Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 1


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 1




   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 01

   Malam Jumat Kliwon. Langit hitam pekat bagaikan beludu hitam terhampar luas ditaburi ratna mutu manikam bintang-bintang gemerlapan di angkasa. Tiada segumpalpun awan putih. Jutaan bintang berkedip penuh rahasia, saling bercengkerama membicarakan rahasia alam dalam bahasa yang bisu. Cahaya dingin redup jutaan bintang menciptakan bayang-bayang raksasa beraneka bentuk dari pohon-pohon. Dalam kediamannya, antara cahaya redup dan bayangan, pohon-pohon itu lebih hidup dari pada di kala siang, kehidupan penuh rahasia. Angin semilir berbisik-bisik. Para penghuni pohon besar agaknya merundingkan sesuatu, merasakan datangnya sesuatu yang hebat, malapetaka yang hanya mampu dilakukan oleh makhluk yang disebut manusia. Bahkan para makhluk halus gemetar dibuatnya, melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat ulah manusia, mahluk yang mereka takuti.

   Rumah bilik bambu sederhana itu berdiri agak terpencil, di ujung dusun yang sudah tidur lelap itu. Lebih tepat dinamakan padepokan, tempat tinggal seorang petani setengah pertapa yang suka hidup menyendiri dan menyepi. Rumah itu nampak sunyi dan gelap, seolah-olah tiada penghuninya. Akan tetapi, di ruangan belakang, yang dijadikan pula sebagai sanggar pamujan atau tempat bersamadhi, duduklah seorang laki-laki bagaikan arca batu. Kedua kakinya bersila dengan sikap bunga padma, kedua kaki saling tertumpang di paha, kedua lengan bersilang merangkul pundak, tubuhnya yang tegap kokoh itu tegak Jurus, kedua mata terpejam.

   Dari pernapasannya dapat diketahui bahwa dia tidak sedang bersamadhi, akan tetapi seluruh perhatiannya bersatu penuh kewaspadaan karena pria inipun dapat merasakan sesuatu yang akan terjadi, yang agaknya makin dekat menghampirinya dengan ancaman yang mengerikan. Sejenak jantungnya berdebar dan rasa gelisah mengguncang batinnya ketika pikirannya membayangkan kemungkinan datangnya marabahaya. Rasa takut tercipta oleb pikiran sendiri. Pikiran membayangkan sesuatu yang tidak ada, yang mungkin terjadi, yang menceiakakan, dan muncullah rasa takut.

   "Hong Wilaheng, Nir Baya Sedya Rahayu......."

   Bibirnya berkomat kamit dan suaranya Sendiri ini mengusir bayangan pikiran. Maka tenang kembalilah hatinya, heninglah batinnya dan kewaspadaanyapun kembali. Dia siap menghadapi apapun juga karena dia yakin bahwa sepandai-pandainya manusia, siapapun dia, pada akhirnya akan menyerah kepada nasib, kepada keputusan dari kekuasaan yang paling tinggi, yang tak terukur oleh akal budi dan kemampuan manusia. Hidup dan mati hanyalah terlaksananva garis yang telah ditentukan sebelumnya. Dia hanya harus berikhtiar, itulah wajib.

   Senyum ketenangan menghias wajah yang sudah tidak muda lagi itu. Ruangan sanggar pamujan itu terbuka dan sinar angkasa berbintang menerangi wajahnya, keharuman malam menembus hidungnya dan tembang malam kutu-kutu dan belalang memasuki telinganya.

   Ki Baka memang tidak muda lagi. Usianya sudah enampuluh tahunan walaupun tubuhnya masih tegap dan kokoh kuat, tubuh seorang petani yang setiap hari menggeluti tanah dengan kerja keras. Diapun bukan petani biasa, bukan pula pertapa biasa. Ketika mudanya, dia seorang yang perkasa, tangkas dan sakti mandraguna. Pernah nama Baka malang melintang di lembah Sungai Brantas, disegani dan dihormati, bukan sebagai seorang penjahat, melainkan sebagai seorang gagah perkasa yang selalu menentang pelaku-pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Akan tetapi, semua itu telah ditinggalkannya. Bahkan Ki Baka lalu lenyap dari dunia ramai, menyembunyikan diri. Dia malu. Kakaknya, yang juga terkenal sebagai seorang yang sakti mandraguna, yang bernama Ki Baya, telah memberontak terhadap Kerajaan Singasari. Merampok, membunuh rakyat, menentang kerajaan, sampai akhirnya kakaknya itu ditumpas dan terbunuh.

   Dia malu, dan diapun menghilang, menjadi petani setengah pertapa di dusun kecil itu, dusun Kelinting yang sepi, jauh dari keramaian kota dan kerajaan, bahkan jauh pula dari pamong praja yang paling kecil pangkatnya sekalipun.

   Akan tetapi malam ini, malam Jumat Kliwon yang lain dari pada biasanya. Ki Baka masih bersila dengan hening, seluruh panca indranya bersatu dan tepat pada saat tengah malam, tiba-tiba segalanya itu terhenti, seolah-olah dunia ini berhenti berputar pada detik tengah malam itu, seperti yang hafal olehnya.

   "Rep sidhem premanem tan ana sabawaning walang alisik, gegodhongan tan ana obah, samirana datan surailir......." (Sunyi senyap hening tiada suara belalang berbisik, tiada daun bergerak, anginpun tiada sumilir......)

   Detik itu, detik tengah malam yang sejak tadi ditunggunya, karena dia tahu bahwa setiap tengah malam ada tiba detik seperti ini, di mana segala sesuatu berhenti sesaat, dan Ki Baka memusatkan seluruh keadaan dirinya lahir batin kepada Hyang Wisesa.

   "Duh Gusti, hamba menyerahkan segala yang ada ini kepada paduka, dengan rela, dengan pasrah......."

   "Kulik........! Kulik........! Kulik.......!"

   Burung malam itu terbang lewat, jeritannya memecah keheningan sedetik saja. Cuping hidung Ki Baka kembang kempis ketika dia mencium bau keharuman yang tidak wajar, bau sari cendana, bukan bau pohon, rumput dan tanah. Dan diapun sudah siap siaga kembali. Setelah keadaan di luar dirinya itu menyeretnya ke dalam kesadaran, diapun mengenangkan segala yang terjadi.

   Sebagai seorang bekas pendekar yang banyak tahu akan dunianya kaum gentho, rampok, maling, kecu, bajak dan gerombolan-gerombolan pengumbar angkara murka, budak-budak nafsu, loba, tamak dan kesenangan, pengejar-pengejar kekuasan duniawi tanpa memperdulikan cara demi tercapainya kepuasan nafsu, dia tahu bahwa kini terjadi geger di dunia yang hitam itu. Baru saja kakaknya, Ki Baya, mengumpulkan para gerombolan jahat itu untuk diajak bersekutu, dihasutnya untuk menentang pemerintah Kerajaan Singasari. Gerakan kakaknya itu gagal, dapat dihancurkan, Ki Baya tewas dan sekutunya lari cerai berai, banyak pula yang tewas. Kemudian aman untuk sementara.

   Kemudian Kerajaan Singasari mengerahkan semua kekuatan pasukannya, dikirimnya pasukan yang besar itu ke negeri Melayu, dengan harapan negeri itu akan menerima kedaulatan dan kekuasaan Singasari dengan damai dan suka rela, tanpa perang karena memang kekuasaan dan pengaruh Singasari sudah terkenal sampai ke negeri itu.

   Peristiwa pengiriman pasukan besar inlah yang menggegerkan dunia hitam. Pasukan besar berikut para senopati yang gagah perkasa, meninggalkan kerajaan Kalau kucing-kucing berada di rumah, tentu tikus-tikus tidak berani berkeliaran. Akan tetapi kini kucing-kucing itu pergi, rumah kosong tanpa penjaga yang tangguh, dan tikus tikuspun mulai bergerak.

   Ki Baka tahu benar akan hal ini. Dan diapun tahu bahwa begitu hamba-hamba nafsu yang selalu mempergunakan hukum rimba itu berani bergerak bebas, tentu dirinya menjadi sasaran pertama, karena dia tidak sudi membantu mendiang Ki Baya sehingga dia dianggap sebagai seorang pengkhianat, dan kedua, apa lagi kalau bukan karena tombak Tejanirmala. Tombak pusaka itu dikenal dengan sebutan Ki Ageng Tejanirmala, sebilah tombak penolak bala, tombak yang dikeramatkan, memiliki petuah pelindung diri dan bahkan keluarga, juga negara.

   Menurut cerita orang dari mulut ke mulut, Ki Ageng Tejanirmala pernah menjadi pusaka Sang Prabu Sanjaya dari Kerajaan Mataram, limaratus tahun yang lalu. Menurut kata orang, Ki Baka sendiri belum pernah membuktikannya, demikian ampuhnya Ki Ageng Tejanirmala sehingga dengan mengacungkannya, air banjir yang merusak dusun dapat dibelokkan, bahkan kebakaran besar dapat dipadamkan. Semua niat buruk dalam hati musuh dapat ditundukkan dan dipatahkan, demikian ampuhnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.

   Ki Baka tahu bahwa akhirnya mereka akan berdatangan, manusia-manusia berwatak iblis itu. Dan sekaranglah saat terbaik bagi mereka untuk muncul di dunia ramai, selagi kerajaan lemah ditinggalkan pasukan dan para senopati perkasa ke tanah Melayu. Karena sudah dapat diduganya sebelumnya, dia sudah siap siaga. Sebulan yang lalu puteranya, Nurseta, telah disuruhnya pergi dari situ Disuruhnya pergi bertapa ke Gua Kantong-bolong di tebing pantai laut selatan yang curam itu. Sebuah Gua yang menurut dongeng pernah menjadi tempat pertapaan Ki Petruk, ponakawan yang amat terkenal dari keluarga Pandawa. Karena itu diberi nama Gua Kantong-bolong karena Kantong Bolong adalah satu diantara nama poyokan Ki Petruk.

   Tiba-tiba terdengar bunyi suling ditiup orang. Ki Baka tetap tidak bergerak, akan tetapi telinganya mendengarkan penuh perhatian. Dia mengenal suara suling itu. Nadanya Slendro, cengkok Banyuwangen. Siapa lagi kalau bukan Ki Sardulo? Akan tetapi dia diam saja, menanti sampai peniup suling itu menyelesaikan lagunya. Sebuah lagu tantangan. Jelas. Namun tak ditanggapinya. Dia takkan mendahului. Biarlah mereka itu membuat gerakan pertama, membuat gebrakan pendahuluan, baru dia akan memperlihatkan siapa sebenarnya Ki Baka. Bukan orang yang mudah digertak begitu saja. Seorang jantan tulen. Tak pernah merasa takut karena bersenjatakan kebenaran yang diyakininya.

   Belum habis suara suling itu ditiup orang, lapat-lapat terdengar suara orang bertembang. Suaranya merdu dan jelas, tembangnya Pangkur dan isi lagunya juga tantangan. Diapun segera mengenal siapa panembing itu. Siapa lagi kalau bukan Gagak Wulung, si mata keranjang itu.

   Kemudian terdengar suara tembang lain. Kidung yang ditembangkan ini agak asing, dengan suara meliuk-liuk memelas, akan tetapi segera dia mengenalnya sebagai tembang dari tanah Pasundan. Suara itu merdu bukan main, suara seorang wanita, demikian lembutnya, demikian menyentuh sehingga Ki Baka merasa betapa suara itu menyusup ke dalam kalbunya. Cepat dia menarik napas panjang dan mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pengaruh kidung yang demikian kuat itu.

   "Hemm, Dedeh Sawitri juga datang"

   Pikirnya kaget juga. Tak disangkanya tokoh wanita dari Pasundan itu datang pula bersama yang lain. Akan ramai sekali ini, pikirnya gembira. Sedikitpun tidak ada rasa takut dan waswas Seorang satria harus berani menghadapi apapun dan siapapun. Kebenaran merupakan senjata pamungkas yang amat ampuh. Badan boleh hancur, nyawa boleh melayang, namun kebenaran akan tetap menghidupkan semangat juangnya.

   Kurang lebih setengah jam lewat tengah malam. Bintang-bintang di langit semakin cemerlang cahayanya, redup dingin kehijauan sinamya menerangi sanggar pamujan yang terbuka itu.

   Ki Baka maklum akan kehadiran bebarapa orang mengepung sanggar pamujan, makin lama mereka semakin mendekat dan kini sudah terasa olehnya kehadiran mereka di sekelilingnya. Sedikitnya tentu ada lima orang yang berada dekat di sekelilingnya, tidak ada jarak tiga tombak, dan dia dapat menduga bahwa banyak lagi yang mengepung tempat itu dari jarak aman, agak jauh. Lapat-lapat terdengar suara berisik mereka, seperti sarang lebah diganggu, diseling suara dehem menggerutu.

   "Hemmm...........sssssshhhh........ kakang Baka, benarkah engkau telah menjadi orang yang demikian angkuhnya sehingga tidak lagi mau menyambut datangnya tamu?"

   Tiba-tiba terdengar suara orang, suaranya serak dan diseling suara mendesis seperti ular atau seperti orang sakit gigi.

   Ki Buka membuka matanya, tersenyum. Wajahnya cerah ketika sinar sejuta bintang menimpa wajahnya yang agak ditengadahkan. Seraut wajah yang ganteng dan gagah. Seperti itulah agaknya wajah Sang Gatutkaca kalau sudah berusia enampuluh tahun. Kumisnya masih tebal dan melintang garang walaupun sudah bercampur uban, matanya ketika terbuka nampak lebar dan mencorong, menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan tenang-namun dengan kekuatan seperti kilat menghunjam.

   Ketika tersenyum, otot di dagu dan lehernya mengejang, memberi gambaran kejantanan yang perkasa.

   "Adi Sardulo, aku tidak tahu bagaimana caranya menyambut tamu tak diundang yang datang pada tengah malam buta. Keangkuhan hanyalah kedok yang suka dipakai orang bodoh yang merasa pintar untuk menyembunyikan kebodohannya. Aku seorang bodoh yang lugu, tahu benar akan kebodohanku, maka aku tidak membutuhkan keangkuhan. Andika datang tanpa diundang, nah, masuk sajalah, adi Sardilo"

   Tiba-tiba ada bayangan berkelebat menyambar memasuki sanggar pemujan, bagaikan seekor burung garuda terbang masuk dan tahu-tahu, seorang laki-laki telah berdiri di atas sebongkah batu yang berada dua tombak d depan Ki Baka. Laki-laki itu berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dengan wajah yang kurus seperti tengkorak terbungkus kulit, mukanya licin tanpa kumis dan jenggot, matanya sipit terpejam, dan pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang berwarna putih dari sutera panjang seperti selendang. Tangan kirinya memegang sebatang suling bambu hitam pula. Begitu kedua kakinya hinggap di atas batu, laki-laki ini mengeluarkan suara mendesis yang menggetarkan jantung, mendekati lengking, dan sebongkah batu yang diinjaknya itu amblas ke dalam tanah lantai sanggar pamujan itu.

   Ki Baka masih tetap tersenyum, dia diam, dia maklum bahwa adik seperguruan mendiang Ki Baya kakaknya itu ternyata telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu tenaga dalam. Itulah ilmu memberatkan tubuh yang dipamerkan sehingga batu itu tidak kuat menahan beban badannya sehingga amblas. Jelaslah sudah, orang yang datang-datang memamerkan kekuatannya, sudah tentu berrmaksud menggertak untuk memaksakan kehendaknya melalui kekerasan.

   "Adi Sardulo, kalau kunjunganmu ini hanya untuk pamer kekuatan, sungguh tidak lucu. Lihat, jutaan bintang di angkasa menyaksikan perbuatanmu, apakah engkau tidak malu. Apa artinya kekuatanmu itu dibanding denan kesaktian bintang-bintang itu?"

   "Kakang Baka, aku datang dengan niat baik. Kalau tidak, apa kaukira kau masih bisa hidup sekarang? Tentu sudah kuserang sejak tadi dengan sulingku"

   "Hemm, mati hidupku di dalam tangan Hyang Widhi, Sardulo. Nah, katakan, apa keperluanmu datang berkunjung di tengah malam buta begini?"

   Ki Sardulo memandang ke sekelilingnya dan kembali dia mendesis.

   "Ssssssh! Hemm, banyak orang mendengarkan kita, kakang Baka. Akan tetapi biarlah, kukira kedatangan mekapun mempunyai niat yang tidak jauh bedanya. Aku datang untuk mengingatkanmu akan kematian kakang Bayaraja"

   "Hemm, adi Sardulo Kakang Baya telah lama meninggal dunia, apa lagi yang harus diingat?"

   "Sssshhh! Dengar suara khianat!"

   Ki Sardulo meludah ke kiri dan air ludahnya mengeluarkan bunyi keras ketika mengenai tanah.

   "Kakang Baka, saudara kita itu mati terbunuh. Sekaranglah tiba saatnya kita membalas dendam atas kematiannya"

   "Jagad Dewa Bathara........!"

   Ki Baka berseru lirih.

   "Lalu kepada siapa kita harus lembalas dendam atas kematian kakang Baya, adi Sardulo?"

   "Sssssshh! Kakang Baka tidak perlu berpura-pura. Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Singasari? Kerajaan Singasari yang menumpas kakang Baya, dan terutama sekali kepada Raden Wijaya karena dialah ang memimpin pasukan yang telah menewaskan kakang Baya!"

   "Engkau keliru, adi Sardulo. Tidak ada manusia mampu membunuh manusia lain, Pembunuh tunggal hanyalah Sang Hyang Pamungkas, tangan manusia hanya menjadi alasan belaka. Hidup mati berada di tangan Hyai Widhi. Kalau Sang Hyang Pamungkas sudah menghendaki, siapapun akan mati, dengal cara apapun. Kalau engkau hendak membalas dendam, sepatutnya engkau membalas kepada Hyang Pamungkas!"

   "Engkau gila, kakang Baka, bagaimana mungkin aku membalas kepada Sang Pemberi Hidup dan Sang Pencabut Nyawa?"

   "Nah, kalau tidak mungkin, buanglah dendammu jauh-jauh. Mendiang kakang Baya meninggal dunia karena akibat ulahnya sendiri. Dia merampok, membanuh, memberontak, melanggar semua hukum para dewata dan hukum para manusia. Apa pula yang perlu disesalkan kecuali bahwa dia mati dalam keadaan menyimpang dari kebenaran? Mati hidup bukan urusan manusia, akan tetapi kelakuan benar atau jahat sepenuhuya berada di tangai kita sendiri"

   "Kakang Baka! Sejak dahulu engkau memang pengkhianat! Tidak membela kakak sendiri, bahkan melarikan diri dan menyembunyikan diri. Dan kinipun mengelak dari tanggung jawab membalas dendam, Laki-lak macam apakah engkau ini?"

   Tiba tiba Ki Baka bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat dan penuh wibawa. Dadanya yang tak tertutup pakaian itu bidang dan kokoh seperti batu karang yang tidak akan gentar menghadapi hantaman setiap gelombang yang datang menerpa. Sepasang matanya yang lebar itu mencorong penuh semangat hidup.

   "Ki Sardulo! Namaku Baka dan aku seorang laki-laki sejati. Seorang laki-laki haruslah mempunyai pendirian dalam hidupnya, haruslah mampu menemukan kebenaran di dalam pandangannya dan setia terhadap kebenaran itu. Tanpa kesetiaan terhadap kebenaran yang didambakannya, dia tidak patut dinamakan laki-laki. Aku adalah seorang kawula Singasari dan sebagai seorang kawula, aku harus setia kepada negara dan bangsa Sejengkal tanah hanyalah tanah, namun di situlah kita berpijak, kita hidup dan kita mati. Sepercik darah hanyalah darah, namun dengan itulah kita hidup, kita memiliki kehormatan. Kalau para pimpinan di negaraku kuanggap tidak benar, sebagai kawula maka kewajibanku adalah umuk menyadarkan dan mengingatkan, demi negara, demi bangsa! Kalau para pemimpin di negaraku kuanggap benar, sebagai kawula maka kewajibanku adalah untuk mendukung dan membela. Kedua hal ini akan kulakukan demi negara dan bangsa, kalau perlu kupertaruhkan dengan selembar nyawaku. biarpun kakang Baya itu kakangku sendiri, akan tetapi dia membahayakan kewibawaan negara, membahayakan keamanan bangsa.Tentu saja aku tidak sudi membantunya, bahkan aku bersukur bahwa akhirnya dia dapat dibinasakan. Nah, aku sudah bicara, tidak ada apa-apa lagi yang perlu diperbincangkan"

   Setelah berkata demikian, Ki Baka duduk bersila kembali di atas batu tempat dia bersamadhi.

   Hening sejenak setelah suara Ki Baka yang lantang tadi terdengar. Kata demi kata bukan hanya menghunjam ke dalam batin Ki Sardulo, akan tetapi agaknya juga dirasakan benar oleh setiap orang yang mendengarkan pada waktu itu.

   Tiba-tiba Ki Sardulo mengeluarkan suara mendesis hebat, air ludahnya sampai memercik-mercik keluar, matanya yang sipit agak melebar dan kelihatan merah, Dia sudah marah sekali! Kemudian dia mengeluarkan suara mendesis yang dilanjutkan gerengan seperti seekor binatang buas dan tubuh yang jangkung itu telah menerjang ke arah Ki Baka dengan dahsyatnya. Sukar mengikuti gerakan tubuhnya yang secepat itu, seperti kilat menyambar, didahului suling bambu hitamnya yang menghantam kearah dada Ki Baka. Suling itu berubah menjadi sinar hitam bergulung-gulung, dan serangan itu didahului oleh sambaran angin yang berputar seperti angin lesus.

   Ki Baka mengenal baik Ki Sardulo yang memiliki Aji Gereng Sardulo (Auman Harimau) dan juga Aji Suling Lesus. Diapun tahu bahwa Ki Sardulo juga mengenal dirinya, maka sekali serang, tentu Ki Sardulo tidak main-main dan berusaha untuk mencapai kemenangan sekali pukul. Dalam serangan ini, tentu Ki Sardulo mengeluarkan ajinya yang paling ampuh dan tenaganya yang paling kuat. Diapun sudah siap dan melihat hantaman suling dengan Aji Suling Lesus, dibarengi gerengan seperti harimau mengamuk, dia tidak mau sembarangan menangkis. Dengan tubuh masih duduk bersila, tiba-tiba tubuhnya itu melayang meninggalkan batu di mana dia duduk bersila. Memindahkan tubuh dalam keadaan masih duduk bersila ini bukanlah ilmu sembarangan saja. Hanya orang yang sudah memiliki kesaktian tinggi saja mampu melakukannya, apa lagi gerakan itu dilakukan tiba-tiba untuk menghindarkan serangan maut yang demikian dahsyatnya.

   "Darrrr........!"

   Terdengar suara keras dan nampak debu mengepul memenuhi ruangan anggar pamujan itu, batu-batu kecil beterbangan ke sana-sini dan ternyata batu besar yang tadi diduduki Ki Baka kini telah hancur berkeping-keping, tidak kuat menerima hantaman Ki Sardulo dalam serangan maut yang dahsyat tadi. Bahkan dinding bambu di belakang batu itupun ikut pula roboh, membawa sebagian genteng, menimbulkan suara berisik.

   "Ki Sardulo, membangun adalah pekerjaan manusia bijaksana, sebaliknya merusak hanyalah permainan kanak-kanak bodoh dan manusia-manusia picik yang bejat akhlaknya. Engkau datang datang hanya menimbulkan pengrusakan, sungguh menjijikkan"

   Kata Ki Baka yang kini sudah berdiri dengan sikap tenang dengan kedua lengan bersedakap dan sinar mata penuh teguran memandang wajah kurus seperti tengkorak hidup itu.

   Ki Sardulo merasa malu, juga penasaran sekali. Serangannya tadi hebat bukan main, sudah diperhitungkannya baik-baik dan dia hampir yakin bahwa sekali serang, Ki Baka tentu akan roboh tewas, setidaknya terluka parah. Akan tetapi apa hasilnya? Dia hanya menghancurkan batu dan merobohkan dinding bambu.

   "Babo-babo, keparat! Jangan engkau mengelak, Baka. Belum lecet kulitmu, belum retak tulangmu, belum menetes darah dan engkau sudah lari dari seranganku, Baka pengecut, hadapilah seranganku kalau engkau Seorang jantan sejati"

   Muka yang gagah itu menjadi agak kemrahan. Ucapan itu memanaskan telinga dan hati "Ki Sardulo namamu, seperti harimau pula lakumu. Sombong, tinggi hati dan memadang remeh orang lain. Majulah, Sardulo, dan kerahkan semua aji kedigdayaanmu"

   Katanya, suaranya masih tenang, setenang hatinya yang tidak mudah terguncang walau dia mulai panas.

   Ki Sardulo yang sudah penasaran dan marah sekali, kini memutar-mutar suling hitamnya di atas kepala dan terdengarlah suara mengaung-ngaung, seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Suara itu makin lama makin tinggi melengking ketika putaran itu makin cepat dan lenyaplah bentuk sulingnya, berubah menjadi sinar hitam yang melengking-lengking. Itulah puncak dari Aji Suling Lesus. Kini Ki Sardulo tidak mau bergerak kepalang tanggung, dia mulai maju dengan langkah-langkah teratur, bermain silat dengan berjingkat, gerakannya aneh dan berputar-putar, seolah-olah tubuhnya dituntun oleh gerakan suling yang menjadi gulungan sinar hitam, menghampiri Ki Baka yang sudah siap.

   Ki Baka juga maklum akan kehehatan lawan, maka diapun menurunkan kedua lengan yang tadi bersedakap, Ialu kedua kakinya terpentang lebar berdiri kokoh kuat bagaikan sel batang pohon karena dia memang sedang mengerahkan ajinya yang disebut Aji Wandiro Kingkin (Beringin Kokoh). Dengan aji ini kedua kakinya seperti menghisap tenaga dari bumi, seolah-olah akar-akar pohon beringin yang menyedot kekuatan dari bumi dan mengalirlah Aji Sari Patolo (Sari Bumi) ke dalam tubuhnya. Kekuatan yang memenuhi tubuhnya pada saat itu sukar dibayangkan kehebatannya dan pada saat Ki Sardulo menyerangnva sambil mengeluarkan desis yang dilanjutkan gerengan seperti harimau, Ki Baka lalu menggerakkan kedua tangannya, menyamhut dengan doroncan kedua telapak tangan dengan Aji Bajra denta (Kilat Putih).

   "Desss.......!!!"

   Ki Sardulo yang bertubuh yang tinggi kurus seperti disambar petir, terdorong ke belakang dan berputaran, terhuyung, kemudian terpelanting dan bergulingan seperti sehelai daun kering tertiup angin. Ketika tubuhnya tiba di luar sanggar pamujan dan dia berhasil bangkit duduk, nampak dia muntah dan darah segar keluar dari mulutnya. Kakek tinggi kurus ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasannya yang terengah-engah, untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah terluka sebelah dalam tubuhnya oleh guncangan hebat dan oleh tenaganya sendiri yang membalik. Masih untung baginya bahwa Ki Baka tadi bergerak hanya untuk menangkis dan menolak tenaga serangannya, bukan untuk menyerangnya. Kalau Ki Baka tadi berniat menyerangnya, tentu tidak akan seringan itu akibatnya, dan mungkin saja dia tidak akan mampu bangkit lagi.

   Kini muncullah seorang laki-laki yang tampan. Usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya sedang dan tegap, pakaiannya seperti priyayi saja, pesolek dan tampan, wajahnya tersenyum-senyum ketika dia melangkah masuk ke dalam sanggar pamujan dan berrhadapan dengan Ki Baka yang masih berdiri di situ dan kini sudah bersedakap lagi.

   "Sampurasun, Ki Baka yang gagah perkasa"

   Kata laki-laki itu, orang yang tadi bertembang Pangkur dengan nada penuh tantangan.

   "Dhirgahayu kepadamu, Gagak Wulung"

   Jawab Ki Baka dengan sikap manis dan hormat.

   "Angin baik apakah yang meniupkan andika sampai ke tempat ini di malam yang muIia ini? Apakah ingin menikmati keindahan dan kesucian malam Jumat Kliwon bersamaku,

   mencoba untuk menghitung jumlahnya bintang di langit?"

   Laki-laki tampan yang bernama Gagak Wulung itu tertawa bergelak, suara ketawanya genit dan dibuat-buat agar terdengar gagah dan menarik. Memang Gagak Wulung ini terkenal sekali, selain terkenal sebagai seorang jagoan di Kediri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, digdaya dan sakti mandraguna, juga dia terkenal sebagai seorang pria mata keranjang, seorang perayu wanita yang tidak ketulungan lagi. Istilahnya tuk-mis (batuk klimis), yaitu tidak tahan kalau melihat wanita yang batuknya kelimis (dahinya halus) dala arti cantik manis. Siapapun wanita itu, perawan atau janda, tunangan atau isteri orang pasti akan digodanya dengan rayuan mautnya. Entah berapa banyak sudah wanita yang jatuh ke dalam pelukannya, melalui bujuk rayu atau kalau perlu melalui kekerasan. Dan memang dia seorang pria yang tampan dan gagah, pandai pula merayu sehingga sukar bagi wani untuk menolaknya.

   "Ha ha ha-ha! Ki Baka yang bijaksana. Aku belumlah sepandai andika yang suda mampu menghitung jumlahnya bintang di langit. Kemampuanku barulah menghitung jumlah perempuan jelita yang pernah duduk diatas pangkuanku, ha-ha-ha! Kedatanganku selain membawa salam hangat dari para rekan di Kediri, juga menyampaikan undangan mereka kepadamu, Ki Baka. Kami amat mengharapkan bantuanmu dan kerja sama untuk menegakkan kebenaran dan keadilan"

   Ki Baka memandang dengan mata terbelalak. Heran dia mendengar seorang seperti Gagak Wulung ini menyebut-nyebut tentang kebenaran dan keadilan. Pada hal dia tahu benar, siapa Gagak Wulung ini. Seorang hamba nafsu berahi yang juga malang melintang mengandalkan kepandaiannya, menegakkan hukum rimba yang sama sekali tidak mengenal kaidah kebenaran dan keadilan. Apa maksudnya kini, di malam Jumat yang keramat, secara tiba-tiba bicara tentang penegakan kebenaran dan keadilan?

   "Maaf kalau aku belum tanggap akan maksud hatimu, ki sanak,"

   Kata Ki Baka halus.

   "Akan tetapi, kebenaran dan keadilan macam apakah yang kau maksudkan itu? Kalau memang kebenaran dan keadilan yang kaubawa dan tawarkan kepadaku, sudah tentu Ki Baka siap mempertaruhkan nyawanya untuk menegakkannya"

   "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang siapapun tahu bahwa Ki Baka adalah seorang satria sejati, seorang pendekar perkasa, seorang gagah yang patut dihormati. Ki Baka, tentu engkau tahu bahwa dahulu Kerajaan Dhaha adalah kerajaan yang besar dan siapakah yang tidak tahu akan Sang Prabu Dandang Gendis? Siapa tidak mengenal nama besar Sang Prabu Kertajaya? Sayang bahwa ketika itu orang-orang seperti kita belum terlahir sehingga ada saja orang hina dari dusun, seorang maling biasa yang bernama Ken Arok sempat bangkit dan mengumpulkan kekuatan menghancurkan Kediri yang jaya. Akibatnya, sampai kini Kediri menjadi taklukan Singasari. Tidakkah merupakan suatu penegakan kebenaran dan keadilan kalau kini orang-orang gagah berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan Kediri? Nah, andika diundang untuk itu, Ki Baka. Marilah ikut bersamaku untuk menemui para satria dan pendekar, untuk membicarakan usaha penegakan kebenaran dan keadilan itu!"

   Ki Baka mengerutkan alisnya.

   "Hemm, omongan apakah yang kau keluarkan itu, Gagak Wulung? Apakah engkau hendak membujuk aku untuk mengotorkan tanganku dengan permainan pemberontak? Apakah engkau, dengan kata-katamu yang halus, dengan lidahmu yang tajam, hendak membujuk agar aku membalikkan punggungku terhadap Sang Prabu Kertanegara, keturunan dari dua orang pangeran, yaitu Sang Pangeran Rangga Wuni dan Sang Pangeran Mahesa Cempaka, kepada siapa di waktu muda aku telah menjadi pengawal dan senopati mereka? Ketahuilah, Gagak Wulung. Orang harus tegak di atas bumi di mana kedua kakinya berpijak. Kalau engkau sebagai orang K.ediri, hal itu adalah hakmu, bahkan mungkin kewajibanmu. Akan tetapi aku orang Singasari dan aku akan membela Singasari. Aku bukan bangsawan, bukan darah keraton dan keluarga raja, oleh karena itu, urusan kerajaan bukanlah urusanku. Aku hanyalah kawula yang harus setia kepada penguasanya, selama penguasa itu benar dan menurut aku, Sang Prabu Kertanagara adalah seorang penguasa yang bijaksana dan patut dibela kawulanya. Nah, simpan bujuk rayumu untuk orang-orang Kediri. Juga ingatlah, bukankah sikap Sang Prabu Kertanagara amat baik dan bijaksana terhadap Kediri? Biarpun Kediri sudah ditaklukkan, bukankah keluarga rajamu masih diberi hak hidup dan kedaulatan? Bahkan diajak berbesan? Nah, sudah cukuplah aku bicara, jangan engkau mengeluarkan kata-kata beracun yang amat berbahaya. Persatuan adalah usaha pembangunan yang bijaksana, akan tetapi perpecahan adalah usaha pengrusakan yang picik dan bahkan jahat!"

   Muka Gagak Wulung menjadi merah. Semua jawaban itu sudah merupakan pukulan kata-kata yang melumpuhkannya. Akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mundur begitu saja sebelum berusaha sekuatnya. Kembali dia tertawa dan suara ketawanya semakin nyaring, untuk menutupi rasa malunya.

   "Ha-ha ha-ha, engkau memang seorang yang terkenal keras hati dan keras kepala, Ki Baka. Tidak mengherankan kalau kerabatmu sendiri memusuhimu dan engkau dianggap sebagai pengkhianat. Akan tetapi sudahlah, kedalanganku bukan untuk membujukmu menjadi sekutu dan sahabat kami, melainkan untuk menyerahkan Ki Ageng Tejanirmala kepadaku. Serahkan Tejanirmala kepadaku dan aku akan pergi sebagai seorang tamu yang baik dan berterima kasih, Ki Baka"

   "Hemm, nampaklah belangnva kini. Memang sebaiknya jujur saja, Gagak Wulung. Engkau datang hendak merampok Ki Ageng Tejanirmala, begitu saja, tidak perlu memakai kata-kata yang berliku-liku. Akan tetapi, pusaka itu sama sekali tidak cocok untuk golonganmu, Gagak Wulung. Untuk apa engkau minta Ki Ageng Tejanirmala? Pusaka itu adalah penolak bala, sedangkan golonganmu adalah justeru pengundang malapetaka. Kebalikannya, Gagak Wulung. Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala sama sekali tidak akan berjodoh dengan golonganmu"

   "Cukup semua alasan itu. Serahkan tombak pusaka Tejanirmala atau terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan, Ki Baka"

   Ki Baka tersenyum. Dia tidak menjadi heran karena dia sudah mengenal benar watak orang-orang seperti Gagak Wulung.

   "Engkau melihat sendiri tombak pusaka itu tidak berada di tanganku, dan andaikata adapun tidak akan kuberikan kepadamu. Nah, apa yang akan kaulakukan terhadap diriku ini, Gagak Wulung?"

   "Babo-babo, keparat! Engkau menantangku. Jangan mengira aku selemah Ki Sardulo yang hanya pandai mengaum seperti harimau, Ki Baka. Sumbarmu seperti dapat membendung air Kali Brantas, seperti dapat melompati puncak Gunung Semeru"

   "Hemm, kau minta pending apa, akan kulayani. Gagak Wulung"

   "Heiiiiittt ahhhh.......!"

   Gigak Wulung lalu memasang kuda-kuda, mengangkat kaki kanan ke atas, ditekuk lutut dan pergelangannya, menunjuk ke depan, sedangkan kaki kiri agak lurus, menyerong dan kesamping, tangan kanan dibuka dengan ibu jari ditekuk, diletakkan telentang di pinggang, tangan kiri juga dibuka dan diletakkan di depan dada seperti setengah sembah, matanya melirik kearah Ki Baka, sikapnya itu gagah sekali, merupakan pembukaan pencak silat yang penuh gaya, juga mengandung penghimpunan tenaga sakti karena kedua tangan itu mula-mula gemetar, lalu menggigil, dan nampaklah uap nengepul dari kedua telapak tangan yang menjadi kemerahan itu!

   Ki Baka terkejut. Dia pernah mendeng tentang ilmu atau aji yang bernama Aji Hasta Rudira (Tangan Darah) atau Hasta Jingga, (Tangan Jingga). Yang manakah ini? Agaknya Hasta Jingga, pikirnya dan dugaannya memang benar. Itulah Aji Hasta Jingga yang berhawa panas sekali. Kedua telapak tangan Gagak Wulung menjadi kemerahan dan mengepulkan uap putih seperti asap. Baru tersentuh saja, sudah panas, apalagi kalau terkena pukulan telapak tangan ini, tubuh lawan dapat menjadi hangus kulitnya dan patah-patah tulangnya. Bukan hanya aji ini sangat ampuh, akan tetapi Gagak Wulung juga merupakan seorang ahli pencak silat yang cekatan dan gerak annya indah sekali.

   Dia tidak hanya menguasai aliran ilmu pencak silat dari dalam Kerajaan Dhaha, bahkan dia telah pula mempelajari aliran dari pesisir kidul (pantai selatan), dan pernah pula dia berguru kepada seorang pendeta Buddhis Bangsa Cina yan merantau sampai ke Kediri, mempelajari ilmu silat yang amat cepat dan aneh, yang gerak-geriknya seperti gerak-gerik seekor monyet dan diberi nama Aji Wanoro Sekl (Kera Sakti). Selain itu, Gacak Wulung juga memiliki suatu ilmu yang amat buas, yang di beri nama Aji Gagak Rodra Gagak Buas, dengan loncatan-loncatan seperti terbang dan cakaran-cakaran yang mematikan.

   Ki Baka bersikap tenang. Dia belum pernah bertanding melawan jagoan ini, walaupun sudah lama dia mendengar nama besar Gagak Wulung sebagai seorang ahli pencak silai yang sukar dicari bandingnya. Orang ini bukan musuhnya, dan sesungguhnya, sudah bertahun-tahun dia sudah melenyapkan semua kebencian dari dalam hatinya sehingga dia tidak pernah punya musuh. Dia boleh saja dimusuhi orang karena hal itu merupakan urusan orang itu sendiri, akan tetapi dia tidak akan memusuhi orang lain. Gagak Wulung ini datang untuk merampas Ki Ageng Tejanirmala. Memang pada saat itu, tombak pusaka itu tidak berada padanya.

   Namun, bagaimanapun juga, dia harus mencegah pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang dari golongan hitam. Tombak pusaka itu tidak boleh sekali-kali disalah-gunakan orang. Ombak pusaka itu, seperti segala benda lain di dunia ini, dapat saja diselewengkan dan disalah-gunakan. Pijar bunga api dapat menghidupkan orang, dapat dipergunakan untuk memerangi kegelapan dan memasak makanan, memasak air dan sebagainya. Namun, pijar unga api itupun dapat saja disalahgunakan, dipergunakan untuk membakar rumah orang misalnya. Karena itu, dia harus mempertahankan Ki Ageng Tejanirmala dari sentuhan mereka yang menjadi hamba nafsu agar keagungan dan kesucian pusaka keramat itu tidak tercemar dan ternoda.

   "Hyaaaattt.......!"

   Tiba-tiba Gagak Wulung yang setapak demi setapak maju mendekat dengan jalan memutar untuk tiba di sebelah kiri Ki Baka, melakukan serangan pertama. Kakinya menendang dengan cepat, dengan tumit menyambar dan menghajar ke arah lambung Ki Baka.

   Yang diserai tidak menjadi gugup, melainkan menarik sikutnya ke belakang melindungi lambung dan menangkis tumit kaki lawan.

   "Bukk!"

   Kaki itu ditarik kembali dan ki tubuh Gagak Wulung sudah membalik, kedua lutut ditekuk dan dari bawah, tangannya menyambar ke atas, yang kiri mencengkeram arah perut, yang kanan menampar ke arah dagu. Gerakannya indah dan cepat, juga amat berbahaya karena kedua serangan itu dilakukan dengan dua tangan yang dipenuhi Aji Harta Jingga. Namun, Ki Bika dengan tenangnya meloncat ke belakang sehingga serangan gagal sama sekali.

   Gagak Wulung lalu mengeluarkan seruan parau seperti suara gagak marah, dan tubuhnya kini menyambar-nyambar dengan cepatnya, bagaikan seekor burung gagak kelaparan memperebutkan bangkai. Inilah Aji Gagak Rodra, semacam ilmu pencak silat dari golongan sesat yang dipelajari Gagak Wulung di pesisir kidul. Gerakannya, kacau balau akan tetapi justeru kekacauan ini yang membuat lawan menjadi bingung, disertai teriakan-teriakan parau dan empat buah kaki dan tangannya menyerang dari berbagai urusan.

   Dihujani serangan seperti itu, Ki Baka juga cepat memainkan Aji Bajradenta yang ampuh, disertai Aji Wandiro Kingkin yang membuat tubuhnya kokoh kuat. Setiap kali dia menangkis, nampak tubuh Gagak Wulung terpental. Orang ini kaget bukan main. Dia menambah tenaganya dan memancing dengan cengkeraman ke arah kepala.

   Ki Baka tidak memperdulikan pancingan ini, melainkan menyambut dengan tangkisannya. Dua tangan bertemu diudara, keduanya sama-sama mengerahkan aji kesaktian.

   "Dukkk......."

   Tubuh Gagak Wulung tergetar hebat dan diapun terdorong ke belakang, kedua kakinya terasa kehilangan kekuatan dan tanpa dapat dicegah lagi diapun jatuh berlutut.

   Marahlah Gagak Wulung. Dia mengeluarkan suara pekik nyaring dan kini tubuhnya meloncat ke atas, lalu dia menyerang dengan ilmu silat Wanoro Sekti yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat sekali. Ki Baka terkejut dan berusaha mengimbangi kecepatan lawan. Namun, dia kalah cepat dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, menangkis dan membalas, tetap saja dua kali dia terkena tamparan tangan lawan. sekali pada pundaknya dan sekali lagi pada dadanya.

   Ki Baka terhuyung dan merasa betapa dadanya nyeri, napasnya agak sesak, akan tetapi dengan pengerahan Aji Sari Patala, kekuatannya pulih kembali dan dia kini bersikap hati-hati sekali. Dia tahu bahwa ilmu silat yang dimainkan lawan ini cepat bukan main, sukar sekali diduga kemana perkembangannya. Oleh karena itu, diapun tidak banyak bergerak, melainkan berdiri dengan tenang namun penuh kewaspadaan dan setiap kali nampak bayangan lawan berkelebat dan tangan atau kaki lawan mencuat dalam serangan kilat, dia lalu menyambut dengan dorongan Bajradenta yang amat dahsyat. Akal ini berhasil baik sekali karena pada suatu ketika, sambutannya sedemikian dahsyatnya sehingga tubuh Gagak Wulung terlempar keluar sanggar pamujaan dan dia terbanting jatuh.

   Mukanya pucat sekali, napasnya memburu dan biarpun dia tidak terluka seperti halnya Ki Sardulo, namun jagoan Kediri ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, dan kalau lawannya menghendaki, dia dapat menghadapi bahaya maut.

   "Bukan main"

   Tiba-tiba terdengar pujian suara halus.

   "Ki Baka sungguh seorang pria yang jantan dan gagah perkasa, ganteng dan menarik. Agaknya seperti andika inilah penjelmaan Raden Gatutkaca dari Pringgadani"

   Ki Baka mengangkat muka memandang Wanita itu memang cantik, bukan kecantikan karena pulasan, melainkan memang pada dasarnya cantik dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Rambut itu seperti mahkota saja, ikal mayang dan hitam lebat, panjang terurai. sebagian menutupi bukit dada yang membusung padat, sebagian menutupi leher yang kulitnya halus kuning dan mulus, dengan anak rambut terikal di pelipis, sinom halus melingkar-lingkar di dahi, kacau dan tidak tersisir, namun sungguh menambah daya tarik yang menggetarkan jantung setiap orang pria. Wajahnya manis sekali, terutama pada mata dan mulutnya. Sepasang mata itu demikian jeli, demikian jernih, demikian tajam lirikannya. dengan dua ujung mata yang meruncing ke atas, mata penuh gairah dan penuh tantangan, seperti yang tampak pada mata wanita yang memang memiliki kehangatan dan gairah membara sejak dewasa.

   Lalu mulut itu. Bibir itu demikian hidup, seolah-olah memiliki nyawa tersendiri. seperti sepasang ular yang dapat bergerak-gerak menantang, sepasang bibir itu seolah dicipta untuk bercumbu, menjadikan madu asmara yang manis memabukkan. Bibir yang merah membasah, bergetar dan bergerak penuh undangan, kadang terbuka memperlihatkan kilatan gigi yang rata dan putih bersih dan kadang pula cukup lebar memperlihatkan rongga mulut yang merah penuh rahasia, dan ujung sebuah lidah yang merah jambon, yan menjilat-jilat tepian bibir dengan jilatan memikat.

   Seorang perempuan yang cantik, genit kewes, luwes membuat gemas dalam usia yang sukar diduga berapa, seperti tigapuluhan tahun lebih, perempuan yang matang segala-galanya, yang menjanjikan segala-galanya yang dapat diharapkan seorang laki-laki.

   "Ni Dedeh Sawitri........,"

   Kata Ki Baka dan dia menahan napas untuk melawan pengaruh yang memancar keluar dari diri wanita itu yang mengusik hatinya dan mulai membakar gairah kelakiannya. Diam-diam dia terkejut dan maklum bahwa ini bukan sewajarnya. Sudah lama dia dapat menidurkan naga gairah kelakiannya, akan tetapi mengapa kini tiba tiba saja naga itu bergerak menggeliat hendak bangun? Memang Ni Dedeh Sawitri ini cantik akan tetapi dia sudah sering melihat wanita yang lebih cantik lagi sebelumnya tanpa terpengaruh sedikitpun juga. Dan melihat betapa kerling mata dan senyum itu memang tidak sewajarnya. Tahulah dia bahwa tentu wanita ini seorang ahli yang memiliki semacam aji asihan, yaitu ilmu untuk memikat hati melalui kekuatan yang tidak wajar.

   "Hik-hik, andika memang seorang satria pandai mengingat wanita, Ki Baka. Baru berjumpa satu kali saja, engkau masih ingat kepadaku, masih ingat pula akan namaku"

   Kata wanita itu dan kini selagi bicara, tubuhnya ikut pula bicara. Tubuh yang padat dan matang, dengan lekuk lengkung sempurna, irama bagian dada dan pinggulnya sungguh mengandung daya tarik yang amat kuat, pinggangnya yang ramping itu seolah-olah dapat digerakkan bagaikan tubuh seekor ular saja. Melilit leher, pundak dan pinggul itu seperti tiga bagian yang disambung dengan penyambung yang lentur.

   "Ni Dedeh Sawitri, aku yakin bahwa kedatangan andika ini bukan sekedar hendak memuji-mujiku. Katakan saja dengan singkat, apa keperluanmu mengunjungiku? Untunglah selain andika, masih ada banyak orang lain yang malam ini berkunjung kepadaku. Andaikata tidak ada mereka dan hanya andika seorang yang datang........"

   "Hik- hik, kalau aku sendiri yang datang, jadi berduaan saja denganmu, bukan begitu?

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   hik, tentu akan asyik sekali, Ki Baka. Dan.... hemm, engkau memang menarik sekali, jantan dan di dalam hatiku seperti ada api membakar, mendatangkan kehangatan yang

   panas melihat dirimu...."

   Ucapan yang dikeluarkan dengan gaya yang khas, dengan suara khas berlagu daerah Parahyangan, sungguh merdu merayu dan memikat hati.

   "Bukan demikian maksudku, Ni Dedeh Sawitri. Andikapun tentu tahu bahwa kalau demikian keadaannya, aku tidak akan berani menerimamu. Nah, katakanlah, apakah andika ini datang dengan suatu maksud tertentu. Kelirukah dugaanku kalau andika datang untuk merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala pula?"

   Kembali wanita itu tertawa, sekali ini mulutnya terbuka lebih lebar sehingga nampak jelas deretan giginya, rongga mulutnya lidahnya.

   Sambil tertawa itu, Ni Dedeh Sawitri mengerahkan aji kesaktiannya, aji pengasihan yang disebut Aji Asmoro Limut. Ada pancaran aneh dari dalam dirinya, yang membuat jantung pria berdebar penuh pesona dan ia nampak selain cantik manis juga berhati sekali, Namun, diam-diam Ki Baka telah mengerahkan kekuatan hatinya untuk mencegah pengaruh itu dan ketika wanita itu tertawa dengan mulut terbuka agak lebar, ia melihat kekejaman tersembunyi di balik mulut yang terbuka itu, seperti mulut seekor ular yang siap untuk mencaplok mangsanya dan diapuan bergidik. Perempuan ini sungguh jauh lebih berbahaya dari pada dua orang yang tadi menyerangnya.

   "Ki Baka, ucapanmu memang benar sekali. seorang wanita adalah mahluk lemah yang perlu sekali dilindungi, bukan? Oleh karena aku sungguh amat membutuhkan Tejanirmala untuk menjadi pelindungku. Engkau tahu, di dunia ini banyak sekali manusia jahat, aku sebagai wanita lemah, sangat membutuhkan pusaka itu untuk menyelamatkan diri. Dan aku percaya, seorang laki-laki jantan perkasa seperti andika tentu akan selalu mengalah selalu mengalah terhadap wanita lemah. Ki Baka, serahkanlah Ki Ageng Tejanirmala kepadaku, dan selama hidupku, aku, Ni Dedeh Sawitri tidak akan melupakan Ki Baka"

   "Hemm, andika segolongan dengan mereka, dan biarpun perempuan, andika memiliki kepandaian tinggi, cukup untuk berjaga dan membela diri, bahkan sisanya terlampau banyak untuk andika pergunakan menyebar malapetaka kepada orang lain. Ki Ageng Tejanirmala juga tidak jodoh dengan andika, Dedeh Sawitri, dan karena pusaka itu tidak berapa padaku, maka akupun tidak dapat menyerahkannya kepadamu.

   Senyum lebar yang menghias wajahnya itu, perlahan-lahan berubah. Mula-mula kelihatan wajah itu penuh keraguan dan keheranan, agaknya wanita itu merasa heran dan penasaran bagaimana ilmunya yang biasanya amat ampuh, yaitu Aji Asmoro Limut, kini tidak mempan terhadap Ki Baka. Bukttinya, pria itu tidak kelihatan tertarik, bahkan tidak kelihatan menurut atau memenuhi permintaannya. Senyum itu makin menghilang seperti awan tipis terbawa angin dan alis yang hitam kecil melengkung itu mulai berkerut, sepasang mata yang tadinya jeli dan ramah itu kini nampak mencorong penuh kemarahan, mulut yang tadinya tersenyum berubah cemberut.

   "Ki Baka, apakah engkau sudah bosan hidup dan memilih mati dari pada menyerahkan pusaka itu kepadaku?"

   Bentak wanita itu marah.

   "Tidak ada manusia yang berhak memilih mati atau hidup, Ni Dedeh Sawitri, namun dia dapat memilih antara jalan hidup yang benra dan jalan hidup yang salah. Dan aku memilih kebenaran"

   "Keparat, kalau begitu akulah yang akan membunuhmu dan mengirim nyawamu ke neraka"

   Bentak wanita itu dan iapun sudah menggerakkan kakinya dan tubuhnya sudah berkelebat kedepan Ki Baka dengan gerakan yang amat cepat seperti burung terbang saja.

   Wanita itu kini menggerakkan kedua lengannya, saling bersilang naik turun dan dua tangannya dibuka, jari-jari ditegangkan dan terdengarlah suara mendesis dan dari kuku-kuku sepuluh jarinya yang panjang meruncing itu keluarlah uap hitam dengan bau yang amis. Itulah Aji Sarpakenaka yang amat mengerikan karena setiap kuku jari tangan itu mengandung kekuatan dahsyat dan racun yang amat berbahaya. Jangankan sampai tergurat atau tergores sehingga kulit terluka berdarah, yang tentu akan membuat lawan tewas seketika seperti dipagut ular kobra, bahkan baru tercium saja bau amis itu sudah cukup membuat lawan menjadi pening kepala dan sukar untuk melakukan perlawanan.

   Selain Aji Sarpakenaka yang amat jahat itu, juga Ni Dedeh Sawitri menguasai pencak silat Parahyangan yang gerakannya cepat dan tangkas. Setelah semua tenaga Aji Sarpakenaka terkumpul di kedua tangannya dan berpusat di kuku jari tangan, wanita itu mulai menyerang dengan kedua tangan mencakar-akar, seperti seekor harimau menyerang. Gerakannya cepat sekali, dan serangannya bertubi-tubi.

   Ki Baka maklum akan kehebitan ilmu wanita ini, maka diapun tidak berani memandang rendah. Begitu lawan mengerahkan Aji Sarpakenaka, dia sudah menahan napas dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk melindungi diri dari hawa beracun, dan ketika Ni Dedeh Sawitri menyerang, diapun cepat meloncat ke samping, mengelak. Ni Dedeh Sawitri menyerang terus, mengejar kemanapun lawan melompat untuk menghindarkan diri dan semakin lama, serangannya menjadi semakin gencar, makin cepat dan kuat bagaikan gelombang lautan. Namun, kini Ki Baka tidak hanya mengelak saja, melainkan juga menangkis.

   Kedua lengannya sudah terlindung oleh tenag sakti Aji Sari Patala (Inti Bumi) dan denga Bajradenta dia berani pula menangkis dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang sakti itu. Tetapi seperti yang sudah diduganya, wanita ini memang hebat dan sakti, jauh lebih tangguh dibandingkan dua orang lawan sebelumnya.

   "Plakkkl"

   Ketika Ki Baka menangkis dengan kuatnya sehingga tubuh lawan agak terhuyung ke belakang, tiba-tiba Ki Baka merasa betapa kulit lengan kirinya gatal-gatal. Dia cepat melihat dan terkejutlah dia karena ada tanda merah jingga pada kulit lengan kirinya. Teringatlah dia akan perkelahiannya melawa Gagak Wulung tadi. Jelaslah bahwa tanda merah jingga ini merupakan bekas tapak tangan Gagak Wulung yang menggunakan Aji Hasta Jingga tadi.

   Kiranya, biarpun dia keluar sebagai pemenang, ada bekas tangan beracun itu. di kulit lengan kirinya dan sekarang baru rasa setelah berkali-kali dia beradu tenaga dengan Ni Dedeh Sawitri.

   "Celaka....."

   Keluhnya dalam hati. Pengaruh racun itu amat berbahaya, kalau dia tidak dapat mengobatinya dengan jalan mengatur pernapasan. Akan tetapi pada saat itu, tidak mungkin dia mengobati luka beracun itu. Ni Dedeh Sawitri sudah menyerang lagi.

   'Siuuuuutt........ wuuttt......."

   Dua kali cairan lewat dekat lehernya, membuat Ki Baka cepat mencurahkan perhatiannya. Kalau dia lengah dan terkena goresan kuku beracun itu, akan celakalah dia.

   Agaknya, Gagak Wulung juga tahu akan kebingungan Ki Baka. Tiba-tiba dia meloncat dalam sanggar pamujan yang kini menjadi gelanggang perkelahian itu dan dia tertawa.

   "Hahaha, Ni Dedeh Sawitri yang manis, yang jelita, mari kubantu merobohkan Ki Baka yang sombong ini!"

   Dan diapun sudah menerjang dan mengeroyok Ki Baka yang terpaksa harus meloncat pula ke samping.

   "Cih, laki-laki tak bermalu. Siapa sih yang ingin kaubantu?"

   Ni Dedeh Sawitri membentak. Akan tetapi Gagak Wulung hanya tertawa dan melanjutkan pengeroyokannya. Pada saat itu Ki Sardulo juga meloncat masuk dan ikut pula mengeroyok tanpa banyak cakap lagi.

   Muncul pula tiga orang lain yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Mereka adalah tiga orang yang bersenjatakan clurit, yaitu arit Madura panjang melengkung.

   Melihat kumis mereka, pakaian mereka yang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Madura, kemudian senjata clurit mereka, Ki Baka maklum siapakah tiga orang itu. Tentulah jagoan-jagoan dari Madura yang terkenal dengan julukan mereka, yaitu Clurit Lemah Abang.

   Clurit Lemah Abang ini nama sebuah perkumpulan atau gerombolan yang pernah menjagoi di pantai Madura, kemudian mereka itu ikut terpukul ketika pasukan Singasari menyerbu ke Madura dan menaklukkan pulau itu.

   Dikeroyok oleh enam orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, Ki Baka yang sudah terluka oleh Aji Hasta Jingga, menjadi repot juga. Apa lagi tiga orang jagoan Madura itu adalah pimpinan gerombolan Clurit Lemah Abang. Permainan senjata clurit mereka berbahaya sekali dan nampaklah tiga sinar putih bergulung-gulung, bagaikan tiga ekor ular yang menyambar-nyambar.

   Namun, sedikitpun tidak ada perasaan gentar di dalam hati Ki Baka. Dia pantang mundur dan mengamuk, bagaikan Sang Gatutkaca mengamuk ketika dikeroyok oleh bala Kurawa yang licik dan curang. Tubuhnya yang kokoh kuat itu bergerak ke sana-sini menyambut serangan setiap orang pengeroyok, gelung rambutnya terlepas sehingga rambut itu riap-riapan menambah kegagahannya, seolah-olah setiap helai rambut ikut pula mengamuk membela diri. Karena para pengeroyoknya bukan orang orang lemah dan tingkat kepandaian mereka hanya sedikit di bawah tingkatnya, maka tentu saja Ki Baka tidak terhindar dari hantaman mereka. Bahu kiri dan paha kanannya berdarah, kulitnya robek oleh sabetan clurit, pundak kanannya juga nampak menghitam karena pukulan suling Ki Sardulo, dan yang amat mencemaskan hatinya adalah goresan kecil pada punggungnya oleh kuku jari tangan Ni Dedeh Sawitri. Dia merasa betapa luka-luka itu mendatangkan kenyerian yang menyusup ke tulang, dan kepalanya mulai pening akibat luka beracun, gerakannya mulai kacau, namu tak sedikitpun keluhan pernah keluar dari mulutnya dan semangat perlawanannya tak pernah mengendur sedikitpun juga.

   Bagaimanapun juga, keadaan Ki Baka sudah gawat sekali. Agaknya, tidak lama lagi dia tentu akan roboh juga. Berulang kali para pengeroyoknya membujuknya agar menyerahkan tombak pusaka itu, namun dia tidak pernah menjawab dengan kata-kata, melainkan menjawab bujukan mereka dengan pukulan dan tendangan.

   Pada saat itu, terdengarlah suara orang bertembang mocopat. Tembangnya Sekar Pangkur dan biarpun suara itu lirih namun kata-katanya jelas terdengar semua orang yang sedang berkelahi itu.

   "Kawaca raras kawuryan

   miwah mundi savadibya umingis

   ing mangka punika tuhu

   aling-alinging anggo

   nanangi hardanning kacing hawa napsu

   manawi sampun anggreda

   dadya rubeda ngribedhi

   Hardaning kang panca Indra

   pan kuwasa amangreh kanang diri

   engrubeda mrih tan lulus

   saged rumesep ing tyas

   arnulita ing dria pamrih kepencut

   anilepken kawaspadan

   lir tiang ningali ringgit"

   (Kalian menyukai baju perang dan membawa senjata terhunus, padahal semua itu menghalangi kebenaran dan membangkitkan hawa nafsu, kalau dibiarkan berlarut-larut akan menjadi penghalang yang merepotkan.

   Rangsangan panca indera sepenuhnya menguasai diri pribadi, menjadi penghalang yang menggagalkan, menyusup ke dalam batin sanubari, mempengaruhi kepribadian memikat diri, melenyapkan kewaspadaan, bagaikan orang nonton wayang)

   Tembang itu biasa saja dan sederhana. namun semua orang terkejut karena suara yang lirih dan lembut itu seolah-olah mempunyai daya sedot yang menghisap tenaga sakti yang mereka kerahkan dalam perkelahian itu. membuat mereka semua merasa lemas seolah-olah semua tenaga mereka habis dan barulah mereka masing-masing menyadari betapa lelah dan lemasnya tubuh mereka akibat perkelahian itu. Dengan sendirinya mereka menghentikan serangan, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan tenaga dan menghilangkan kelelahan dan pada saat itu, Ki Baka yang sudah lelah dan pening, terhuyung dan dia tentu akan roboh kalau saja pada saat itu tidak ada sebuah tangan yang menangkap lengannya.

   (Lanjut ke Jilid 02)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 02

   Ki Baka mengangkat muka, melihat bahwa yang menangkap lengannya adalah seorang kakek tua renta yang memakai kain pengikat kepala berwarna putih, juga mukanya putih seperti muka mayat penuh keripu tanda usia tua, dengan rambut, jenggot dan kumis yang sudah berwarna kelabu.

   

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Keris Pusaka Sang Megatantra Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini