Ceritasilat Novel Online

Banjir Darah Di Borobudur 2


Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 2



Pramodawardani juga terkejut dan tercengang melihat tirai itu dibukakan orang sedemikian tiba-tiba dan ia memandang kepada pemuda yang sedang berlutut di depannya itu tanpa berkata-kata. Hatinay kagum melihat ketampanan dan keberanian pemuda ini, akan tetapi pikirannya marah menyaksikan kukurangajarannya ini.

   "Dia adalah Raden Bagus Indrayana, puetera dari Sang Wiku Dutaprayoga."kata seoarang dara pelayan sambil memandang kagum. Memang Indrayana amat terkenal di antara dara pelayan dan hampir semua perawan di kotaraja, kecuali puteri-puteri kedaton dan bangsawan tinggi, telah tahu pula siapa adanya Sang Bagus Indrayana yang namanya saja apabila disebut orang dapat mempercepat jalannya darah dalam tubuh mereka.

   Pramodawardani pernah mendengar nama pemuda ini desebut-sebut oleh para pelayannya yang memuji-muji pemuda itu. Kini mendengar nama ini ia sekali lagi memandang kepada Indrayana dan berkata sambil mencibirnya yang merah, membuat wajanay tampak lebih manis lagi.

   Hm, begini sajakah macamnya Indrayana? Pemuda kurang ajar, untuk kelancanganini kau akan dihukum penggal kepala!"

   Dalam keadaan masih terpesona, Indrayana tersenyum dan menjawab,"Jangankan hanay kuhum penggal kepala, biarpun akan hancur lebur seluruh tubuh, hamba rela dan puas. Nikmat dan bahagia yang tercurah kepada hamba dalam pertemuan ini, jauh lebih besar daripada segala macam hukuman!"

   Pada saat itu, karena tirai dibuka, barulah Pramodawarnadi dapat memandang patung Dewi Tara yang berada di atas pintu epan candi itu, sedemikian pula para pelayannya dan juga puteri lain.

   Terdengar jerit tertahan ketika puteri itu memandang wajah patung itu dan juga para pelayan berseru kaget dan heran.

   "Itu adalah patung Kusumaning Ayu Pramodawardani sendri!"

   Bisik seorang pelayan dengan mata terbelalak. Memang, persamaan muka patung itu dengan Pramodawardani amat mengherankan.

   Baru sekarang pula Indrayana memalingkan muka dan memandang ke arah patung itu dan diapun tertegun.

   Pada saat itu, para perwira dan juga Maha Wiku Dharmamulya melihat bahwa Indrayana berada di depan tirai penutup ruang tempat para puteri, maka bukan main marah para wiku. Juga Sang Prabu Samaratungga sendiri melihat hal ini menjadi marah.

   "Pemuda dari manakah berani berlaku kurang patut dan melanggar kesusilaan?"

   Serunya marah dan beberapa orang prajurit telah melompat ke atas untuk menangkap pemuda itu. Pramodawardani sendiri cepat menarik tirai yang masih terpegang oleh Indrayana sehingga tirai itu tertutup kembali.

   Indrayana maklum akan pelanggaran yang dilakukannya, maka sambil tersenyum-senyum bahagia dan kedua matanya bersinar-sinar penuh seri gembira, ia melompat keluar panggung.

   Dengan hormat dan khidmat ia menyembah di hadapan Sang Prabu Samaratungga, kemudian ia melompat lagi keluar candi. Para wiku dan tamtama mengejar hendak menangkapnya, sungguhpun Sang Prabu sendiri belum memberi perintah untuk menangkap pemuda itu. Indrayana mengulurkan tangan, mengambil patung Dewi Tara yang diletkkan oleh Panembahan Bayumurti tadi di atas pinyu, lalu memondongnya dan melompat pergi dari tempat itu.

   "Indrayana!"

   Terdengar suara Ayahnya berseru menegur. Indrayana berpaling dan tersenyum kepada Ayahnya.

   "Ayah, aku hendak menyusul Eyang Begawan!"

   Dan pemuda itu terus melanjutkan larinya yang amat cepat sehingga percuma saja para perwira dan tamtama mengejarnya.

   Maka Wiku Dharmamulya dan para wiku lainnya lalu menyerbu dan menangkap Wiku Dutaprayoga, lalu diseretnya Ayah Indrayana itu di depan Maha Raja Samaratungga.

   "Gusti Prabu, Wiku Dutaprayoga harus di beri hukuman yang layak!"

   Seru Wiku dengan amat marahnya.

   "Sudah terang dia mempunyai hubungan dengan pertapa yang datang mengacau tadi, dan mungkin dia yang merencanakanbersama untuk menghina Candi Sang Lokesywara yang suci. Kedua kalinya, dia sengaja menghalangi hamba ketika hamba hendak memberi hukuman kepada pertapa keparat tadi, tanda bahwa memang dia benar-benar mempunyai hubungan, karena dahulu ia adalah kawan sekepercayaan dan seilmu. Ketiga, putera tunggalnya telah menjalankan pula melanggar adat berani menghina dan membuka tirai tempat peristirahatan para puteri, dan bahkan berani pula mencuri dan membawa lari patung!"

   kali ini, Maha Raja Samaratungga tak dapat menahan sabar lebih lama lagi. Kekurangajaran Indrayana yang ebrani menggangu puterinya sudah amat keterlaluan, akan tetapi keberaniannya mengambil patung itu, melewati batas.

   "Masukkan dia dalam kurungan dan carilah pemuda itu!"

   Katanya singkat, kemudian dengan wajah muram raja ini lalu memberi tanda untuk kembali ke dalam istana.

   Indrayana yang membawa patung berlari cepat bagaikan seekor rusa muda, meninggalkan Ibu Kota Syailendra. Pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka bahwa perbuatannya yang amat berani itu menyebabkan Ayahnay ditangkap dan dikurung. Indrayana berlari menuju ke utara, sepanjang Kalai Praga, lalu menyusur pantai Kali Elo.

   Hati pemuda ini girang dan bahagia sekali. Di depan matanya terbayang wajah dan bentuk tubuh Sang Dyah Ayu Pramodawardani, puteri mahkota yang cantik jelita melebihi segala Bidadari Khayangan itu. Entah berapa kali sudah Indrayana memandangi wajah patung yang dipondongnya berhenti berlari, membelai-belai patung itu, dipeluk dan diciuminya dengan penuh kasih sayang sampai membisikkan dengan nama mesra.

   "Pramodawardani""

   Adinda sayang""! Alangkah cantik manis wajahmu, algkah halus kulitmu"". Sinar matamu menembus jantungku, senyum bibirmu meruntuhkan imanku! Aduh, adinda""

   Wardani"". Kekasihku"".!"

   Ia lalu memeluk leher dan pinggang patung itu dan mendekap dada patung yang montok itu erat-erat pada dadanya sendiri, lupa sama sekali akan keadaan di sekelilingnya dan merasa seakan-akan patung itu adalah Sang Puteri sendiri.

   Akan tetapi, kalau kemudian ia merasa betapa dada patung itu tidak membalas getaran gelora dadanya, betapa tangan patung itu tidak membalas belaian dan bibir serta hidung patung itu tidak membalas ciumannya, sadarlah ia bahwa yang sedang dibelai, dicumbu dan digandrungi itu tak lain hanyalah sebuah arca batu yang mati. Setelah demikian, baru pemuda itu duduk di dekat patungnya sambil melamun dengan pandangan sayu dan wajah muram. Bagaimana ia dapat tergila-gila kepada seorang Puteri Mahkota, calon pengganti Sang Prabu Samaratungga, calon ratu. Sedangkan ia hanya putera seorang pembuat keris, putera seorang wiku sederhana. Tak terasa lagi Indrayana menutup mukanya dengan kedua tangan dan betapapun ia telah menguatkan hatinya, tetap saja dari celah-celah jari tangannya nampak air mata menitik keluar.

   Betapapun juga, arca batu itu merupakan hiburan baginya, merupakan penawar rindu. Kepada patung ini ia bicara, membuka segala rahasia hatinya, berlaku seakan-akan patung itu adalah Pramodawardani sendiri. Seakan-akan ia sedang melakukan perjalanan yang amat menyenaangkan dengan puteri kekasihnya itu.

   Pada suatu hari, di dalam perjalanannya menuju ke Gunung Muria menyusul eyangnya itu, Indrayana tiba di lereng Bukit Ungaran. Ia tidak mau menunda perjalnannya, masuk keluar hutan dan melompati jurang-jurang yang menghadang di depannya. Ketika ia masuk pula ke dalam sebuah hutan yang amat liar dan penuh dengan pohon-pohon jambe berlompatan ke luar belasan orang tinggi besar. Melihat pakaian mereka yang serba hitam itu, teringatlah Indrayana akan cerita orang bahwa di dalam hutan-hutan yang liar terdapat segerombolan perampok yang amat besar pengaruhnya dan amat banyak pengikutnya, yaitu yang menamakan dirinya Gerombolan Serigala Hitam ( Jambuka Ireng ). Menurut khabar yang didengarnya, gerombolan ini dikepalai oleh seorang Pendeta hindu yang meyembah Betari Durga dan yang berkawan dengan sekalian iblis dan setan yang menjadi hambanya sahaya betari Durga, Ratu sekalian iblis itu. Banyak sekali berita yang aneh-aneh dan menakutkan diceritakan orang tentang pendeta Hindu itu, sehingga Indrayana yang menghadapi serombongan orang-orang tinggi besar berpakaian hitam itu berlaku amat hati-hati.

   "Saudara-saudara ini siapa dan ada keperluan apakah maka menghadang perjalananku?"tanya pemuda itu dengan suara tenang.

   Seorang di antara tiga belas orang berpakaian hitam itu, orang yang tertua dan berkumis tebal dan melintang bagaikan kumis Sang Gatutkaca, melangkah maju dan tertawa bergelak,

   "Bocah bagus dan halus seperti arjuna! Engkau hendak mengetahui siapa kami? Dengarlah baik-baik, engkau sedang behadapan dengan sepasukan perajurit jambuka Ireng ( Serigala Hitam )!

   Namaku Reksasura dan aku adalah pemimpin dari pasukan kecil ini. Eh, jejaka yang bagus dan elok, engkau siapakah dan hendak pergi ke manakah?"

   "Aku adalah seorang kelana yang hendak menikmati keindahan alam mayapada di mana saja kedua kakiku membawa aku tiba. Namaku dan tujuanku tidak ada artinya dan tidak ada hubungannya dengan kalian semua,"jawab Indrayana.

   "Ha, ha, ha! Tinggi hati dan angkuh, tanda darah bangsawan! ocah bagus, nama dan tujuanmu memang tidak perlu bagi kami, akan tetapi memang tidak demikian dengan patung yang enkau pondong itu! Patung itu indah sekali dan cantik jelita, kami amat perlu dengan patung-patung macam itu. Engkau harus meninggalkan patung itu kepada kami, baru engkau boleh melanjutkan perjalananmu melalui hutan ini!"

   Indrayana merasa marah sekali mendengar patungnya diminta. Orang boleh minat apa saja dari padanya, segala harta benda yang ia miliki dapat ia berikan kepada orang dengan rela dan senang hati, akan tetapi patung itu? Seakan-akan orang minta kekasihnya!

   Aku pernah mendengar bahwa Srigala Hitam hanya memuja seorang Dewi, yaitu Betari Durga. Patung ini bukan patung Sang Betari Durga, untuk apa kalian minta?"

   Reksasura tertawa terbahak-bahak dan berkata,"memang, Betari Durga adalah sembahan kami, pemberi kesaktian dan kekuatan, pembasmi musuh-musuh kami. Akan tetapi, Sang Betari sebagai Ratu tertinggi dan terbesar, mempunyai banyak pelayan dan pengiring yang terdiri dari dara-dara jelita. Patung ini cukup cantik jelita dan menarik hati, pantas menjadi pelayan barudari Sang Betari. Sayangnya tubuhnya tertutup pakaian, akan tetapi mudah saja, kami akan dapat mengilangkan pakaian yang menutupi tubuhnya yang indah itu!"Kembali Reksasura tertawa bergelak.

   "Engkau menghina agama para Syailendra!"Indrayana!"Indrayana membentak,"berani benar engkau mengucapkan kata-kata kotor di hadapan arca Sang Dewi Tara, syakti dari Sang Lokesywara!"

   Kembali Reksasura tertawa bergelak, kini kawan-kawanya juga ikut menertawakan Indrayana."Anak muda, jangan kau mencoba untuk menipu atau menakut-nakuti kami. Di tempat kami banyak terdapat arca Dewi Tara yang indah-indah, dan kami sudah kenal baik kepadanya. Seperti juga lain dewi-dewi dan bidadaro-bidadari serta dara-dara jelita, kesemuanya tidak ada kecualinya, menjadi abdi pelayan dari Sang Maha Batari Durga! Dan patung yang kau pondong itu sungguhpun bentuk tubuhnya semontok bentuk tubuh Dewi Tara, akan tetapi wajahnya bukan wajah Dewi itu. Ha ha jangan kau hendak mencoba menipu kami, bocah bagus!"

   Indrayana teringat akan cerita orang bahwa kaum Serigala Hitam ini memang sudah terkenal sebagai pengumpul patung-patung wanita yang indah-indah dan cantik. Sudah sering kali merampoki candi-candi hanya untuk membawa lari patung-patung bidadari dan wanita cantik. Maka bukan hal yang mengherankan apabila eksasura itu faham betul akan bentuk dan wajah patung Dewi Tara.

   "Memang patung ini telah dirubah."Indrayana mengaku terus terang,"akan tetapi perubahan ini bahkan menjadi pantangan besar bagi kalian untuk menjamah dan menghina patung ini. Ketahuilah, hal orang-orang sesat, bahwa patung ini adalah arca orang-orang sesat, bahwa patung itu adalah arca Kusumaning Ayu Pramodawardani. Sang puteri mahkota dari kerajaan Syailendra! Oleh karena itu, janganlah mengangguku dan biarkan aku lewat. Kalau kalian menghina patung ini berarti kalian berhianat kepada Sang Prabu dan puterinya!"

   Reksasura dan kawan-kawan saling pandang dan timbul sinar gembira pada mata mereka."Bagus! Kebetulan sekali, anak muda, telah lama kmi mendengar kecantikan Puteri Pramodawardani. Sayang sekali tidak pernah ada patungnya yang dapat kami bawa untuk mengias candi kami. Sekarang kau membawa patung yang kami inginkan itu dan benar saja. Pramodawardani ternyata cantik jelita, tak kalah oleh dewi-dewi Khayangan lainnya. Serahkanlah patung itu kepada kami!"

   Kau berani menghina junjunganmu?"bentak Indrayana.

   "Tidak ada lain junjungan bagi kami kecuali Sang Maha Betari Durga! jawab Reksasura,

   "Keparat!"Indrayana tak dapat menahan marahnya lagi."Kalian berani menghadang perjalanan Raden Indrayana sama dengan sekawanan tikus berani menggangu seekor harimau!"

   "Babo-babo! Sumbarmu seperti seorang jagoan, anak muda! Benar-benar tidak kauserahkan patung itu kepadaku?"

   "Kalau belum pecah dada Indrayana tak mungkin kau akan menjamah patung yang suci ini"! jawab pemuda itu dengan gagah.

   "Bocah sombong! Kalu begitu, akulah yang akan membikin pecah dadamu!"Orang ini bermuka hitam, berkepala gundul dan sepasang matanya bundar bagaikan jengkol. Setelah berseru keras, ia lalu menubruk maju dan menggunakan tangan kanannya menembak ( memukul dengan telapak tangan ) dada Indrayana yang telanjang. Tangan ini lebarnya hampir menyamai lebar dad Indrayana, kulit telapak tangan tebal dan keras, jari-jarinya sebesar pisang emas dan ketika tangan itu memukul, sambaran anginnya terasa meniup tanda bahwa tenagan pukulan itu hebat sekali. Dengan pukulannya ini, si gundul bermuka hitam ini dapat merobohkan sebatang pohon yang sepelukan orang besarnya.

   Kalau yang ditebaknya itu dad orang lain, agaknya di muka tebal ini akan dapat membuktikan ancamannya tadi, akan tetapi kini ia menghadapi Raden Indrayana pemuda gemblengan yang semenjak kecil mempelajari ilmu kepandaian tinggi dan aji kesaktian dari Ayahnya, seorang pertapa yang sakti. Selain mempelajari ilmu kedigdayaan, juga Indrayana adalah seorang ahli tapa yang kuat dan tekun sehingga ia memperoleh kekuatan batin dan tenaga dalam yang tak kelihatan, akan tetapi yang jauh lebih besar kekuatannya daripada tenaga luar atau besar yang timbul dari otot-otot yang terlatih.

   Ketika telapak tangan yang tebal dan lebar itu menghantam dada Indrayana terdegar suara,"Blek!!"dan menurut pantasnya, dada Indrayana tentu akan remuk dan setidaknya tubuhnay akan terpental jauh karena tenaga dorongan yang luar biasa itu. Akan tetapi, sungguh aneh, karena bukan saja tubuh Indrayana tidak bergeming seakan-akan tadi yang menyambar dadanya hanyalah seekor lalat belaka, bahkan lawannya segera menjerit kesakitan danmemegangi tangan kanan dengan tangan kirinya, Indrayana tentu saja tidak ma membiarkan dirinya dipikul tanpa membalas. Cepat bagai kilat menyambar, kakainya bergerak maju dan membuat gerakan dua kali, sekali dengan tangan kanan dari sekali dengan kaki kiri.

   Tangan kanannya itu dengan jari-jari terbuka menyodok lambung si muka hitam, sedang kakinya menyepak ke arah tulang kering lawan.

   Aduh""

   Aduh""

   Tobat, tobat""!"Si gundul bermuka hitam itu mengeluh, sebentar memegang tangan kanan, sebentar menekan perut yang tiba-tiba menjadi mulas dan kedua kakinya berjingkrak karena tulang kering kakinya yang dimakan oleh tendangan Indrayana terasa sakit sekali menusuk jantung.

   Dua orang anggota gerombolan itu menjadi marah dan cepat menerjang dari kanan kiri sambil memukul kepala dan tubuh Indrayana. Pemuda yang hanya melawan dengan satu tangan itu, karena tangan kirinya memondong patungnya, cepat mengelak dan mendoyongkan tubuh ke belakang, akan tetapi cepat pula menyusul ke kanan dan mengulur tangan kanan menjambak rambut penyerang dari kanan, kemudian pada saat penyerang dari kiri menyerbunya, ia menyentak keras dan menarik rambut lawan sebelah kiri yang mau menyerang.

   "Bruk""! Aduh".. aduh"..!"Dua tubuh yang tinggi besar itu bertubrukan dan dengan cepat sekali kepala mereka saling membentur seperti dua kepala mereka saling membentur seperti dua buah kepala besar dibenturkan. Seketika itu juga, benjol besar membengkak keluar dari bagian kepala yang diadu tadi membuat mata mereka gelap melihat bintang-bintang menari, kepala menjadi pening dan untuk kiri seperti orang mabuk berpitaran bertubrukan sekali lagi tanpa disengaja dan keduanya roboh terlentang tak dapat bangun lagi.

   Bukan main marahnya hati Reksasura melihat kekalahan tiga anak buah pasukan Serigala Hitam yang rata-rata memiliki tenaga dan kepandian bertempur yang lumayan, karena semuanya mendapat latihan. Bagaimana mungkin tiga orang kawannya itu roboh dalam segebrakan saja menghadapi anak muda yang masih pantas disebut anak-anak ini? Reksasura tentu saja memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anak-anak ini? Reksasura tentu saja memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anak-anak buahnya, maka dengan hati penuh geram dan marah, ia lalu mencabut senjatanya yang mengerikan. Senjatanya ini adalah sebatang klewang yang amat lebar dan tajam, akan tetapi pada panggung klewang itu bukan rata seperti klewang biasa, melainkan bergigi tajam seperti gigi gerqji!

   "Indrayana, cabutlah senjatamu kalau kau memang benar laki-laki!"

   Ucapan yang sebetulnay keluar karena kesombongan Reksasura ini, telah menolong nyawanya dari bahaya maut, karena kalau saja ia tidak berkata demikian, tentu Indrayana akan marah sekali dan akan membinasakannya. Pemuda ini menganggap betapapun juga Reksasura masih berwatak gagah dan tidak mau menyerang orang yang bertangan kosong dengan senjata tajam. Ia tersenyum dan sambil memeluk erat-erat patung yang dianggapnya Pramodawardani sendiri yang sedang dilindunginya, ia berkata,"Reksasura, jangankan baru kau sendiri dengan senjatamu itu yang maju menyerangku. Birpun kau maju berbareng dengan semua anak buahmu dan mengeroyokku dengan seribu senjata, aku Raden Indrayana takkan mundur setapakpun dan tak usah mempergunakan senjataku! Kau majulah!"

   Reksasura tak dapat menahan marahnya lagi."Kau orang Syailendra memang sombong! Rasakan ketajaman senjataku!"Klewangnya menyambar ke arah leher Indrayana dalam serangan yang amat cepat hebat. Melihat kehebatan serangan ini, Indrayana mklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia berlaku hati-hati sekali.

   Dengan lincah ia melompat dan mengelak dari sambaran klewang itu, lalu membalas dengan pukulan tangan kanannya ke arah siku lawan yang sebelah kanan dan mengirim serangan selanjutnya bertubi-tubi dan cepat sekali sehingga klewangnya berkelebatan dan berkilauan.

   Melihat gerakan lawannya, diam-diam Indrayana memuji juga sesungguhnya permainan klewang itu bukanlah ilmu sembarangan akan tetapi mempunyai gaya dan gerakan yang amat baik dan tangguh. Patung yang dipondongnya menghalangi pergerakannya untuk melepaskannya ia merasa enggan maka ia lalu mengambil keputusan untuk mempercepat jalannya pertempuran. Tiba-tiba Indrayana berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, melebihi cepatnya gerakan klewang lawannya. Tentu saja Reksasura menjadi terkejut dan heran ketika tiba-tiba tubuh lawannya yang masih muda itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja berlompatan di sekelilingnya, sukar sekali untuk diserang bagaikan seekor burung srikatan yang gesit sekali.

   Tiba-tiba Reksasura merasa siku lengan kanannya sakit sekali dan tangan itu seakan-akan menjadi lumpuh, maka terpaksa ia melepaskan klewangnya yang telah berpindah ke tangan Indrayana! Reksasura hendak menyerang dengan kepalan tangannya, akan tetapi tiba-tiba tangannya terasa bukan main sakitnya sehingga terpaksa ia membatalkan niatnya dan hanya memegangi siku kanannya dengan muka meringis.

   Anak buahnya yang melihat betapa senjata pemimpin mereka dengan cepat dan aneh telah terampas oleh pemuda itu, serentak maju mengeroyok dengan senjata mereka. Akan tetapi, sekali saja Indrayana memutar klewang rampasannya, terdengar suara nyaring dan empat batang golok lawan dan berterbangan dan patah menjadi dua! Para pengeroyok alin melihat kehebantan ini menjadi gentar dan mereka menjadi mundur tanpa dikomando lagi. Indrayana tersenyum dan melemparkan klewang itu ke atas, lalu menggerakkan tangannya dan ketika klewang itu melayang turun, ia mengetok tiba-tiba pada tengah-tengah klewang itu dan"krek!"patahlah klewang mengerikan itu tepat pada tengahnya!

   "Senjata buruk! hanay pantas untuk menakut-nakuti anak kecil saja!"kata Indarayana.

   "Reksasura, biarlah pengalamn ini kaujadikan pelajaran dan peringatan agar lain kali jangan engkau sekali-kali berani menyebut nama Kusumaning Ayu Puteri Mahkota Pramodawardani"

   Setelah berkata demikian, Indrayana membawa patungnya dan melanjutkan perjalanannya.

   "He, Indrayana! Engkau telah menghina kami pasukan Srigala Hitam, kauingat-ingatlah bahwa akan tiba saatnya kami membalas dendam!"

   Akan tetapi Indrayana taidak mau mendengar ancaman ini dan melanjutkan perjalanannya. Ia mengusap pipi patung itu dan berkata perlahan,"Manisku Pramodawardani, jangankan baru orang-orang kasar itu saja hendak merampasmu, biar Dewa sekalipun takkan dapat mengambil engkau dariku semudah itu!"

   Dalam pandangannya, bibir patung itu seakan-akan tersenyum manis, maka dengan mesra Indrayana lalu menciumnya. Baru sadarlah ia ketika hidung dan bibirnya bertemu dengan batu yang dingin dan kasar! Ia menarik napas panjang lalu berlari cepat menuju ke Gunung Muria.

   Ia telah memasuki wilAyah Mataram ketika seorang petapa tua menghadang di tengah perjalanannya. Tadinya Indrayana tidak memperhatikan, akan tetapi ketika kakek yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanannya, ia memandang dan alangkah herannya bahwa kakek itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti pertapa yang mengganggu pembukaan Candi Lokesywara dengan persembahannya patung Dewi Tara yang kini dipondong oleh Indrayana, lalu berkata tersenyum,

   "Ha, hendak kau bawa kemanakah patung Dewi Tara itu?"

   Merahlah muka Indrayana Kalau pertapa yang sakti ini tahu akan semua pengalamannya, tentu ia tahu pula bahwa ia telah gandrung-gandrung dan tergila-gila kepada patung yang dianggapnya Sang Ayu Pramodawardani itu.

   "Ini bukan patung Dewi Tara""

   Patung""

   Patung"""dengan ucapan gagap ini Indrayana lalu mengangkat patung itu dan memandangnya. Tiba-tiba matanya terbelalak dan tak terasa patung itu terhempas dari tangannya, jatuh ke atas tanah dan patah lehernya! ternyata muka patung itu tidak menyerupai wajah Pramodadawardani lagi, akan tetapi meyerupai wajah Dewi Tara sebagaimana yang sering dibuatkan patungnya oleh para ahli seni pahat.

   "Ha, ha!"Pane,bahan Bayumurti tertawa."Pandangan mata memang hanya tipuan dan palsu belaka, Indrayana. Engkau hendak pergi ke tempat pertapaan enyangmu, Begawan Ekalaya, bukan? Cepat, mari engkau ikut aku ke pondokku. Lekas, betulkan di sana. Tidak ada waktu lagi anak muda, cepat!"

   Ajakan ini sedemikian berpengaruh sehingga Indraana tak kuat menahan kehendak sendiri. Ia membungkuk, mengambil patung yang telah patah lehernya itu, lalu berjalan mengiringkan pendeta yang sakti itu menuju ke sebuah hutan kecil.

   Kedatangan mereka disambut oleh sepasang anak muda elok sekali. Yang seorang adalah seorang pemuda sebaya dengan Indrayana, cakap, tampan, dan gagah sekali. Sepasang matanya amat berpengaruh dan tajam dan dari bentuk mukanya dapat diduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan., melainkan keturunan bagsawan tinggi. Pakaiannya berbeda dengan pakaian pemuda biasa, bahkan pada tangannya tampak gelang ukiran dari pada emas. Begitu bertemu pandang, Indrayana menjadi kagum dan juga timbul rasa hormat dan sukanya kepada pemuda itu, dan diam-diam ada juga sedikit perasaan iri, karena dalam hal kecakapan dan kegagahan, pemuda ini benar-benar merupakan saingan berat!

   Ketika ia melirik kepada orang kedua, kembali ia tertegun. Orang kedua adalah seorang adra yang usianya paling banyak enam belas tahun. Berneda dengan pemuda itu, dara ini pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi justruh kesederhanaan pakaiannya ini makin menonjolkan kecantikannya yang asli dan murni. Seorang juita yang jarang ada duanya, terutama mulut yang selalu tersenyum manis dan sepasang mata yg bening kocak itu.

   Bagaimana di dalam hutan kecil, di pondok reyot dari panembahan ini terdapat dua orang manusia yang cakap seperti Dewa Komajaya dan cantik seperti Dewi Komaratih ini?

   Panembahan Bayumurti memperkenalkan kedua orang muda itu kepada Indrayana dengan amat terburu-buru dan sederhana."Ini adalah muridku bernama Raden Pancapana, dan ini adalah anak tunggalku bernama Candra Dewi. Duduklah, Indrayana, duduklah. Dan kalian juga, Raden dan Dewi. Kalian bertiga dengarlah pesanku terakhir."

   Sungguhpun Indrayana dapat melihat kekejutanyang tiba-tiba menyerang dara itu dan juga Raden Pancapana, namun keduanya dapat menenangkan perasaan dan duduk dengan tenang. Hal ini amat mengagumkan hatinya, karena ternyata bahwa kedua orang muda itu telah mempunyai cukup tenaga batin untuk menekan segala perasaan hatinya.

   "Indrayana, dengarlah. Ayahmu dan aku adalah sahabat karib ketika ayhmu belum menyebrang ke Syailendra dulu. Kami berdua sefaham, senasib sependeritaan, bahkan betapapun didalam satu gua. Akhirnya Ayahmu mendapat kurnia dari Hyang Agung sehingga pandai membuat senajata, sedangkan aku hanya mendapat kurnia sebagai seorang pembuat patung saja. Seperti kau lihat sendiri, maksud baikku untuk mempersembahkan sebuah patung ternyata diterima dengan salah pengertian oleh Maha Raja Samaratungga. Hal itu tidak apa, karena Sang Prabu itu masih mempunyai alasan yang mengandung kebijaksanaan. Akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya telah mempergunakan kesempatan itu untuk memperlihatkan dendam dan bencinya kepada kami orang-orang Mataram dan kepada kepercayaan dan agama kami.

   Ayahmu telah membuktikan kebijaksanaannya dan berusaha menolongku, maka sekarang, akupun harus membalas budinya itu. Ia berada dalam bahaya."

   "Indrayana terkejut sekali,"Dalam bahaya? Siapakah yang mengganggu Ayah? tanyanya kurang percaya.

   "Siapa lagi kalau bukan Maha Wiku Dharmamulya yang meminjam kekuasaan Maha Raja Samaratungga. Bahkan kau sendiripun dan aku juga takkan mudah melepaskan diri dari jangkauan tangan Maha Wiku yang panjang dan penuh dendam, Indrayana."

   Pada saat Indrayana hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara orang dan derap kaki banyak sekali kuda menuju ke dalam hutan itu dan Panembahan Bayumurti berkata,"Indrayana, kalau kau mau belajar seni pahat dan ukir murid dan puteriku, kau akan dapat membuat patung orang yang kau kasihi, akan tetapi kau harus berjanji mau mengajak murid dan puteriku menuju ke Gunung Muria dan menghadapkan mereka kepada eyangmu agar mendapatkan bimbingan. Yang datang itu adalah orang-orang syailendra, biarlah aku yang menghadapi mereka Kalian bertiga berangkatlah sekarang juga ke Muria!"

   "Rama panembahan"""dara jelita itu berseru sambil memandang kepada Ayahnya. Jidatnya yang bagus itu berkerut dan matanya memandang ragu.

   Panembahan Bayumurti menghampiri putrinya dan mengelus-elus rambut anaknya yang hitam, halus dan panjang itu.

   "Dewi, bocah ayu jangan gelisah. Kau pergilah dan ikut kedua orang pemuda ini. Pasti akan selamat"

   "Rama panembahan, aku lebih suka mati disampingmu daripada hidup jauh ari padamu, rama".."

   Derap kaki kuda telah tiba di luar pondok dan di antara suara pikuk itu terdengar suara ketawa Panembahan Bayumurti yang nyaring ketika ia mendengar ucapan puterinya itu.

   "Anakku yang manis, anakku yang denaok! Siapa mau kau mati di ampingku? Kita takkan mati nak, sebelum Hyang Yamadipati mengulurkan tangannya. Jangan rewel, engkau pergilah! Raden Pancapana, tolonglah kau jaga adikmu Si Dewi yang nakal. Nah, kalian bertiga, berangkatlah dari pintu belakang. Tidak ada waktu lagi!"

   Setengah ditarik lengannya oleh raden Pancapana, Candra Dewi berjalan ke luar dari pintu belakang, sebentar-sebentar menengok memandang Ayahnya, didikuti Indrayana dari belakang. Patung yang patah lehernya itu ditinggalkan di dalam pondok. Setelah sekarang tidak menyerupai Pramodawardani, tak perlu ia bawa-bawa sepanjang jalan.

   "Bayumurti dan Indrayana, menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan!"terdengar Maha Wiku Dharmamulya di luar pondok. Ternyata bahwa Maha Wiku itu datang sendiri memimpin pengejaran dan bersama dia ikut pula seorang pertapa berjubah kuning yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar bagaikan seorang raksasa. Memang dia ini bukanlah seorang Jawa, akan tetapi adalah seorang pendeta Buddha yang datang dari tanah Hindu dan bernama Wisananda. Pendeta Wisananda ini baru beberapa bulan berada di Kerajaan Syailendra dan ternyata bahwa selain dia pandai sekali dalam hal pelajaran Agama Buddha, juga memiliki kesaktian yang tinggi dan memiliki pula ilnmu sihir dan gaib yang mengagumkan orang. Maha Wiku Dharmamulya segera menghubungi dan mendekatinya, sehingga sebelum pendeta dari tanah hindu itu kenal dengan orang lain, telah menjadi sahabat dan pembantunya yang amat setia.

   Mendengar serua Maha Wiku Dharmamulya, Panembahan Bayumurti lalu keluar dari pondoknya sambil membawa arca Dewi Tara yang patah lehernyanya itu. Ia tersenyum menghadapi Maha Wiku Dharmamulya lalu berkata,

   "Dharmamulya, engkau datang mau apakah? Apakah engkau hendak mengambil patung ini? Akan tetapi harus kubikin betul dulu, karena lehernya patah!"Sambil betkata demikian, kedua tanagn pendeta ini bergerak memasang kepala patung yang patah itu pada lehernya, memencet-mencet dan mengelus-elus sebentar dan""

   Patung itu telah menjadi lebih baik kembali. Panembahan Bayumurti lalu meletakkan patung itu di atas tanah dan berkata,"Nah, sekarang sudah baik kembali, kalau hendak kau bawa, bawalah!"

   Terdengar serua kagum,"Ahli patung yang luar biasa!"Biarpun seruan itu di ucapkan dalam Bahasa Hindu, namun Panembahan Bayumurti yang sudah kenyang mempelajari kitab-kitab Weda, tentu saja dapat mengerti, maka ia tersenyum sambil memandang kepada orang yang mengeluarkan seruan memuji itu. Ternyata bahwa yang memuji itu adalah Wisananda, pendeta Buddha dari Hindu itu yang merangkap kedua tangan memberi penghormatan kepada Bayumurti. Di negerinya, ahli pembuat patung amat dihormati, baik oleh pendeta pemeluk Agama Hindu kuno maupun oleh pendeta-pendeta Budha dan dianggap sebagai seorang ayang amat tinggi kedudukannya, sejajar dengan para pendeta tinggi dan amat dihormati.

   Akan tetapi pada saat itu, Maha Wiku Dharmamulya melihat berkelebatnya tiga bayangan orang-orang muda melarikan diri dari pintu pondok sebelah belakang.

   "Nah, itu dia si pemberontak Indarayana! tangkap!"

   Beberapa orang perwira segera menyerbu dan berusaha menangkap indrayana, akan tetapi belum sempat mereka menjatuhkan tangan, Indrayana telah mendahului mereka dengan gerakan kaki tangannya sehingga tiga orang perwira yang menyerang di muka bergulingan mengaduh-aduh. Para perwira dan tamtama segera mengepung dan menyerang bagaikan semut, akan tetapi kini bukan hanya Indrayana yang menyambut mereka, juga Raden Pancapana membantu Indrayana menghadapi para pengeroyok itu. Melihat sepak terjang Raden Pancapana yang sekali bergerak saja sudah menjatuhkan lima orang pengeroyok, terkejut dan kagumlah Indrayana. Tidak saja dalam ketampanan dan kegagahan, juga dalam ilmu kepandaian dan kedigdayaan. Ksatriya ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkahnya. Ia makin gembira dan bersama Raden Pancapana lalu mengamuk. Para pengeroyok dianggap tumpukan rumput kering saja. Sekali dorong roboh bergulingan, sekali tendang cerai berai dan simpang siur. Candra Dewi hanya berdiri menonton dan sepasang matanya yang indah itu bersinar gembira memandang kagumkepada Indrayana tanpa diketahui oleh yang dipandangnya.

   Melihat sepak terjang kedua orang yang dahsyat itu, Maha Wiku Dharmamulya maklum bahwa orang-orangnya takkan dapat berhasil untuk menangkap Indrayana, maka ia lalu berkata kepada Pendeta Wisananda.

   "Saudara Wisananda, harap kau suka mengulurkan tangan membantu kami dan menagkap pemuda itu!"Ia menuding ke arah Indrayana."Dia adalah seorang pemuda yang telah mengina Sang Prabu dan berani menghina Candi Lokesywara yang kita bangun."

   Panembahan Bayumurti memandang tajam dan alagkah terkejutnya ketika ia melihat tubuh pendeta Hindu itu berkelebat dan tahu-tahu Pendeta Wisananda telah berdiri menghadang perjalanan Indrayana, Raden Pancapana, dan Candra dewi. Di tangannya terdapat sebatang tongkat panjang yang entah dari mana diambilnya.

   Melihat gerakan pendeta asing ini, Indrayana dan raden Pancapana terkejut dan maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendeta berilmu tinggi, maka kedua orang muda itu lalu mencabut keris pusaka masing-masing dan menyerbu ke depan. Akan tetapi, sambil tertawa Wisananda mengerakkan tongkatnya menangkis dan sekaligus kedua keris pemuda-pemuda itu beradu dengan tongkatnya yang ampuh. Indrayana dan kawannya terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka perih dan panas sekali. Sebelum mereka hilang kagetnya, tiba-tiba tangan kiri Wisananda menyambar dan sehelai tambang berwarna biru meluncur dari tangan kiri itu ke arah Indrayana. Pemuda ini mencoba untuk menangkis, akan tetapi begitu lengan kanannya bertemu dengan tambang, tahu-tahu tambang itu terus melibat bagaikan ekor ular dan sebentar luar biasa itu! Indrayana mengerahkan tenaga dan kesaktiannya, akan tetapi ia tak berdaya. Tambang itu terlalu kuat dan mempunyai daya yang mujizat sehingga makin keras ia memberontak. Makin erat pula ikatan pada tubuhnya!

   Raden Pancapana hendak menolongnya, akan tetapi tongkat Wisananda terputar cepat dan mencegahnya mendekati tubuh Indrayana yang telah terikat erat dan tidak berdaya itu sehingga Pancapana terpaksa mundur lagi sambil menangkis dan mengelak dari serangan tongkat yang amat cepat dan berbahaya itu.

   Tiba-tiba nampak bayangan yang amat cepat berkelebat dan terdengar bentakan."Wisananda! Jangan engkau menghina anak muda. Kalau engkau mempunyai kepandaian, lawanlah, aku, sama tua!"

   Ternyata bahwa Panembahan Bayumurti telah melompat dan kini dengan sekali renggut saja ia telah melepaskan tambang yang mengikat tubuh Indrayana!

   "Pergilah!"katanya kepada Indrayana."Pergi dan bawalah murid dan anakku serta! Biarlah aku menghadapi orang-orang mabok angkara ini!"

   Indrayana tidak berani membantah dan ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama Raden Pancapana dan dara jelita Candra Dewi. Tak ada seorangpun rombongan dari Syailendra ini yang berani mencegah mereka, karena di situ terdapat panembahan Bayumurti yang berdiri dengan tenang dan tersenyum. Melihat cara penembahan Bayumurti melepaskan ikatan Indrayana, maklumlah ia bahwa pendeta ini memiliki kesaktian yang tak boleh dipandang ringan.

   "Wisananda!"Bayumurti menantang lagi."Mengapa engkau tidak bergerak? Apakah engkau hanya berani menjatuhkan tangan kepada orang-orang muda saja?"

   Pendeta Bangsa Hindu itu menggelengkan kepala,"Aku segan untuk bertempur melawan seorang ahli seni yang kukagumi."

   Maha Wiku Dharmamulya sudah sampai di situ pula. Dengan marah ia menuding kepada Bayumurti dan berkata,"Bayumurti! Engkau seorang Mataram mengapa tidak tahu malu dan mencampuri urusan orang-orang Syailendra? Indrayana adalah orang Syailendra dan sudah menjadi hak kami untuk menangkapnya atas perintah Maha Raja kami, mengapa engkau berani mencampurinya?"

   "Mataram dan Syailendra hanyalah sebutan orang belaka,"jawab panembahan Bayumurti dengan tenang,"akan tetapi Indrayana, enagkau atau aku juag manusia biasa yang sama-sama berkulit dagimg. Melihat seorang manusia dikejar-kejar dan hendak dikuasai oleh orang-orang lain yang terdorong oleh nafsu angkara murka, tentu saja sudah menjadi kewajibanku untuk menolongnya."

   "Bayumurti, engkau ternyata sombong dan mengandalkan kepandaianmu. Penangkapan atas diri Indrayana adalah perintah Maha Raja Samaratunggakarena Indrayana telah melakukan pelanggaran dan kekurangajaran di hadapan raja. Sekarang engkau menghalangi kami menangkapnya, itu berarti engkau telah menghina titah raja. Apakah engkau berani mempertanggungjawabkannya dan meghadap kepada Sang Prabu?"

   "mengapa tidak berani? Aku memang hendak pergi ke sana, hendak membebaskan Wiku Dutaprayoga yang telah kena fitnah oleh ketajaman lidahmu! Akulah yang bertanggunjawab untuk semua perkara ini, baik urusan mengenai diri Wiku Dutaprayoga maupun mengenai urusan puteranya, Indrayana!"

   Demikianlah, rombongan pasukan Syailendra yang dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya itu kembali ke Kerajaan Syailandra sambil membawa Panembahan Bayumurti di tengah-tengah mereka.

   
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Rakyat yang telah mendengar tentang ditangkapnya Wiku Dutaprayoga dan dikejarnya Indrayana putera Wiku itu, menyambut kedatangan rombongan itu dengan heran, karena mereka tidak melihat Indrayana tertangkap, sebaliknya rombongan itu membawa seorang pendeta Mataram yang nampak tenang dan tersenyum-senyum saja.

   Akan tetapi banyak orang, terutama para dara, merasa lega karena Indrayana yang mereka sayang itu tidak tertangkap. Ketika mereka mendengar bahwa pendeta ini adalah pendeta yang telah mengacaukan pembukaan Candi Lokesywara dan telah menyumbangkan sebuah patung Dewi Tara yang kemudian dirobahnya menjadi patung Puteri mahkota, orang-orang lalu berduyun-duyun datang untuk menyaksikan pendeta yang aneh san pandai itu.

   Maha Wiku Dharmamulya lalu membawa sendiri pendeta Mataram itu menghadap kepada Sang Prabu Samaratungga. Maha Raja inipun agak tercenggang ketika melihat bahwa yang dihadapkannya bukan Indrayana pemuda yang berani dan kurang ajar itu, melainkan pendeta yang telah menggegerkan pembukaan candi. Hati Sang Prabu kurang enak melihat wajah Panembahan Bayumurti yang memandangnya dengan tajam, karena Sang Prabu maklum bahwa pendeta ini adalah seorang yang sakti dan tidak enaklah untuk berurusan atau lebih-lebih bermusuhan dengan orang yang berwajah tenang, bermata tajam dan bibir selalu tersenyum itu.

   Dengan sabar Maha Raja Samaratungga mendengarkan laporan Maha Wiku Dharmamulya tentang penangkapan atas diri Indrayana yang di gagalkan oleh Bayumurti yang kini datang mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.

   "Panembahan Bayumurti."berkata Sang Prabu dengan muka muram."Kau adalah seorang panembahan, seorang ahli kebatinan yang seharusnya mengutamakan perbuatan baik dan ketentraman. Akan tetapi mengapa engaku sengaja mendatangkan kekacauan dan sengaja menghalangi kehendakku menangkap Indrayana, seorang hambaku sendiri? Panembahan Bayumurti, bukankah ini berarti bahwa kau telah berlaku keterlaluan dan kau terlalu mengunggulkan kesaktianmu?"Maha Raja Samaratungga menahan napas untuk menekan gelora kemarahannya."Atau kau sengaja melakukan hal ini untuk menghinaku? Ketahuilah, hai panembahan sesat, raja junjunganmu sendiri di Mataram tridak berani berlaku kurang hormat seperti ini terhadapku!"

   Panembahan Bayumurti yang tadinya tersenyum-senyum, kini menahan senyumannya dan memandang dengan sungguh-sungguh, lalu memberi hormat kepada raja besar itu.

   "Sang Parabu yang bijaksana dan budiman,"katanya tenang,"hamba cukup menghargai paduka, bahkan persembahan patung itupun hamba maksudkan sebagai tanda penghargaan hamba. Paduka adalah seorang raja besar, berbeda dengan raja di Mataram yang makin kehilangan pamornya, karena kurang bijaksana dan tidak dapat mengatur pemerintahan seperti paduka. Hamba sekali-kali tidak berniat hendak mengacaukan Negara Syailendra."

   "Kalau memang demikian pendirianmu, mengapa kau selalu menghalangi tugas Maha Wiku yang bertidak atas perintahku? Mengapa pula kau menolong Indrayana dan sesungguhnya, apakah maksudmu datang di Syailendra? Apakah karena kau terbawa oleh arus pertikaian antara agamamu dan Agama Buddha? Ketahuilah, bahwa kami sendiri menganggap segala pertikaian itu sebagai kebodohan anak-anak kurang mengerti akan keadaan yang sebenarnya. Aku sendiri tidak suka menyaksikan segala macam permusuhan itu terjadi. Apakah kau sengaja datang menghina para penganut Buddha di kerajaanku ini?"

   "Dijauhkan oleh dewata pikiran macam itu dari kepala hamba!"jawab Panembahan Bayumurti."Sesungguhnya, Sang Prabu yang mulia, tak hendak mendahului kehendak Dewata, akan tetapi waktunya akan segera tiba di mana Tanah Jawa akan tentram bahagia, tidak ada pertikaian dan perbedaan faham antara Syailendra dan Mataram. Kedua agama akan hidup rukun dan penuh pengertian, saling mengalah. Bahkan bukan tidak mungkin kedua agama akan di junjung tinggi bersama oleh kerajaan di Jawa! hamba datang hanya sebagai pelopor, hendak memperlebar jalan terlaksananya hal yang amat baik dan sempurna itu, Sri Baginda! Hendaknya diingat bahwa segala macam kebahagiaan itu tidak dapat datang begitu saja, tanpa mengalami kepaitan dan kesukaran terlebih dahulu. Banyak rintangan nampak di depan, banyak""

   Ah, banyak sekali, Sang Prabu, akan tetapi, dewi kemurahan semua Dewata, juga kemurahan Sang Buddha yang paduka puja, akan tibalah saat yang baik itu!"

   Tutup mulutmu yang mengoceh tidak karuan! Tiba-tiba Maha Wiku Dharmamulya yang duduk di dekatnya membentak.

   Akan tetapi sebelum Maha Wiku ini melanjutkan bentakannya, Maha Raja Samaratungga memberi tanda dengan tangannya agar pendeta kepala itu berdiam diri, kemudian ia tersenyum dan berkata kepada Panembahan Bayumurti,

   "Segala harapanmu itu baik-baik saja, Bayumurti. Akan tetapi engkau telah menyimpang daripada percakapan semula. Yang hendak kuketahui hanya mengapa engkau menghalangi kehendakku menangkap Indrayana!"

   "Gusti Prabu yang bijaksana! Paduka tentu tidak khilaf lagi tentang hukum sebab dan akibat. Segala tindakan Wiku Dutaprayoga yang kini ditangkap, dan juga tindakan Indrayana yang melarikan patung, itu semua hanyalah akibat. Mengerjar dan menyalahkan akibat tanpa menengok lagi sebab-sebabnya adalah perbuatan yang sesat dan bodoh, sama halnya dengan menyiramkan minyak wangi pada sebuah kamar yang berbau busuk karena ada bangkai tikus di bawah balai-balai, tanpa mencari bangkai itu dan membuangkannya! Dalam hal ini, yang menjadi sebab adalah hamba sendiri dan perbuatan hamba! Kalau hamba tidak datang mempersembahan patung kepada paduka, tentu Maha Wiku Dhamamulya tidak marah dan hendak menikam hamba dan Wiku Dutaprayoga tidak membela hamba serta menghalangi maksud dan kehendak Sang Maha Wiku. Kalau hamba tidak merobah patng itu seperti Puteri Paduka, tidak nanti Indrayana akan mencuri patung itu dan menjadi orang buruan! Dengan demikian, pokok pangkalnya semua peristiwa ini adalah perbuatan hamba dan hambalah yang harus menerima amarah paduka! Hamba yang kan mempertanggungjawabkan perbuatan Wiku Dutaprayoga dan puteranya itu dan kalau paduka hendak menjatuhkan hukuman, jatuhkanlah kepada hamba! Hamba menuntut kebebasan Wiku Dutaprayoga dan Indrayana!"

   Maha Raja Samaratungga tertegun mendengar ucapan ini. Ia merasa terheran mengapa Kerajaan Mataram makin mengecil dan menyuram, pada hal negara itu mempunyai banyak orang-orang pandai dan waspada seperti pendeta ini! Semenjak Sang Prabu Sanjaya meninggal dunia dan singgasana Mataram diduduki oleh Raja Panamkaran, mulai nampaklah kemunduran besar pada kerajaan itu.

   "Panembahan Bayumurti, engkau benar-benar aneh."

   "Gusti Prabu, memang manusia ini makhluk yang paling aneh di atas dunia!"

   Belum pernah Maha Raja Samaratungga melihat seorang pendeta yang pandai, ramah-tamah dan berani seperti pendeta ini, maka timbullah rasa suka dalam hatinya.

   "Biarlah, kubebaskan Wiku Dutaprayoga dan kuampunkan kekurangajaran Indrayana. Juga engkau boleh pergi dengan bebas, asal saja jangan kauulangi perbuatanmu yang dapat menimbulkan salah faham kepada hamba sahaya di kerajaanku.

   Tentang harapan dan cita-cita yang baik iti,"sampai disini Maha Raja Samaratungga tersenyum dan matanya berseri,"biarlah kauserahlan kepada kebijaksanaan para Dewata, karena itu bukanlah tugas kita manusia!"

   "Sang Prabu!"tiba-tiba Maha Wiku Djarmamulya menyembah,"hamba tidak setuju kalau pendeta ini di lepaskan begitu saja! Ini berarti merendahkan derajat Kerajaan syailendra sendiri, Gusti!"

   Maha Raja Samaratungga berkata dengan sabar,"Maha Wiku, aku tidak bisa mengangkat dan mengagulkan derajat sendiri."

   "Akan tetapi, selain itu, pendeta inipun telah menghina Agama Biddha! Sepak terjangnya jelas meremehkan agama kita dan hal ini kalau didiamkan saja amat berbahaya, Sang Prabu! Kalau pendeta yang menghina agama kita ini dibebaskan begitu saja, hamba khawatir kalau-kalau sebentar lagi pendeta Trimurti dan semua penganutnya akan berlaku kurang ajar dan sewenang-wenang terhadap kita!"

   "Akan tetapi, aku telah memberi kebebasan kepadanya, Maha Wiku, dan sabda seorang Ratu tak dapat disangkal pula."

   "Memang demikianlah hendaknya, Sang Prabu, akan tetapi, pendeta ini masih harus berurusan dengan hamba. Sebagai pendeta kepala, hamba berhal pula mengadilinya, berdasarkan kesalahan kedosaannya terhadap agama kita. Perkenankanlah hamba bicara dengan pendeta sesat ini, Gusti."

   Terpaksa Maha Raja Samaratungga memberi perkenan, karena iapun tidak merasa enak hati kalau sampai mengecewakan hati Maha Wiku yang berpengaruh itu.

   "Bayumurti!"kata Dharmamulya dengan muka keren."Sebagai seorang pendeta, apakah kau begitu tak tahu malu untuk menarik kembali kesanggupanmu yang telah keluar dari mulutmu yang palsu? Kau telah mengatakan bahwa kau akan mempertanggungjawabkan kesalahan Dutaprayoga dan Indrayana. Kau sanggup untuk menerima hukuman yang dijatuhkan kepada mereka bukan?"

   "Aku mengerti maksudmu, Maha Wiku Dharmamulya, teruskanlah!"

   "Sesungguhpun Sang Prabu telah mengampuni kedua orang Ayah dan anak itu, namun sebagai pendeta kepala, akupun berhak mengadilinya. Menurut hukum, orang yang berani menghina pendeta kepala, dapat dihukum kubur hidup-hidup, orang yang berani mencuri patung dari candi, dapat dihukum penggal kepala. Apakah kau masih berani menerima hukuman yang hendak kujatuhkan kepada mereka?"

   "Tentu saja berani, Dharmamulya. Teruskanlah!"

   "Ucapan dan kesanggupan seorang pendeta takkan diingkari lagi!"Dharmamulya memperingatkan

   "Tentu, tentu, hukuman apakah yang henak dijatuhkan?"

   Penggal kepala atau kubur hidup-hidup! Nah, engkau pilihlah!"

   "Maha Wiku, mengapa sekeras itu?"tiba-tiba Sang Prabu Samaratungga berkata mencela.

   Akan tetapi dengan masih tersenyum, Panembahan Bayumurti berkata lantang,"Dharmamulya, aku tahu bahwa hatimu penuh nafsu dan dendam. Aku tidak mengakuio bahwa Indrayana mencuri patung, akan tetapi aku akui bahwa Dutaprayoga telah berani melawanmu untuk tak membelaku. Maka biarlah kupilih kubur hidup-hidup untuk menebus dosa Dutaprayoga!"

   Maha Raja Samaratungga terkejut sekali dan hendak mencegah hal ini, akan tetapi baru saja ia hendak bicara, ia melihat betapa Panembahan Bayumurti memandangnya dengan mata bersinar dan bibir tersenyum seakan-akan memberi tanda agar Sang Prabu jangan merasa gelisah dan khawatir.

   "Maha Wiku Dharmamulya, sebelum aku menjalani hukuman yang hendak kaujatuhkan, aku minat agar supaya Dutaprayoga dibebaskan dulu dan dapat bertemu muka dengan aku."

   Setelah Maha Wiku Dharmamulya minta perkenan Maha Raja Samaratungga, maka pendeta Maratam yang berani dan aneh itu digiring ke luar. Panembahan Bayumurti benar-benar kelihatan tenang dan gembira dan ketika Wiku Dutaprayoga dikeluarkan dari tahanan dan memandangnya dengan heran, ia lalu menghampiri bekas sahabatnya itu, dan setelah mereka berada berdua saja, ia berbisik.

   "Dutaprayoga, engkau tentu maklum pula bahwa yang kulakukan ini semata-mata untuk kebaikanmu. Puteramu selamat, dan engkau menghendaki agar kesemuanya ini berjalan lancar dan beres, engkau perglah ke tempat pertapaan kita di Gunung Kidul dan kelak aku akan menyusulmu ke sana."

   Dutaprayoga maklum akan kesaktian bekas sahabatnya ini dan maklum pula bahwa biarpun Bayumurti usianya masih lebih muda daripadanya, namun dalam segala hal, Bayumurti

   (Lanjut ke Jilid 03)

   Banjir Darah di Borobudur (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 03

   memperlihatkan kelebihannya. Bahkan Ayahnya sendiri, Sang Panembahan Ekalaya, selalu memuji keberaniannya, kesaktiannya, dan kegagahan pertapa Bayumurti.

   Setelah Dutaprayoga pergi meninggalkan Kerajaan Syailendra, Panembahan Bayumurti lalu dimasukkan ke dalam tahanan, menanti upacara perjalanan hukuman baginya yang akan dilakukan pada malam bulan purnama, dua hari kemudian.

   Hukuman yang amat mengerikan, yaitu dikubur hidup-hidup hukuman yang merupakan hukuman adat dan yang sesungguhnya sudah lama tak pernah dilakukan oleh maha Raja Syailendra, akan tetapi kini akan dilakukan oleh Maha Wiku Dharmamulya, seorang pendeta kepala yang diracuni batinnya oleh dengki, iri, dan angkara murka!

   Taman Listyaloka yang berada di belakang istana Maha Raja Simaratungga adalah sebuah taman yang luar biasa indahnya. Ratusan macam bunga yang indah-indah mekar berseri di dalam taman. Harum semerbak bunga mawar yang bermacam-macam bentuk dan warnanya itu, ditambah pula dengan sedapnya bunga-bunga melati dan menur, bunga cempaka, kenanga, kaca piring, dan kantil. Segala keindahan dan keharuman yang dikumpulkan menjadi satu di dalam Taman Listyaloka yang menakjubkan itu selain menarik perhatian kumbang-kumbang dan kupu-kupu serta burung-burung kecil yang berterbangan dari pohon ke pohon.

   Memang indah sekali Taman Listyaloka, bahkan tamansari yang terkenal sekali di Kerajaan Mataram, takkan dapat melebihi keindahan Taman Listyaloka dari istana Syailendra ini. Apalagi kalau pemilik taman itu berada di dalam taman, maka akan bertambahlah kecantikan dan keindahan taman itu. Apabila Sang Putera Pramodawardani berada di dalamnya, maka taman itu akan berubah seperti Taman Indraloka di Khayangan Batara Indra, karena puteri jelita itu tidak kalah elok dan cantiknya oelh putei atau bidadari Khayangan yang manapun juga!

   Akan tetapi, pada senja hari itu, keadaan di Taman Listyaloka tidak seperti biasa. Tidak gembira dan tidak brsinar, seakan-akan muram dan sunyi. Ke manakah perginya burung-burung, kumbang dan kupu-kupu yang biasanya meramaikan taman bunag itu? mereka masih ada, akan tetapi burung-burung itu bersembunyi di dalam pohon, mendekan di atas cabang tak bergerak bagaikan sedang tidur, kumbang-kumbang bersembunyi di dalam kelompok bunga sedangkan kupu-kupu yang biasanya menari-nari itu kini menempel pada daun-daun bunag tanpa bergerak sedikitpun. Semua tampak berduka seakan-akan berkabung. Mengapa demiian? Kalau kita menengok ketengah taman, di dekat empang bunga teratai di dekat pancuran air, maka akan melihat sebab kesunyian dan kemuraman itu. Di atas bangku terbuat dari batu hitam yang terbentuk indah dan mengkilat, duduklah Kusumaning Ayu Pramodawardani sambil menyangga dagu dengan tangannya. Keningnya yang indah itu berkerut, wajahnya muram dan berkali-kali terdengar tarikan napas halus. Banyak orang berkata bahwa kalau sang puteri ini tersenyum, maka dunia kan ikut tersenyum dengan dia, akan tetapi kalau dia bermuram durja, maka dunia akan menjadi gelap dan suram pula. Memang, siapakah orangnya dan mahluk manakah yang takkan menjadi kecil hati dan ikut berduka melihat keadaan sang jelita yang bermuram durja itu?

   

Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo Nurseta Satria Karang Tirta Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini