Bagus Sajiwo 8
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Winarsih juga ikut keluar dan mereka semua berlari keluar. Bukan main besar, lega dan girang hati Winarsih melihat suaminya di dampingi seorang pemuda yang sudah amat dikenalnya, Lindu Aji yang dahulu pernah pula menolongnya, kini mengamuk dikeroyok belasan orang anak buah gerombolan.
Akan tetapi ia terdesak dan ikut dengan para wanita yang jumlahnya semua ada enam belas orang itu, berlari kepelataran dan melihat beberapa orang anak buah gerombolan yang terluka dan merintih-rintih tidak berdaya itu, mereka seperti kesetanan. Mereka berebutan mengambil kelewang-kelewang para penjahat yang berserakan, lalu bagaikan harimau-harimau betina yang ganas mereka membacoki para anak buah gerombolan yang terluka tak berdaya itu.
Winarsih melihat sosok tubuh raksasa hitam menggeletak tak jauh dari situ. Cepat dihampirinya dan ketika melihat Ki Singobarong seperti tertidur, bangkit dendam kemarahan di hati Winarsih. Dicabutnya patrem yang selama ini dipergunakan untuk mengancam bunuh diri sehingga selama dua malam ini ia sama sekali tidak berani tertidur, Lalu dihampiri tubuh Ki Singobarong dan tanpa ragu-ragu lagi ia membungkuk dan menancapkan patremnya ke lambung raksasa itu, tepat di ulu hatinya.
"Clesss....!"
Patrem yang runcing tajam itu masuk dengan mudahnya menembus kulit dan jantung Ki Singobarong yang masih pingsan!
Darah mengalir dan Winarsih menjadi ngeri lalu bangkit dan mundur-mundur dengan muka pucat.
Patremnya masih menancap sampai kegagangnya di dada Ki Singobarong. Sementara itu, belasan orang wanita muda yang tadinya menjadi permainan para penjahat itu membantai para anak buah gerombolan yang sembilan orang banyaknya itu.
Mereka yang dibantai hanya dapat berteriak-teriak mengaduh dan ketakutan, akan tetapi para wanita itu tidak mengenal ampun. Sakit hati mereka terlalu besar dan mereka baru merasa puas setelah sembilan orang itu roboh mandi darah dengan tubuh terkoyak-koyak dan tewas semua!
Para wanita itu ada yang saling rangkul dan menangis tersedu-sedu, teringat akan nasib mereka ketika masih berada dalam cengkeraman gerombolan penjahat yang memperlakukan mereka sekejam iblis itu.
Lima belas orang yang mengeroyok Lindu Aji dan Ki Sumali itupun dihajar habis-habisan sehingga delapan orang sudah roboh dan yang tujuh orang lagi melarikan diri tunggang langgang dan menyusul kawan-kawan mereka yang sudah lebih dulu melarikan diri meninggalkan Nusakambangan.
Lindu Aji dan Ki Sumali tidak melakukan pengejaran dan melihat ada lagi delapan orang musuh menggeletak tidak berdaya karena terluka, para wanita itu sudah mengambil klewang yang berlumuran darah, dengan niat untuk mencacah-cacah lagi tubuh delapan orang itu.
Akan tetapi Lindu Aji yang sudah menengok dan ngeri melihat betapa para gerombolan yang terluka tadi kini telah tewas secara mengerikan, cepat menghadang mereka dan berkata dengan suara membentak.
"Berhenti! Kalian tidak boleh membunuhi mereka yang sudah terluka!"
Seorang di antara para wanita itu, yang lebih berani dan usianya sudah sekitar dua puluh tiga tahun, wajahnya hitam manis, lalu berkata kepada Lindu Aji dan Ki Sumali yang berdiri di samping pemuda itu.
"Denmas berdua, kami berterima kasih sekali atas pertolongan andika berdua sehingga kami dapat terbebas dari tangan iblis-iblis berwujud manusia itu. Akan tetapi jangan halangi kami membunuh mereka!"
"Hentikan, mbakayu, tidak boleh membunuh orang begitu saja, apa lagi mereka sudah terluka dan tidak dapat melawan."
Kata Lindu Aji.
"Denmas, kalau andika tahu apa yang mereka lakukan terhadap kami selama ini, mereka itu dibunuh seratus kali juga belum impas!"
Lindu Aji mengangguk.
"Kami mengerti, mereka ini memang orang-orang yang jahat dan kejam! Mereka telah menerima hukuman dan terluka. Kalau andika sekalian hendak membunuhnya secara kejam pula, lalu apa bedanya antara mereka dan andika sekalian? Cukuplah andika sekalian membunuhi mereka yang disana itu, jangan ditambah lagi. Mereka ini kita butuhkan untuk mengurus dan menguburkan mayat-mayat itu."
Sementara itu, Ki Sumali melangkah pergi kepekarangan depan dimana dia melihat Winarsih masih berdiri pucat memandang ke arah tubuh Ki Singobarong yang telah dibunuhnya.
Ki Sumali juga memandang ke arah tubuh itu dan melihat bahwa Ki Singobarong telah tewas dengan dada tertancap sebatang patrem. Dia segera mengenal senjata itu. Itu adalah patrem milik isterinya.
Dia sendiri yang dulu memberikan patrem itu kepada isterinya untuk dipakai menjaga diri dan sejak itu, Winarsih selalu membawa patrem itu kemana pun ia pergi. Dan kini, patrem itu telah tertanam di dada Ki Singobarong, berarti isterinya tadi yang membunuh Ki Singobarong yang sedang rebah pingsan. Dia menoleh kepada isterinya yang masih berdiri disitu dan kini Winarsih menutupi kedua matanya dengan tangan. Ada air mata menetes keluar dari celah-celah jari tangannya.
"Hemm, kalau ditangisi, mengapa tadi dibunuh?"
Ki Sumali berkata lirih, suaranya dingin sekali.
Mendengar suara ini, Winarsih seperti tersentak kaget, kedua tangannya diturunkan dari depan mukanya dan ketika ia melihat Ki Sumali, ia menjerit dan lari menubruk suaminya sambil menangis tersedu-sedu.
Akan tetapi, Ki Sumali menahan dengan kedua tangan memegang pundak Winarsih dan mendorongnya agar jangan mendekat sambil berkata dengan ketus.
"jangan sentuh aku dengan tanganmu yang kotor!"
Winarsih terkejut dan juga heran. Dia mengusap air matanya agar dapat memandang wajah suaminya lebih jelas. Ia melihat wajah suaminya itu demikian keruh, muram dan sepasang matanya itu mencorong penuh kemarahan dan kebencian memandang kepadanya!
"Kakangmas..., ada... apakah...? Kenapa sikapmu seperti itu... kenapa engkau memandangku seperti itu...?"
Ia tergagap, jantungnya seolah berhenti berdetak saking kaget dan khawatirnya.
"Huh, engkau masih bertanya kenapa? Lihat itu! Patremmu masih menancap di dadanya. Engkau membunuhnya kemudian menangisinya, karena engkau menyesal telah membunuhnya! Diam-diam engkau mencintainya, bukan?"
Sepasang mata yang merah oleh tangis itu terbelalak, wajah itu pucat.
"Kakangmas Sumali! Apa yang kau katakan ini? Aku memang telah menancapkan patremku di dadanya, terbawa oleh teman-teman yang mengamuk, dan juga karena benciku terhadap jahanam itu! Dan setelah membunuhnya, aku merasa ngeri atas perbuatanku membunuh orang ... sama sekaii bukan karena aku mencintainya, kakangmas! Bagaimana mungkin engkau menuduh aku mencintanya, mencinta orang yang menyerang kita, yang menculik aku dan melarikan aku ke tempat ini?"
Biarpun hatinya terpukul hebat, wanita itu bicara dengan penuh semangat karena merasa penasaran atas tuduhan suaminya bahwa ia mencinta Ki Singobarong!
Akan tetapi bantahan Winarsih itu tidak melunakkan hati Ki Sumali yang sudah bernyala dibakar api cemburu.
"Hemm, engkau telah dikeramnya selama dua malam, tidur di kamarnya, menjadi bininya! Tentu engkau mencintainya. Aku tidak menuduh sembarangan. Engkau sudah tidur dengan dia, menyerahkan dirimu kepadanya, bukan? Engkau telah ternoda, telah kotor, tidak pantas lagi mendekatiku, apa lagi menyentuhku!"
"Kakangmas! Dia belum pernah menjamahku! Kalau itu sudah dia lakukan, sekarang tentu aku sudah mati. Aku tidak membiarkan diriku ternoda, tidak membiarkan diriku dicemarkan siapapun!"
Ki Sumali tersenyum mengejek.
"Huh, siapa percaya omonganmu? Para wanita itu tadi mengaku bahwa mereka telah diperhina dan dipermainkan. Dan engkau... huh, engkau paling cantik diantara mereka dan Ki Singobarong tergila-gila padamu. Mana mungkin seorang wanita yang telah berada ditangannya selama dua malam menyatakan dirinya masih bersih dan belum ternoda? Ki Singobarong sendiri tadi mengatakan bahwa engkau sudah tidur dikamarnya selama dua malam dan telah menjadi bininya. Sudahlah, penyangkalanmu itu malah semakin memuakkan hatiku!"
"Kakangmas...! Kakangmas Sumali...!"
Winarsih tak dapat lagi menahan tangisnya.
Ia menangis terisak-isak, akan tetapi laki-laki yang amat dicintanya itu, malah memutar tubuh, membalikkan tubuh membelakanginya.
"Kakangmas Sumali..."
Winarsih tampak kebingungan, memandang ke kanan kiri seperti hendak minta bantuan siapa saja, kemudian ia melihat ke arah mayat Ki Singobarong, lalu ia berlari menghampiri mayat itu, dengan keberanian yang muncul dengan tiba-tiba ia mencabut patrem itu dari dada raksasa hitam itu. Ia memegang patrem yang masih berlumur darah itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, dengan ujung mengarah dadanya.
"Kakangmas Sumali..., engkau... engkau tidak lagi percaya padaku... engkau menuduhku... telah ternoda... untuk apa aku hidup tanpa kepercayaan suami lagi ..., selamat tinggal, kakangmas, semoga engkau hidup bahagia... tanpa... aku...!"
Sekuat tenaga Winarsih menggerakkan tangannya dan
(Lanjut ke Jilid 09)
Bagus Sajiwo (Seri ke 04 - Serial Pecut Sakti Bajrakirana)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
patrem berlumur darah itu meluncur ke arah dadanya!
"Wuuttt... tringgg...!!"
Sebuah kerikil meluncur dan menghantam patrem yang sedang meluncur hendak menghunjam dada yang montok itu.
Patrem itu melenceng dan terlepas dari pegangan tangan Winarsih, akan tetapi menyerempet pundak kiri merobek kulit pundak yang putih mulus itu sehingga berdarah.
Tubuh Winarsih terhuyung kebelakang dan tentu sudah terpelanting jatuh kalau saja Lindu Aji yang tadi menyambit patrem itu dengan kerikil tidak cepat melompat dan menangkapnya.
Winarsih tidak jadi jatuh dan ketika melihat bahwa yang menangkapnya itu Lindu Aji, ia langsung menangis tersedu-sedu dan menjatuhkan diri berlutut, menutupi muka dengan kedua tangan, tidak memperdulikan pundak kirinya yang terluka cukup parah sehingga darah mengalir keluar.
"Biarkan aku mati... ah, biarkan aku mati... untuk apa aku hidup... orang yang paling kucinta... satu-satunya orang yang kucinta... menyangka aku tidak setia... tidak lagi percaya kepadaku... ohhh..."
Dan saking sedihnya, Winarsih terkulai dan jatuh pingsan!
Lindu Aji yang tadi bercakap-cakap dengan para wanita yang menjadi tawanan gerombolan, terutama dengan tiga orang gadis yang terpilih menjadi isteri Ki Singobarong, sudah mendengar akan kesetiaan Winarsih yang mengancam akan membunuh diri kalau hendak diperkosa sehingga sampai saat itu masih belum terjamah oleh Ki Singobarong, sempat melihat Winarsih hendak bunuh diri.
Karena tidak keburu datang mencegah, maka dia menggunakan kerikil untuk menyambit patrem itu dari tangan Winarsih sehingga nyawa wanita itu dapat terselamatkan walaupun ia mengalami luka di pundak yang mengeluarkan banyak darah.
Kini Lindu Aji memandang ke arah Ki Sumali yang masih berdiri membelakangi Winarsih. Mata pemuda itu mencorong penuh kemarahan.
"Paman Sumali...!!"
Dia membentak, demikian keras bentakannya sehingga Ki Sumali menjadi terkejut dan cepat memutar tubuh menghadapi Lindu Aji.
Dia melihat Winarsih tergeletak. Hatinya luluh penuh iba dan sayang, namun cemburu membuat dia mengeraskan perasaannya dan bersikap tidak acuh. Dia memandang kepada Lindu Aji dengan mata penuh pertanyaan melihat pemuda itu seperti orang yang marah sekali.
Lindu Aji memang marah bukan main. Ini sudah ke dua kalinya Ki Sumali mencurigai isterinya karena cemburu dan tidak percaya akan kesetiaan isterinya. Dulu, ketika pertama kali bertemu dengan Ki Sumali, dia harus juga membela Winarsih dari kecemburuan Ki Sumali.
Dia pada dua tahun yang lalu, ketika lewat daerah Loano, melihat Winarsih dilarikan perampok. Dia berhasil menolong Winarsih dan mengantarkan wanita itu pulang. Eh, Ki Sumali menerima mereka dengan hati penuh cemburu, menyangka isterinya bercintaan dengan Lindu Aji sehingga terjadi perkelahian. Baru setelah Ki Sumali melihat keris pusaka Nogowelang pemberian Sultan Agung kepada Aji, Ki Sumali memberi hormat karena keris itu merupakan tanda orang kepercayaan Sultan Agung.
Kini keris pusaka itu telah dikembalikan kepada Sultan Agung oleh Aji. Dan sekarang, sekali lagi Ki Sumali mencurigai isterinya tidak setia kepadanya. Maka dia menjadi marah sekali dan merasa kasihan kepada Winarsih, seorang isteri yang setia dan mencinta suaminya.
Setelah Ki Sumali memutar tubuh menghadapinya, Lindu Aji menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Ki Sumali dan terdengar suaranya yang tegas dan ketus penuh wibawa.
"Paman Sumali, engkau adalah seorang suami yang paling brengsek yang pernah kulihat! Engkau hanyalah seorang hamba nafsu cemburu yang tidak ketulungan lagi! Engkau melempar fitnah seenak perut sendiri kepada isterimu yang setia. Ini membuktikan bahwa cintamu terhadap isterimu hanyalah cinta nafsu belaka!"
Lindu Aji menggapai kepada tiga orang wanita yang terpilih menjadi isteri Ki Singobarong, yaitu Karsih, Darni dan Tinah. Tiga orang gadis itu datang menghampiri Lindu Aji yang mereka anggap sebagai penolong mereka.
Setelah mereka datang dekat, Aji berkata.
"Coba kalian ceritakan yang sebenarnya tentang Winarsih ketika berada dalam tahanan Ki Singobarong. Ceritakan sejujurnya kepada suaminya yang dirasuki setan cemburu ini!"
"Mbakayu Winarsih sama sekali belum tersentuh siapapun juga!"
Kata Karsih.
"Ia mengancam untuk membunuh diri dengan patremnya kalau dipaksa sehingga dua malam lamanya ia tidak pernah tidur, hanya menjaga diri."
Kata Darni.
"Semua itu benar, kami menjadi saksinya. Ki Singobarong sendiri tidak dapat memaksanya dan pernah dia berkata kepadaku bahwa dia tidak mau menggunakan kekerasan atau pengaruh sihirnya karena dia ingin mbakayu Winarsih menyerahkan diri dengan suka rela. Ki Singobarong benar-benar jatuh cinta kepadanya dan menginginkan Mbakayu Winarsih menjadi isterinya yang sah."
Kata Tinah.
"Nah, engkau mendengar sendiri kesaksian mereka, paman. Masihkah engkau tidak percaya akan kesetiaan isterimu yang begitu mencintaimu? Terlalu...!!"
Kata Lindu Aji dengan nada gemas.
Sementara itu, mendengar kesaksian tiga orang wanita itu, hati Ki Sumali luluh. Kecemburuan dan kemarahannya lenyap. Sebetulnya sejak tadi dia merasa trenyuh melihat tubuh isterinya tergeletak disana dan pundak kirinya berdarah.
"Kalau tidak cepat kulemparkan batu untuk memukul patremnya, tentu sekarang isterimu sudah menjadi mayat dan engkaulah pembunuhnya, paman, engkau pembunuhnya! Engkau yang melukai pundaknya itu!"
Bentak Aji yang masih dibakar penasaran dan marah.
Ki Sumali menubruk tubuh Winarsih, merangkul dan mengangkat kepala itu, dipangkunya dan didekapnya.
"Winarsih... ampunkan aku... mataku telah buta oleh cemburu... Winarsih..."
Laki-laki yang terkenal sebagai pendekar Loano itu meneteskan air mata.
Winarsih membuka kedua matanya dan melihat betapa ia berada dalam rangkulan suaminya, ia mengeluh dan merangkul leher suaminya dengan kedua lengannya.
"Kakangmas Sumali...!"
Suami isteri itu bertangisan dan saling rangkul.
"Paman Sumali, engkau. laki-laki yang tak tahu diri. Mempunyai seorang isteri yang begitu muda, yang sepatutnya menjadi anakmu, begitu mencintamu, begitu setia, engkau malah mencurigainya, engkau tidak percaya kepadanya. Bahkan, andaikata ia diperkosa dengan kekerasan, apakah itu kesalahannya? Engkauiah yang bersalah, karena engkau tidak mampu melindungi isterimu sehingga dilarikan penjahat. Kalau sampai ia diperkosa orang juga karena ia tidak berdaya, bukan ia yang hina, melainkan engkau, paman! Engkau yang hina karena engkau suaminya tidak mampu melindunginya. Akan tetapi engkau selalu tidak percaya karena cemburu. Sudah dua kali aku menghadapi sikapmu yang brengsek ini. Aku malu menjadi sahabatmu, aku muak. Lebih baik aku pergi!"
Setelah memuntahkan semua penguneg-uneg saking penasaran melihat kecemburuan Ki Sumali yang hampir mengakibatkan Winarsih isteri yang setia itu mati membunuh diri, Lindu Aji dengan marah lalu membalikkan tubuhnya dan hendak pergi meninggalkan tempat itu.
"Adimas Lindu Aji...!!"
Winarsih menjerit, meronta lepas dari rangkulan suaminya dan lari menubruk kedua kaki Lindu Aji sambil menangis.
Karena kedua kakinya dirangkul, terpaksa Aji menghentikan langkahnya.
"Adimas Lindu Aji, maafkanlah suamiku. Adimas..., kasihanilah dia, kasihanilah kami, maafkan dia. Dia sama sekali tidak jahat, hanya... hanya... agak lemah... adimas Aji, aku yang mintakan maaf baginya kepadamu."
Lindu Aji menghela napas panjang dan seketika kemarahannya padam. Nafsu tidak akan bertahan lama mengeram dihati pemuda ini. Dirinya sudah terbimbing oleh Kekuasaan Tuhan lahir batin sehingga iblis sendiri tidak akan bertahan lama menguasainya. Dia memegang kedua lengan wanita itu dan mengangkatnya bangun.
"Baiklah, Mbakayu Winarsih. Aku maafkan Paman Sumali dan biarlah ini merupakan pelajaran baginya sehingga dia dapat mengubah wataknya yang pencemburu. Aku sudah melupakan semuanya. nah, Paman Sumali, engkau melihat sendiri betapa besar rasa sayang dan setia dalam hati isterimu ini kepadamu."
Ki Sumali bangkit berdiri.
"Maafkan sikapku tadi, anakmas Lindu Aji. Aku memang bersalah... aku memang bersalah... aku memang bersalah..."
Dia menampari kepalanya sendiri.
"Cemburu ini ... dia selalu menggodaku... keparat...!"
Winarsih kini berlari menghampiri suaminya dan memegang kedua tangannya.
"Sudahlah, kakangmas. Adimas Lindu Aji tidak marah lagi dan kami sudah memaafkanmu."
Ki Sumali merangkul.
"Winarsih, engkau isteriku yang bijaksana dan berbudi mulia. Mari, kurawat dulu luka di pundakmu itu."
Lindu Aji lalu menghampiri delapan orang anggauta gerombolan yang tadi roboh terluka dan kini mereka duduk merawat luka masing-masing dengan sikap ketakutan. Mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah pemuda sakti mandraguna itu, mereka kini sudah mati dengan tubuh tercincang hancur seperti mereka yang tadi dikeroyok para wanita itu.
"Kuperingatkan kalian! Sekali ini kalian masih beruntung tidak kami bunuh. Bertaubatlah dan mulai sekarang, jadilah orang yang baik dan jangan mengganggu orang lain. Untuk makan, kalian dapat mengolah tanah untuk ditanami. Kalau ingin berkeluarga, menikahlah dengan baik-baik. Sekarang kalian harus mengurus mayat-mayat itu, menguburkan mereka sebagaimana mestinya. Kalau lain kali kami masih mendapatkan kalian melakukan kejahatan, kami tidak akan memberi ampun lagi!"
Kemudian, para wanita itu oleh Aji dan Ki Sumali diangkut dengan perahu dan mereka semua meninggalkan Nusa-kambangan.
Ki Sumali semakin tunduk dan hormat kepada Lindu Aji setelah melihat betapa Lindu Aji benar-benar telah melupakan semua peristiwa tadi, sikapnya sama sekali tidak ada bekas-bekas kemarahannya. Kini sikapnya hormat dan ramah seperti biasa. Setelah tiba di rumahnya, Winarsih lalu sibuk membuat hidangan paling meriah yang dapat ia lakukan, dengan menyembelih beberapa ekor ayam peliharaannya, dibantu oleh beberapa orang wanita tetangga yang datang menjenguknya.
Malam nanti keluarga ini akan menjamu para tetangga untuk merayakan kepulangan Winarsih dengan selamat.
Sementara itu, Lindu Aji dan Ki Sumali bercakap-cakap di ruangan dalam.
"Anakmas, sungguh kedatanganmu di Loano ini seolah-olah dibimbing Gusti Allah untuk menolong kami. Entah apa jadinya dengan kami kalau andika tidak datang."
Kata Ki Sumali, terharu karena setiap kali muncul, pemuda ini selalu menolong dia dan isterinya.
Lindu Aji menghela napas dan menatap wajah Pendekar Loano itu.
"Paman Sumali, sesungguhnya segala sesuatu yang terjadi pada diri kita sudah ditentukan Gusti Allah. Tinggal terserah kepada kita bagaimana kita menerima dan menghadapi kenyataan yang terjadi pada diri kita itu. Sebetulnya, kunjunganku ini mengandung sebuah keinginan, yaitu selain menjenguk keadaan paman berdua, juga untuk bertanya apakah diajeng Sulastri ada datang berkunjung kesini selama ini?"
Ki Sumali mengangguk.
"Benar, anak-mas Lindu Aji, ia pernah singgah disini, kira-kira setahun yang lalu."
Aji menjadi girang sekali mendengar ini.
"Ah, ia pergi kemana, paman? Sekarang ia berada dimana? Aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Sayang sekali ia tidak mengatakan hendak pergi ke mana, anakmas. Ia hanya menceritakan bahwa ia meninggalkan Dermayu dan ingin merantau, tanpa mengatakan kemana. Dan ia juga bertanya apakah selama itu andika pernah mampir disini. Ia tinggal hanya dua hari disini lalu pergi, entah kemana."
Lindu Aji menghela napas lagi, akan tetapi sekali ini helaan napas karena kecewa dan bersedih. Kembali dia kehilangan jejak Sulastri. Gadis itu setahun yang lalu berada disini, dan kalau Ki Sumali saja yang merupakan orang terdekat gadis itu tidak tahu kemana ia pergi, siapa lagi di Loano yang akan dapat memberi tahu?
Melihat sikap pemuda itu, Ki Sumali yang sudah banyak pengalaman itu menduga bahwa tentu telah terjadi apa-apa dengan mereka berdua. Sulastri adalah keponakannya sendiri, maka dia memberanikan diri berkata.
"Anakmas Aji, ketika ia berada disini, Sulastri banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang hebat bersama andika, betapa ia sempat terjatuh ke dalam jurang sehingga hilang ingatannya dan namanya diubah menjadi Listyani atau Eulis. Dari sikapnya dan cara ia bercerita, biarpun ia tidak mengaku dengan kata-kata, aku dan isteriku dapat menduga dengan mudah bahwa Sulastri sebetulnya jatuh cinta padamu. Dan... kalau aku tidak salah sangka, agaknya andika juga mencintainya. Andika berdua Sulastri kami kira merupakan pasangan yang cocok dan pantas sekali. Akan tetapi kenapa sekarang andika berdua saling berpisah?"
Sekali lagi Lindu Aji menghela napas panjang. Ki Sumali adalah seorang sahabat baik, juga dia adalah paman dari Sulastri. Tidak ada salahnya berterus terang.
"Sesungguhnya demikian, paman. Akan tetapi, terjadi kesalah-pahaman diantara kami berdua. Tadinya kami mengira bahwa masing-masing dari kami mencinta orang lain, maka kami berdua mengalah dan mundur, membiarkan masing-masing berjodoh dengan orang lain yang dicinta itu. Akan tetapi ternyata kemudian ... ah, betapa bodohnya kami... ternyata perkiraan kami itu keliru. Kami berdua tidak pernah mencinta orang lain. Akan tetapi kami sudah terlanjur saling berpisah, paman. Karena itu, aku sekarang mencarinya untuk membereskan kesalah-pahaman itu dan minta keputusan darinya."
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ki Sumali mengangguk-angguk dan diapun menghela napas karena teringat akan dirinya sendiri.
"Sikap. andika berdua itu membuktikan bahwa andika berdua memiliki kasih sayang sejati, anak-mas. Rela mengalah, berkorban demi kebahagiaan orang yang dicinta. Makin tampak sekarang olehku, alangkah buruknya cintaku terhadap Winarsih, penuh cemburu, penuh keakuan, mementingkan diri sendiri..."
"Sudahlah, paman. Setidaknya pengalaman yang sudah lalu dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk mengubah semua sikap dan tindakan kita yang salah."
"Andika benar, anakmas Lindu Aji. Menyesal sekali aku tidak dapat membantu dengan menunjukkan dimana Sulastri kini berada. Akan tetapi kalau sewaktu-waktu ia singgah lagi disini, tentu aku akan menceritakan semua tentang kesalah-pahaman kalian itu."
"Terima kasih, paman."
Malam itu Lindu Aji ikut merayakan pesta sukuran yang diadakan Ki Sumali dan Nyi Winarsih, dihadiri para tetangga. Kemudian dia bermalam dalam sebuah kamar yang pernah menjadi tempat Sulastri bermalam ketika singgah di rumah pamannya itu.
Malam itu Aji tidak dapat segera pulas. Dia rebah di atas pembaringan dan termenung. Pemuda ini tidak pernah membiarkan diri larut dalam kesedihan. Dia hanya merasa betapa hatinya dipenuhi perasaan iba. Iba kepada Sulastri, kepada Jatmika dan kepada Neneng Salmah. Betapa cinta kasih mempermainkan mereka, juga dia.
Dia merasa rindu sekali kepada Sulastri, ingin sekali segera dapat berjumpa dengan gadis pujaan hatinya itu. Akan tetapi kemana dia harus mencarinya? Dia berpikir keras, menduga-duga kemana kiranya perginya gadis itu. Sulastri meninggalkan Dermayu, lalu singgah ke Loano. Dermayu ke Loano adalah perjalanan yang menuju ke tenggara, Kalau begitu, besar kemungkinan Sulastri melanjutkan perjalanannya ke timur. Mungkin ke Mataram karena bagaimanapun juga, selama ini Sulastri juga ikut berjuang membantu Mataram. Karena itu, sebelum pulas Lindu Aji mengambil keputusan untuk mencari di daerah timur.
"Sudah cukup, Bagus... sudah, aku tidak merasa terlalu dingin lagi..."
Kata Maya Dewi sambil melepaskan diri dari rangkulan Bagus Sajiwo.
Selama kurang lebih dua minggu ia berlatih di puncak Gunung Wilis yang amat dingin itu untuk mengusir hawa panas beracun dari aji-nya sendiri Tapak Rudira yang membalik dan meracuni atau melukai dirinya sendiri. Dalam usaha mengusir hawa panas beracun ini, ia dibantu oleh Bagus Sajiwo. Ia membuka diri menghimpun inti sari hawa dingin di puncak itu, dibantu Bagus Sajiwo yang mengerahkan tenaga sakti yang dingin.
Karena kedinginan, maka setiap malam di waktu hawa sedang dingin-dinginnya, terpaksa ia berpelukan dengan Bagus Sajiwo. Bukan hanya kehangatan tubuh Bagus Sajiwo yang membantu ia menahan rasa dingin yang hebat itu, melainkan terutama sekali karena dalam rangkulan pemuda remaja itu ia merasa aman damai dan terlindung.
Pagi itu, setelah lewat kurang lebih setengah bulan, Maya Dewi merasa betapa hawa panas beracun dalam dirinya telah hilang. Memang pagi itu hawa di puncak Wilis masih dingin, bahkan teramat dingin bagi orang biasa. Akan tetapi kini Maya Dewi tidak lagi membuka diri menghimpun inti hawa dingin dan mendengar ucapan Maya Dewi, Bagus Sajiwo juga menghentikan pengerahan hawa dingin melalui telapak tangan yang ditempelkan di punggung Maya Dewi. Maka hawa yang dingin itu tidak mengganggu.
"Bagus, kini engkau telah benar-benar terbebas dari pengaruh kedua hawa yang berlawanan, yang melukai dalam tubuhmu, Dewi. Engkau telah sembuh!"
Kata Bagus Sajiwo dengan girang pula.
Maya Dewi menanggalkan kain-kain yang diselimutkan diluar tubuhnya dan ia bangkit berdiri lalu memasang kuda-kuda seperti orang hendak bertanding silat.
"Eh, engkau mau apa? Dewi?"
Tanya Bagus Sajiwo dengan heran dan khawatir karena dia tahu benar walaupun kini nyawa wanita itu tidak terancam maut dan ia sudah sembuh benar, namun keadaan tubuhnya menjadi amat lemah.
"Aku mau berlatih, Bagus!"
Katanya dan mulailah wanita itu bergerak dalam jurus-jurus silat.
Gerakannya akan tampak gesit bagi penglihatan orang biasa, akan tetapi Bagus Sajiwo tahu betul bahwa wanita itu sudah kehilangan kelincahannya, jauh menurun dibandingkan ketika bertemu untuk pertama kalinya, ketika Maya Dewi bertanding melawan Raden Jaka Bintara dan Kyai Gagak Mudra.
Setelah ia terluka parah kemudian berhasil diselamatkan, tentu saja kelincahannya menurun banyak sekali, walaupun tentu saja ia masih mahir menggerakkan kaki tangannya karena gerakan silat itu sudah mendarah daging pada dirinya.
Agaknya Maya Dewi juga merasakan kelambatannya ini. Ia merasa penasaran sekali dan tiba-tiba membentuk jari-jari tangannya seperti cakar dan menyerang dengan kuku-kukunya ke depan sambil mengerahkan tenaga sakti dan membentak.
"Aji Wisa Sarpa!"
Ia mencengkeram ke arah sebongkah batu dan... ia menjerit karena kuku-kukunya patah dan jari-jari tangannya terasa nyeri! Padahal biasanya kalau ia menggunakan aji yang ampuh itu, batu dapat dicengkeram hancur.
Ia masih penasaran. Digosok-gosoknya kedua telapak tangannya, lalu memukul ke depan dengan dorongan kedua telapak tangan sambil berseru nyaring.
"Aji Tapak Rudira!"
Dihantamnya batu itu, akan tetapi sekali lagi ia menjerit.
Bukan batu itu yang pecah seperti biasa kalau ia latihan aji itu, melainkan telapak tangannya yang terasa nyeri, juga kedua telapak tangannya tidak mengepulkan asap panas,
"___aduh... aku... aku menjadi seorang yang lemah...!"
Wanita itu terkulai dan jatuh bersimpuh lalu... menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil kehilangan mainan yang disayangnya.
Ia menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah jari tangan itu keluar air matanya menetes-netes!
Bagus Sajiwo memandang dengan bengong, terheran-heran akan apa yang dilihatnya. Di waktu menderita kepanasan lalu kedinginan sehebat itupun, Maya Dewi memang mengeluh akan tetapi tidak menangis-tersedu-sedu-seperti itu. Sukar membayangkan wanita yang berwatak sekeras baja itu dapat menangis seperti seorang anak kecil yang cengeng!
Timbul rasa iba di dalam hatinya. Akan tetapi dia tidak jadi menyentuh atau mengeluarkan kata hiburan, walaupun tangannya sudah terjulur dan mulutnya sudah terbuka. Tidak, dalam keadaan seperti itu, semua hiburan akan sia-sia, bahkan mungkin semakin memilukan hati Maya Dewi atau membuat ia kesetanan dan marah-marah seperti yang sudah-sudah. Biarkan ia menangis sepuasnya agar semua kekecewaan dan kesedihannya terkuras keluar.
Akan tetapi, dibiarkan saja Maya Dewi terus menangis tiada hentinya, tangisnya mengguguk sampai napasnya tersendat-sendat.
Bagus Sajiwo tidak tahan melihatnya dan dia lalu dengan hati-hati dan lembut menyentuh pundak wanita itu.
"Dewi, jangan bersedih..."
Seperti ditakuti Bagus Sajiwo, mendengar ucapan itu, tangis Maya Dewi semakin mengguguk.
"Tidak...! Aku perempuan lemah, tak berguna... untuk apa hidup tak berdaya seperti ini...? Lebih baik mati...!"
Tiba-tiba tangan kanan wanita itu bergerak dan menampar kepalanya sendiri.
"Plak!"
Dan tubuhnya jatuh terguling.
Bagus Sajiwo terkejut setengah mati dan cepat menubruk untuk memeriksa keadaan Maya Dewi. Dia bernapas lega ketika melihat betapa wanita itu tidak apa-apa, tidak terluka sama sekali.
Pada saat itu dia tersenyum sendiri, teringat bahwa tamparan tangan Maya Dewi tadi tentu saja tidak berbahaya, seperti tamparan tangan wanita lemah biasa karena ia telah kehilangan tenaga saktinya. Kalau tenaga saktinya masih ada, tamparan tadi tentu akan menghancurkan isi kepalanya dan nyawanya tak mungkin dapat ditolong lagi.
Kini Bagus Sajiwo duduk di atas batu dekat Maya Dewi. Wanita itu rebah telentang seperti orang tidur. Bagus Sajiwo tahu bahwa ia jatuh pingsan karena tekanan batinnya ditambah tamparan yang hanya menggunakan kekuatan tangan yang sudah lemah itu.
Biarlah Maya Dewi dibiarkan seperti itu agar dapat beristirahat. Istirahat badan dan batinnya karena dalam keadaan seperti itu, semua kekecewaan dan kesedihan yang timbul dari pikiran lenyap sehingga batinnya dapat mengaso.
Dia mengamati wajah itu. Wajah yang amat jelita. Rambut yang hitam panjang dan halus itu terurai lepas dari sanggulnya, berjuntai sebagian menutupi leher dan pundaknya.
Matanya yang biasanya lebar dengan kedua ujung meruncing ke atas sehingga tampak indah sekali itu ikut terpejam dan dalam keadaan terpejam seperti itu tampak betapa bulu matanya lebat, panjang dan melengkung menggelapkan bawah matanya.
Hidung yang kecil mancung itu bernapas lembut, mulut dengan bibir berbentuk indah namun kini agak pucat itu tertutup. Lehernya panjang dan kulit lehernya putih sekali, putih mulus dan tampak semakin putih kekuningan karena sebagian tertutup rambut yang hitam.
Dada yang membusung sehingga kain penutupnya seolah akan pecah itu naik turun perlahan oleh pernapasannya. Makin dipandang, semakin besar rasa iba menyelimuti perasaan hati Bagus Sajiwo. Apa lagi ada dua butir air mata masih berada di atas pipi bawah mata, membuat wajah itu tampak memelas (menimbulkan iba) sekali.
Wanita yang malang, pikirnya, wanita yang menurut pengakuannya, sepanjang hidupnya penuh dengan kekerasan, agaknya benar-benar tak pernah merasakan kebahagiaan hidup yang sesungguhnya.
Timbul rasa sayang membayangi rasa iba dihati Bagus Sajiwo. Timbul keinginannya untuk membahagiakan wanita ini, untuk menghiburnya dan menuntunnya, walaupun dia lebih muda, ke arah jalan benar, menyadari kesesatannya dan sedapat mungkin mengubah jalan hidupnya, mengenal Gusti Allah dan menjadi alatNya.
Membayangkan kembali betapa tersiksanya Maya Dewi ketika mengusir hawa beracun dalam tubuhnya, selama sebulan lebih, menderita lahir batin, Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Wanita ini bukan hanya menderita jasmaninya, akan tetapi juga rohaninya.
Kini ia rebah seperti tidur pulas, dengan wajah pucat agak kurus, wajahnya begitu tenang, begitu damai karena semua pikiran yang menjadi sumber segala konflik batin, sumber segala kesengsaraan, pada saat itu tidak bekerja. Seperti wajah seorang kanak-kanak yang tidak berdosa.
Bagus Sajiwo teringat ketika dia masih tinggal bersama Ki Ageng Mahendra di pegunungan Ijen, dia terkadang berkunjung ke dusun di kaki bukit dan bermain-main dengan anak-anak dusun itu. Dia merasa sayang kepada anak-anak yang tidak berdosa dan masih lugu (jujur) itu dan dengan rasa sayang dia suka membelai dan mengambung (mencium dengan hidung) pipi-pipi yang segar kemerahan itu.
Kini, melihat Maya Dewi rebah seperti seorang anak-anak tertidur nyenyak, timbul rasa sayangnya dan seperti ada dorongan dari dalam, dia membungkuk dan mengambung pipi kanan Maya Dewi dengan penuh kasih sayang! Sama sekali tidak terduga oleh Bagus Sajiwo bahwa pada saat itu juga Maya Dewi sadar dari pingsannya dan tentu saja wanita itu terkejut ketika Bagus Sajiwo mencium pipinya.
Walaupun perbuatan Bagus Sajiwo itu dilakukan dengan lembut, ujung hidungnya hanya menyentuh pipi, namun berbagai perasaan teraduk dalam hati Maya Dewi. Mula-mula ia merasa heran, lalu terharu, bersyukur dan ada rasa senang yang luar biasa, membuat hatinya penuh dan jantungnya berdebar. Belum pernah ia merasakan seperti itu.
BANYAK pria sudah digaulinya, akan tetapi semua cumbu rayu para pria itu hanya membangkitkan gairah berahi saja yang sesudahnya terasa hampa, bahkan menjemukan dan memuakkan. Akan tetapi ciuman sopan yang dilakukan Bagus Sajiwo itu terasa lain sama. sekali, bahkan belum pernah ia rasakan, atau, kini ia teringat bahwa pernah ia merasakan kesenangan seperti ini ketika ia masih kecil dan diciumi ibunya! Ya, seperti ciuman ibunya itulah. Terasa sekali olehnya betapa dulu ibunya amat menyayangnya dan kasih sayang itu terasa benar dalam ciuman itu. Kini, iapun merasakan kasih sayang hangat seperti itu terkandung dalam ciuman Bagus Sajiwo ke pipi kanannya.
Tak tertahankan lagi rasa keharuan yang bergelora di dalam hati Maya Dewi.
Kedua lengannya merangkul leher Bagus Sajiwo dan diantara tangisnya ia berkata, suaranya penuh permohonan.
"Aduh, Bagus... Bagus... jangan... jangan tinggalkan aku lagi..."
Ia merangkul ketat dan tidak mau melepaskan rangkulannya.
Ia merasa benar bahwa terdapat perbedaan seperti langit dengan bumi ketika ia merangkul Bagus Sajiwo, dibandingkan dengan rangkulannya kepada pria-pria terdahulu. Kalau dulu itu rangkulannya terdorong berahi, kini sama sekali tidak ada rangsangan berahi, melainkan keharuan dan kasih sayang! Seperti orang merangkul orang tuanya, atau anaknya, atau saudara sekandung.
Bagus Sajiwo terkejut. Tak disangkanya Maya Dewi akan secepat itu sadar sehingga dia "tertangkap basah"
Sedang mengambung pipi wanita itu. Dengan lembut dia melepaskan rangkulan kedua lengan Maya Dewi.
"Dewi, sudahlah, jangan menangis. Kini engkau telah sembuh sama sekali, engkau sudah sehat dan terbebas dari ancaman luka beracun dalam tubuhmu.
Mengapa engkau menangis, Dewi? Tentang kehilangan Aji Wisa Sarpa dan Tapak Rudira, jangan engkau khawatir. Olah kanuragan telah mendarah daging dalam dirimu, karena itu engkau dengan mudah dapat melatih diri dan menguasai aji-aji lain yang bersih dan tidak sekotor, sekeji dua ajian itu."'
Maya Dewi bangkit duduk dan mengusap air matanya.
"Aku menangis bukan karena bersedih, Bagus. Aku menangis karena terharu dan gembira. Sekarang jawablah sejujurnya, Bagus. Apakah engkau sayang padaku?"
Pertanyaan yang dianggap wajar saja oleh pemuda itu dan diapun menjawab sejujurnya.
"Tentu saja aku sayang padamu, Dewi. Kalau tidak sayang, kenapa aku harus menemanimu sampai sebulan lebih?"
Mulut yang manis itu kini tersenyum. Tampak aneh karena kedua mata masih merah dan basah air mata, akan tetapi mulutnya tersenyum lebar sehingga deretan gigi rapi dan putih bersih itu berkilauan.
"Terima kasih, Bagus. Baru sekarang , aku merasa disayang orang, cinta kasih sayang demikian menggetarkan sukma. Aku... aku juga sayang padamu, Bagus, rasa sayang seperti ini belum pernah kurasakan selama hidupku. Bagus, kita harus segera menikah..."
"Menikah?"
Bagus Sajiwo berseru kaget seolah menghadapi serangan seekor ular yang memagutnya. Dia undur dua langkah memandang wanita itu dengan mata terbelalak.
"Apa maksudmu, Dewi?"
Maya Dewi tetap tersenyum dan tampak geli.
"Maksudku? Ya menikah, kita menjadi suami isteri. Kemana lagi akhirnya dua orang yang saling mencinta kalau tidak menjadi suami isteri?"
Bagus Sajiwo menghela napas panjang.
"Dewi, sayangku kepadamu bukanlah untuk itu. Aku... aku berusia enam-belas tahun lebih. Bagaimana mungkin menikah? Aku sama sekali tidak mempunyai pikiran untuk menikah, dengan engkau atau dengan siapapun juga."
Pandang mata yang tadinya berseri itu berubah muram dan dengan suara lirih Maya Dewi bertanya.
"Bagus, bukankah tadi engkau mengatakan bahwa engkau sayang kepadaku?"
Bagus Sajiwo mengangguk.
"Memang aku sayang padamu, Dewi."
"Kalau engkau sayang padaku, mengapa engkau tidak mau menikah denganku?"
"Dewi, apakah kalau orang saling mencinta itu harus menikah? Cinta dapat hadir antara anak dan orang tuanya, antara saudara, antara sahabat, apakah mereka juga harus menjadi suami isteri? Tidak, Dewi. Tanpa menjadi suami isteri pun, kita dapat saling menyayangi, saling mengasihi."
"Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi orang tuamu, saudaramu, atau sahabatmu saja. Aku ingin menjadi isterimu, Bagus, dan engkau menjadi suamiku. Atau... katakanlah terus terang saja, Bagus, engkau menolak untuk menikah dengan aku karena aku jauh lebih tua dari pada engkau?"
Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya.
"Tidak, Dewi. Bagiku, engkau sama sekali tidak tampak tua, bahkan terkadang aku berpendapat bahwa engkau masih muda sekali, seperti kanak-kanak. Usiamu tentu hanya berselisih satu dua tahun dengan usiaku."
Maya Dewi menghela napas panjang. Biasanya, tak pernah ia mengatakan usianya yang sebenarnya, apa lagi di depan seorang pria yang menawan hatinya. Ia senang kalau disangka masih muda maka ia selalu membiarkan orang mengira ia baru berusia delapan belas atau sembilan belas tahun. Akan tetapi sekarang ia mempunyai pandangan lain sama sekali. Ia tidak ingin berbohong karena ia merasa bahwa kebohongan itu membohongi dirinya sendiri, menyangkal keadaan yang sebenarnya.
"Bagus, ketahuilah, aku adalah seorang wanita yang telah berusia tiga puluh tahun."
Bagus Sajiwo terbelalak heran.
"Ah, aku tidak percaya, Dewi!"
"Sesungguhnya, Bagus. Aku memang tampak jauh lebih muda karena aku mempergunakan jamu yang langka didapatkan di dunia ini, namanya Suket Sungsang. Bagus, masa laluku penuh kegelapan, aku berkecimpung di dunia hitam. Tidak ada kejahatan yang kupantang melakukannya. Usia tuaku dan masa laluku itukah yang menjadi penyebab engkau tidak sudi menjadi suamiku, Bagus?"
Suara Maya Dewi terdengar gemetar.
Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya.
"Tidak, Dewi. Usia tidak membedakan pandanganku terhadap dirimu. Dan tentang dosa-dosa masa lalu, percayalah, Gusti Allah itu Maha Pengampun dan engkaupun pasti akan diampuni kalau engkau mau mengakui dosa-dosamu dan bertaubat tidak akan mengulang semua perbuatan yang sesat. Akan tetapi, mengapa engkau ingin menjadi isteriku, Dewi? Mengapa kita harus menjadi suami isteri kalau kasih sayang kita dapat kita ujudkan dengan hubungan persahabatan?"
"Bagus, aku ingin kita menjadi suami isteri karena dengan demikian, kita tidak akan saling berpisah, akan selalu bersama dan engkau sebagai suamiku akan selalu membela melindungiku."
Ketika Maya Dewi melihat sinar mata pemuda remaja itu menatapnya dengan tajam penuh selidik, seolah-olah sinar mata itu menembus dirinya dan menjenguk isi hati dan pikirannya, ia cepat menyambung kata-katanya.
"Tidak, jangan pandang padaku seperti itu, Bagus! Aku tidak akan mengulang kelemahanku seperti yang sudah-sudah. Aku ingin kita menjadi suami isteri bukan karena terdorong gairah berahi. Aku sudah muak menjadi hamba nafsu seperti yang sudah. Aku ingin bertaubat dan engkaulah yang dapat membimbingku. Aku ingin engkau menjadi suamiku agar engkau selalu membimbingku, membela melindungiku dan selalu berada di dekatku. Dengan engkau disampingku, aku merasa aman dan damai dan aku berani menyongsong kehidupan yang selama ini penuh dengan kepahitan dan kesengsaraan bagiku."
Bagus Sajiwo menghela napas panjang. Dia adalah seorang pemuda remaja, baru tujuh belas tahun usianya, bahkan masih kurang, juga sama sekali belum berpengalaman. Akan tetapi dia adalah murid mendiang Ki Ageng Mahendra, seorang yang sakti mandraguna dan arif bijaksana sehingga Bagus Sajiwo tidak hanya menerima gemblengan aji kanuragan, akan tetapi juga menerima gemblengan batin dan mendapatkan banyak wejangan tentang kehidupan.
"Dewi, tanpa menjadi suami isteri pun aku akan melindungimu. Adapun tentang bimbingan dalam hidup, tidak ada pembimbing yang benar-benar sempurna kecuali Gusti Allah. Dengan penyerahan diri lahir batin kepada Gusti Allah, maka Dia-lah yang akan selalu membimbingmu."
'Bagus, berkali-kali engkau menyebut-nyebut Gusti Allah, siapa sih sebenarnya itu? Aku sering juga mendengar orang menyebutNya, akan tetapi aku tidak mengenal dan juga tidak pernah bertanya. Baru sekarang aku ingin sekali mengerti dari engkau, Bagus. Apakah sama dengan para dewa? Dan tempat tinggalnya di mana? Bagaimana pula bentuk badan dan wajahNya?"
Semenjak kecil, Maya Dewi memang tidak pernah mendengar tentang Custi Allah, tidak pernah ada yang memberita-hu dan ia hanya mengenal nama-nama para dewa, walaupun ia tidak pernah memeluk Agama Hindu atau Buddha, apa lagi Islam.
Dengan sabar Bagus Sajiwo mencoba untuk memperkenalkan Custi Allah seperti yang pernah dia dengar dari wejangan Ki Ageng Mahendra.
"Para Dewa dan Malaikat itupun hanya mahluk-mahluk ciptaan Custi Allah dan kemampuan mereka terbatas, Dewi. Segala sesuatu yang ada dipermukaan bumi ini, juga berada di atas langit, semua itu adalah ciptaan Gusti Allah. Tempat tinggalNya? Dimana-mana Gusti Allah itu berada, tidak ada tempat yang tidak diliputi KekuasaanNya. Bagaimana bentuk badan dan wajahnya? Wah, tak mungkin kita manusia menggambarkan-Nya, Dewi. Terlalu maha besar dan tidak mungkin mata kita yang kotor penuh dosa ini dapat mellhatNya. Akan tetapi kekuasaanNya dapat kita lihat, dengar, cium dan rasakan dimana-mana. Segala keindahan yang dapat kita lihat adalah hasil KekuasaanNya, segala kemerduan yang dapat kita dengar adalah hasil kekuasaanNya, segala keharuman yang dapat kita cium juga hasil kekuasaanNya. Segala apa yang ada ini terjadl karena kuasaNya, karena ciptaanNya. Raba saja dada kita sendiri. Jantung kita tiada hentinya berdetik sejak kita lahir sampai sekarang dengan teratur, padahal kita tidak dapat mengaturnya! Yang mengatur adalah Gusti Allah dengan kuasaNya."
"Akan tetapi, Bagus. Bagaimana aku dapat percaya akan adanya Gusti Allah kalau aku tidak dapat melihatnya? Bagaimana sesuatu itu dapat ada kalau tidak dapat dibuktikan dengan penglihatan?"
Bagus Sajiwo menghela napas. Sungguh kasihan sekali orang ini, pikirnya. Agaknya dulu orang tuanya tidak mendidiknya dengan baik sehingga wanita itu sama sekali tidak tahu akan Gusti Allah. Mungkin menurut pendapatnya, para penguasa jagad hanyalah dewa yang dapat dilihat arcanya.
"Dewi, apakah engkau percaya bahwa engkau memiliki nyawa dan memiliki pikiran?"
"Tentu saja!"
Jawab Maya Dewi langsung, tanpa dipikir lagi. Semua orang tahu bahwa orang mempunyai nyawa dan pikiran. Mengapa ditanyakan lagi dan apa hubungannya dengan pertanyaannya tentang keberadaan Gusti Allah?
"Nah, nyawa dan pikiran itu tidak dapat kita lihat, tidak dapat dibuktikan dengan penglihatan, pendengaran, penciuman dan perasaan apapun, namun engkau percaya bahwa itu ada! Buktinya adalah hasil pekerjaan mereka. Dengan pikiran engkau dapat berpikir dan mengingat, dan dengan adanya nyawa engkau hidup. Orang yang ditinggalkan nyawanya disebut mati. Gusti Allah jauh lebih besar dari pada semua itu. Nyawa dan pikiran kita pun merupakan anugerahNya, merupakan pemberianNya, merupakan ciptaanNya. Kekuasaan Gusti Allah dapat terlihat dimana pun, kekuasaan yang mengatur bintang-bintang, bulan dan matahari di langit, yang mengatur sehingga jantungmu terus berdetik dan tetap berdetik selama engkau hidup."
"Ah, begitukah, Bagus? Tadinya aku percaya bahwa semua itu dilakukan oleh para dewa."
"Baik dewa-dewa atau para malaikat, mereka semua itu juga merupakan ciptaan Gusti Allah dan mereka menjadi hamba Allah, menjadi alat yang membantu berlangsungnya kekuasaan Gusti Allah. Semua ciptaan Gusti Allah berkewajiban untuk membantu pekerjaanNya, menjadi alatNya yang baik dengan satu tujuan, yaitu Mamayu Hayuning Bawono (Mengusahakan Kesejahteraan Dunia) dengan langkah-langkah hidup melalui jalan kebenaran. Kalau menyimpang dari itu dan sebaliknya melakukan perbuatan-perbuatan jahat yang sifatnya merusak dan sesat, maka kita bukan menjadi hamba Gusti Allah melainkan menjadi hamba iblis!"
"Apa saja yang harus dilakukan orang yang menjadi hamba Gusti Allah itu, Bagus?"
"Yang dilakukan adalah menyalurkan apa saja yang dianugerahkan Gusti Allah kepadanya. Kalau dia mendapatkan berkah kekayaan yang berlimpah, dia dapat menyalurkan berkah itu dengan menolong mereka yang hidupnya miskin dan membutuhkannya. Kalau berkah berlimpah itu berupa kepandaian, dia dapat menyalurkannya dengan mengajar dan memberi penerangan kepada mereka yang bodoh dan tidak mengerti. Kalau dia diberkahi tenaga yang kuat dia dapat menyalurkan tenaga itu dengan menolong dan membantu mereka yang lemah dan masih banyak lagi. Pendeknya kalau kita menerima berkah secara berlebihan, maka kita harus menyalurkannya dan memberi kepada mereka yang membutuhkannya. Gusti Allah itu Maha Murah dan hanya memberi dan memberi, kepada siapa saja tanpa pandang bulu. Sinar matahari yang menghidupkan diberikanNya kepada raja dan juga pengemis, para pendeta dan juga penjahat. Bunga melati memberi keharuman kepada siapapun juga tanpa membeda-bedakan. Kita yang menjadi hamba Gusti Allah juga berkewajiban untuk memberi dan memberi."
"Akan tetapi bagaimana kalau kita tidak mempunyai apa-apa yang berlebihan, Bagus? Tidak mempunyai banyak uang, tidak mempunyai tenaga, tidak memiliki kepandaian, tidak memiliki apa-apa yang dapat diberikan karena untuk dirinya sendiri juga kekurangan? Nah, lalu apa yang dapat dilakukan untuk dapat disebut hamba dan pembantu atau alat Gusti Allah?"
"Banyak yang dapat diberikan kepada orang lain, Dewi. Kata-kata yang manis, senyuman yang cerah, tegur sapa yang lembut, sikap yang menghormat dan ramah, semua itu dapat kita berikan kepada siapa saja dan tidak kalah pentingnya daripada pemberian uang dan lain-lain."
Maya Dewi diam dan termenung. Begitu banyak hal yang didengarnya sebagai hal yang baru, yang belum pernah ia dengar, apalagi ia lakukan. Dahulu, sejak kecil, ia hanya tahu menuntut, minta dipenuhi kehendaknya. Sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memberi. Ia hanya menuntut, minta dilayani, sama sekali tidak ada pikiran untuk melayani. Sekarang baru ia tahu bahwa manusia hidup mempunyai kewajiban yang amat banyak! Ia teringat akan hartanya, sepeti perhiasan dari emas permata.
"Akan tetapi, Bagus. Kalau kita hambur-hamburkan milik kita dan kita berikan kepada orang lain, apakah kita tidak akan kehabisan dan akhirnya kita sendlri terlantar?"
Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya.
"Sama sekali tidak, Dewi. Gusti Allah itu Maha Murah dan Maha Kaya bahkan seluruh apa yang ada di dunia ini adalah milikNya. Karena itu, kalau kita menjadi penyalur berkahNya yang baik, maka kita tidak akan kehabisan bahkan akan mendapatkan berkah lebih banyak lagi. Yang pandai akan menjadi semakin pandai, yang kaya menjadi semakin kaya, yang kuat menjadi semakin kuat karena semua kelebihan itu adalah berkahNya dan diberikan kepada kita untuk disalurkan kepada mereka yang membutuhkan."
"Hemm, sekarang aku mulai mengerti. Itukah yang dimaksudkan mereka yang menamakan diri mereka para pendekar bahwa mereka selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan?"
"Kurang lebih begitulah pendirian para pendekar."
Bagus Sajiwo membenarkan.
"Akan tetapi aku sekarang adalah seorang wanita lemah... tidak mungkin aku menjadi pendekar..."
Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maya Dewi mengeluh sedih.
"Sama sekali tidak, Dewi. Engkau memiliki dasar-dasar ilmu kanuragan yang tinggi tingkatnya. Engkau hanya kehilangan tenaga saktimu saja dan hal itu dapat kau peroleh kembali dengan latihan. Dan untuk itu, aku dapat membantumu."
"Mendapatkan kembali Aji Wisa Sarpa dan Aji Tapak Rudira?"
Bagus Sajiwo menggeleng kepalanya.
"Tidak, Dewi. Kedua aji itu hanya pantas dikuasai orang yang hidupnya sesat, yang menjadi hamba iblis dan hanya dipergunakan untuk melakukan kejahatan."
"Bukankah baik buruknya ilmu itu tergantung dari manusia yang mempergunakannya, Bagus?"
"Benar sekali, Dewi. Akan tetapi ada ilmu yang memang sifatnya sudah jahat. Kedua ajimu hanya untuk membunuh karena mengandung hawa beracun yang amat jahat. Sekarang marilah kita menggunakan waktu beberapa bulan disini untuk berlatih menghimpun tenaga sakti. Dengan tenaga yang timbul dari hawa murni, engkau dapat menggunakan ilmu silatmu untuk membela diri. Sekarang cobalah engkau berlatih dengan ilmu silat yang kau kuasai agar aku dapat melihat sifat ilmu silatmu itu."
Karena ingin sekali mendapatkan kembali kesaktiannya, Maya Dewi segera bangkit dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya memang masih terasa lemas, akan tetapi semangatnya besar.
Setelah dua aji pamungkasnya lenyap, ia merasa dilucuti senjatanya dan merasa tidak berdaya sama sekali. Maka, mendengar bahwa Bagus Sajiwo hendak membantunya memperoleh tenaga sakti yang baru, yang tidak sesat, ia menjadi bersemangat.
Segera ia menggerakkan kaki tangannya dan bermain silat dengan kedua tangan membentuk cakar. Gerakannya indah dan gagah, hanya tentu saja tidak mengandung tenaga sakti dan kehilangan kegesitannya. Namun ilmu silat yang dimainkannya itu merupakan ilmu silat yang bertingkat tinggi dan tangguh sekali. Itu adalah ilmu silat tangan kosong Singorodra yang ampuh.
Setelah selesai memainkan ilmu silat itu, Maya Dewi berhenti dan terkulai duduk di atas rumput. Tenaganya habis dan ia merasa lelah sekali.
"Bagus, ilmu silatmu itu cukup bagus dan tangguh, Kalau dimainkan dengan tenaga sakti yang kuat, akan menjadi ilmu yang hebat. Selain ilmu silat tangan kosong tadi, ilmu lain apakah yang kau kuasai?"
"Aku juga dapat bersilat dengan sabuk Cinde Kencana, akan tetapi untuk memainkannya, aku harus menggunakan tenaga sakti. Dan kalau tenaga saktiku tidak lenyap, aku dapat menggunakan Aji Pekik Singanada untuk merobohkan lawan dan setiap tamparan tanganku mengandung hawa panas atau dingin menurut sekehendak hatiku."
"Engkau telah memiliki dasar yang amat kuat, Dewi. Aku yakin setelah berlatih beberapa bulan saja, engkau akan dapat menghimpun lagi tenaga saktimu. Akan tetapi aku hanya mau membantumu mendapatkan kembali tenaga saktimu kalau engkau berjanji bahwa kelak engkau tidak lagi akan menggunakan tenaga saktimu untuk sembarangan menyiksa, apalagi membunuh orang. Pendeknya, kalau engkau mempergunakannya untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi lagi menjadi sahabatmu, malah aku akan menentangmu dan menjadi musuhmu."
Girang sekali hati Maya Dewi mendengar ini.
"Jangan khawatir, Bagus. Selama engkau berada disisiku, aku akan selalu mengikuti jejak hidupmu dan menaati semua petunjukmu."
Demikianlah, di puncak Gunung Wilis yang dingin itu, Maya Dewi berlatih, bersamadhi menghimpun tenaga sakti dari hawa murni, dibantu oleh Bagus Sajiwo yang menggunakan kekuatannya untuk membuka jalan darah dan membantu wanita itu sehingga dengan mudah Maya Dewi dapat menghimpun tenaga sakti yang intinya datang dari kekuatan alam. Hanya dibutuhkan waktu kurang lebih seratus hari, dengan latihan tekun, akhirnya Maya Dewi memperoleh tenaga sakti yang murni, tidak bercampur hawa sesat seperti ketika ia melatih Aji Wisa Sarpa dan Aji Tapak Rudiro.
Pedang Pusaka Thian Hong Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Harta Karun Jenghis Khan Karya Kho Ping Hoo