Ceritasilat Novel Online

Banjir Darah Di Borobudur 6


Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo Bagian 6



"Tentu saja ia mencintainya."jawab Candra Dewi masih tunduk, kemudian ia mengangkat mukanya dan tersenyum ketika berkata."Akan tetapi, apakah hubungannya itu dengan kita? Biarlah dia mencintainya, apa peduli hal itu bagi kita?"

   "Akan tetpi belum tentu demikian halnya, adikku. Belum tentu Indrayana mencintai Puteri Pramodawardani."

   Tadi Candra Dewi memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap urusan Indrayana, akan tetapi ketika mendengar ucapan Pancapana ini, tiba-tiba saja ia menaruh banyak perhatian!

   "Kalau tidak mencintainya, mengapa wajah Puteri Pramodawardani sebagai contoh?"

   Pancapana menahan senyumnya melihat sikap Candra Dewi ini, dan menjawab dengan sikap seakan-akan ia tidak tahu akan perobahan ini,"Pramodawardani adalah seorang Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra yang amat dicintai dan dihormati oleh semua rakyat kerajaan itu. Sudah sepatutnya kalau sebagai seorang ksatria dari Syailendra, Indrayana menghormatinya pula dan memujanya, sehingga sebagai pengormatan terhadap puteri junjungannya itu, ia membuat patung itu seperti Puteri Pramodawardani!"

   Bagai awan gelap tertiup angin, kemuraman wajah Candra ewi lenyap terganti cahaya harapan baru yang membuat sepasang pipinya berwarna merah kembali.

   "Biar, aku intai dia Candra. Akupun ingin sekali melihat bagaimana rupa Puteri Pramodawardani yang tersohor cantik jelita itu."

   Setelah berkata demikian, Pancapana meninggalkan ladang itu, meninggalkan Candra Dewi yang duduk melamun seorang diri, tidak gelisah dan berduka lagi seperti tadi, sungguhpun ia mesih meragukan kebenaran dugaan Pancapana tadi.

   Sementara itu, Indrayana mengerahkan seluruh ingatannya untuk membayangkan wajah Pramodawardani yang pernah membuatnya tak sedap makan tak nyenyak tidur, gandrung-gandrung di sepanjang jalan. Mula-mula memang wajah itu nampak nyata sekali, sehingga dapat ia gambarkan bentuk bibir yang indah itu, hidung yang mancung dan mata yang bersinar bagaikan bintang itu. Kedua tangannya lalu bergerak mengerjakan alat pengukirnya pada muka patung itu yang hendak dibentuk seperti contoh bayangan wajah Pramodawardani. Akan tetapi aneh sekali ketika ia mulai memahat bagian rambut yang panjang terurai itu, tiba-tiba pikirannya melayang ke arah rambut di kepala Candra Dewi! Rabut kepala Candra Dewi tidak kalah hitam, panjang, dan halusnya daripada rambut Pramodawardani, sungguhpun rambut Candra Dewi tidak serapi dan seberes rambut puteri mahkota itu, melainkan lebih kasut dan tidak dipelihara baik-baik. Akan tetapi, justruh rambut yang kasut itu, apalagi yang segumpal yang selal berjuntai di depan kening, kadang-kadang menggangu mata dan kepalanya lalu digerakkan tiba-tiba untuk menghalau segumpal rambut itu dari depan matanya, membuat gadis itu makin menarik dan manis!

   Indrayana mengerahkan tenaga pikirannya untuk mengusir bayangan rambut Candra Dewi. Hal ini bukan hanya terjadi karena cinta kasihnya kepada gadis itu, akan tetapi terutama sekali karena ia hanya sekali saja san sebentar melihat bentuk kepala Pramodawardani, sedangkan Candra Dewi dijumpai setiap hari, bahkan sering kali ia duduk mengagumi rambut gadis itu dengan diam-diam!

   "Ah, biarlah, biarlah!"katanya dalam hati dengan perasaan mangkal."Tidak apa kegunakan contoh rambut kepala Candra Dewi untuk patung ini. Tidak ada buruknya rambut ramodawardani disamakan dengan rambut Candra Dewi. Untuk bagian-bagian lain pada mukanya akan kugunakan muka Sang Puteri sebagai contoh."

   Akan tetapi pikiran ini lebih mudah direnungkan daripada dilakukan. Setelah kepalanya mulai terbentuk dan ia hendak mulai dengan bagian kening dan telinga, kembali ia terbentur pada hal yang sama. Tadinya memang kelihatan jelas kening yang halus dan telinga yang terhias mutumanikam dari Puteri Pramodawardani akan tetapi aneh sekali, kening itu yang tadinya berwarna putih kening berobah menjadi bentuk kening Candra Dewi yang segar kemerah-merahan dan agak nonong sedikit sedangkan daun telinga yang indah terhias mutumanikam itupun berobah pula menjadi daun telinga Candra Dewi yang terhias oleh sinom yang melingkar ke belakang dengan amat indahnya!

   Karena telah capai mengerahkan tenaga batin dan pikiran untuk mengusir banyangan Candra Dewi tanpa hasil yang memuaskan, maka kembali ia menghibur hatinya dengan keputusan seperti tadi. Tidak apa kening dan daun telinganya menyerupai kening dan daun telinga Candra Dewi, karena yang terpenting pada perasaan muka adalah mata dan hidung serta mulut, maka ia melanjutkan ukirannya dan membuat patung seperti contoh bayangan Candra Dewi, yaitu pada bagian kening dan daun telinganya.

   Dan ketika ia hendak memulai mengukir bagian matanya dan diam-diam mengenakan sepasang mata bintang dari Puteri Pramodawardani yang indah itu, sehingga sepasang mata itu nampak jelas sekali seperti ketika sang puteri memandangnya dengan marah pada waktu secara lancang ia membukakan sutera penutup tempat keputren dahulu, tiba-tiba berubah menjadi sepasang mata yang jenaka, yang indah bening, yang manik-maniknya dapat hidup dan memancarkan cahaya yang mengandung seribu macam bahasa indah, mata dari Candra Dewi, pemuda itu melemparkan alat-alat ke atas tanah dan menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah!

   "Celaka """keluhnya,"Mengapa Candra Dewi telah menguasai seluruh hati dan pikiranku?

   Untuk beberapa lama pemuda itu duduk bersandar di batang pohon dan termenung. Tak salah lagi, ia bukan mencinta Pramodawardani, hanya kagum akan kecantikan puteri itu. Bukan Pramodawardani yang menguasai hatinya, melainkan Candra dewi! Hal ini tidak aneh, karena pemuda inipun maklum akan kebenaran kata orang zaman dahulu bahwa cinta kasih murni akan berakar dan mendalam setelah kedua fihak sering kali bertemu dan ada penyesuaian watak dan sifat mereka. Dengan Pramodawardani ia hanya bertemu muka satu kali, itupun amat sebentar sehingga rasa cinta kasihnya dahulu itu paad hakekatnya hanyalah rasa silau dan kagum karena kecantikan puteri yang sukar dicari bandingannya itu. Hubungannya dengan Candra Dewi lain lagi. Mereka telah bergaul sebagai murid-murid Panembahan Ekalaya bahkan sebelum itu mereka telah menghadapi bahaya bersama, senasib sependeritaan dan mereka telah mengenal baik sifatnya dan tabiat masing-masing.

   "Aku cinta kepada diajeng Dewi """Indrayana menarik napas panjang dan mengaku kepada diri sendiri."Dia lebih cocok bagiku, juga sama-sama keturunan pertapa. Mengapa aku harus malu menyatakan kasihku?"

   Setelah mengambil ketetapan dalam hatinya, pemuda ini lalu bangkit lagi, mengambil alat-alatnya dan melanjutkan ukirannya pada muka patung itu. Kali ini ia membayangkan wajah Candra Dewi yang muncul bagaikan bulan purnama, bersih tidak terlarang oelh bayangan apapun juga. Seyum dan kerling mata Candra Dewi paling menarik hati Indrayana, maka bayang-bayang wajah gadis itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik, sehingga ukiran pada patungnya menurut pula bayang-bayang itu!

   Dengan amat asiknya Indrayana mengukir muka patungnya, makin lama makin tertarik dan gembira sekali karena melihat betapa ukirannya benar-benar baik dan serupa benar dengan wajah gadis yang dikasihinya itu. Benar sekali petunjuk Candra Dewi, dengan mencontoh bayangan yang terlukis jelas di dalam kenangannya, dengan mudah ia dapat menyelesaikan patung itu.

   Saking asyiknya Indrayana sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi ada sepasang mata yang mengintai dari balik daun pohon Pengintai ini bukan lain adalah Pancapana yang ingin sekali melihat bagaimana wajah Puteri Syailendra yang tersohor itu. Akan tetapi, ketika melihat wajah patung itu, hampir saja ia tak dapat menahan ketawanya. Ia mendekap mulutnya sendiri untuk menahan ketawanya, lalu pergi diam-diam dari tempat itu. Pancapana berlari-lari ke ladang kembali di mana ia mendapatkan Candra Dewi yang masih saja duduk termenung dengan hati binggung.

   Melihat Pancapana datang dengan muka gembira dan tertawa-tawa, Candra dewi bertanya heran.

   "kau kelihatan gembira sekali, pangeran."

   "Hush, jangan menyebut Pangeran kepadaku, Candra. Sejak dulu aku minta kau menyebutku kakangmas seperti menyebut seorang kakak sendiri, akan tetapi kau selalu tidak mau menurut. Apakah kau tidak suka menjadi adikku?"

   Bukan demikian, Raden Pancapana. Sungguhpun di dalam hati aku telah merasa seperti adikmu sendiri, namun betapa juga kau adalah seorang pangeran pati yang harus dihormati. Itulah sebabnya, maka aku tidak dapat menyebutmu lebih sederhana dari sebutan Raden. Eh, ya, kenapakah kau tertawa-tawa gembira? Agaknya cantik jelita sekali patung yang di buat oleh kakangmas Indrayana itu sehingga hatimu terpikat oleh kecantikan Puteri Pramodawardani?"

   Makin keraslah kini Pancapana tertawa."Itulah yang menggelikan hatiku, Candra! Memang benar. Indrayana mencontoh wajah Pramodawardani untuk patungnya. Akan tetapi, ha-ha-ha!"

   "Eh, kenapa Raden?"

   "Muka itu ""

   Seperti muka wewe ( setan perempuan ) buruk dan menyeramkan! Kalau demikian buruk menakutkan wajah Pramodawardani mengapa Indrayana begitu bodoh untuk menjadikannya sebagai contoh patungnya?"

   "Buruk? Tak mungkin, Raden Pancapana. Sepanjang pendengaranku, Puteri Pramodawardani amat cantik jelita, tiada taranya di permukaan bumi ini. Kabarnya, segala sifat baik wanita ada padanya. Ia agung dan ayu seperti Sumbadra, gandes luwes seperti Larasati, kewat merak hati seperti Srikandi!"

   "Entah berita itu yang salah, atau Indrayana yang tidak dapat membayangkan wajah, puteri itu, akan tetapi nyatanya, muka patung itu tidak karuan macamnya!"

   Pancapana pandai sekali membuat gadis itu merasa penasaran dan ingin tahu.

   "Tidak percaya? Lihatlah sendiri, Candra. Akan tetapi jangan engkau mengejek Indrayana, itu akan menyinggung perasaannya, karena yang dipahat adalah puteri sesembahannya!"

   Candra Dewi lalu pergi dari situ, menuju ke tempat mana Indrayana bekerja. Hatinya riang, karena kalau memang benar bahwa Pramodawardani berwajah buruk, tidak mungkin Inrayana mencintai puteri itu. Akan tetapi, ia masih merasa penasaran dan marah kepada Indrayana. Betapapun hormatnya terhadap Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra, mengapa pemuda itu lebih menghargai dan lebih mengasihi puteri itu dari padanya? Salahkah pandangan matanya, mungkinkah sinar mata pemuda itu di waktu memandangnya merupakan kepalsuan belaka?

   "Kali ini harus kucari kepastian. Tak mau aku dipermainkan, tak mau aku bimbang ragu, menderita seorang diri!"Dipercepatnya langkah kakinya, karena hari telah mulai menjadi gelap, tanda senjakala telah mendatang. Ketika ia tiba di tempat itu, ia memperlambat jalannya karena melihat bahwa Indrayana berdiri menghadapi patung dengan kedua tangan masih asyik mengerjakan muka petung itu yang berdiri membelakanginya. Candra Dewi tidak mau dilihat tergesa-gesa dan tidak mau memperlihatkan bahwa ia ingin sekali melihat hasil kerja pemuda itu.

   Akan tetapi Indrayana tidak melihat dia datang. Pemuda ini sedang asyik menyelesaikan baian terakhir daripada pekerjaanya. Kedua matanya bersinar-sinar menatap muka patung itu. Senyum di bibir patung itu benar-benar hidup dan ia seakan-akan melihat Candra dewi yang hidup berdiri dan tersenyum manis kepadanya. Tiba-tiba ia tak dapat menahan gairah hatinya lagi. Dirangkulnya leher patung itu dan dibelai-belainya muka yang ayu itu.Pada saat itu, tiba-tiba pandang matanya bertemu dengan pandang mata Candra Dewi yang berdiri tak jauh di belakang patung itu.

   Alangkah kaget, jengah dan malunya hati Indrayana tak dapat dibayangkan.

   "Ah ""

   Eh ""

   Jeng Dewi ""

   Kaukah itu? Kau datang seperti angin saja ""! Aku tidak mendengarnya sama sekali!"

   Sementara itu, ketika tadi melihat betapa Indrayana memeluk dan membelai patung itu, seakan-akan hendak meledak rasa dada Candra Dewi karena cemburu! Akan tetapi ia menekan perasaannya dan memperlihatkan muka biasa. Untung bahwa udara mulai menyuram, sehingga Indrayana tidak melihat betapa mukanya sebentar merah sebentar pucat. Ia melangkah makin dekat, akan tetapi sebelum ia dapat melihat muka patung itu. Indrayana tiba-tiba mencegahnya dan menghadang di depannya.

   "Diajeng, jangan kau melihat muka patung itu!"Suara pemuda itu bersungguh-sungguh sehingga Candra Dewi merasa heran sekali.

   "Mengapa ""?"

   "Jangan, diajeng, aku ""

   Malu!"

   "Aku ""

   Aku malu, karena "". Patung itu ""

   Ah, aku tidak berhasil patung itu buruk sekali!"

   Candra Dewi tersenyum mengejek, bukan karena percaya bahwa patung itu buruk, akan tetapi karena keterangan ini sama sekali tidak cocok dengan kelakuan pemuda tadi yang memeluk dan membelai-belai patung itu.

   "Hm, kalau buruk tidak nanti kau dapat membelai dan memeluknya dengan pandang mata demikian mesra, kakangmas Indrayana!"

   Indrayana memandang dengan mata terbelalak lebar.

   "Kau ""

   Kau tadi melihatnya ""?"

   "Tentu saja aku melihatnya, aku melihat betapa engkau gandrung-gandrung kepada patung itu Hm, karena itulah maka aku harus menyaksikan dengan mata sendiri sampai dimana hebatnya dan jelitanya Puteri Pramodawardani yang tersohor itu!"Kembali ia hendak melangkah maju, akan tetapi Indrayana minta dengan suara gugup,"Jeng Dewi""

   Jangan ""!"

   Candra Dewi mundur dua langkah, lalu memperhatikan kepala dan leher patung itu dari belakang. Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang aneh baginya dan tak terasa lagi tangan kirinya meraba-raba rambutnya sendiri. Mengapa rambut kepala patung itu sama benar letaknya dengan rambutnya sendiri?

   "Kakangmas Indrayana """katanya perlahan,"rambut Sang Puteri Mahkota Syailendra ""

   Seperti itu benarkah ""?"Tak terasa lagi Candra Dewi meraba-raba seluruh rambut di kepalanya.

   "Be ""

   Be ""

   Benar!"jawab Indrayana sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

   "Seperti rambutku!"

   "Memang sama!"

   "Apa ""?!?"

   "Eh, ah ""

   Maksudku, memang hampir serupa, yaitu ""

   Letak dan modelnya ""

   Lebih bagus """

   "Bagaimana pula ini? Tentu saja rambutnya lebih bagus!"

   "Tidak, tidak! Rambutnya memang lebih bagus, akan tetapi ""

   Rambutmu lebih indah ""

   Ya, lebih indah """Indrayana binggung sekali, karena ia merasa gelisah kalau-kalau gadis itu melihat muka patung yang sesungguhnya bukan lain adalah wajah gadis itu sendiri. Ini masih belum hebat, yang mengerikan adalah karena gadis tadi tahu dan melihat betapa ia memeluk, membelai, dan menciumi patung itu!!

   Sementara itu, Candra Dewi merasa makin curiga dan tidak mengerti melihat sikap Indrayana ini. Mengapa patung itu begitu gugup dan gelisah? Mengapa patung itu tidak boleh ia lihat?

   "Kakangmas Indrayana, engkau kenapakah? Apa salahnya kalau aku ikut mengagumi keindahan patung ini?"Ia melangkah lagi hendak mendekati patung itu, akan tetapi Indrayana buru-buru memutar tubuh patungnya sehingga tetap saja membelakangi Candra Dewi.

   "Jangan ""

   Diajeng "". Kalau kau kasihan kepadaku ""

   Jangan sekarang. Besok saja engkau boleh melihatnya, kalau sudah kuperbaiki. Aku malu sekali kalau engkau melihatnya dalam keadaannya seperti sekarang. Amat buruk!"

   Tiba-tiba Candra Dewi menjadi marah!"Kakangmas Indrayana, kau benar-benar keterlaluan! Sudah demikian hinakah aku sehingga untuk memandang wajah puterimu yang ayu itupun masih kurang berharga? Setidaknya, mengingat bahwa aku ikut pula memberi petunjuk dalam pembuatan patung ini, sudah sepatutnya kalau aku melihat kalau-kalau ada sesuatu yang kurang sempurna sehingga aku dapat memberi petunjuk lebih jauh. Atau, kalau tidak mengingat akan perhubungan kita yang sudah lama sehingga seakan-akan aku menjadi adikmu sendiri, sudah sepatutnya kalau aku ""

   Sebagai adikmu ""

   Mengagumi kecantikan ""

   Calon isterimu!"

   Makin binggunglah Indrayana ketika melihat bahwa gadis itu benar-benar marah. Ia menghela napas berkali-kali, kemudia sambil menundukkan muka dan melepaskan kedua tangannya di kanan dan kiri tubuhnya, ia berkata lemah,

   "Kau yang memaksa, diajeng ""

   Apa boleh buat, nah ""

   Kaulihatlah, kemudia terserah kepadamu apa yang akan kau perbuat atas diriku yan bodoh ini """

   Sambil berkata demikian, Indrayana memutar patungnya, dihadapkan kepada Candra Dewi. Gadis itu cepat memandang dan ""

   Sukarlah memilih mana mana orang mana patung pada saat itu karena Candra Dewi berdiri dian tak bergerak, tak berkedip, bahkan napasnya seakan-akan terhenti, serupa benar dengan patung di depan itu! Di depan Indrayana, seakan-akan kini berdiri dua buah patung kembar indah!

   Lambat laun, sebuah dari pada patung itu bergerak, dadanya naik turun dan bibirnya bergerak, Candra Dewi berkata tanpa memalingkan mukanya dari patung itu.

   "Mengapa ""

   Bukan ""

   Puteri Pramodawardani ""?"

   Tadinya Indrayana merasa takut kalau-kalau gadis itu akan marah, akan tetapi mendengar suaranya yang lemah lembut dan sama sekali tidak marah itu, hatinya menjadi lega dan tabah kembali, sungguhpun rasa jengah masih membuat ia menundukkan maka tanpa berani memandang gadis itu.

   "Jeng Dewi, kau sendiri yang memberi petunjuk agar aku mengukir patung ini menurut contoh wajah seorang yang paling mudah kuingat, seorang yang paling mudah di hatiku ""

   Yang ku kasihi dengan sepenuh jiwaku. Telah kucoba membuat patung Pramodawardani, namun gagal, karena ""

   Sesungguhnya ""

   Bukan dialah yang selama ini memenuhi hati dan pikiranku. Aku hanya melakukan cara-cara yang telah kauajarkan kepadaku dan ""

   Inilah hasilnya, diajeng. Aku membuat patung orang yang kukasihi, kusayangi, orang yang paling kucinta """

   Tidak menanti sampai habisnya ucapan Indrayana itu, tiba-tiba Candra Dewi menengok menatap wajahnya dan ketika dua pasang mata itu bertemu, terdengar isak tertahan dan Candra Dewi lalu berlari pergi dari situ sambil terisak-isak menangis!

   Indrayana mengangkat muka terkejut, lalu dengan lompatan jauh ia mengejar, memegang lengan kanan Candra Dewi dan berkata dengan suara penuh perasaan duka dan pernyataan maaf.

   "Aduh, diajeng "". Maafkanlah aku tidak bermaksud menyinggung hatimu, aku tidak bermaksud menghinamu, diajeng. Sungguh, demi kehormatanku sebagai seorang ksatriya, demi semua Dewata Yang Maha Agung, aku bersumpah bahwa semua kelakuan dan ucapanku keluar dari hati yang suci murni, sama sekali tidak maksud hati untuk merendahkanmu. Aku tahu bahwa amat lancang, jeng Dewi, Orang seperti aku tidak patut dan tidak berharga untuk menyatakan perasaan hatiku terhadap kau yang agung dan mulia ""

   Akan tetapi, apa dayaku, diajeng ""

   Kau sudi memaafkan aku, bukan? Kalau kau kehendaki, aku bersumpah takkan berani berlaku seperti tadi lagi!"

   Candra Dewi memandang muka pemuda itu dengan air mata masih membasahi pipinya, akan tetapi amat heranlah hati Indrayana ketika melihat bahwa biarpun mata gadis itu menangis, namun bibirnya senyum. Tersenyum manis seperti patung itu.

   "Bodoh """bisik dara itu,"aku menangis karena bahagia, masih belum terbukakah matamu ""?"

   Kini Indrayana yang melenggong dan berdiri bagaikan patung batu, menatap wajah Candra Dewi seakan-akan berada di dalam mimpi. Melihat pandang mata seperti itu, Candra Dewi melengoskan mukanya dan menarik tangannya."Lepaskan aku ""!"bisikinya dan hendak lari. Akan tetapi kedua lengan tangan Indrayana lebih cepat lagi, pinggangnya yang ramping itu tertangkap dan sesaat kemudian ia telah berada dalam pelukan Indrayana. Sambil memejamkan kedua matanya, Candra Dewi menyandarkan kepalanya di atas dada kekasihnya, mendengarkan bisikan cumburayu dari bibir Indrayana.

   bagi sepasang kekasih yang sedang berbisik-bisik memadu kasih. Waktu berlalu amat cepatnya tanpa terasa sedikitpun juga. Demikian pula dengan Indrayana dan Candra Dewi. Serasa baru beberapa patah kata saja keluar dari bibir masing-masing dan seakan-akan baru saja mereka duduk bersanding di atas akar pohon, akan tetapi tahu-tahu malam telah tiba dan bulan mulai muncul. Namun belum juga mereka sadar dan masih tenggelam dalam buaian ombak samodera asmara yang memabokkan. Memang aneh kalau orang sedang dimabok asmara. Bulan purnama serasa suram dan tidka bercahaya apabila segala bunyi-bunyian dan gamelan, seakan-akan lagu dari surga. Memang luar biasa sakti Dewa Asmara, dan bukan main ampuhnya anak panah dan gendewanya. Tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, bahkan tiada dewata sekalipun manusia di dunia ini, bahkan tiada dewa sekalipun, yang kebal menghadapi senjatanya. Akan tiba saatnya setiap orang manusia atau dewata terkena hikmatnya dan terpaksa mengakui kekuasaan dan keunggulan Sang Dewa Asmara.

   Indrayana dan Candra Dewi baru sadar ketika tiba-tiba mereka mendengar suara ombak bertembang.

   "Kakangmas Pancapana """bisik Indrayana sambil melepaskan tangan Candra Dewi yang dari dipegangnya.

   "Ah, lebih baik aku pergi dlu, tentu kita akan di ejek habis-habisan dan diperoloknya kalau ia melihat kita disini."Setelah berkata demikian, Canda Dewi bangkit dan segera melarikan diri dari situ denagn lagkah ringan. Indrayana memandang bayangan kekasihnya dengan hati bungah. Ia tadi telah mendengar dari Candra Dewi bahwa Pancapana yang menjadi biang keladi dari semua ini. Pageran itu telah melihat ia membuat patung Candra Dewi dan sengaja membohongi gadis itu agar gadis itu melihat sendiri betapa Indrayana membuat patungnya. Nakal, akan tetapi juga amat baik hati. Indrayana tidka tahu apakah ia harus menegur ataukah menyatakan terima kasih, atas perbuatan Pancapana tadi.

   Ketika Indrayana keluar dari balik pohon dan menjumpai Pancapana yang sedang berjalan seorang diri sambil itu, Pancapana mengentikan tindakan kaki dan tembangnya.

   "Eh, eh, dimas Indrayana!"katanya sambil senyum dan membelalakkan matanya."Teja bersinar indah melingkungi tubuhmu, tanda bahwa engkau telah bertemu dengan kebahagiaan dan mendapat berkah Dewata Yang Agung! Kebahagiaan apakah gerangan, dimas? Bagilah sedikit kepadaku."

   "Kakangmas Pancapana, kau memang pandai menggoda orang,"jawab Indrayana.

   "Tetapi tidak berbahaya, dimas godaanku tidak berbahaya, tidak seperti godaanmu! Hampir saja membuat Candra Dewi adikku itu patah hati! Jangan menggodanya sampai keterlaluan, dimas,ingat, dia adikku. Kalau sampai patah hati dan berduka, aku bisa marah kepadamu!"

   Merahlah muka Indrayana dan sambil tersenyum malu ia berkata.

   "Terima kasih, kangmas. Berkat campur tanganmu, sekarang semua telah menjadi baik."

   Pancapana mengangguk-angguk sambil tersenyum"Bagus, bagus!! Hatiku sudah gelisah melihat Candra Dewi menagis di ladang tadi, menangis dengan hati penuh cemburu kepada Puteri Mahkota dari Syailendra. EH, dimas, sesungguhnya bagaimanakah rupanya Puteri Pramodawardani? Benar-benar cantik jelita seperti yang disohorkan orangkah?"

   "Cantik jelita!"kata Indrayana dengan bangga."Sungguhpun bagiku diajeng Candra Dewi lebih cantik, akan tetapi mencari seorang puteri di kolong langit ini yang cantiknya dapat menandingi Puteri Pramodawardani, agaknya tak mungkin dapat!"

   Pancapana lalu duduk di atas sebuah batu, memberi isarat kepada Indrayana untuk duduk pula.

   Dimas, kau tadi mengucapakan terima kasih kepadaku adakah ucapan itu tulus iklas dan keluar dari hati sanubarimu?"

   "Tentu saja, kangmas. Tanpa reka dayamu itu, agaknya diajeng Candra Dewi akan selalu marah dan benci kepadaku."

   "Kalau kau benar-benar berterima kasih, sekarang kau harus membalas jasaku itu dengan cerita tentang diri Puteri Pramodawardani! Ceritakanlah tetang keadaan kerajaannya, tentang keluarganya, tetang puteri itu sendiri, bagaimana cantiknya, betapa manisnya kalau tersenyum, bagaimana lagaknya kalau berkata-kata."

   Demikian, kedua orang pemuda itu bercakap-cakap di bawah sinar bulan. Indrayana menceritakankeadaan Syailendra, dan terutama sekali ketika menceritakan dan memuji-muji kecantikan Pramodawardani diceritakannya dengan cara yang menarik, dengan sejelasnya sehingga Pancapana yang mendengar merasa seakan-akan Puteri Pramodawardani itu telah berdiri di hadapannya! Sudah tentu saja Indrayana banyak membohong dan hanay mengira-mgira saja dalam hal ini, oleh karena iapun baru satu kali saja bertemu muka dengan puteri itu!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di kala ayam hutan masih belum berhenti berkokok saling sahut-sahutan, seperti biasa Sang Panembahan Ekalaya telah duduk bersila di atas batu hitam yang bentuknya bulat dan ketiga orang muridnya duduk pula bersila di atas tanah di hadapannya. Kebiasaannya ini telah dilakukan semenjak mereka naik ke Muria. Pada waktu fajar itulah mereka menerima pelajaran-pelajaran ilmu-ilmu kebatinan yang tinggi dari pertapa sakti itu. Ada kalanya Sang Panembahan memanggil seorang di antara mereka pada siang atau senja hari untuk memberi pelajran khusus. Akan tetapi, setiap pagi mereka bertiga tentu menghadap dan mendengar wejangan-wejangan dari guru mereka ini.

   Hampir setiap pagi, Sang Panembahan Ekalaya menutup wejangan-wejagannya dengan kata-kata,"Sekarang pergilah bekerja, anak-anak! Bekerjalah dengan hati riang dan laksanakanlah segala pitutur yang kaudengar dan pelajari di dalam perbuatan, karena pokok pangkal yang segala ilmu di dunia ini terletak pada perbuatan yang nyata. Pengetahuan memerlukan pengertian, pengertian membutuhkan kesadaran, dan kesemuannya itu masih membutuhkan pula kenyataan. Apakah artinya tahu kalau tidak mengerti, mengerti tidak sadar? Dan apa pula artinya kesemuannya itu apabila ilmu yang dipelajarinya itu hanya merupakan pengetahuan kosong tanpa dilaksanakan dalam perbuatan? Ingatlah selalu bahwa ilmu barulah sapat disebut sempurna apabila di alam pelaksanaannya dapat mendatangkan manfaat bagi kemanusiaan."

   Akan tetapi, pada pagi hari itu, ucapan yang selalu ditekankan ke dalam hati murid-muridnya setiap pagi ini masih ditambah lagi dengan ucapan yang mendatangkan debar pada jantung ketiga orang muda itu.

   "Indrayana, Candra Dewi, dan kau juga Pangeran Pancapana!"Sang Panembahan selalu menyebut Pancapana dengan Pangeran,"hari ini adalah hari terakhir dari kediamanmu sekalian di atas puncak gunung ini. Oleh karena itu, tak usah kalian melakukan pekerjaan seperti biasa dan duduklah saja di sini bersamaku. Masih ada beberapa pelajaran yang perlu kalian ketahui dan pelajari dengan baik."

   
Banjir Darah Di Borobudur Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang muda itu untuk mendengar ucapan-ucapan-ucapan yang penuh rahasia dari guru mereka dan mereka maklum bahwa tak boleh mereka menanyakan sesuatu yang tidak dibuka atau diberi tahu oleh gurunya. Oleh karena itu, sungguhpun hati mereka ingin sekali bertanya tentang hari terakhir dari kediaman mereka di situ, namun mereka tak berani membuka mulut sebelum Sang Panembahan menerangkan sendiri.

   Pernah satu kali Candra Dewi bertanya tentang sesuatu hal yang belum dijelaskan, dan dara itu mendapat teguran dari Panembahan Ekalaya.

   "Berlakulah tenang dan sabar serta terimalah segala peristiwa yang terjadi dengan waspada, jangan sekali-kali kau ingin mengetahui lebih dalam tentang peristiwa yang belum terjadi. Memandang peristiwa

   yang terjadi kemarin sebagai sebuah pelajaran, menghadapi peristiwa hari ini denganpenuh kewaspadaan,dan menanti datangnya peristiwa esok hari dengan penuh ketenangan dan kesabaran. Itulah sifat seorang ksatria utama! Menjenguk peristiwa yang belum terjadi, selain dapat melemahkan iman, juga merupakan perbuatan yang curang dan pengecut. Curang terhadap kekuasaan nasib dan karenanya kesiku (melanggar pantangan) Dewata Agung, dan pengecut terhadap diri pribadi, tanda bahwa dia takut, khawatir akan datangnya kepahitan dalam kehidupannya."

   Semenjak pertapa itu menyatakan demikian, maka ketiga orang muridnya tak pernah lagi berani bertanya tentang epristiwa yang akan datang. Mereka maklum akan kesaktian gurunya, bahwa pertapa yang menjadi gurunya itu waspada dan tahu akan hal-hal yang belum terjadi. Maka, mereka juga tidak bertanya tentang pernyataan bahwa hari itu adalah hari terakhir bagi mereka berada di tempat itu. Dengan tenang dan sabar mereka hanya mendengarkan wejangan-wejangan gurunya dan menanti sampai pertapa itu memberi penjelasan.

   Dan penjelasan itu datang ketika matahari telah mulai muncul di balik puncak, bersama dengan datangnya dua orang laki-laki tua yang mendaki gunung itu dengan gerakan cepat. Setelah tiba di situ, keduanya lalu menjatuhkan diri brlutut dan menyembah kepada Panembahan Ekalaya.

   "Hm, sukurlah kalian telah datang. Sudah lama kutunggu-tunggu kedatangan kalian,"

   Kata pendeta itu dengan suaranya yang halus.

   Bukan main heran, terkejut dan juga girang hati ketiga orang muda itu, karena yang datang itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga! Candra Dewi segera menghampiri dan memeluk Ayahnya dengan sikap manja. dua titik air mata membasahi pipi dara itu.

   "Aku girang sekali melihat kau sehat dan segar, Candra!"

   Kata Bayumurti sambil mengelus-elus rambut putrinya.

   Sementara itu, Indrayana lalu maju dan berlutut di depan Ayahnya.

   "Ramanda, anakmu yang bodoh menerima segala hukuman yang hendak Ayah jatuhkan kepadaku."

   Tidak ada yang dipersalahkan, Indrayana. Yang sudah terjadi merupakan pengalaman dan pelajaran bagi kita. Aku girang kau telah dapat menerima ajaran-ajaran dari eyangmu."

   Seperti telah dituturkan di bagian depan, Panembahan Bayumurti dengan cara yang amat mengagumkan dan gagah, menggantikan Sang Wiku Dutaprayoga untuk menjalani hukuman mati, kemudian dengan "pertolongan"

   Pangeran Balaputra Dewa sendiri beserta kawan-kawannya atas suruhan Pramodawardani, Panembahan Bayumurti keluar dari dalam lobang kuburan di mana ia dipendam hidup hidup.

   Ketika Panembahan Bayumurti keluar dari ibukota Kerajaan Syailendra, di luar pintu gerbang telah menanti Wiku Dutaprayoga dan mereka lalu melakukan perjalanan merantau bersama. Kedua orang pertapa ini sesungguhnya memang merupakan dua orang sahabat karib di masa dahulu, yaitu sebelum Wiku Dutaprayoga menjadi Wiku di Syailendra. Keduanya pernah melakukan tapa brata di atas puncak gunung-gunung dan melakukan lelanabrata bersama-sama di waktu mereka masih muda. Keduanya memiliki kesaktian yang tinggi, dan kalau Wiku Dutaprayoga memilki keahlian dalam pembuatan senjata tajam, adalah Panembahan Bayumurti menjadi ahli dalam pembuatan patung.

   Kedua orang tua ini melakukan perjalanan bukan untuk berpesiar atau menghibur hati, melainkan untuk meredakan ketegangan antara penganut Agama Hindu dan pemeluk Agama Buddha yang ditimbulkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab atau oleh mereka yang sengaja mengadakan kerusuhan dengan maksud mengeduk keuntungan bagi diri sendiri dari keadaan yang kacau itu.

   Di mana terjadi keributan, datanglah Wiku utaprayoga bersama Panembahan Bayumurti. Keduanya amat terkenal di antara penganut agama dan tentu saja nasehat-nasehat kedua orang pendeta itu mendatangkan hasil baik sekali. Kedua orang pertapa itu memberi nasehat bahwa tidak seharusnya Agama Hindu dan Agama Buddha dijadikan dasar pertentangan dan pertempuran.

   "Agama diturunkan kemuka bumi oleh Hyang Agung agar manusia dapat mempelajari kebaikan, mempertebal perikemanusiaan dan menjauhi iblis yang mendatangkan kekacauan dan permusuhan di dunia. Kalau kalian ini penganut-penganut Agama Hindu dan Agama Buddha, saling bermusuhan dan saling bunuh, maka berarti bahwa kalian kedua-duanya telah mnyeleweng dari pada ajaran agamamu masing-masing! Kamu yang memeluk Agama Buddha akan dikutuk oleh Yang Mulia Buddha sedangkan yang memeluk Agama Hindu akan mendapat murak para dewata!"

   Demikian Bayumurti memberi nasehat.

   Lihatlah kami berdua ini,"

   Kata Wiku Dtaprayoga.

   "Aku adalah seroang wiku, seorang pendeta Agama Buddha. Sahabatku ini adalah seorang panembahan yang dalam ilmu pengetahuannya tentang Agama Hindu. Akan tetapi kami merasa bersaudara dan bersahabat, merasa bahwa kami adalah sama-sama manusia yang harus saling tolong-menolong. Sebaik-baiknya agama yang dianut, sesuci-sucinya orang itu menjalankan ibadah, ia tetap seorang manusia dan bukan dewa. Sebaliknya, betapapun jahat dan buruknya, orang lain itupun seorang manusia pula dan bukan setan. Orang yang merasa diri sendiri paling bersih dan menganggap orang-orang lain kotor sesungguhnya adalah orang yang sekotor-kotornya! Orang yang mengangkat tinju lebih dahulu dalam sebuah perkelahian, sesungguhnya adalah orang yang bersalah dalam keributan itu!"

   Banyak sekali orang-orang yang menjadi insaf karena datangnya dua orang pertapa ini menghadapi tentangan-tentangan dari mereka yang sengaja mendatangkan keributan, akan tetapi berkat kesaktian Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga, anasir-anasir itu dapat ditundukkan dan dikalahkan.

   Setahun lebih kedua orang pendeta ini merantau, jauh sampai di dusun-dusun, baik yang termasuk wilAyah Kerajaan Syailendra maupun yang termasuk wilAyah Kerajaan Mataram. Sesungguhnya kedua agama itu telah bercampur aduk memasuki seluruh dusun dan kampung dari kedua kerajaan itu.

   Sementara itu dalam setahun ini telah terjadi banyak sekali perobahan dalam kedua kerajaan itu, terutama sekali Kerajaan Mataram. Selama setahun lebih ini, Kerajaan Mataran mengalami kemunduran hebat sekali. Sang Prabu Panamkaran kurang pandai memegang kendali kerajaan, lebih mementingkan kesenangan untuk diri pribadi. Tanda-tanda akan keruntuhan Kerajaan Mataran yang tadinya jaya itu, nampak nyata. Seperti biasa dan telah lazim terjadi, apabila rajanya tenggelam dalam kesenangan dan tidak memperhatikan keadaan kerajaannya, dan pembesar-pembesar tidak menjalankan tugasnya dengan baik bahkan mencari segala macam daya upaya dan jalan yang tidak halal untuk mengeduk keuntungan sebesar mungkin, kalau para cerdik pandai dan pendeta-pendeta bijaksana mengundurkan diri meninggalkan raja dan menteri-menterinya yang korup, maka kitulah tanda bahwa kerajaan itu menuju kepada keruntuhannya. Raja merupakan payon rumah tangga negara, sedangkan para menteri dan petugas lain merupakan tiang-tiang, usuk-usuk balok-balok sesuai dengan besar kecil dan payon itu tidak sehat, bocor di sana-sini air hujan akan membuat kayu-kayu penahan payon menjadi lapuk dan membusuk, dan kalau sudah begitu, alamat akan celakalah seisi rumah

   WilAyah Mataram makin lama makin mengecil, dicaplok oleh kerajaan-kerajaan lain tanpa berhenti menentang sama sekali, karena maklum akan kelemahan sendiri. Juga Sang Prabu Panamkaran tidak memperdulikan hal ini, baginya asalkan ia dapat hidup makmur dan mewah, cukuplah! Tidak heran apabila Kerajaan Mataran makin terdesak dan terhimpit antara kerajaan-kerajaan lain, bahkan sebagian besar wilAyahnya secara terang-terangan dan kurang ajar sekali telah dikangkangi oleh pasukan-pasukan Serigala Hitam di bawah pimpinan Pendeta Siddha Kalagana. Akhirnya Mataran terjepit dan hanya tinggal menjadi sebuah kerajaan kecil tak berarti di Gunung Dieng dan sekitarnya.

   Sebaliknya, berkat kebijaksanaan Sang Maha Raja Samaratungga dan kesetiaan para pamong praja. Kerajaan Syailendra makin kuat dan makmur. Agama Buddha amat maju, pertanian subur, perdagangan ramai dan perahu-perahu layar dari Pulau Jawa datang dan pergi, membawa barang-barang kebutuhan rakyat dan mengangkut hasil bumi sebagai gantinya. Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain amat baik terutama dengan Kerajaan Sriwijaya di seberang lautan.

   Raja-raja kecil menyatakan hormatnya dengan pengiriman barang-barang berharaga.

   Semua hal ini diceritakan oleh Panembahan Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga kepada Sang Bagawan Ekalaya, didengarkan juga oleh Indrayana, Pancapana dan Candra Dewi dengan penuh perhatian.

   "Mataran perlu sekali ditolong daripada keruntuhannya, perlu sekali dibangun kembali. Dan hanya satu oranglah yang patut dan wajib melakukan hal itu dan menggantikan kedudukan Sang Prabu Panamkaran. Orang itu bukan lain adalah keturunan Sang Prabu Sanjaya, paman Bagawan dan oleh karena itu, hamba mohon perkenan paman Bagawan untuk memberi tugas kepada Pangeran Pancapana."

   Sang Begawan ekalaya mengangguk-angguk perlahan dan tersenyum.

   "Lakukanlah kehendak kalian, anak-anak. Memang kalian bertiga ini sudah waktunya turun gunung. Lakukanlah apa yang kalian rasa baik,"

   "Ketika kedua orang pertapa itu dan tiga orang muda itu menyembah dan meminta restu untuk mengundurkan diri, Sang Bagawan Ekalaya hanya berkata singkat dan perlahan.

   "Pergilah...tugas-tugas suci telah menanti kalian. Di bawah bimbingan Bayunurti dan Dutaprayoga, kalian takkan menyeleweng daripada kebenaran. Aku sebagai orang tua hanya memberi bekal doa restu."

   Setelah memberi hormat kepada kakek sakti itu, mereka meninggalkan tempat itu, meninggalkan Bagawan ekalaya yang masih duduk bersila tak bergerak bagaikan patung, karena kakek ini telah tenggelam kembali ke dalam alam samadhi.

   Setelah berada di kaki gunung dan tiba di tepi laut yang memisahkan gunung itu dengan pantai Pulau Jawa, mereka berhenti dan Panembahan Bayumurti memberi tahu kepada Pancapana apa yang harus dikerjakan oleh pangeran itu.

   Raden Pancapana, ketahuilah bahwa keadaan pamanmu, Sang Prabu Panamkara kini sedang terancam bahaya besar. Bupati Yudasena dari pesisir telah berkali-kali berusaha menggulingkan kedudukan pamanmu itu dan karena para panglima sepuh dari Mataran enggan membantu pamanmu, maka keadaan Mataran benar-benar amat berbahaya. Aku telah menghubungi para panglima tua dan cerdik pandai di Mataram yang kini mengasingkan diri dan ketika beritahukan tentang keadaanmu, mereka menyambut dengan gembira sekali. Kau sekarang pergilah ke ibu kota Mataram, dan usahakanlah agar serangan Yudasena dapat dipecahkan. Kali ini pamanmu tentu takkan ragu-ragu lagi

   untuk menyerahkan kedudukannya kepadamu."

   "Baik, paman Panembahan,"

   Jawab Pancapana sambil menyembah.

   Tiba-tiba Indrayana berkata kepada Ayahnya.

   "Rama, izinkanlah hamba ikut dan membantu uasha kakangmas Pancapana."

   Wiku Dutaprayoga tersenyum.

   "Seandainya kau tidak minta aku tentu akan menyuruh kau pergi juga mengawani Pangeran Pancapana, puteraku. Sudah menjadi tugasmu untuk membantu perjuangan Pangeran Pancapana, menegakkan kembali Mataram dan menolong keadaan rakyat Mataran daripada bencana besar."

   "Bagus,"

   Kata panembahan Bayumurti, 'dengan adanya Indrayana mengawanimu, hatiku lebih tentram dan yakin lagi akan berhasilnya usahamu, Raden Pancapana."

   Pancapana juga merasa girang sekali. Ia memeluk pundak Indrayana dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar.

   "Rama Panembahan, akupun ingin ikut membantu Raden Pancapana,"

   Tiba-tiba Candra Dewa berkata kepada Ayahnya.

   "Kau hendak membantuku atau membantu dimas Indrayana, diajeng Candra?"

   Pancapana menggoda sambil tersenyum.

   Candra Dewi cemberut lalu berkata.

   "Tentu saja membantu keduanya, bukannya kalian berdua adalah saudara-saudara seperguruan dan sudah menjadi kewajibanku untuk membantu pula?"

   Bayumurti dan Dutaprayoga saling pandang dan diam-diam mereka tersenyum girang.

   "Candra, anakku,"

   Kata Panembahan Bayumurti kepadanya.

   "kali ini kau tak boleh ikut kerena pekerjaan yang mereka hadapi adalah pekerjaan laki-laki. Sebagai seorang wanita, tugasmu hanya menunggu dan berdoa agar supaya usaha mereka berhasil baik."

   Muramlah wajah Candra Dewi mendengar kata-kata Ayahnya ini, akan tetapi ia tidak berani membantah. Indrayana memandang kepada kekasihnya ini dan berkata perlahan.

   Jeng Dewi, kalau tugas kami sudah selesai, kita pasti akan bertemu kembali."

   Senyumnya yang ramah dan menghibur dapat juga mengusir kemuraman yang membayang di wajah gadis itu.

   "Berangkatlah kalian dan jangan membuang banyak waktu lagi."

   Kata Panembahan Bayumurti kepada kedua pemuda itu yang segera melanjutkan perjalanannya.

   Candra Dewi berdiri memandang bayangan kedua orang muda itu sampai lenyap pada sebuah tikungan. Hatinya terasa sunyi dan tak sedap ditinggalkan oleh mereka, terutama sekali oleh Indrayana.

   "Sudahlah, Candra, sekarang belum tiba waktunya kau ikut menunjukkan baktimu terhadap Kerajaan Mataram. Kita telah terlampau lama meninggalkan tempat tinggal kita, marilah kita pulang dan menanti perkembangan yang akan terjadi selanjutnya."

   Kemudian Panembahan Bayumurti berpaling kepada Wiku Dutaprayoga dan berkata.

   "Kakang wiku, baiklah kita berpisah di sini dan sampai bertemu kembali pada saat yang tepat."

   "Baiklah, adi Panembahan, kalau sudah rampung tugas kita, kita lanjutkan perjalan yang kita setujui kemarin dulu itu."

   "Baik, kakang Wiku, selamat berpisah!"

   Pancapana dan Indarayana melakukan perjalanan dengan cepat sekali. Dari pulau Gunung Muria, mereka menggunakan sampan untuk menyebrang ke pantai Pulau Jawa, kemudian mereka menggunakan kepandaian berlari cepat menuju ke Mataram. Perjalanan mereka menuju ke selatan melalui hutan-hutan dan bukit-bukit.

   Setelah tiba di Pegunungan Ungaran mereka lalu membelok ke barat untuk menuju ke Pegunungan Dieng yang pada waktu itu menjadi pusat Kerajaan Mataram yang telah hampir runtuh dan lenyap itu.

   Akan tetapi, ketika mereka masuk dalam sebuah hutan liar di Pegunungan ungaran, tiba-tiba terdengar sorakan riuh dan dari belakang pohon-pohon dan alang-alang, berlompatan keluar perampok-perampok yang jumlahnya tidak kurang dari empat puluh orang!

   Seorang yang tinggi besar dengan brengos sekepal sebuah, mata lebar bundar yang seperti mau melompat ke luar dari ruang mata, melangkah maju dengan klewang di tangan. Baik melihat sikapnya maupun keadaan pakaiannya yang lebih lengkap daripada yang lain, mudah diduga bahwa si brengos tebal ini tentulah kepalanya.

   "Hai, pemuda-pemuda bagus! Tinggalkanlah dulu semua barang dan pakaianmu sebelum kalian melanjutkan perjalanan melalui hutan ini!"

   Seru si brengos itu dengan suaranya yang parau.

   Pancapana melirik kepada para pengurungnya dan melihat bahwa puluhan orang perampok itu kesemuanya bertubuh tegap dan gagah hanya pakaian mereka saja yang tidak karuan dan compang-camping.

   "Hm, manusia-manusia macam inilah agaknya yang mendatangkan kekacauan melemahkan keadaan Mataram!"

   Katanya marah, kemudian sambil memandang kepada di brengos dengan mata tajam Pancapana membentak.

   "Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tidak patut menjadi kawula Mataram! Pantas saja Mataram menjadi semakin lemah tidak tahunya terdapat telur-telur busuknya macam kau dan anak buahmu ini!"

   Bukan main marahnya di brengos mendengar ucapan ini. Sepasang matanya yang besar itu terputar-putar dengan dasyatnya, brengosnya yang sekepal sebelah itu bergerak-gerak dan berdiri mengerikan.

   "Bocah gunung, alangkah sombongmu! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan. Aku adalah Surarudira dan seluruh daerah Ungaran tahu siapa aku! Berani kau mengakat dada terhadap Surarudira? Hayo kau berlutut dan menyerahkan semua barang dan pakaian, baru aku memberi ampun!"

   "Surarudira, nama yang terlampau gagah untuk seorang pengecut dan jahat seperti kau!"

   Kata

   (Lanjut ke Jilid 07)

   Banjir Darah di Borobudur (Cerita Lepas)

   Karya": Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 07

   Pancapana mengejek.

   "Jangankan kau seorang diri maju menghadapiku, keroyoklah dengan semua kawan-kawanmu, aku takkan mundur setapak!"

   "Babo, babo! Sumbarmu seperti berkepala tiga berlengan enam saja! Agaknya kau sudah bosan hidup!"

   Teriak Surarudira sambil membacok dengan klewangnya ke arah leher Pancapana. Akan tetapi pemuda ini dengan mudah mengelak ke kiri sehingga klewang itu mendesing di pinggir kepalanya. Begitu klewang itu lewat menyambar, tiba-tiba senjata itu telah menyambar kembali dari kanan dan sekarang membabat kedua kaki Pancapana. Kaget juga pemuda ini melihat kecepatan gerakan lawan dan diam-diam ia memuji bahwa si brengos ini tentu telah mempelajari ilmu permainan golok yang cukup baik. Cepat Pancapana melompat ke atas membiarkan klewang itu menyambar lewat dan sebelum kedua kakinya ia turunkan, ia telah melakukan gerakan menendang di udara dan dengan jitu sekali tungkak kaki kanannya mencium dada Surarudira yang bidang.

   Blek!"

   Surarudira merasa seakan-akan dadanya remuk dan diseruduk oleh seekor banteng. Tubuhnya terlempar ke belakang dan berguling bagaikan sebuah kelapa dilempar dari atas. Akan tetapi si brengos ini benar-benar kuat tubuhnya dan besar pula semangatnya! Cepat dan beringas ia melompat bangun lagi, menggoyang-goyang kepalanya dan memberi tanda kepada kawan-kawannya.

   "Serbu.....!"

   Komandonya ini seakan-akan komando seorang panglima perang kepada pasukannya!

   Sedangkan ia sendiri dengan klewang diputar-putar di atas kepalanya lalu menyerang Pancapana lagi.

   "Dimas Indrayana, mari kita hajar rombongan tikus sawah ini!"

   Seru Pancapana.

   Indrayana tadinya hanya berdiri diam saja menikmati kegembiraan hatinya melihat pangeran itu memberi hajaran kepada rakyatnya sendiri yang menyeleweng daripada jalan kebenaran. Kini melihat empat puluh lebih orang itu maju menerjang bagaikan ombak Segara Kidul, tentu saja ia tidak tinggal diam. Cepat dan trengginas seperti seekor bajing melompat, tubuhnya berkelebat menerjang maju. Kedua kaki dan tangannya bekerja cepat merupakan empat baling-baling kitiran besar yang membagi-bagi pukulan dan tendangan. Sekali tangannya bergerak, terdengar teriakan mengaduh dan seroang lawan jatuh terjengkang dengan kepala benjol, dan sekali kakinya terayun, terlemparlah tubuh lain pengeroyok sehingga jatuh berdebuk sambil peringisan karena pantatnya menimpa batu.

   Surarudira mengamuk hebat dan menyerang Pancapana dengan gerakan klewang yang cukup dasyat, Pancapana dengan tenaga menyambut serangan si brewos ini dengan tangan kosong. Pangeran ini memperlihatkan kegesitannya, bagaikan seekor burung serikatan ia bergerak mengikuti sinar klewang yang menyambar-nyambar sehingga Surarudira merasa terheran-heran. Beberapa kali klewangnya seakan-akan sudah pasti mengenai tubuh lawan akan tetapi tubuh lawan itu melesat dan dapat mengelak dengan cepatnya. Berdirilah bulu tengkuknya, karena ia seperti melawan dan berkelahi dengan sebuah bayangan setan! Akan tetapi Surarudira adalah seorang kasar dan gagah yang belum pernah mengenal arti kata takut. Ia mengamuk semakin hebat. Sengaja ia berdiri sejenak untuk memandang kepada lawannya dengan tajam. Ketika ia melihat pemuda itu juga berhenti berdiri di depannya sambil senyum mengejek, seperti kilat klewangnya menusuk dada Pancapana.

   "Mampus kau!"

   Serunya.

   "Heeiit!"

   Pancapana tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan membuka lengan kananya sehingga klewang itu masuk di bawah lengan kanannya. Pancapana menggunakan kesempatan itu untuk majukan tubuhnya dan ketika lengan kanannya diturunkan dan mengepit, maka tangan Surarudira yang memegang klewang itu telah terjepit di bawah pangkal lengan kanannya! Surarudira berusaha membelot tangannya akan tetapi sama sekali tak berhasil. Kempitan itu luar biasa erat dan kuatnya.

   "Lepaskan!"

   Teriaknya sambil meronta, akan tetapi Pancapana hanya menggeleng kepala sambil tersenyum. Surarudira marah sekali dan kini tangan kirinya yang dikepal sebesar buah kelapa itu menyambar hidung Pancapana. Pemuda itu menggerakkan kepalanya ke belakangan dan dari belakang menangkap tangan kiri itu sehingga kini Surarudira tertangkap dengan kedua tangan di belakang tubuh. Tangan kanan masih dikempit, sedangkan tangan kiri diuntir ke belakang.

   "Menyerahkah kau?"

   Kata Pancapana sambil menarik tangan kiri si brewok itu ke atas. Peluh berkumpul di kening Surarudira karena ia menahan sakit, akan tetapi dengan bandel ia menggeleng kepala dan membentak.

   "Siapa sudi menyerah? Aku masih belum kalah!"

   Gemas juga hati Pancapana melihat kebandelan ini. Ia merasa suka kepada orang kasar ini karena ternyata gagah berani dan juga ilmunya berkelahi tidak lemah, akan tetapi kalau orang ini tidak diberi hajaran keras, sukarlah menundukkannya. Ia lalu melepaskan pegangannya, mendorong tubuh lawan itu ke depan dan memberi sebuah tendangan pada pantat Surarudira dengan keras.

   "Aduh...!"

   Baru kali ini semenjak perkelahian tadi, Surarudira terdengar mengaduh, karena sesungguhnya tendangan itu amat keras dan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa. Tubuhnya terhuyung-huyung dan betapapun ia mengerahkan tenaga untuk menahan agar jangan sampai roboh namun akhirnya ia terjungkal juga.

   Surarudira benar-benar harus dikagumi karena keberanian dan kebandelannya. Ia merasa amat sakit pada tulang belakangnya akan tetapi ia masih juga bangun kembali dengan sinar mata bernyala-nyala, tanda belum mau takluk. Ketika ia berjalan menghampiri lawannya lagi, ia merasa pantat dan punggungnya demikian sakit sehingga jalannya jadi egang. Namun, biarpun jalannya sudah egang dan mekeh-mekeh, masih tetap ia menyerang lagi dengan klewangnya dan serangannya masih berbahaya. Kalau bukan Pancapana yang diserang, tentu serangan ini masih akan dapat mengorbankan nyawa lawannya.

   Pancapana sendiri merasa heran dan kagum. Tendangannya tadi bukanlah tendangan biasa, akan tetapi ia mengarah urat lawan yang penting sehingga tendangannya telah membuat tulang dan urat lawannya bagian belakang menjadi terkelecoh. Bagaimana si brengos ini masih sanggup menyerang lagi? Melihat kekerasan hati ini, Pancapana lalu menerjang dan sebuah tempilingan tangan kirinya yang disertai aji kesaktian mampir di kepara Surarudira sehingga tanpa dapat berteriak lagi tubuh yang tinggi besar itu berputar beberapa kali dan jatuh menjerembab di atas tanah.

   Pancapana memandang tubuh lawannya dengan senyum di bibir, akan tetapi tiba-tiba senyumnya menghilang, ketika ia melihat Surarudira bergerak, dan merayap lalu bangun kembali. Bukan main! Pukulannya tadi disertai Aji Wesi Kuning, bagaimana si brengos ini masih sanggup bangkit kembali? Ajinya itu kalau dipukulkan, biar lawannya memiliki ilmu kekebalan, masih takkan mampu menahannya. Dengan mata terbelalak kagum Pancapana melihat tubuh tinggi besar itu bangkit kembali.

   Surarudira memang kuat tubuhnya. Ketika pukulan tadi mampir dikepalanya, ia merasa seakan-akan tujuh petir menyambar kepalanya dan untuk sesaat dunia menjadi gelap gulita di depan matanya. Akan tetapi, ia masih dapat mengeraskan hatinya dan bangkit kembali. Namun, ketika ia sudah dapat berdiri, tiba-tiba bumi yang dipijaknya terasa berputar-putar, di depan matanya nampak seribu satu bintang besar kecil berjoget dan telinganya mendengar bunyi lengking dan hiruk pikuk. Karena ini, kepalanya terasa pening sekali dan berat, seakan-akan kepalanya telah berobah menjadi besi yang amat berat dan akan jatuh saja. Kedua kakinya masih mencoba untuk menahan akan tetapi tetap saja tidak kuat. Ia berputaran beberapa kali dengan kedua manik mata mendekati hidung, kemudian jatuh lagi terlentang tanpa dapat berkutik kembali!

   Ketika beberapa lama kemudian Surarudira siuman kembali dari pingsannya dan membuka mata, ia terkejut melihat betapa kedua orang pemuda yang tampan itu mengamuk bagaikan dua ekor garuda sakti menyambar-nyambar dikeroyok oleh puluhan burung pipit yang sama sekali tidak berdaya. Jangan kata terkena patukan atau cengkeraman burung-burung garuda itu, baru terdorong oleh sambaran angin kibasan sayapnya saja, burung-burung pipit itu telah terpental jauh! Di sana-sini tubuh para anggota perampok itu malang melintang, tumpang tindih dan mengaduh-aduh. Ada yang benjol kepalanya terkena tempiling, patah tulang lengan ketika mencoba menangkis pukulan kedua anak muda itu, mulas perutnya karena sambaran ujung kaki, ada pula yang sesak nafasnya terkena sodokan jari tangan!

   

Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Sejengkal Tanah Percik Darah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Bodoh Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini