Ceritasilat Novel Online

Bagus Sajiwo 18


Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 18



Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka menyatakan selamat tinggal kepada ruangan yang mereka huni selama tiga tahun itu. Biarpun cuaca masih gelap pekat karena sinar matahari belum memasuki ruangan itu lewat celah- celah batu karang, namun kini ke dua orang itu memiliki penglihatan yang seolah dapat menembus kegelapan. Mereka memanjat dinding karang dengan mudah dan cepat menuju ke atas.

   Setelah tiba di atas mereka disambut pemandangan alam yang amat indahnya.

   Matahari baru tersembul dari puncak bukit di timur, masih kemerahan namun sudah cukup menyilaukan dan cahayanya keemasan mulai menghidupkan seluruh permukaan bumi yang dapat menerima cahayanya.

   Langit cerah berwarna biru, hanya dihias beberapa kelompok awan putih tipis seperti kapas. Burung-burung beterbangan, berkelompok sambil berceloteh riang. Burung gelatik dan burung pipit selalu terbang berkelompok, berbeda dengan burung prenjak dan burung kutilang yang hanya terbang berdua atau tidak lebih dari lima ekor. Burung gereja juga berkelompok, akan tetapi kelompoknya kecil dan mereka tidak suka terbang tinggi melainkan lebih suka berdekatan dengan tanah.

   Terdengar pula ayam jantan berkokok, namun tidak seramai pagi tadi sebelum matahari terbit atau menjelang terbit seolah mereka tahu bahwa tidak perlu lagi berkeruyuk membangunkan semua mahluk karena kini mereka semua telah terbangun dari tidurnya.

   Dari lereng itu tampak beberapa orang bapak tani jalan beriringan, memanggul pacul menuju ke sawah ladang. Terdengar pula' sayup-sayup bunyi kambing mengembik dan ayam betina berkotek memanggil anak-anaknya. Angin berhembus sepoi-sepoi semilir menyegarkan badan.

   Bagus Sajiwo dan Maya Dewi menghirup napas dalam-dalam, merasa betapa sedapnya hawa udara yang memasuki paru-paru mereka.

   Dengan suara penuh hormat dan kagum Bagus Sajiwo berkata perlahan.

   "Alangkah maha besar kekuasaan Gusti Allah dan alangkah maha indah ciptaanNya. Puji syukur kepadaNya yang melimpahkan berkahNya kepada kita semua!"

   Maya Dewi juga memandang ke bawah dengan kagum.

   "Betapa besar kasih dan karunia yang diberikan kepada kita. Sudah sepatutnya kalau kita berbahagia karenanya. Akan tetapi mengapa begitu banyak terjadi kesengsaraan dan duka nestapa di antara manusia?"

   Kedua orang itu saling pandang. Ketika masih berada di ruangan dalam perut bukit batu karang, cahaya tidak pernah terang sekali sehingga setelah kini saling berhadapan di alam terbuka, mereka dapat saling pandang dengan sejelas-jelasnya.

   Maya Dewi memandang kagum! Pemuda remaja dahulu itu kini telah menjadi seorang pria dewasa yang ganteng dan sinar matanya itu membuat orang merasa tenang dan sungkan, bukan takut. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda itu yang membuat orang merasa bersalah dan tunduk. Betapa kekasihnya, demikianlah ia selalu menganggap Bagus Sajiwo, orang yang paling dikasihinya di dunia ini, kini menjadi seorang pria dewasa yang sederhana dan pandang matanya lembut, namun memiliki wibawa yang amat kuat,

   Sebaliknya Bagus Sajiwo juga kagum dan senang melihat Maya Dewi. Wanita ini seolah tidak berubah setelah usianya bertambah tiga tahun. Masih seperti dulu. Masih cantik jelita penuh daya tarik, akan tetapi sekarang keliaran yang tampak pada sinar mata dan gerak-geriknya dahulu itu telah lenyap, sinar matanya tenang bercahaya mengandung kebahagiaan, gerak-geriknya juga lembut. Hal ini bahkan menambah daya tariknya menjadi ayu manis merak ati (cantik manis memikat hati).

   Dia tahu bahwa daya tarik jasmaniah yang amat kuat ini tentu akan membuat banyak pria tergila-gila. Akan tetapi dia sendiri, sejak pertemuan pertama, tidak terpengaruh oleh daya tarik kecantikan Maya Dewi. Yang ada dalam hatinya adalah kasih sayang yang menimbulkan perasaan belas kasih dan setia-kawan. Dia hanya ingin membimbing wanita itu kembali ke jalan kebenaran, ingin membela dan rasa kasih sayangnya itu seperti kasih sayang seorang saudara.

   "Bagus, kita sekarang hendak pergi kemana?"

   Bagus Sajiwo tersenyum.

   "Dan eng

   kau sendiri, Dewi?"

   "Sudah kukatakan sejak dulu, Bagus. Aku sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, tidak ada tempat yang kutuju, maka aku akan pergi kemana engkau pergi."

   "Akan tetapi, Dewi, kita tidak mungkin begini terus, melakukan perjalanan bersama selalu. Engkau tentu tahu, ada waktunya bertemu, ada waktunya berkumpul, ada pula waktunya untuk berpisah. Dengan bekal kemampuan yang kau miliki, kukira engkau akan mampu hidup seorang diri dengan aman, asal engkau selalu berpijak pada jalan kebenaran."

   "Aku tahu, Bagus. Akan tetapi aku belum merasa bisa untuk kau tinggaikan. Dahulu, sebelum bertemu denganmu, aku merasa seolah hanyut dalam samudra kehidupan yang penuh gelombang dahsyat yang menyeret dan hendak menenggelamkan aku. Aku merasa tidak berdaya, merasa sengsara, tidak mengenal kebahagiaan, hanya mabok dengan kesenangan jasmani yang berakhir dengan kebosanan, kekecewaan dan duka nestapa. Lalu engkau muncul. Aku merasa seolah aku menemukan sepotong papan yang kuat untuk kupegang dan menjadi tempat aku bergantung agar tidak terus hanyut dan tenggelam. Kalau sekarang engkau hendak meninggalkan aku dan kita harus berpisah, aku akan kehilangan pegangan dan aku takut akan hanyut kembali, Bagus. Aku takut!"

   "Dewi, kenapa mesti takut? Engkau harus mempunyai kepercayaan kepada dirimu sendiri. Ingat bahwa engkau telah membuka hatimu terhadap Gusti Allah dan dengan sepenuh jiwa raga berserah diri kepadaNya. Itu berarti bahwa kekuasaan Gusti Allah selalu mendampingimu, selalu membimbingmu. Apalagi yang perlu kau takuti kalau kekuasaanNya berada dalam dirimu? Aku ini hanya manusia biasa seperti juga dirimu, dengan segala kelemahanku. Aku juga hanya merasa kuat karena yakin bahwa Gusti Allah menyertaiku."

   "Bagus, tolonglah, Bagus. Aku bukan takut akan ancaman bahaya dari luar, melainkan terhadap diriku sendiri. Aku... aku... aku cinta padamu, aku menyayangmu, aku tidak tahan untuk berpisah darimu, Bagus. Engkaulah satu-satunya manusia di dunia ini yang kukasihi, yang kupercaya, yang akan kubela sampai mati karena aku yakin bahwa engkau pun selalu melindungiku dan membelaku, selalu memberi tuntunan kepadaku. Bagus, demi Gusti Allah, jangan tinggalkan aku, Bagus..."

   Maya Dewi tak dapat menahan keharuan dan kesedihan hatinya membayangkan betapa ia akan hidup seorang diri seperti dulu lagi, kehilangan Bagus Sajiwo yang amat dipuja dan dicintanya sehingga ia tak dapat menahan jatuhnya air mata yang menetes-netes dari kedua matanya.

   Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada wanita itu dan merasa tidak tega untuk memaksakan perpisahan antara mereka.

   "Dewi, engkau tentu tahu bahwa akupun amat menyayangmu dan aku merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat menyadari akan kesalahanmu yang sudah-sudah, mau bertaubat dan mengubah jalan hidupmu. Aku tadi hanya ingin menjelaskan kepadamu bahwa ada waktunya bertemu, berkumpul kemudian berpisah. Perpisahan tidak dapat kita hindarkan, Dewi."

   "Bagus, sekali lagi kuminta padamu, biarkan aku mengikutimu, berilah aku waktu sampai aku merasa kuat untuk hidup seorang diri. Kasihilah aku, Bagus."

   Bagus Sajiwo tidak dapat membantah lagi. Dia mengangguk dan tersenyum memandang wajah wanita itu.

   "Baiklah, Dewi, kalau itu yang kau kehendaki."

   "Ah, Bagus! Terima kasih, Bagus, terima kasih!"

   Maya Dewi berseru dengan gembira sekali, wajahnya berseri-seri, matanya yang masih basah itu berbinar-binar dan mulutnya tersenyum lebar.

   "Nah, mari kita lanjutkan perjalanan kita ini."

   Ajak Bagus Sajiwo dan dengan gembira Maya Dewi melangkah di samping pemuda itu sambil memegang tangan Bagus Sajiwo.

   Mereka berjalan sambil bergandengan tangan menuruni bukit karang dan Bagus Sajiwo tidak merasa sungkan atau aneh bergandengan tangan seperti ini karena dia memang sudah merasa akrab sekali dengan wanita itu yang dia anggap sebagai seorang saudara sendiri.

   "Kita sekarang menuju kemana, Bagus?"

   Tanya Maya Dewi.

   "Aku akan ke Gunung Kawi, dimana ayah ibuku tinggal."

   "Kenapa baru sekarang setelah engkau berusia dua puluh tahun engkau boleh kembali ke rumah orang tuamu? Kenapa gurumu mengadakan peraturan yang begitu aneh?"

   "Entahlah, Dewi. Mendiang Eyang Guru adalah seorang yang arif bijaksana, tentu beliau memberi pesan itu demi kebaikanku, atau kebaikanmu?"

   "Eh, mengapa demi kebaikanku?"

   Bagus Sajiwo tersenyum.

   "Aku tiba-tiba teringat akan peristiwa yang kita alami. Andaikata eyang guru tidak berpesan seperti itu, tentu tiga tahun lebih yang lalu, begitu meninggalkan Pegunungan Ijen, aku langsung saja pulang ke rumah orang tuaku di Gunung Kawi dan aku tidak akan bertemu denganmu, Dewi. Bukankah itu semua telah diatur demi kebaikan termasuk kebaikan untuk dirimu?"

   "Ah, kalau direnungkan, benar juga ucapanmu itu, Bagus. Karena itu, aku berterima kasih kepadamu, berterima kasih pula kepada mendiang Eyang Ki Ageng Mahendra, gurumu yang bijaksana itu."

   "Engkau lupa, Dewi. Semestinya engkau mengucap syukur dan terima kasihku kepada Gusti Allah, karena sesungguhnya segala pertolongan itu datang dari Gusti Allah. Dalam keadaanmu, pertolongan Gusti Allah padamu itu hanya melalui aku dan mendiang Eyang Guruku."

   Maya Dewi mengangguk-angguk.

   "Aku tidak lupa, Bagus. Sejak engkau menyadarkan aku akan keberadaan Gusti Allah Yang Maha Kuasa, Maha Sempurna. Maha Kasih dan Maha pengampun, aku tidak pernah melupakanNya dan setiap saat aku bersyukur dan berterima kasih kepadaNya, doaku kupanjatkan tiada hentinya sehingga pernapasanku seolah telah menjadi doaku yang selalu mohon pengampunan atas dosa-dosaku dan berterima kasih atas segala berkat yang dilimpahkan kepada diriku yang kotor dan hina ini. Semoga semua doaku itu diterimaNya, Bagus."

   "Amin-amin-amin."

   Kata Bagus Sajiwo, hatinya merasa bahagia sekali mendengar ucapan dan melihat sikap Maya Dewi itu.

   Kalau dia ingat pertemuannya pertama kali dengan Maya Dewi, pada tiga tahun lebih yang lalu, dia masih bergidik. Ketika itu Maya Dewi merupakan seorang manusia yang kejam, liar dan sesat.

   - ooOoo -

   Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan sejak jaman Mojopahit tak pernah mau tunduk terhadap Kerajaan Mojopahit dan sampai Sekarang, pada masa jaya-jayanya Kerajaan Mataran di bawah pemerintahan Sultan Agung, Blambangan tetap merupakan kerajaan atau kadipaten yang belum ditundukkan oleh Kerajaan Mataram yang pada waktu itu sudah menundukkan hampir semua kadipaten termasuk Madura dan Surabaya. Bahkan Kadipaten Blambangan semakin memperkuat diri karena selain sejak dulu Blambangan diperkuat dukungan Kerajaan. Bali, juga setelah Mataram menundukkan Kadipaten-kadipaten lain, mereka yang tidak mau tunduk, orang-orang yang sakti, para jagoan, semua melarikan diri ke Blambangan yang masih merupakan kadipaten yang berdiri tegak tidak mengikuti kekuasaan Mataram.

   Memang, menurut catatan sejarah, pada permulaan abad ke tujuh belas, Blambangan diserang dan kemudian diduduki Kadipaten Pasuruan. Akan tetapi kekuasaan Kadipaten Pasuruan atas Blambangan hanya berlangsung selama belasan tahun saja karena setelah Sultan Agung di Mataram menyerang dan menundukkan Pasuruan pada tahun 1617, Blambangan pun melepaskan diri dari Kadipaten Pasuruan dan kembali Blambangan bangkit dan dengan dukungan Bali menjadi kuat kembali.

   Pada waktu kisah ini terjadi, Blambangan dipimpin oleh seorang Adipati yang menggunakan nama Adipati Santa Guna Alit, cucu dari Raja Santa Guna yang dulu pernah memimpin Blambangan dan menjadikan Blambangan sebuah kerajaan yang kuat.

   Raja kecil atau Adipati Santa Guna Alit merasa dirinya cukup kuat, namun tetap saja dia merasa khawatir Kalau-kalau Mataram akan mengirim pasukan besar untuk menaklukkan Blambangan. Karena itu, dalam usahanya untuk mempertahankan Blambangan, dia menjalin hubungan yang lebih erat dengan para raja di Bali, terutama Kerajaan Bali Selatan.

   Para raja di Bali siap membantu Blambangan menghadapi ancaman Mataram karena Blambangan merupakan benteng pertama untuk menentang gerakan pasukan Mataram kalau Mataram berniat menyerang Bali.

   SELAIN mempererat hubungan dengan para raja di Bali, juga Adipati Blambangan mengumpulkan para datuk yang sakti mandraguna untuk memperkuat kadipatennya.

   Dulu, ketika Mataram menyerang daerah Jawa Timur, dia mengirim datuk yang menjadi kepercayaannya, yaitu Wiku Menak Koncar, untuk membantu daerah-daerah yang diserang Mataram. Akhirnya Wiku Menak Koncar tewas di tangan Ratu Wandansari yang dibantu oleh Lindu Aji.

   Sang Adipati lalu mengundang para pertapa dan para orang sakti untuk membantu dia dalam menyusun kekuatan untuk membela Kadipaten Blambangan kalau sewaktu-waktu diserang oleh pasukan Mataram.

   Diantara para datuk itu terdapat Bhagawan Kala-srenggi dan dua orang muridnya yang juga sakti mandraguna, yaitu Kalajana dan Kaladhama, Sang Wiku Menak Jelangger adik seperguruan mendiang Wiku Menak Koncar. Biarpun Wiku Menak Jelangger termasuk orang baik budi, akan tetapi sebagai warga atau kawula Kadipaten Blambangan, dia tidak dapat menolak ketika diajak membela negaranya. Bahkan Adipati Blambangan berhasil pula membujuk Resi Sapujagad pertapa Gunung Merapi dan Bhagawan Dewokaton pertapa Gunung Bromo untuk membantunya dengan menjanjikan imbalan tanah dan harta-benda.

   Tidak hanya sampai disitu saja usaha Adipati Blambangan untuk memperkuat diri. Selain mengumpulkan para datuk sakti, dia pun mengadakan kontak dengan Kumpeni Belanda.

   Ketika sebuah kapal Kumpeni singgah di Blambangan, dipimpin oleh Kapten Van Klompen, Adipati Blambangan menyambutnya dengan baik. Kumpeni Belanda yang memang merasa terancam oleh Mataram, merasa senang melihat betapa Blambangan memperkuat diri dan dibantu pula oleh Bali untuk menentang Mataram.

   Memang sudah menjadi siasat Kumpeni sejak semula untuk mengadu domba semua kadipaten yang ada melawan Mataram. Dengan cara mengadu domba berarti melemahkan kedudukan para penguasa pribumi.

   Para kadipaten itu akan menderita rugi besar karena perang antara bangsa sendiri dan yang untung besar adalah Kumpeni!

   Maka ketika Adipati Blambangan menjamu Kapten Van Klompen dan para pembantunya dan Sang Adipati minta bantuan untuk menghadapi Mataram, Kapten Van Klompen menjanjikan bantuan itu. Akan tetapi Kumpeni Belanda amatlah cerdiknya. Kapten Van Klompen mengatakan bahwa tidak bisa membantu dengan pasukan Kumpeni, melainkan akan mengirim beberapa orang sakti dari Banten yang juga memusuhi Mataram untuk membantu Blambangan dan Kumpeni sendiri membantu dengan beberapa ratus buah senapan.

   Agaknya Belanda masih merasa ngeri untuk secara terang-terangan memusuhi Mataram yang pernah menyerbu Batavia sampai dua kali. Biarpun Belanda dapat mengalahkan pasukan Mataram dalam perang itu, namun mereka juga telah kehilangan banyak perajurit. Maka, bantuan itu diberikan secara gelap.

   Demikianlah, pada suatu hari yang telah ditentukan, Sang Adipati Santa Guna Alit mengadakan pertemuan dengan para pembantunya.

   Sejak pagi para datuk yang diundang berdatangan dan diterima di kadipaten dengan ramah dan dianggap sebagai tamu kehormatan. Berturut-turut mereka berdatangan dan berkumpul di sebuah ruangan luas yang tertutup dalam gedung Kadipaten Blambangan. Sebelum Sang Adipati sendiri keluar menyambut para orang sakti yang menjadi tamu dan pembantu, Bhagawan Kalasrenggi mewakilinya karena kakek ini memang sudah diangkat menjadi penasehat Sang Adipati.

   Bhagawan Kalasrenggi dibantu oleh dua orang muridnya, Kaladhama dan Kalajana, menyambut para tamu yang berdatangan dengan hormat dan mempersilakan mereka memasuki ruangan itu dan segera hidangan disuguhkan kepada mereka secara royal sekali.

   Bhagawar. Kalasrenggi yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun itu pun hanya duduk dalam ruangan khusus itu dan hanya membalas salam para tamu dengan merangkap kedua tangan di depan dada sambil terkekeh-kekeh seperti kebiasaannya. Yang menyambut tamu adalah dua orang muridnya, Kaladhama dan Kalajana.

   Tamu pertama yang datang adalah Wiku Menak Jelangger, diantar oleh Kaladhama dan Kalajana memasuki ruangan itu. Tentu saja Wiku Menak Jelangger dapat datang paling dulu karena dia pun tinggal di daerah Blambangan, di pantai Selat Bali.

   Kakek berusia enam puluh satu tahun ini, biarpun menjadi saudara seperguruan mendiang Wiku Menak Koncar dan mendiang Resi Wisangkolo yang keduanya sesat, adalah seorang pertapa yang baik budi. Tubuhnya sedang, agak kurus, gerak-gerik dan sikap serta budi bahasanya lembut, pakaiannya juga sederhana namun bersih.

   Wiku Menak Jelangger adalah seorang yang sakti biarpun tampaknya lemah lembut namun sesungguhnya dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Seperti juga mendiang Wiku Menak Koncar, saudara seperguruannya, dia memiliki dua macam aji pamungkas yang ampun, yaitu Aji Bayu Bajra (Angin Ribut) dan Aji Nandaka Kroda (Banteng Mengamuk).

   Karena mendengar bahwa Wiku Menak Jelangger terkenal sebagai seorang pertapa alim yang menentang kejahatan dan tidak suka keluar di dunia ramai dan kini mau memenuhi undangan Adipati Blambangan hanya karena merasa wajib sebagai kawula Blambangan, maka Bhagawan Kalasrenggi menyambut kedatangan Sang Wiku dengan dingin saja.

   Akan tetapi Wiku Menak Jelangger juga tidak mengacuhkannya. Dia sudah tahu bahwa kakek tua renta yang memakai julukan Bhagawan ini adalah seorang datuk sesat yang bahkan diusir ke luar dari Bali-dwipa karena kesesatannya yang dilakukan bersama dua orang muridnya itu.

   Ketika dipersilakan duduk oleh Dwi Kala (Dua Kala), yaitu dua orang murid Bhagawan Kalasrenggi, Wiku Menak Jelangger memilih kursi yang paling pinggir, lalu duduk bersila di atas kursi dan bersamadhi, duduk tepekur sambil menanti datangnya para undangan lainnya.

   Tak lama kemudian Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton muncul diantar oleh Dwi Kala. Resi Sapujagad, pertapa Merapi itu berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka pucat, pakaiannya serba kuning dan tangannya memegang seuntai tasbeh merah dan sebatang keris terselip di pinggangnya.

   Adapun Bhagawan Dewokaton, pertapa Gunung Bromo itu berusia sekitar lima puluh lima tahun, tubuhnya gemuk, mukanya selalu menyeringai seperti hendak tertawa sehingga muka yang bulat itu tampak lucu. Pakaiannya serba putih dan dia mempunyai sebatang pedang yang tergantung di pinggangnya. Mereka berdua inipun terkenal sebagai dua orang pertapa yang sakti.

   Resi Sapujagad mempunyai senjata pamungkas, yaitu Aksa-mala Rakta (Tasbeh Merah) dan Bhagawan Dewokaton terkenal dengan senjata pamungkasnya, yaitu Candrasa Langking (Pedang Hitam). Selain itu, juga mereka memiliki tenaga sakti yang kuat.

   Kedua orang pertapa adalah dua orang yang biarpun sudah puluhan tahun bertapa, namun mereka bertapa dengan pamrih kesenangan duniawi. Selain memperdalam dan memperkuat aji kesaktian, mereka pun mendambakan kedudukan dan harta benda. Oleh karena itu, mereka tertarik oleh ajakan Adipati Blambangan, dan seperti seringkali terjadi, manusia yang menjadi hamba nafsunya mengejar nafsu keinginan untuk menyenangkan diri dengan menghalalkan segala cara!

   Manusia sebagai ciptaan Gusti Allah Yang Maha Sempurna, terlahir dalam keadaan sempurna pula, akan tetapi roh yang sempurna itu mengenakan jubah jasmani yang sudah disertai nafsu-nafsu daya rendah yang teramat kuat. Kalau dia tetap dekat dengan Gusti Allah, maka nafsu daya rendah pun akan menjadi alat yang baik dan berguna bagi kehidupan. Akan tetapi kalau dia lengah, jauh dari Gusti Allah, maka iblis akan mendekatinya dan iblis akan menggunakan nafsu-nafsu daya rendah manusia itu sendiri untuk membuat dia menjadi hambanya.

   Dalam mengejar nafsu keinginannya yang berki-lauan dan tampak menyenangkan itulah manusia terseret ke dalam perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan seorang manusia, ciptaan Gusti Allah yang paling baik dan paling sempurna. Dia akan menjadi hamba iblis yang tidak segan melakukan kejahatan apa pun demi memperoleh kesenangan du-niawi, kenikmatan daging yang dikejarnya.

   "Heh-heh-heh, Resi Sapujagad dan Bhagawan Dewokaton, selamat datang! Kami girang sekali Andika berdua datang memenuhi undangan Sang Adipati Blambangan!"

   Kata Bhagawan Kalasrenggi menyambut mereka berdua dengan gembira.

   Dia tahu bahwa dua orang pertapa ini patut diajak berkawan karena sepaham atau setidaknya, mereka berdua bukan orang yang bersikap alim seperti Menak Jelangger!

   "Ha-ha-ha-heh-heh-heh! Tentu saja kami datang, Kakang Bhagawan Kalasrenggi! Kami juga sudan lama merasa tidak suka kepada Mataram!"

   Kata Bhagawan Dewokaton sambil menyeringai lebar.

   "Kami juga sudah bosan bertapa di tempat sepi dan ingin mencicipi kemuliaan dan kesenangan!"

   Kata Resi Sapujagad sambil memutar-mutar biji tasbeh dengan jari-jari tangannya.

   "Heh-heh-heh, bagus-bagus! Andika berdua adalah orang-orang jujur dan tidak berpura-pura alim. Sikap begini yang kusuka, heh-heh-heh!"

   Kata Bhagawan Kalasrenggi.

   Sungguhpun sikapnya tidak menunjukkan sesuatu, namun Wiku Menak Jelangger merasa bahwa kakek tua renta itu menyindirnya. Namun dia hanya tersenyum penuh kesabaran, maklum bahwa Bhagawan Kalasrenggi berbeda pendapat dengannya.

   Dua orang pertapa itu pun mengerti kemana arah ucapan Bhagawan Kalasrenggi ketika mereka melihat Wiku Menak Jalangger duduk bersila di atas kursi paling ujung. Karena Sang Wiku duduk bersila memejamkan mata, keduanya tidak mau mengganggu dan mengambil tempat duduk di dekat Bhagawan Kalasrenggi.

   Berturut-turut para datuk yang diundang itu pun berdatangan karena pagi hari itulah yang ditentukan untuk berkumpul dan mengadakan perundingan dengan Sang Adipati Blambangan. Tidak kurang dari sepuluh orang jagoan dari sekitar daerah Blambangan berdatangan dan disambut oleh Bhagawan Kalasrenggi dengan ramah.

   Ketika Bhagawan Kalasrenggi dan Dwi Kala bangkit dari duduk mereka untuk menyambut kehadiran Sang Adipati Santa Guna Alit dan Sang Bhagawan mengumumKannya dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita, belasan orang yang menjadi tamu itu pun bangkit berdiri untuk menghormati Sang Adipati.

   Dengan diiringkan selosin perajurit pengawal, Adipati Santa Guna Alit memasuki ruangan itu.

   Para pengawal itu setelah mengiringkan Sang Adipati memasuki ruangan, lalu keluar dan menjaga diluar ruangan.

   Adipati Santa Guna Alit yang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan kulit mukanya merah itu berusia sekitar empat puluh lima tahun. Dengan langkah tegap berwibawa dia memasuki ruangan dan mengambil tempat duduk di atas sebuah kursi kebesaran dan mengangkat tangan kanan sebagai salam kepada semua yang hadir.

   Setelah dia duduk, semua orang lalu duduk kembali dan Sang Adipati menoleh ke pintu. Dari luar ruangan masuklah dua orang pria muda, berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Mereka itu bertubuh tinggi besar dan gagah, dan yang menyolok adalah persamaan diantara mereka. Wajah sama, sikap sama, bahkan pakaian mereka serupa sehingga bagi yang belum mengenal mereka tentu akan merasa heran dan menjadi bingung karena tidak dapat membedakan mana yang satu dan mana yang lain. Akan tetapi bagi mereka yang sudah mengenal, tahu bahwa mereka adalah sepasang anak kembar dari Sang Adipati.

   Mereka bernama Dhirasani dan Dhirasanu dan di antara mereka ada sebuah tanda kelahiran yang membuat orang dapat mengetahui perbedaan di antara mereka, yaitu sebuah tembong (tanda hitam) selebar ibu jari di kulit leher sebelah kanan dari Dhirasani.

   Sepasang pemuda kembar ini selain ganteng dan gagah, juga mereka berdua memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna karena mereka adalah murid-murid Sang Bhagawan Ekabrata yang bertapa di Gunung Agung yang berada di Bali-dwipa.

   Baru setahun mereka pulang ke Kadipaten Blambangan dari Bali dan karena kesaktian mereka maka ayah mereka lalu mengangkat mereka menjadi senopati-senopati muda yang bekerja sama dengan Bhagawan Kalasrenggi dan kedua orang muridnya.

   Dua orang muda itu mengambil tempat duduk di sebelah kanan ayah mereka. Adipati Santa Guna Alit tersenyum kepada dua orang puteranya yang dibanggakan lalu bertanya.

   "Kenapa kalian datang berdua saja? Mana Anakmas Tejakasmala yang kalian tunggu-tunggu?"

   Dhirasani menjawab.

   "Kakang Tejakasmala belum juga datang, Kanjeng Rama, maka kami tinggal masuk dan sudah kami pesan para pengawal kalau dia datang agar langsung diantar masuk kesini."

   Dhirasanu juga berkata.

   "Harap Kanjeng Rama tidak khawatir. Kakang Tejakasmala pasti datang dan kalau tidak salah, dia akan datang sebagai utusan dari Raja Dewa Agung di Klungkung bersama rombongan dari Bali."

   Baru saja ayah dan dua orang anaknya itu berhenti bicara, seorang pengawal melaporkan bahwa rombongan dari Bali-dwipa sudah tiba.

   Pemuda kembar Dhirasani dan Dhirasanu dengan wajah berseri bangkit dan keluar dari ruangan untuk menyambut kedatangan kakak seperguruan mereka yang mereka duga pasti datang bersama rombongan dari Bali itu.

   Dugaan mereka benar. Rombongan yang terdiri dari tiga orang yang dikawal dua losin perajurit

   (Lanjut ke Jilid 21)

   Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21

   Kerajaan Klungkung di Bali itu terdiri dari Tejakasmala dan dua orang jagoan lain dari Bali yang bernama Cakrasakti dan Cakrabaya.

   Setelah tiba di gedung kadipaten, dua losin perajurit pengawal diperintahkan beristirahat di pendapa, disambut oleh pengawal Blambangan, sedangkan tiga orang utusan Raja Klungkung itu disambut oleh sepasang saudara kembar dan dipersilakan memasuki ruangan.

   Semua orang memandang ke arah tiga orang utusan dari Bali itu. Tejakasmala adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh empat tahun yang berwajah tampan dan bersikap gagah. Pakaiannya mewah dan serba rapi. Wajah yang tampan itu memiliki sepasang mata yang mencorong tajam dan mulutnya selalu tersenyum manis. Akan tetapi pembawaan dirinya, sikapnya dengan samar menunjukkan ketinggian hatinya.

   Biarpun usianya masih muda, akan tetapi Tejakasmala ini adalah seorang pemuda yang amat sakti mandraguna karena dia adalah kakak seperguruan kedua saudara kembar itu, atau murid tersayang dari Sang Bhagawan Ekabrata yang telah menurunkan semua ilmu kepandaiannya kepada Tejakasmala.

   Adipati Blambangan yang sudah mengenalnya dan tahu betapa saktinya pemuda ini, segera menyambut dengan ramah.

   "Selamat datang, Anakmas Tejakasmala, bahagia sekali hati kami menyambut kedatangan Anakmas! Silakan duduk, Anakmas!"

   Sang Adipati juga menyambut dua orang yang datang bersama pemuda itu karena dia pun sudah mengenal Cakrasakti dan Cakrabaya, dua orang senopati Klungkung yang terkenal sakti dan ahli perang.

   Cakrasakti berusia sekitar empat puluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan sepasang matanya sipit, hidungnya pesek dan mulutnya cemberut seperti orang mau menangis.

   Adapun Candrabaya berusia sekitar tiga puluh lima tahun, tubuhnya tinggi besar wajahnya bopeng bekas cacar, matanya lebar dan jarang berkedip, hidungnya besar dan mulutnya selalu menyeringai.

   Setelah mereka semua duduk, Adipati Blambangan lalu membuka pertemuan itu dengan kata-kata lantang.

   "Para undangan dan utusan, para sahabat yang kami hormati. Kami merasa berbahagia sekali dan berterima kasih bahwa Andika sekalian hari ini telah datang memenuhi undangan kami. Hanya sayang bahwa pihak yang juga kami harap-harapkan, yaitu utusan dari Kumpeni Belanda, belum juga tiba disini..."

   
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Tiba-tiba terdengar suara nyaring.

   "Sang Adipati, kami datang!"

   Dan tampak berkelebat sebuah bayangan.

   Seorang pria berusia enam puluhan tahun, bertubuh sedang, berpakaian mewah, kedua lengannya dilingkari akar bahar hitam, wajahnya licin tanpa kumis atau jenggot, mukanya seperti mayat karena pucat pasi, telah berdiri dalam ruangan itu. Dengan matanya yang bersinar tajam dia menyapu ke arah semua tamu, lalu dia memandang kepada Adipati Blambangan dan tertawa.

   "Ha-ha-ha, maafkan kelambatan kami, Sang Adipati. Perkenalkan, aku adalah Arya Bratadewa, utusan Kumpeni Belanda dan mewakili pihak Kumpeni untuk menghadiri pertemuan ini. Kami agak terlambat karena kapal kami bertemu kapal pasukan Mataram sehingga terjadi pertempuran, akan tetapi kapal kami dapat mengusir tiga buah kapal Mataram itu!"

   Dia tertawa bangga.

   Adipati Blambangan maklum bahwa orang ini memiliki kepandaian tinggi juga, terbukti dari cara dia memasuki ruangan itu.

   "Ah, selamat datang, Arya Bratadewa, dan silakan duduk. Kami berbahagia sekali menerima utusan dari Kumpeni Belanda. Apakah Andika membawa pesan dari Kapten Van Klompen?"

   "Tepat sekali! Aku datang membawakan sesuatu dari Kapten Van Klompen yang pasti akan membuat Andika senang."

   Arya Bratadewa bertepuk tangan sambil menoleh ke arah pintu dan tampak empat orang bertubuh tinggi besar seperti raksasa menggotong dua buah peti.

   Setelah empat orang itu meletakkan dua peti di atas lantai, Arya Bratadewa menyuruh mereka membuka tutup peti. Dua buah peti dibuka dan semua orang tercengang melihat isinya. Ternyata isinya adalah senapan-senapan dan peluru senapannya!

   Wajah Adipati Santa Guna Alit berseri melihat ini. Dengan adanya senjata-senjata itu kedudukannya menjadi semakin kuat untuk menentang Mataram! Dia berterima kasih dan mempersilakan Arya Bratadewa mengambil tempat duduk dan memerintahkan para pengawal untuk menyingkirkan dan menyimpan dua peti senjata api itu ke dalam gudang kadipaten.

   "Nah, sekarang rasanya semua undangan telah lengkap."

   Kata Adipati Blambangan dengan suara girang setelah mendapatkan kiriman dua peti senapan itu.

   "Kanjeng Rama, kalau tidak salah masih ada dua utusan yang belum datang, yaitu utusan dari Perguruan Driya Pawitra dari Grajagan dan juga kalau tidak salah, kita mengundang pula datuk wanita pertapa dari Gunung Betiri, ia juga belum datang."

   Kata Dhirasanu mengingatkan Ayahnya.

   "Ah, benar juga! Perguruan Driya Pawitra terkenal kuat dan Nini Kunti-garba dari Gunung Betiri juga merupakan tokoh sakti mandraguna. Mereka belum datang!"

   Pada saat itu, seorang perajurit pengawal masuk dan melaporkan dengan sikap ragu-ragu.

   "Hamba melapor, Gusti Adipati. Seorang wakil dari Perguruan Driya Pawitra telah datang, akan tetapi..."

   "Akan tetapi apa? Lapor yang betul!"

   Bentak Dhirasani kepada perajurit itu.

   "Ampun, Gusti. Wakil itu... ia hanya seorang gadis remaja!"

   "Hem mm, seorang gadis remaja?"

   Kata Sang Adipati. Dia menengok ke arah Bhagawan Kalasrenggi yang mengatur siapa-siapa yang akan diundang.

   Bhagawan Kalasrenggi terkekeh.

   "Heh-heh-heh, biarpun seorang gadis remaja atau seorang bocah sekalipun, kalau dia sudah menjadi wakil yang dikirim oleh Perguruan Driya Pawitra dari Garjagan, tak boleh dipandang ringan. Harap Andika berdua sendiri yang menyambut wakil itu, Denmas Dhirasani dan Denmas Dhirasanu!"

   Dua orang pemuda itu mengangguk dan mereka segera bangkit dan keluar dari ruangan. Setibanya di luar, Dhirasani dan Dhirasanu tertegun. Disana berdiri seorang gadis yang masih muda sekali, paling banyak delapan belas tahun usianya.

   Namun, dari sikap dan pandang mata yang tajam, dari tarikan mulut yang bibirnya merah basah dan indah itu, terbayang wibawa yang amat kuat.

   Berdirinya tegak dan sikapnya lemah lembut dan sopan sehingga menimbulkan kesan terhormat. Jarang ada laki-laki iseng yang berani menggoda seorang wanita bersikap seperti itu karena kelemah-lembutan dan kewibawaannya sanggup mencairkan kekurang-ajaran yang timbul dalam benak pria karena melihat kecantikannya yang memiliki daya pikat amat kuatnya.

   Tubuhnya sedang dengan pinggang ramping. Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, atau sebutir buah sedang ranum, bentuk tubuhnya sudah mendekati sempurna. Mungkin sebatang pedang yang tampak tergantung di punggungnya itu menambah wibawanya membuat laki-laki iseng tidak berani sembarangan menggodanya.

   Dhirasani dan Dhirasanu terpesona, kagum akan kecantikan dara jelita itu. Akan tetapi mereka segera menyadari bahwa sikap mereka tidak sepatutnya, maka keduanya segera memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan depan dada sebagai salam sembah. Dara itu pun membalasnya dengan sopan.

   "Nimas Ayu, apakah Andika yang diperkenalkan oleh pengawal kami sebagai wakil dari Perguruan Driya Pawitra?"

   Dara itu mengangguk dan menjawab singkat.

   "Benar, aku mewakili Perguruan Driya Pawitra dari Grajagan untuk memenuhi undangan Sang Adipati Blambangan."

   "Ah, maaf kalau kami terlambat menyambut. Kami adalah putera-putera Kanjeng Rama Adipati, namaku Dhirasani dan ini adalah adik kembarku Dhirasanu."

   Dhirasani memperkenalkan diri.

   Gadis itu kini tersenyum sekilas. Sejak dua orang pemuda itu muncul, ia sudah memandang penuh perhatian dan tampak bingung. Setelah mereka memperkenalkan diri, ia pun berkata sambil menahan senyumnya.

   "Ah, Andika berdua sama benar. Akan sukar bagiku untuk mengenal mana yang adik dan mana yang kakak. Namaku adalah Ratna Manohara dan aku menjadi utusan guru atau ketua kami untuk menjadi wakil Driya Pawitra memenuhi undangan ini."

   "Nimas Ayu Ratna, silakan masuk, semua orang sudah menunggu dan Kanjeng Rama Adipati sudah mengharapkan kedatangan Andika!"

   Kata Dhirasani sambil memandang wajah ayu manis merak ati itu dengan hati terguncang.

   "Mari Nimas Ayu Ratna, tanpa kehadiran Andika, rapat pertemuan ini akan menjadi kering dan sepi!"

   Kata pula Dhirasanu, tak mau kalah dengan saudaranya untuk menarik hati Si Jelita.

   Ratna Manohara hanya mengangguk dan mengikuti dua orang saudara kembar itu memasuki ruangan pertemuan.

   Ketika ia masuk, semua mata memandang, kagum dan heran. Kagum karena kecantikan gadis itu dan heran bagaimana Perguruan Driya Pawitra mengirim utusan seorang wanita dan masih begitu muda lagi! Padahal, pertemuan itu merupakan pertemuan orang-orang yang berilmu tinggi, datuk-datuk yang sakti mandraguna! Yang diam-diam merasa dongkol adalah Bhagawan Kalasrenggi karena dia mengundang ketua Perguruan Driya Pawitra akan tetapi ketua itu yang bernama Ki Sarwaguna tidak datang melainkan mengirim wakil seorang gadis muda! Dia menganggap hal ini tidak patut, apalagi karena dia memang tahu bahwa Ki Sarwaguna selama ini bersikap tak acuh terhadap usaha Blambangan untuk menentang Mataram.

   Bhagawan Kalasrenggi menganggap sikap ketua Driya Pawitra ini tidak patut bahkan memandang rendah kepadanya yang menjadi orang kepercayaan Sang Adipati dan sudah mengirim undangan. Karena mendongkol, dia ingin memberi peringatan kepada Perguruan Driya Pawitra dengan membikin malu gadis muda yang menjadi utusannya itu.

   Diam-diam dia memasang "Rajah"

   Kepada sebuah kursi. Rajah ini merupakan sebuah ilmu sihir yang "mengisi"

   Kursi itu dengan tenaga panas sehingga orang yang mendudukinya akan merasa pinggulnya seperti dibakar!

   Semua orang yang berada disitu tentu saja merasa terheran melihat gadis muda cantik jelita menjadi utusan sebuah perguruan yang amat terkenal di daerah Blambangan. Hal ini adalah karena tidak mengenal siapa gadis itu. Kalau saja mereka sudah mengenalnya tentu tidak akan merasa heran.

   Ratna Manohara yang baru berusia delapan belas tahun ini adalah puteri tunggal Ki Sarwaguna, ketua perguruan Driya Pawitra dan semuda itu sudah memiliki kesaktian yang cukup hebat. Sejak kecil sekali ia telah digembleng oleh ayahnya sendiri dan karena ia memang memiliki bakat besar, maka dalam usianya yang delapan belas sekarang ini ia telah hampir mewarisi semua aji kesaktian ayahnya! Ratna Manohara sama sekali bukan seorang gadis jelita yang lemah!

   "Nona, silakan duduk disini!"

   Kaladhama menyodorkan kursi yang sudah diisi dengan rajah oleh Bhagawan Kalasrenggi tadi, atas isyarat gurunya itu.

   Ratna Manohara mengangguk dan semua orang yang tadi melihat Bhagawan Kalasrenggi membuat rajah dengan gerakan tangan di atas kursi itu, memandang dengan hati tegang. Gadis cantik itu tentu akan menjerit kalau duduk di atas kursi itu. Akan tetapi Ratna Manohara menggerakkan tangannya seperti mengusap permukaan kursi itu, seperti hendak membersihkannya dari debu dan tiba-tiba saja kursi itu patah-patah!

   "Hemm, kursi ini sudah rusak,"

   Kata gadis itu dengan tenang sambil memandang kepada Adipati Santa Guna Alit.

   "Paman Adipati, apakah tidak ada kursi lain yang tidak rusak?"

   Dhirasani dan Dhirasanu dengan gerakan berbareng masing-masing mengambil sebuah kursi kosong dan menghampiri Ratna Manohara.

   "Silakan duduk di kursi ini, Nimas Ayu!"

   Kata mereka berbareng pula.

   Ratna Manohara tersenyum geli.

   Baginya, dua orang pemuda kembar ini sungguh membingungkan dan juga menggelikan. Ia menerima dua buah kursi itu karena merasa tidak enak kalau hanya menerima sebuah saja yang berarti menolak pemberian yang lain. Dengan kedua tangannya ia menerima dua buah kursi itu lalu mengerahkan tenaga sakti, mempertemukan sisi dua buah kursi itu.

   Terdengar suara keras dan dua buah kursi itu saling menempel sehingga menjadi sebuah kursi yang lebar. Ia lalu duduk di atas kursi lebar itu dengan sikap tenang!

   Sekarang baru Bhagawan Kalasrenggi dan semua orang tahu bahwa Driya Pawitra tidak mengirim orang sembarangan sebagai wakil, melainkan seorang gadis muda cantik jelita yang sakti mandraguna!

   Pada saat itu terdengar suara gaduh diluar, suara orang jatuh berdebukan diiringi keluh kesakitan.

   Mendengar ini, Adipati Santa Guna Alit mengerutkan alis dan memandang ke arah pintu. Dia merasa marah karena rapat pertemuan itu terganggu. Seorang perajurit pengawal dengan memegangi pipi kanannya yang membengkak kebiruan melapor dengan suara pelo karena bibirnya sebelah kanan turut membengkak.

   "Ampun, Gusti Adipati, di luar ada seorang gadis mengamuk dan merobohkan para perajurit pengawal yang berjaga..."

   Sang Adipati dan juga Bhagawan Kalasrenggi menjadi marah mendengar laporan ini. Kakek pendeta itu segera memerintahkan Kalajana muridnya.

   "Coba lihat siapa yang berani membikin ribut diluar!"

   Kalajana segera bangkit dan keluar dari ruangan, menuju ke depan. Ketika tiba di depan, dia melihat belasan orang perajurit pengawal rebah malang melintang di depan pendopo, merintih kesakitan sambil memegangi bagian muka yang membengkak. Ada yang bibirnya berdarah, ada yang giginya rompal, ada yang tulang hidungnya patah dan ada yang matanya menghitam. Dan disana masih ada belasan orang perajurit lain yang mengeroyok seorang gadis muda.

   Para pengeroyok itu kini menggunakan senjata tajam setelah melihat betapa rekan-rekan mereka dihajar berpelantingan. Belasan golok dan pedang berkelebatan menyerang ke arah gadis itu, akan tetapi gadis itu berkelebatan dan tubuhnya bagaikan bayangan menari-nari diantara sambaran senjata tajam sambil membagi-bagi tamparan dan tendangan sehingga beberapa orang berpelantingan.

   Kalajana terkejut. Gadis itu sama sekali tidak bersenjata walaupun ia memiliki sebuah keris yang terselip di pinggang dan sehelai sabuk yang diikat di pinggangnya. Kalajana mengenal sabuk seperti itu yang juga dapat dipergunakan sebagai senjata.

   Gadis itu menghadapi pengeroyokan belasan orang bersenjata golok dan pedang dengan tangan kosong saja! Melihat betapa beberapa orang perajurit roboh, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan, semua perajurit itu akan roboh. Dia melompat ke depan pendopo dan berseru.

   "Semua perajurit mundur!!"

   Mendengar seruan ini dan melihat bahwa yang berseru adalah Kalajana, para perajurit yang masih mengeroyok itu segera berlompatan ke belakang.

   Gadis itu berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum manis, namun senyum dan pandang matanya mengandung ejekan ketika ia memandang kepada Kalajana yang maju menghampirinya.

   Kalajana memandang kagum. Gadis ini juga cantik jelita seperti utusan Perguruan Driya Pawitra tadi, usianya sekitar sembilan belas tahun. Pakaiannya mewah dan indah, rambutnya hitam panjang terurai di punggung dan berombak. Wajahnya berbentuk bulat telur dengan dagu meruncing manis, sepasang matanya berkilat tajam, hidungnya lucu, mancung menjungat ke atas sehingga ada kesan menantang, mulutnya berbentuk indah menggairahkan. Namun, berbeda dengan Ratna Manohara tadi, gadis ini sikapnya ugal-ugalan, liar, galak dan pemberani.

   Melihat kini ada dua puluh orang lebih yang telah roboh, Kalajana maklum bahwa gadis itu seorang yang berkepandaian tinggi. Dia tidak berani sembarangan, maka dia menoleh kepada seorang perajurit yang pipinya bengkak dan berada di dekatnya.

   "Apa yang terjadi? Mengapa kalian mengeroyok wanita itu?"

   Tanya Kalajana.

   Sambil memegangi pipinya yang bengkak membiru, perajurit itu menjawab.

   "Gadis itu memukul pemimpin regu penjaga sampai giginya rontok semua dan pingsan, maka kami lalu mengeroyoknya."

   Kalajana mengerutkan alisnya. Ternyata gadis cantik ini telah sengaja membuat kekacauan, pikirnya. Itu berarti menantang Sang Adipati! Hendak kulihat sampai dimana kedigdayaannya maka ia berani lancang memukul perwira pengawal.

   "Bocah perempuan jahat, agaknya engkau hendak memamerkan kepandaian disini. Coba sambutlah Aji Tatit Geni dariku ini, kalau engkau memang sakti. Hyaaaaaaattt...!"

   Kalajana mendorongkan kedua tangannya dari jarak sekitar empat depa dari gadis itu. Dari kedua telapak tangannya menyambar kilat api ke arah gadis itu! Tentu saja dia membatasi tenaganya karena dia tidak ingin membunuh gadis itu sebelum dia ketahui siapa dara itu sesungguhnya. Dia menyerang hanya untuk menguji kepandaian orang, akan tetapi aji pukulannya itu memang dahsyat bukan main.

   Gadis itu malah tertawa!

   "Hi-hi-hik, ini ada pula monyet besar jelek hendak membadut di depanku."

   Dan gadis itu lalu mendorongkan kedua tangannya yang berkulit putih dan bentuknya indah itu menyambut serangan itu.

   Dari kedua telapak tangan yang mungil dan putih mulus itu menyambar keluar semacam awan yang kemerahan. Itulah Aji Niraja Jingga (Awan Merah).

   "Wuuuttt... dessss...!"

   Tenaga pukulan Kalajana terpental dan membalik sehingga amat mengejutkan murid Bhagawan Kalasrenggi itu.

   Dia lalu mengerahkan tenaganya, mendorong kembali tenaga serangannya yang membalik. Akan tetapi dia bertemu dengan tenaga yang amat kuat dari awan merah itu sehingga aji pukulannya itu tidak mampu mendesak pertahanan lawan. Dia menghentikan serangannya.

   "Hemm, kiranya Nona memiliki kesaktian. Akan tetapi kenapa Andika datang membikin kekacauan dan memukul roboh para perajurit pengawal kami?"

   Tegur Kalajana.

   Gadis itu tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang rapi dan putih.

   "Heh-heh-hi-hi! Engkau ini orang yang munafik, lahirnya bersih batinnya kotor seperti buah mangga yang kulitnya mulus dalamnya berulat! Engkau memutar balikkan kenyataan. Engkau yang lebih dulu menyerangku dan sekarang kau katakan aku membikin kacau?"

   "Akan tetapi engkau memukul roboh para perajurit pengawal kami!"

   "Tentu saja! Apa kalau dikeroyok aku harus diam saja membiarkan tubuhku dicincang oleh mereka?"

   "Hemm..."

   Kalajana agak kewalahan. Gadis itu terdengar galak dan pandai berdebat. Akan tetapi dia masih mengejar.

   "Lalu kenapa engkau dikeroyok? Dan kenapa engkau memukul roboh perwira mereka?"

   Gadis itu menjawab dengan mudah tanpa dipikir dulu, hal ini menunjukkan bahwa ia memang seorang yang pandai berdebat.

   "Aku bukan anak kecil yang cengeng dan suka melapor kepada kakeknya kalau diganggu orang. Maka pertanyaan itu mengapa tidak kau ajukan saja kepada mereka yang mengeroyokku?"

   Wajah Kalajana yang bopeng itu menjadi kemerahan. Dalam kata-kata itu seolah-olah gadis ini menyamakan dia dengan seorang kakek-kakek! Padahal dia tidaklah begitu tua, baru tiga puluh tahun usianya. Akan tetapi ucapannya itu benar juga maka dia lalu menoleh kepada perajurit tadi dan bertanya.

   "Katakan, mengapa kalian mengeroyok nona ini!"

   Pertanyaan itu lebih merupakan bentakan sehingga perajurit itu menjadi ketakutan.

   "Tadi kau katakan bahwa ia memukul roboh perwira pasukan pengawal. Nah, kenapa perwira itu dipukul oleh nona ini?"

   "Begini awal mulanya, Denmas."

   Kalajana dan Kaladhama menuntut agar disebut Denmas oleh para perajurit seolah mereka itu keturunan bangsawan tinggi! "Tadi gadis itu muncul dan dengan sikap sombong minta kepada kami agar dipanggilkan Gusti Adipati atau wakilnya supaya keluar menyambut kedatangannya. Perwira kami yang merasa tidak senang dengan sikap gadis itu, lalu menggodanya dan gadis itu lalu menghajarnya sampai roboh pingsan dengan gigi rontok."

   Karena ingin mengetahui sejelasnya, Kalajana bertanya lagi.

   "Godaan bagaimana yang dilakukan perwira penjaga?"

   "Dia berkata begini, 'Nimas yang ayu manis merak ati, daripada engkau minta yang bukan-bukan, lebih baik engkau ikut dengan aku ke dalam gardu dan kita bersenang-senang karena aku cinta padamu, Nimas!' Begitulah dia menggoda."

   "Nah, engkau sudah mendengar semua, bukan? Ada akibat tentu ada sebabnya. Aku merobohkan para perajurit, itulah akibat dan sebabnya adalah karena mereka mengeroyok aku! Mereka mengeroyokku sebab aku memukul pingsan perwira mereka. Aku menghajar perwira itu karena dia mengeluarkan kata-kata yang tidak sopan. Perwira itu mengeluarkan kata-kata tidak sopan, itulah akibat dan sebabnya adalah karena dia adalah seorang yang wataknya busuk dan kurang ajar, maka kuhajar! Sekarang engkau lihat, siapa yang menjadi sebab dan bersalah dalam peristiwa ini?"

   Kalajana merasa kewalahan dan bagaimanapun juga, semua ucapan gadis itu tidak dapat dibantah kebenarannya.

   "Akan tetapi, Nona, kenapa engkau minta agar Gusti Adipati atau wakilnya keluar menyambutmu?"

   "Tentu saja karena dia adalah tuan rumah dan aku adalah tamu yang diundang!"

   "Ah, maaf, kalau begitu para pengawal yang salah. Jadi Nona adalah seorang diantara para tamu yang diundang oleh Gusti Adipati?"

   "Yang diundang adalah guruku dan aku adalah murid yang mewakilinya untuk memenuhi undangan itu."

   "Kalau begitu selamat datang dan mari kita masuk ke dalam ruangan dimana para tamu yang lain telah datang dan berkumpul. Akan tetapi, siapakah namamu, Nona?"

   "Kau katakan dulu siapa namamu agar kuketahui apakah engkau layak menyambut aku!"

   Kalajana menghela napas. Gadis ini benar-benar luar biasa. Selain sakti, juga amat angkuh dan luar biasa pandainya berdebat.

   "Ketahuilah, Nona. Yang mengundang untuk pertemuan ini memang Gusti Adipati, akan tetapi pelaksanaannya adalah Bhagawan Kalasrenggi dan aku adalah muridnya yang bernama Kalajana. Nah, apakah engkau puas disambut oleh murid yang mewakili gurunya?"

   "Hemm, boleh juga. Aku datang mewakili guruku yang bernama Nini Kunti-garba dari Gunung Betiri dan aku muridnya bernama Ken Darmini."

   Terkejutlah Kalajana mendengar bahwa gadis ini murid Nini Kuntigarba. Tentu saja dia mengenal siapa itu Nini Kunti-garba, seorang nenek yang sakti mandraguna dan ditakuti semua orang, seorang datuk wanita yang diam-diam dijuluki orang Biyang Iblis!

   "Ah, sekali lagi maafkan anak buahku, Nona. Mari silakan masuk menemui Gusti Adipati Blambangan yang sudah berada di ruangan pertemuan bersama semua tamu undangan."

   Sekali ini, Ken Darmini tidak membantah dan ia mengikuti Kalajana memasuki gedung dan langsung menuju ke ruangan pertemuan dimana semua orang telah menanti-nanti kembalinya Kalajana.

   Setelah Kalajana memasuki ruangan bersama seorang gadis muda yang cantik jelita dan tersenyum-senyum menyapu semua orang yang berada di ruangan itu, mereka merasa kagum dan heran. Kalajana cepat melapor kepada Adipati Santa Guna Alit.

   Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Gusti Adipati, ini adalah Nona Ken Darmini yang datang sebagai murid atau utusan gurunya, yaitu Nini Kuntigarba dari Gunung Betiri. Tadi telah terjadi kesalah-pahaman antara Nona ini dengan para perajurit pengawal sehingga terjadi sedikit keributan, akan tetapi semua telah dapat diselesaikan."

   Kata Kalajana.

   "Eh-he-he-heh! Ken Darmini, kenapa gurumu, Nini Kuntigarba tidak datang sendiri? Aku, Bhagawan Kalasrenggi yang mengundangnya atas nama Sang Adipati Blambangan. Apakah dia tidak menganggap kami sebagai sahabat?"

   Tanya Bhagawan Kalasrenggi dengan suaranya yang tinggi.

   "Bhagawan Kalasrenggi, guruku bilang bahwa ia tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Andika. Kalau ia mengutus aku menjadi wakilnya memenuhi undangan pada hari ini, hanya karena guruku menghormati Sang Adipati Blambangan sebagai penguasa daerah ini."

   Jawab Ken Darmini lantang.

   Mendengar ini, Sang Adipati Blambangan tersenyum dan berkata dengan ramah.

   "Ken Darmini, kami merasa girang bahwa Andika mewakili Nini Kuntigarba datang menghadiri pertemuan ini, Silakan duduk."

   Tiba-tiba terdengar suara yang tinggi dan suara itu menggetar penuh wibawa yang amat kuat.

   "Ken Darmini, Andika duduklah disini...!"

   Itu adalah suara Bhagawan Kalasrenggi yang mengerahkan tenaga sihirnya untuk mempengaruhi Ken Darmini agar duduk di sebelahnya!

   Kekuatan sihir ini terasa oleh semua orang dan mereka memandang kepada Ken Darmini dengan wajah tegang karena perintah itu sudah merupakan serangan ilmu sihir dan kalau gadis itu mentaati perintah itu berarti dara itu telah kalah!

   Semua orang melihat betapa Ken Darmini yang mendengar ucapan itu menoleh dan memandang kepada Bhagawan Kala-srenggi, lalu... ia menggerakkan kakinya menghampiri kakek itu!

   Semua orang memandang dengan hati tegang. Bahkan Ratna Manohara berdiri dari kursinya. Ia tidak mengenal Ken Darmini walaupun ia juga pernah mendengar nama besar Nini Kuntigarba yang dijuluki Biyang Iblis. Akan tetapi melihat bahwa dalam pertemuan itu hanya ada dua orang wanita, ia dan Ken Darmini, maka tentu saja hatinya condong membela Ken Darmini. Akan tetapi biarpun ia tahu bahwa kakek yang mengerikan itu menyerang Ken Darmini dengan kekuatan sihir, ia tidak boleh membantu Ken Darmini, karena hal itu dianggap tidak sopan melakukan pengeroyokan! Maka ia pun diam saja hanya memandang dengan penuh perhatian dan sepasang alisnya yang hitam kecil melengkung panjang itu berkerut.

   Akan tetapi terjadi perubahan yang tidak tersangka-sangka. Setelah melangkah menghampiri Bhagawan Kalasrenggi dan tampaknya Ken Darmini kalah dan taat, duduk di atas kursi disamping kakek yang memerintahnya itu, dan kini telah tiba dalam jarak tiga meter dari Bhagawan Kalasrenggi, tiba-tiba Ken Darmini berhenti melangkah dan memandang kakek itu dengan mata mencorong dan bibir yang manis itu tersenyum mengejek, lalu jari tangan kanannya menuding ke arah muka kakek itu dan tangan kirinya bertolak pinggang.

   "Heh, kakek tua bangka tengik! Mentang-mentang kamu ini dukun lepus, kamu yang tua bangka hendak mempermainkan orang muda, ya? Dan begitu itu yang kau katakan bersahabat tadi? Hemm, jangan kira aku gentar menghadapi tenung dan santetmu!"

   Semua orang tertegun sekali. Pertama, melihat kenyataan bahwa gadis yang usianya belum ada dua puluh tahun itu mampu mengatasi pengaruh kekuatan sihir Bhagawan Kalasrenggi yang amat dahsyat. Dan ke dua mendengar betapa ucapan gadis itu amat keras dan nadanya menantang Sang Bhagawan!

   Bhagawan Kalasrenggi menjadi merah mukanya karena malu. Sihirnya gagal dan bukan dia yang mempermalukan gadis itu, sebaliknya Ken Darmini yang mempermalukan dia di depan banyak orang! Akan tetapi karena mereka berada di depan Sang Adipati dan tujuan pertemuan ini untuk bersatu padu menghimpun kekuatan menghadapi Mataram, maka dia menahan kemarahannya dan terkekeh.

   "Heh-heh-heh, Ken Darmini! Aku tidak berniat buruk, hanya ingin menguji sampai dimana kehebatan seorang murid Nini Kuntigarba dan ternyata Andika memang hebat dan kuat sekali!"

   Melihat ini, Sang Adipati Blambangan lalu cepat berkata.

   "Kami harap agar pertemuan penting ini tidak diganggu oleh urusan pribadi. Ken Darmini, kami mempersilakan Andika memilih dan mengambil tempat duduk karena pembicaraan akan segera kami mulai."

   Ken Darmini yang tadinya memandang kepada kakek itu dengan mata mencorong, kini tersenyum dan menghadap Sang Adipati sambil berkata.

   "Terima kasih dan maafkan saya, Paman Adipati!"

   Gadis ini memang watak dan sikapnya liar, bahkan ia begitu saja menyebut Adipati Blambangan dengan panggilan "paman"!

   

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini