Banjir Darah Di Borobudur 5
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 5
Kembali mereka sampai di jalan buntu dan terdapat pula sebuah patung serigala hitam yang lebih besar dan lebih dahsyat. Kedua orang pemuda itu mengira bahwa rahasianya terletak pula pada leher serigala batu itu yang harsu diputar, akan tetapi ternyata tidak sedemikian. Seorang penari lalu memasukkan tangan ke dalam mulut serigala batu yang lebar itu dan menarikknya maka terbukalah sebuah pintu pula pada dinding yang tadinya rapat itu!
Seperti juta tadi, Indrayana dan Pancapana berhasil masuk ke dalam pintu rahasia ini setelah merogoh mulut patung serigala dan menarik lidah patung anjing serigala itu. Dengan penuh perhatian mereka melanjutkan pengintaian. Kini mereka tiba di depan sebuah pintu, yakni pintu teakhir, akan tetapi syarat untuk membuka pintu ini bukan merupakan suatu rahasia, melainkan lebih hebat dan berbahaya lagi. Kini yang menjaga di depan pintu bukanlah seekor patung serigala yang mengandung rahasia, melainkan seekor serigala hitam tulen! Serigala ini besar sekali dan bulunya hitam bagaikan arang. Sepasang matanya liar dan mengkilat, sedangkan moncongnya yang merah itu terbuka, lidahnya terjulur keluar di antara dua baris gigi yang runcing dan tajam melebihi pisau belati!
Setelah mengelus-elus leher dan menepuk-nepuk kepala serigala hitam yang besarnya seperti anak sapi itu. Ketiga wanita tadi lalu membuka daun pintu dan berjalan masuk dengan lenggang mereka yang amat menggiurkan. Pancapana dan Indrayana saling pandang. Tak ada lain jalan bagi mereka selain mencoba untuk menerobos jalan yang terjaga ini. Akan tetapi baru saja mereka muncul, serigala hitam itu tiba-tiba menggeram dan menyalak dengan hebatnya, lalu menerkam ke arah dua orang pemuda yang berani mendekatinya.
"Kakangmas, awas!"seru Indrayana yang berjalan di belakang Pancapana. Akan tetapi Pangeran itu adalah seorang pemuda yang cukup gagah. Di terkam sedemikian rupa oleh serigala yang menggerikan itu, ia berlaku tenang, miringkan tubuh ke kiri dan kepalan tangan kanannya menyambar lambung serigala itu.
"blek!"tubuh serigala itu bagaikan dilemparkan oleh tenaga yang dahsyat dan kuat sekali sehingga terbanting ke dinding batu. Akan tetapi, alagkah herannya hati Pancapanaketika melihat bahwa tubuh binatang itu tidak remuk sebagai mana yang ia kira, bahkan batu-batu dinding itu yangberhamburan karena benturan itu, sedangkan serigala itu sendiri hanya menguik keras satu kali, kemudian bangun kembali dan menyeranglah lebih hebat lagi! Bukan main kagetnya hati Pancapana. Pukulannya tadi amat keras, jangankan baru lambung anjing serigala, biarpun lambung seekor banteng akan terluka hebat di bagian dalam apabila terkena pukulan tadi.
Ia tak sempat memikirkan hal itu karena kini serigala itu telah menyerang lagi dengan mulut terbuka lebar-lebar, menerkam dan hendak menggigit lehernya! Pancapana berlaku gesik sekali. Ia mengulur tangan kiri menangkap kaki depan serigala itu, menyentakkan ke bawah sehingga kepala serigala itu menunduk sambil mengerahkan tenaga dan kesaktiannya, ia mengirim pukulan tangan kanan ke arah kepala binatang itu dengan ajinya Hasta Dibya ( Tangan Sakti ).
"Dak!!"terdengar suara keras ketika tangannya itu beradu dengan kepala serigala, akan tetapi kembali pancapana di bikin benggong ketika melihat betapa serigala itu hanya terguling-guling tiga kali saja, akan tetapi sama sekali tidak menderita luka! dengan pukulan Hasta Dibya ini, Pancapana pernah memukul pecah kepala seekor babi hutanyang mengamuk, akan tetapi kali ini, dipukul kepalanya dengan demikian tepat dan jitu oleh ajinya Hasta dibya, serigala hitam itu seakan-akan hanya menertawakan belaka!
Serigala siluman!"serunya marah dan cepat mencabut pedangnya dan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, pangeran ini mendahului serigala itu menusuk perutnya! Akan tetapi, kali ini ia sampai menjadi pucat ketika merasa betapa ujung pedangnya mental kembali setelah beradu dengan kulit perut serigala itu!
"Ah, dia kebal!!"serunya dengan heran.
Sementara itu, Indrayana yang juga merasa penasaran sekali, mencabut kerisnya. Ketika serigala hitam itu menubruk lagi ka arah Pancapana, Indrayana menyambar ekornya dan dibantingnya dengan kuat tubuh serigala itu sehingga kepala serigala menghantam lantai batu. Seperti juga tadi, kepala serigala yang amat kebal dan keras itu malah menghancurkan batu yang bertumbuk dengan kepalanya. Indrayana menambahkan beberapa tkali tikaman keris pusakanya, akan tetapi, benar saja seperti dugaan Pancapana, serigala itu memang kebal dan sakti! Kalau seorang manusia, biarpun ia sakti dan kebal, tak mungkin kuat menerima pusaka di tangan Indrayana. Akan tetapi oelh karena yang dihadapinya adalah seekor binatang yang telah mendapat"isi"oleh ilmu hitam Bagawan Siddha Kalagana, maka kerisnya ini tidak berdaya.
"Ada jalan untuk membuatnya tak berdaya!"tiba-tiba Pangeran Pancapana berseru keras dan ia menubruk maju, merangkul leher serigala hitam itu dari punggung dan memitingnya. Serigala itu meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi pitingan Pancapana ini luar biasa sekali. Lengan kanan pemuda ini memiting leher sehingga leher serigala itu terpuntir ke atas, sedangkan tangan kiri pemuda itu memegang ekornya dengan erat sekali. Maka tak berdayalah serigala itu, hanya matanya saja yang makin liar dan mulutnya berbuih, akan tetapi sama sekali tak dapat bergerak lagi. Mengeluarkan suarapun ia tak mampu!
"Biarpun aku yang menolong kangmas!"kata Indrayana setelah melihat serigala hitam itu tak dapat dibikin tak berdaya oleh kawannya. Ia lalu menolak daun pintu dan melompat ke dalam kamar, ia menjadi marah sekali ketika melihat betapa Candra Dewi berada di dalam kamar itu, berdiri menyandar sebuah tiang naga dan diikatkan di situ! Dara ini menangis terisak-isak dan menggeleng-gelengkan kepala ketika seorang di anatara tiga penari itu hendak memberinya minum madu merah dari sebuah cawan, sedangkan dua orang penari lain hendak melucuti pakaiannya.
"Keparat!"seru Indrayana dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah emndorong tiga orang penari itu sehingga jauh tunggang langgang dan saling tindih, saking gemasnya. Indrayana hendak menendang tubuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara yang lemah dan halus dari Candra dewi,
"Jangan dibunuh mereka itu """
Ucapan ini seakan-akan mempunyai tenaga raksasa yang menahan kaki Indrayana dan pemuda itu dengan hati penuh perasaan kasian dan terharu, lalu merenggut putus tali-tali yang mengikat kaki dan tangan Candra Dewi. Gadis ini menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya terasa sakit sambil menerkam matanya. Ketika ia membuka kebali matanya, maka kedua mata itu menjadi basah dan air mata mengalir turun kembali dengan derasnya. Ia memandang kepada Indrayana bagaikan ke dalam mimpi, tidak merasa betapa pakaiannya telah hampir membuat ia telanjang sama sekali. Tiba-tiba ia berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan Indrayana.
