Banjir Darah Di Borobudur 1
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
Kisah ini terjadi pada waktu agama Hindu dan Agama Budha berkembang luas, dan berpengaruh serta berkuasa di pulau jawa. Seribu tahun lebih yang lalu kedua agama ini yang datangnya dari India, membawa kebudayaan yang tinggi kepada rakyat di Pulau Jawa.
Betapapun besar dan hebat pengaruh agama-agama dan kebudayaan dari luar ini, namun tak dapat menghilangkan ciri-ciri yang khas pada bangsa pribumi, tak dapat melebur sama sekali kepribadian asli daripada penduduk pulau jawa.
Kepribadian asli ini ada pada tiap bangsa dimanapun juga, kepribadaian yang bertumbuh di tanah air sendiri, yang terbentuk sesuai dengan keadaan alam, watak dan selera bangsa itu sendiri. Oleh karena inilah, maka agama dan kebudayaan luar yang masuk ke pulau jawa ini, setelah berkembang biak dan dapat di terima oleh seluruh rakyat, menjadi berubah sifatnya daripada aslinya. Hal ini terjadi karena agama dan kebudayaan itu tak dapat di terima bulat- bulat begitu saja oleh penduduk pribadi, akan tetapi disesuaikan dengan kepribadian sendiri. Yang tidak sesuai dirubah sedemikian rupa sehingga cocok dan enak bagi selera sendiri.
Maka bukanlah hal yang mengherankan apabila kedua agama besar yang berkuasa di Pulau Jawa, yaitu Agama Hindu dan Agama Budhha, dapat hidup bersama dengan rukun di Pulau Jawa padahal di tempat asalnya kedua agama ini dijadikan sebab dan dasar pertikaian dan peperangan.
Kenyataan ini menjadi betapa mulia, bijaksana, dan penuh cinta damai adanya watak daripada kepribadian rakyat yan menjadi penduduk pribumi du Pulau jawa. Agama apa saja, kebudayaan yang bagaimanapun juga, memasuki tanah air, diterima dengan ramah, akan tetapi tidak secara membuta. Pengaruh- pengaruh dari luar itu takkan dapat memaksa ataupun membujuk bangsa pribumi, akan tetapi diterima dengan penuh kebijaksanaa dan kesadaran, dipakai mana yang dirasa baik, dibuang mana yang dirasa kurang.
Kebijaksanaan ini tidak hanya nampak pada sikap rakyat jelata, bahkan di pelopori oleh Raja sendiri yang berkuasa di masa itu. Raja tidak melarang rakyatnya memeluk agama yang mana saja, baik Agama Hindu, maupun Agama Buddha, di pandang tinggi dan hal ini terbukti sampai sekarang dengan adanya candi- candi tempat pujaan penganut Agama Hindu maupun Agama Buddha.
Kisah ini terjadi antara tahun 700 sampai 850 pada waktu maan di jawa tengah berkuasa dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Mataram dan Kerajaan Syailendra. Raja di Mataram adalah sang Prabu Sanjaya, yang selain pandai memegang kendali pemerintaan, juag amat sakti mandraguna sehingga dengan balatentaranya yang kuat, Sang Prabu Sanjaya menaklukan banyak raja-raja kecil di Pulau jaawa bahkan sampai di tanah seberang lautan. Kerajaan Mataram beragama Hindu dan menyembah dewa-dewa, di antaranya yang mendapat tempat tinggi adalah batara Aviwa yang juga disebut batara Guru dan kadang-kadang menjadi dewa pembinasan yang disebut Batara Kala.
Kerajaan Syailendra yang tadinya menjadi negara taklukan dari Kerajaan Mataram dirajai oleh Sang Prabu Samaratungga, atau Maha Raja Samaragrawira. Raja inipun terkenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana sehingga rakyat yang berada di bawah pemerintahannnya hidup makmur.
Raja ini, berbeda dengan Kerajaan Mataram yang memeluk Agama Hindu, beragama Buddha dan sedemikianpun seluruh keluarganya.
Betapapun bijaksananya kedua raja ini dan betapapun taatnya rakyat kedua kerajaan, namun perbedaan kepercayaan ini tetap saja merupakan perbedaan faham yang sering kali menimbulkan bentrokan antara orang-orang yang berdarah panas dari kedua belah fihak.
Memang sedemikianlah keadaan para pemeluk agama semenjak dahulu sehingga kini. Para pemeluk agama yang pengetahuannya tentang pelajaran agamannya itu baru setengah-setengah dan masih amat dangkal, selalu menyombogkan agamannya sendiri dan merendahkan agama kepercayaan lain orang. Berbeda dengan para pendeta atau pemeluk agama yang benar-benar sudah mendalam pengetahuannya dan yang telah menjalankan ibadat yang suci dengan penuh kesetiaan dan kesadaran, mereka telah menjadi orang yang bijaksana dan tahu menghargai serta menghormati kepercayaan orang lain.
Sering kali terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara orang-orang dari dua golongan ini, terutama sekali apabila golongan yang satu mendirikan sebuah candi tempat pemujaan, selalu diejek dan diganggu oleh golongan lain sehingga menimbulkan pertengakaran dan perang kecil-kecilan.
Permusuhan mempunyai sifat panas bagaikan api, kalu tak segera di padamkan dan menjala, dapat berubah menjadi lautan api di mana Dewi Agoi berpestapora dan mengamuk. Demikianpun dengan perselisihan-perselisihan kecil itu, lambat laun menjalar sampai kedalam keraton kedua kerajaan! Kedua raja tentu saja menjaga kedaulatan dan kekuasaan masing-masing dan mulailah terjadi permusuhan dan persaingan antara kedua raja yang berlainan agama ini. Tidak saja berebut dalam hal memperbesar pengaruh dan memperluas wilAyah kekuasaan, akan tetapi juga bersaing dalam hal pendirian candi-candi. Kerajaan Mataram membangun banyak sekali candi-candi pemujaan pada Dewata menurut kepercayaan Agama Hindu, sedangkan Maha Raja samaratungga membangun candi-candi Agama Buddha untuk menyaingi lawannya itu.
Di dalam keadaan yang kacau dan penuh permusuhan inilah, kisah ini terjadi dan dimulai!
Musim kemarau mengeringkan air-air sawah dan sungai-sungai kecil. Bahkan Kali Praga yang biasannya mengalirkan air bening melimpah-limpah itu, kini nampak hampir kehausan dan megap-megap tertimpa cahaya matahari yang amat teriknya. Batu-batu besar menonyol mengantikan kedudukan air yang telah habis ditelan dan diminum oleh hambasahaya Ratu Segara Kidul, sekitar Kali Praga nampak senyi senyap. Sunyi dan mati karena tidak ada angin sedikitpun, seakan-akan Sang Batara Bayu. Dewa Angin itu juga menderita kepanasankarena teriknya matahari dan sedang beristirahat. Pohon-pohon dengan daun-daunnya yang mengering itu diam tak bergerak sediam batu-batu yang menonjol di dalam kali yang kering.
Hanya sedikit air keruh di tengah-tengah kali yang menonjol di dalam kali yang nampak hidup, bergerak perlahan bagaikan ular yang sudah sekarat, mencari jalan menurun di anatara batu-batu kali itu. Seakan-akan mencari tempat teduh untuk berlindung dari kemurkaan Sang Batara Surya.
Sesungguhnya, keadaan tidak semati itu, karena dipinggir sungai, duduklah seorang pemuda diatas rumput kering. Memang, nampaknay pemuda ini juga sudah berubah menjadi patung batu, karena ia duduk diam tak bergerak sedikitpun. Hanya dadanya yang telanjang itu masih menyatakan bahwasannya ia masih hidup, karena masih bergerak naik turun dalam pernapasan.
Pemuda ini masih remaja, usianya takkan lebih dari tujuh belas tahun. Dia seorang pemuda yang elok sekali, raut mukanya tajam dan sempurna, tak ubahnya seperti wajah Sang Arjuna tengah bertapa di tepi sungai. Kulit tubuhnya, dari mukanya yang tampan, sampai kepada dadanya yang bertelanjang dan kakinya yang nampak dari betis ke bawah, amat bersih dan halus, akan tetapi matang dalam panggangan sinar surya.
Lengan tangannya yang bulat berisi, dadanya yang bidang, pinggang yang kecil dan betisnya yang penuh dan kuat itu menujukkan bahwa di dalam tubuh pemuda ini tersimpan tenaga yang kuat dan kesehatan yang sempirna. Wajahnya yang tampan itu mempunyai cahaya yang berbeda dengan pemuda-pemuda biasa di dusun-dusun. Sepasang matanya bening dan terang, mempunyai sinar tajam yang menembus apa yang dilihatnya. Keningnya lebar dan mulutnya, ditarik angkuh, membuat mukanya tampak agung.
Orang yang melihat pemuda ini tentu akan menduga bahwa ia adalah seorang berdarah keraton atau setidaknay keturunan bagsawan dan kesatria. Dugaan ini memang tidak terlalu keliru, karena sungguhpun pemuda ini memang bukan putera bangsawan, namun ia adalah putera seorang Pendeta Agama Buddha yang bernama Sabg Wiku Dutaprayoga, yang selain menjadi pendeta juga bekerja sebagai ahli pembuat senjata keris, pedang dan lain-lain dari Maha Raja Samaratungga dari Kerajaan Syailendra.
Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Mataram dan belum lama ia memeluk Agama Buddha. Maha raja Samaratungga tertarik akan kepandaiannya membuat senjata dan mengangkatnya sebagai ahli pembuat keris di kerajaannya, kemudian memberinya banyak hadiah dan kedudukan tinggi.
Pada waktu itu, ia masih beragama Hindu dan memuja Trimurti, yaitu Tiga Suci, Dewa Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Setelah bekerja di Kerajaan Syailendra dan mempelajari filsafah Agama Buddha, hati sang panembahan Dutaprayoga tertarik dan kemudian ia dianugrahi gelar Wiku oleh Maha Raja Samaratungga.
Istrinya yang amat keras hati dan menjadi pemuda Trimurti yang amat tekun dan setia, ketika melihat suaminya mengikuti aliran Agama Buddha, menjadi patah hati dan bersedih sehingga ia membuang diri sampai tewas di kali Paraga pada saat kali itu banjir. Semenjak itu, Sang Wiku Dutaprayoga hidup berdua dengan seorang puteranya yang telah di tinggalkan oleh ibunya pada waktu itu ia berusia sepuluh tahun.
Pemuda yang kini duduk termenung di pinggir Kali Praga itulah putera tunggal Sang Wiku Dutaprayoga. Ia bernama Indrayana dan semenjak kecil ia telah mendapat gemblengan ilmu kepandaian oleh kedigdayaan dari Ayahnya yang juga terkenal amat sakti dan digdaya, kalau melihat orangnya yang demikian halus dan lemah lembut, tampan dan sopan seperti orang bambang ahli tapa brata, oarang takkan mengira bahwa pemuda yang lemah lembut ini memiliki tenaga yang dapat mengalahkan seekor banteng liar, memiliki kesigapan bagaikan seekor burung srikatan, kecekatan dan ketrampilan seperti seekor monyet putih. Sukarlah membayangkanbetapa jari-jari tangan yang kecil dan berkulit halus itu dapat menempa sepotong baja yang sedang membara, memijit-mijit dan membentuk baja menjadi sebilah keris ampuh bagaikan orang bermain-main engan tanah lempung saja. Memang, Indrayana telah mewarisi ilmu kesaktian Ayahnya.
Menurut pantasnya, pemuda ini tentu merasa puas dan bahagia. Kedudukan Ayahnya cukup tinggi, terhormat dan disegani oleh rakyat jelata dan pembesar, dicintai oleh Sang Parabu Samaratungga sendiri. Dia sendiri telah mewarisi kepandaian tinggi, berwajah elok dan menjadi impian para dara jelitadi kerajaan itu, makan cukup pakaiaan tak kurang. Akan tetapi mengapa ia sering kali duduk termenung di tepi Sungai Praga?
Sesungguhnya, banyak sekali hal berkecambuk dalam hati dan pikiran pemuda ini. Hal-hal yang membuatnya seringkali melamun, bermuram durja, gelisah, duka, dan kecewa. Pertama-tama ia selalu teringat akan budayanya yang telah membuang diri sampai tewas di Sungai Praga. Kedua, hatinya berduka menyaksikan pertikaian-pertikaian yang tiada habisnya antara orang-orang Mataram dan orang-orang Syailendra, antara pemuja Agama rimrti dan Agama Buddha. Dalam hal ini, ia sependapat dengan Ayahnya. Juga Sang Wiku Dutaprayoga selalu berduka kalau mendengar akan pertikaian itu. Betapapun juga, Sang Wiku maklum bahwa kedua agama ini semua baik dan murni, mengandung pelajaran kebatinan yang tinggi dan yang dapat menuntun manusia ke arah jalan yang benar, membuka mata manusia untuk mengenal diri pribadi, dan mengingatkan mereka akan asalnya.
Adapun hal ketiga, yang membuat hati Indrayana selalu rusuh dan binggung, adalah persaingan pembuatan candi. Ia telah emnjadi seorang penduduk dan rakyat Kerajaan Syailendra, maka tentu saja terkadang harapan di dalam hatinya untuk melihat bahwa candi-candi yang didirikan oleh Kerajaan Syailendra lebih agug, lebih besar, lebih mewah dan indah. Akan tetapi, ahli-ahli ukir di Mataram selalu membuktikan bahwa dalam hal kesenian, merekalah yang lebih uanggul dan lebih ahli.
Indrayana, di samping kepandaian-kepandaian yang diwarisinya dari Ayahnya, juga suka sekali akan kepandaian seni ukir. Ia mempelajari seni ukir. Ia mempelajari seni ukir dari ahli-ahli pahat dan ukir yang tersohor di Syailendra, akan tetapi hatinya masih belum puas. Ia selalu terbentur kepada kenyataan bahwa keahlian dalam hal seni ukir sudah tak dapat menyamai kepandaian ahli di Mataram sebagaimana terbukti daripada hasil-hasil ukiran yang halus dan indah di candi-candi yang didirikan oleh orang Mataram. Sering kali ia berdiri termenung di depan candi-candi Syiwa dan lain-lain untuk mengagumi keindahan patung-patung yang diukir di situ. Patung-patung itu dalam pandangannya seakan-akan hidup, seakan-akan di bawah kulit patung itu betul-betul terdapat urat-urat yang mengalirkan darah. Sepasang mata patung-patung itu seperti hidup dan berkedip-kedip kepadanya untuk memamerkan keindahannya. Buah dada yang membusung dan indah bentuknya dari patung-patungwanita naik turun berombak, seakan-akan menahan gelora napasnya yang menjadi berahi karena ditatap oleh mata seorang pemuda tampan dan elok seperti Indrayana. Dan kalau sudah mengagumiini semua, ia pulang dan mengadu kepada Ayahnya mengeluh panjang pendek.
"Indrayana, anakku."
Ayahnya berkata sambil menghela napas.
"Tak perlu engkau merasa iri hati melihat hasil ukiran orang-orang Mataram. Disana memang terdapat banyak sekali ahli-ahli ukir yang pandai dan sakti."
"Akan tetapi, Ayah, Mustahil sesuatu kepandaian itu hanya dimiliki oleh seorang atau segolongan orang-orang saja. Kalau kita benar-benar mengusahakannya untuk mempelajari dengan rajin dan tekun, mengapa tidak bisa? Apa yang dapat dilakukan oleh orang lain, pasti akan dapat kita lakukan pula asal saja mendapat petunjuk dan bimbingan orang yang pandai. Aku ingin sekali mempelajari ilmu itu samapi dapat, Ayah. Hanya soalnya, dimanakah aku dapat mencari seorang guru yang pandai?"
Ayahanda tersenyum.
"Indrayana, memang sudah seharusnya demikian semangat dan pendirian seorang pemuda. Pantang mundur dalam menghadapi cita-cita, takkan berhenti sejenakpun sebelum tercapai kandungan hati! Namun, kau harus mengerti bahwa dalam segala sepak terjang kita, kita harus mempergunakan pertimbangan dan kedewasaan. Betapapun tekun, rajin dan bersemangat adanya seseorang dalam mengerjakan sesuatu, apabila tindakannya hanya serampangan dan sembrono tanpa perhitungan masak-masak, maka hasil kerjanya kiraku takkan sempurna sebagaimana yang diharapkan semula!
Engkau tentu bukan termasuk golongan yang bertindak secara serudukan seperti kerbau gila itu, bukan?"
Indrayana menundukkan kepalanya.
"Ayah, anak-anakmu mendengarkan dengan penuh perhatian. Teruskanlah wejanganmu yang amat berharga, Ayah."
"Anakku, segala macam karya seni yang ada di dunia ini membutuhkan bakat dan watak dalam bidang masing-masing. Bakat atau watak ini telah ada dalam diri tiap manusia semenjak mereka terlahir. Disebut bakat setelah anak menjadi besar dan ternyata dari perbuatan-perbuatannya atau hasil-hasil karyanya. Akan tetapi pada hakekatnya adalah pengalaman-pengalaman yang terbawa dari kehidupan yang lampau. Oleh karena itu, bakat ini tak dapat dipaksakan pada diri seseorang. Mengertikah kau, anakku?"
"Masih belum jelas benar, Ayah"
"Indrayana, engkau memang berbakat untuk menjadi ahli pembuat keris. Tahukah engkau, apa akan jadinya kalau seorang pembuat keris yang pandai dan sakti, memaksakan diri membuat sebatang keris dari bahan logam yang tidak baik seperti misalnya tembaga?"
"Keris itu akan jadi, akan tetapi tak mungkin dapat merupakan keris yang baik dan ampuh,"jawab bapaknya.
Nah demikianlah pula dengan bakat seseorang. Tembaga tidak berbakat untuk di jadikan keris, maka, biarpun telah diusahakan oleh seorang ahli yang amat pandai, namun tetap saja bahan yang tidak berbakat baik itu takkan dapat menjadi sebatang keris yang sempurna. Biarpun dia belajar penuh ketekunan dan kerajinan, sungguhpun ia digembleng oleh seorang guru yang maha sakti, tak mungkin ia akan menjadi ahli ukir yang baik dan hasil ukirannya takkan sempurna pula."
Indrayana tertegun dan mengangkat muka memandang Ayahnya.
"Jadi"
Menurut pandangan Ayah, aku tidak berbakat untuk menjadi seorang ahli ukir? Akan tetapi, aku suka sekali akan ukiran-ukiran yang indah, Ayah!"
Ayahnya tersenyum sabar dan tenang sepertibiasanya."Kau memang seorang pemuda yang penuh semangat dan ingin memahami segala macam hal. Ini memang baik sekali, anakku, dan Ayahmu merasa bangga melihat api semangatmu yang bernyala-nyala itu. Akan tetapi kau harus ingat bahwa di dalam dunia ini, ilmu kepandaian tidak ada batasnya bagaikan Segara Kidul. Tak mungkin kau akan dapat mencakupnya semua. Bakat dan wadah untuk menampung kepandaian pada seseorang diumpamakan hanya sebesar payung batok kelapa, bagaimana mungkin untuk menampung semua air dari segara kidul? Kalau engkau tidak puas dengan yang segayung itu saja dan menghendaki lebih, banyak bahayanya kau akan keluar dari sana dengan gayungmu tinggal kosong! dari pada terjadi hal demikian, jauh lebih baik mengisi gayungmu dengan air yang sebersih-bersihnya sampai penuh betul!"
Demikianlah wejangan Ayahnya yang masih saja bergema dalam telinga Indrayana ketika ia duduk melamun di pinggir kali Praga. Kemudian pikirannya melayang jauh dan ia teringat kepada ibunya yang telah meninggalkannya semenjak ia masih kecil. Sungguhpun ibunya telah pergi lebih dari tujuh tahun yang lalu, akan tetapi Indrayana masih dapat membayangkan wajah ibunya yang cantik manis, senyumnya yang ramah dan sabar, pandangan matanya yang halus penuh kasih sayang.
"Ibu"""
Indrayana mengeluh dengan bisikan perlahan. Hatinya terserang rasa rindu yang memerihkan hatinya, rindu kepada ibunya yang telah meninggal dunia.
Dalam rindu dendamnya yang hebat, batu-batu besar di tengah sungai itu kelihatan seperti ibunya dalam berbagai-bagai keadaan. Ada yang seperti ibunya tengah duduk, ada yang berjogkok, berlutut bahkan ada yang seperti ibunya berbaring.
"Ibu"""
Kembali ia mengeluh dan tak terasa pula ia bangkit berdiri diatas rumput kering dan melompat turun ke dalam sungai yang kering dan melompat turun kedalam sungai yang kering itu.
Kemudian ia menghampiri sebuah batu besar sambil matanya memandang tanpa berkedip, batu besar yang kelihatan seperti ibunya tengah duduk bersimpuh itu.
"Ibu, aku akan menghidupkamu kembali, ibu,"katanya dengan tak sadar. Indrayana lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian ia mulai bekerja.
Dengan sepuluh jari tangannya yang berubah menjadi seperti pahat dan pisau baja, ia mulai mencongkel, mengukir dan membentuk batu karang besar itu, mencontoh gambar yang timbul dalam angan-angannya ketika ia merasa rindu kepada bundanya tadi.
Dari pagi sampai matahari naik tinggi, Indrayana bekerja tak kenal lelah. Batu karang menghitam itu telah mulai berbentuk seperti tubuh seorang wanitayang duduk bersimpuh. Akan tetapi makin dekat bentuk batu itu menyerupai manusia, makin kecewa dan berdukalah hati Indrayana. Seperti yang sudah-sudah! Selalu kedua tangannya tak kuasa mencontoh gambar dalam angan-angannya. Sama sekali tak sesuai, sama sekali tidak menyerupai bentuk tubuh dan potongan wajah ibunya. Beberapa kali ia mengosok-gosok batu bagian muka itu bagaikan dipahat saja, akan tetapi makin lama makin jauhlah bedanya wajah patung itu denagn wajah ibunya.
Perasaan kecewa membuat Indrayana menjadi marah. Tiba-tiba tangan kanannya menebas kearah leher patung itu dan patahlah batu karang itu dengan mudahnya.
"Setan!"Indrayana memaki perlahan."Setan dan iblis air sungai yang mengganggu!"Akan tetapi yang menjawab makiannya hanya suara air yang mencari jalan-jalan diantara batu-batu iblis dan setan air menertawakan kemarahannya.
Indrayana makin marah dan kecewa. Ia menusuk-nusukkan jari tangannya kepada batu yang tadi hendak dijadikan patung ibunya itu dan dimana saja jari tangannya menusuk, tentu batu itu berlobang. Memang dahsyat dan hebat sekali aji kesaktian Indrayana ini. Jangankan kulit seorang manusia yang menjadi lawannya, bahkan batu karang yang sedemiikian kerasanya dengan mudah ditusuk oleh jari-jari tangannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang halus berkata dari tepi sungai.
"ya Jagat Dewa Batara! Alangkah lucunya anak ini. Mengapa menyakiti diri sendiri? Batu karang yang demikian kerasnya ditusuk-tusuk, tentu saja jari tangannya yang sakit.".
Baru saja ucapan ini habis diucapkan, Indrayana menjerit dan memegangi tangan kanannya yang berdarah. Ternyata ketika ia mendengar ucapan itu, tiba-tiba batu karang itu menjadi keras sekali dan jari tangan kanannya yang ditusukkan terbentur pada batu yang tiba-tiba kerasnya melebihi baja sehingga jarinya menjadi luka berdarah dan terasa sakit sekali.
Indrayana marah sekali dan cepat menegok. Ia melihat seorang kakek tua yang rambutnya panjang dan rambut serta kumisnya putih semua, berpakaian sebagai seorang pendeta Agama Hindu, sedang berdiri memegangi tongkatnya yang panjang di tepi sungai dan berhadapan dengan pendeta itu.
hmm, anak muda yang tangkas!"kakek itu memuji. Akan tetapi Indrayana menyangka bahwa ia tentu berhadapan dengan iblis penjaga sungai yang menganggunya, segera maju selagkah dan menyerang dengan pukulan tangan kirinya yang ampuh dan kuat. Pukulan kedua tangan Indrayana tak boleh dipandangringan, karena pemuda ini telah diisi aji kesaktian yang disebut Astadenta atau Tangan gading. Pukulan tangannya sama kuatnya dengan tenaga seekor gajah yang menyerang dengan gadingnya!
Akan tetapi kakek itu tidak mengelak maupun menangkis sedikit juga, hanya memandang dengan mata berseri seakan-akan merasa geli hati melihat tingkah laku seorang bocah nakal. Ketika tangan kiri Indrayana tepat mengenai dada kakek itu, kelihatannya dari luar seakan-akan tangan itu hanya menempel saja seperti seekor lalat hendak memukul pohon waringin, sedangkan Indrayana merasa seperti memukul pakaian yang tidak ada tubuhnya di sebelah dalamnya! baju pendeta yang dipukulnya itu seakan-akan kosong, seperti juga kakek itu tidak bertubuh. Ia menjadi penasaran dan berkali-kali ia memukul, akan tetapi tetap saja, sama halnya dengan memukul air Kali Praga dikala sedang banjir.
Makin kuatlah dugaan Indrayana bahwa kakek ini tentulah bukan seorang manusia, melainkan iblis penjaga sungai. Ia membungkuk dan tiba-tiba menyergap kedua kaki kakek itu. Giranglah hatinya ketika kedua tangannya merasa bahwa kakek ini sesungguhnya mempunyai sepasang kaki yang kurus. Ia mengerahlan tenaga, hendak diangkatnya tubuh kakek itu hendak dibantingkannya kedalam Sungai Praga yang kosong! Akan tetapi, bukan main kagetnya ketika ia tidak mampu mengangkat tubuh kakek yang kecil kurus itu! Indrayana mengerahkan tenaga dan aji kesaktiannya, akan tetapi kedua tangannya seakan-akan lumpuh dan semua tenaga telah meninggalkan raganya. Jangankan mengangkat tubuh kakek itu mengerakkan sedikitpun ia tak mampu!
Terkejutlah sekarang Indrayana. Ia melangkah mundur tiga tindak dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera mengusir setan. Namun tetap saja kakek itu tidak lenyap seperti halnya seorang mahluk halus atau setan kalau mendengar mantera itu, bahkan tersenyum-senyum dan matanya tetap berpengaruh itu,"Indrayana, bukankah kau putera Wiku Dataprayoga? Kau benar-benar bersemangat seperti Ayahmu diwaktu masih muda."Pendeta itu lalu tertawa terkekeh dengan girangnya."Tentu saja kau tidak mengenalku, karena pertama kali engkau melihatku adalah ketika kau masih kecil sekali, baru berusia bebrapa bulan. Ha, ha, masih jabang bayi dalam gendongan mendiang ibumu! Indrayana, aku adalah Begawan Ekalaya, pernahkah Ayahmu menyebut nama ini?"
Untuk sejenak Indrayana berdiri bagaikan patung dan memandang kepada kakek itu dengan mata terbelalak. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki kakek itu.
"Eyang bengawan".mohon ampun sebesarnya atas kelancaran cucumu tadi!"
Begawan Ekalaya hanya tertawa dan mengelus-elus kepala Indrayana,
Memang sesungguhnya begawan Ekalaya ini adalah eyang dari Indrayana sendiri, karena begawan ini adalah Ayah dari Sang Wiku Dutaprayoga.
Pendeta tua yang sakti ini bertapa di puncak Gunung Muria, sebuah gunung di atas pulau kecil di seberang pantai Pulau Jawa bagian Utara. Memang sebelum menjadi orang Mataram dan kemudian berpindah ke syailendra. Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Muria.
Indrayana sering kali mendengar cerita Ayahnya tentang kakeknya ini, dan menurut Ayahnya, eyangnya ini adalah seorang pertapa yang amat sakti mandraguna.
"Kalau saja kau dapat menerima bimbingan eyangmu di Muria,"Ayahnya pernah berkata,"tentu kau akan mendapat banyak sekali kemajuan, Indrayana. Akan tetapi sayang sekali eyangmu Begawan Ekalaya adalah seorang begawan yang memuja Para Dewata di Kahyangan, sedangkan kita telah menjadi murid-murid Sang Buddha. Tentu eyangmu tidak akan senag melihat keadaan kita."
Maka setelah kini tiba-tiba berhadapan dengan eyangnya itu dan yang tadi telah dibuktikan sendiri kesaktiannya yang luar biasa, Indrayana memeluk kaki eyangnya dan merasa girang sekali, juga khawatir kalau-kalau eyangnya ini akan memarahi Ayahnya, ia teringat betapa tadi eyangnya telah mengganggunya ketika ia mencoba untuk melampiaskan marahnya dengan menusuk batu karang dengan jarinya, maka setelah menyembah dengan khidmat, ia lalu bertanya,
"Eyang, apabila eyang merasa hamba bersalah dengan menusuk-nusuk batu karang tadi, mohon petunjuk dari eyang."
Terdengar kakek sakti itu berkata dengan suara bersungguh-sungguh,"Tentu saja engkau bersalah, Indrayana Engkau telah menghina Dewa Brahma, melanggar larangan Dewa Wisnu, dan merendahkan tugas Dewa Syiwa!"
Bukan main terkejutnya hati Indrayana mendengar bahwa perbuatannya tadi telah menyinggung kehormatan dewata-dewata besar! Karena pemuda ini menundukkan mukanya, ia tidak melihat betapa eyangnya memandangnya dengan bibir tersenyum, akan tetapi suaranay tetap bersungguh-sungguh ketika ia melanjutkan kata-katanya,
"Betara Brahma adalah Pencipta seluruh alam dan segala macam isinya, termasuk batu-batu karang di tengah Kali Praga ini Engkau telah merusaknya tanpa alasan sama sekali, bukankah itu berarti bahwa engkau tidak menghargai keindahan ciptaan Batara Brahma? Ini penghinaan namanya dan jangan sekali-kali engkau melakukan hal seperti itu, cucuku!"
Indrayana menyembah."Akan hamba perhatikan, Eyang Begawan."
Kemudian Begawan Ekalaya berkata lagi,"engkau tentu tahu pula bahwa Betara Wisnu Pemelihara alam dan sekalian isinya. Sang Hyang Wisnu selalu melarang siapa saja yang berlancang tangan merusak keindahan alam begitu saja tanpa sebab. Maka perbuatanmu merusak batu mempergunakan kesaktianmu itu merupakan pelanggaran pada larangan Sang Hyang Wisnu, seakan-akan engkau menantangnya dengan memperhatikan kedigdayaanmu!"
Indrayana terkejut sekali, akan tetapi ia hanya menyembah, dan tak berani membantah.
"Engkaupun merendahkan tugas Sang Hyang Syiwa, karena Betara Syiwa sajalah yang berhak untuk membinasakan atau merusak sesuatu, karena pebinasaan atau pengrusakan yang dilakukan oleh Sang Hyang Syiwa adalah pembinasaan yang sudah semestinya, sudah sewajarnya, menurut hukm alam bahwa segala apa di dunia ini tidak kekal adanya dan sewaktu-waktu akan mengalami kehancuran dan pengleburan. Maka, jangan sekali-kali engkau berani mendahului kehendak Hyang Syiwa. Manusi hanya boleh melakukan pelanggaran apabila perbuatannya itu didasarkan pada alasan yang baik dan kuat. Apakah alasanmu menusuk-nusuk batu karang dan menghancurkannya, cucuku?"
Dengan malu-malu sambil menundukkan kepala, Indrayana menjawab,
"Eyang Begawan, sesungguhnya tadi hati hamba sedang amat kalut dan kecewa. Untuk memperingati mendiang ibunda yang telah meninggalkan hamba, hamba ingin sekali membuat patung dari batukarang itu. Akan tetapi, ternyata hamba tidak sanggup mengukir patung ibunda."
"Segala pekerjaan yang dilakukan dengan tak semestinya, tentu akan mengalami kegagalan. Untuk melakukan pekerjaan mengukir patung telah diadakan alat-alat tertentu, bukan hanya dengan jari-jari tangamu yang kasar itu!"
"Hamba mohon petunjuk, Eyang Begawan. Hamba ingin sekali menjadi seorang ahli ukir yang pandai, sepandai ahli-ahli yang membuat patung di candi-candi Syiwa itu!"
Kakeknya tertawa perlahan."Mudah saja engkau bicara, Indrayana! Belajar menjadi ahli pembuat patung bukanlah semudah yang kau kira. Engkau harus tahan tapa, harus belajar dengan rajin dan di samping itu harus membersihkan dan menyucikan hatimu agar engkau menjadi cukup bersih untuk menerima wahyu Dewata. Karena tanpa wahyu Dewata, tak mungkin dapat menciptakan patung-patung dewata yang Agung! Pekerjaan membentuk manusia adalah karya Betara Brahma, bukan pekerjaan tangan manusia biasa. Hanya dengan wahyu betara Brahma di dalam kedua tangan dan kesepuluh jarimu, barulah engkau akan dapat membuat patung yang benar-benar menyerupai manusia hidup!"
"bertapapun sukarnya, hamba hendak mempelajarinnya, Eyang."
"Baik, kalau engkau ingin menjadi seorang eprtapa, kauikutlah dengan aku ke Muria. Ahli seni adalah seorang ahli tapa pula. Mari kita menemui Ayahmu, Indrayana."
Indrayana lalu mengiringkan eyangnya menuju kerumah Ayahnya. Dari jauh telah terdengar dering besi beradu, tanda bahwa Ayahnyasedang menempa besi panas untuk dibentuk menjadi senjata tajam.
"Dutaprayoga selalu tekun dan rajin."Begawan Ekalaya berkata perlahan dan Indrayana dapat menagkap keharuan yang tersembunyi di dalam suara itu.
Sang Wiku telah dihadiahi sebuah rumah gedung di dalam kotaraja oleh Maha Raja Samaratungga, akan tetapi untuk tempat kerjanya, Wiku Dutaprayoga memilih tempat yang sunyi, di dalam sebuah hutan di lembah Kali Praga itu, dimana ia dapat bekerja bersama puteranya tanpa mendapat gangguan dari siapapun juga.
Tempat kerjanya itu sederhana saja, terbuat dari kayu-kayu hutan, merupakan sebuah pondok kecil segi empat yang beratap papn. Ketika mendengar pintu dibuka dari depan, Sang Wiku menegok dan menunda pekerjaanya. Ia tertegun ketika melihat siapa orangnay yang datang bersama puteranya. Untuk beberapa lama ia tak dapat mengeluarkan kata-kata, sehingga Begawan Ekalaya yang lebih dahulu menegurnya.
"Dutaprayoga, kau baik-baik sajakah?"
Sang Wiku segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.
"Rama Begawan"."
Suaranya terdengar amat terharu karena ia sama sekali tak pernah menyangka bahwa Ayahnya suka mengunjunginya setelah ia menjadi seorang pendeta Buddha."Hamba tidak tahu bahwa Rama begawan datang berkunjung sehingga tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Mohon ampun, rama"."
Begawan Ekalaya mengangkat bagun putranya itu dan memandang dengan mata pebuh perhatian kepada muka puteranya, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata puas,"Bagus, bagus! hanya kulitnya saja yang bertukar warna, akan tetapi isinya masih sama!"
Wiku Dutaprayoga tentu saja mengerti kata-kata ramandanya ini, maka ia lalu menyembah dan berkata,"Setiap sungai mempunyai aliran masing-masing, Rama Begawan. Namaun tak dapat disangkalpula bahwa semua aliran itu menjurus ke satu tempat, yaitu samudra luas!"
Begawan Ekalaya tertawa terkekeh dengan senangnya."Indah sekali perumpamaanmu itu, Dutaprayoga. Ketahuilah bahwa kedatanganku ini bermaksud hendak membawa cucuku si Indrayana ke Muria. Sudah tiba waktunya bagi dia untuk mempelajari ilmu kebatinan dan mengetahui rahasia hidup, karena ia telah cukup dewasa."
"Hamba hanya mengatakan syukur dan terima kasih bahwa Rama Begawan yang sudah sepuh masih berkenan mencapikan diri memberi bimbingan kepada Indrayana. Hanya hamba minta waktu hari tiga, karena Indrayana hendak hamba bawa menghadiri upacara pendirian candi yang baru dibangun agar dapat menambah pengalamannya dan dapat pula bertemu dengan Sang Prabu Samaratungga."
Mendengar ucapan Wiku Dutaprayoga ini Sang Panembahan Ekalaya menghela napas dan berkata perlahan,
"Garis-garis karma memang tak dapat dibelokkan oleh usaha manusia. Engkaulah yang menentukan, anakku. Aku akan kembali dulu ke Muria, tinggal terserah kepadamu dan kepada Bagus Indrayana. Aku akan menanti di puncak Muria sambil memuja kepada Dewata untuk keselamatan kalian berdua."
Setelah berkata demkian, pertapa tua ini lalu berjalan tersaruk-saruk keluar dari pondok itu. Bunyi tongkatnya terdengar satu-satu, akan tetapi ketika Indrayana mengejar keluar, kakek sakti itu tak kelihatan pula bayangannya! Makin kagumlah Indrayana terhadap eyangnya yang benar-benar memiliki kesaktian yang luar biasa tingginya. Ia lalu berlari masuk kembali dan menceritakan kepada Ayahnya akan semua pengalamannyaditepi Kali Praga tadi. Ayahnya hanya tersenyum mendengar penuturannya ini dan akhirnya berkata,
"Engkau bahagia bisa dapat bimbingan dari eyangmu, Indrayana. Sekarang bersiaplah engkau, karena besok pagi-pagi kita harus berada di kaki Candi Lokesywara yang baru dibangun. Sang Prabu dan para pamong praja akan hadir disana meresmikan pembukaan candi itu, maka inilah kesempatan terbaikmu untuk bertemu muka dengan Sang Prabu dan para pembesar dan pendeta-pendeta lain."
"Ayah""
Selain Sang Prabu dan para pembesar, apakah..apakah puteri kedaton, Sang Dyah Ayu Pramodawardani juga akan hadir?"
Wiku Dutaprayoga tersenyum."Untuk penghormatan kepada Sang Lokesywara, biasanya para puteri juga datang menghadiri upacara itu."
Berdebarlah jantung Indrayana. Semenjak masih kecil ia telah mendengar nama Pramodawardani disohorkan sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan ayu, mengalahkan kecantikan Dewi Ratih. Baginya nama ini sudah sangat terkenal, semenjak kecil sudah menjadi buah bibir, akan tetapi setelahia menjadi dewasa, nama ini mulai menyentuh hatinya dan membuat ia ingin sekali melihat dan menyaksikan sendiri puteri yang kini telah menjadi dewasa pula itu. Tak mudah untuk dapat bertemu muka dengan Pramodawardani, karena Sang Puteri yang indah ayu ini adalah Puteri Mahkota yang amat terkasih dari Sang Maha Raja Samaratungga, seorang puteri yang paling tinggi dan mulia di seluruh wilAyah Kerajaan Syailendra!
Pagi-pagi hari sekali sang Wiku Dutaprayoga beserta Indrayana telah tiba di Candi Lokesywara yang baru selesai dibangun. Para Wiku, pendeta-pendeta Buddha dan ponggawa kerajaan telah berkumpul disitu, mengatur persiapan untuk menerima kedatangan dan kunjungan Sang maha Raja Samaratungga bersama seluruh keluarga kerajaan dan para bayangkari keraton. Semua pekerjaan dan persiapan ini diatur dan dipimpin oleh Sang maha Dharmamulya, yaitu kepala sekalian pendeta Agama Buddha, seorang pendeta tua yang berkepala gundul dan yang menjadi orang paling berkuasa di daerah Kerajaan Syailendra.
Sesungguhnya, pada pendapat para pendeta, Maha Wiku Dharmamulya kurang cakap dan tidak tepat untuk menjadi Maha Wiku, karena pendeta itu terlalu kukuh dan keras dalam peraturan agama, bahkan terlampu keras sehingga kadang-kadang kekerasan hatinya itu tidak tepat terdapat dalam watak seorang pendeta linuwih. Ia di angkat menjadi Maha Wiku berkat jasa-jasa Ayahnya, yakni mendingan Maha Wiku Dharmamurti yang benar-benar telah berjasa dalam menegakkan dan memperluas Agama Buddha. Karena mengingat jasa-jasa Maha Wiku Dharmamurni, maka Sang Prabu Samaratungga mengangkat putera tunggal pendeta itu, yakni Maha Wiku Dharmamulya, untuk menggantikan kedudukan Ayahnya yang telah meninggal dan diberi gelar Maha Wiku
Selain keras hati, juga pendeta kepala ini amat membenci penganut-penganut Agama Hindu terutama sekali membenci pemuja Batara Syiwa. Oleh karena itu di dalam hatinya ia merasa tak senang ketika Wiku Dutaprayoga diangkat menjadi Wiku oleh Sang Prabu karena pada pendapatnya, seorang bekas pendeta pemuja Trimurti tidak patut menjadi pendeta Buddha! Akan tetapi, pendeta kepala ini tentu saja tidak berani membantah keputusan yang keluar dari mulut raja yang berkuasa.
Pada jaman itu orang masih memegang teguh apa yang disebut"sabda ratu", yaitu ucapan seorang raja sekali keluar dari mulut merupakan hukum yang tak dapat dirubah lagi.
Selain dari pada itu, Wiku Dutaprayoga berwatak halus dan selalu mengalah dan sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa pendeta baru ini akan membahayakan kedudukannya, serta melihat pula kenyataan bahwa pendeta ini adalah seorang yang sakti mandraguna dan amat berjasa kepada raja dalam pembuatan keris-keris pusaka ageman ( yang dipergunakan oleh ) Sang Prabu dan para senopati di Kerajaan Sailendra. Maka selama ini, karena tidak ada alasan. Maha Wiku itu tak pernah menggangu Sang Wiku Dutaprayoga, sungguhpun pendeta ini cukup maklum akan dendam dan iri hati yang mengotori batin pendeta kepala itu.
Setelah matahari telah melakukan tugasnya dengan baik, mengusir sisa-sisa kegelapan sang malam, terdegarlah suara gamelan yang merdu dan tampaklah rombongan Sang Prabu yang diiringkan oleh para pengawal barisan tamtama dan yang paling belakang mengiringi gamelan yang ditabuh di sepanjang jalan. Para rakyat yang berbaris dikanan kiri jalan segera berlutut menyembah untuk memberi penghormatan kepada junjungan mereka itu.
Sang Prabu Samaratungga duduk di atas kuda putihnya dengan sikap yang agung dan gagah.
Wajahnya berseri gembira dan bibirnya selalu tersenyum. Permaisuri dan sekar kedaton duduk didalam tandu yang tertutup oleh tirai sutera halus sehingga dari dalam mereka dapat melihat ke luar akan tetapi panangan mata dari luar hanya dapat melihat bayangan mereka saja. Para ponggawa, pengawal dan barisan tamtama yang menjaga keselamatan keluarga raja ini semua tampak gagah-gagah dan mewah belaka, mengagumkan semua mata yang memandangnya.
Degup jantung Indrayana makin mengencang dan semenjak tadi sepasang matanya ditujukan kepada tandu dipikul oleh enam orang wanita cantik. Tandu inilah yang diduduki oleh Sang Dyah Ayu Pramodawardani. Memang puteri ini mempunyai tata susila yang amat tinggi dan terkenal sekali. Ia tidak memperkenalkan tandunya dipanggul oleh orang-orang lelaki. Oleh karena itu maka pemikul tandunya semua perawan-perawan belaka yang cantik-cantik pula. Ada belasan orang dara jelitayang bertugas memikul tandunya ganti-berganti. Tandu dari permaisuri dan puteri-puteri lainnya dipikul oleh pemikul-pemikul laki-laki yang bertubuh kuat dan berwajah sopan dan keren.
Kalau semua tandu diturunkan di depan bangunan tarup yang sengaja didirikan untuk tempat berteduh keluarga raja dan para penumpangnya turun dari tandu dan berjalan kaki memasuki bangunan itu sehingga para penumpang dapat menyaksikan keindahan rupa dan pakaian Sang Permaisuri dan puteri-puteri lain, adalah Sang Puteri Pramodawardani sendiri yang memerintahkan kepada para pemikulnya untuk memikul tandu itu terus memasuki bangunan. Setelah tiba di sebelah dalam, barulah ia turun dari tandunya dan duduk ditempat yang telah disedikan oleh para pendeta.
Tempat untuk para puteri inipun tertutup oleh tirai sutera hijau pupus yang menghalangi pandangan mata para rakyat yang berlutut di luar bangunan panggung itu.
Bukan main kecewa dan mendongkolnya hati Indrayana. Saat yang telah lama dinanti-nantikanitu setelah tiba, ternyata hanya mendatangkan rasa kecewa di dalam hatinya. Ia telah membayangkan betapa akan senangnya dapat mencuri pandang kepada wajah puteri jelita itu, dan entah telah berapa kali ia telah bermimpi melihat wajah puteri yang cantik jelita itu. Akan tetapi, ternyata setelah puteri itu berada ditempat yang sedemikian dekatnya, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melihatnya. Jangankan memandang wajahnya, melihat jari kakinyapun tak dapat.
"Alangkah angkuh dan sombongnya!"Indrayana berpikir dengan hati yang mendongkol."Sampai bagaimana hebatkah kecantikannya maka ia sedemikian sombong? Apakah ia menganggap bahwa pandangan mata orang lain terlalu kotor untuk dapat melihat kecantikannya? Sang Candra yang sedemikian elok dan cantiknyapun masih tidak sesombong dia dan sedikitnya sebulan sekali pasti akan memperlihatkan wajah sepenuhnay kepada seua orang yang ingin mengagumnya! Apakah wajahnya lebih elok daripada bulan purnama?"
Demikianlah, setelah para pendeta mulai menjalankan upacara dan telah terdengar mereka membaca doa dan mantera, Indrayana sama sekali tidak memperhatikan upacara itu dan pikirannya penuh dengan lamunan tentang puteri yang membuatnya menjadi gemas itu.
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba terdengar suara ribu-ribut di depan candi dan Sang Prabu sendiri sampai turun dari tempat duduknya dan turun pula dari anak tangga panggung itu untuk menyaksikan peristiwa yang terjadi dari dekat.
Indrayana juga tersadar dari lamunannya dan ia melihat seorang petapa yang berjenggot panjang, berpakaian putih dan bermata tajam sedang melangkah lebar ke arah candi. Sungguhpun tubuhnya hanya kurus kering, namun pada pundak kirinya ia memanggul ebuah patung batu yang amat indah ukirannya. Di kanan kiri pintu masuk di kaki candi itu terdapat patung Dewi kembar yang menjadi pelayan dan pengikut Dewi Tara, yaitu syakti atau isteri dari Sang Lokesywara. Dewi kembar ini duduk di atas bunga teratai yang terdukung oleh Naga dan Nagi, sepasang ular sakti itu.
Petapa yang memanggul patung itu lalu mengunakan tangan kanan untuk menggeser patung Dewi kembar kekanan kiri sehingga di atas pintu itu terdapat tempat yang kosong, lalau ia meletakkan patung yang dipanggulnya tadi di atas pintu itu.!
Terdengar seruan-seruan kagum ketika semua mata memandang kearah patung itu. Inilah patung Dewi Tara yang indah bukan main, tiada bandinganya! Di dalam Candi Lokesywara itu memang ada juga sebuah arca dari Dewi Tara, akan tetapi apabila dibanding dengan arca ini, maka arca yang berada di sebelah dalam itu tampak buruk, bagaikan tembaga bersanding batu pualam! ukiran-ukirannya sedemikian halus, indah dan hidup sehingga seakan-akan semua orang melihat Dewi Tara sendiri melayang turun dari Sorgaloka dan berdiri di atas pintu candi itu! Tak mungkin ada seorangpun ahli ukir di seluruh Syailendra yang dapat membuat patung sehebat itu, pembuatnya tentu adalah seorang Mataram, seorang pemuja Trimurti, pemuja Betara Brahma, Wisnu, dan Syiwa!
Pada saat semua orang menahan nafas karena selain kagum akan keindahan patung itu, juga kagum dan heran melihat keberanian petapa asing itu sehingga keadaan menjadi sunyi, terdengar bentakan keras dan Maha Wiku Dharmamulya melompat ke arah pertapa yang masih berdiri tersenyum-senyum memandangi patungnya dengan puas.
"Keparat jahanam! Engkau berani menghina kami?"Sambil berkata demikian, Maha Wiku Dharmamulya mencabut keris pusakanya dan menyerang lambung pertapa itu. Akan tetapi, tiba-tiba ada tangan yang menyekap pergelangan tangan kanannya dan tangan ini ternyata kuat sekali. Ketika Dharmamulya menegok, dengan marah ia melihat bahwa penahannya itu bukan lain adalah Sang Wiku Dutaprayoga.
"Wiku Dutaprayoga, mengapa engkau menahan niatku?"Maha Wiku Dharmamulya membentak marah.
"Maha Wiku yang mulia, ingatlah bahwa keris ini adalah buatanku. Perasaan hatiku tidak dapat membiarkan orang lain mempergunakannya untuk membunuh orang tak berdosa."
"Seorang bedebah yang sengaja datang mangacau dan menghina candi suci kita, tidak berdosa?"
"Setidaknya dengarlah dulu keterangannya, dan sang Prabu sendirilah yang berhak memutuskan apakah dia berdosa atau tidak!"jawab Wiku Dutaprayoga.
Sementara itu, petapa yang membawa patung Dewi Tara itu tersenyum sambil memandang kepada Dutaprayoga,"Ba, sungguhpun engkau berganti jubah, ternyata kebijaksanaanmu ternyata masih tak berubah. Dutaprayoga.!"Kemudian pertapa itu lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada Sang Prabu samaratungga kemudian berkata,
"Maafkan aku, Sang Prabu, apabila tindakanku ini dianggap lancang dan mengacau keadaan. Sesungguhnay tiada maksud buruk dalam niatku, tak lain hanya hendak mempersembahkan sebuah patung Dewi Tara ini kepadamu. Candi Lokesyawara ini dibangun di tempat yang baik dan mempunyai tugas yang baik pula, maka sayang kalau tidak ada arcanya yang baik. Biarlah Sang Betari Tara akan memberi berkah kepada candi ini!"
Orang-orang yang berada disitu, terutama sekali Maha Wik Dharmamulya, menjadi marah sekali mendengar ucapan dan melihat sikap yang sama sekali tidak menghormati Maha Raja Samaratungga itu. Pertapa itu seakan-akan sedang bicara kepada seorang kawannya sendiri!
Akan tetapi, Sang Prabu Samaratungga adalah seorang yang berpemandangan luas dan memiliki kebijaksanaaan yang tinggi. Sungguhpun ia beragama Buddha, namaun ia tak pernah membenci pemeluk agama lain. Permusuhannya dengan Kerajaan mataram sesungguhnya bukan timbul dari hatinya yang memendam atau membenci, akan tetapi hanya ditimbulkan oleh keagungan seorang raja yang harus membela agama dan kepentingan rakyat. Kini menghadapi pertapa itu, Sang Prabu tersenyum dan berkata dengan senang dan halus.
"Paman begawan, terima kasih atas sumbanganmu yang amat indah untuk candi ini. Akan tetapi, harap engkau suka menaruhkan patung itu di atas pintu belakang candi, jangan di pintu depan."
Ucapan sang Prabu Samaratungga ini sebenarnya mengandung dua maksud. Pertama-tama ia menerima pemberian patung itu agar jangan mendatangkan sakit hati kepada si pemberi, dan kedua ia minta agar patung itu ditaruh di pintu belakang sehingga dengan demikian ia takkan menyinggung perasaan para wikunya sendiri. Sang Prabu mengharapkan bahwa penerimaan yang bersarat ini akan memuaskan hati kedua fihak yang sedang panas itu.
Akan tetapi, pertapa itu menjadi merah wajahnya mendengar ucapan ini dan ia berkata sambil menahan kemarahannya,
"Sang Prabu, keaslian tembaga takkan lenyap biar oleh sepuhan emas sekalipun! Pada luarnya kau menerima persembahanku dan bersikap manis, akan tetapi itu hanya sepuhan belaka. Di sebelah dalam kau menghinaku! Bagaimana patung Dewi Tara yang mulia ditaruh di pintu belakang? itu penghinaan namanya."
"Adi Panembahan Bayumurti!"
Tiba-tiba Wiku Dutaprayoga berseru,"
Mengapa engkau tak melihat kebijaksanaan Sang Prabu? Mengapa engkau tak mengerti kebijaksanaa besar ini? Di manakah kewasapadaanmu?"
"Ha. Dutaprayoga, sekarang nampaklah juga bahwa kaupun membela agama barumu bagus!"
Akan tetapi Sang Prabu Samaratungga memberi isyarat kepada Wiku Dutaprayoga yang hendak membantah lagi. Sang Prabu mengangkat tangan kanannya dan berkata pertapa yang bernama Panembahan Bayumurti ini dengan suara masih halus dan tenang,
"Paman begawan, jangan salah terima! Menaruhkan seorang wanita di pintu belakangsekali-kali bukanlah penghinaan. Bukankah memang menjadi bagian para wanita berada di pintu belakang? Adakah dapur yang ebrada di depan rumah?"
Panembahan Banyumurti tersenyum.
"Sang Prabu, kau cerdik! Memang benar tempat wabita di bagian belakang rumah, akan tetapi Dewi tara bukanlah wanita sembarangan wanita!"
"Betapapun juga, dia adalah seorang syakti atau isteri dan tetap saja tempatnya adalah di sebelah dalam dan belakang"
Tiba-tiba Panembahan Bayumurti tertawa bergelak, ia melompat ke arah kaki candi dan berdiri di depan patungya yang indah tadi. Ia lalu mengeluarkan kesaktiannya dan kedua tangannya setelah menyembah lalu meraba muka patungya yang cantik dan indahnya itu.
"Sang Prabu, lihatlah baik-baik. Apakah patung ini masih tetap harus ditaruh di belakang?"
Sang Prabu Samaratungga memandang dan berdebar jantungnya. Juga seua orang yang memandang kepada patung itu mengeluarkan serua tertahan. Patung itu kini telah berubah raut mukanya, dan persis sekali menyerupai wajah Sang Kusumaning Ayu Pramodawardani! Memandang arca itu seakan-akan melihat Sang Puteri Mahkota sendiri!
Akan tetapi maha Raja Samaratungga tetap berlaku tenang dan sekali lagi menegaskan,"Diapun harus berada di belakang, itulah kewajiban seorang wanita sejati!"Setelah berkata demikian, Sang Prabu memeramkan matanay sejenak ia telah mengeluarkan putusan bagi patung itu, bagi puterinya sendiri, dan ia tetap pada pendiriannya. Memang puterinya adalah puteri mahkota yang akan mengantikan kedudukannya, akan tetapi tetapi saja puterinya harus menikah dan setelah menjadi seorang isteri, adalah kewajiban yang terutama untuk melayani suami, untuk membereskan keadaan di dalam dan di belakang rumah.!
Panembahan Bayumurti tertawa bergelak.
"Bagus, Sang Prabu, bagus! Cipta pendeta Sabda ratu, dua hal yang tak dapat diingkari lagi kenyataannya! Nah, selamat tinggal!"
Maha Wiku Dharmamulya semenjak tadi telah menahan amarahnya, kini melihat Panembahan Bayumurti hendak pergi, ia cepat menghadang dan membentak.
"Dukun lepus tukang tenung! Setelah kau melakukan kegaiban sulap dan menipu kami, jangan harap dapat pergi begitu saja!"
Sambil berkata demikian, Maha Wiku Dharmamulya lalu mengulur tongkatnya dipukulkan kearah kepala panembahan itu. Bayumurti maklum akan kehebatan dan keampuhan tongkat tongkat ini. Biarpun ia memiliki kesaktian yang tinggi, namun berbahayalah apabila tongkat itu sampai mengenai tubuhnya. Ia cepat melompat jauh ke belakang dan sambil tersenyum-senyum ia melarikan diri.
Kejar".! Tangkap".!!"
Seru Maha Wiku Dharmamulya dengan geramnya. Para pengawal dan para wiku segera bangun dan mengejar panembahan Bayumurti. Akan tetapi gerapan panembahan Bayumurti luar biasa cepatnya bagaikan tiupan Sang Bayu, aka sebentar saja para pengejarnay telah tertinggal jauh sekali.
Kalau semua orang memperhatikan dan menunjukkan pandangan matanya kepada panembahan yang aneh itu, adalah Indrayana seorang hanya mengerling sebentar saja, karena ia tidak pernah melepaskan pandang matanya dri tirai sutera hijau pupus yang menyembunyikan para puteri, terutama Puteri Mahkota.
Pada saat keributan terjadi, tiba-tiba tirai itu tersikap sedikit dan tersembullah sebuah lengan tangan. Terbelalak mata Indrayana melihat lengan itu. Alangkah indahnya lengan itu, sempurna lekuk-lekuknya, kulitnya halus putih kekuningan bagaikan gading gajah yang tiada cacat. Dari lengan yang indah itu seakan-akan keluar cahaya yang indah dan keharuman semerbak.
Tak salah lagi, pikirnya, inilah tangan lengannya! Lengan Kusuma Jelita Pramodawardani! Siapa lagi orangnya yang mempunyai lengan seindah itu? Puteri biasa saja, bahkan bidadari sekalipun, tak mungkin mempunyai lengan seindah itu. Ia memandang ke kanan kiri dan melihat semua orang
(Lanjut ke Jilid 02)
Banjir Darah di Borobudur (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
tengah memperhatikan kepada pertapa itu. Cepat Indrayana melompat bagaikan seekor burung srikatan memasuki pintu besar panggung itu dan sebelum para puteri yang berada di dalam sempat menghalanginya, ia memegang tirai sutera hijau pupus itu dan membukanya!
Wajah cantik jelita, elok ayu, dan agung yang menyambutnya dari balik tirai, wajah orang pemilik lengan itu, benar-benar membuat Indrayana bagaikan terkena hikmah. Ia berdiri setengah berlutut, tangan kanan memegang ujung tirai, tangan kiri menekan dada karena dadabya serasa akan pecah tak kuat menahan degup jantungnya yang mengelora. Maqta itu bagaikan bintang pagi, indah cemerlang bersinar lembut penuh kemesraan. Dan bibir itu! Belahan kulit tipis halusmembayangkan daging dan darah yang merah segar membasah dengan bentuk yang indah sempurna. Indrayana terpesona dan hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut menganga.
Wanita Iblis Pencabut Nyawa Karya Kho Ping Hoo Naga Merah Bangau Putih Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo