Ceritasilat Novel Online

Alap Alap Laut Kidul 9


Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo Bagian 9



"Anakmas Aji, sungguh tak kusangka engkau yang semuda ini memiliki pandangan seluas itu. Akan tetapi, kiranya tidak dapat disangkal bahwa seorang pemuda setampan dan segagah engkau tentu mempunyai daya tarik kuat bagi wanita dan aku dapat merasakan bahwa isteriku tentu kagum dan suka kepadamu."

   Ucapan ini sama sekali tidak mengandung amarah atau curiga, membuktikan bahwa dia tidak lagi dipengaruhi cemburu.

   "Suka dan tertarik kepada orang lain, apalagi yang berlawanan jenis, merupakan hal yang wajar, paman. Akupun mengaku bahwa aku tertarik, suka dan kagum kepada Mbakyu Winarsih, seperti aku akan kagum terhadap seseorang atau sesuatu yang indah, baik dan menarik perhatian menimbulkan kagum. Mungkin saja Mbakyu Winarsih suka dan kagum kepadaku karena aku telah menyelamatkannya dari tangan orang-orang jahat. Apa salahnya dengan rasa kagum dan suka itu, paman? Kita adalah manusia, mahluk beradab yang dibatasi oleh tata susila dan tata hukum. Rasa kagum dan suka kita itu terbatas oleh kesusilaan dan hukum, tidak mendorong kita untuk memiliki apa yang kita kagumi dan sukai, apalagi kalau yang kita sukai dan kagumi itu telah menjadi milik orang lain.

   Kalau aku kagum melihat bunga yang indah dan timbul rasa suka, bukan berarti aku ingin memetik dan memilikinya, apalagi kalau bunga itu menjadi milik orang lain. Bukan rasa suka dan kagum, melainkan nafsu binatanglah yang mendorong orang melakukan penyelewengan. Coba paman renungkan lalu jawab dengan sejujurnya. Apakah paman tidak akan tertarik melihat wanita lain yang cantik, pandai, bijaksana dan memiliki sifat-sifat baik lain yang mengagumkan? Apakah paman tidak akan menjadi kagum dan suka?"

   Ki Sumali memejamkan kedua matanya, mengerutkan alisnya, lalu tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Nah, itu jujur namanya. Laki-laki melihat wanita cantik menarik menjadi kagum dan suka atau sebaliknya wanita melihat pria tampan menarik menjadi kagum dan suka adalah suatu perasaan yang wajar dan sama sekali tidak perlu menjadikan malu. Kalau ada pria atau wanita mengaku bahwa dia tidak tertarik melihat lawan jenisnya yang mengagumkan, maka dia itu berbohong atau tidak normal. Suka dan kagum bukan berarti lalu menuruti nafsu dan menyeleweng. Semua itu tergantung pada pribudi manusianya, paman. siapa sih yang tidak akan tertarik melihat sesuatu, baik manusia atau benda, yang indah mengagumkan?"

   Ki Sumali tersenyum lebar, senyum lega dan menandakan bahwa hatinya terbuka dan pandang matanya kepada isterinya penuh kasih sayang dan pengertian. Betapapun juga, dia masih belum puas akan kebenaran yang telah dilihatnya, mengingat apa yang dialami dan dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat.

   "Akan tetapi, anakmas Aji. Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, orang condong mengatakan bahwa kalau orang mudah tertarik melihat wanita cantik, dia disebut sebagai mata keranjang. Bagaimana ini?"

   "Aku juga mendengar akan sesuatu itu, paman. Kukira sebutan itu hanya patut diberikan kepada seorang pria yang menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri. Kalau seorang pria suka dan kagum melihat wanita yang menarik, lalu menyimpan rasa suka dan kagum itu dalam hati maka hal itu adalah wajar saja. Akan tetapi kalau rasa suka dan kagum itu lalu menimbulkan nafsu berahi dan mendorongnya untuk melakukan usaha untuk mendapatkan wanita itu sebagai pelampiasan nafsunya, maka pria seperti itulah yang pantas disebut mata keranjang. demikian pula kebalikannya dengan wanita. bukankah kaupikir demikian, paman?"

   Kembali Ki Sumali mengangguk-angguk.

   "Sungguh heran! Aku, laki-laki berusia lima puluh empat tahun yang banyak pengalaman, mendengarkan kebenaran ini keluar dari mulut seorang pemuda remaja seperti engkau, Anakmas Aji."

   "Kakang Sumali dan Dimas Aji, kalian ini bagaimana sih? Bercakap-cakap di tengah hutan. Kakang, apakah tidak sebaiknya kalau kita undang Adimas Aji berkunjung ke rumah kita di mana kalian dapat bercakap-cakap lebih leluasa dan enak?"

   "Ah, engkau benar sekali, diajeng! Aku masih ingin bercakap-cakap lebih banyak dengan Anakmas Aji. Mari, anakmas, kami persilakan anakmas berkunjung ke gubuk kami. Perkenalan ini harus dipererat!"

   Aji tidak dapat menolak. Mereka bertiga keluar dari hutan. Winarsih dibantu suaminya naik ke atas punggung kuda dan dua orang pria itu berjalan kaki.

   Rumah Ki Sumali cukup besar bagi keluarga yang belum mempunyai anak itu. Yang tinggal di situ hanaya mereka berdua, seorang pelayan wanita setengah tua dan seorang pelayan pria juga mengurus kebun mereka. Hari telah menjelang senja ketika mereka tiba di rumah Ki Sumali. Aji dipersilakan mandi. Setelah mereka semua mandi dan menikmati hidangan makan malam, Ki Sumali dan Winarsih lalu mengajak Aji bercakap-cakap di ruangan dalam. Aji sudah dibujuk suami isteri itu untuk menginap di rumah mereka dan pemuda itu tidak dapat menolak keramahan mereka.

   "Nah, sekarang kita dapat mengobrol dengan enak. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin sekali mengenalmu lebih baik lagi dan mengetahui banyak tentang dirimu. anak mas Lindu Aji, kami hanya mengetahui bahwa engkau adalah seorang pemuda yang sakti mandraguna, berbudi mulia dan sebegini muda telah menjadi kepercayaan Gusti Sultan Agung sehingga diberi Pusaka Kyai Nagawelang. Akan tetapi kami tidak mengetahui siapa sebenarnya engkau, anak mas, dari mana asalmu, siapa orang tuamu dan siapa pula gurumu yang mulia? Maukah engkau menceritakannya kepada kami?"

   "Saya anak dusun, hidup bersama ibu yang telah menjadi janda di pantai Laut Kidul, dusun Gampingan. Guru saya juga sudah meninggal dunia, nama mendiang guru saya Ki Tejobudi. Pada suatu hari, secara kebetulan saya bertemu dengan Gusti Puteri Wandansari yang berkelahi dengan orang-orang jahat yang sakti mandraguna. Setelah saya mengetahui bahwa wanita itu adalah Sang Puteri yang namanya sudah saya dengar, saya langsung membantunya dan akhirnya orang-orang jahat itu dapat dikalahkan. Gusti Puteri Ratu Wandansari mengajak saya menghadap Gusti Sultan Agung dan saya dianugerahi pusaka ini, paman."

   Keterangan Aji itu singkat saja karena memang dia tidak ingin banyak bercerita tentang dirinya. akan tetapi agaknya keterangan itu, terutama sekali mendengar bahwa Aji pernah membantu Ratu Wandansari dan menghadap Sultan Agung, membuat Ki Sumali tampak bersemangat dan gembira.

   "Sungguh pertemuanku dengan engkau ini merupakan berkah dari Gusti Allah, anak mas Aji! Bukan saja engkau telah menyelamatkan isteriku dari bencana, akan tetapi agaknya Gusti Allah mengirim engkau datang untuk membantu aku menghadapi musuh-musuhku, Kuharap engkau tidak menolak kalau aku minta bantuanmu untuk menghadapi musuh-musuhku, anak mas Aji."

   Aji mengerutkan keningnya.

   "Paman, maafkan aku. Kalau paman mempunyai musuh-musuh, aku tidak dapat mencampuri. Aku tidak tahu, siapa musuh paman itu dan apa urusannya dengan paman. Bagaimana aku dapat mencampuri urusan pribadi paman dan ikut-ikut memusuhi orang-orang yang aku tidak mengenalnya sama sekali?"

   "Ha-ha-ha, aku mengerti apa yang kau pikirkan, anak mas Aji. Aku tidak menyalahkanmu. Memang sudah sepatutnya kalau engkau meragu dan menolak permintaan bantuanku karena engkau tidak mengenal siapa musuh-musuhku dan apa kesalahan mereka. Engkau tentu tidak mau salah tindak dan memusuhi orang-orang yang tidak berdosa. Baiklah kuceritakan persoalannya dan setelah engkau mendengar ceritaku, baru engkau boleh memutuskan apakah engkau mau membantuku menhadapi mereka atau tidak."

   Ki Sumali lalu bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Lindu Aji.

   Ki Sumali adalah penduduk asli Loano dan sejak dilahirkan dia tinggal di Loano. Akan tetapi sejak mula dia suka berkelana dan mempelajari ilmu-ilmu kanuragan sehingga dia terkenal sebagai pendekar Loano yang disegani dan dohormati banyak orang. Dia selalu menolong yang lemah dan menentang yang jahat. Ketika Loano pada suatu ketika diserbu bajak sungai, Ki Sumali seorang diri membela dan mengamuk, menewaskan banyak anggauta gerombolan bajak dan perampok. Dalam peristiwa itu dia menyelamatkan seorang perawan dusun yang diculik gerombolan.

   Perawan itu adalah Winarsih yang ketika itu berusia delapan belas tahun. Sejak itu nama Ki Sumali menjadi makin terkenal. dan yang merupakan hadiah terbesar bagi Ki Sumali adalah Winarsih yang jatuh cinta kepadanya karena pertolongan itu. Winarsih yang berusia delapan belas tahun itu dengan suka rela dan senang hati menjadi isterinya padahal waktu itu usianya sudah lima puluh satu tahun. Ki Sumali yang tadinya seorang perjaka tua itu menikmati kebahagiaan berumah tangga dengan isterinya tersayang.

   Ki Sumali yang namanya terkenal itu masih juga belum puas dengan ilmu kanuragan yang telah dikuasainya. Dia masih ingin memperdalam ilmunya. Untuk ini dia mengadakan hubungan dengan orang-orang yang memiliki kedigdayaan untuk bertukar pikiran dan menambah pengalaman. Satu di antara kenalannya adalah Aki Somad, seorang pertapa yang sakti mandraguna dan berdiam di Nusa Kambangan.

   Perkenalannya dengan Aki Somad yang berusia enam puluh tahun itu memperkaya ilmu kanuragan yang dimiliki Ki Sumali. Biarpun mereka bersahabat, namun karena banyak yang dipelajarinya dari Aki Somad, maka Ki Sumali menganggap Aki Somad seperti seorang gurunya. Akan tetapi persahabatan itu menjadi agak renggang, atau lebih tepat lagi, Ki Sumali yang sengaja menjauhkan diri setelah melihat betapa Aki Somad menjalin hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra yang dikenal oleh penduduk sebagai gerombolan yang condong untuk memusuhi Mataram. Padahal, Gerombolan Gagak Rodra inilah yang dulu, tiga tahun yang lalu, pernah menyerbu dusun Loano. Ketika pada suatu hari dia melihat beberapa orang anggauta gerombolan itu berada di Nusa Kambangan, mengantarkan bahan makanan dan barang-barang berharga untuk Aki Somad, Ki Sumali merasa tidak senang dan dia tidak pernah lagi mengunjungi Aki Somad yang tadinya dia anggap sebagai sahabat, bahkan sebagai guru itu.

   Pada suatu hari, kurang lebih sebulan sebelum pertemuannya dengan Aji, Ki Sumali kedatangan tamu. Yang datang itu bukan lain adalah Aki Somad. Kakek berusia sekitar enam puluh tahun ini bertubuh kurus dan agak bongkok, tangan kanannya selalu memegang sebatang tongkat dari ular kering. Mukanya meruncing ke depan seperti muka kuda, matanya yang sipit itu bersinar tajam penuh wibawa. Pakaiannya serba hitam dan berkalung sarung yang masih baru. Kedua lengannya mengenakan gelang akar bahar hitam dan jari-jari tangannya penuh cincin bermata akik yang besar-besar.

   Ki Sumali dan Winarsih yang sudah tiga tahun menjadi isterinya menyambut Aki Somad dengan hormat. Diam-diam Winarsih yang baru sekali itu berjumpa dengan Aki Somad, merasa ngeri melihat betapa sinar mata kakek itu menggerayangi tubuhnya dengan genit dan nakal. Akan tetapi melihat suaminya amat menghormati kakek itu, iapun bersikap ramah dan hormat.

   "Heh-heh, Adi Sumali. Inikah isterimu yang kabarnya masih amat muda itu? Hemm, engkau benar-benar beruntung, mendapatkan isteri yang muda, bahenol dan cantik!"

   Kakek itu terkekeh.

   Ki Sumali tersenyum dan tidak merasa tersinggung karena dia mengenal sahabat yang juga dianggap gurunya ini memang seorang yang berwatak terbuka sehingga kadang-kadang terdengar kasar dan kurang ajar. Akan tetapi Winarsih menjadi sebal, mukanya berubah merah dan ia lalu mengundurkan diri, tidak mau keluar lagi. Bahkan ketika menyuguhkan hidangan, ia menyuruh Mbok Ginah, pembantu yang baru dua bulan bekerja kepadanya, untuk membawa hidangan itu ke ruangan tamu. Mbok Ginah yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu bekerja bersama suaminya, Pak Karto yang menjadi tukang kebun dan terkadang juga bekerja di ladang mereka. Suami isteri tua ini tadinya memasuki Loano sebagai orang-orang yang terlantar meninggalkan kampung halaman di tepi sungai Bogawanta yang kebanjiran. Ki Sumali menampung mereka yang sedang menderita itu dan menerima mereka sebagai pembantu.

   "Kakang Somad, angin apakah yang meniup kakang berkunjung ke gubuk kali ini?"

   Tanya Ki Sumali setelah mempersilahkan tamunya minum.

   "Terus terang saja, saya agak kaget menerima kunjungan kakang yang saya tahu tidak pernah meninggalkan Nusa Kambangan."

   "Heh-heh, benar apa yang kau katakan itu, Adi Sumali. Memang, kalau tidak karena urusan penting sekali, aku tidak pernah mau meninggalkan Nusa Kambangan. Akan tetapi, kedatanganku ini membawa urusan yang penting sekali. Aku ingin mengajak engkau untuk bekerja sama, atau lebih tepat lagi, aku ingin minta bantuanmu."

   "Kerja sama? Bantuan? Saya akan merasa senang sekali kalau dapat membantumu, kakang. Katakanlah, urusan penting apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"

   "Begini, Adi Sumali. Engkau tentu sudah mendengar akan sepak terjang Sultan Agung di Mataram yang penuh angkara murka itu! Dia menggunakan kekerasan menaklukkan seluruh kabupaten dan kadipaten yang berada di JawaTimur, bahkan telah menaklukkan Madura, Surabaya dan Giri! Tentu engkau sudah mendengar akan hal itu, bukan?"

   Ki Sumali mengangguk-angguk, akan tetapi sepasang alisnya berkerut.

   "Tentu saja saya sudah mendengar bahwa Mataram telah berhasil menundukkan seluruh kadipaten di Jawa timur, Madura, Surabaya dan Giri, Kakang Somad. Akan tetapi yang saya ketahui, hal itu dilakukan Kanjeng Gusti Sultan Agung sama sekali bukan karena sifat angkara murka. Beliau menghendaki agar seluruh kadipaten di Nusantara ini bersatu padu untuk menghadapi ancaman yang berbahaya yaitu Kumpeni Belanda. Tanpa adanya persatuan, kiranya tidak mungkin untuk dapat mengusir Balanda dari Nusantara."

   "Heh-heh-heh, agaknya engkau juga sudah terkena pengaruh Mataram! Ketahuilah, Adi Sumali, semua yang kaukatakan itu sebetulnya hanya merupakan akal licik Sultan Agung saja untuk mencari alasan agar keangkara murkaannya tidak tampak. Dia menggunakan dalih untuk mengusir Belanda. Pada hal, apa sih kesalahan Belanda? Mereka datang untuk berdagang. Kedatangan mereka di Nusantara menguntungkan bangsa kita. Mereka membawa kepandaian yang perlu kita pelajari. Mereka datang membawa kemakmuran karena mereka itu kaya raya. Karena itu, Adi Sumali, kita dapat mempergunakan kepandaian dan kekuatan Belanda untuk membendung keangkara murkaan Sultan Agung di Mataram!"

   "Maksudmu, saya harus berbuat apa, Kakang Somad?"

   Tanya Ki Sumali, menahan perasaan hatinya yang panas mendengar kata-kata yang jelas bernada memusuhi Mataram itu.

   "Begini, Adi Sumali. Kami telah lama membantu pihak Belanda yang berjanji untuk membebaskan

   (Lanjut ke Jilid 10)

   Alap Alap laut Kidul (Seri ke 03 Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 10

   kami dari kekuasaan Mataram. Kami telah berhasil menggagalkan usaha pasukan Mataram yang melakukan penyerangan ke Jayakarta. Untuk itu, Kumpeni Belanda berterima kasih kepada kami dan memberikan banyak hadiah. Akan tetapi, Kumpeni Belanda minta agar kami waspada karena mereka percaya bahwa pihak Mataram tentu akan melakukan penyerbuan lagi. Maka, kami ditugaskan untuk menghimpun tenaga, membujuk para pejabat dan pamong praja di daerah Kadipaten Banyumas dan lain-lain, juga di daerah Loano ini, untuk menghimpun kekuatan dan menghalangi gerakan Mataram kalau mereka hendak melakukan penyerbuan ke barat lagi. Untuk itu, semua biayanya akan diberikan oleh pihak Belanda dan kita akan mendapat hadiah harta kekayaan yang besar. Bahkan besar kemungkinannya, kalau kumpeni Belanda dapat mengalahkan Mataram, kita akan mendapatkan kedudukan tinggi. Bukan tidak mungkin, dan kami akan mengusulkan kepada Kompeni kelak, engkau sendiri akan diangkat menjadi Adipati yang menguasai Loano dan daerahnya, Adi Sumali."

   Sejak tadi Ki Sumali sudah menahan kesabaran dan menekan kemarahannya.

   "Maksud Kakang Somad agar saya ...... memberontak kepada Mataram?"

   "Ya, memberontak terhadap raja yang lalim, Adi Sumali! Dan ini merupakan tugas seorang satria seperti adi! Menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang si angkara murka!"

   Ki Sumali tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Kakang Somad telah salah duga! Kanjeng Sultan Agung di Mataram adalah seorang raja yang adil dan arif bijaksana, sama sekali bukan lalim. Yang lalim dan palsu adalah Belanda dan agaknya Kakang Somad telah dipengaruhi racun bujukan Belanda yang mempergunakan harta benda untuk membujuk orang agar menjadi pengkhianat! Tidak, Kakang Somad, maafkan saja, saya tidak dapat membantu kakang dalam hal ini!"

   "Adi Sumali! engkau ingin mengorbankan persahabatan kita dengan menolak tawaran kerja sama itu?"

   Aki Somad berseru marah.

   "Apa boleh buat, Kakang Somad. Bagaimanapun juga, sampai mati saya tidak mau mengkhianati Mataram dan akan tetap setia kepada kanjeng Sultan!"

   Aki Somad bangkit berdiri dengan marah.

   "Babo-babo, Ki Sumali! Kalau kelak Kumpeni Belanda menggilasmu, aku tidak akan menolongmu dan persahabatan antara kita putus sampai di sini!"

   Dia menggerakkan tongkat ularnya, dihantamkan ke atas meja.

   "Brakkk !!"

   Meja itu pecah berantakan dan semua hidangan yang berada di atas meja berloncatan dan jatuh berserakan di atas lantai!

   Ki Sumali juga bangkit berdiri, akan tetapi dia masih bersikap tenang dan waspada.

   "Terserah kepadamu, Kakang Somad! Engkau yang memutuskan, bukan aku."

   Aki somad mendengus marah lalu memutar tubuh dan meninggalkan rumah itu dengan langkah lebar. Mendengar suara ribut-ribut itu Winarsih berlari memasuki ruangan dan ia terbelalak memandang meja yang sudah remuk dan hidangan yang berserakan di atas lantai. Akan tetapi hatinya lega melihat suaminya berdiri di situ dalam keadaan selamat.

   "Kakang, ada terjadi apakah? Di mana tamunya dan semua ini.....

   "

   Ia menuding ke arah meja dan hidangan yang berserakan.

   Melihat mata terbelalak dan wajah pucat isterinya, Ki sumali mendekati dan merangkul pundaknya.

   "Tenanglah dan jangan kaget, Narsih. Panggil saja Mbok Ginah dan Pak Karto agar mereka menyingkirkan dan membersihkan semua ini."

   Winarsih menurut, memanggil dua orang pembantunya. Suami isteri yang usianya sekitar lima puluh tahun itu masuk dan mereka segera membersihkan ruangan itu tanpa banyak bertanya. Ki Sumali mengajak isterinya masuk ke ruangan dalam.

   "Kakang, aku khawatir sekali. Aki Somad itu..... menyeramkan dan aku mendapat perasaan yang tidak enak, seolah ada bahaya besar mengancam kita, kakang."

   "Tenanglah, Narsih, Gusti Allah akan selalu melindungi orang yang tidak bersalah. Kakang Somad tadi memang marah karena aku tidak mau diajak untuk memberontak terhadap Mataram. Kelak dia tentu merasa akan kesalahannya dan menyesal atas sikapnya hari ini."

   Setelah menceritakan semua yang telah dialaminya kepada Aji, Ki Sumali memandang kepada pemuda itu dan menghela napas panjang.

   "Demikianlah, anakmas Aji. Sejak hari itu, aku selalu waspada dan menjaga segala kemungkinan. Akan tetapi dua hari yang lalu kami kecolongan juga! Aku masih tidur ketika Winarsih meninggalkan rumah pada waktu fajar, mencuci pakaian di sungai belakang rumah. Hal ini kuanggap aman saja karena di sana ada kedua orang pelayan kami yang juga sudah bangun. Aku sama sekali tidak menduga bahwa kesempatan itu dipergunakan orang-orang jahat itu untuk menculiknya."

   "Dua orang itu menepuk tengkukku dan aku tidak mampu megeluarkan suara. Dalam keadaan tidak mampu bersuara itu aku dilarikan kemudian dibawa perahu. Setelah beberapa lamanya, baru aku dapat mengeluarkan suara kembali dan melihat seorang pemuda berkelahi melawan anak buah penjahat itu, aku lalu berteriak minta tolong. Akhirnya dimas Aji berhasil menyelamatkan aku."

   "Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih, andika berdua sudah menceritakan semua itu kepadaku. Sekarang Mbakayu Winarsih telah pulang dengan selamat. Lalu bantuan apa lagi yang paman kehendaki dariku?"

   "Begini, anak mas Aji. Engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng Sultan Agung. tentu tidak akan tinggal diam melihat ada usaha pengkhianatan dan pemberontakan. Aku yakin bahwa penculikan atas diri Winarsih itu ada hubungannya dengan kemarahan Aki Somad kepadaku. Usahanya untuk membujuk para pamong praja untuk mengkhianati Mataram, untuk kelak menghalangi Mataram kalau pasukan Mataram hendak menyerbu ke Jayakarta atau Batavia, haruslah ditentang dan digagalkan."

   "Paman Sumali, apakah engkau mengenal nama Ki Blekok Ireng?"

   "Ehh?"

   Ki Sumali memandang heran.

   "Mengapa engkau menanyakan nama itu? Apakah engkau mengenal nama-nama kepala bajak dan rampok yang terkenal di seluruh Kadipaten Kedu itu?"

   "Orang bernama Ki Blekok Ireng itulah yang memimpin penculikan atas diri Mbakayu Winarsih. Dia mengakui namanya ketika bertanding denganku dalam air."

   "Ah, sudah kuduga! Dan ini menjadi bukti kebenaran kecurigaanku terhadap Aki Somad. Jelas sekarang, dialah dalang penculikan ini dengan niat untuk menghancurkan aku. Ketahuilah, anak mas Aji. Ki Blekok Ireng itu adalah ketua dari gerombolan Gagak Rodra yang terkenal bersikap menentang dan memusuhi Mataram. Bukan aneh kalau gerombolan itu kini diperalat oleh Kompeni Belanda, dan aku sudah mendengar bahwa Aki Somad menjalin hubungan dengan gerombolan itu. Hal itulah yang membuat aku enggan bersahabat lagi dengan dia. Kalau sekarang ketua gerombolan itu yang menculik Winarsih, mudah diduga bahwa Aki Somad berada di belakang peristiwa itu."

   Aji mengangguk-angguk.

   "Agaknya dugaan paman itu tidak salah. lalu, apa yang akan paman lakukan sekarang?"

   "Kita harus hancurkan gerombolan Gagak rodra itu. Ya, kita. Engkau dan aku, anak mas Aji. Hancurnya gerombolan itu berarti lenyapnya penghalang dan gangguan bagi Mataram, juga berarti hancurnya segerombolan antek Belanda di daerah ini!"

   Pada saat itu, seorang wanita memasuki ruangan itu. Ia berusia sekitar lima puluh tahun, rambutnya sudah berwarna dua dan pakaiannya yang sederhana menunjukkan bahwa ia seorang pelayan. Memang wanita itu adalah Mbok Ginah pembantu keluarga Ki Sumali. Ia membawa sebuah piring besar berisi singkong rebus yang masih mengepul panas.

   "Silakan makan singkong rebusnya raden."

   Katanya kepada Aji. setelah berkata dmikian, ia keluar dari ruangan itu. Winarsih tersenyum.

   "Silakan, dimas Aji. Selagi masih hangat, singkong rebus ini gurih sekali."

   Ia menawarkan.

   "Ya, silakan, anak mas Aji! Ini makanan desa, seadanya saja."

   Kata pula Ki Sumali mempersilakan.

   Aji tersenyum.

   "Ah, saya juga biasa makan singkong rebus seperti ini, paman."

   Dia menggerakkan tangan kanan untuk mengambil makanan itu. Akan tetapi terjadi keanehan.

   Tangannya itu seperti bergerak di luar kehendaknya dan mendorong piring berisi singkong rebus itu sehingga piring itu terdorong jatuh dari atas meja dan isinya berserakan di atas lantai. Ki Sumali dan Winarsih memandang heran dan keduanya hendak bangkit dari tempat duduknya untuk mengambil makanan yang terjatuh berserakan itu. Akan tetapi tiba-tiba Aji menjulurkan kedua tangan dan memegang lengan mereka.

   "Harap kalian jangan bergerak dan biarkan ayam itu makan singkong rebus!"

   Bisiknya. tentu saja suami isteri itu merasa heran sekali dan mereka memandang kepada seekor ayam, ayam mereka, yang memasuki ruangan itu dari pintu depan. Agaknya ayam itu tertarik melihat singkong rebus berceceran dan binatang itu lari mendekat dan mematuk sepotong singkong, terus memakannya dengan asik. Aji dan suami isteri itu memandang, Aji dengan penuh perhatian, dan suami istri itu dengan heran dan tidak mengerti akan sikap Aji yang amat aneh itu.

   Kemudian terjadi hal yang membuat suami isteri itu terbelalak dan Winarsih menahan jerit di balik tangannya. mereka berdua melihat ayam itu tiba-tiba terguling dan berkelojotan, lalu mati! Aji bangkit dari duduknya dan mengangguk-angguk.

   "Sudah kuduga. Paman Sumali dan Mbakayu Winarsih. Singkong rebus itu mengandung racun yang amat berbahaya."

   "Apa? Bagaimana mungkin?"

   Ki Sumali berseru heran, lalu memandang ke arah dalam rumah dan berteriak memanggil.

   "Mbok Ginah.....! Ke sinilah.....!"

   Terdengar langkah kaki berlari-larian dari dalam dan muncullah Pak Karto dan Mbok ginah. Suami isteri pelayan ini agaknya terkejut mendengar panggilan Ki Sumali yang berteriak keras itu.

   "Ada..... apakah..... ?"

   Pak Karto bertanya gagap.

   "Andika memanggil saya......?"

   Mbok Ginah bertanya kepada ki Sumali yang memandang kepadanya dengan alis berkerut.

   Aji cepat mengambil dua potong singkong rebus dari atas tanah dan menyerahkan dua potong singkong rebus itu kepada Pak Karto dan Mbok Ginah.

   "Kami bertiga minta agar kalian bedua makan singkong rebus ini, sekarang juga, di muka kami!"

   Kata Aji dengan nada memaksa.

   Suami isteri tua itu menerima sepotong singkong rebus dan mereka tampak bingung dan heran, lalu keduanya saling pandang dan kemudian memandang kepada Ki Sumali dan Winarsih. Ki Sumali yang maklum bahwa Aji mencurigai kedua orang pelayan itu menaruh racun pada singkong rebus dan kini sengaja menyuruh mereka makan, mengangguk dan berkata.

   "Turuti saja permintaan anak mas Aji."

   Winarsih memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketika suami isteri itu dengan tenang membawa singkong rebus ke mulut mereka dan hendak menggigitnya. Melihat ini, tiba-tiba tangan Aji menyambar dan kedua orang tua itu berseru kaget, singkong rebus di tangan mereka terpental dan jatuh ke atas tanah.

   "Ah, apa artinya ini..... ?"

   Keduanya berseru heran.

   Ki sumali melihat mereka tadi benar-benar hendak makan singkong rebus itu, merasa lega karena hal itu membuktikan bahwa mereka berdua tidak tahu menahu tentang racun yang berada di singkong redus. Kalau mereka tahu tidak mungkin mereka mau memakannya.

   "Begini, Pak Karto dan Mbok Ginah, kami mendapatkan kenyataan bahwa singkong rebus ini mengandung racun yang mematikan."

   "Racun..... ?"

   Suami istri pelayan itu berseru kaget.

   "Lihat ayam itu,"

   Kata Ki Sumali.

   "Ayam itu segera mati setelah makan singkong yang tercecer."

   "Akan tetapi..... kenapa den mas ini menyuruh kami memakannya kalau sudah tahu bahwa singkong itu beracun?"

   
Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tanya Mbok Ginah penasaran.

   "dan kemudian mencegah kami memakannya?"

   "Ah, saya tahu sekarang!"

   Kata Pak Karto.

   "Mbokne, den masnya ini agaknya mencurigai kita yang meracuni singkong itu dan hendak menguji kita!"

   "Sebenarnyalah."

   Kata Aji.

   "memang aku tadi mencurigai kalian dan maafkan aku ternyata bukan kalian yang menaruh racun dalam singkong rebus itu. Akan tetapi ceritakanlah, siapa yang merebus singkong ini?"

   "Saya yang merebusnya, denmas!"

   Kata Mbok Ginah.

   "Apakah ketika merebusnya, engkau menjaganya, ataukah kautinggalkan pergi, mbok?"

   "Tentu saja saya tinggalkan untuk melakkan pekerjaan lain, denmas. Mosok nggodok singkong saja harus dijaga?"

   "Dan apakah tadi kalian tidak melihat ada orang memasuki dapur, atau masuk ke pekarangan rumah ini?"

   "Tidak ada, denmas."

   Kata Mbok Ginah.

   "Nanti dulu!"

   Kata Pak Karto.

   "Ketika tadi saya menyirami bunga, saya seperti melihat bayangan orang berkelebat di samping rumah. Karena heran dan tertarik, saya mengejar dan mencarinya di sekitar rumah. Akan tetapi tidak menemukan orang. Maka saya kira saya hanya salah lihat. Jangan-jangan...."

   "Hemmm, tentu ada orang lain menyelinap masuk!"

   Kata Ki Sumali.

   "Sudahlah, kalian bawa singkong ini cepat tanam dalam tanah. Hati-hati, jangan tercecer. Bisa mati semua ayam kita. Dan jangan lupa bawa bangkai ayam itu, juga kubur bangkai itu."

   Suami isteri itu lalu mengumpulkan singkong rebus yang tercecer dan mengambil bangkai ayam lalu meninggalkan ruangan itu. Setelah mereka pergi, Ki Sumali berkata kepada Aji.

   "Nah, anak mas Aji. Engkau melihat sendiri betapa mereka itu berusaha untuk mencelakai dan membunuh kami. Karena itu, aku harus mendatangi gerombolan Gagak rodra, menuntut mereka yang telah menculik Winarsih. Kalau mereka tidak berterus terang siapa yang menyuruh mereka atau mendalangi semua ini, aku akan membasmi perkumpulan itu yang menjadi pengkhianat bangsa dan antek belanda. Dan aku mengharap engkau akan suka membantuku, mengingat bahwa engkau adalah orang kepercayaan Kanjeng sultan!"

   Aji mengangguk.

   "Setelah mendengar semua ceritamu dan melihat kenyataan tentang penculikan atas diri Mbakayu Winarsih dan usaha meracuni kita tadi, aku tahu bahwa aku harus membantumu, Paman Sumali. Pertama untuk menentang kejahatan, kedua untuk membela Mataram."

   "Bagus!"

   Ki Sumali berseru girang sekali.

   "Terima kasih, anak mas Aji. Dengan bantuanmu, aku tidak takut menghadapi Kakang somad, seandainya benar-benar dia yang berdiri di belakang gerombolan Gagak Rodra. Sekarang sebaiknya kita mengaso dulu. Malam ini kita harus mengumpulkan tenaga dan besok pagi-pagi barulah kita akan berkunjung ke sarang geombolan Gagak Rodra."

   "paman tahu di mana sarang gerombolan itu?"

   Tanya Aji.

   "Aku tahu. Mereka memiliki sebuah perkampungan yang menjadi sarang mereka di Lembah Kali Bogawanta."

   Kata Ki Sumali.

   "Akan tetapi jumlah mereka tentu banyak sekali. Bagaimana kalian yang hanya berdua akan menentang mereka? Tentu kalian akan di keroyok banyak orang!"

   Kata Winarsih dengan khawatir sekali.

   "Jangan khawatir, Narsih. Aku mendengar bahwa di sarang mereka itu terdapat keluarga mereka, isteri dan anak-anak mereka. Para anggauta gerombolan itupun manusia-manusia yang menyayangi anak isteri mereka. Kami berdua hanya akan menentang para pimpinan mereka saja. Kalau pimpinan mereka sudah dapat kami tundukkan, anak buahnya tentu akan tunduk pula. Selain itu, akupun akan mengumpulkan para muda di Loano untuk ikut dengan aku. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Mataram dan disamping itu, mereka tentu siap kalau diajak menggempur gerombolan perampok yang sering mengganggu penduduk di daerah Kedu dan sekitarnya. Sekarang harap engkau suka beristirahat dulu, anak mas Aji. Aku bersama mbakayumu akan pergi mengunjungi para pemuda di Loano dan mempersiapkan mereka untuk ikut dengan kita besok pagi."

   "Baiklah, paman. Aku akan beristirahat."

   "Engkau pakailah kamar di sebelah ini, Dimas Aji. Jangan sungkan, minta saja kepada Mbok Ginah."

   Kata Winarsih ramah.

   "Terima kasih, Mbakayu Winarsih."

   Suami isteri itu meninggalkan rumah dan Aji lalu memasuki kamar yang disediakan untuknya. Ketika dia teringat akan kuda yang tadi ditungganginya bersama Winarsih, dia keluar dari kamar lalu menuju ke belakang untuk melihat keadaan kuda itu. Diapun hendak melihat suami isteri pembantu rumah tangga itu. Dia melangkah perlahan memasuki dapur. Akan tetapi, suara bisik-bisik di dapur segera terhenti. Ini menunjukkan bahwa langkah kakinya yang perlahan itu dapat tertangkap oleh pendengaran mereka yang berada di dalam dapur. Dia memasuki dapur dan melihat suami isteri pelayan itu duduk di bangku berhadapan dan menengok kepadanya. Mereka sudah menghentikan percakapan mereka.

   "Ah. denmas Aji....., apa yang dapat kami lakukan untukmu?"

   Tanya Mbok Ginah dan mereka berdua bangkit berdiri.

   "Aku hendak bertanya kepada Pak Karto apakah kuda itu sudah dirawat dengan baik."

   Kata Aji.

   "Oh, jangan khawatir, den mas. Kuda itu sudah saya guyang (mandikan), sudah saya beri makan rumput."

   Kata Pak Karto.

   "Syukurlah kalau begitu dan terima kasih, Pak Karto."

   Aji lalu masuk kembali dan di dalam kamarnya dia duduk termenung di atas pembaringan. Dia merasa curiga kepada suami isteri tua itu. Pertama, sikap dan ucapan mereka terkadang rapi teratur, tidak seperti orang dusun dan sikap ketololan itu agaknya dibuat-buat. Kedua, tadi ketika disuruh makan singkong rebus, dia melihat Pak Karto memberi isyarat kedipan mata yang tidak kentara kepada isterinya, dan sikap mereka yang keheranan itupun dibuat-buat karena pandang mata mereka sama sekali tidak membayangkan keheranan melainkan penasaran. Dan ketiga, baru saja kedua orang itu membuktikan bahwa mereka bukan orang sembarangan karena mereka berdua dapat menangkap langkah kakinya yang dibuat dengan hati-hati. Dua orang itu patut dicurigai, biarpun belum ada bukti yang nyata.

   Setelah jauh malam, Ki Sumali dan Winarsih pulang. Ki Sumali tampak gembira ketika Aji keluar dari kamar menyambut mereka.

   "Eh, anak mas Aji, engkau belum tidur?"

   Tanya Ki Sumali.

   "Kenapa engkau tidak mengaso, dimas Aji?"Tanya pula Winarsih.

   Aji tersenyum.

   "Aku belum mengantuk, paman. Bagaimana hasilnya?"

   "Wah, baik sekali! Para pemuda itu penuh semangat dan menyatakan untuk membantu kita besok. sedikitnya lima puluh orang pemuda akan ikut dengan kita!"

   "Bagus."

   Kata Aji.

   "Akan tetapi kuharap paman memberi tahu kepada mereka agar tidak terburu nafsu turun tangan menyerang kalau keadaan tidak memaksa. Seperti paman katakan tadi, kalau bisa kita tundukkan para pemimpinnya agar anak buah mereka tidak melakukan perlawanan. Kalau sampai terjadi pertempuran, aku khawatir akan jatuh banyak korban di kedua pihak."

   "Tepat sekali, cocok dengan jalan pikiranku, anak mas Aji. Aku memang sudah memesan demikian kepada mereka. Aku mengajak kepada merekapun hanya untuk menggertak agar para anak buah gerombolan Gagak Rodra tidak akan dapat melakukan perlawanan. Akan tetapi seandainya mereka nekat, apa boleh buat. Para pemuda Loano juga bukan orang-orang lemah. Mereka sedikit banyak sudah mempelajari ilmu kanuragan dan mereka bersemangat tinggi untuk membela Mataram dan menentang para penjahat yang mengganggu keamanan."

   "Syukur, kalau begitu, paman."

   "Sekarang sudah larut malam. Mari kita mengaso, anak mas Aji. Besok pagi kita berangkat."

   Mereka lalu memasuki kamar masing-masing. Aji segera merebahkan dirinya untuk tidur. Akan tetapi dia tetap memasang kewaspadaannya karena dalam hati kecil dia tetap curiga kepda Pak Karto dan Mbok Ginah. Biarpun dia tidur pulas, namun pendengaran telinganya tetap peka dan siap menangkap suara yang tidak wajar. Saat itu jauh lewat tengah malam, bahkan sudah menjelang fajar. Pada saat seperti itu, orang-orang sedang pulas-pulasnya tidur. Bahkan ayam jantan pun belum ada yang bersuara. Suasana sunyi sekali dan hawa udara amat dinginnya.

   Rumah Ki Sumali juga masih sunyi sekali. Agaknya semua penghuninya masih tidur pulas. Dua sosok bayangan manusia bergerak dengan cepat dan ringan sekali dalam rumah itu. Dua pasang kaki itu bergerak demikian ringan seperti kaki kucing saja. Mereka menghampiri jendela kamar yang ditempati Aji. Daun jendela yang cukup lebar itu mereka buka dengan mudah sekali, hanya ditarik begitu saja sudah terbuka. Agaknya memang tidak dipalang dari dalam, hanya ditutupkan begitu saja. Dua orang itu mencabut senjata, seorang mencabut sebatang parang dan yang seorang lagi mencabut sebatang pisau belati. Setelah melongok ke dalam kamar yang gelap dan sunyi itu, mereka lalu bergerak melompat ke dalam kamar melalui lobang jendela. Gerakan mereka yang gesit membuktikan bahwa kedua orang itu memiliki ketangkasan.

   Dua orang itu tanpa ragu segera menghampiri pembaringan di mana Aji tidur. Agaknya mereka sudah hafal benar akan keadaan dalam kamar itu. Buktinya mereka dapat bergerak dalam kegelapan tanpa menabrak meja kursi. Setelah tiba di tepi pembaringan, kedua orang itu dengan gerakan cepat dan kuat membacokkan parang dan menusukkan pisau belati ke atas pembaringan. Mereka merasa yakin bahwa sekali serang, orang yang tidur di atas pembaringan itu tentu tewas seketika tanpa dapat mengeluarkan suara lagi.

   "Wuuuttt..... brakkkk.....!"

   Dua orang itu terkejut bukan main. Senjata mereka mengenai papan pembaringan sehingga menimbulkan suara keras. Agaknya tidak ada orang tidur di atas pembaringan itu! Dua orang itu terkejut dan cepat mereka berloncatan ke luar dari kamar itu melalui jendela. Di luar kamar tidak segelap dalam kamar karena tempat itu diterangi sebuah lampu gantung. ketika mereka tiba di luar kamar, Aji sudah berdiri menunggu mereka.

   "Pak Karto dan Mbok Ginah, kiranya kalian benar-benar mempunyai niat buruk untuk membunuh seperti yang kuduga!"

   Kata Aji kepada dua orang yang bukan lain adalah Pak Karto dan Mbok Ginah.

   Kini Pak Karto dan Mbok Ginah tidak tampak loyo seperti biasa. mereka mengenakan pakaian ringkas dan tampak gesit dan bersemangat. Ucapan Aji itu mereka sambut dengan serangan parang dan pisau belati mereka! Melihat gerakan mereka yang tangkas dan serangan yang mengandung tenaga kuat itu, maklumlah Aji bahwa dua orang itu memiliki kepandaian tinggi. Mereka yang menyamar sebagai pembantu itu ternyata adalah orang-orang yang digdaya.

   Dia sudah bersiap siaga. memang dia sudah menaruh curiga, apa lagi ketika semalam dia melihat bahwa jendela kamarnya hanya ditutup begitu saja, tidak dipalang. Agaknya memang ada orang yang

   sengaja melakukan hal ini dan karena itu maka dia cepat bersiap ketika tadi mendengar suara gerakan mereka yang ringan. Dia sudah meninggalkan pembaringan dan bersembunyi di balik almari di sudut. Ketika dua bayangan itu masuk, diapun diam-diam ke luar melalui pintu dan menghadang mereka di luar jendela. Kini, melihat serangan kedua orang itu, Aji cepat menggerakkan tubuhnya, bersilat dengan ilmu silat Wanara Sakti. Tebasan parang ke arah lehernya itu dielakkan dngan merendahkan tubuhnya dan tusukan pisau belati ke arah perutnya dia tepis dengan tangan kirinya sehingga tangan Mbok Ginah terpental.

   Akan tetapi dua orang itu cepat menyerang lagi dengan lebih ganas, bahkan kini serangan mereka bertubi-tubi. Aji mempergunakan kecepatan gerakannya, mengelak dan tubuhnya berkelebat, tidak pernah dapat tersentuh dua senjata itu. Dia melihat bahwa gerakan Pak Karto jauh lebih cepat dan lebih bertenaga dibandingkan gerakan Mbok Ginah. Setelah menghindarkan diri dari serangan mereka selama belasan jurus, Aji menggerakkan kaki kirinya, menendang ke arah samping.

   Dia tidak ingin melukai dua orang itu, dan kakinya hanya menyembar pergelangan tangan Mbok Ginah yang memegang pisau belati. Wanita itu berteriak kesakitan dan pisau belatinya terlepas dari pegangannya dan terlempar, jatuh berkerontangan d atas lantai. Suara ribut-ribut itu membangunkan Ki Sumali dan Winarsih.

   "Heiii..... ada apakah ini..... ?"

   Ki Sumali keluar dari kamarnya dan berseru heran ketika melihat Aji diserang Pak Karto Dengan parang.

   Melihat munculnya Ki Sumali, Pak Karto yang sudah merasa gentar melihat ketangguhan Aji, segera melontarkan parangnya ke arah Aji, lalu dia melompat pergi, diikuti oleh Mbok Ginah. Parang itu meluncur cepat ke arah dada Aji karena dilontarkan dari jarak dekat dengan tenaga yang kuat. Akan tetapi Aji tidak menjadi gugup. dengan tenang dua miringkan tubuhnya dan sekali tangan bergerak, dia telah berhasil menangkap gagang parang itu. Ki Sumali masih merasa terkejut dan heran sekali.

   "Anak mas Aji, ada apakah? Mengapa Pak Karto dan Mbok Ginah tadi bersikap demikian aneh?"

   Winarsih juga keluar dari kamar dan wanita ini tampak gelisah.

   "Apa..... apa yang terjadi..... ?"

   "Tenanglah, Mbakayu Winarsih. Tidak ada apa-apa, bahaya telah lewat. Mari kita duduk, akan kuceritakan apa yang terjadi."

   Mereka semua duduk di ruangan dalam.

   "Seperti sudah kuduga, ternyata Pak Karto dan Mbok Ginah itu hanyalah pelayan-pelayan palsu, bahkan mungkin nama mereka bukan Karto dan Ginah. Mereka adalah orang-orang yang digdaya dan agaknya sengaja menyamar menjadi pelayan kalian, tentu dengan niat buruk. Apakah mereka telah lama menjadi pelayanmu, Paman Sumali?"

   "Belum, baru beberapa bulan. mereka mengaku pengungsi karena kampung mereka kebanjiran dan karena merasa iba kami lalu menerima mereka menjadi pembantu-pembantu kami."

   Kata Ki Sumali.

   "Mereka itu memang sengaja diselundupkan ke sini, tentu untuk memata-mataimu, paman. Ketika aku datang dan kita merundingkan perlawanan terhadap Gagak Rodra, mereka berdua mencoba untuk membunuh kita dengan singkong beracun."

   "Akan tetapi ketika engkau menyuruh mereka makan singkong itu, mereka tidak menolak dan hampir saja mereka memakannya."

   Kata Winarsih.

   "Memang, benar aku ingin menguji mereka. Kalau mereka menaruh racun pada singkong, tentu mereka tidak akan mau memakannya. Maka ketika melihat mereka mau memakannya, aku lalu mencegahnya. Pada waktu itu aku juga meragu apakah mereka sengaja meracuni singkong itu. Akan tetapi ada hal-hal yang mencurigakan hatiku. Pertama, sikap dan kata-kata mereka yang kadang-kadang teratur rapi itu menunjukkan bahwa mereka bukan orang-orang dusun yang bodoh, Kedua, ketika aku menyuruh mereka makan singkong, aku melihat Pak Karto memberi isarat berkedip kepada Mbok Ginah."

   "Akan tetapi kalau ketika itu engkau tidak melarangnya, tentu mereka sudah mati karena makan singkong beracun itu, Dimas Aji!"

   Kata Winarsih.

   "Belum tentu, mbakayu. Baru semalam aku teringat bahwa orang yang pandai mempergunakan racun, tentu juga memiliki obat penawarnya. Aku yakin dua orang itu sudah makan obat penawar ketika mereka kuuji untuk makan singkong beracun itu. Kecurigaanku semakin kuat ketika aku melihat bahwa jendela kamarku tidak terpalang, hanya ditutup begitu saja sehingga mudah dibuka dari luar. Karena itu, aku telah siap siaga sehingga ketika mereka berdua memasuki kamar lewat jendela dan menyerang dengan senjata ke pembaringan, aku sudah meninggalkan pembaringan itu dan menghadang mereka di luar jendela. Maka terjadilah perkelahian itu."

   "Ih, mengerikan sekali! Kalau diingat bahwa selama berbulan ini kami memelihara dua orang pembunuh ditengah-tengah akmi!"

   Kata Winarsih.

   "Kukira anak mas Aji betul. Mereka itu sengaja diselundupkan ke sini hanya untuk memata-matai aku. Mereka masih mengharapkan aku mau bekerja sama dengan mereka. Baru setelah dua orang mata-mata itu melihat aku dan anak mas Aji bertekad untuk menentang mereka, maka dua orang itu berusaha untuk membunuh,"

   Kata Ki Sumali.

   "Sayang sekali kita tidak dapat menangkap mereka, anak mas Aji. Kalau mereka dapat ditangkap tentu kita dapat memaksa mereka mengaku siapa yang mengirim mereka ke sini."

   "Aku memang tidak tega melukai mereka, paman. Akan tetapi agaknya tak dapat diragukan lagi bahwa mereka berdua itu pasti ada hubungan dengan Gerombolan Gagak Rodra. Menurut apa yang paman ceritakan, Gerombolan Gagak Rodra memang mempunyai dendam permusuhan dengan paman. Pertama tentu saja ketika dahulu mereka menyerbu dusun ini dan paman memusuhi mereka dan kedua mungkin karena mereka itu menentang Mataram padahal paman bersikap setia kepada Mataram."

   "Kurasa pendapatmu itu benar, anak mas Aji. Sekarang fajar hampir menyingsing. Sebaiknya kita bersiap-siap. Anak-anak sudah kupesan untuk berkumpul di luar dusun dan setelah matahari terbit, kita berangkat."

   Kata Ki Sumali.

   "Baiklah, paman."

   Winarsih lalu sibuk di dapur mempersiapkan sarapan pagi agar sebelum berangkat, kedua orang itu dapat makan lebih dulu. Setelah sarapan, Ki Sumali mengajak Winarsih pergi ke rumah kepala dusun Loano. Dia menitipkan isterinya di rumah kepala dusun itu agar isterinya aman selagi dia pergi bersama Aji.

   Setelah menitipkan isterinya, Ki Sumali lalu mengajak Aji berangkat, Di luar dusun telah berkumpul kurang lebih lima puluh orang pemuda. Mereka telah mempersiapkan diri, membawa senjata tajam apa saja yang mereka miliki. Mereka semua sudah siap dan bertekad untuk bertempur melawan para gerombolan orang jahat itu. Gerombolan Gagak Rodra mempunyai sebuah perkampungan di lembah Sungai Bogawanta. Perkampungan yang khusus dihuni para anggauta gerombolan ini terpencil dari dusun-dusun lain dan menjadi sarang gerombolan itu. Kurang lebuh limapuluh orang anak buah gerombolan tinggal di perkampungan itu dan anak istri merekapun tinggal di situ sehingga seluruh penghuni perkampungan itu berjumlah hampir dua ratus orang.

   Pada pagi hari itu, pagi-pagi sekali perkampungan Gerombolan Gagak Rodra kedatangan seorang tamu istimewa. Tamu itu seorang wanita cantik yang cantik jelita. Usianya tampak masih jauh lebih muda walaupun usianya sudah tiga puluh tahun. Rambutnya panjang hitam ngandan-andan (berombak) sampai ke punggung dan dibiarkan terurai. Pakaiannya mewah sekali. Wajahnya yang berbentuk bulat itu memang ayu manis dengan mata lebar dan hidung mancung.

   Mulutnya memiliki bibir yang bentuknya indah dan menantang, menggairahkan hati setiap orang pria yang melihatnya. Mata dan mulutnya mempunyai daya tarik yang kuat sekali, mulut yang selalu tersenyum manis dan mata jeli yang dapat mengerling dengan genit. Tubuhnya yang berkulit putih mulus itupun ramping dan padat. Akan tetapi. kedatangan wanita ayu ini ternyata disambut penuh kehormatan oleh dua orang pimpinan Gagak Rodra, yaitu Ki Blekok Ireng dan Ki Jalak Uren. Bagi anak buah Gagak rodra pun, wanita ini sudah amat dikenalnya juga ditakutinya. mereka semua tahu bahwa wanita itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan berwatak kejam sekali.

   Kalau marah, siapa saja akan dibunuhnya dengan darah dingin. Dan wanita itupun oleh mereka dianggap sebagai seorang iblis betina. Walaupun cantik menarik, tak seorangpun diantara para anggauta Gagak Rodra yang kasar itu berani bersikap kurang ajar. Bahkan begitu wanita itu muncul, para ibu yang menyusui anak-anak segera menyembunyikan anak mereka karena mereka tahu bahwa wanita cantik itu mempunyai kebiasaan seperti iblis sendiri, yaitu suka menghisap darah anak-anak sampai habis! Kita sudah mengenal wanita itu. Ia adalah Nyi Maya Dewi, datuk wanita dari daerah Parahiyangan yang mempelajari ilmu sesat. Di dunia hitam, yaitu dunianya para penjahat, Nyi Maya Dewi dikenal baik dan ditakuti. Semua orang menghormatinya karena takut. Maka, ketika wanita itu muncul di perkampungan Gerombolan Gagak Rodra, ia disambut dengan penuh penghormatan oleh Blekok Ireng dan Jalak Uren, dua orang pimpinan gerombolan Gagak Rodra.

   "Selamat datang di perkampungan kami, Nyi Maya Dewi yang kami hormati. Apakah kiranya yang dapat kami lakukan untuk andika?"

   Tanya Blekok Ireng setelah mempersilakan wanita itu mengambil tempat duduk. mereka berdua, ditemani oleh Jalak Uren, duduk dipendopo rumah besar yang menjadi tempat tinggal kedua orang pimpinan gerombolan itu.

   "Ki Blekok Ireng dan Jalak Uren, kalian berdua adalah pimpinan Gagak Rodra dan kalian berdualah yang bertanggung jawab atas kemajuan di daerah Kedu dan disepanjang Kali Bogawanta. Nah, laporkan kepadaku bagaimana kemajuan usaha kalian."

   Dua orang pimpinan Gagak Rodra itu saling pandang dengan heran. Mereka memang mengenal datuk wanita ini sebagai seorang tokoh besar yang ditakuti dan dihormati. Akan tetapi itu bukan berarti bahwa datuk wanita itu menjadi pemimpin mereka, bahkan mereka tidak merasa pernah menjadi anak buah Nyi Maya Dewi. bagaimana sekarang tiba-tiba wanita itu minta mereka memberi laporan? Tentang kemajuan usaha apakah?

   "Maafkan kami, Nyi Maya Dewi. sesungguhnya kami masih belummengerti apa yang andika maksudkan. Laporan apakah yang harus kami berikan? Kemajuan dalam usaha apakah?"

   "Hemmm, aku lupa bahwa kalian belum mengenal benar siapa aku. Lihatlah ini. kenalkah kalian dengan ini?"

   Wanita itu mengeluarkan sebuah uang emas yang bergambar sepasang singa. Melihat itu, dua orang pemimpin Gerombolan Gagak Rodra itu terbelalak, lalu cepat mereka bangkit berdiri dan memberi hormat dengan menyembah kepada Nyi Maya Dewi.

   "Mohon maaf karena kami tidak mengetahui maka kami menyambut andika yang ternyata adalah seorang diantara para pengawas yang mendapat kekuasaan dari Jenderal Kumpeni di Batavia. selama ini, yang menjadi pengawas dan memberi prtunjuk kepada kami adalah Aki somad di Nusa Kambangan."

   "Aku mengenal Aki Somad dan pagi ini diapun akan datang kesini karena sudah kuundang dia untuk datang. Aku membawa pesan khusus dari Tuan Jenderal Kumpeni sendiri untuknya. Nah, sekarang cepat kalian memberi laporan. Apakah kalian sudah berhasil membujuk para pamong praja di daerah Kedu dan di sepanjang Kali Bogawanta, khususnya di Loano?"

   "Kami telah berusaha keras, Nyi Maya Dewi. Akan tetapi hasilnya belum memuaskan. Mereka itu kebanyakan takut dan setia kepada Sultan Agung di Mataram, terutama sekali karena mereka itu terpengaruh oleh seorang pendekar yang dihormati di Loano."

   "Hemmm, seorang pendekar menjadi penghalang? siapakah dia?"

   Tanya Nyi Maya Dewi penasaran.

   "Namanya Ki Sumali, seorang yang sakti mandraguna."

   "Ahh, lalu apa kerjanya Aki Somad? Apakah dia tidak mampu menanggulangi orang itu?"

   "Aki Somad sudah berusaha membujuk Ki Sumali untuk diajak bekerja sama, akan tetapi tidak berhasil. Bahkan dia lalu mengutus kami untuk bertindak menculik isteri Ki Sumali."

   "Bagus siasat itu untuk memaksa dia tunduk. Lalu bagaimana hasilnya?"

   "Kami sedang sial. Kami telah berhasil menculik wanita itu, akan tetapi kami bertemu seorang pemuda yang digdaya dan pemuda itu menggagalkan penculikan kami dan menolong wanita itu."

   "Tolol benar kalian."

   Nyi Maya Dewi mamaki.

   "Akan tetapi kami tidak putus harapan dan kami masih mempunyai cara lain untuk menundukkan dia atau kalau perlu membunuh dia sekeluarga agar tidak menjadi penghalang bagi kami."

   "Bagaimana caranya?"

   Alap Alap Laut Kidul Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kami tidak kekurangan akal, Nyi Maya Dewi!"

   Kata Ki Blekok Ireng dengan nada suara bangga.

   "Benar, Nyi Maya Dewi. Kami tanggung Ki Sumali akan mampus di tangan kami!"

   Sambung Ki Jalak Uren untuk menghibur karena kegagalan usaha mereka.

   "Hemm, bagaimana akal itu? Cepat katakan!"

   "Jauh hari sebelumnya, sudah beberapa bulan ini kami berhasil menyelundupkan dua orang yang kini diterima menjadi pembantu-pembantu rumah tangga Ki Sumali. Mereka telah dipercaya dan melalui kedua orang pembantu itu kami akan dapat mencelakai Ki Sumali."

   "Bagus! Sungguh bagus sekali akal itu. Kalau siasat kalian ini berhasil, aku akan mencatat jasa kalian!"

   Kata Nyi Maya Dewi girang.

   Tiba-tiba terdengar suara dua orang berlari-lari masuk ke dalam ruangan itu. Mereka itu bukan lain adalah laki-laki dan wanita yang mengaku bernama Pak Karto dan Mbok Ginah pelayan rumah Ki Sumali!

   "Eh, kalian bardo dan Sumi, kalian sudah datang? Bagaimana dengan tugas kalian, sudah beres dan berhasil baik, bukan?"

   Tegur Ki Blekok Ireng.

   "Wah, celaka, Kakang Blekok ireng, celaka sekali.....!!", kata Karto alias Bardo.

   "Celaka bagaimana? Hayo kalian katakan, celaka bagaimana?"

   Ki Blekok Ireng membentak, alisnya berkerut marah.

   "kami telah gagal.....!"

   Kata pula Mbok Ginah alias Sumi.

   "Keparat! Kalian layak dihukum!"

   Bentak Ki Blekok ireng dan dia sudah melangkah maju hendak memukul dua orang pembantunya itu.

   "Tahan! Jangan pukul dulu. Biarkan mereka menceritakan mengapa mereka sampai gagal!"

   Tiba-tiba Nyi Maya Dewi berseru dan Ki Blekok Ireng menahan diri lalu duduk kembali. Dua orang pembantu itu berlutut di atas lantai, tampak ketakutan.

   "Kau dengan itu? Bardo, cepat seritakan apa yang terjadi!"

   Kata Ki blekok Ireng.

   "Ceritakan sejujurnya bagaimana kalian sampai gagal, Kakang Bardo, agar hukumanmu ringan."

   Ki Jalak Uren ikut bicara.

   "Begini kejadiannya. Kami berdua melihat Winarsih pulang dalam keadaan selamat diantar seorang pemuda. kami tahu bahwa usaha kita menculiknya berarti telah gagal. Kami mengintai dan mendengar percakapan antara Ki Sumali dan pemuda penolong itu. Rupanya mereka hendak membongkar rahasia kita membantu Kumpeni dan hendak menentang kita. Karena itu, kami melaksanakan rencana selanjutnya, yaitu meracuni mereka. Kami telah mencampurkan racun ke dalam singkong rebus dan menghidangkannya kepada mereka. Akan tetapi, lagi-lagi pemuda itu yang menggagalkan usaha kami itu. bahkan pemuda itu mengetahui bahwa singkong rebus itu beracun! Dia minta kepada kami untuk memakannya. Kami tahu bahwa dia curiga kepada kami dan hendak menguji kami. Karena kami sudah menelan obat penawar, kami siap memakannya. Akan tetapi pemuda itu mencegah kami memakannya. Agaknya kesediaan kami makan singkong itu menghilangkan kecurigaannya. Akan tetapi kami menganggap pemuda itu berbahaya sekali. Maka kami melakukan usaha terakhir. Jauh lewat tengah malam tadi, sebelum fajar, kami berdua memasuki kamar pemuda itu dengan niat membunuhnya. Akan tetapi ketika kami menyerang pembaringan, ternyata pembaringan itu kosong dan ketika kami keluar, pemuda itu sudah menghadang di luar kamar! Kami berdua menyerangnya, akan tetapi dia benar-benar sakti mandraguna. Kami berdua yang bersenjata tidak mampu mengalahkan dia yang bertangan kosong. Karena Ki Sumali terbangun, kami berdua lalu melarikan diri dan cepat lari ke sini."

   "Nanti dulu"

   Kata Nyi Maya Dewi.

   "Pemuda yang sakti mandraguna itu, siapakah dia? Bagaimana orangnya?"

   Bardo dan Sumi tentu saja sudah mengenal Nyi Maya Dewi, maka Bardo menjawab.

   "Dia masih muda sekali, jangkung tegap, wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana."

   "Namanya! Siapa namanya?"

   Tanya datuk wanita itu.

   "Kami tidak tahu, akan tetapi kami dengar Ki Sumali menyebut dia anak mas Aji, dan Winarsih menyebutnya Dimas Aji."

   "Ahhh..... dia kiranya?"

   Nyi Maya Dewi berseru kaget. Tringatlah ia akan pengalaman di pantai Laut Kidul, ketika ia menculik dua orang bocah yang dianggapnya berdarah bersih untuk dijadikan korbannya. Anak-anak itu diselamatkan oleh seorang pemuda yang sakti mandraguna. Tentu pemuda itu yang kini menolong Ki Sumali! Siapa lagi kalau bukan pemuda itu?

   "Andika sudah mengenal pemuda itu?"

   Ki Blekok ireng bertanya.

   "Mungkin. Bagaimanapun juga, kita harus bersiap siaga. Alangkah baiknya kalau sekarang Aki Somad sudah berada di sini agar kedudukan kita lebih kuat."

   

Dara Baju Merah Karya Kho Ping Hoo Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini