa ragu dan khawatir bahwa kalau ia menjadi istri orang, ia akan kehilangan jati dirinya sebagai seorang seniwati. Bukan pria biasa saja yang gandrung=gandrung (tergila-gila) kepadanya, bahkan secara diam-diam karena merasa malu kalau ketahuan orang, Pangeran Mas Gede sendiri, Adipati Sumedang, pernah mengirim utusan membujuk Neneng Salmah agar menjadi seorang selir, atau setidaknya melayani hasrat kerinduan dan kegairahannya! Akan tetapi, dengan sikap ramah dan hormat sehingga tidak menyinggung hati, Neneng Salmah menolaknya secara halus.
Inilah sebabnya maka nama Neneng Salmah. sebagai ledek yang terkenal bersuara emas dan pandai menari seperti bidadari, terutama sebagai seorang ledek perawan yang merupakan hal yang langka pada waktu itu, terkenal bukan saja di Sumedang dan sekitarnya, bahkan terkenal sampai ke Cirebon!
Setelah berhadapan dengan Raden Jaka Bintara, Neneng Salmah tetap tersenyum dengan ramah dan sopan, lalu memberi hormat dengan sembah. Gamelan memainkan lagu joget yang seronok dan halus dan Neneng Salmah mulai menari, lembut dan indah sekali. Biarpun ia menari dengan sepenuh jiwanya sehingga seakan-akan setiap bagian tubuhnya menari, pundaknya, dada dan pinggangnya, goyang pinggulnya sampai langkah kaki dan gerakan jari kakinya, gerakan lengan dan jari tangannya. Semua, semua bagian tubuh Neneng Salmah menari-nari, bahkan gumpalan rambut yang terurai di dahi dan pelipisnya, sinom halus itu, ikut pula bergoyang menari! Akan tetapi, walaupun kepala, pundak dan pinggulnya membuat gerakan-gerakan yang amat indah, namun gerakannya tidak mengandung kecabulan.
Pinggulnya memang bergoyang manis, namun tidak seperti gerakan pinggul para rekannya yang seolah-olah menggapai menantang dan membangkitkan gairah laki-laki manapun juga. Aji yang menonton merasakan ini dan diam-diam memandang penari itu dengan sinar mata kagum. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Seorang seniwati yang menghayati seni tariannya dan ketika bertembang tadi, suaranya juga merdu sekali.
Bahkan sikap yang manis tapi penuh susila ini juga dapat dirasakan Jaka Bintara sehingga pemuda bangsawan Banten ini juga menari dan berupaya untuk dapat menari sebaik dan segagah mungkin. Dia merasa bahwa kalau tangannya usil, menowel, mencubit atau menggerayangi maka hal itu akan tampak janggal sekali dan melenyapkan keindahan gerak tari mereka. Dari pandang mata yang jeli indah itu saja Jaka Bintara merasa bahwa sedikitpun tidak ada niat merayu atau memikat dalam hati ledek luar biasa ini. Akan tetapi hal ini membuat dia merasa kecewa. sejak tadi sebelum Neneng Salmah menari, dia sudah tergila-gila kepada ledek ini, sudah timbul gairahnya, dan tadi dia ingin sekali berdekatan, berjoget bersama, bahkan menyentuhnya, merangkulnya dan bercumbu dengannya. Akan tetapi kenyataannya sekarang, biarpun sudah berjoget bersama, dia sama sekali tidak berani menyalurkan semua gairahnya itu! Dia merasa jengkel dan untuk melampiaskan kejengkelannya, dia lalu memutar tubuh menghadapi para penonton, bahkan juga kearah para tamu undangan lalu menantang.
"Heh, para penonton dan para tamu semua. Kini Neneng Salmah sudah berjoget dengan aku. Siapa di antara kalian yang ingin berjoget bersamanya? Siapa yang ingin mencoba-coba untuk merebutnya dari tanganku? Kalau ada yang berani, ke sinilah, kita main-main sebentar. Sebaliknya kalau tidak ada yang berani, terpaksa kelak akan kuceritakan kepada para jawara (pendekar) di Banten bahwa di Sumedang tidak ada pendekarnya. Dan kalau tidak ada yang maju berarti Neneng Salmah menjadi milikku!"
Neneng Salmah memang merupakan seorang yang memiliki daya tarik amat kuat. Mungkin namanya yang terkenal itupun menambah kuatnya daya tarik dirinya. Mulai banyak pendekar yang terusik hatinya. Bertanding di atas panggung tayuban seperti itu, biasanya merupakan kejadian biasa saja. Paling sial orang dikalahkan dan terpaksa mundur, mengaku kalah dan mengurungkan niatnya untuk berjoget dengan Neneng Salmah yang dirindukannya setiap hari. Tidak ada yang aneh dalam pertandingan macam itu. Memang tadi mereka melihat betapa sadis dan kejamnya pemuda bangsawan dari Banten itu. Akan tetapi hal itu adalah karena kesalahan Badrun sendiri, karena kesombongannya. Kalau dalam pertandingan biasa memperebutkan kemenangan agar dapat berjoget dengan seorang ledek, biasanya cukup asal dapat menjatuhkan lawan saja, dan itu cukup sebagai bukti kemenangan.
Tiba-tiba dari rombongan penonton di bawah panggung melompat seorang pemuda. Tubuhnya sedang akan tetapi agak kerempeng sehingga baru penampilannya saja sudah memancing suara tawa penonton. Akan tetapi bagi mereka yang mengenal Sudarman, tidak tertawa. Mereka tahu bahwa pemuda berusia dua puluh lima tahun yang bertubuh kerempeng namun berwajah ganteng itu adalah seorang pemuda yang pandai pencak silat. Sudah lama Sudarman gandrung kepada Neneng Salmah, bahkan pernah orang tuanya berkunjung ke rumah Ki Salmun dan dengan tata cara umum mengajukan pinangan untuk menjodohkan Sudarman dengan Neneng Salmah. Akan tetapi, karena Neneng Salmah menolak, maka pinangan itu tak dapat diterima dengan hormat dan dengan kata-kata yang tidak menyinggung. Hal ini tentu saja membuat Sudarman semakin rindu kepada ledek itu dan sekarang dia hendak mempergunakan kesempatan untuk mencoba agar dapat berjoget dengan perawan yang digandrunginya itu. Biarpun tidak dapat menjadi suami Neneng Salmah, akan tetapi kalau dapat berjoget bersama, tentu sudah merupakan hiburan yang menyenangkan.
Begitu melihat Sudarman melompat naik ke panggung, Neneng Salmah mengenal pemuda yang pernah meminangnya itu. Ia menjadi malu-malu tersenyum dan melirik kepada pemuda itu, lalu mengundurkan diri duduk bersimpuh di pinggiran seperti biasa dilakukan ledek yang sedang diperebutkan, membiarkan dua orang laki-laki itu berhadapan dan bertanding. Gamelanpun untuk sementara dihentikan agar para penonton dapat mendengar apa yang akan dikatakan kedua orang jagoan yang sudah saling berhadapan itu.
Jaka Bintara yang bertubuh kurus, akan tetapi bertulang besar dan tidak kelihatan kerempeng. Ketika melihat bahwa yang melompat naik ke atas panggung adalah seorang pemuda yang kerempeng, dia tersenyum mengejek. Matanya mengamati Sudarman dari kepala sampai ke kaki penuh selidik.
"Orang muda."
Kata Jaka bintara dengan logat bicaranya yang terdengar asing dan kaku.
"andika berani menyambut tantanganku untuk memperebutkan Neneng Salmah? Hemm, katakanlah dulu siapa nama andika. Kalau andika belum mengetahuinya, aku adalah Raden Jaka Bintara dari Banten."
Sudarman tadi sudah mendengar nama pemuda bangsawan Banten itu. Dia tersenyum dan melirik ke arah Neneng Salmah yang kebetulan juga sedang memandang kepadanya, Jaka Bintara juga menoleh dan melihat betapa Neneng Salmah tersenyum memandang pemuda kerempeng itu dia mengerutkan alisnya dan hatinya panas oleh cemburu.
"Raden Jaka Bintara,"
Kata Sudarman dengan sikap ramah dan lembut.
"Saya bernama Sudarman, penduduk sini saja, karena itu tanpa bertandingpun saya mau mengaku kalah. Akan tetapi karena andika sudah cukup lama berjoget dengan Neneng Salmah, maka kalau boleh saya menggantikan andika, saya mau memberikan pusaka saya ini kepada andika."
Sudarman mencabut sebatang Kujang (semacam keris) dan menyerahkannya kepada Jaka Bintara. Para penonton yang mendengar ini merasa heran. Sudah lajim kalau orang mengajukan permintaan menggantikan pemenang untuk berjoget dengan sang penari dengan cara memberi semacam hadiah, akan tetapi biasanya orang memberi hadiah dalam bentuk uang. Kalau ada orang menyerahkan pusakanya, maka hal itu dianggap terlalu merendahkan diri. Neneng Salmah memandang dan merasa terharu juga. Ia merasa betapa besar cinta Sudarman kepadanya sehingga pemuda itu rela merendahkan diri, menyerahkan pusakanya hanya untuk dapat berjoget dengannya!
Jaka Bintara menerima kujang itu, mengamatinya sebentar, lalu tertawa mengejek dan dengan kedua tangannya dia menekuk senjata itu sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Krekkk!"
Kujang itu patah menjadi dua dan sambil tertawa Jaka Bintara membuang potongan senjata itu ke bawah panggung.
"Ha-ha-ha, senjata pisau pemotong bawang seperti itu, satu reyalpun aku dapat membelinya sepuluh batang! Siapa sudi menerimanya? Heh, Sudarman, kalau engkau memang berani, kalahkan dulu aku dalam pertandingan baru andika berhak joget dengan Neneng Salmah. Kalau andika tidak berani, hayo cepat turun dan jangan mengganggu aku yang sedang asyik berjoget!"
Wajah Sudarman menjadi pucat, lalu merah. Apa lagi mendengar suara beberapa orang mentertawakannya. Seorang laki-laki boleh saja mengalah seperti yang diperlihatkan dari sikapnya tadi, akan tetapi tidak ada laki-laki jantanh yang membiarkan dirinya diperhina. Kalau perlu dia siap untuk mempertahankan kehormatannya dengan taruhan nyawa. Sudarman membusungkan dadanya
(Lanjut ke Jilid 25)
Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
yang tipis, matanya bersinar-sinar karena marah dan dia menatap wajah Jaka Bintara dengan tajam.
"Jaka Bintara, andika telah mematahkan pusakaku. Ini berarti andika telah menghinaku dan mau tidak mau terpaksa aku harus menyambut tantanganmu untuk bertanding!"
Pada saat itu, Sudarman bertemu pandang mata dengan Neneng Salmah dan wanita muda itu merasa khawatir akan nasib pemuda itu menggeleng kepalanya.
"Akang Darman, harap jangan berkelahi.....
"
Sudarman memandang ledek itu dan mengerutkan alisnya. Kalau dia mundur hanya karena Neneng Salmah yang memang sudah dikenalnya itu mencegahnya, dia tentu disangka takut dan akan menjadi bahan tertawaan semua penduduk Sumedang. Dia juga tahu bahwa gadis itu mencegah perkelahian bukan karena cinta kepadanya, melainkan hanya takut akan terjadinya keributan karena penghinaan itu tentu memancing perkelahian, bukan sekedar bertanding mengadu kepandaian untuk dapat keluar sebagai pemenang dan berjoget dengan Neneng Salmah.
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Dendam Si Anak Haram Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo