Sejengkal Tanah Percik Darah 12
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengerikan. Biarpun Nurseta seorang pemuda gemblengan yang gagah perkasa, mau tidak mau dia merasa tengkuknya dingin mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa wanita, atau lebih tepat lagi, suara ketawa iblis betina!
"Hlhi hik hehheh, laki-laki iblis, engkau datang mengantar nyawa, hi hik!"
Dan Tiba-tiba saja ada angin menyambar dari dalam goa. Untung Nurseta bersikap waspada, maka dengan cepat dia dapat mengelak kekiri lalu ke kanan ketika dua buah batu sebesar buah kelapa itu menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi, begitu sambitan yang amat kuat itu luput, kini dari dalam goa itu meloncat sesosok tubuh yang membawa sebatang bambu runcing dan orang itu menyerangnya dengan tusukan-tusukan dahsyat sekali!
Nurseta terkejut. Kini matanya sudah terbiasa dengan keremangan dalam goa itu dan dia melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian adalah storang wanita! Seorang wanita setengah tua, berusia empatpuluh lebih sedikit, dan biarpun wanita itu berpakaian buruk dan lusuh, dengan rambut panjang riap-riapan, namun wajah itu cantik. Dan serangan dengan tusukan-tusukan bambu runcing itupun aneh dan berbabahaya sekali, gerakannya cepat dan bertubi-tubi. Sungguh. merupakan gerakan silat merepergunakan senjata bambu runcing yang amat dahsyat, dan untungnya dia melihat bahwa tenaga yang terkandung dalam serangan-serangan itu tidak begitu kuat. Oleh karena itu, setelah mengelak dengan berloncatan ke sana-sini untuk beberapa lamanya, Tiba-tiba dia berhasil menangkap bambu runcing itu dan dengan pengerahan tenaganya, dia mencengkeram dan wanita itu tidak mampu menggerakkan senjatanya lagi.
"Maafkan, bibi. Akan tetapi, aku bukan musuhmu!"
Katanya sambil memandang tajam.
Setelah kini tidak bergerak menyerang, wanita itu terbelalak memandang dengan matanya yang bagus, dan agaknya ia terkejut melihat bahwa yang diserangnya itu seorang pemuda tampan, bukan musuh yang ditunggu dan amat dibencinya selama bertahun-tahun ini.
"Ahh........ engkau bukan dia........ kau ......kau siapakah, orang muda? Dan bagaimana
engkau dapat tiba di sini.......? Hemm, engkau tentu kaki tangannya! Engkau tentu datang karena diutus olehnya!"
Dan wanita itu mencoba untuk menarik kembali bambu runcingnya. Akan tetapi Nurseta tetap memegang ujungnya sehingga wanita itu tidak mampu menarik lepas. Sejenak wanita itu memandang heran.
"Kau........ kau siapakah dan mau apa datang ke sini?"
Akhirnya ia bertanya, wajahnya memperlihatkan kecemasan,
"Bibi yang baik, tenanglah, bibi, Saya bukan orang jahat, bukan musuh bibi, dan saya dapat tiba di goa ini karena kebetulan saja. Saya terjatuh dari atas tebing sana, bibi......."
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, ketawa dan melihat sikapnya, tahulah Nurseta bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang tidak waras atau yang agak miring otaknya! Wanita ini amat menderita, dan agaknya guncangan batin membuat ia menjadi gila atau setidaknya, dalam keadaan tidak waras. Timbul perasaan iba di hatinya terhadap wanita ini.
"Hihihik, jatuh dari atas sana? Dan engkau tidak mati, akan tetapi dapat sampai ke sini? Aneh....... hehheh, aneh......"
"Memang kedengarannya aneh, bibi, akan tetapi apakah keanehannya kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki demikian? Buktinya, bibi sendiripun dapat berada di sini dalam keadaan selamat. Ketika terjatuh, aku tersangkut pada pohon di sana itu, lalu dapat merayap ke sini dengan selamat"
"Tapi, kenapa engkau bisa terjatuh dari atas? Apakah engkau hendak bunuh diri?"
Tiba-tiba sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar iba sehingga Nurseta merasa terharu. Bagaimanapun juga, pada dasarnya hati wanita di depannya ini baik.
"Tidak, bibi. Aku dipaksa orang sampai terjatuh, diserang dan terluka pundakku......."
"Hemm, dunia memang kotor, banyak dikotori manusia-manusia jahat! Siapa yang menyerangmu sampai engkau jatuh dari atas tebing, orang muda? Siapa dia yang jahat itu?"
"Dia bernama Ki Cucut Kalasekti........."
Tiba-tiba wanita itu melepaskan bambu runcingnya dan melompat ke depan goa sambil menjerit, mengejutkan hati Nurseta.
"Dia! Siapa lagi kalau bukan dia yang sejahat itu! Iblis busuk, manusia jahanam dia itu. Akan kubunuh engkau, Cucut Kalasekti ........!"
Dan Tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak.
Nurseta menarik napas panjang. Agaknya Ki Cucut Kalasekti pulalah musuh wanita ini, dan mungkin sekali kakek jahat itu yang membuat wanita ini sengsara di tempat ini. Kini wanita itu telah berhenti menangis dan ketika wanita itu menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, dan karena ia berdiri di depan goa sehingga mukanya tertimpa sinar matahari pagi, Nurseta dapat melihat wajahnya dengan jelas dan diapun tercengang.
"Kau.......!"
Tanpa disadarinya mulutnya berseru dan matanya terbela!ak memandang wajah wanita itu.
Wanita itu balas memandang dengan heran, lalu menghampiri.
"Orang muda, apa maksudmu?"
Agaknya kini pikirannya sudah waras kembali.
Nurseta menyadari kekeliruannya.
"Maaf, bibi akan tetapi aku........ rasanya pernah melihat bibi, pernah mengenal bibi, entah di mana......."
Wanita itu mengerutkan alisnya dan mengamati wajah Nurseta, lalu menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin. Aku tidak pernah melihatmu, dan berapa sekarang usiamu?"
"Duapuluh satu tahun, bibi"
"Dan aku sudah sepuiuh tahun berada di sini, di neraka ini. Ketika aku masuk ke sini, engkau baru berusia sebelas tahun, bagaimana mungkin bertemu dengan aku? Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat bertentangan dengan Cucut Kalasekti sehingga engkau terlempar jatuh dari atas tebing itu"
Mereka duduk di mulut goa, Nurseta bersila di atas lantai dan wanita itu duduk di atas sebuah batu, saling berhadapan. Nurseta masih mengamati wajah itu dengan penuh keheranan karena wajah wanita itu sungguh tidak asing haginya.
"Begini, bibi, pagi tadi saya sedang bicara dengan ......"
Tiba-tiba dia terbelalak menatap wajah wanita itu karena sekarang dia teringat.
"Bibi ........wajah bibi ....... serupa benar dengan diajeng Wulansari........!!"
Tiba-tiba wajah wanita itu menjadi pucat, matanya terbelalak dan iapun menangkap lengan tangan Nurseta. Dicengkeramnya lengan itu, akan tetapi Nurseta mengerahkan tenaga dan karena tenaga wanita itu memang tidak berapa kuat baginya, dia mampu bertahan, dan tetap siap siaga dan waspada kalau-kalau wanita yang setengah gila ini kumat lagi gilanya.
"Wulansari.......? Kaukenal Wulansari ......? Ia.........ia anakku ........ ohhh, Wulan anakku
......."
Dan wanita itu menangis lagi, terisak-isak ia menangis dengan sedihnya. Nurseta menjadi bengong pula, Kalau wanita ini ibu kandung Wulansari, dan agaknya hal ini tidak diragukan kebenarannya melihat persamaan wajah antara mereka, lalu berarti wanita ini puteri Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakek Wulansari. Akan tetapi mengapa wanita ini begitu membenci Cucut Kalasekti? Dia membiarkan wanita itu menangis dan akhirnya tangis itupun terhenti,
"Engkau mengenal anakku Wulan? Ah, orang muda, ceritakan padaku, bagaimana ia sekarang? Bagaimana rupanya? Apakah ia sudah besar dan selamat?"
Wanita itu mendekat dan duduk di depan Nurseta. Pemuda ini Diam-diam merasa heran. Wanita ini berpakaian kumal dan rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya nampak bersih dan tidak mengeluarkan bau apak.
"Ia sudah dewasa, bibi, dan ia........ ia cantik sekali, wajahnya mirip dengan wajah bibi. Ia manis dan sederbana, kulitnya kuning, matanya tajam seperti mata bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya indah sekali. Ada lesung pipit di sebelah kiri mulut, dan di atas pipi kanan ada sebuah tahi lalat kecil"
"Benar, benar! Ia anakku Wulan, memang sejak kecil mirip sekali dengan aku. Orang muda yang baik, kau ceritakanlah, bagaimana engkau bertemu dengan Wulan, dan bagaimana pula riwayatnya........ ah, ceritakanlah, aku berterima kasih sekali padamu......"
Kini wanita itu nampak waras dan dari pandang matanya, suaranya, terkandung permohonan.
Nurseta mengangguk-angguk, merasa kasihan sekali kepada wanita ini.
"Begini ceritanya, bibi. Sepuluh tahun yang lalu, diajeng Wulansari diselamatkan oleh Ki Jembros ketika perahu yang ditumpanginya terbalik di lautan. Ki Jembros membawa diajeng Wulansari kepada Eyang Panembahan Sidik Danasura yang berhasil mengobatinya, akan tetapi biarpun diajeng Wulansari sembuh, namun ia kehilangan ingatannya. Yang diingat hanya namanya saja, yaitu Wulansari. Ia tidak ingat lagi dari mana, siapa keluarganya dan mengapa perahunya terbalik"
"Ahhh....... Wulansari anakku, sungguh kasihan sekali engkau......"
Wanita itu menyusut air matanya yang jatuh berderai mendengar akan kemalangan puterinya.
"Maaf, orang muda, masfkan kelemahanku, dan lanjutkanlah ceritamu tentang anakku"
"Setelah ia menjadi murid Eyang Panembahan Sidik Danasura selama lima tahun, yaitu ketika ia berusia limabelas tahun, saya bertemu dengan diajeng Wulan ketika saya datang berkunjung ke padepokan Eyang Panembahan. Dan pada saat itu, dari laut muncul Ki Cucut Kalasekti yang mencilik diajeng Wulansari........"
"Ah, si keparat! Si jahanam busuk, iblis betupa manusia!"
Wanita itu mengepal kedua tangannya dan memaki-maki.
"Maaf, bibi, akan tetapi dia mengaku sebagai kakek dari diajeng Wulansari......."
"Kakek apa? Dia bohong besar! Ah, kasihan anakku Wulan, dalam keadaan kehilangan ingatan, ia tertipu dan terbujuk oleh iblis busuk itu"
"Akan tetapi, bibi, diajeng Wulansari agaknya disayang oleh kakek itu, bahkan menjadi muridnya yang sakti"
"Celaka........celaka........ anakku. Sudahlah, lanjutkan ceritamu tadi, orang muda"
"Ki Cucut Kalasekti menculik diajeng Wulansari, saya hendak mencegah akan tetapi ketika itu saya bukanlah lawannya dan saya dirobohkan, diajeng Wulansari dilarikan melalui lautan, Keinudian, tidak ada kabar ceritanya tentang diajeng Wulansari sampai empat tahun kemudian, saya beberapa kali bertemu dengan diajeng Wulansari"
Nurseta menceritakan tentang kemunculan Wulansari sebagai seorang gadis yang sakti, bahkan kemudian gadis itu merampas tombuk pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
"Dan pagi ini, saya datang untuk meminta kembali tombak pusaka itu dari diajeng Wulansari....."
"Nanti dulu, orang muda. Engkau menyebat diajeng kepada anakku, dan nampaknya engkau amat akrab dengannya. Sampai berapa jauh perhubungan antara kaliau?"
"Bibi, kami...... kami saling mencinta"
Jawab Nurseta sejujurnya.
"Ah.......! Ahh........! Anakku......... aku girang sekali, aku setuju, engkau anak baik!"
Wanita itu tiba tiba merangkul din Nurseta diam saja walaupun hatinya merasa tegang. Wanita itu lalu melepaskan rangkulannya dan mengamati wiijah Nurseta.
"Eit kau tampan dan gagah. Siapakah uamumu, nak?"
"Nama saya Nurseta, kanjeng bibi"
Katanya penuh hormat.
"Nurseta, nama yang bagus! Dan siapakah orang tuamu, Nurseta?"
"Ayah saya Pangeran Panji Hardoko, sudah meninggal dunia.......
"
"Pangeran Panji Hardoko dari Kediri? Jadi engkau orang Kediri, anakku?"
Nurseta mengangguk.
"Namun sejak kecil sekali saya dipelihara dan dididik sebagai anak angkat oleh Ayah Ki Baka, seorang kawula Singosari yang setia. Karena itu saya menganggap diri saya juga kawula Singosari"
Jawab pula Nurseta dengan sejujurnya.
JAWABAN itu agaknya menyenangkan hati wanita itu, la mengangguk-angguk lalu bertanya.
"Dan bagaimana engkau sampai dapat terjatuh dari atas tebing?"
"Saya datang mencari diajeng Wulansari untuk minta kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala yang tadinya milik ayah angkat saya. Di atas tebing itu, dan muncullah Ki Cucut Kalasekti vang menyerang saya dengan senjata rahasia, Pundak kanan saya terkena dan saya terjatuh ke bawah tebing. Hyang Maha Wisesa agaknya belum menghendaki saya mati, maka saya dapat meraih dahan pohon di sana itu, kemudian melihat goa ini dan saya berhasil merayap ke sini, kanjeng bibi"
Nurseta tidak berani bercerita tentang perkelahiannya dengan Wulansari karena dia tidak dapat melamar gadis itu, Wanita ini sedang mengalami guncangan batin, kalau sampai mendengar itu lalu marah mungkin akan kambuh kembali penyakitnya. Maka dia merasa lebih baik kalau tidak diceritakannya hal itu.
"Aih, anakku. Engkau terluka? Coba aku melihatnya!"
Wanita itu lalu mendekat dan memeriksa luka di pundak kanan Nurseta. Luka itu kini nampak menghitam.
"Wah, kau terluka oleh senjata rahasia Sisik Nogo yang beracun. Kau tahankan nyerinya, benda itu barus dikeluarkan dan akan kuberi obat penolak racun"
Berkata demikian, wanita itu menggunakan jari-jari tangannya untuk memijat di kanan kiri luka itu. Perasaan nyeri hebat menusuk sampai ke tulang sumsum, namun Nurseta mematikan rasa dan menahan rasa nyeri.
"Hebat, engkau memang gagah perkasa, patut menjadi mantuku"
Wanita itu memuji setelah berhasil mencabut keluar benda sebesar kuku ibu jari kaki itu. Darah menghitam keluar dari luka dan wanita itu lalu masuk ke dalam goa, keluar lagi membawa sebuah botol tanah liat. Dituangkannya semacam minyak tanah ke luka itu, digosok-gosok sampai rata.
"Nah. racun itu tidak akan menjalar masuk dan sedikit demi sedikit dapat dikeluarkan melalui pijitan. Juga akan kumasakkan jamu untukmu"
"Terima kasih, kanjeng bibi. Saya kira sudah cukup, dan dengan samadhi dan mengumpulkan hawa sakti, saya akan dapat mendorong keluar racun itu sedikit demi sedikit"
Wanita itu mengangguk angguk.
"Engkau memiliki keberanian dan juga ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi agaknya masih belum mampu menandingi iblis tua itu, anakku. Karena itu, selagi engkau di sini dan belum ada kesempatan keluar dari tempat ini, engkau berlatihlah ilmu-ilmu yang telah kau kuasai agar mahir benar. Kecuali itu, selama sepuluh tahun lebih ini, aku telah menciptakan ilmu bela diri yang berdasarkan ilmu tombak yang pernah kupelajari dari suamiku dahulu, dengan mempergunakan bambu yang tumbuh di bagian dalam goa ini, Ilmu ini kunamakan Aji Tombak Bambu Runcing.
"Ada rumpun bambu tumbuh di dalam, kanjeng bibi?"
Nurseta bertanya heran.
Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Baru sekali ini tersenyum dan Nurseta teringat akan wajah Wulansari.
"Goa ini merupakan terowongan panjang dan di sebelah dalam luas sekali, anakku. Ada bagian terbuka di belakang, dan karena matahari dapat masuk dari situ, maka banyak pohon tumbuh di sana, di antaranya rumpun bambu kuning, pohon pisang dan juga beberapa pohon obat-obatan.
Ada pula air tawar mengalir dari celah-celah batu, tiada hentinya. Airnya jernih sekali, Mari, mari kita lihat-lihat keadaan di dalam sana"
Nurseta bangkit dan mengikuti wanita itu masuk Ternyata goa itu merupakan terowongan dan di sebelah dalamnya luas sekali dan ada pula bagian terbuka yang luas sehingga di situ ditumbuhi banyak pohon, karena ada tanah yang cukup tebal di lantainya, Sayang bahwa bagian terbuka ini terkurung batu karang yang lurus ke atas, tak mungkin dipanjat karena tingginya, dan ke bawah juga merupakan jalan mati. Di bawah sana, setinggi pohon kelapa, hanya nampak air laut dan batu batu tajam meruncing !
"Dari buah pisang dan daun daun pohon, juga tanaman-tanaman ini aku hidup. Ada kalanya dapat kutangkap burung camar yang kadang-kadang kesasar ke tempat ini. Dan lblis tua itu meninggalkan banyak bibit tanaman obat dan pohon buah"
Nurseta memandang kepada wanita itu. Pada waktu itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasuki bagian terbuka itu sepenuhnya.
"Kanjeng bibi maksudkan bahwa Ki Cucut Kalasekti pernah ke sini?"
Wanita itu mengangguk.
"Kau kira siapa yang meninggalkan aku di neraka ini? Ah, benar, engkau belum mengetahui siapa aku, kecuali bahwa aku adalah ibu kandung Wulansari, dan bagaimana aku dapat berada di neraka ini. Mari, Nurseta, mari kita duduk di petak rumput itu, dan kau dengarkan ceritaku"
Wanita itu lalu menceritakan riwayatnya. Wanita yang usianya empatpuluh dua tahun itu bernama Warsiyem, cantik berkulit kuning mulus, dan ia adalah isteri seorang laki-laki gagah perkasa bernama Ki Medang Dangdi. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, suaminya, Ki Medang Dangdi berpamit kepadanya, meninggalkan ia dan anak mereka Wulansari, untuk pergi merantau ke Singosari mencari pekerjaan. Ketika itu mereka tinggal di sebuah dusun di daerah Blambangan. Maklum bahwa suaminya adalah seorang satria yang jngin menyumbangkan tenaganya kepada kerajaan besar itu, Warsiyem menyetujui dengan janji bahwa kalau suaminya sudah memperoleh pekerjaan, ia dan puterinya akan dijemput dan diboyong ke Singosari.
Akan tetapi, malapetika tiba dua bulan semenjak kepergian suaminya. Warsiyem terkenal sebagai bunga dusun itu, cantik manis dan pada waktu itu, usianyapun baru tigapuluh dua tahun. Maka, sepeninggal suaminya, tidak mengherankan kalau banyak pria yang gandrung kepadanya. Hanya, para pria itu tidak berani sembarangan mengganggunya. Mereka mengenal siapa Warsiyem. Isteri Ki Medang Dangdi yang gagah perkasa dan mereka tahu pula bahwa wanita itu sedikit banyak telah mempelajari ilmu pencak silat dari suaminya.
Akan tetapi, muncullah Ki Cucut Kalasekti yang kebetulan lewat di dusun itu. Dan datuk kaum sesat ini mendengar akan kecantikan Warsiyem yang ditinggal suaminya, hanya hidup berdua bersama Wulansari, seorang anak perempuan yang baru berusia kurang lebih sepuluh tahun. Di antara semua perbuatan jahat yang tidak dipantangnya, mempermainkan wanita cantik adalah satu di antara kesukaan Ki Cucut Kalasekti. Akan tetapi tidak serabarang wanita dia suka, harus yang pilihan. Maka, mendengar akan kecantikan Warsiyem, diapun datang berkunjung untuk membuktikan sendiri kabar yang didengarnya. Dan begitu bertemu dengan Warsiyem, Ki Cucut Kalasekti pun terpesona. Entah mungkin karena kecocokan selera, namun diam-diam dia mengakui bahwa selama hidupnya, belum pernah dia tergila-gila kepada wanita lain seperti ketika dia melihat Warsiyem. Langsung saja dia melamar, tidak perduli bahwa wanita itu bukan seorang janda, melainkan isteri orang yang baru ditinggal pergi suaminya mencari pekerjaan.
Warsiyem, sebagai isteri seorang satriya tentu saja sudah pernah mendengar akan nama besar Ki Cucut Kalasekti yang tersohor itu, maka iapun bersikap lembut kepada kakek yang pada waktu itu berusia sekitar enampuluh tahun.
"Harap Paman Cucut Kalasekti suka memaafkan saya"
Katanya lembut.
"sesungguhnya saya masih bersuami. Suami saya adalah Ki Medang Dangdi yang kini sedang merantau ke Singosari untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu, harap paman suka menaruh kasihan kepada kami ibu dan anak dan mencari piHhan wanita lain yang bebas"
"Brakkkk!"
Sekali tangan kirinya menghantam, meja di depannya hancur berkeping-keping dan Ki Cucut Kalasekti bangkit berdiri, menudingkan telunjuknya penuh ancaman kepada Warsiyem.
"Heh, perempuan, dengar baik-baik. Biasanya, setiap kali tertarik kepada seorang wanita, aku langsung membawanya pergi dan memaksanya untuk melayani aku, mau atau tidak, baik dia isteri orang atau bukan! Akan tetapi kepadamu aku tidak melakukan kekerasan itu, hanya karena aku cinta padamu! Aku ingin engkau membalas cintaku, menyerah dengan suka rela. Suamimu, Ki Medang Dangdi, pergi ke Singosari untuk menjadi pengkhianat, menghambakan diri kepada raja lain. Kelak kalau bertemu dengan aku, pasti dia akan kubunuh! Nah, anggap saja suamimu sudah mampus, engkau menjadi janda dan menjadi isteriku!"
Biarpun diancam, Warsiyem tidak memperlihatkan rasa takut.
"Maaf, Paman Cucut Kalasekti, akan tetapi aku adalah seorang isteri yang setia kepada suami, juga seorang ibu yang menjaga nama dan kehormataa keluargaku. Aku tidak mungkin dapat menerima keinginan hatimu, paman"
"Keparat! Berani engkau menolak pinangan Cucut Kalasekti? Apa kau ingin aku marah dan membunuh seluruh warga dusun ini, dan memaksamu menjadi isteriku? Dengar, aku memberi waktu tiga hari. Tiga hari lagi aku datang ke sini dan engkau harus siap untuk menyerahkan diri menjadi isteriku dengan suka rela. Kalau engkau tetap menolak, aku akan bunuh puterimu ini dan menyeret kau pergi bersamaku dari sini!"
Setetah berkata demikian, Ki Cucut Kalasekti meninggalkan tempat itu.
Gegerlah penduduk dusun itu mendengar ancaman Kt Cucut Kalasekti itu. Mereka semua menganjurkan agar Warsiyem dan puterirnya segera pergi saja dari dusun itu, pertama untuk menyelamatkan diri mereka berdua, dan kedua untuk membebaskan penghuni dusun itu dari ancaman K Cucut Kalasekti.
Akan tetapi, Warsiyem menggeleng kepalanya dengan sedih.
"Siapa yang mampu melarikan diri dari seorang sakti mandraguna seperti Cucut Kalasekti? Ke manapun aku melarikan diri dengan anakku, pasti dia akan dapat menyusul dan menangkap aku. Yang penting adalah keselamatan puteriku. Asal anakku selamat, aku tidak takut menghadapi ancamannya. Matipun aku tidak takut asal anakku selamat"
Warsiyem lalu memanggil adiknya, seorang laki laki berusia duapuluh lima tahun yang masih belum berkeluarga, lalu minta tolong kepada adiknya itu untuk membawa Wulansari lari ke barat.
"Bawalah ia dengan perahu, lebih aman melarikan din dengan perahu di sepanjang pantai, jauh lebih aman dari pada iari melalui darat. Dan bawalah ia mencari ayahnya di Singosari"
Demikian pesannya. Sarjito, adik laki-laki itu, lalu berangkat membawa Wulansari. Dia seorang nelayan yang pandai, akan tetapi dia harus bekerja keras melawan ombak lautan selatan yang ganas untuk melayarkan perahunya terus ke barat. Akan tetapi, seperti diketahui kemudian, perahu itu yang ditumpangi Sarjito, Wulansari dan tiga orang teman-teman Sarjito, terbalik di daerah Teluk Prigi dan semua penumpangnya tewas, kecuali Wulansari yang berhasil diselamatkan oleh Ki Jembros.
Tiga hari kemudian, ketika Ki Cucut Kalasekti muncul, Warsiyem menyambutnya dengan serangan tombak! Tentu saja serangan ini sama sekali tidak ada artinya bagi kakek sakti itu. Sekali renggut saja, tombak itu telah dirampasnya dan dibuangnya. Warsiyem menolak pinangannya, dan tidak mau mengatakan ke mana puterinya pergi. Ki Cucut Kalasekti marah, membujuk dan mengancam, namun Warsiyem tetap bertahan, tidak sudi menyerahkan diri dengan suka rela. Ki Cucut Kalasekti lalu menangkapnya dan menyeretnya pergi dari dusun itu, dan semua penghuni dusun hanya mampu melihat dengan tubuh panas dingin.
Ki Cucut Kalasekti membawa Warsiyem ke rumahnya yang besar dan menyeramkan. Dia masih tergila gila kepada Warsiyem, dan dibujuknya wanita itu, diberinya barang barang berharga dan dijanjikan kemuliaan. Namun Warsiyem tetap menolak, meronta dan berusaha melarikan diri. Akhirnya Ki Cucut Kalasekti memperkosa wanita itu berulang kali sambil tetap membujuk, Namun, Warsiyem tetap saja melawan sekuat tenaga walaupun akhirnya ia tidak mampu lagi melindungi dirinya, ia memaki, menangis, mencakar dan hanya dengan kekerasan saja Ki Cucut Kalasekti dapat menguasai dan memperkosanya. Dibujuk bagaimanapun, Warsiyem tidak pernah mau menyerahkan diri dengan sukarela seperti yang amat diharapkan dan dirindukan Ki Cucut Kalasekti.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kalau saja Warsiyem seperti wanita lain, tentu sudah dibunuh oleh kakek iblis itu. Akan tetapi entah bagaimana, Ki Cucut Kalasekti tetap tergila gila dan mencinta wanita itu, mengharapkan balasan cintanya, dan betapapun kecewa dan marahnya, dia tetap tidak mau membunuh Warsiyem.
Setelah hampir tiga bulan dikecewakan wanita yang tidak pernah mau melayaninya dengan suka rela itu, dan dia menjadi bosan dengan perkosaan yang sama sekali tidak dia kehendakinya, akhirnya Ki Cucut Kalasekti membawa Warsiyem naik perahu menuju ke pantai yang bertebing tinggi itu. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, perahunya dapat mendekati pantai tebing itu pada saat air laut surut, dan dia memanggul tubuh wanita yang sudah dibuat lemas tak dapat bergerak itu, lalu mendaki tebing, menuju ke sebuah goa yang besar dan yang berada di dinding tebing itu, setinggi pohon kelapa dari bawah. Di dalam goa inilah Ki Cucut Kalasekti membiarkan Warsiyem seorang diri, meninggalkan obat-obatan, bahan makanan bahkan dia menanam banyak tanaman obat dan pohon berbuah di bagian yang terbuka di sebelah dalam terowongan goa. Dia hendak membiarkan wanita yang dicintanya itu tetap hidup, akan tetapi juga menghukumnya. Dan kadang kadang, tadinya sebulan sekali lalu semakin jarang, dia datang berkunjung, untuk tetap membujuk, dan untuk tetap ditolak yang berakhir dengan perkosaan yang hanya menghancurkan hati Warsiyem dan mendatangkan kecewa dan penyesalan di hati Ki Cucut Kalasekti yang merindukan kasih sayang dari wanita itu !
"Demikianlah, anakmas Nurseta, riwayatku, sekarang kakek iblis itu bahkan telah menjadikan Wulansari anakku sebagai cucunya dan muridnya pula. Ah, sungguh aku merasa khawatir sekali. Engkau tidak tahu bagaimana jahatnya manusia berhati iblis itu!"
Kata Warsiyem dengan wajah gelisah.
"Kanjeng bibi, saya berjanji bahwa begitu saya berhasil keluar dan sini, saya akan mencari Ki Cucut Kalasekti dan mengadu nyawa dengannya untuk menyelamatkan diajeng Wulansari"
Namun janji ini ternyata jauh iebih mudah diucapkan dari pada kenyataannya. Sampai lelah Nurseta menyeiidiki tempat itu dan akhirnya dia mendapatkan kenyataan bahwa tiidak mungkin dia dapat meninggalkan goa itu. Mendaki naik tidaklah mungkin, terlalu tinggi. Mendaki naik sama dengan bunuh diri. Kalau merayap turun, yang tingginya hanya setinggi pohon kelapa, dia sanggup, akan tetapi lalu bagaimana setelah tiba di bawah? Dia akan disambut air laut bergelombang ganas, dan batu batu karang yang amat tajam dan runcing. Tidak ada jalan keluar pula di bawah sana.
Hanya orang macam Ki Cucut Kalasekti yang dapat datang dengan perahu ke bawah sana, lalu mendaki ke sini. Satu satunya haapan untuk melarikan diri dari tempat ini hanyalah kalau dia datang berkunjung.
"Kalau dia berkunjung, engkau boleh menyergapnya di sini, kemudian turun dan mempergunakan perahunya untuk membebaskan diri selagi air laut surut. Itulah satu satunya jalan untuk meninggalkan tempat ini"
Kata Warsiyem.
Terpaksa Nurseta menunggu. Dan bertahun-tahun dia harus menunggu karena yang dinanti tidak juga muncul. Namun, dia tidak menyianyiakan waktu bertahun-tahun itu. Selain bersamadhi memperkuat tenaga saktinya, diapun berlatih semua ilmu yang dikuasainya sehingga menjadi matang dan di samping itu, diapun membuat bambu runcing dan mempelajari ilmu memainkan bambu runcing itu seperti yang diciptakan Warsiyem. Dan ilmu in memang hebat. Kalau Warsiyem kurang berhasil menjadi sakti dengan ilmu itu hanyalah karena ia kurang tenaga. Andaikata ia memiliki tenaga sakti yang kuat dengan ilmu itu, mungkin saja ia sudah mampu membunuh atau setidaknya melukai Ki Cucut Kalasekti.
Kita tinggalkan dulu Nurseta yang hidup terasing di tempat itu bersama Warsiyem yang sudah menganggap Nurseta sebagai putera mantunya, untuk melihat perkembangan yang terjadi di dunia ramai, di atas sana, sebetulnya tidak begitu jauh namun tak mungkin terjangkau oleh mereka berdua yang menjadi penghuni goa.
Gadis itu menangis tersedu-sedu di atas rumput tebal di pagi hari itu. Menangis sejadi-jadinya, melepaskan seluruh kepedihan perasaan hatinya. Tidak ada kepedihan bagi hati seseorang gadis melebihi kenyataan bahwa pria yang dicintanya, dipuja dan diharapkannya itu mengaku telah mencinta gadis lain !
Pertiwi adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di pedusunan, berwatak polos dan jujur. Ibunya telah meninggal dunia sejak la masih kecil, dan beberapa tahun yang Ialu ketika ayatnya yang sudah lama menduda itu menikah lagi dengan seorang janda, ia mengalami pukulan bafin untuk yang pertama kalinya Biarpun ibu tirinya itu bersikap baik kepadanya, namun ia merasa tidak senang secara diam-diam ketika ibu tirinya itu membujuk nya agar ia suka menjadi isteri putera lurah, dan ibu tirinya itu menjelek-jelekkan Nurseta yang dianggap pemuda pengangguran yang miskin. Dan kini, Nurseta yang dibelanya, yang diharapkan dan dipujanya, dengan terang-terangan, setelah menjadi tunangannya, mengaku bahwa pemuda itu tidak cinta kepadanya melainkan mencinta gadis lain. Hati siapa tidak akan hancur?
Pertiwi sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia bertemu dan bicara dengan Nurseta tadi, sampai sekarang ia menangis di atas rumput, ada sepasang mata yang terus mengamatinya dan pemilik mata itu membayanginya sampai ke tempat itu, Pemilik mata itu seorang laki-laki berusia antara limapuluh tahun, masih nampak tampan dan gagah dengan tubuh sedang namun tegap, matanya bersinar-sinar tajam dan pakaiannya mewah. Dia seorang laki-laki pesolek yang tampan dan dia bukan lain adalah Gagak Wulung, seorang tokoh sesat yang amat berbahaya bagi semua orang gadis cantik seperti Pertiwi!
Siapa tidak mengenal Gagak Wulung, tokoh sesat yang terkenal mata keranjang dan cabul itu, yang tidak pernah mau membiarkan seorang wanita cantik lewat begitu saja tanpa diganggunya? Apa lagi seorang wanita semanis Pertiwi, seorang perawan dusun yang polos lagi. Bagaikan setangkai mawar hutan bermkaun embun, segar dan menggairahkan, membuat Gagak Wulung terpesona dan sejak tadi mengintai dengan pandang mata yang semakin buas. Kini matanya seperti mata harimau yang melihat seekor kelinci muda gemuk lewat di depan hidungnya. Akan tetapi, sebagai seorang yang berpengalaman sekali dalam mengejar kesenangan melalui kecabulan, dia ingin mendapatkan gadis ini tanpa harus menggunakan kekerasan, dia ingin gadis ini menyerah dengan manis, dengan suka rela, dengan penuh kepasrahan dan kehangatan. Maka, wajahnya berubah menjadi manis, pandang matanya lembut ketika dia keluar dari tempat sembunyinya dan menghampiri gadis yang sedang menangis itu.
"Aduh, juwita, mengapa kau menangis? Kau seperti Dewi Nawangwulan yang kehilangan pakaiannya karena disembunyikan Ki Jaka Tarup! Akan tetapi, sungguhpun engkau secantik Dewi Nawangwulan, engkau tentu bukan bidadari itu, dan sungguhpun aku bukan Ki Jaka Tarup, namun aku akan suka sekali menolongmu"
Mendengar suara orang yang demikian balusnya, Pertiwi mengusap kedua matanya dan memandang, terkejut dan heran melihat seorang pria yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang priyayi, wajahnya tampan dan menyenangkan, mulutnya tersenyum penuh daya pikat Akan tetapi karena pria itu seorang yang tidak dikenalnya, ia cepat menundukkan mukanya dan berkata halus.
"Aku....... aku tidak minta tolong kepada mu, kisanak"
Gagak Wulung tersenyum dan mendekat.
"Biar kau tidak minta tolong, akan tetapi aku bersedia menolongmu, cahayu"
"Akan tetapi kau tidak akan dapat menolongku, dan siapapun tidak akan dapat menolongku. Kebahagiaanku sudah lenyap, kehidupanku sudah hancur......"
Pertiwi bangkit berdiri dan hendak pergi, tidak memperdulikan kainnya yang agak basah oleh air embun di rumput. Bagian yang basah ini melekat pada kulitnya, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang membuat Gagak Wulung merasa sesak napas.
"Aku tahu, nimas. Cintamu ditolak oleh Nurseta, bukan?"
Pertiwi terbelalak memandang wajah pria itu.
"Kau....... kau........ tahu..........?"
Gagak Wulung tersenyum.
"Tentu saja, aku tahu segalanya. Nurseta itu tunanganmu, akan tetapi dia tidak cinta padamu, bukan? Untuk apa menangisi orang yang tidak cinta kepadamu? Di dunia ini masih ada pria yang jauh lebih baik dari Nurseta, yang akan mencintamu dengan seluruh jiwa raganya"
Pertiwi makin heran.
"Apa........ apa maksudmu.......?"
Tanyanya sagap dan bingung.
Diam-diam Gagak Wulung sudah mengerahkan aji kesaktiannya. Tidak percuma orang yang cerdik ini lama menjadi kekasih Ni Dedeh Sawitri wanita tokoh sesat yang cantik dan cabul itu. Demi keuntungan dirinya sendiri dia telah berbasil membujuk kekasihnya itu untuk mengajarkan aji pengasihan Asmoro Limut kepadanya. Dan kini, diam diam dia memperpunakan aji itu untuk menguasai diri Pertiwi. Dia berkemak-kemik, lalu tersenyum-senyum dan suaranya terdengar lembut membujuk ketika dia berkata sambil menatap tajam wajah gadis gunung itu, di antara kedua alisnya. Dia telah mengenal nama gadis ini ketika tadi mengintai dan mendengarkan percakapan antara gadis ini dan Nurseta.
"Nimas Pertiwi........ pandanglah mukaku, tataplah kedua mataku........ nah, begitu........
engkau hanya akan melihat wajahku yang tampan dan menyenangkan...... wajah yang
penuh kasih sayang........ ya, ya....... dan engkau akan tunduk, menyerah, percaya........ semua kasihmu untukku..... dan engkau menurut segala kehendakku yang mengasihimu......"
Pertiwi memandang dengan mata terbelalak, nampak bingung, mulutnya berbisik.
"Apa.....? Apa.........?"
Akan tetapi tubuhnya limbung dan ketika Gagak Wulung merangkulnya dan memondongnya, iapun terkulai dan mandah saja, bahkan ketika Gagak Wulung menundukkan muka dan mencium pipinya, ia memejamkan mata dan melemaskan diri, kepalanya bersandar pada bahu pria itu seperti seorang anak kecil mencari perlindungan dan kehangatan.
Sambil menyeringai seperti iblis yang berbasil dengan pekerjaan jahatnya, Gagak Wulung memondong tubuh yang ringan itu, pergi dari situ dengan cepat. Biarpun ia hanya seorang perawan desa di gunung, andaikata Pertiwi tidak baru saja mengalami guncangan batin karena keterus-terangan Nurseta yang menyatakan tidak cinta padanya, belum tentu akan semudah itu ia terkulai dan terjatuh ke dalam kekuasaan sihir Gagak Wulung yang masih belum berapa kuat itu. Namun, gadis itu sedang lemah batinnya, terguncang dan ketika Gjgak Wulung merangkulnya dan memondongnya, iapun terkulai dan pasrah saja, bahkan ketika Gagak Wulung menundukkan muka dan mencium pipinya, ia memejamkan mata.
Gagak Wulung bukan secara kebetulan saja berada di Pegunungan Kelud. Seperti telah kita ketahui, dia adalah seorang diantara para pembantu Mahesa Rangkah dalam pemberontakannya, yang secara pengecut telah melarikan diri begitu melihat bahwa pemberontakan Mahesa Rangkah menghadapi kegagalan. Dalam pelariannya ini, Gagak Wulung yang juga merupakan seorang mata-mata rahasia dari Kerajaan Dhaha, iapun kembali ke Kediri. Akan tetapi dia bertemu dengan ki Buyut Pranamaya. Gagak Wulung maklum akan kesaktian kakek ini, maka diapun menerima dengan gembira ketika Ki Buyut Pranamava mengajaknya untuk bekerja sama dan menjadi pembantunya.
"Kegagalan muridku Mahesa Rangkah adalah karena tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala terampas orang dari tanganku"
Demikian antara lain Ki Buyut Pranamaya membujuk.
"Andaikata tombak pusaka itu tidak hilang dari tanganku, aku jamin bahwa perjuangan muridku itu akan berhasil menumbangkan Singosari. Sekarang, yang terpenting adalah mencari kembali tombak pusaka itu, dan kalau sudah kembali ke tanganku, tidak akan sukar menumbangkan Kerajaan Singosari"
Gagak Wulung melihat kemungkinan kemungkinan yang akan menguntungkan Kediri kalau dia dapat mendekati kakek sakti ini. Kalau tombak pusaka itu sudah didapatkan kembali oleh kakek sakti ini, maka terbuka harapan baginya untuk menguasainya, atau setidaknya, untuk membujuk kakek itu menyerahkannya kepada Kerajaan Kediri, dan kakek inipun dapat menjadi pembantu yang amat berguna bagi Kediri. Dan dialah yang akan berjasa besar kalau hal itu dapat terjadi, dan Sang Prabu Jayakatwang tentu Tidak akan melupakan jasa besarnya itu.
Demikianlah, setelah menjadi pembantu Ki Buyut Pranamaya, pada suatu hari Gagak Wulung bersama kakek yang sakti mandraguna itu pergi ke Pegunungan Kelud untuk mencari Ki Baka, menurut perhitungan Ki Buyut Pranamaya, tentu Ki Baka tahu di mana adanya tombak pusaka itu. Yang merampas tombak itu dari tangannya adalah seorang gadis baju hijau yang sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi gadis itu membantu Nurseta, putera Ki Baka. Tentu ada hubungan antara gadis itu dan putera Ki Baka, dan tentu tombak pusaka itu kini sudah kembali ke tangan Ki Baka. Dengan perhitungan ini, maka dia mengajak Gagak Wulung untuk pergi ke Pegunungan Kelud, mencari Ki Baka.
Ki Buyut Pranamaya yang memandang ringan musuhnya, menanti di kaki pegunungan itu dan dia mengutus Gagak Wulung untuk melakukan penyelidikan keatas, untuk menyelidiki di mana adanya Ki Baka dan memberitahu kepadanya kalau sudah berhasil menemukan tempat tinggal Ki Baka.
Itulah sebabnya mengapa Gagak Wulung melakukan penyelidikan seorang diri ke puncak Pegunungan Kelud dan dia sudah berhasil menemukan tempat tinggal Ki Baka. Tentu saja Gagak Wulung tidak begitu bodoh untuk berani turun tangan sendiri. Dia sudah tahu akan kedikdayaan Ki Baka, apa lagi mengingat akan puteranya, Nurseta yang memiliki kesaktian bahkan melebihi bapaknya. Pada pagi hari itu, ketika dia hendak meninggalkan puncak setelah menemukan pondok Ki Baka, kebetulan dia melihat pertemuan antara Nurseta dan Pertiwi, gadis dusun yang manis itu. Gagak Wulung mendekat dan bersembunyi, mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Maka tahukah dia bahwa gadis itu, gadis manis bermata jeli, adalah tunangan Nurseta akan tetapi tidak dicinta pemuda itu. Dan dia terus membayangi gadis itu, melihat betapa gadis itu menangis sedih, dan melihat pula betapa Nurseta melanjutkan perjalanannya menuruni puncak.
Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan oleh Gagak Wulung. Dia terkenal sebagai seorang penjahat yang cabul dan mata keranjang, selalu mengganggu wanita yang menarik perhatiannya. Dan Pertiwi merupakan gadis dusun yang memikat hatinya, bagaikan buah yang sedang ranum atau bunga yang mulai mekar. Kenyataan bahwa gadis itu adalah calon isteri Nurseta lebih mengobarkan gairahnya, maka dia lalu menghampiri Pertiwi, menegurnya dengan ramah dan mempergunakan aji pengasihan dan ilmu sihir yang dipela jarhya dari Ni Dedeh Sawitri untuk menunundukkan Pertiwi.
Ketika itu, Pertiwi sedang lemah batinnya oleh duka dan kecewa, maka dengan mudahnya iapun takluk dan menyerah, mandah saja ketika dirinya dipondong dari dipeluk Gagak Wulung, dibawa pergi tanpa melawan sedikitpun juga.
Gagak Wulung adalah seorang hamba nafsunya sendiri yang sudah tidak ketulungan lagi, sehingga dia terlena sebagai seorang tokoh sesat, seorang datuk dunia hitam yang jahat. Karena dia mendapatkan waktu tiga hari oleh Ki Buyut Pranamaya untuk melakukan penyelidikan, dan kini dia sudah berhasil mengetahui tempat tinggal Ki Baka, maka sisanya yang dua hari dia pergunakan untuk bersenang-senang. Kesenangan yang keji dan jahat terhadap diri Pertiwi, gadis dusun yang tak berdosa itu. Dia membawa Pertiwi ke sebuah hutan yang sunyi dan di tempat ini dia permainkan Pertiwi sesuka hatinya. Di bawah pengaruh aji pengasihan yang tidak wajar, ditambah lagi oleh keadaan hatinya yang lemah dan berduka, Pertiwi menyerahkan diri dalam keadaan setengah sadar. Pengaruh aji pengasihan membuat ia melihat bahwa pria yang menggaulinya itu adalah seorang pria yang menarik, tampan, perkasa, dan menghibur hatinya dari nyeri setelah mendengar pengakuan Nurseta bahwa calon suaminya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain, Dalam diri Gagak Wulung dia menemukan pengganti, penghibur dan pengobat kepedihan hatinya.
Gagak Wulung masih belum puas biarpun dia sudah memiliki tubuh Pertiwi sepenuhnya. Dia ingin pula memiliki hati gadis itu. Dia merasa tidak puas karena selama sehari semalam itu, Pertiwi menyerahkan dirinya kepadanya hanya karena pengaruh sihir dan aji pengasihan. Dia ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, benar-benar mencintanya. Dia membutuhkan seorang kekasih baru semenjak dia berpisah dari Ni Dedeh Sawitri. Oleh karena itu, pada hari ke tiga, dia sengaja melepaskan sihirnya atas diri Pertiwi.
Gadis itu seperti baru tergugah dari tidurnya. Ketika ia mendapatkan dirinya dalam keadaan tidak wajar, berada dalam pelukan seorang laki-laki asing, ia menjerit dan menangis, sadar bahwa ia telah menyerahkan diri kepada pria itu. Ia menangis sejadi-jadinya, dan Gagak Wulung yang pandai merayu itu segera menghiburnya, merangkul dan mencumbunya.
"Sudahlah, nimas, simpan air matamu. Sayang, seorang wanita cantik jelita seperti engkau ini menangis dan berduka. Apa yang harus disedihkan? Kita telah menjadi suami isteri, aku sungguh cinta padamu, sayang, dan mengingat akan apa yang telah kita lakukan selama sehari semalam ini, aku percaya bahwa engkaupun cinta padaku. Bagaimanapun juga, engkau telah menjadi isteriku"
Pertiwi melepaskan diri dari rangkulan pria itu, bangkit dan mundur tiga langkah. Ia mengamati wajah pria itu. Seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, parasnya seorang priyayi. Bjarpun usia pria itu jauh lebih tua darinya, namun tidak mengecewakan, bahkan cukup membanggakan. Bagaimanapun juga, ia sudah terlanjur menyerahkan dirinya. Tak mungkin ia utuh kembali. Pula, apa gunanya? Nurseta tidak mencintanya, apa lagi sekarang setelah ia bukan perawan lagi, sudah menjadi milik orang lain, disadarina maupun tidak. Melihat Pertiwi berdiri seperti orang melamun, mengamati wajahnya, Gagak Wulung juga berdri dan dia tersenyum manis. Biarkan gadis ini menilai dirinya, pikirnya. Dia membutuhkan gadis ini sebagai kawan barunya, sebagai kekasihnya, dan gadis ini harus mencintanya, atau setidaknya, menyerahkan diri dengan suka rela.
"Siapakah kau?"
Akhirnya Pertiwi bertanya, suaranya lirih.
"Dan apa yang telah terjadi dengan aku?"
Gagak Wulung tersenyum, dan wajahnya nampak menarik.
"Aku bernama Raden Gagak Wulung, seorang senopati dari Kediri "
Dia memang seorang jagoan dan mata-mata Kerajaan Dhaha, dan mengenai sebutan Raden, hal ini dia tidak berlebihan. Orang yang dekat dengan raja, apa sukarnya untuk mendapatkan gelar? Gelar adalah anugerah raja, dan siapa yang menyenangkan hati raja dan sudah berjasa, tentu akan mudah saja memperoleh gelar, bahkan mungkin lebih dari sekedar Raden.
"Apakah kau lupa akan apa yang telah terjadi dengan dirimu, nimas Pertiwi?"
"Bagaimana paduka mengenal nama saya?"
Kini Pertiwi bersikap hormat dan menyebut paduka, karena ia merasa yakin bahwa pria ini adalah seorang priyayi besar.
Gagak Wulung memperlebar senyumnya, hatinya girang sekali. Bukan saja gadis ini tidak nampak menyesal dan berduka setelah tahu bahwa dirinya telah menjadi miliknya, bahkan kini menyebutnya paduka.
"Nimas, aku mengenal namamu karena selain aku mendengar namamu disebut oleh Nurseta, juga selama sehari semalam ini, beberapa kali kau menyebut namamu sendiri. Lupakah kau akan penghinaan yang kau terima dari Nurseta keparat itu? Dia menghinamu, calon isterinya sendiri, dengan mengatakan bahwa dia tidak cinta padamu, melainkan mencinta gadis lain. Ah, betapa kejamnya..."
Pertiwi merasa jantungnya tertusuk, akan tetapi ia tidak mau menangis karena Nurseta lagi. Melihat ini, Gagak Wulung merasa semakin gembira.
"Melihat kau menangis seorang diri di padang rumput itu, merasa terhina dan ditolak pria, aku merasa kasihan sekali, nimas. Aku lalu menghiburmu, kau pingsan dan kubawa ke sini. Selanjutnya, karena di antara kita terdapat perasaan kasih sayang, dan karena kau demikian cantik jelita, sehingga aku tidak dapat menahan diri lagi, maka terjadilah segalanya itu. Kita menjadi suam isteri......., akan tetapi aku tidak menyesal karena aku cinta padamu"
"Bagimu tidak menyesal karena paduka seorang pria. Akan tetapi saya adalah seorang wanita, raden, dan karena itu, saya minta pertanggungan jawab paduka. Paduka harus mengajak saya menghadap ayah dan ibu, agar perjodohan antara kita disahkan "
Gagak Wulung mengangguk angguk, lalu melangkah maju, meraih dan memeluk, mencium bibir yang nampak agak cemberut itu.
"Baiklah dan jangan khawatir, nimas. Aku cinta padamu, dan sekarang juga mari kita pergi berkunjung ke rumah orang tuamu"
Gagak Wulung menggandeng tangan Pertiwi pergi ke dusun tempat tinggal gadis itu. Biarpun Pertiwi merasa canggung digandeng pria yang sebenarnya masih terasa asing baginya, namun ia tidak berani menolak.
Akan tetapi, kedatangan mereka disambut oleh Ki Purwoko, ayah Pertiwi, dengan alis berkerut. Melihat gadisnya digandeng seorang pria asing, tentu saja dia merasa terkejut dan tidak senang sekali sehingga pandang matanya memancarkan kemarahan.
"Pertiwi, sungguh tidak pantas engkau"
Bentak ayah itu.
"Siapa orang ini dan apa artinya engkau bergandeng tangan dengan dia"
"Bapak.........dia....... dia ini......"
Tentu saja sukar bagi Pertiwi untuk menjawab karena bagaimana mungkin dia memperkenalkan seorang pria asing sebagai calon suaminya, bahkan telah menjadi suaminya yang tidak sah? Dan tentang bergandeng tangan itu, bukan ia yang menggandeng, akan tetapi ia digandeng dan ia tidak berani melepaskan gandengan tangan Gagak Wulung.
Melihat kegagapan kekasihnya, Gagak Wulung melepaskan tangan gadis itu, lalu dia melangkah maju menghadapi laki-laki berpakaian petani sederhana itu. Tentu saja dia memandang rendah dan memang sukar bagi seorang seperti Gagak Wulung untuk bersikap hormat kepada orang lain, apa lagi kalau orang lain itu hanya seorang yang berpakaian sebagai seorang petani yang miskin, sederhana dan bodoh.
Gagak Wulung tersenyum menyeringai, senyum sinis, senyum seorang yang merasa dirinya lebih besar dan lebih tinggi dari pada orang yang diajak bicara, lalu diapun berkata dengan suara dingin,
"Aku bernama Raden Gagak Wulung dan kedatanganku untuk minta agar kalian sebagai orang tua diajeng Pertiwi suka mengesahkan kami menjadi suami isteri"
Sepasang mata petani itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali karena marahnya. Dia tahu bahwa yang berada di depannya adalah seorang priyayi, seorang Raden, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak takut dan tidak bersikap menjilat seperti kebiasaan orang-orang dusun bersikap terhadap priyayi. Akan tetapi kemarahan Ki Purwoko tertumpah kepada puterinya, maka dengan mata meJotot dia membentak kepada anaknya itu.
"Pertiwi. Apa artinya ini? Engkau adalah tunangan Raden Nurseta"
"Bapak........, Raden Nurseta tidak cinta kepadaku......"
Jawab Pertiwi lemah sambil menundukkan mukanya.
"Akan tetapi engkau sudah dipinang dan kami menerima, engkau adalah caion isteri orang. Bagaimana sekarang ....."
"Sudahlah, bapak"
Kata Gagak Wulung memotong.
"Nurseta tidak cinta kepada diajeng Pertiwi dan diajeng Pertiwi juga tidak cinta kepada orang itu. Diajeng Pertiwi hanya cinta kepadaku dan akupun cinta padanya. Kamipun sudah menjadi suami isteri dan kedatangan kami hanya untuk memberitahu dan minta persetujuan kalian, karena semenjak saat ini diajeng Pertiwi telah menjadi isteriku dan akan kubawa ke mana aku pergi"
"Tidak. Tidak bisa, tidak mungkin. Enak saja anak gadis orang diambil begitu saja hendak dibawa pergi"
Bentak Ki Purwoko marah sekali.
Gagak Wulung tersenyum mengejek.
"Petani dusun, jangan bicara terlalu galak. Diajeng Pertiwi telah menjadi isteriku, telah tidur bersamaku. Kau mau apa?"
Ki Purwoko menjadi pucat mukanya dan memandang kepada anaknya.
"Pertiwi. Benarkah itu?"
Pertiwi tidak berani mengangkat mukanya, hanya mengangguk membenarkan. Tentu saja ayahnya menjadi marah bukan main mendengar bahwa puterinya yang sudah menjadi calon isteri Nurseta itu kini mengaku telah tidur dan menyerahkan diri kepada seorang pria Iain, seorang pria asing yang usianya sebaya dengan dia.
"Keparat. Kalau begitu, engkau telah mencemarkan nama keluarga kita, mendatangkan aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawamu"
Berkata demikian, Ki Purwoko yang sudah marah sekali lalu meloncat maju hendak menampar muka anaknya. Tangan kanannya melayang dengan kerasnya ke arah pipi kiri Pertiwi.
"Dukkk"
Ki Purwoko mengaduh ketika lengannya tertangkis lengan Gagak Wulung yang telah menangkis melihat kekasihnya ditampar.
"Kau....... kau......... berani mencampuri urusanku dengan anakku sendiri?"
Bentak Ki Purwoko, kemarahannya memuncak, membuat dia menjadi nekat dan berani.
"Petani busuk"
Kata Gagak Wulung, juga marah.
"Dulu ia anakmu, akan tetapi sekarang ia isteriku dan siapapun, termasuk kau petani dusun, tidak boleh memukulnya. Sudahlah, tanpa persetujuanmu sekalipun diajeng Pertiwi sudah menjadi isteriku dan sekarang akan kubawa pergi. Aku muak melihat mukamu lebih lama lagi. Diajeng Pertiwi. mari kita pergi"
Berkata demikian, Gagak Wulung merangkul
(Lanjut ke Jilid 14)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 14
pundak kekasihnya dan hendak menariknya pergi.
"Lepaskan anakku"
Ki Purwoko membentak marah. Bagaimanapun juga, ayah ini merasa curiga dan mempunyai persangkaan buruk terhadap Gagak Wulung. Biasanya, dia tahu bahwa Pertiwi mempunyai watak yang amat baik, maka rasanya tidak mungkin kalau anaknya itu kini secara tiba-tiba saja begitu tak tahu rnalu dan berubah sama sekali. Dia menerjang maju dan hendak menarik lengan puterinya. Akan tetapi, kaki Gagak Wulung melayang dengan cepatnya.
"Dessss......."
Dan tubuh Ki Purwoko terjengkang dan terlempar sampai dua meter jauhnya, terbanting keras.
"Jahanam busuk"
Bentak Gagak Wulung.
"Apakah engkau sudah bosan hidup?"
Dia melepaskan rangkulannya dari pundak Pertiwi.
"Kalau begitu, biar kubunuh dulu kau"
"Raden, jangan........"
Tiba tiba Pertiwi menubruk dan berlutut di depan Gagak Wulung, menghalanginya untuk menerjang ayahnya. Melihat ini, Gagak Wulung lalu mendorong tubuh Pertiwi dengan tangan kirinya.
"Minggir kau. Biar kubunuh dulu petani busuk ini agar kelak tidak ada yang menghalangi kita lagi"
Dorongan itu membuat tubuh Pertiwi terjengkang dan bergulingan, dan Gagak Wulung lalu meloncat ke depan untuk menyerang Ki Purwoko. Agaknya, dengan sekali pukul saja, petani yang lemah itu tentu akan tewas, tidak kuat menaban pukulan ampuh jagoan ini. Akan tetapi, pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan angin menyambar dahsvat dari samping, menerjang ke arah Gagak Wulung yang menjadi terkejut bukan main. Gagak Wulung membalik ke kanan dan menggerakkan kedua tangan menangkis.
"Dessss......."
Dna tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, Gagak Wulung terhuyung keluar dari pintu rumah itu. Ki Baka, pendatang yang menyelamatkan Ki Purwoko, mengejar keluar. Mereka kini berhadapan dan Gagak Wulung terbelalak dengan hati gelisah ketika mengenal bahwa penyerangnya tadi bukan lain adalah Ki Baka, musuh lamanya yang dia tahu amat digdaya.
"Babo-babo ...... kiranya si keparat Gagak Wulung yang seialu mendatangkan keributan di manapun dia hadir dengan kejahatannya. Entah apa lagi yang menjadi penyebab ulahmu yang gila, hendak membunuh seorang yang tidak berdosa seperti Ki Purwoko?"
Gagak Wulung yang memang sudah gentar itu tidak dapat segera menjawab. Bagaimana dia berani berterus terang bahwa dia telah menodai seorang gadis yang menjadi calon mantu Ki Baka? Ingin dia mentertawakan musuh lama ini, ingin menghinanya, akan tetapi dia ngeri membayangkan akibatnya, betapa Ki Baka akan marah besar dan mendendam. Ki Baka dalam keadaan biasa saja sudah sukar dilawan. Apa lagi Ki Baka yang mendendam sakit hati dan marah.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada saat itu, Ki Purwoko sudah terhuyung keluar dari dalam rumahnya dan dia masih mendengar kalimat terakhir pertanyaan Ki Baka kepada orang yang telah merusak gadisnya itu. Maka dengan lantang diapun lalu berseru kepada Ki Baka.
"Dia telah menghina kami. Dia telah .......menodai Pertiwi dan hendak membawa pergi Pertiwi dengan paksa dari sini....."
"Keparat........."
Ki Baka terkejut bukan main. Tentu saja dia tahu apa artinya itu. Dia sudah lama mengenal orang macam apa adanya Gagak Wulung, seorang penjahat yang cabul dan suka mengganggu wanita. Kiranya Pertiwi, calon mantunya, calon isteri Nurseta, telah diganggunya.
"Jahanam keji, berani kamu menodai calon mantuku?"
Karena peristiwa itu sudah dibocorkan oleh ayah Pertiwi, maka Gagak Wulung merasa tidak perlu merahasiakannya lagi, dan hal itu bahkan dijadikan senjata untuk memukul perasaan Ki Baka.
"Hahahaha, Ki Baka . Gadis ini tidak mencinta anakmu akan tetapi mencinta aku, apa salahnya ia menjadi kekasihku? Apakah kau merasa iri hati? Hahaha "
"Keparat jahanam, engkau sungguh keji dan jahat, dan sudah menjadi kewajiban setiap orang satria untuk membasmi penjahat penjahat macam kau ini dari permukaan bumi, Haiiiiittt"
Ki Baka menerjang dengan pukulan Aji Bajradenta yang amat menggiriskan itu. Tangannya menyambar bagaikan kilat, mendatangkan angin pukulan yang kuat dan mengeluarkan suara menggebu.
Gagak Wulung sudah mengenal kehebatan kakek pendekar ini, maka diapun cepat meloncat sampai dua tombak ke belakang untuk mencari tempat yang luas dan mengatur posisi yang menguntungkan. Ketika Ki Baka meloncat mengejarnya, dia memapaki dengan pukulan Hasta Jingga, dan kedua telapak tangannya berubah merah oleh hawa beracun yang terkandung dalam aji pukulan itu. Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka juga menyambutnya dengan serangan dahsyat.
Terjadilah ulangan perkelahian antara kedua orang sakti ini seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, seperti pada perkelahian pertama, dalam perkelahian inipun segera Gagak Wulung merasa terdesak hebat oleh lawannya . Biarpun Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya, namun semua serangannya dapat dipatahkan Ki Baka dengan pertahanannya yang amat kuat, yaitu dengan Aji Wandiro Kinkin dan dengan pengerahan tenaga Sari Patala. Sedangkan serangan balasan Ki Baka semakin lama semakin mantap dan kuat sehingga beberapa kali Gagak Wulung nampak terhuyung oleh sambaran pukulan Bajradenta,
Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Rajawali Emas Karya Kho Ping Hoo