"Kau ""
Kau telah menyelamatkan diriku dari bahaya yang lebih hebat dari maut ""
Terima kasih, Raden, terima kasih ""
Semoga Dewata memberi berkah kepadamu ""!"
Terharulah hari Indrayana melihat kelakuan gadis ini. Ia maklum akan perasaan gadis ini, yang telah berada di tepi jurang kehancuran dan kehinaan yang akan memusnakan kesucian dan kehidupannya. Ia menyentuh rambut yang halus itu dan berkata,
"Diajeng Dewi, sudahlah jangan menangis, betulkan letak pakaianmu dulu """Sambil berkata demikian, Indrayana menutup kedua matanya. Tak tahan ia melihat keindahan ini terbentang di depan matanya. Melihat para penari yang bertelanjang bulat tadi, ia merasa jijik dan muak, akan tetapi kini melihat Candra dewi berlutut di depannya dengan pakaian hampir telepas dari tubuh ia merasa betapa lututnya menjadi lemas dan dadanya berdebar keras.
Sementara itu, ketka mendengar ucapan Indrayana ini, barulah Candra Dewi sadar akan keadaannya. Mukanya menjadi merah sekali dan cepat-cepat ia mengkerling kepada wajah pemuda itu ia menarik napas dan makin merahlan mukanya ketika melihat betapa pemuda itu berdiri sambil memejamkan matanya. Ia cepat-cepat membetulkan dan memakainya pakaiannya kembali, diikat erat-erat dengan kembennya kemudian ia berkata,
"Di mana Raden Pancapana?"
Candra Dewi mengangguk, tak kuasa menjawab karena jengah dan malunya, sama sekali tidak ingat bahwa Indrayana sedang memejamkan matanya,.
"Eh, bagaimana, diajeng? Sudah ".. sudah selesaikan berpakaian?"
baru dara itu teringat bahwa anggukan kepalanya tadi tentu saja tidak terlihat oleh Indrayana!
"Su ""
Sudah,"jawabnya sambil menundukkan muka.
Indrayana membuka matanya dan cepat memegang tangannya.
"Hayo kita lekas keluar dari sini! Selama belum keluar dari bangunan ini, bahaya masih tetap mengancam kita! Kakangmas Pancapana menunggu diluar!"
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar kamar itu. Indrayana cepat menarik tangan Candra Dewi dan diajknnya ke luar. Ternyata ketika Pancapana sedang meringkus serigala hitam yang tak dapat berkutik dalam pitingannya tadi, tiba-tiba datang lima orang pendeta yang duduk di dekat patung Batari Durga di ruang tarian itu. Mereka ini datang karena selain terlalu lama menanti datangnya Candra Dewi yang di jemput oleh ketiga orang penari itu, juga mereka mendengar suara serigala hitam yang mencurigakan.
Orang nekad dari mana berani mengotorkan tempat kami yang suci?"bentak seorang antara lima pendeta itu yang segera maju menyerang Pancapana. Pemuda ini melihat datangnya serangan kelima orang pendeta itu cukup hebat dan berbahaya, segera mengangkat tubuh serigala hitam dan melontarkan binatang yang kebal itu ke arah para penyerangnya.
Kelima orang pendeta itu yang merasa dirinya telah bersih dan suci, tentu saja tidak mau bertubrukan dengan tubuh serigala hitam dan sebagai murid-murid Bagawan Siddha Kalagana yang telah di percaya dan memiliki kepandaian yang lumayan, mereka cepat mengelak, bahkan seorang di antara mereka memukul ke arah leher serigala hitam itu dengan tangan dimiringkan.
"Ngek!"sekali pukul saja binatang itu terlempar dan rebah tak berkutik lagi karena pingsan!
Pancapana terkejut sekali melihat hal ini. Dua kali pukulannya yang amat ampuh, bahkan bacokan pedangnya dan tusukan keris Indrayana, tak berhasil merobohkan binatang itu, akan tetapi ddengan sekali tampar saja pendeta ini dapat membuat binatang itu pingsan, sungguh dapat di bayangkan betapa saktinya pendeta ini. Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan demikianlah halnya. Anjing hutan itu bukan roboh karena saktinya pukulan si pendeta, akan tetapi, sebagai murid Begawan Siddha Kalagana, pendeta ini telah tau letak rahasia kekebalan serigala hitam tadi, maka bagi dia dan kawan-kawannya, serigala hitam itu tidak memiliki kekebalan lagi.
Dengan teriakan-teriakan marah, kelima orang pendeta itu menyerbu Raden Pancapana dan pada saat itulah Indrayana dan Candra Dewi keluar dari kamar itu. Melihat betapa Pancapana dikeriyok oleh lima orang pendeta, Indrayana berseru marah dan menerjang ke depan. Kelima orang pendeta itu sama sekali bukan lawan Indraana dan Pancapana memiliki pukulan keras dan telapak tangan panas. Dalam beberapa gebrakan saja, tubuh kelima orang pendeta itu bergulinga dan bertumpuk menjadi satu dengan kepala benjol, mata biru dan tulang rusuk patah!
"Hayo kita keluar dari neraka ini!"kata Indrayana sambil menarik tanagn Candra Dewi. Ketika melihat betapa dara itu pucat sekali mukanya karena banyak menderita kegelisahan dan ketakutan sehingga kedua kakinya gemetar dan tak dapat lari cepat, tanpa ragu-ragu lagi Indrayana lelu memondong tubuhnya. Untuk sesaat tubuh Candra Dewi menegang dalam pelukan kedua tangannya, akan tetapi melihat tarikan muka Indrayana yang sungguh-sungguh dan sama sekali tidak mengandung nafsu tidak senonoh, tubuh dara itu menjadi lemas dan ia bahkan meletakkan kepalanya di atas pundak pemuda itu. Pancapana tidak berkata sesuatu melihat hal ini, karena saat yang amat berbahaya itu tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk meributkan hal-hal kecil dan tidak memberi saat untuk berjenaka pula.
Karena telah mengetahui rahasia pintu yang di sebelah dalamnya juag ada patung-patung serigala hitam seperti di bagaian luar, mereka dapat keluar dengan mudah. Akan tetpi sebelum mereka tiba di luar bangunan, sepasukan penjaga telah menghadang di depan dengan senjata tajam di tangan! Pancapana yang bertahan di depan, membuka jalan dengan pedangnya. Ke mana saja pedangnya berkelebat, menjeritlah seorang pengeroyok dan robohlah tubuh seorang penjaga sehingga mereka menjadi gentar sekali dan membiarkan Pancapana dan Indrayana yang memondong tubuh Candra Dewi lewat dan keluar dari bangunan itu!
Kini kedua orang muda itu telah tiba pekarangan belakang yang juag cukup luas. Mereka berlari menuju sebelah pintu gerbang kecil yang akan membawa mereka ke tepi Sungai Serang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan yang keras sekali dan dengan luar biasa sekali cahaya bulan yang tadinya terang-benderang menjadi gelap sama sekali!
"Kakangmas Pancapana!"bisik Indrayana yang terpaksa berhenti berlari."Apakah yang terjadi?"
"Sst, dimas, tenang dan waspadalah! Agaknya bagawan siluman itu sendiri telah keluar dan ini tentu perbuatan sihirnya!"
Mereka berdua berdiri berdekatan, saling berpegangan tangan, urat-urant di tubuh menegang, siap menghadapi kemungkinan. Candra Dewi yang berada di dalam pelukan Indrayana segera berbisik,
"Raden, turunkan aku, agar dapat siap menghadapi lawan."Suara dara itu gemetar karena merasa ketakutan melihat kehebatan musuh uang mempunyai kesaktian demikian mengerikan.
Indrayana menurunkan tubuh Candra Dewi, akan tetapi tangan kanannya memegang tangan dara itu, sedang tanagn kirinya memegang tangan Pancapana. Keadaan makin gelap dan awan yang tadinya bergulung di atas agaknya kini turun ke bawah dan menyelimuti mereka sehingga mereka tiak dapat melihat kawan-kawan sendiri!
Tiba-tiba terdengar suara yang menyeramkan, bagaikan iblis dari neraka.
"Ha-ha-ha! Indrayana, dan Candra Dewi! Kalian hendak melarikan diri? Ha-ha-ha!"Selenyapnya suara ini terdengar suara anjing atau serigala melolong-lolong dengan hiruk-pikuk, seakan-akan ada puluhan ekor serigala buasa yang mengurus dan hendak menyerang tia oranga nak muda itu!
Tiba-tiba Indrayana merasa betapa tangan Candra Dewi meremas jari tangannya dengan etar-erat dan gadis itu berbisik.
"Aku ""
Aku takut ""!"
Indarayana merasa betapa tubuh gadis yang merapat padanya itu menggigil. Siapa orangnya yang takkan merasa ngeri dan takut dalam keadaan yang menyeramkan itu?
Diajeng,"bisiknya menghibur,"Jangan takut selama aku masih berada di dekatmu!"
"Siddha Kalagana!"teriak Indrayana kemudian dengan suara keras."Kau pendeta siluman yang tak tau malu! Seorang yang mengaku sakti titisan Sang Hyang Syiwa, mengapa baru menghadapi kami dua orang muda saja sudah merasa takut? Sungguh memalukan sekali!"hening sejenak. Lenyap suara anjing melolong. Kemudian, dari dalam gelap terdengar suara Bagawan Siddha Kalagana menjawab.
"Bocah sombong, siapa takut pada kalian? Jangankan baru dua orang muda seperti kalian, di tambah dua puluh orang lagi, aku Bagawan Siddha Kalagana, titisan Sang Hyang Syiwa, tidak akan takut atau mundur!"
Diam-diam Indrayana yang cerdik itu tersenyum girang. Akalnay telah berhasil baik dan kata-katanya tadi telah menyinggung perasaan dan kehormatan si begaawan itu. Pemuda ini lalu tertawa bergelak dan berkata lagi.
"Siddha Kalagana, hatimu tak sama dengan lidahmu dan lidahmu tidak cocok dengan perbuatanmu! Kalau kau tidka takut terhadap kami, mengapa kau mempergunakan ilmu iblis dan bersembunyi di dalam gelap? Ha-ha-ha! Aku tau akan akal siasat burukmu ini. Tentu saja kau tidak berani melawan kami berdepan secara orang-orang gagah, karena kau bukan orang gagah, melainkan orang berhati curang dan pengecut!"
"Keparat jahanam mau mampus!!"Tiba-tiba terdengar Bagawan Siddha Kalagana memaki marah dan kegelapan yang menyelimuti tempat itu seketika itu juga menjadi terang. Bulan nampak bersinar lagi dengan indahnya. Kini kelihatanlah bagawan itu yang berdiri di depan ketika orang muda itu dengan sikap mengancam dan mengerikan sekali. Bagawan itu telah menggenakan pakaiannya yang terdiri dari celana panjang warna hitam, dan jubah hitam berkembang merah dan kuning dan sorbannya yang berwarna kuning pucat. Di tangan kanannya nampak senjatanya yang amat dahsyatnya, yakni seekor ular kobra yang kering. Di belakang pendeta siluman ini berdiri anak buah pasukan Srigala Hitam. Adapun suara gamelan yang masih di tabuh ramai itu menyatakan bahwa pesta tari-tarian yang makin menggila itu masih berlangsung, dan bahwa para penduduk yang kini telah mabuk tak sanggup menguasai batin dan pikiran sendiri itu, tidak mengetahui sama sekali peristiwa ini dan mereka itu masih menari-nari dengan empat puluh orang bidadari yang menggiurkan itu!
Indrayana dan Pancapana maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali. Menghadapai bagawan itu saja sudah merupakan hal yang amat berat dan berbahaya, apa lagi berada di sarang mereka dan kini bagawan itu masih dibantu oleh sebagian anak buahnya! Akan tetapi, semangan ksatria pantng mundur dalam perjuangan menghadapi musuh angkara murka. Kedua orang muda itu tidak menjadi gentar dan mereka mengambil keputusan untuk melawan dengan nekad, membela dan melindungi Candra dewi dengan nyawa mereka dan kalau pesta perlu tewas bersama di tempat itu!
"Indrayana!"seru Bagawan Siddha Kalagana sambil tersenyum mengejek."Lebih baik engkau meyerah, menjadi muridku mempelajari ilmu kepandaian yang tinggi dan aji kesaktian yang luar biasa. Percayalah, engkau akan mejadi murid terkasih dariku, dan akan merupakan anak angkatku. Engkau akan dapat mempelajari seni ukir dan seni tari. Si Candra juga akan menjadi seorang yang paling dihormati, menjadi pelayang yang paling tinggi kedudukannya, paling dekat dengan Sang Hyang batari dan aku! Untuk apa engkau menyia-nyiakan nyawa dalam usia muda?"
Bagawan Siddha Kalagana kini memandang kepada pancapana dan ucapannya terhadap Pancapana benar-benar mengagetkan ketiga orang muda itu."He, Pancapana, pangeran yang terlantar! Apakah engkau tidak ingin menjadi Raja Mataram, menggantikan kedudukan Ayahmu dulu? ha-ha-ha! Engkau menjadi pucat mendengar ini! Ya, tidak ada perkara di duni aini yang tidak diketahui oleh Bagawan Sddha Kalagana yang sidik paningal dan sakti mendraguna! Kalau engkau suka menjadi muridku, jangan khawatir. Merebut kembali Mataram dari tangan Panamkaran akan sama mudahnya seperti membalikkan telapak tangan saja. Engkau menyehkan dan aku yang akan merampaskan Mataram untukmu!"
Tadinya Pancapana memang menjadi pucat mendengar ucapan yang mengagetkan itu, karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pendeta iblis itu mengetahui rahasianya. Akan tetapi ketika mendengar bujukan-bujukan pendeta itu, ia mejadi marah sekali. Dengan muka kembali merah, Pancapana mengangkat pedangnya dan berseru,
"Pendeta keparat! Kalau engkau sudah tahu bahwa ku adalah seorang pangeran Mataram, masihkah engkau mengharapkan seorang ksatriya berlutut menyembah seekor anjing?"
Bukan main marahnya Bagawan Siddha Kalagana mendengar kata-kata ini,"Bocah-bocah sombong, engkau mengandalkan apakah, berani kurang ajar terhadap Bagawan Siddha Kalagana?"
Akan tetapi Pancapana dan Indrayana tidak mau melayani pendeta itu mengobrol lebih jauh, dan keduanya lalu menerjang dengan senjata di tangan. Bagawan Siddha Kalagana telah merasai sepak terjang kedua orang muda ini, dah harus ia akui bahwa dalam hal kepandaian memainkan senjata, kedua orang muda ini lebih tangkas dan pandai. Akan tetapi pendeta ini tidak takut, karena sekarang ia berada di tempat sendiri, dan untuk keperluan pesta itu ia telah memasang mantera dan tenung sehingga tubuhnya diliputi oleh hawa gaib dan selaksa iblis menjadi sahabat dan hambanya.
Keris di tangan Indrayana bukanlah sebilah keris baisa, melainkan sebatang keris pusaka yang amat ampuh. Keris Bajradenta ( Kilat Putih ) ini mempuanyai daya dan pengaruh untuk menolak pengaruh-pengauh hitam, dan kini setelah di mainkan oleh tangan Indrayana yang terlatih dan kuat, maka keris itu berkelebatan dan menyambar-nyambar bagaikan halilintar. Hawa yang timbul dari cahaya berkelebatannya keris itu saja sudah mendatangkan rasa panas bagi yang di serangnya. Indrayana memiliki ketankasan dan kegesitan seperti burung walet, maka tentu saja permainan kerisnya juga hebat dan sukar sekali di hadapi.
Demikian juga Pacapana tidak kurang hebat dan kuatnya. Pemuda ini telah mendapat gemblengan dari seorang pertapa yang sakti. Di bawah pimpinan Panembahan Bayumurti, pemuda ini telah melakukan tapabrata dan telah mempelajari berbagai ilmu keperwiraan dengan amat tekunnya, maka ia merupakan seorang pemuda yang selain gagah perkasa, juga sakti mandraguna. Pedangnya bernama Candrasa Wilis ( Pedang Hijau ) karena terbuat daripada baja yang bersinar kehijauan. Tajamnya bukan alang kepalang dan baja atau besi biasa saja yang terbacok oleh Candrasa Wilis ini pasti akan putus bagaikan mentimun! juga ilmu pedang pemuda ini amat cepat dan ganas gerakannya, pedang di putar-putar merupakan segulung awan hijau yang bergerak-gerak menyambar bagian lemah tubuh Bagawan Siddha Kalagana.
Sesungguhnya, dua orang pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh. Biarpun Bagawan Siddha Kalagana juga memiliki kepandaian pencak silat yang cukup tinggi, kepandaian yang di pelajarinya di tanah airnya ketika ia masih muda, namun menghadapi sepak-terjang Pancapana dan Indrayana, diam-diam ia harus mengakui keunggulan kedua pemuda itu! Jangankan di keroyok dua, andaikata ia menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu ia mendapat kemenangan! Maka perlahan-lahan Pancapana dan Indrayana mendesak dan mengurung pendeta itu yang sibuk sekali memutar-mutar senjata ularnya dan mengelak ke sana ke mari melepaskan diri dari bahaya maut. Biarpun pedeta itu amat terdesak, namun para anak buahnay tidak berani sembarangan bergerak membantu. Tanpa perintah dari pendeta yang berkuasa itu, mereka tidak berani berlaku lancang. Mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Bagawan Siddha kalagana, karena mereka percaya bahwa sesembahan mereka itu bukan lain adalah Sang Batara Syiwa sendiri yang menjelma menjadi manusia! Tidak ada seorag manusia, biar yang gagah-gagah seperti dua orang pemuda itu berada di tempat tinggal Sang Maha Batari Durga yang suci dan maha kuasa, yang tentu akan membantu suaminya dalam pertempuran melawan siapapun juga!
Bagawan Siddha Kalagana maklum bahwa kalau ia terus melawan mengandalkan kepandaian dan kekuatan jasmani, ia akan kalah! Tidak boleh ia menderita kekalahan dihadapan semua pengikutnya, karena hal ini akan menhancurkan kedudukannya, akan menghilangkan kepercayaan para pengikutnya. Maka diam-diam ia meulau berkemak-kemik membaca mantera dan sepasang matanya mulai mengeluarkan cahaya yang ganjil dan menyeramkan! Candra Dewi yang berdiri memandang pertempuran itu dengan gelisah, tiba-tiba melihat betapa sepasang mata bagawan itu mencorong bagaikan mata harimau di malam hari. Saking ngeri dan takutnya. Candra Dewi mengeluarkan jerit tertahan dan menggeluarkan kedua tangan untuk menutupi matanya!
Indrayana dan Pancapana juga melihat perobahan pada mata lawannya itu, maka merekapun menjadi terkejut sekali. Akan tetapi kedua orang pemuda gagah ini masih dapat menenteramkan hati mereka. Tiba-tiba pendeta itu berseru keras,"Lihat!"Dan tangan kirinya memegang sesuatu yang diambilnya dari dalam jubahnya. Benda yang dipegangnya itu mencorong dan memantulkan sinar bulan kepada muka Indrayana dan Pancapana. Kedua orang muda itu hendak miringkan kepala, akan tetapi terlambat. Sinar yang keluar dari benda yang dipegang oleh Siddha Kalagana telah menyambar pandang mata mereka sehingga bagaikan kena pesona mereka berdua tak dapat melepaskan pandangan mata dari benda yang bersinar-sinar di tangan lawannya itu. Dengan mata memandang ke arah benda itu, kedua orang muda ini telah masuk ke dalam perangkap pendeta itu! Kini pendeta itu telah menguasai kemauan mereka dengan ilmu hitamnya. Betapapun kedua orang muda itu mengerahkan tenaga batin untuk membebaskan diri dari pengaruh yang membuat hati dan pikiran mereka serasa beku, namun tetap mereka tak berdaya. Pengaruh yang melumpuhkan mereka itu luar biasa kuatnya.
Berlututlah kalian berdua, hai kawula ( hamba ) baru dari Sang Maha Batari!"terdengar suara Bagawan Siddha Kalagana memerintah. Bagaikan ada tenaga gaib yang melemahkan seluruh semangat mereka, Indrayana dan pancapana lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan pendeta itu!
Bagawan Sidda Kalagana tertawa terbahak-bahak dan ia lalu melangkah maju menghampiri Candra Dewi yang berdiri menggigil ketakutan.
"Ha-ha-ha! Candra Dewi, anak manis, denok dan ayu! kau sudah ditakdirkan menjadi pelayan Sang Maha Batari, sudah ditakdirkan menjadi pelayan selir Sang Batara Syiwa! Ha-ha-ha, marilah manis, mari ikut junjuganmu merayakan pesta dan menari gembira!"
Candra Dewi tak dapat mengeluarkan suara saking takutnya. Ia melangkah mundur perlahan-lahan, matanya menatap pendeta itu tanpa berkedip.
"Ha-ha, kekasihku ayang, mengapa takut-takut? Mengapa malu-malu?"Sang pendeta melangkah maju mendekat, hatinya makin gairah dan nafsunya memuncak. Sementara itu, para pengikutnya ketika melihat betapa pendeta itu mengalahkan dua orang pemuda yang gagah perkasa makin tunduk dan percaya penuh. Siapakah yang akan dapat mengalahkan kesaktian Sang Hyang Syiwa?
Akan tetapi, tiba-tiba pendeta itu dan juga semua anak buahnya terkejut sekali ketika melihat sinar terang dibarengi suara keras menyambar dari udara. Saat itu udara tidak mendung, dari manakah datangnya kilat yang menyambar hebat itu? Suara kilat yang keras itu memecahkan pengauh ilmu hitam yang dilepas oleh Bagawan Siddha Kalagana kepada Indrayana dan Pancapana sehingga merekapun terkejut karena suara keras itu dan melompat bangun!
Bagawan Siddha Kalagana berdiri dengan kedua mata terbelalak heran. Candra Dewi segera berlari kepada kedua pemuda itu dan dalam ketakutan hebat, ia lalu menubruk ""
Indrayana yang segera memeluk dan mengusap kepalanya.
"Tenanglah, diajeng """bisik pemuda itu.
Bagawan Siddha Kalagana masih terbelalak memandang ke atas dengan pikiran heran karena ia tak dapat mengerti dari mana datangnya halilintar yang menyambar dan yang menghancurkan hikmat sihirnya tadi. Kemudian, entah dari mana datangnya, terdengarlah suara halus akan tetapi amat berpengaruh.
"Indrayana, kau tidak lekas mengajak kedua kawanmu melanjutkan perjalanan, mau tunggu kapan lagi?"
Indrayana terkejut mendengar suara ini."Eyang Panembahan,"bisiknya perlahan dengan girang dan juga heran, lalu denagn cepat ia memegang tangan Candra Dewi dan berkata kepada Pancapana.
"Kakangmas Pancapana, hayo kita lari!"
Indrayana menarik tangan Canra Dewi dan berlari, diikuti oleh Pancapana. Mereka keluar dari pintu belakang dan ketika sampai di tepi Kali Serang, mereka lalu berlari menyusur sepanjang tepi sungai.
Bagawan Siddha Kalagana amat marah melihat korban-korbannay melarikan diri. Ia lebih marah lagi kepada suara yang telah menolong para korbannya itu. Ia berkemak kemik membaca mantera lalu berseru keras.
"Tidak ada titah Dewata yang tak dapat terlihat olehku!"
Bagawan Siddha Kalagana memiliki kesaktian yang tinggi dan apabila ia telah mengucapkan mantera disusul bentakannya yang amat berpengaruh ini, biasanya segala aji yang dipergunakan orang untuk menghilang akan buyar dayanya. Akan tetap saja ia tidak melihat orang yang berkata-kata kepada Indrayana tadi! Ia terkejut dan mklum bahwa ia menghadapi seorang berilmu tinggi yang memiliki kesaktian luar biasa, maka dengan suara halus ia berkata.
"Saudara dari manakah yang datang menggangu kami? harap sudi memperlihatkan diri agar kami dapat melihat siapa yang telah memberi kehormatan besar mengunjungi tempat kami yang buruk ini!"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus dan kedua mata Bagawan Siddha Kalagana serta mata semua pengikutnya kini dapat melihat seorang kakek yang berusia tinggi berdiri di bawah pohon sambil bersedakap.
"Bagawan Siddha Kalagana,"kakek itu berkata dengan suaranya yang halus dan tenang,"tiada yang kekal di dunia ini kecuali kebenaran! Cepat atau lambat, segala keadaan akan sirna kembali lenyap kembali ke tempat asl. Kesesatan dan kejahatan akan lebih cepat lagi runtuhnya, kembali ke alam gelap dan siksa dari mana ia berasal. Makin besar nikmat duniawi yang didatangkan oleh kesesatan, makin besar pula siksa yang akan menjadi buahnya. Masihkah kau tidak insaf dan hendak melanjutkan langkahmu yang menyeleweng daripada jalan kebenaran?"melihat kakek itu, lenyaplah kesombongan Bagawan Siddha Kalagana. Ia merangkapkan kedua tangan di depan dada dengan hormatnya lalu berkata.
"Ah, tidak tahunya Sang Bagawan Ekalaya yang telah membersihkan batin daripada segala urusan dunia itu, kali ini sengaja turun gunung untuk bertanding ilmu dengan aku? Apakah kau berani mempergunakan tanganmu yang telah tercuci bersih untuk menghancurkan aku?"
Sang Bagawan Ekalaya tersenyum."Tidak, Siddha Kalagana, aku tidak akan mencampuri urusanmu. Bukan menjadi tugasku untuk mengakhiri pengumbaran hawa nafsu. Aku hanya datang menghalangimu dari bencana yang hendak kau timpahkan kepada calon-calon muridku. Nah, selamat tinggal, Siddha Kalagana!"Sehabis berkata demikian, lenyaplah tubuh pertapa sakti itu dari hadapan Siddha Kalagana dan para pengikutnya.
Merahlah pendeta itu, akan tetapi ia maklum bahwa sesungguhnya pertapa itu tidak mau mengganggunya, namun ia sendiri tidak berdaya terhadap kakek yang suci dan tinggi ilmunya itu.
"Hayo! Kita melanjutkan pesta kita! Jangan perdulikan segala pertapa pemakan rumput!"Ia lalu memimpin anak buahnya kembali ke ruang pesta di mana masih berlagsung pesta yang makin menggila itu. Kini semua orang sudah mabok betul-betul sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya patut dilakukan oleh segala setan dan iblis di neraka.
Setahun lebih Indrayana, Pancapana, dan Candra dewi berdiam di puncak Gunung Muria yang terletak di atas sebuah pulau kecil di seberang tepi Pulau Jawa. Mereka bertiga mendapat gemblengan dari Sang Panembahan Ekalaya, mendapat ilmu kebatinan yang tinggi. Kalau Candra Dewi hanya mendapat ilmu-ilmu kebatinan dan pengetahuan tentang filsafat, adalah Indrayana dan Pancapana mendapat latihan ilmu kesaktian pula. Oleh karena itu, kedua orang pemuda itu kini makin kuat dan digdaya. Keduanya diberi wejangan dan aji kesaktian melawan ilmu-ilmu hitam.
Pada waktu-waktu terluang, Indrayana mempelajari ilmu seni pahat dan seni ukir dari Pancapana dan Candra Dewi. Kedua orang muda ini sebagai puteri dan murid Panembahan Bayumurti memang pandai sekali membuat patung dan gambaran terukir, terutama sekali Candra dewi. Kalau jari-jari tangan yang kecil, runcing dan halus itu memegang alat pengukir patung, jari-jari itu dapat bergerak dengan amat cekatan dan cepat. Senang benar Indrayana melihat dara ini bekerja memahat patung untuk memberi contoh kepadanya. Kalau sedang bekerja dengan asyiknya itu, sepasang mata dara itu menyipit dan memancarkan cahaya kalau ia memandang dan megamat-amati patung yang sedang dibentuknya. Cahaya mata seorang seniman. Kadang-kadang, saking asyiknya Candra Dewi mengeluarkan ujung lidahnya yang kecil merah itu di antara sepasang bibirnya dan seikal rambutnya yang hitam dan halus itu beruntai ke depan keningnya."
Hubungan antara Indrayana dan Candra Dewi bertambah erat dan kini gadis itu tidak canggung dan malu-malu lagi kepada Indrayana yang selalu sopan santun dan ramah tamah. Sungguhpun mulut mereka tak pernah menyatakan apa yang terkandung di dalam hati masing-masing, namun pandangan mata mereka telah membocorkan rahasia hati. Pertemuan pandang mata mereka selain mendatangkan kesan mendalam yang mendebarkan hati, juga saling bicara dalam seribu bahasa yang hanya dapat terdengar oleh telinga hati masing-masing.
Indrayana adalah seorang pemuda yang belum pernah tergoda oleh rayuan asmara. Perasaan cinta yang pertama-tama dirasainya, berikut rindu dendam di dalam hati mudanya, adalah ketika ia bertemu dan melihat Sang Puteri Mahkota Pramodawardani, puteri dari Kerajaan Syailendra itu memang selama ini ia mengaku di dalam hatinya, bahwa ia mencintai puteri itu, dan mengganggap bahwa puteri itulah wanita tercantik di seluruh permukaan bumi ini. Ia pernah tergila-gila kepada patung puteri itu, pernah gandrung di dalam hutan bagaikan seorang gila, mencumbu rayu patung itu.
Akan tetapi, semenjak patung itu lenyap, berubah menjadi patung Dewi Tara kembali, dan semenjak ia bertemu dan berkenalan dengan Candra Dewi, bayangan wajah Pramodawardani makin menipis dan suram. Betapapun juga, sebagai seorang ksatria yang memiliki kesetiaan, di dalam hatinya sendiri Indrayana menyalahkan hatinya yang tertarik pada wajah Candra Dewi, dan memperkuat keyakinannya bahwa sesungguhnya yang ia cintai adalah Pramodawardani dan sudah seharusnay demikian, karena sebelum bertemu dengan Candra Dewi, ia telah menjatuhkan hatinya kepada Sang Puteri Mahkota Pramodawardani itu. Sebagai seorang ksatria tidak seharusnya demikian mudah perasaan hatinya, demikian pikir Indrayana.
Pada hari itu, menyelesaikan sebuah patung yang hanya bagian mukanya saja belum sempurna. Patung itu dibuatnya semenjak tiba di puncak Muria, di bawah petunjuk Pancapana dan Candra Dewi. Dibuatnya dengan amat hati-hati dan cermat. Melihat hasil pahatannya dan ukirannya yang telah menciptakan bentuk tubuh yang cukup baik, ia merasa amat girang. Banyak rahasia dalam cara pengukiran petung ia pelajari dari kedua orang sahabatnya itu, dan diam-diam ia mengaku memang cara mengukir dan memahat patung dari Mataram sebagaimana yang dipelajarinya dari murid-murid Panembahan Bayumurti itu jauh lebih sempurna daripada pelajaran yang pernah ia tuntut di Kerajaan Syilendra.
Akan tetapi, telah beberapa pekan lamanya Indrayana merasa jengkel dan penasaran. Patung yang dibuatnya itu adalah patung wanita. Dari kaki sampai leher sudah baik sekali, akan tetapi ia melihat kesulitan dalam hal membentuk muka patung itu.
"Kakangmas Indrayana,"berkata Candra Dewi dengan suaranay yang merdu dan halus."Dalam mengukir dan membentuk bagian muka, memang lebih sukar daripada bagian-bagian lain, bahkan boleh di bilang yang paling sukar. Selain harus cermat, juga perlu bekerja denagn hati-hati sekali, karena sekali saja pahatmu meleset dan mendatangkan cacat pada muka patung, itu berarti bahwa seluruh pekerjaanmu terbuang sia-sia!"
"Inilah kelemahanku semenjak dahulu dalam membuat patung, diajeng Dewi,"jawab Indrayana sambil menarik napas panjang."Aah, memang aku yang bodoh! Betul seperti kata Ayahku dahulu, membuat patung yang indah memerlukan bakat, dan aku ""
Aku agaknya tidak berbakat!"Dengan muka sedih Indrayana menunda pekerjaannya, duduk di atas sebatang akar pohon waringin, kemudian memandang kepada telapak kedua tangannya yang ditelentangkan di atas pegkuannya."Tanganku terlampau kasar, tak patut bagi pekerjaan yang halus-halus!"
Candra Dewi memandang kepada Indrayana dengan sinar mata seperti seorang ibu memandang kepada seorang anaknya, lalu ia tertawa geli sehingga pemuda itu memandangnya dengan merenggut karena merasa penasaran mengapa orang sedang kesal malah ditertawakan?
Melihat mulut Indrayana yang cemberut itu, makin gelilah hati candra Dewi sehingga ia menggunakan tangan untuk menutup dan menahan ketawanya.
"Engkau seperti anak kecil yang sedang rewel!"kata gadis itu."Seperti anak kecil minta sesuatu dan tidak diperbolehkan oleh ibunya!"
"Alangkah baiknya kalau aku masih menjadi anak kecil dan masih mempunyai seorang ibu yang mencintaiku dan menghibur hatiku,"kata Indrayana mengerutkan keningnya.
"Eh-eh, jangan merajuk, kakangmas Indrayana. Aku khawatir jangan-jangan engkau akan menangis! Apakah sekarang engkau merasa demikian sengsara?"
Indrayana menghela napas,"sekarang? Tak seorangpun peduli pada nasibku. Bahkan dalam kekesalan dan kekecewaan seperti sekarang ini, tidak ada yang menghiburku bahkan ada orang yang mengejek dan mentertawakan aku!"
Tiba-tiba berobahlan wajah Candra Dewi, pandang matanya sayu ketika ia menatap wajah Indrayana. Ia mendekati pemuda itu dan menyentuh lengannya dengan ujung jari tangan.
"Kakangmas ""
Tak dapatkah engkau menerima kelakarku? Benar-benarkah engkau demikian berduka dan menderita ""?
Melihat pandang mata gadis itu dan mendengar suaranya yang agak gemetar itu, Indrayana sadar kembali bahwa ia memang bersikap keterlaluan. Dipegangnya pergelangan tangan gadis itu dan berkata sambil tersenyum lebar.
"Jeng Dewi, maafkan aku! Aku tadipun hanya bergurau dan mengodamu saja."
"Candra Dewi tiba-tiba membentot tangannya yang terpegang itu dengan wajah kemerah-merahan.
"Kakangmas Indrayana, janagn engkau cemberut lagi seperti tadi. Sungguh tak sedap hati rasanya memandang mukamu yang cemberut. Sekarang dengarlah baik-baik, orang muda pemarah. Tadi engkau menyatakan bahwa menurut ramandamu, pembuatan patung yang indah membutuhkan bakat. Ini memang benar, akan tetapi hanya sebagian saja, dan pernyataan itu masih belum lengkap. Kalau kau berkata bahwa tidak berbakat, itu sama kelirunya dengan pernyataan bahwa kau tidak berkepala."
Indrayana memandang kepada gadis itu dengan heran dan tertegun. Memang, gadis ini amat pandai mengingat filsafat yang pernah ia dengar dari Ayahnya, dan memiliki pandangan yang amat luas dalam hal perikehidupan sehingga kadang-kadang Indrayana sendiri menjadi terheran-heran.
Melihat betapa mata Indrayana memandangnya dengan penuh keheranan, gadis itu tersenyum dan berkata,"Aku hanya mengulang kata-kata Ayahku belaka. Menurut Ayah, segala macam kepandaian di dunia ini, telah ada pada diri setiap orang manusia. Kepandaian ini masuk ke dalam tubuh bersama-sama denagn jiwa dan kepandaian asli yang berasal dari Hyang Agung inilah yang dinamakan bakat. Bakat ini pula yang membuat setiap orang bayi dapat mempergunakan seluruh anggota tubuhnya yang sudah kuat tanpa diberitahu lagi. Hanya terserah kepada manusia sendiri untuk menggali dan mencari bakat sendiri di dalam dirinya. Berhasil atau tidaknya seseorang mendapatkan bakat sendiri di dalam dirinya, tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri. Ia harus rajin, tekun, tahan uji, ulet, sabar, dan segala sifat-sifat baik harus dikerhkan sebagai obor penerangan untuk mencari bakatnya sendiri yang tersembunyi itu."
Indrayana memandang kepada Candara Dewi dengan mata dipentang lebar dan bibirnya tersenyum.
"Eh, eh, mengapa kau tersenyum-senyum? Apakah kau tad mendengarkan kata-kataku? Jangan membikin aku capai berkata-kata dengan sia-sia!"
Indrayana cepat mengangguk-anggukkan kepalanya."Tentu saja aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Memang amat janggal dan aneh."
"Apanya yang janggal dan aneh?"tanya gadis itu curiga.
"Janggal dan aneh kedengarannya ucapan yang mengandung arti dalam sekali itu keluar dari bibir seorang dara semuda dan secantik engkau!"
"Hus, jangan kau menggoda, kakangmas Indrayana. Akan kulanjutkan petunjuk untuk membuat patung ini, atau tidak?"ia emngancam.
"Eh, tentu saja, tentu saja! Baik, aku takkan main-main lagi dan akan mendengarkan sebagai seorang murid yang baik."
"Oleh karena bakat telah ada di dalam diri setiap orang, maka aku katakan tidak benar kalau kau menganggap bahwa kau tidak berbakat. Setiap orang tentu dapat mengerjakan apa saja, asalkan ia usahakan dengan hati mantap, penuh kepercayaan kepada diri sendiri, penuh rasa sayang dan cinta kepada apa yang dikerjakan, dan tanpa ada penyelewengan kehendak. Buktinya, kau telah dapat membuat patung ini dengan cukup baik, hanya bagian mukanya saja belum juga dapat kauselesaikan sempurna. Menurut petunjuk rama panembahan dulu, membentuk muka patung harus menurut contoh yang dilukis dalam angan-angan sendiri. Pelukisan wajah seseorang dalam angan-anagn ini akan lebih jelas dan mudah muncul apabila kita memilih orang yang lebih dekat di hati, orang yang paling kau kasihi. Dulu, ketika akan membuat patung untuk pertama kalinya, baru aku berhasil setelah gambar dalam angan-anganku itu timbul dari cinta kasihku kepada Ayah dan ibu. Aku dapat membuat patung Ayah ibu dan dengan baik sekali."Indrayana mengangguk-angguk. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian."Hm, jadi begitukah caranya?"
Ya, dan sekarang kau bentuklah muka patung itu menurut wajah orang yang terdekat dengan hatimu."
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba muka Indrayana berseri."Ibuku! Benar ""
Sejak dulu aku ingin sekali membuat patung ibuku! Tahukah kau, jeng Dewi, dulu aku pernah mencoba membuat patung dari batu-batu di tengah Kali Serang, untuk membuat patung mendiang ibuku, akan tetapi selalu taidak berhasil? Sekarang aku telah tahu bagaimana cara mengukir bagian yang halus-halus dan agaknya wajah ibuku yang paling mudah timbul dalam angan-anganku."
Akan tetapi Candra Dewi menggelengkan kepalanya."Kau lihatlah tubuh patung itu, pantaskah kiranya kalau menjadi tubuh mendiang ibumu?"
Indrayana tertegun. Memang tubuh patung itu merupakan tubuh seorang wanita muda remaja, sedangkan wajah ibunya merupakan wajah seorang wanita yang sudah setengah tua.
"Kau benar diajeng, takkan sesuai."
"Pilihlah wajah seorang yang lebih muda. Dapatkah kau mengingat wajah ibumu ketika masih muda?"
"Indrayana menggelengkan kepala, kemudian ia berkata,"Oya aku akan membayangkan wajah Sang Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra"
Candra dewi memandang dengan mata bersinar."Ah, Sang Puteri Pramodawardani yang tersohor cantik jelita seperti bidadari itu?"
Indrayana mengangguk dan wajahnya berseri-seri. Pembicaraan ini mengingatkannya lagi kepada Sang Puteri yang jelita itu dan ketika ia menyipitkan kedua matanya, terbayanglah wajah puteri jelita itu dengan jelasnya di depan matanya. Benar! mengapa ia begitu bodoh? Bayangan wajah Pramodawardani yang pernah dirindukan itu demikian jelas, seakan-akan ia dapat merabanya. Tentu mudah sekali membentuk wajah patungnya menurut contoh ini!
"Engkau benar ""
Engkau benar """Bagaikan dalam mimpi. Indrayana lalu berjalan perlahan kepada patungnya yang berdiri tak jauh dari situ, lalu mengambil alat-alat pengukirnya, meraba-raba bagian muka patung itu sambil metanya masih setengah dikatupkan. Ia tidak melihat betapa Candra dewi memandangnya dengan mata sayu dan wajah pucat, tidak mendengar betapa berkali-kali gadis itu berbisik"Pramodawardani ""??"kemudian pemuda itu hanya mendengar suara Candra Dewi berkata,"Nah, selamat bekerja, kakanda Indrayana. Aku akan membantu Raden Pancapana di ladang!"
Indrayana tidak melihat betapa gadis itu berlari ke ladang menahan runtuhnya air matanya. Memang sesungguhnya hati Candra Dewi terasa hancur dan perih. Dari pandangan mata pemuda itu, gadis ini dapat menduga bahwa pemuda itu memilik perasaan hati yang sama denagn dia sendiri, menduga bahwa pemuda itu tentu menaruh hati cinta kasih kepadanya. Bagaikan ciuman sinar matahari atau pelukan halimun pada bunga puspita, demikianlah dugaan akan cinta kasih pemuda ini mendatangkan kehangatan dan kesegaran kepadanya. Ia maklum bahwa pemuda itu belum berani menyatakan perasan hatinya dan belum ada kesempatan bagi mereka untuk saling menyatakan perasaan ini sungguhpun dari pandangan mata, mereka telah merasa yakin bahwa mereka mempunyai perasaan hati yang sama.
Semenjak Indrayana belajar membuat patung dengan hati berdebar, Candra Dewi melihat betapa pemuda itu membentuk kaki tangan dan bentuk tubuh patung itu seperti dia! bahkan Pancapana sendiri pernah berkata sambil tertawa,
"Ah, dimas Indrayana, melihat patungmu ini dari kanan, kiri, atau belakang, aku seperti melihat adikku Candra Dewi! Serupa benar."
Indrayana hanya tersenyum saja mendengar ini, dan Candra Dewi sambil melerok ke arah Pancapana lalu berkata,
"Ada-ada saja Raden Pancapana, semua orang dapat melihat bahwa patung ini terbuat daripada batu sedangkan aku dari pada kulit dan daging, mana bisa sama? Tentu saja bentuk tubuh kaki dan tangan semua hampir sama!"
Akan tetapi, diam-diam ie mengaku di dalam hati bahwa tak dapat tidak, dalam pembuatan tubuh patung itu, Indrayana telah mencontoh dirinya. Diam-diam Candra Dewi merasa girang sekali. Dan ketika merasa tadi mengadakan percakapan tentang pembuatan patung itu, terbukalah kesempatan bagi mereka berdua. Kesempatan mencari keyakinan bagi Candra Dei dan kesempatan mengutarakan isi hatinya bagi Indrayana. Candra Dewi telah merasa yakin dan pasti bahwa setelah ia memberi petunjuk kepada pemuda itu, tentu pemuda itu akan mempergunakan dia sebagai contoh pengukiran muka patung itu. Tentu pemuda itu akan membuka rahasia hatinya bahwa Candra Dewi adalah wanita yang selalu dekat di hatinya, yang selalu terbayang-bayang.
Namun, apakah yang didengarkan? Bukan lain ialah nama Puteri Mahkota Pramodawardani. Naiklah sedu sedan dari dadanya ketika Candra Dewi meninggalkan Indrayana. Dengan hati perih ia lalu berlari ke lereng gunung, di mana terdapat sebuah ladang yang luas. Ladang ini adalah hasil pekerjaan mereka bertiga, di mana mereka bercocok tanam untuk di makan sendiri hasilnya. Pada waktu itu, Raden Pancapana tengah mencangkul dengan rajinnya. Ketika melihat Candra Dewi berlari-lari, ia menghentikan pekerjaannya.
"Eh, Candra, kenapakah?"tanyanya setelah gadis itu tiba di dekatnya. Biarpun Candra Dewi tidak menangis dan sudah berusaha menekan perasaannya, namun pandang mata Pancapana yang tajam itu masih dapat juga melihat kemuraman wajahnya.
Candra Dewi semenjak kecil telah kehilangan ibunya dan hanya hidup berdua dengan Ayahnya yang tentu saja amat menyayangi puteri tunggal itu. Kemudian datang Pancapana yang menjadi murid Ayahnya dan yang dianggap sebagai kakak sendiri. Kini, berada di puncak gunung Muria bersama dengan Sang Panembahan Ekalaya dan kedua orang muda itu, Candra Dewi makin merasa betapa Pancapana merupakan pengganti Ayahnya dan hanya kepada pangeran inilah ia mengharapkan bimbingan dan perlindungan. Hatinya sedang perih dan hancur, kini mendengar pertanyaan yang mengandung penuh perhatian itu tak terasa lagi Candra Dewi menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis sedih.
Terkejutlah hati Pancapana melihat keadaan gadis ini, ia tadi tahu bahwa Candra Dewi sedang memberi petunjuk kepada Indrayana tentang pembuatan patung, mengapa kini gadis ini datang dan menangis sedih? Untuk beberapa lama ia mendiamkan saja Candra Dewi menangis, kemudian setelah tangis adik angkatnya itu menjadi reda, ia bertanya,
"Candra Dewi, kau kenapakah? tak enakkah badanmu? Sakitkah kau? Atau, adakah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati?"
(Lanjut ke Jilid 06)
Banjir Darah di Borobudur (Cerita Lepas)
Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
Pertanayaan-pertanayaan ini tidak dijawab oleh Candra Dewi yang hanya menggelengkan kepala sambil menunduk.
"Kalau begitu, mengapa engkau menagis?"Kembali Candra dewi tidak menjawab, karena bagaimanakah ia harus menjawab? Bagimanakah ia dapat menerangkan kepada Pancapana apa yang menjadikan hatinya perih?
Pancapana dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati gadis itu, akan tetapi tidak dapat di ceritakan kepadanya. Ia lalu duduk di dekat Candra Dewi, minum air dari sebuah kendi air yang tersedia di situ, lalu berkata dengan suara yang amat halus.
"Adikku, telah setahun lebih kita berada di sini dan banyaklah ilmu yang telah kita pelajari dari Eyang Panembahan Ekalaya. Dan menurut perhitungan dan pesan Panembahan Bayumurti, Ayahmu, paling lama beberapa bulan lagi kita tentu akan bertemu kembali dengan paman Panembahan."
Kata-kata ini diucapkan oleh Pancapana denagn maksud memacing dan ingin mengetahui apakah kesedihan gadis itu dikarenakan rindu kepada ramandanya. Akan tetapi, Candra Dewi tidak manjawab dan masih saja menundukkan mukanya dengan muram.
Pancapana mengerutkan keningnya dan berpikir-pikir. Kemudian ia tersenyum dengan suara masih biasa.
"Adikku yang manis, di manakah adanya dimas Indrayana? Mengapa ia tak ikut datang ke sini?"
Karena suara Pancapana terengar biasa saja, maka Candra Dewi dapat dapat menetapkan hatinya dan menjawab sambil lalu saja.
"Dia sedang sibuk membuat patung."
"Belum jadi jugakah patung itu? Alangkah lamanya! Bukankah hanya tinggal mukanya saja yang belum sempurna?"
"Sekarang ia sedang mengukir bagian mukanya,"jawab Candra Dewi dan hatinya mulai terasa perih lagi karena teringat betapa jari-jari tanagn Indrayana yang kuat itu sekarang tentu sedang membentuk muka Pramodawardani, meraba-raba muka patung puteri itu dengan belaian penuh kasing sayang!
"Sudah tahukah ia akan rahasia mengukir muka patungnya?"
Candra Dewi mengangguk dan berkata perlahan,"Sudah kuberitahu agar dia menggunakan seorang yang dikasihinya sebagai contoh."
"Bagus! Sekarang tentu akan sempurna patung itu. Eh, aku jadi ingin sekali tahu siapakah gerangan wanita yang dijadikan contoh bagi pengukiran muka patungnya? mendiang ibunya?
Candra dewi menggeleng cepat karena khawatir kalau-kalau pangeran itu menyangka dialah orangnya, maka ia cepat pula menerangkan dengan suara acuh tak acuh,
"Yang dijadikan contoh adalah Sang Puteri Pramodawardani!"
"Apa??"Hal ini benar-benar mengejutkan hati Pancapana dan sama sekali tak pernah disangka-sangkanya. Gurunya, yaitu Ayah Candra Dewi atau Panembahan Bayumurti, pernah menyatakan kepadanya bahwa Tanah Jawa baru akan aman dan segala pertikaian dan permusuhan dapat dilenyapkan apabila keturunan Sanjaya dan keturunan Syailendra dapat berjodoh, sehingga Agama kedua turunan itu, yaitu Agama Hindu dan Agama Buddha yang bersumber satu, dapat pula dijodohkan! Biarpun gurunya bicara dengan tidak langsung dan merupakan harapan belaka, namun amat berkenan di dalam hati pangeran ini dan telah lama ia mengandung keinginan hati yang besar untuk dapat melihat wajah Pramodawardani Puteri Syailendra itu.
Kini mendengar bahwa Indrayana hendak membuat wajah patung itu seperti wajah Pramodawardani, tentu saja ia merasa terkejut dan juga heran serta kecewa. Ia menduga bahwa pemuda gagah itu mencintai adik angkatnya dan ia tahu pula betapa besar rasa cinta kasih Canda Dewi terhadap Indrayana! Mendengar keterangan itu, pemuda yang cerdik dan waspada ini dapat menduga bahwa tentu hal inilah yang membuat hati gadis itu bersedih.
Candra Dewi, adikku yang ayu."katanya dengan suara menghibur,"tadiny aku merasa terkejut juga mendengar kata-katamu bahwa Indrayana membuat patung itu seperti wajah Pramodawardani dan timbul sangkaan yang bukan-bukan dalam hatiku bahwa ia mencintai puteri mahkota itu!"
Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo