Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 25


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 25



"Hayo, mengaku saja! Engkau mencinta Kakangmas Aji, bukan?"

   Eulis mendesak, memercikkan air makin gencar sehingga Neneng Salmah gelagapan.

   "Baiklah, baiklah, aku mengaku. memang. aku memujanya, aku..... aku.....

   "

   Neneng Salmah tergagap karena malu.

   "Aku apa? Hayo mengaku saja kamu! Engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji, bukan? Kalau tidak mau mengaku, akan kusirami air lagi!"

   Sambil tertawa Eulis mendesak.

   

   Neneng Salmah juga tertawa dan mukanya berubah kemerahan.

   "Ya-ya, aku mencintanya."

   Akhirnya ia mengaku, akan tetapi wajahnya menjadi muram Eulis melihat perubahn muka yang cantik itu, yang tadinya cerah gembira ketika bergurau dan kini tampak diliputi mendung kesedihan.

   "Eh, engkau kenapakah, Neneng? Kenapa engkau kelihatan bersedih setelah mengaku bahwa engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji?"

   Ditanya demikian, Neneng Salmah mengusap dua titik air mata yang keluar dari pelupuk matanya, tidak ingat bahwa dalam keadaan basah karena siraman-siraman tadi, kalaupun ia mengeluarkan air mata juga tidak akan kentara.

   "Ah, Eulis, aku seperti seekor pungguk merindukan bulan."

   Katanya dengan suara sedih.

   "Ehh?"

   Eulis memandang kawannya dengan heran.

   "Apa maksudmu?"

   "Eulis, aku mau berterus terang saja kepadamu karena aku merasa dekat dan akrab sekali denganmu, seolah engkau merupakan saudaraku sendiri."

   "Kita memang telah menjadi saudara, Neneng dan aku berbahagia sekali mempunyai seorang saudara seperti engkau."

   "Terima kasih, Eulis. mengenai perasaanku terhadap Kakangmas Lindu Aji aku merasa seperti pungguk merindukan bulan."

   "Engkau seekor pungguk? Pungguk itu semacam burung hantu itu, bukan? Aeh, engkau bukan burung hantu, engkau sepatutnya adalah seekor burung merak yang indah, Neneng."

   "Bagaimana mungkin aku dapat disejajarkan dengan Kakangmas Lindu Aji? Dia terlampau tinggi bagi orang seperti aku. Dengarkan, Eulis!"

   Neneng menghentikan Eulis yang hendak membantah.

   "Siapa Kakangmas Lindu Aji? Dia seorang pendekar, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan berbudi tinggi mulia! Dan aku, siapakah aku ini? Anak seorang penabuh gamelan, dan aku sendiri hanya seorang ledek yang dipandang hina dan rendah oleh semua orang, dianggap sebagai perusak pagar ayu! Bagaimana mungkin seorang seperti aku ini mengharapkan balasan cinta kasih seorang yang begitu tinggi martabatnya seperti Kakangmas Lindu Aji?"

   "Wah-wah, engkau menyeret dirimu sendiri serendah-rengahnya, Neneng! Kalau engkau menjadi waranggana, itu menandakan bahwa engkau seorang seniwati ahli bertembang dan menari. kepandaian itu amat tinggi nilainya! Sekarang begini, coba kau jawab pertanyaanku, sejujurnya kalau memang engkau menganggap aku seperti saudara sendiri. Nah, aku bertanya kepadamu, apakah selama ini engkau pernah merusak pagar ayu? pernah merayu dan mengadakan hubungan gelap dengan laki-laki, baik yang belum beristeri ataupun yang suda berkeluarga? Hayo jawab sejujurnya walaupun aku sudah dapat menduganya!"

   Neneng Salmah menggeleng kepalanya yang indah itu kuat-kuat.

   "Demi Gusti Allah, Eulis. Tidak pernah aku melakukan perbuatan sehina itu! Semoga Gusti Allah selalu menjauhkan aku dari perbuatan rendah semacam itu. Bapaku selalu menemani aku kalau aku ditanggap, dan selain aku sendiri tidak sudi berbuat seperti itu, bapaku juga tentu akan melarang dan mencegahnya. Biarpun kami orang rendah dan miskin, namun kami masih menjaga kehormatan dan memiliki harga diri, Eulis!"

   "Tepat, memang demikian dugaanku. Lalu mengapa engkau menganggap dirimu begitu rendah? Apa perdulimu dengan persangkaan orang lain? Yang penting, Gusti Allah dan engkau sendiri mengetahui bahwa engkau tidak melakukan perbuatan hina itu. Sangkaan orang seduniapun tidak ada urusannya denganmu. Yang jelas, engkau seorang gadis seniwati yang bersih dan terhormat, derajat dan martabatmu tidak lebih rendah daripada siapapun juga, dan tidak lebih rendah daripada Kakangmas Lindu Aji!"

   "Ah, kalau saja semua orang memiliki pandangan dan pendapat seperti itu, Eulis. Akan tetapi kalau aku sudah berada di panggung, bernyanyi dan menari, semua laki-laki agaknya tergila-gila kepadaku sehingga semua orang, terutama para wanitanya, menyangka bahwa aku yang sengaja memikat mereka."

   "Hi-hi-hil, para wanita itu iri, Neneng! Terutama mereka yang pacarnya atau suaminya tergila-gila kepadamu.

   Kalau banyak laki-laki tergila-gila kepada seorang wanita, mengapa wanitanya yang disalahkan? Kenapa bukan si laki-laki yang memangnya mata keranjang? Mana ada laki-laki yang tidak suka melihat wanita secantik engkau? Kalau ada laki-laki tidak suka melihat seorang gadis sebaik dan secantik engkau, maka hal itu berarti dia tidak waras atau pandang matanya sudah kurang awas!"

   "Akan tetapi Mas Aji tidak cinta kepadaku!"

   Kata Neneng Salmah memelas.

   Eulis tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Neneng, aku berani bertaruh apapun juga bahwa biar Kakangmas Lindu Aji sekalipun, dia pasti suka sekali kepadamu. Engkau seorang gadis ayu merak ati, baik budi pula, tidak ada alasan untuk tidak menyukaimu. Akan tetapi, neneng, kurasa suka itu belum tentu berarti cinta. Rasa cinta itu.....

   "

   Eulis bingung sendiri.

   "Ah, bagaimana, ya? Akupun tidak dapat mengatakan bedanya, akan tetapi aku yakin ada bedanya!"

   Kini Neneng Salmah yang tersenyum dan timbul kembali kegembiraannya. Ia memercikkan air ke muka Eulis.

   "Lagaknya seperti ahli, tak tahunya diri sendiri juga tidak tahu! Atau, agaknya engkau sudah memiliki banyak pengalaman tentang hal ini, ya?"

   "Mengalami cinta? Ah, belum pernah! Kalau mengalami suka sih sudah."

   Katanya singkat.

   "Akan tetapi, siapa tahu engkau pernah jatuh cinta sebelum engkau melupakan masa lalumu?"

   "Entahlah. Semua sudah tidak teringat lagi. Rasanya sih belum pernah."

   Jawab Eulis sambil mengerutkan alisnya.

   "Hemm, kalau begitu, aku juga berani bertaruh bahwa saat ini tentu ada seorang pria yang kau..... sukai. Benarkah? dan engkau sendiri ragu apakah engkau hanya suka kepadanya ataukah mencintanya."

   "Eh? Bagaimana kau bisa tahu..... eh, maksudku, bisa menyangka begitu?"

   Tanya Eulis sambil memandang heran.

   Memang, ketika bicara tentang suka atau cinta itu, otomatis ia teringat kepada Jatmika! Neneng Salmah tersenyum manis sekali.

   "mudah saja! keika engkau bicara tentang suka dan cinta, engkau tampak begitu sungguh-sungguh dan ini hanya bisa terjadi kalau hal itu menyangkut dirimu sendiri. Hayo, mengakulah saja, Eulis, atau akan kusirami engkau sampai basah kuyup!"

   Kembali Neneng Salmah mengancam sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam air.

   Eulis tertawa. Ia merasa suka dan cocok sekali dengan Neneng Salmah yang dapat menyesuaikan diri dengan wataknya yang centil, padahal ia tahu benar bahwa Neneng Salmah adalah seorang gadis yang berwatak amat lembut.

   "Baiklah, baiklah! Aku mengaku, gusti puteri! Ada seorang pemuda bernama Jatmika....."

   "Waduh, namanya saja begitu indah. Orangnya tentu juga amat jatmika (tenang, sopan dan waspada)!"

   Puji Neneng Salmah.

   "Memang dia amat sopan, baik budi, sakti mandraguna dan sudah seringkali dia menyelamatkan aku, menolongku ketika aku terancam bahaya di tangan orang-orang jahat."

   "Dan diapun tentu seorang pemuda ganteng dan tampan!"

   Tambah Neneng Salmah. Eulis mengangguk.

   "Dia tampan, setampan Kakangmas Lindu Aji."

   "Dan engkau tentu amat mencintainya seperti dia juga amat mencintaimu, bukan?"

   Eulis menghela napas, wajahnya yang biasa cerah penuh senyum itu menjadi serius.

   "Itulah, Neneng, seperti kukatakan tadi, aku tentu saja amat kagum dan suka kepadanya. Segalanya yang terbaik dari seorang pria berada dalam dirinya. Akan tetapi, ketika dia menyatakan cintanya......"

   "Nah, kelepasan nih! Ketahuan, ya bahwa dia mencintaimu?"

   "Memang benar. Dia cinta padaku dan dia menyatakan hal itu kepadaku."

   "Wah, kalau sudah begitu apa lagi persoalannya?"

   "Persoalannya, aku tidak tahu apakah aku mencintanya, Neneng. Aku suka kepadanya, akan tetapi aku tidak suka apakah aku mencintanya. Aku sering kali pusing memikirkan hal ini."

   Melihat Eulis kini sudah kehilangan tawanya, Neneng Salmah teringat akan keadaan diri sendiri dan memang pada dasarnya ia seorang yang tidak selincah Eulis, iapun menghela napas panjang.

   "Keadaanmu sungguh merupakan kebalikan dari keadaanku, Eulis. Dia mencintamu dan engkau masih belum dapat menjawab cintanya. Sebaliknya, aku mencintanya akan tetapi dia masih belum menerimanya."

   Kini kembali suaranya mengandung kesedihan sehingga Eulis melupakan persoalannya sendiri dan merasa iba kepada Neneng Salmah. Ia mendekat dan merangkul leher yang berkulit mulus itu.

   "Neneng, jangan putus harapan. Aku yakin bahwa Kakangmas Lindu Aji pasti suka kepadamu, kalau tidak, tentu dia tidak akan minta kepada ayah untuk menampung engkau dan ayahmu."

   "Memang, dia juga mengatakan bahwa dia suka kepadaku, akan tetapi dia tidak dapat menerima cintaku."

   "Bukan tidak dapat, melainkan belum, Neneng. Engkau tentu sangat ingin untuk menjadi isterinya, bukan?"

   "Tentu saja, Eulis. Jangankan menjadi isterinya, bahkan menjadi hambanyapun aku akan merasa berbahagia sekali, asal aku dapat selalu hidup dekat dengannya, melayaninya dengan penuh kasih sayang."

   Ucapan yang penuh keyakinan dan kelembutan ini menyentuh perasaan Eulis dan ia mencium pipi Neneng Salmah. Tiba-tiba Eulis menjadi lincah kembali.

   "Wah, sekarang aku tahu bedanya antara suka dan cinta!"

   Teriaknya dan mengguncang kedua pundak temannya. Karena girangnya, ia lupa untuk mengendalikan kekuatannya.

   "Aeh-aeh.....!"

   Kau mau mengoyak-koyak pundakku?"

   Teriak Neneng Salmah dan Eulis lalu merangkulnya.

   "Aduh maaf! Aku sampai lupa. sekarang aku mengerti dan dapat melihat perbedaan antara suka dan cita."

   "Benarkah? Hayo katakan, apa perbedaannya itu."

   Desak Neneng Salmah.

   "Kakangmas Jatmika mencintaku dan ingin berjodoh denganku, demikian pula engkau, Neneng. Engkau mencinta Kakangmas Lindu Aji dan engkau ingin menjadi isterinya. Itulah cinta! Cinta membuat orang lain ingin mengikatkan diri dalam perjodohan! Sebaliknya, Kakangmas Lindu Aji suka kepadamu dan hanya ingin bersahabat, demikian pula aku suka Kakangmas Jatmika dan ingin menjadi sahabat baiknya. Itulah rasa suka! Suka kepada seseorang membuat orang ingin mengikat persahabatan dengan orang yang disukai. Itulah jawabannya!"

   Neneng Salmah termenung. Eulis juga termenung.

   Kedua orang gadis itu seperti lupa bahwa mereka sedang mandi. mereka duduk di atas batu sambil termenung. Mereka tenggelam dalam lamunan masing-masing.

   Tiba-tiba terdengar suara wanita.

   "Aeh, kalian berdua ini mencuci pakaian atau berjemur diri?"

   Dua orang gadis itu sadar dari lamunan dan ternyata Nyi Subali telah berdiri di belakang mereka. Mereka berdua tertawa dan baru ingat bahwa sejak tadi mereka hanya duduk melamun, tidak sadar bahwa matahari mulai naik tinggi.

   "Wah, Neneng kita keenakan melamun di sini. Bukankah hari ini engkau sudah berjanji akan mengajarkan sebuah tarian kepadaku?"

   "Benar, Eulis. dan sore nanti engkau akan mengajarkan aku gerakan silat agar aku dapat membela diri dari tangan-tangan usil."

   Keduanya lalu membawa keranjang pakaian yang sudah dicuci dan bersama Nyi Subali mereka kembali ke rumah.

   Demikianlah kedua orang gadis itu bergaul akrab sekali. Eulis mulai belajar bertembang dan menari, akan tetapi karena pada dasarnya ia seorang yang sejak kecil mempelajari ilmu silat, tubuhnya sudah terbiasa dengan gerakan tangkas, maka akhirnya ia pandai menari dengan tarian yang berubah sifatnya menjadi tangkas. Keindahan gerak tari yang mengandung ketangkasan dan kegagahan. Sebaliknya, Neneg Salmah yang sudah terbiasa dengan gerakan tari yang lembut dan indah, mulai dapat menguasai ilmu pencak silat yang sifatnya lembut dan gerakannya indah sekali. Setelah mempelajari tembang, ternyata suara Eulis juga cukup merdu.

   Tidak seperti yang diduga semula, Aji dapat memasuki Jayakarta atau yang oleh Kumpeni Belanda disebut Batavia dengan mudah. Tidak ada penjagaan ketat di pintu gapura kota dan yang terjaga oleh serdadu Kumpeni Belanda hanyalah benteng Belanda yang dikelilingi tembok tebal dan tinggi.

   Memang ada patroli sepasukan serdadu Belanda membawa bedil, akan tetapi mereka tidak tampak mengganggu orang-orang yang keluar masuk gapura sambil membawa barang dagangan. Akan tetapi, Aji dapat merasakan dan menduga bahwa banyak sekali mata tersembunyi yang mengawasi gerak-gerik setiap orang yang memasuki pintu gapura, terutama sekali orang-orang yang tidak dikenal seperti dirinya. Dia dapat menduga bahwa kumpeni tentu melakukan penjagaan dan pengawasan secara tersembunyi dan menyebar telik sandi untuk melakukan pengawasann dan penyelidikan. Dan di dalam benteng besar itu tentu terdapat banyak sekali serdadu Belanda yang siap untuk menumpas setiap gerakan pemberontakan.

   Selain itu, juga kapal-kapal besar Belanda siap di pelabuhan, dengan segala perlengkapannya. Di atas benteng besar itupun tampak moncong meriam-meriam berjajar menyeramkan. Belanda amat kuat, terutama sekali karena kekayaan dan kemakmuran semu yang disebarkan membuat banyak pemuka masyarakat menjadi mabok menganggap Belanda sebagai penolong yang mendatangkan kesejeahteraan! Tanpa mereka sadari, kekayaan hasil bumi rakyat disedot oleh Belanda dan menjadi barang dagangan yang mendatangkan keuntungan besar baginya.

   Karena maklum bahwa dia berada di daerah musuh yang menjadi pusat kekuatan Belanda dan dapat menduga pula bahwa di situ terdapat banyak mata-mata Belanda, Aji bersikap waspada dan hati-hati sekali. Dia menyembunyikan keris Kyai Nagawelang pemberian Sultan Agung karena banyak orang mengetahui bahwa keris ini merupakan hadiah dari Sultan agung kepada para senopati yang dipercayainya. Pakaiannya yang sederhana membuat dia tampak seperti seorang pemuda petani dusun yang baru saja menjual hasil buminya dan sedang melihat-lihat keindahan kota itu.

   Seperti diceritakan di bagian depan, tadinya Aji berniat pergi melakukan penyelidikan tentang Raden Banuseta pembunuh ayahnya dan tentang putera ayahnya, atau kakak tirinya yang bernama Hasanudin. Kedua orang ini telah dijumpainya dalam perjalanannya. Juga tadinya dia hendak pergi ke Banten untuk mencari putera kandung Ki Tejobudi yang bernama Sudrajat, dan orang inipun sudah dijumpainya, bahkan Ki Sudrajat meninggal dunia dalam rangkulannya.

   Sekarang, tugas pribadinya hanyalah menemukan Raden Banuseta, pembunuh ayahnya yang juga pembunuh Ki Sudrajat. Bahkan menjadi kaki tangan Kumpeni Belanda. Raden Banuseta orang jahat dan pengkhianat bangsa yang harus ditentangnya. Selain itu, dia juga harus menemukan kakak tirinya, Hasanudin, yang agaknya terkena bujukn Raden Banuseta sehingga ikut-ikutan menjadi antek Belanda, sama sekali tidak tahu bahwa justeru Raden Banuseta yang telah membunuh ayah kandungnya. Dia harus dapat menyadarkan Hasanudin, selain agar tahu bahwa Banuseta adalah musuh besarnya, juga agar menyadari bahwa membantu Belanda melawan Mataram berarti mengkhianati bangsa dan tanah air.

   Sebelum memasuki Batavia, Aji sudah menghubungi para telik sandi Mataram yang bertugas melakukan penyelidikan dan berada di luar kota. Dengan adanya keris Kyai Nagawelang, Aji diterima dengan hormat oleh para telik sandi. Dari mereka dia tahu bahwa para tokoh pengkhianat yang menjadi antek Kumpeni Belanda kini telah berkumpul di Batavia, di antara mereka adalah nama-nama yang sudah dikenalnya dengan baik, seperi Raden Banuseta, Nyi Maya Dewi, Ki Harya Baka Wulung, Kyai Sidhi Kawasa, Aki Somad, Ki Warga dan masih banyak lagi. Karena itu, maka Aji bertindak hati-hati. Banyak tokoh antek Kumpeni yang telah mengenalnya dan kalau sampai dia ketahuan, tentu dia menghadapi bahaya besar.

   Karena itu, setelah merasa cukup melihat-lihat keadaan dalam kota Batavia, Aji mulai berjalan memasuki daerah sepi di pinggir kota. Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita di antara derap kaki kuda dan roda kereta, akan tetapi hanya satu kali jerit itu terdengar lalu sunyi. Dia melihat kusir kereta terlempar dari atas kereta dan tak bergerak lagi. Dua orang sudah menguasai kereta itu. Seorang yang tadi merobohkan kusir kini duduk di tempat kusir, sedangkan seorang lagi berada di dalam kereta.

   Aji teringat akan pertemuannya dengan para telik sandi Mataram di luar kota. Mereka itu tentu melaksanakan rencana mereka seperti yang pernah dia dengar, yaitu mengadakan kekacauan di dalam kota sebelum tentara Mataram yang sudah mulai meninggalkan Mataram tiba di situ. Diantara rencana tindakan pengacauan adalah menculik puteri seorang perwira Belanda. Sebetulnya Aji merasa tidak setuju dengan tindakan yang dia anggap curang ini, akan tetapi karena dia seorang pendatang baru, diapun merasa sungkan untuk mencela. Kini melihat ada orang yang membunuh kusir kereta yang agaknya merupakan sebuah kereta bangsawan, dia menganggap hal itu wajar saja. Akan tetapi mendengar jerit wanita tadi, dia mengeritkan alisnya. Hatinya yang selalu condong untuk menolong siapa saja yang terancam bahaya dan menentang siapa saja yang melakukan kekerasan, terutama terhadap wanita yang lemah membuat Aji tidak dapat menahan kedua kakinya untuk tidak membayangi kereta yang melarikan cepat menuju ke arah timur.

   Ketika kereta tiba di dalam sebuah hutan, terdengar seruan dari dalam kereta yang tertutup.

   "Bang Sikun, berhenti dulu!"

   Kusir yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan yang berkumis panjang itu menahan kendali dua ekor kuda yang menarik kereta, Dua ekor kuda berhenti dan kusir itu melompat turun. Pintu kereta terbuka dan seorang laki-laki gendut pendek keluar dari kereta itu.

   "Bagaimana dengan noni (nona) itu? Kau apakan dia? Mengapa tidak ada suaranya?"

   Tanya si muka panjang yang bernama Sikun itu kepada si gendut pendek.

   "Ah, tidak kuapa-apakan. Tadi menjerit, maka kuikat kedua tangannya dan kuikatkan saputangannya di depan mulutnya agar ia tidak berteriak lagi. Tanpa persetujuanmu, mana aku berani berbuat yang tidak-tidak!"

   Kata si gendut sambil menyeringai.

   "Awas, Mang Kosim, kalau engkau ganggu gadis Belanda itu, akan kulaporkan dan engkau akan dihajar."

   Kata Sikun sambil membuka pintu kereta. Aji yang mengintai tak jauh dari situ melihat seorang gadis bule duduk didalam kereta, Kedua tangannya terbelenggu, juga mulutnya tertutup kain yang diikatkan di kepalanya, rambutnya awut-awutan dan matanya yang bundar lebar itu terbelalak ketakutan.

   Pakaiannya kusut dan rambutnya yang panjang terurai. Rambut itu berwarna keemasan dan kulitnya putih kemerahan, halus mulus. Wajah yang cantik itu masih muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Sikun memandang dan pandang matanya berhenti agak lama pada belahan dada membusung dari balik gaun yang agak kusut tertarik ke bawah itu lalu pandang mata itu seolah menggerayangi seluruh tubuh gadis Belanda itu dari kepala sampai kakinya yang bersepatu boot.

   Melihat betapa Sikun melahap lekuk lengkung tubuh yang menggairahkan itu, Kosim mendekat dan terkekeh.

   "Heh-heh-heh, Bang Sikun, bahenol sekali noni ini, ya? Apa salahnya kalau kita bersenang-senang sejenak dengannya? Di sini sepi, tidak akan ada orang lain melihatnya dan ia masih dapat kita hadapkan nanti kepada Bang Samiun dalam keadaan utuh."

   Sikun menelan ludah, kumisnya bergerak-gerak.

   "Tetapi.....

   "

   Katanya ragu.

   "Tetapi apa lagi, Bang Sikun? Hayolah, engkau kebagian lebih dulu, baru nanti aku."

   Desak si gendut Kosim.

   "Tapi..... engkau jaga baik-baik agar jangan sampai ada orang melihatnya, ya?"

   Sikun agaknya tak dapat menahan gairah nafsunya.

   "Hayo turun kau!"

   Dia menjulurkan tangannya, menangkap tangan yang terikat itu dan menarik wanita kulit putih itu keluar dari kereta. Gadis remaja itu terpaksa terseret keluar dan hampir jatuh ketika ia turun dari kereta. Sikun merenggut lepas saputangan yang menutupi mukanya.

   "Jangan..... jangan ganggu aku.....!"

   Gadis Belanda itu meratap dan Aji merasa heran karena gadis itu dapat berbahasa daerah dengan jelas dan baik.

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Jangan banyak bicara kalau engkau tidak ingin aku menggunakan kekerasan."

   Kata Sikun dan sekali dorong, Gadis Belanda itu terjengkang dan jatuh telentang ke atas rumput. Akan tetapi ia cepat bangkit duduk dengan sukar karena kedua tangannya masih terbelenggu.

   "Dengar, ki sanak. Biarpun aku puteri Kapten De Vos, akan tetapi aku selalu menentang sikap ayahku. Aku tidak setuju dengan politik Kumpeni Belanda. Aku membela bangsa ibuku. Aku bukan musuh kalian."

   "Ha-ha-ha, Abang Sikun, siapa dapat percaya omongan gadis bule itu? Hayo cepat lakukan dan jangan dengarkan ocehannya!"

   Kata si gendut Kosim.

   Sikun menghampiri gadis itu yang menjadi semakin ketakutan.

   "Jangan..... demi Tuhan, jangan.....

   "

   Ia mengeluh dan air matanya mulai mengalir disepanjang kedua pipinya yang menjadi pucat. Akan tetapi Sikun menyeringai. Dia seperti sudah kemasukan iblis sehingga makin ketakutan gadis calon korbannya itu, semakin senang dan bangga rasa hatinya. Perlahan-lahan dia menghampiri dan hendak merenggut pakaian gadis itu.

   Pada saat itu, Aji tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia melompat keluar dan membentak.

   "Ki sanak, apa yang kau lakukan ini adalah perbuatan yang amat keji dan jahat!"

   Si gendut Kosim yang bertugas jaga menjadi marah melihat ada orang mengganggu kesenangan mereka.

   "Bang Sikun, lanjutkan bersenang-senang, biar aku yang membunuh orang jahil ini!"

   Katanya sambil mencabut sebatang parang dari pingganganya dan tanpa banyak cakap dia sudah melompat dan menerjang ke arah Aji, membacokkan parangnya dengan keyakinan bahwa sekali serangan dia akan dapat merobohkan pemuda yang menjadi penghalang itu.

   "Wuuutttt..... sing..... dessss !!"

   Bukan tubuh Aji yang terluka sambaran parang, melainkan tubuh Kosim yang terpelanting jatuh, parangnya terlempar jauh dan si gendut itu tidak dapat segera bangkit karena merasa pinggulnya nyeri bukan main dan dadanya sesak!

   Melihat ini, Sikun yan tadinya hendak merenggut lepas pakaian gadis Belanda itu, menjadi terkejut dan marah. Dia segera memutar tubuhnya dan melompat ke depan, menghadapi Aji dengan mata melotot.

   "Keparat! Siapa engkau berani mengganggu kami orang-orang Mataram?"

   Bentaknya, menggunakan nama Mataram untuk menggertak.

   "Kami adalah pejuang-pejuang Mataram, tahukah engkau?"

   Aji tersenyum.

   "Pejuang-pejuang Mataram tidak akan sudi melakukan perbuatan seperti yang hendak kaulakukan itu!"

   Tiba-tiba gadis Belanda yang kedua tangannya masih terikat itu dan yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersimpuh di atas rumput berkata.

   "Tepat sekali apa yang kau katakan itu, sobat. Ibuku juga selalu bilang bahwa pejuang Mataram adalah ksatria yang gagah perkasa dan berbudi luhur!"

   Sikun marah sekali dan bertolak pinggang sambil memandang kepada Aji.

   "Manusia lancang! Apakah engkau hendak membela seorang gadis Belanda, musuh besar bangsa kita? Kalau engkau tidak memusuhinya, bahkan hendak membelanya, maka itu hanya berarti bahwa engkau adalah seorang antek Belanda!"

   "Hemm, manusia yang sudah buta oleh nafsu! Musuh kita memang Kumpeni Belanda yang hendak mencengkeram tanah air kita, dan dalam perang kita harus membunuh setiap orang serdadu Belanda. Akan tetapi semua itu kita lakukan demi mempertahankan tanah air dan membela bangsa. Kalau engkau diperintah atasanmu untuk menculik puteri perwira Belanda demi kepentingan perjuangan Mataram melawan Belanda, hal itu masih dapat dimengerti dan diterima. Akan tetapi engkau menodai tugasmu sebagai pejuang dengan perbuatan hina! Engkau hendak memperkosa gadis ini dan itu sama sekali bukan tugas seorang pejuang, melainkan perbuatan seorang manusia jahat yang kemasukan iblis! Engkau bahkan mencemarkan kesucian perjuangan membela Negara dan bangsa!"

   "Jahanam keparat! Siapakah engkau yang berani lancang menghina kami para pejuang Mataram yang gagah?"

   Bentak Sikun yang kehabisan akal karena ucapan Aji itu tidak dapat dibantahnya sehingga membuat dia merasa malu dan marah.

   Dengan tenang Aji mengeluarkan keris pusaka Nagawelang dari balik bajunya.

   "Lihatlah ini! Kalau engkau tidak mengenal ini, berarti bahwa engkau seorang telik sandi Mataram yang palsu!"

   Kata Aji sambil menghunus keris dan mengangkatnya ke atas. Melihat keris pusaka itu, sepasang mata Sikun terbelalak dan mukanya berubah pucat.

   "Keris pusaka Nagawelang.....! Andika ut..... utusan ...... Kanjeng Gusti Sultan Agung.....!"

   Sikun tergagap dan sikapnya berubah sama sekali. Juga Kosim yang tadi tertendang roboh sudah merangkak bangun dan berdiri di samping Sikun sambil membungkuk-bungkuk ketakutan.

   "Ampunkan kami, raden.....

   "

   Kata mereka hampir berbareng.

   "Dalam tugas, aku disebut Alap-alap Laut Kidul, kalian tidak perlu menyebutku Raden. Sekarang, ingat baik-baik. Para pejuang kawula Mataram yang melakukan perjuangan membela nusa bangsa menghadapi kumpeni yang angkara murka, adalah ksatria utama. Perjuangan membela nusa bangsa adalah tugas yang suci dan sekali-kali jangan dicemarkan oleh perbuatan jahat yang mementingkan diri sendiri dan diperhamba oleh nafsu. Mengganggu wanita dari kalangan dan bangsa apapun juga merupakan perbuatan biadab yang pantang dilakukan para ksatria juga bertindak kejam dan erampok hak milik orang lain. Kalau pantangan ini dilanggar, maka perjuangan takkan diridhoi dan diberkahi Gusti Allah dan dapat menjadi gagal. Gusti Sultan Agung sendiri pasti tidak suka melihat pebuatan jahat seperti itu dan kalau perbuatan kalian ini diketahui, kalian pasti akan dihukum berat!"

   "Ampunkan kami.....

   "

   "Sudah, pergilah dan laporkan kepada atasanmu bahwa aku tidak setuju dengan tindakannya menculik wanita. Hal ini hanya akan membuat kumpeni menjadi marah dan mereka akan lebih siap siaga sehingga akibatnya malah merugikan kita sendiri."

   "Baik, kami menaati perintah. Akan tetapi nona ini..."

   "Akan kuantarkan ia kembali ke rumahnya."

   Kata Aji.

   Dua orang itu saling pandang dengan bingung, akan tetapi mereka tidak berani membantah. Aji merasa bahwa kalau dia dan gadis Belanda itu naik kereta, pasti akan menarik perhatian para petugas Kumpeni, maka dia memutuskan untuk berjalan kaki saja. Kepada dua orang itu dia berkata.

   "kalian boleh membawa kereta dan kudanya, serahkan kepada atasan kalian agar dapat dimanfaatkan."

   Dua orang itu tampak kegirangan sekali. Mereka membungkuk-bungkuk dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Akan tetapi sebelum mereka menghampiri kereta, Aji berkata kepada mereka dengan suara membentak.

   "Lihat ini."

   Dua orang itu terkejut dan menoleh, memandang kepada Aji yang menghampiri sebatang pohon cemara yang besarnya sama dengan pinggang orang dewasa. Dia mengayun tangan kanannya ke arah batang pohon itu.

   "Wuuuttt..... krakkkk!"

   Pohon cemara itu tumbang dengan suara gaduh.

   "Nah, kalau kelak aku mendengar kalian masih suka mengganggu wanita dan memperkosa, kaki kalian akan kupatahkan seperti batang pohon ini!"

   Dua orang itu terbelalak dan wajah mereka pucat, tubuh mereka menggigil.

   "kami tidak berani..... tidak berani.....

   "

   Kata mereka tanpa berani melangkahkan kaki mereka.

   "Nah, pergilah!"

   Bentak Aji. Barulah mereka berani naik ke kereta kemudian membalapkan kereta meninggalkan tempat itu.

   Aji mendengar suara orang bergerak di sebelah kirinya. Dia melihat gadis Belanda itu mencoba untuk bangkit bediri, akan tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang tubuhnya, maka gerakan bangkit berdiri ini agak sukar. Melihat ini, Aji cepat menghampiri dan gadis itu terbelalak, lalu mencoba untuk bergerak menjauh, masih bersimpuh.

   "Tidak......! Jangan..... jangan sentuh aku.....!"

   Aji tersenyum.

   "Jangan takut, nona. Aku tidak ingin mengganggumu, aku hanya ingin membebaskanmu dari ikatan tangan itu."

   Aji mendekat dan sekali tangannya bergerak, tali yang mengikat pergelangan kedua tangan gadis itu terlepas. Gadis itu bangkit berdiri, menggosok-gosok pergelangan kedua tangannya dan memandang kepada Aji, masih ragu dan takut.

   "Nona, sekali lagi, jangan takut, aku tidak akan mengganggumu. Aku bahkan ingin mengantarmu pulang ke Jayakarta."

   Melihat Aji benar-benar tidak mengganggunya dan bersikap sopan, gadis Balanda itu mulai percaya. Apalagi dia tadi melihat sendiri betapa pemuda itu mengalahkan dan mengusir dua orang penculik yang tadi akan memperkosanya.

   "Sobat, kalau engkau benar hendak mengantar aku pulang, kenapa engkau memberikan kereta itu kepada mereka?"

   Tanya gadis itu dengan hati-hati.

   "Mereka itu jahat sekali, kenapa malah diberi hadiah kereta?"

   "Nona, ketahuilah bahwa memang perbuatan dua orang tadi sungguh jahat. Akan tetapi bagaimanapun juga, mereka adalah orang-orang yang berjuang untuk membela tanah air dan bangsa."

   Biarpun merasa rikuh mengingat akan perbuatan dua orang tadi, Aji tetap membela mereka terhadap gadis Belanda ini.

   "Aku sengaja menyerahkan kereta dan kuda agar dapat dipergunakan untuk keperluan perjuangan. Pula, aku hanya dapat mengantarmu pulang ke Jayakarta kalau kita berjalan kaki. Kalau kita naik kereta, tentu akan ditangkap oleh pasukan Belanda."

   "Sobat, benarkah engkau seorang utusan Mataram? Engkau seorang panglima Mataram?"

   Gadis itu kini memandang penuh perhatian, sepasang mata yang kebiruan itu memancarkan kekaguman.

   "Aku hanya seorang pejuang biasa saja."

   "Akan tetapi, kenapa engkau menolongku? Engkau seorang Mataram, dan aku adalah puteri seorang panglima Kumpeni Belanda. Bukankah aku musuh yang harus kaubunuh?"

   Aji tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Kalau engkau seorang perwira atau perajurit Kumpeni Belanda, mungkin aku akan membantu mereka untuk menangkapmu. Akan tetapi kulihat engkau seorang gadis biasa yang tidak ada sangkut pautnya dengan perang. Apalagi aku mendengar tadi engkau mengatakan bahwa engkau dan ibumu tidak menyetujui sikap Kumpeni Belanda."

   "Ah, sobat. Engkau sungguh bijaksana, lain daripada orang-orang yang pernah kukenal dan kutemui. Kalau begitu, maukah engkau menjadi sahabatku, biarpun aku puteri seorang perwira tinggi Belanda?"

   Bagaimana Aji mampu menolak ajakan seorang adis untuk bersahabat? Biarpun gadis ini seorang asing, namun ia dapat bicara bahasa daerah dengan amat baiknya seperti gadis-gadis pribumi, dan ucapannya juga menunjukkan bahwa ia seorang gadis bijaksana. Karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab.

   "Tentu saja aku mau menjadi sahabatmu."

   Gadis itu tersenyum lebar dan Aji melihat wajah yang manis itu tampak cerah dan begitu wajar seperti wajah kanak-kanak.

   "Engkau baik sekali. Nah, perkenalkan, namaku Karen, lengkapnya Karen Van De Vos. Dahulu aku tinggal di Cirebon dengan ayahku, Kapten Van De Vos. Ibuku seorang wanita pribumi dari Tegal dan ibulah yang menyadarkan aku bahwa kumpeni menjalankan politik yang jahat terhadap Nusa Jawa dan ibu selalu mengatakan bahwa para pejuang yang membela Mataram adalah ksatria-ksatria yang gagah perkasa."

   Aji tersenyum mendengar gadis ini memperkenalkan diri dengan keterangan panjang seperti air dari pancuran. Setelah gadis itu berhenti dan agaknya hnedak disambung terus, dia cepat berkata untuk memperkenalkan diri.

   "Aku bernama Lindu Aji. Ibumu benar, nona.....

   "

   "Panggil saja aku Karen."

   Potong Karen cepat.

   "Baiklah, Karen. Ibumu benar. Kami para pejuang membela Mataram berarti membela bangsa dan tanah air dengan taruhan nyawa. Bagaimanapun juga, kami adalah manusia-manusia biasa yang tidak luput daripada cacat. Oleh karena itu, kalau ada satu sua orang yang menyeleweng daripada jalan yang benar seperti dua orang tadi, harap dimaklumi."

   "Tentu saja, aku sudah melupakan hal itu. dengan adanya seorang ksatria seperti engkau yang telah menolongku, maka mudah saja aku memaafkan dua orang tadi. aku percaya bahwa mereka melakukan hal itu hanya karena aku seorang gadis puteri panglima Belanda. Mereka menganggap bahwa berbuat keji terhadap anak musuh buka perbuatan jahat."

   "Ah, engkau memang seorang gadis yang bijaksana, Karen. Engkau tadi mengatakan bahwa engkau tinggal di Cirebon bersama orang tuamu. Kenapa sekarang berada di Jayakarta?"

   "Tadinya ayah bertugas di Cirebon, akan tetapi sekarang dia dipanggil oleh Gubernur Jenderal untuk bertugas di Batavia, mungkin dengan adanya berita bahwa Mataram hendak menyerang Batavia lagi. Kau tahu, ayahku adalah panglima yang mengepalai para telik sandi yang disebar kumpeni di seluruh Nusa Jawa."

   "Aku sudah tahu.....

   "

   Aji menahan kata-katanya yang sudah terlanjur keluar.

   "Ah, engkau telah mengenal ayahku. Aji?"

   Gadis itu menatapnya tajam dengan matanya yang kebiruan. Karena sudah terlanjur bicara, terpaksa Aji mengaku. Gadis ini telah bersikap jujur, menceritakan keadaan yang sebenarnya. Juga sudah tahu bahwa dia seorang pembantu Sultan Agung. Mungkin dari gadis ini dia akan bisa mendapatkan keterangan penting tentang keadaan di Batavia.

   "Aku memang pernah bertemu dengan Kapten De Vos, ketika aku ditawan para mata-mata Kumpeni."

   "Ohh.....! Akan tetapi engkau masih hidup dan sehat! Aji, maukah engkau menceritakan peristiwa itu kepadaku? Aku ingin sekali mengetahui."

   Gadis itu lalu duduk di atas batu dan Aji duduk pula di depannya. Tidak ada salahnya menceritakan

   (Lanjut ke Jilid 28)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 28

   peristiwa itu kepada Karen. Siapa tahu hal itu akan memperkuat kepercayaan Karen kepadanya dan gadis itu mau menceritakan hal-hal penting tentang kumpeni kepadanya.

   "Ketika itu, aku dan Sulastri bertemu dengan gerombolan kaki tangan kumpeni, yaitu Maya Dewi....."

   "Huh, perempuan genit tak tahu malu itu? aku benci padanya! Ayahpun tidak suka, akan tetapi karena ia cerdik dan pandai, maka terpaksa ayah menjadikan ia pembantu."

   Kata Karen.

   "Ada pula Ki Harya Baka Wulung datuk dari Madura, Aki Somad tokoh Nusakambangan dan Banuseta. Kami berdua dikeroyok dan karena Sulastri tertawan, terpaksa aku menyerah karena mereka mengancam akan membunuh gadis itu. Kami berdua menjadi tawanan.....

   "

   "Nanti dulu, Aji. Siapa gadis yang bernama Sulastri itu?"

   "Sulastri? Ia seorang pendekar wanita muda dari Dermayu. Kami berkenalan ketika saling bertemu membantu pamannya yang diserang orang-orang jahat, diantaranya Nyi Maya Dewi dan Aki Somad yang menjadi kaki tangan Kumpeni itu. Lalu kami melakukan perjalanan bersama dan seperti kuceritakan tadi, kami berdua ditawan oleh gerombolan kaki tangan Kumpeni."

   "berapa usianya?"

   Kembali Karen memotong dengan penuh keinginan tahu, dan agaknya sama sekali tidak memperhatikan yang lain.

   "Usia Sulastri atau usia siapa?"

   "Naturlijk (tentu saja) usia Sulastri itu!"

   Kata Karen tidak sabar. Aji merasa heran mengapa gadis Belanda ini memperhatikan Sulastri?

   "Usianya? Hemm, kalau tak salah kurang lebih delapan belas tahun."

   "Sebaya denganku kalau begitu, hanya selisih sedikit. Bagaimana wajahnya?"

   "Wajahnya? Bagaimana, ya? Kalau tidak salah bulat...... eh, bulat telur mungkin, ahh..... aku tidak dapat menggambarkan wajah orang."

   "Ben je zo dom, Aji? (begitu bodohkah kamu, Aji?)"

   Saking jengkelnya, Karen sampai lupa dan berkata dalam bahasa Belanda.

   "Hee, apa..... apa yang kau katakan itu, Karen?"

   "Oh, anu, Aji. Aku tidak minta engkau menggambarkan bagaimana wajah Sulastri. Aku hanya ingin tahu apakah ia cantik?"

   "O, begitu? Kalau tentang cantik, ya, memang ia gadis yang cantik sekali."

   Kata Aji terus terang karena memang dia menganggap bahwa Sulastri adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia baginya.

   "O, ya? Coba engkau pandang aku, Aji dan katakan, siapa yang lebih cantik antara aku dan Sulastri?"

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Aji memandang wajah gadis Belanda itu. Rambut gadis itu berwarna kuning emas berombak dan panjang sampai ke punggung. Alisnya agak gelap warnanya, kehitaman, sepasang matanya berwarna kebiruan dan indah sekali, hidungnya tidak semancung orang Belanda, juga bibirnya memiliki keindahan seperti bibir gadis pribumi. Kulitnya memang putih mulus, akan tetapi juga tidak bule seperti kulit orang Belanda. Gadis berayah Belanda dan beribu Jawa ini memang manis sekali.

   

   "Bagaimana, Aji? Jawablah terus terang saja, aku tidak akan marah kalau engkau menjawab sejujurnya. Aku B malah tidak suka kalau jawabanmu itu hanya untuk menyenangkan hatiku."

   "Karen, engkau adalah seorang gadis yang menarik sekali, engkau cantik dan manis, walaupun kecantikanmu itu agak asing bagiku. Kecantikanmu berbeda dengan kecantikan Sulastri, akan tetapi engkau juga cantik sekali hingga sukar bagiku untuk membandingkan antara engkau dan Sulastri."

   Karen mengangguk-angguk dan tersenyum manis.

   "Aji, engkau tentu amat mencinta Sulastri, bukan?"

   Mata kebiruan itu menatap wajah Aji penuh selidik. Aji terkejut. teringatlah dia kepada Sulastri dan hatinya terasa tidak enak sekali. Dia teringat akan hubungan yang mesra antara Sulastri yang kehilanan ingatan dan merasa dirinya sebagai Eulis itu dengan Jatmika.

   "Karen, bagaimana engkau dapat menduga begitu?"

   "Mudah saja, Aji. Engkau membelanya mati-matian. Ketika ia ditawan, engkau lalu menyerahkan diri kepada musuh hanya untuk mencegah Sulastri dibunuh. Itu berarti engkau amat mencintainya dan siap membelanya dengan taruhan nyawa!"

   Aji menghela napas panjang.

   "Sudah menjadi kewajiban seorang untuk membela dan menolong siapa saja, Karen. Bukankah tadi aku juga membelamu?"

   "Kalau begitu, engkau..... engkau tidak cinta padanya?"

   Gadis itu mendesak, matanya berbinar-binar.

   "Sulastri adalah sahabat baikku, Karen, bahkan ia masih terhitung saudara seperguruanku. Aku tentu saja amat suka kepadanya, akan tetapi tentang cinta..... aku tidak tahu."

   Karen tersenyum, tampaknya girang sekali.

   "Sudahlah, sekarang lanjutkan ceritamu, bagaimana engkau dapat bertemu dengan Kapten De Vos, ayahku."

   "Setelah aku dan Sulastri tertawan oleh gerombolan mata-mata Kumpeni itu, kami dibawa ke ruah Ki Warga yang agaknya menjadi seorang pemimpin mata-mata Kumpeni....."

   "Warga? Si keparat itu! Ibu dan aku benci sekali kepada pengkhianat bangsanya itu! Dia memang membantu ayahku. lalu bagaimana?"

   "Kami lalu dibawa ke sebuah kapal yang berlabuh di pantai tegal dan di sana kami bertemu dengan Kapten De Vos."

   "Ah, aku benci melihat pekerjaan ayahku! Kalau dia menjadi soldat (serdadu) di Belanda dan membela Negeri Belanda dari ancaman musuh, aku bangga. Akan tetapi di sini dia membantu Kumpeni yang hendak menguasai tanah air bangsa lain! Bangsa ibuku. Bangsaku juga! Aku benci!"

   "Hemm, yang bersalah adalah pemerintahnya, Karen. Ayahmu hanya melaksanakan tugas sebagai seorang perajurit yang harus tunduk kepada perintah atasannya."

   "Ya, ya! akan tetapi aku tetap benci. lalu bagaimana engkau yang sudah menjadi tawanan dapat lolos dengan selamat?"

   "Karena kami terancam maut, maka terpaksa kami menggunakan akal. Dalam suatu kesempatan, aku berhasil menawan Kapten De Vos dan setelah menyandera dia, maka kami berdua dapat memaksa dia untuk melarang anak buahnya bergerak. Kami membawanya dengan perahu dan melarikan diri ke pantai. Kami paksa Kapten De Vos untuk ikut dengan kami sebagai sandera. Setelah jauh, aku lalu membebaskan Kapten De Vos dan kami berdua melarikan diri."

   "Oh, Aji. Demikian luhur budimu. Demikian bijaksana. Engkau telah ditangkap oleh ayah, sebaliknya engkau membebaskannya dan kini engkau malah menyelamatkan aku dari bencana yang mengerikan! Ah, Aji, biar aku menyatakan terima kasihku yng tak terhingga kepadamu!"

   Setelah berkata demikian, saking haru dan gembiranya, Karen menghampiri dan merangkul leher Aji, kemudian ia mencium pemuda itu, Dua kali di pipi kanan kiri dan sekali dikecupnya bibir pemuda yang saking kagetnya tak mampu berbuat apa-apa itu. Setelah bibir yang basah dan panas itu mencium bibirnya, baru Aji terkejut dan dengan lembut dia bangkit berdiri dan melepaskan rangkulan Karen.

   "Jangan begini, Karen."

   Katanya, wajahnya berubah merah sekali karena selama hidupnya belum pernah dia mengalami hal seperti yang dirasakannya tadi.

   "Kenapa, Aji?"

   "Ini..... ini tidak baik dan tidak wajar.....

   "

   "Kenapa tidak baik? Aku berterima kasih kepadamu, Aji dan aku..... aku suka sekali kepadamu, kagum padamu, bahkan sekiranya aku diberi kesempatan, aku akan mudah jatuh cinta kepadamu."

   "Sudahlah, Karen, engkau membikin aku bingung. Mari kuantar engkau pulang."

   Karen memegang tangan Aji dan dengan bergandeng tangan mereka lalu berjalan menuju Batavia. Aji membiarkan saja tangan kirinya digandeng. Dia maklum bahwa gadis ini bermaksud baik, walaupun kebaikan itu diujudkan dengan cara yang terlalu mesra dan terlalu janggal baginya. Tangan gadis itu begitu lembut, begitu hangat dan disepanjang perjalanan, Aji merasa jantungnya berdebar. Dia membayangkan betapa akan bahagia rasa hatinya kalau yang menggandengnya itu Sulastri! Dan tiba-tiba saja sadarlah dia sekarang bahwa sesungguhnya dia memang mencinta Sulastri, seperti yang dikatakan Karen tadi.

   Mereka berjalan tanpa berkata-kata, akan tetapi Aji merasa betapa telapak tangan Karen kadang-kadang memegang tangannya dengan erat dan terasa getaran keluar dari telapak tangan itu. Tanpa kata, namun semua itu, tekanan tangan, getaran telapak tangan, lalu pandang mata yang mengerling tajam kepadanya, senyum itu, semua itu menjadi isyarat yang jelas sekali bagi Aji. Gadis Belanda ini tidak berpura-pura ketika mengatakan bahwa ia amat suka, kagum dan mungkin mencinta kepadanya. Dan agaknya Karen juga berjalan lambat, enggan bercepat-cepat seolah hendak memperpanjang waktu berdua bersama Aji.

   "Karen, dapatkah engkau menceritakan kepadaku tentang keadaan di benteng Kumpeni itu? Bagaimana kekuatan Kumpeni dan bagaimana pula persenjataan mereka?"

   "Ohh, Aji. Ngeri aku membayangkan engkau akan ikut pula dengan pasukan Mataram menyerbu dan berperang melawan pasukan Kumpeni Belanda. Tentu saja aku tidak ingin menjadi pengkhianat bangsa ayahku sendiri....."

   Aji menghela napas panjang. Ucapan ini bahkan menambah kekagumannya terhadap Karen.

   "Kalau engkau engkau tidak ingin menceritakan, akupun tidak memaksamu untuk berkhianat kepada bangsamu, Karen."

   "Akan tetapi, dalam hati kecilku aku berpihak kepada bangsa ibuku. Baiklah, akan kuceritakan karena ceritaku ini juga tidak akan mempengaruhi keadaan dan apa yang kuketahui sedikit sekali, Aji. Dari ayahku aku mendapat tahu bahwa pihak kumpeni telah mengetahui rencana Mataram untuk melakukan penyerbuan yang kedua kalinya terhadap benteng Belanda di Batavia. Karena itu, pasukan Kumpeni sudah membuat persiapan yang amat kuat. Meriam-meriam baru sudah didatangkan dan dibariskan di atas benteng, menghadap ke empat penjuru. Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen sendiri yang mengatur sendiri barisan. Aku melihat pasukan-pasukan tambahan berdatangan. belum lagi kapal-kapal besar dengan pasukan dan meriam-meriamnya. Aku mendengar belum lama ini ada lima buah kapal besar lagi datang memperkuat dan sekarang sudah berjaga di lautan dekat pantai. Ah, keadaan mereka kuat sekali, Aji. Laporkanlah kepada Sultan Agung agar berhati-hati, jangan sampai mengalami kehancuran yang kedua kalinya."

   "Terima kasih atas keteranganmu, Karen. Akan tetapi, beritahukanlah kepadaku di mana adanya gudang ransum Kumpeni. Kalau kami dapat menguasai gudang ransum itu, tentu keadaan mereka menjadi lemah kehabisan ransum."

   "Setahuku, ransum untuk pasukan berada dalam tiga buah gudang ransum yang berada di benteng. Akan tetapi, aku mendengar bahwa mereka juga mempunyai persediaan ransum yang mereka simpan di dalam kapal-kapal perang."

   Aji mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya baik sekali. Kalau saja dia dapat membakar gudang-gudang ransum itu! Setidaknya tentu akan mengacaukan dan melemahkan pertahanan mereka, pikirnya.

   "Karen, engkau sudah tahu siapa aku. Aku adalah seorang telik sandi Mataram dan aku adalah utusan Sultan Agung untuk menentang Kumpeni. Maukah engkau menunjukkan kepadaku di mana adanya tiga buah gudang ransum itu berada?"

   "Aji! Mau apa engkau menanyakan gudang-gudang itu?"

   "aku ingin membakarnya, untuk melemahkan pertahanan Kumpeni."

   Kata Aji terus terang.

   "Ohhh.....!!"

   "engkau tidak mau, Karen?"

   "Bukan, bukan tidak mau. Akan tetapi hal itu berbahaya sekali, Aji. Kalau engkau ketahuan, biar aku sendiripun kiranya tidak akan mampu membela dan melindungimu dari hukuman mati!"

   "Aku akan hati-hati dan berusaha agar jangan sampai ketahuan atau tertangkap. Asal engkau dapat membawaku masuk ke dalam benteng."

   "Hemm, hal itu mudah, akan tetapi berbahaya sekali. Aku harus menjaga agar engkau tidak dapat terlihat ayah dan para penbantunya yang pernah melihatmu. Kalau mereka melihat dan mengenalmu, tentu engkau akan ditangkap."

   "Kukira mereka tidak akan berada di pintu gerbang, Karen. Para serdadu yang berjaga di pintu gerbang tidak akan mengenalku. Kita tunggu sampai lewat senja, baru memasuki benteng agar dalam kegelapan tidak mudah mengenal mukaku."

   "Baiklah, Aji, aku akan berdoa untuk keselamatanmu. Kalau sampai terjadi apa-apa denganmu, kalau sampai engkau tertimpa bencana, aku akan merasa sedih sekali."

   Mereka berjalan lagi dan tiba di kota setelah menjelang senja. sengaja mereka menanti sampai lewat senja dan cuaca menjadi remang-remang. Mereka berdiri di luar benteng, di tempat yang gelap.

   "Bawa aku masuk ke benteng dan kita nanti berpisah setelah dapat memasuki benteng dengan selamat."

   Bisik Aji.

   "Hal itu mudah, jangan khawatir. Akan tetapi, setelah kita saling berpisah, aku...... aku akan selalu gelisah sekali memikirkanmu."

   "Aku akan berhati-hati."

   Mereka lalu menuju ke pintu gerbang. Aji sudah menggunakan tanah untuk membedaki dahi, pipi, dan dagu sampai leher. Dua orang serdadu menyambut mereka dengan bedil ditodongkan. Akan tetapi begitu melihat Karen, mereka cepat berdiri tegak.

   "Selamat malam. nona!"

   Kata seorang dari mereka dalam bahasa Belanda.

   "Selamat malam. Biarkan kami masuk."

   "Tetapi, orang ini..... ?"

   "Jangan khawatir. Dia ini yang menolong aku ketika keretaku dirampok. Aku akan membawa dia menghadap ayah. Minggir dan jangan ganggu dia!"

   "Siap, nona!"

   Dua orang serdadu itu memberi jalan dan berdiri tegak, memberi hormat kepada puteri kapten itu. Karen lalu mengajak Aji memasuki pintu gerbang dan Aji melihat betapa benteng itu luas sekali. Banyak bangunan terdapat dalam benteng yang dikelilingi tembok tinggi. Di atas tembok yang tinggi dan lebar itu terdapat serdadu-serdadu yang berjaga dan tampak berjajar-jajar. Dia sudah diberitahu oleh Karen bahwa tiga buah gudang ransum itu berada di ujung barat benteng. Mereka lalu berjalan dan Karen mengajak Aji ke bawah sebuah pohon rindang sehingga mereka tertelan kegelapan bayangan pohon.

   "Di sana kita berpisah. Gudang itu berada di sana. Engkau dapat mencapainya dengan jalan menyusup antara pohon-pohon itu."

   Karen menunjuk.

   "Baik, aku dapat mencarinya. Kita berpisah di sini, Karen dan sekali lagi terima kasih."

   Aji hendak melangkah, akan tetapi Karen memegang tangannya.

   "Aji.....!"

   "Ya..... ?"

   "Hati-hatilah, Aji. aku tidak ingin kehilangan engkau......

   "

   "Aku akan berhati-hati.....

   "

   "Aji.....

   "

   Karen merangkul leher Aji, menariknya dan ia mencium dengan mesra, tidak perduli akan muka pemuda itu yang kotor karena dilumuri tanah. Terpengaruh keharuan dan kemesraan dalam ciuman itu, Aji membalas.

   "selamat tinggal, Karen."

   "Jangan selamat tinggal, selamat berpisah untuk sementara, Aji."

   Aji melepaskan rangkulan mereka dan tubuhnya berkelebat cepat, menghilang dalam kegelapan malam. Karen bergegas menuju ke bangunan besar di mana orang tuanya tinggal dan ketika Karen muncul di ruangan depan, Kapten Van De Vos yang sedang bercakap-cakap dengan Banuseta dan Hasanudin, bangkit dan mengerutkan alisnya.

   "Karen! Ke mana saja engkau pergi? Dari tadi kami mencarimu dan engkau tidak berada dalam kota!"

   Kapten De Vos yang bertubuh tinggi kurus itu memandang puterinya dan melihat pakaian Karen yang kusut dan agak kotor.

   "Apa yang terjadi denganmu?"

   Agar tidak menimbulkan curiga dalam hati ayahnya, Karen lalu menghampiri aayahnya dan dengan manja merangkul pinggang ayahnya.

   "Ohh, ayah. Banyak yang terjadi denganku. Aku bahkan hampir mati. Ohh, mengerikan sekali."

   Mendengar ini sang kapten terkejut, demikian pula Banuseta dan Hasanudin. Raden Banuseta memang sudah lama menjadi telik sandi Kumpeni, dan dia berhasil membujuk Hasanudin untuk membantu pula. Bagaimana mungkin Hasanudin yang sejak beberapa tahun yang lalu telah menjadi murid seorang sakti seperti mendiang Ki Tejo Langit kini dapat menjadi seorang yang dapat terbujuk menjadi antek Belanda?

   Hal ini sebenarnya tidak aneh. Sejak kecil, Hasanudin adalah seorang yatim piatu yang kurang pendidikan orang tua dan terjerumus dalam pergaulan sesat. Dia bahkan kemudian menjadi murid Ki Somad, datuk yang condong memusuhi Mataram itu. Memang akhirnya, empat tahun yang lalu, dia betemu Ki Tejo Langit dan menjadi muridnya sehingga selain ilmu kanuragan, diapun menerima penggemblengan batin yang membuat dia kembali ke jalan benar, meninggalkan kejahatan.

   Namun pertahanan hati nuraninya masih lemah. Banuseta mengambil cara yang cerdik. Maklum akan kelemahan Hasanudin, dia sengaja memperkenalkan Hasanudin kepada Karen, gadis jelita puteri Kapten Van De Vos. Begitu diperkenalkan Hasanudin tergila-gila kepada dara itu dan tanpa banyak pikir lagi dia menerima ajakan Banuseta untuk membantu Kumpeni dan mendapat upah besar. Demikianlah, dia membantu Banuseta, bahkan dia menyaksikan betapa Banuseta dan pasukan Kumpeni membunuh Ki Sudrajat dan Ki Tejo Langit. Biarpun dalam hatinya dia tidak setuju menyaksikan pembunuhan atas diri dua orang itu, namun hal itu tidak membuat dia mundur dari pengabdiannya terhadap kumpeni. Semua ini karena dia sudah tergila-gila kepada Karen dan juga karena dia menerima upah besar dan janji-janji muluk dari Banuseta yang dianggapnya sebagai seorang sahabat baik sejak dia masih tinggal di Dermayu.

   Ketika Kapten Van De Vos mendengan ucapan Karen yang manja, dia terkejut dan cepat bertanya.

   "Apa yang telah terjadi?"

   "Ayah, ketika keretaku tiba di tepi kota yang sunyi, tiba-tiba kusir kereta terjungkal keluar kereta dan keretaku sudah dikuasai dua orang, lalu dilarikan keluar kota. Aku tidak mampu berteriak karena mulutku ditutup kain."

   "God verdoome! Siapa mereka itu?"

   Bentak kapten Van De Vos marah sekali.

   "Aku tidak tahu, ayah. Mereka orang-orang kasar yang berusia sekitar empat puluh tahun. ketika mereka saling bicara, yang seorang disebut Mang Kosim dan yang lain disebut Bang Sikun. Mang Kosim bertubuh gendut pendek, dan Bang Sikun sedang, kumisnya panjang. Mereka agaknya hendak membunuhku, akan tetapi untung aku ditolong oleh seorang petani dan dia yang mengantar aku pulang, sedangkan keretanya dilarikan oleh dua orang perampok itu."

   "Ah, begitukah? Siapa penolongmu itu dan di mana dia sekarang?"

   Tanya Kapten Van de Vos.

   "Dia mengantar aku sampai di luar pintu gerbang benteng, lalu pergi lagi, ayah."

   "Siapa namanya?"

   "Aku tidak tahu, dia tidak mengaku, ayah. Ahh, aku lelah sekali karena ketika pulang aku harus berjalan kaki cukup jauh."

   Gadis itu mengeluh.

   "Kalau begitu, pergilah menemui ibumu yang sejak tadi menangis saja memikirkanmu, dan istirahatlah."

   Setelah Karen pergi, kapten Van De Vos lalu berkata kepada dua orang pembantunya itu, terutama kepada Raden Banuseta.

   "Kalian sudah mendengar sendiri cerita Karen tadi. Karena Maya Dewi dan para pembantu lain sedang pergi melaksanakan tugas lain, maka kalian berdua harus menyelidiki hal ini. Aku merasa curiga bahwa dua orang perampok yang menculik Noni Karen itu ada hubungannya dengan para mata-mata Mataram. Selidiki mereka dan tangkap atau bunuh saja mereka. Juga penolong itu harus kalian selidiki. Kalau dia bukan orang Mataram, patut diberi hadiah yang cukup."

   "Baik, tuan."

   Kata Raden Banuseta dan bersama Hasanudin dia lalu keluar dari gedung itu.

   "Kita berpencar."kata Banuseta setelah mereka keluar dari gedung tempat tinggal Kapten Van De Vos.

   "Aku akan mengunjungi para anak buah penyelidik dan menyebarluaskan keterangan tentang Kosim dan Sikun itu, dan engkau coba selidiki penolong yang mengantar Nona Karen pulang. Mungkin ada yang melihat mereka memasuki kota tadi."

   Hasanudin mengangguk dan mereka berpencar. Kalau Raden Banuseta pergi mencari para penyelidik yang disebar Kumpeni di kota Batavia untuk menjaga keamanan kota dari para telik sandi Mataram, Hasanudin langsung pergi ke pintu gerbang benteng. Dua orang serdadu yang berjaga di situ mengenalnya sebagai pembantu Kapten Van De Vos. dengan Bahasa Belanda sepatah-sepatah bercampur bahasa daerah, Hasanudin bertanya kepada mereka.

   Dua orang serdadu itu mengangkat pundak lalu menggeleng kepala. dengan bahasa campuran pula seorang di antara mereka menjawab.

   "Kami tidak melihatnya. Kami baru saja menggantikan tugas jaga di sini, baru beberapa menit."

   "Siapakah yang bertugas jaga, sebelum kalian?"

   Tanya Hasanudin.

   "Karel dan Jansen."

   Jawab dua orang serdadu itu.

   Setelah mendapatkan jawaban ini, Udin atau Hasanudin segera pergi ke tempat penampungan para serdadu. Setelah bertemu dengan Karel, karena Jansen masi tidur, dia segera bertanya apakah Karel melihat Karen memasuki pintu gerbang benteng.

   "Ya, aku melihat ia pulang."

   "Seorang diri?"

   "Tidak, dia diantar seorang laki-laki petani yang kotor."

   "Dan kemana perginya petani itu?"

   Tanya Hasanudin.

   "Dia ikut memasuki benteng bersama Nona Karen dan menurut Nona Karen, orang itu akan menolongnya ketika ia dirampok dan ia hendak menghadapkan orang itu kepada Kapten Van De Vos. Apakah yang terjadi?"

   

Mestika Burung Hong Kemala Karya Kho Ping Hoo Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini