Sejengkal Tanah Percik Darah 18
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 18
Berkata demikian, Wulansari sengaja meninggalkan puteri itu dan keluar dari dalam kamar, menutupkan pintu kamar itu dari luar. Akan tetapi, dengan kepandaiannya, ia menyelinap ke balik jendela dan mengintai ke dalam kamar. ia melihat sang, puteri marah-marah. Puteri itu kini sudah turun dari atas pembaringan dan ia berjalanjalan hilir mudik seperti seekor harimau betina dalam kurungan.
"Kau kira aku tidak berani dengan ancaman kematian itu? Huh, pelayan keparat, lancang mulut. Kita sama lihat saja"
Tiba-tiba puteri remaja itu duduk di atas bangku menghadapi meja, membuka tutup makanan yang dihidangkan tadi lalu mulai makan dengan lahapnya. Memang perutnya amat lapar, sudah hampir dua hari dua malam ia tidak makan apa-apa, dan diminum ya pula minuman yang tersedia. Sedikitpun ia tidak nampak ngeri atau takut,. bahkan setelah lidahnya terbiasa dan dapat menikmati lesatnya makanan, ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali mengisi perutnya yang lapar. Di luar jendela, Wulansari tertawa tanpa suara dan iapun semakin tertarik kepada puteri remaja itu. Seorang puteri yang selain cantik jelita dan manis, juga amat menyenangkan, pemberani, lincah dan galak. Ia tidak mau masuk sebelum puteri itu selesai makan minum dan menutupi kembali baki tempat makanan.
Setelah sang puteri duduk kembali di tepi pembaringan, barulah Wulansari memasuki kamar setelah lebih dulu ia batuk-batuk agar kedatangannya didengar oleh puteri remaja itu. Ketika ia membuka pintu dan masuk, ia masih sempat melihat sang puteri untuk terakhir kalinya mengusap bibir dengan kain agaknya untuk yakin benar bahwa tidak ada tertinggal sebutir nasi di tepi mulutnya.
Wulansari pura-pura tidak tahu dan ia memandang ke arah baki terisi makanan yang nampaknya masih utuh dan ditutupi kain penutup.
"Aih, ternyata kau benar-benar tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang diberi racun ini? Sudah kuduga demikian,
Kau tidak akan berani......"
Kata Wulansari dengan nada suara seperti mengejek.
"Siapa yang tidak berani? Aku bukan penakut. Lihat, makanan itu telah kumakan. minuman itu telah kuminum dan aku menanti saat kematian tanpa rasa takut sedikitpun Wulansari pura pura terkejut dan ia membuka penutup baki itu, terbelalak.
"Aih, kiranya kau telah makan minum? Hebat, kau memang puteri sejati, tidak takut mati, dan juga tidak ingin membunuh diri. Saya bicara sekali kepada paduka. Sesungguhnya, nakanan dan minuman itu sama sekali tidak mengandung racun, sebaliknya mengandung bumbu penyedap dan penguat badan"
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali, sepasang mata bintang itu terbelalak dan seperti mengeluarkan sinar api. Puteri Gayatri meloncat turun dari atas pembaringan, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Wulansari.
"Kau.....kau...... menipuku. Berani engkau mempermainkan aku, ya?"
Tangan kanannya menyambar sebatang keris kecil yang selalu rerselip di ikat pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat ia menusukkan keris kecil semaam candrik itu ke arah dada Wulansari Walita ini tidak mengelak maupun menangkis, melainkan diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti ke arah dada yang ditusuk.
"Krekk........"
Sang Dyah Gayatri terbelalak dan menahan pekiknya, matanya melihat gagang keris yang tertinggal di tangannya sedangkan kerisnya sendiri telah patah dan jatuh ke atas lantai. Dengan tenang Wulansari membungkuk dan memungut dua potong besi patahan keris itu, meletakkannya di atas baki bersama sisa makanan.
"Kau....... kau......... begini digdaya......., siapakah sebenarnya engkau ini?"
Puteri Gayatri berkata lirih, gagap.
"Nanti dulu puteri. Saya akan menyingkirkan dulu baki ini, sekarang untuk sementara cukuplah kau ketahui bahwa saya adalah seorang kawan, bukan saorang lawan. Saya kagum kepadamu dan ingin berbaik denganmu"
Setelah berkata demikian, Wulansari membawa baki itu meninggalkan kamar Puteri Gayatri.
Sang puteri duduk melamun, masih merasa tegang dan heran. kalau mengingat peristiwa tadi. Kerisnya itu, biarpun kecil, merupakan keris yang terbuat dari besi mulia, atau besi aji, sebuah keris pusaka. Akan tetapi keris itu patah ketika dipakai menusuk dada wanita itu. Seorang gadis sakti. Dan gadis itu oleh Sang Prabu Jayakatwang diutus untuk menemani dan menjaganya. Bagaimana mungkin ia dapat mengharapkan perlindungan atau bantuan seorang punggawa pihak musuh? Ia harus berhati-hati.
Setelah memperingatkan para pelayan dan pengawal istana agar mereka itu jangan mengganggu atau memasuki kamar puteri tawanan itu kalau tidak ia panpgil. Semua karyawan di dalam istana itu, tidak ada yang tidak mentaati perintah kepala pengawal yang juga merupakan pengawal pribadi Sri baginda yang amat dipercaya ini. Apa lagi mereka semua tahu belaka betapa sakti mandraguna gadis cantik itu.
Ketika Wulansari memasuki kamar Puteri Gayatri, ia melihat.puteri itu duduk dan wajah yang tegang, sinar matanya mengamatinya penuh selidik dan mengandung kecurigaan besar. Iapun dapat menduga bahwa tentu puteri remaja itu mencurigainya dan masih belum percaya kepadanya, maka iapun mengambil tempat duduk di atas bangku, berhadapan dengan puteri itu.
"Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan tenang. Kau boleh bertanya apa saja dan boleh pula menceritakan apa saja. Tentu saja kalau kau percaya kepada saya dan suka bersahabat dengan saya"
Gayatri melemparkan pandang mata penuh tuduhan.
"Engkau........ ingin membujuk aku?"
"Aduh, puteri yang jelita. Apa gunanya saya membujukmu? Untuk apa? Bukankah kau telah menjadi seorang tawanan disini?"
"Tentu membujuk agar aku suka bersikap manis dan tunduk, menakluk kepada orang orang Kediri, mau makan seperti yang tela berhasil kau lakukan dengan tipuanmu tadi bukan? Jangan mengira aku akan mudah terkena bujuk rayumu lagi dan cepatlah engkau minggat dari kamar ini sebelum aku bersikap kasar dan memaki-makimu"
Puteri itu bangkit dan biarpun ia masih remaja, tinggi tubuhnya, belum sepenuhnya, namun ia nampak angkuh, anggun dan berwibawa.
Wulansari memandang kagum dan tersenyum lebar, lesung pipit di pipi kirinya makin dalam dan mata bintangnya bersinar-sinar.
"Apa cengar-cengir. Jangan cengengesan. kau"
Puteri Gayatri membentak.
"Biarpun kau digdaya, jangan kira aku gentar dan takut padamu"
Wulansari tersenyum semakin lebar melihat sikap puteri itu Ia tahu bahwa puteri itu memaksakan diri untuk bersikap galak, pada hal pada pandang matanya jelas nampak bahwa puteri itu kagum kepadanya dan mulai suka padanya.
Ia harus dapat memenangkan kepercayaan puteri ini, pikir Wulansari dan iapun berkata dengan suara sungguh-sungguh.
"Puteri, apakah kau mengenal seorang yang bernama Medang Dangdi?"
"Tentu saja. Paman Medang Dangdi adalah seorang diantara para senopati Singosari yang gagah perkasa. Mengapa engkau memanyakan Paman Medang Dangdi?"
"Karena dia adalah ayah kandungku"
Sepasang mata itu terbelalak dan Putri Gayatri menatap wajah Wulansari penuh selidik, ketidak percayaan terbayang di wajahnya.
"Hemm, permainan apa pula yang kau lakukan ini? Aku tidak pernah melihat Paman Medang Dangdi mempunyai seorang anak perempuan"
"Sesungguhnya demikian, gusti. Mungkin tidak ada seorangpun di Singosari yang tahu bahwa dia mempunyai seorang anak perempuan"
Bahkan mungkin isterinya sendiripun baru beberapa tahun, sejak dia pulang dari penyerbuan Singosari ke Bali, tinggal bersamanya di Singosari"
"Hem, memang aku ada mendengar bahwa Paman Medang Dangdi telah mempunyai seorang isteri yang kabarnya juga digdaya....."
"Ia bernama Warsiyem dan ia adalah ibu kandung saya, gusti. Memang, sejak berusia sepuluh tahun, saya telah berpisah dari ayah dan ibu, dan baru setelah dewasa, saya berumpa dengan mereka"
Wulansari lalu menceritakan riwayatnya secara singkat namuni meyakinkan sehingga Puteri Gayatri mulai percaya.
"Akan tetapi, kalau engkau puteri kandung seorang senopati Singosari, kenapa engkau menjadi hamba dari Kerajaan Daha yang menjadi musuh kami?"
Setelah Wulansari mengakhiri ceritanya, Puteri Gayatri menegur dengan hati tidak puas.
"Harap kau ingat bahwa sebelum terjadi perang, Daha sama sekali bukanlah musuh Singosari. Bukanlah antara kedua Sribaginda bahkan ada hubungan kekeluargaan dan menjadi besan? Hamba bekerja di sini menjadi pengawal Sribaginda dan hamba sama sekali tidak mau mencampuri urusun perang antara Singosari dan Kediri (Daha). Bahkan hamba sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti mengapa ada perang antara kedua kerajaan ini, dan tidak tahu pula mengapa paduka menjadi tawanan di sini, pada hal seorang diantara kakak paduka menjadi mantu Sribaginda. Sungguh saya menjadi bingung, akan tetapi karena saya tidak mencampuri urusan perang, maka sayapun tidak perduli. Saya menghambakan diri di sini hanya untuk mendapatkan pekerjaan, dan juga untuk menghibur hati saya yang merasa sakit karena sikap ayah ibu saya"
Diam-diam Puteri Gayatri semakin tertarik. Tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digdaya dan ditugaskan menjadi pelayan dan penjaganya ini adalah puteri dari Senopati Medang Dangdi di Singosari, seorang senopati yang terkenal setia.
"Hemm, bagaimana aku dapat mempercayai keteranganmu? Betapa mungkin engkau merasa sakit hati terhadap ayah dan ibumu sendiri?"
Dengan cerdik ia memancing. Memang Puteri Gayatri ini lincah dan cerdik sehingga kini, dengan pandainya ia memutar balik keadaan sehingga Wulansari yang dituntut menceritakan keadaan dirinya.
Wulansari juga sadar akan hal ini, akan tetapi karena ia merasa kaguni dan suka kepada puteri lincah ini, ia tidak merasa berkeberatan untuk menceritakan riwayat hidupnya.
"Bagaimana hati ini tidak akan merasa sakit, puteri? Saya mempunyai seorang pilihan hati, seorang pemuda yang saya pilih untuk. menjadi jodoh saya. Kami saling mencinta. Akan "tetapi ayah dan ibu tidak menyetujui, terutama sekali ayah. Maka, saya lalu minggat dari rumah, dan mengabdi di istana. Daha ini"
Puteri Gayatri semakin tertarik. Cerita itu amat romantis dan menyenangkan hatinya. Ia, ikut merasa prihatin dan tanpa disadarinya, ia kini duduk lagi di tepi pembaringan, lalu dengan tangannya mempersilakan Wulansari duduk pula di atas bangku di depannya. Ia merasa kasihan kepada gadis itu.
"Ah, buruk sekali nasibmu, Wulansari. Siapakah perjaka yang menjadi pilihan hatimu itu?"
"Namanya Nurseta, Walaupun dia bukan seorang senopati Singosari, akan tetapi dia seorang pendekar sejati yang membela Singosari, walaupun sesungguhnya dia keturunan seorang pangeran Dhaha"
"Aih, sungguh menarik sekali"
Gayatri menjadi semakin tertarik. Bayangkan saja, pikirnya, puteri senopati Singosari kini menjadi pengawal pribadi Raja Kediri, dan putera seorang pangeran Kediri menjadi seorang pahlawan Singosari.
"Yang ingin sekali kuketahui tentang perasaanmu, bagaimana engkau rasakan sekarang setelah terjadi pengkhianatan rajamu terhadap Singosari? Kanjeng Rama telah memberi kesempatan kepada Raja Daha untuk tetap menjadi raja walaupun Kediri telah dikalahkan Singosari, bahkan telah memberi kehormatan untuk berbesan. Akan tetapi, secara pengecut sekali, Raja Kediri menyerang Singosari dan mengakibatkan hancurnya keluarga Kanjeng Rama, bahkan beliau sendiri gugur bersama banyak anggauta keluarga. Sekarang, engkau berpihak kepada siapa, Wulansari? Ingat, sekarang ayahmu itu, Paman Medang Dangdi, mungkin sudah gugur atau masih terus berjuang melawan pasukan Kediri. Dia
adalah seorang diantara para pembantu....... eh, tunanganku, yaitu Raden Wijaya"
"Saya bingung, gusti puteri. Saya tidak perjnah mencampuri urusan kerajaan, dan sekarang saya bingung sekali"
Melihat kesempatan ini, Puteri Gayatri lalu mulai menceritakan keadaan Kerajaan Singosari dan Kediri, hubungan antara kedua keraiaan itu dan perbuatan Raja Kediri yang berkhianat dan pengecut, menyerang Singosari sclagi kerajaan ini mengirim pasukan besar ke Negeri Melayu.
"Aku ingin bersikap keras dan menentang terhadap keluarga Raja Kediri, maka aku menolak untuk bicara dengan mereka, bahkan adinya aku nekat untuk berpuasa sampai mati. Akan tetapi engkau malah menggagalkan tekatku itu dan mempermainkan aku"
Sang Puteri kini duduk dan menutupi kedua matanya, menangis lirih.
"Ampunkan saya, puteri. Bukan sekali-kali saya bermaksud mempermainkan kau. Hanya saya melihat bahwa tekat itu sungguh tidak ada gunanya, Kenapa paduka putus asa? Kalau kau sampai tewas karena berpuasa, apa manfaatnya? Lebih baik kau menjaga kesehatan dan menanti saatnya. Saya selalu percaya bahwa orang yang benar selalu akan dilindungi Sang Hyang Widhi. Dan apakah kau tidak ingin bertemu dengan........ tunanganmu? Jangan putus asa, percayalah, saya akan melindungi di sini"
Demikianlah, percakapan antara kedua orang gadis itu membuat mereka menjalin persahabatan yang akrab, dan dalam kesempatan itu, Puteri Gayatri membangkitkan semangat Wulansari sehingga gadis perkasa ini mulai ragu-ragu akan kedudukannya sebagai hamba Sang Prabu Jayakatwang. Iapun mulai merasa khawatir akan keselamatan ayah ibunya ketika mendengar dari Puteri Gayatri betapa Singosari telah diduduki pasukan Kediri dan betapa pasukan itu telah menyebar maut, membunuhi rakyat yang tidak berdosa, merampok dan memperkosa. Biarpun ia tidak ikut perang, namun karena ia menghambakan diri kepada Kerajaan Daha, ia merasa seolah-olah ia ikut berada di pihak yang lalim dan jahat.
Malam telah agak larut dan istana Kerajaan Daha sudah sunyi. Para penghuninya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Malam itu, para pangeran dan bangsawan tinggi lainnya dari Kerajaan Daha masih berpesta pora merayakan kemenangan Kediri atau Daha. Sang Prabu Jayakatwang sendiri sudah beristirahat. Akan tetapi para pangeran masih melanjutkan pesta itu dan seperti biasa, diadakan pertunjukan tari-tarian yang dilakukan oleha penari-penari muda yang cantik dan genit dan yang menjadi pasangan menari para pangeran yang sudah mulai mabuk.
Seorang diantara para pangeran itu, pangeran yang lahir dari selir, diam-diam meninggalkan tempat pesta. Sebagai seorang pangeran mudah saja baginya untuk memasuki istana melalui pintu samping. Para penjaga dan pengawal tidak ada yang berani menahannya dan demikianlah, Pangeran Sindumoyo, seorang pangeran berusia tigapuluh tahunan yang terkenal sebagai seorang pria yang gila wanita, menyelinap ke dalam taman bunga di bagian belakang istana. Pangeran ini terkenal sebagai seorang penaluk wanita dan dalam hal kesenangan ini, dia terkenal rakus dan tidak pandang bulu. Tak perduli wanita itu seorang peIayan rendah, atau isteri orang atau seorang dusun yang miskin, kalau mata keranjangnya sudah kumat, akan diganyangnya tanpa pandang bulu lagi. Dia mempergunakan harianya, atau kedudukannya, juga ketampanannya atau kekuasaannya, untuk menundukkan setiap orang wanita yang diinginkannya. Suami manakah berani banyak ribut kalau melihat isterinya dihina oleh seorang pangeran yang besar kekuasaannya. Ayah manakah berani berkutik kalau melihat puterinya dicemarkan, kemudian ditelantarkan begitu saja oleh Pangeran Sindumoyo?
Akan tetapi sekali ini Pangeran Sindumoyo tidak tertarik kepada para penari cantik itu. Tidak, dia tidak menginginkan mereka. Dia membutuhkan wanita yang lebih terhormat. Dia membutuhkan seorang perawan bangsawan tinggi, bukan seorang perempuan umum yang pernah melayani pria mana saja yang mampu menyewa tubuhnya. Dan dia sudah mendengar bahwa di istana terdapat beberapa orang puteri istana Singosari yang menjadi tawanan. Akan tetapi diantara semua itu, yang amat menarik perhatiannya adalah Sang Puteri Gayatri. Ketika puteri itu dibawa ke istana, dia sempat melihatnya dan dia terpesona, lalu sejak saat itu dia gandrung dan menundukan puteri yang dalam pandang matanya teramat cantik jelita dan manis itu. Setiap malam dia bermimpi berjumpa dengan Puteri Gayatri, dan kalau tidak tidur, bayangan dan wajah puteri itu tak pernah meninggalkan ingatannya, Namun, dia tetap tidak berani karena maklum bahwa puteri itu merupakan seorang tawaran perang yang agung dan dihormati. Akan tetapi malam ini, setelah pengaruh minuman keras membuat keberanian dan kenekatannya menjadi berlipat ganda, dia memasuki taman istana dengan niat hendak mengunjungi Puteri Gayatri untuk melampiaskan rindu dendam dan naluri birahinya. apapun yang terjadi, malam ini dia harus mampu mendekap puteri ayu itu. Dia tahu dimana kamar puteri itu, hal ini sudah diselidikinya dari para dayang yang menjadi talukannya pula.
Malam telah larut. Para dayang dan pelayanpun sudah tidur. Hanya ada penjaga di luar keputren, namun melihat bahwa yang masuk adalah Pangeran Sindumoyo, para penjaga hanya memberi hormat dan tersenyum. Mereka sudah sering melihat pangeran ini memasuki keputren untuk berkencan dengan para dayang. Dan merekapun sudah seringkali menerima hadiah dan suapan pangeran itu yang royal sekali membagi hadiah kepada mereka yang sudah menutup mata dan membiarkan sang pangeran memasuki daerah keputren yang terlarang itu tanpa meiaporkan kepada atasan mereka.
Pangeran Sindumoyo lalu berindap-indap menuju ke bagian keputren itu, langsung melalui lorong yang meuuju ke bagian belakang karena dia tahu bahwa kamar puteri tawanan itu berada di kamar besar paling ujung dekar tamansari.
Malam itu, Wulansari tidur pulas dalam kamarnya. Karena mendapat tugas menjaga dan, melayani puteri tawanan, maka ia mendapatkan sebuah kamar di dekat kamar besar puteri itu. Setelah kini mereka menjadi sahabat yang akrab, seringkali Puteri Gayatri minta kepada Wulansari untuk tidur di kamarnya saja. Akan tetapi malam ini Wulansari minta diri dan tidur di kamarnya sendiri. Hatinya gundah dan makin ia pikirkan, makin gelisah hatinya. Semenjak ia bergaul dengan Puteri Gayatri dan mendengai urusan Kerajaan Singosari dan Daha, mulailah ia merasa ragu dan bingung ayahnya sendiri menjadi senopati Singosari, juga Narseta menjadi seorang pahlawan Singosari. Selain itu, juga ia tahu bahwa Ki Jembros dan Sang Panembahan Sidik Danasura, dua orang yang dahulu menyelamatkannya dari lautan, mereka adalah orang-orang yang setia kepada Singosari. Ibunya sendiri sekarangpun berada di Singosari dan tentu saja juga membantu kerajaan itu.
Akan tetapi, ia sendiri membantu Kerajaan Kediri. Padahal kakek yang amat jahat itu, kakek yang mengaku sebagai kakeknya, bahkan telah menjadi gurunya, Ki Cucut Kalasekti, membantu Kerajaan Kediri bahkan diangkat menjadi seorang Adipati. Kalau yang membantu Raja seorang seperti Cucut Kalasekti, maka sungguh meragukan kalau Kerajaan Daha berada di pihak yang benar. Mulailah ia ragu-ragu. Biarpun hatinya yang keras juga mempertahankan pendapat itu, namun kalau ia terkenang kepada Nurseta. satu-sntunya pria di dunia ini yang dicintanya, hatinya seperti tertusuk, perih dan sedih dan ia menjadi semakin bingung. Kin, Singosari sudah runtuh. Akan tetapi menurut Puteri Gayatri, masih ada keturunan Singosari yang menjadi tumpuan harapan seluruh rekyat, yaitu Raden Wiiaya. Dan semua senopati, termasuk ayahnya, bahkan juga Nurseta dan semua ksatria Singosari, berdiri di belakang Raden Wijaya yang dicalonkan untuk membangun kembali Singosari yang telah jatuh. Akan tetapi ia sendiri, masih berada di istana Kediri. Wulansari bimbang sekali, dan akhirnya karena lelah, ia tidur pulas di dalam kamarnya.
Jeritan itu hanya dua kali lalu terdiam.
Bagi orang lain tentu tidak menarik perhatian, apa lagi kalau orang itu tadinya sedang tidur pulas, tentu dianggap mimpi atau suara lain, namun, tidak demikian bagi Wulansari. Gadis perkasa ini seketika sadar. Pendengarannya yang terlatih amat tajam dan perasaannya amat peka sehingga begitu mendengar jeritan dua kali itu, la sudah menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang tidak wajar.
Rambutnya agak kusut, juga pakaiannya karena tadi ia tertidur nyenyak, akan tetapi ia tidak memperdulikan pakaian dan rambutnya. Tubuhnya sudah berkelebat cepat dan ia telah tiba di luar pintu kamar Putri Gayatri. Walaupun pintu kamar itu tertutup, namun pendengarannya dapat menangkap gerakan dan suara yang mencurigakan di dalam kamar itu. Sekali dorong saja, pintu kamar itu terbuka dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar kemarahan ketika ia melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Di atas pembaringan sang puteri, Puteri Gayatri sedang bergumul dengan pria yang berusaha untuk menciumi dan merenggut lepas pakaian sang puteri.
Puteri Gayatri mempertahankan diri, meronta dan mencakar memukul, akan tetapi tidak mampu berteriak karena mulutnya dibungkam oleh tangan kiri pria itu.
"Keparat"
Wulansari mencaci dalam hatinya dan sekali melompat ia telah berada di dekat pembaringan. Tangan kanannya diangkat, siap untuk menjatuhkan pukulan maut, akan tetapi segera ia mengenal siapa pria itu dain otomatis pukulannya berubah menjadi cengkeraman ke arah lengan pria itu dan sekali renggut, tubuh pria itu terlepas dari Puteri Gayatri dan terlempar sampai ke sudut kamar.
Puteri Gayatri terengah-engah, membetulkan bajunya yang hampir terlepas. rambut yang panjang itu terurai dan ia nampak cantik ayu bukan main, akan tetapi sepasang mata yang lebar itu terbelalak, masih membayangkan kengerian akan malapetaka yang hampir menimpa dirinya. Akan tetapi, melihat kehadiran Wulansari dan melihat betapa laki-laki itu telah terlempar bergulingan sampai ke sudut kamar, hatinya terasa lega dan kemarahannya bangkit.
Dengan sikap tenang, mata bersinar marah akan tetapi tetap menghormat, Wulansari berkata dengan suara dingin, memandang kepada pangeran yang mulai bangkit itu.
"Pangeraia Sindumoyo, tidak sepatutnya paduka mengganggu Gusti Putri Gayatri"
Mendengar bahwa pria yang hampir memperkosanya itu adalah seorang pangeran, Puteri Gayatri memandang dengan alis berkerut dan mata bernyala.
"Henm, jadi kau seorang pangeran? Pangeran macam apa perbuatannya melebihi seorang manusia biadab"
Kata Puteri Gayatri.
Tentu saja Pangeran Sindumoyo tadi terkejut bukan main karena ada orang berani mencegahnva bahkan melemparkannya seperti itu. Akan tetapi ketika dia mehhat bahwa yang melakukan hal itu adalah seorang waniia cantik yang gagah, diapun mengenal Wulansari pengawal pribadi ayahnya dan pangeran ini sudah dapat memulihkan keangkuhan dan ketenangannya. Dia mengebutkan ujing bajunya yang terkena debu, lalu tersenyum.
"Ah, kiranya engkau Wulansari, pengawa pribadi kanjeng rama? Wulansari, engkau mengenal siapa aku. Mengapa engkau berani turun tangan terhadap aku, dan melindungi wanita ini? biarpun ia seorang puteri, akan tetapi ia puteri Singosari, puteri tawanan dan musuh kita, keluarlah kau, dan biarkan aku berdua dengan sang puteri ini"
Wulansari menggeleng kepalanya.
"Tidak mungkin, gusti pangeran. Saya menerima tugas dari Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatan Gusti Puteri Gavatri. Siapapun juga tidak boleh mengganggunya dan saya bertanggung jawab untuk itu. Sebaiknya paduka meninggalkan kamar ini sebelum diketahui orang lain dan terdengar oleh Sang Prabu"
Wajah pangeran itu berubah merah.
"Haha, agaknya Kanjeng Rama menginginkan sendiri puteri ini? Sungguh tak tahu diri. Akupun mendengar bahwa Kanjeng Rama merayu engkau akan tetapi engkau tetap tidak mau melayaninya, bukankah begitu, Wulansari? Engkau benar. Dia sudah tua, dan biarlah aku saja yang membahagiakanmu. Engkau keluarlah dulu, biarkan aku bersama Puteri Gayatri, baru nanti datang giliranmu. Ataukah engkau minta lebih dulu?"
Bukan main marahnya hati Wulansari mendengar ucapan tidak senonoh itu. Kalau saja ia tidak ingat bahwa yang bicara itu seorang pangeran, tentu ia telah turun tangan dan dibunuhnya pria yang lancang mulut itu. Matanya mencorong ketika ia memandang wajah pangeran itu dan kesopanannya menipis.
"Ucapan paduka itu tidak pantas keluar dari mulut seorang pangeran. Cepat paduka keluar dari sini, atau terpaksa saya akan melempar paduka dan mulut kotor paduka itu keluar"
"Wulan, menghadapi seorang penjahat tidak perlu memandang kedudukannya. Biar dia pangeran, dia lebih pantas kalau kau hajar biar mampus"
Tiba-tiba Puteri Gayatri berkata.
"Kalau saja aku memiliki kedigdayaan sepertimu, sudah tadi-tadi dia kubunuh"
Pangeran itu sudah terbiasa disanjung dan dihormati orang. Kini, dia dihina dan menelan kata-kata yang amat kasar dari seorang pengawal, tentu saja dia merasa malu sekali dan menjadi marah. Kehormatannya sebagai seorang pangeran tersinggung. Dia pernah mempelajari ulah keperajuritan dan aji kesaktian, maka kini bangkit kemarahannya untuk memperlihatkan bahwa kekuasaannya masih berlaku dan bahwa dia tidak selemah anggapan dua orang wanita itu.
"Wulansari, keparat engkau. Lupakah engkau siapa dirimu? Engkau hanyalah seorang abdi di sini. Seorang pengawal yang sepatutnya mentaati perintahku. Aku Pangeran Daha, tahu kamu? Engkau abdiku. Adi yang kurang ajar macam engkau memang pantas dihukum"
Pangeran itu sudah menerjang maju dan menampar ke arah pipi Wulansari.
Tentu saja sikap pangeran ini bagaikan minyak disiramkan pada api kemarahan yang mulai membakar hati Wulansari. Kemarahan itu berkobar dan iapun menangkis pukulan itu, terus menangkap lengan si pangeran dan sekali kakinya bergerak dan tangannya memuntir, tubuh pangeran itu kembali terlempar, kini lebih keras dari pada tadi sampai tubuhnya menabrak dinding kemudian terbanting mengeluarkan bunyi keras.
Diam-diam Puteri Gayatri kagum bukan main menyaksikan ketangkasan Wulansari dan iapun bertepuk tangan memuji. Diam-diam dalam kemarahannya, Wulansari tersenyum. Puteri itu memang jenaka sekali, seperti kanak-kanak saja, begitu gembira menyaksikan pria yang hampir memperkosanya, dihajar.
"Wah, andaikata puteri itu memiliki kepandaian. tentu akan lebih payah lagi nasib Pangeran Sindumoyo. Ia hanya mengharapkan agar pangeran itu menjadi jera dan suka segera pergi karena bagaimanapun juga, ia tidak mau melibatkan diri dalam kesulitan kalau bermusuh dengan seorang pangeran.
Akan tetapi harapan Wulansari ini ternyata sebaliknya dari kenyataannya. Pangeran Sindumoyo yang terbanting keras itu hanya sebentar saja menjadi pening. Dia sudah bangkit lagi karena memang Wulansari tadi hanya membuat dia terlempar, tidak melukainya dan kini pangeran itu menjadi mata gelap. Nafsu amarah memenuhi hati dan pikirannya dan diapun lupa akan keadaan, lupa akan kewaspadaan, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang amat sakti, walaupun seorang wanita. Dia sudah mencabut kerisnya. Keris milik seorang pangeran tentu saja bukan keris sembarangan, melainkan keris yang "bedsi""
Atau ampuh. Begitu keris itu dicabut dari sanjungnya, hawa keampuhannya sudah terasa oleh "Wulansari, akan tetapi gadis ini tidak merasa gentar sama sekali, bahkan ia yang memperingatkan pangeran itu.
"Pangeran Sindumoyo, simpanlah kembali keris paduka dan jangan main-main dengan senjata yang ampuh"
Akan tetapi peringatan yang sebenarnya menyayangkan pangeran itu, diterima keliru dan Pangeran Sindumoyo mengira bahwa ucapan itu keluar dari mulut Wulansari karena gadis itu merasa gentar menghadapi kerisnya yang ampuh.
"Perempuan tak tahu malu. Dari golongan rendah dan hina engkau diangkat ke dalam istana, dan setelah berada di sini engkau lupa diri dan besar kepala. Derajatmu tidak lebih tinggi dari pada seorang dayang istana, akan tetapi engkau telah berani menghina aku, seorang pangeran. Untuk dosa itu, hukumannya hanyalah kematian. Bersiaplah untuk mati di ujung keris pusakaku ini"
"Pangeran, sekali lagi kuperingatkan........., mundurlah sebelum terlambat"
Wulansari masih berseru ketika pangeran itu menyerang dengan tusukan kerisnya ke arah dadanya. Wulansari mengelak dengan amat mudahnya ke kiri. Akan tetapi pangeran itu yang mengira bahwa lawannya gentar menghadapi keris pusakanya, memperoleh semangat dan dengan gerakan cepat, tubuhnya berputar ke kanan dan kerisnya terus meluncur dengan serangan maut ke arah wanita perkasa itu.
Wulansari maklum betapa sebatang keris yang ampuh tidak boleh dibuat main-main, maka sekali lagi ia mengelak, kini dengan loncatan ke belakang dan berputar ke kanan. Pada saat pangeran mengikuti gerakannya dan hendak melanjutkan serangannya, Wulansari sudah meloncat lagi ke kanan dan kakinya kini menyambar dengan dahsyatnya. Sebuah tendangan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga meluncur dan mencuat ke arah pinggang Pangeran Sindumoyo.
"Dessss......."
Tubuh itu terlempar seperti daun kering tertiup angin.
"Brakkkk........ Tubuh pangeran itu meluncur dan menimpa dinding kamar, lalu jatuh terbanting dan tidak berkutik lagi. Ketika Wulansari memandang, ia mengerutkan alisnya karena ada darah mengalir di bawah tubuh yang menelungkup itu. Ketika ia menghampiri dan membalikkan tubuh itu, ternyata keris pusaka itu telah menancap di lambung pangeran itu sendiri dan dia telah tewas seketika.
"Ah, celaka, dia........ dia tewas.......
"
Dalam kagetnya, Wulansari berseru lirih dan cepat ia melompat dan mengunci pintu kamar itu agar jangan sampai ada orang lain mengetahui peristiwa itu.
"Bagus. Memang orang seperti dia itu lebih baik mati saja"
Kata Puteri Gayatri.
"Tidak semudah itu, gusti puteri. Yang tewas ini adalah Pangeran Sindumoyo, seorang diantara para putera Sribaginda. Dan dia tewas di kamar ini. Tentu akan geger seluruh istana, dan bukan hanya saya, akan tetapi kau juga tentu akan menghadapi akibat yang hebat"
"Aku tidak takut"
Kata dara remaja itu dengan gagah.
"Dan engkaupun tidak perlu takut. Aku akan mengatakan kepada paman Prabu Jayakatwang bahwa akulah yang membunuh pangeran ini, bukan engkau. Hendak kulihat dia mau berbuat apa kalau kukatakan bahwa aku yang telah membunuh puteranya"
Mendengar ucapan ini, Wulansari merasa kagum bukan main. Puteri ini sungguh patut menjadi seorang puteri raja, begitu anggun, cantik jelita dan agung, juga berjiwa ksatria "Tidak, puteri. Itu bukan penyelesaian yang baik. Harap paduka tenang saja di sini, saya akan membawanya pergi dan menghilangkan semua jejaknya dari kamar ini"
Berkata demikian, Wulansari lalu menggulung mayat pangeran itu dengan babut yang telah kotor oleh darah. Kemudian, dipanggulnya gulungan jenazah itu dan iapun keluar dari dalam kamar dengan cepat. Ilmu kepandaiannya yang tinggi membuat ia tidak mengalami banyak kesukaran untuk membawa mayat itu keluar dari istana tanpa diketahui seorangpun pengawal. Andaikata ada yang melihatnya, tentu tidak akan ada yang berani menegurnya pula, karena ia adalah kepala seluruh pengawal dalam istana, Juga kepercayaan Sribaginda.
Puteri Gayatri menanti di dalam kamarnya, agak bingung juga memandang sebagian lantai kamar yang tidak ditutup babut atau permadani hijau. Diam-diam ia bersyukur sekali bahwa Wulansari muncul pada saat yang amat tepat. Ia masjh bergidik kalau membayangkan betapa hampir saja ia dinodai oleh pangeran itu, dan kalau hal itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan membunuh diri.
Tentu saja Puteri Gayatri tidak dapat tidur, bahkan berbaringpun dara ini tidak mau. Masih nampak saja pangeran yang terbunuh oleh Wulansari tadi dan berkali-kali ia bergidik. Ia menanti kembalinya Wulansari dengan hati gelisah. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Bahkan ia berani untuk mengaku bahwa ia yang membunuh pangeran itu. Akan tetapi yang ia khawatirkan adalah Wulansari. Gadis perkasa itu telah membelanya dengan sesungguh hati, bahkan gadis itu untuk menyelamatkannya sampai berani membunuh seorang pangeran, padahal ia adalah seorang pengawal pribadi raja dan menjadi orang kepercayaan. Kalau sampai ketahuan bahwa Wulansari yang membunuh Pangeran Sindumoyo, tentu gadis itu akan ditangkap dan dihukum berat sekali, mungkin hukum siksa sampai mati.
Baru menjelang subuh nampak bayangan berkelebat dan Wulansari telah memasuki kamarnya sambil membawa gulungan babut yang kini digelar kembali oleh gadis perkasa itu seperti semula. Dan babut itu sudah bersih, tidak ada tanda percikan darah. Kiranya gadisi perkasa itu telah mencuci babut itu di bagian yang ternoda darah, bahkan mengeringkan bekas yang dicuci dengan api.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mbakayu Wulan, bagaimana....?"
Puteri Gayatri berbisik sambil memegang lengan gadis perkasa itu. Kini tanpa ragu dan kikuk ia menyebut mbakayu kepada Wulansari karena ia merasa seolah-olah gadis perkasa itu kakaknya sendiri yang membela dan melindunginya
WULANSARI tersenyum dan nampak betapa wajahnya amat anggun, cantik, akan tetapi berwibawa.
"Sudah beres, harap paduka jangan khawatir. Dia mati di dalam hutan dan pembunuhnya tidak meninggalkan jejak. Tentu istana akan geger, akan tetapi tiada seorangpun akan menduga bahwa dia mati di sini"
Benar saja seperti yang dikatakan Wulansari, jenazah Pangeran Sindumoyo ditemukan orang dan setelah berita itu sampai ke istana, penghuni istana menjadi gempar Sang Prabu Jayakatwang marah sekali mendengar bahwa seorang diantara para puteranya tewas di dalam hutan tanpa diketahui siapa pembunuhnya.
"Tidak salah lagi. Pembunuhnya tentu pihak musuh, seorang mata-mata dari Singosari. Cari dia sampai dapat dan seret dia ke sini"
Perintahnya dengan muka merah. Namun, tentu saja tidak ada yang mampu menangkap pembunuh yang tidak diketahui siapa itu dan pembunuh itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Lebih mengherankan lagi, pangeran itu tewas dengan kerisnya sendiri menancap di lambungnya. Karena itu, para penyelidik mengira bahwa pangeran itu tentu telah membunuh diri. Ketika mereka membuat laporan kepada Sang Prabu Jayakatwang, raja itu hanya termenung dengan wajah muram. Akan tetapi, kemurungan ini hanya sebentar saja karena dia sudah disibukkan kembali dengan kemenangannya atas Singosari yang telah diduduki
pasukannya.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, Puteri Gayatri bersahabat akrab sekali dengan Wulansari. Ia tidak lagi mogok makan, tidak lagi bermuram durja. Timbul kembali kelincahan dan kejenakaannya sehingga dara remaja menjelang dewasa ini nampak lebih cantik dan anggun. Dan pada suatu hari, Sang Prabu Jayakatwang memanggil Wulansari menghadap. Gadis perkasa ini merasa heran mengapa ia dipanggil menghadap Sribaginda tanpa adanya para ponggawa yang lain dan Sribaginda mengajak ia bicara empat mata.
Melihat sikap Wulansari yang nampak heran dan bingung, Sang Prabu Jayakatwang tersenyum.
"Wulansari, jangan engkau merasa heran karena. kupanggil menghadap dan bicara empat mata, Kita semua merayakan kemenangan besar yang kita capai, kita telah menguasai Singosari. Maka, biarpun engkau selama ini bertugas di sini menjaga keselamatanku dan tidak ikut menyerbu ke Singosari, namun jasamu cukup besar dan karena itu ingin aku memberi hadiah kepadamu. Terimalah hadiah ini, Wulansari. Ini sebagian dari harta pusaka yang kami rampas dari istana Singosari"
Sang Prabu Jayakatwang menyerahkan sebuah peti hitam kepada gadis itu. Wulansari menerima lalu menyembah dan menghaturkan terima kasih.
"Bukalah, Wulansari dan lihat isinya. Engkau akan gembira melihatnya"
Kata Sang Prabu Jayakatwang melihat betapa wanita itu setelah menerima kotak hitam lalu menaruhnya saja di atas lantai. Wulansari tidak berani membantah dan iapun membuka tutup kotak atau peti kecil hitam itu. Ia melihat perhiasan lengkap dari emas dan batu permata, amat indahnya. Walaupun hatinya tidak begitu tertarik akan benda-benda berharga seperti itu, namun gadis yang cerdik ini sengaja membelalakkan matanya dan memandang kagum.
"Benda benda amat berharga ini bagus sekali, gusti. Sekali lagi hamba menghaturkan banyak terima kasih"
Wulansari menyembah setelah menutup kembali kotak hitam itu.
Prabu Jayakatwang tertawa.
"Wulansari, hadiah yang kami berikan kepadamu itu masih belum seberapa dibandingkan dengan jasa-jasamu. Kami merasa girang sekali melihat perubahan pada Puteri Gayatri yang kini nampak sehat, gembira dan bertambah denok ayu. Dan sekarang kami membutuhkan bantuanmu, Wulansari. Kami melihat betapa hubunganmu dengan Gayatri akrab sekali"
"Sesungguhnya demikian, gusti. Semua ini hamba lakukan untuk menyenangkan hatinya dan menghibur hatinya seperti yang paduka perintahkan"
"Bagus. Engkau memang seorang hamba yang amat setia. Sayang sekali engkau tidak mau menjadi seorang selirku, Wulansari. Akan tetapi tidak mengapalah. Sekarang sudah ada penggantimu, yaitu Gayatri. Engkau bujuk ia agar suka menjadi selirku"
Wajah Wulansari berubah merah dan matanya terbelalak. Melihat ini, Sang Prabu Jayakatwang cepat menyambung.
"Diantara kami tidak ada hubungan darah sama sekali, Wulansari. Memang benar ada puteraku yang menjadi kakak ipar dari Gayatri, namun ikatan pernikahan itu dilakukan hanya sebagai siasat Daha terhadap Singosari. Antara kami dan Gayatri, tidak terdapat hubungan darah, maka sudah sepatutnya kalau ia, seorang puteri tawanan kuangkat menjadi selirku yang paling muda. Nah, aku perintahkan kepadamu agar engkau suka membujuknya, Wulansari. Kalau engkau berhasil membuat ia suka menyerahkan diri dengan suka rela, kami akan mengingat jasamu yang besar ini dan akan memberi hadiah yang lebih besar pula"
Di dalam hatinya, Wulansari merasa marah dan khawatir bukan main. Akan tetapi, tentu saja semua perasaan itu ia simpan di dalam hatinya, dan iapun menyembah.
"Hamba akan berusaha sekuat kemampuan hamba"
Setelah ia diijinkan mundur, Wulansari membawa kotak hitam itu dan ia langsung saja memasuki kamar Puteri Gayatri. Sang puteri sedang menyisiri rambutnya yang berikal dan panjang, hitam dan semerbak harum oleh air kembang. Melihat Wulansari tidak seperti biasanya, wajah yang cantik dan anggun itu nampak muram, mulutnya yang biasanya penuh senyum ramah itu ditekuk kaku, Puteri Gayatri segera bangkit dari duduknya dan merangkul Wulansari.
"Mbakayu Wulan, apa yang telah terjadi? Bukankah tadi engkau dipanggil oleh Paman Prabu?"
Wulansari melemparkan kotak hitam itu ke atas meja. Tutupnya terbuka dan nampak isinya, perhiasan lengkap dari emas permata yang amat indahnya. Melihat itu, Gayatri mengeluarkan seruan lirih dan iapun mendekati meja, lalu memegang kotak hitam itu dan mengamati isinya.
"Aihh........, ini........ ini....... perhiasan seorang selir kanjeng rama........"
Wulansari mengangguk.
"Memang itu adalah perhiasan rampasan dari istana Singosari, dan Sribaginda berkenan memberikan kepada saya sebagai hadiah"
Kata Wulansari, suaranya kaku dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegembiraan.
(Lanjut ke Jilid 20)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 20
Puteri Gayatri menengok dan memandang heran.
"Mbakayu Wulan. Perhiasan ini amat berharga, mengapa engkau tidak senang mendapat hadiah seperti ini?"
"Hemm, gusti puteri, apakah kau menganggap saya ini seorang perempuan yang tamak dan tergila-gila kepada perhiasan? Ketahuilah, Sribaginda memberi hadiah itu kepada saya bukan hanya karena jasa saya di sini, melainkan karena di balik itu, beliau memiliki pamrih"
"Eh? Pamrih? Apa pamrihnya, mbak ayu Wulan?"
"Beliau mengutus saya untuk membujuk paduka, agar paduka dengan suka rela suka menjadi selirnya termuda "
"Brakkk"
Peti kecil yang tadinya dipegang di tangan Puteri Gayatri itu terlepas dan terjatuh ke atas meja kembali. Wajah puteri itu berubah merah sekali dan matanya mencorong penuh kemarahan.
"Gila. Apakah dia sudah gila? Paman Prabu......... hendak........ mengambil aku menjadi selirnya? Bahkan seorang kakak tiriku menjadi mantunya. Apakah dia sudah gila?"
"Tidak, gusti puteri. Akan tetapi, begituIah perintahnya kepada saya. Untuk membujuk paduka agar suka menjadi selirnya"
Berkata demikian Wulansari menatap tajam wajah puteri dari Singosari itu, seperti hendak menjenguk isi hatinya.
"Tidak. Sekali lagi tidak sudi. Lebih baik aku mati dari pada menjadi selirnya. Dia telah menghancurkan kerajaan ayahku, dia telah membasmi keluargaku, sehingga kanjeng rama gugur dan entah bagaimana dengan keluarga lain. Tidak. Seribu kali aku tidak sudi"
Puteri Gayatri lalu melempar tubuhnya ke atas pembaringan, menelungkup dan menangis sesenggukan.
Wulansari memandang khawatir, lalu ia duduk di tepi pembaringan, dan merangkul puteri juwita itu. Ia khawatir kalau kalau sang puteri kembali menjadi berduka dan putus asa maka iapun menghibur.
"Eiit, eitt......... Di manakah sang puteri yang jenaka, riang gembira, tabah dan berani menghadapi segala macam tantangan itu? Gusti puteri, tenang dan sadarlah, kembalilah menjadi Sang Puteri Dyah Gayatri yang tabah dan berwatak satrya. Saya akan melindungimu, gusti, dan percayalah, sayapun sama sekali tidak setuju kalau paduka menjadi selir Sribaginda. Percayalah, saya yang akan menjaga agar jangan sampai paduka dipaksa"
Seketika tangis itu terhenti. Puteri Gayatri bangkit duduk dan dengan muka masih basah air mata, ia memandang kepada wajah Wulansari, penuh selidik dan suaranya masih terdengar parau bercampur isak ketika ia berkata.
"Benarkah itu, mbakayu Wulansari? Benarkah engkau akan melindungi aku dan mencegah Sribaginda memaksaku menjadi selirnya?"
Wulansari mengangguk, tersenyum dan mengusap muka yang jelita itu dengan saputangan, mengeringkan air mata. Dan wajah itupun kini tersenyum kembali, mata itu bersinar-sinar kembali.
"Terima kasih, mbak ayu Wulan. Aku percaya, kalau andika yang menjaga, aku akan selamat. Percayalah bahwa selama hidupku, aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini"
Puteri Gayatri lalu merangkul dan mencium kedua pipi Wulansari yang menahan air matanya karena terharu. la lalu berkata dengan lirih akan tetapi jelas dan dengan sikap bersungguh-sungguh.
"Sekarang dengarlah baik baik, gusti puteri. Jelas bahwa Sribaginda tergila-gila kepadamu dan ingin mengambil puteri sebagai selirnya. Akan tetapi, agaknya beliau menghendaki agar paduka menyerahkan diri dengan suka rela, tanpa paksaan, tentu saja mengingat bahwa paduka adalah seorang puteri Singosari. Oleh karena itu, masih banyak waktu bagi paduka untuk bersikap tenang saja, dan jangan memperlihatkan kedukaan atau kekhawatiran sehingga tidak mendatangkan kecurigaan kepada Sribaginda. Kalau sekali waktu Sribaginda bicara tentang niat hatinya itu, paduka katakan saja bahwa paduka masih ingin sendiri, masih belum mempunyai keinginan untuk melayani pria. Pula, paduka boleh mencari alasan, dan katakan kepada Sribaginda bahwa paduka baru mau menikah kalau sudah bertemu dengan kakak paduka, yaitu Sang Puteri Dyah Tribuwana. Bukankah menurut keterangan paduka, paduka terpisah dari kakak paduka itu dan sampai kini belum diketahui di mana adanya beliau? Tidak mungkin kakak paduka tertawan, karena tentu saya akan mengetahuinya. Nah, alasan itu cukup masuk akal dan kuat. Kalau sampai terjadi Sribaginda hendak memaksakan kehendaknya, jangan khawatir, ada saya di sini yang akan melindungi paduka"
Puteri Gayatri merasa girang sekali dan kembali ia merangkul Wulansari dan sampai lama tidak melepaskan rangkulannya.
"Ah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau tidak ada andika di sini, mbakayu....."
"Kanjeng paman telah menerima saya dengan segala keramahan, sungguh budi paman ini teramat besar, tergores ke dalam kalbu dan sampai bagaimanapun saya tidak akan melupakannya. Saya merasa bersukur dan berterima kasih sekali kepada Kanjeng Paman dan sekeluarga"
Raden Wijaya menyatakan isi hatinya ketika dia makan bersama Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja atau juga dikenal dengan nama Arya Banyak Wide. Bupati itu tertawa mendengar ucapan Raden Wijaya.
"Ah, jangan terlalu sungkan, Raden. Raden adalah seorang pangeran, dan sekarang ini hanya padukalah harapan kami semua. Raden yang kelak berkewajiban untuk membangun kembali Kerajaan Singosari. Raden adalah junjungan kami semua, maka sudah sewajarnya kalau sekarang ini kami menerima paduka dan membantu sekuat kemampuan kami"
"Paman Bupati memang amat bijaksana dan berhati mulia,"
Kata Raden Wijaya terharu.
"Biarlah saya berjanji bahwa kalau kelak berhasil perjuangan saya, dapat menjadi raja di Pulau Nusantara, saya tidak akan lupa kepada paman dan akan membagi kerajaan menjadi dua, dan yang separuh akan saya berikan kepada kanjeng paman sebagai balas budi"
Mendengar ucapan ini, diam diam Arya Wiraraja terkejut, akan tetapi juga girang bukan main, Makin besarlah hatinya dan keyakinannya untuk membantu pangeran ini agar berhasil apa yang dicitakannya, karena dengan demikian berarti dia akan mendapat anugerag yang amat besar pula.
"Raden, tiada hasil baik datang begitu saja dari langit. Keberuntungan harus ditebus dengan usaha dan jerih payah. Kerajaan Daha kini menjadi kuat dan kekuatan kita sendiri tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan mereka. Oleh karena itu, belum waktunya untuk membalas dendam, menyerang Kerajaan Daha. Kalau gagal, berarti kita akan hancur sama sekali. Oleh karena itu, paduka harus bersabar, menanti saatnya yang tepat sehingga kelak, sekali pukul, paduka harus berhasil"
Raden Wijaya mengangguk-angguk, menyetujui ucapan itu.
"Lalu, menurut paman, apa yang sebaiknya harus saya lakukan?"
"Pertama, kita harus dapat membuat Sang Prabu di Daha tidak menaruh kecurigaan kepada paduka dan bal ini dapat dilakukan kalau paduka berbaik dengan beliau. Kedua, paduka harus dapat menyelidiki sampai dimana kekuatan pasukan Kerajaan "Daha, agar kelak dapat membuat perbandingan untuk mengimbanginya. Dan untuk mencapai hasil baik dari kedua hal ini, seyogianya kalau paduka kini pergi ke Daha dan menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang"
"Apa......? Ti...... tidak kelirukah usul paman ini?"
Raden Wijaya terkejut bukan main mendengar usul Arya Wiraraja agar dia menghambakan diri kepada Raja Daha, kepada musuh yang telah menghancurkan Singosari.
Melihat kekagetan pangeran itu, Arya Wiraraja tertawa.
"Memang terasa aneh bahwa paduka menghambakan diri kepada pihak musuh, Raden, Akan tetapi harap paduka mengerti bahwa yang dimusuhi oleh Sang Prabu Jayakatwang bukanlah Raden, melainkan mendiang Sang Prabu Kertanagara. Dalam keluarga Sang Prabu Kertanagara, Raden hanyalah calon mantu. Percayalah, karena saya sudah seringkali bercangkerama dengan Sang Prabu Jayakatwang sehingga saya mengetahui isi hatinya. Untuk menenangkan hati paduka, baiklah saya akan menulis surat pribadi kepada Sang Prabu Jayakatwang, menceritakan tentang niat Raden menghambakan diri ke sana, dan kita lihat saja bagaimana nanti jawabannya"
Raden Wijaya menyetujui karena dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik. Memang dia harus dapat memasuki Daha, bukan hanya untuk menyelidiki kekuatan mereka, akan tetapi juga untuk mencari tunanganya. Yang kedua, yaitu Puteri Gayatri yang kabarnya menjadi tawanan di Daha, Surat dibuat oleh Arya Wiraraja dan dikirimkan ke Kerajaan Daha.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan Arya Wiraraja, surat itu mendapat jawaban yang menyenangkan sekali. Sang Prabu Jayakatwang yang sedang merayakan pesta kemenangannya itu berbesar hati dan memperlibatkan kebijaksanaannya untuk menerima Raden Wijaya sebagai tamu terhormat dan akan diterima kalau hendak membantu Kerajaan Daha.
Setelah menerima surat balasan ini, Raden Wijaya mengadakan pertemuan dan rapat dengan Arya Wiraraja dan sekalian pengikutnya. Lalu diambil keputusan bahwa Raden Wijaya, dan para pengikutnya akan memasuki Daha, dan Puteri Tribuwana ditinggalkan untuk sementara di Sumenep. Bagaimanapun juga, perjalanan menuju ke kerajaan bekas musuh itu bukan tidak berbahaya, maka demi keselamatannya, sang puteri ditinggalkan di Kabupaten Sumenep.
Rombongan itu berangkat dan diantar sendiri oleh Arya Wiraraja sampai ke dusun Terung. Di sini mereka berpisah, Raden Wijaya dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Daha seJangkan Arya Wiraraja kembali ke Sumenep. Setelah tiba perbatasan Daha, Raden Wijaya dan rombongannya menuju ke Jung Bitu dan dia lalu menyuruh dua orang utusannya ke Daha untuk menghadap Sribaginda dan mengabarkan tentang kedatangannya.
Seperti yang telah dijanjikan dalam surat balasannya kepada Arya Wiraraja, Sang Prabu Jayakatwang menerima mereka dengan gembira. Diutusnya dua orang senopatinya, yaitu Mantri Sagara Winotan dan Jangkung Angilo untuk menyambut rombongan Raden Wijaya ke kota raja.
Raden Wijaya sama sekali tidak tahu bahwa baru beberapa bari yang lalu, setelah Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Arya Wiraraja telah terjadi suatu hal yang menimpa diri tunangannya yang kedua, yaitu Sang Dyah Gayatri. Apakah yang telah terjadi?
Ketika Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Bupati Sumenep, Arya Wiraraja, diapun merasa senang sekali. Kalau Raden Wijaya hendak menghambakan diri kepadanya, hal ini berarti bahwa dari pihak keluarga Kerajaan Singosari sudah tidak ada lagi ancaman, tidak ada lagi usaha balas debdam. Dan memang dia tidak membenci Raden Wijaya yang biasanya amat hormat kepadanya. Yang dibencinya hanyalah Sribaginda Kertanagara. Akan tetapi ada sebuah hal yang mengganjal hatinya, yaitu Puteri Gayatri. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa puteri itu telah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Kalau pemuda itu datang dan bekerja di Daha, sungguh tidak enak rasanya kalau dia tetap menahan Puteri Gayatri. Tentu dia terpaksa akan mengembalikan sang puteri kepada tunangannya. Dan dia sudah tergila-gila kepada dara hitam manis yang cantik jelita itu.
Satu-satunya jalan hanyalah mempersunting gadis itu, mengambilnya sebagai selir sebelum Raden Wijaya tiba. Kalau gadis itu sudah terlanjur menjadi selirnya, sudah melayaninya, tentu Raden Wijaya tidak akan mau menerima tunangannya yang sudah bukan perawan lagi itu. Dan dia sendiri dapat berpura-pura tidak tahu akan pertunangan itu.
"Panggil Wulansari"
Perintahnya kepada seorang dayang.
Setelah Wulansari datang menghadap, Sribaginda memerintah semua dayang, pengawal dan selir meninggalkan ruangan itu karena dia ingin bicara berdua saja dengan Wulansari. Setelah semua orang pergi, Sang Prabu Jayakatwang memandang Wulansari dan bertanya dengan suara penuh harapan.
"Bagaimana dengan Gayatri, Wulansari? Apakah ia sekarang sudah bersedia untuk menjadi selirku?"
Wulansari menyembah.
"Sudah hamba usahakan untuk membujuknya, gusti. Akan tetapi ia selalu mengatakan bahwa ia belum bersedia melayani pria, dan bahwa ia harus menanti dulu sampai bertemu kembali dengan kakaknya, yaitu Gusti Puteri Tribuwana, baru ia mau menerima pinangan paduka. Hamba hanya mengharap agar paduka bersabar, gusti, karena ia masih seorang remaja, belum dewasa benar"
"Seorang perawan berusia tujubelas tahun belum dewasa? Ah, Wulansari agaknya ia sengaja hendak mempersulit. Mau atau tidak, malam ini aku akan bermalam dan tidur di kamarnya dan ia harus melayaniku malam ini. Kesabaranku sudah habis, dan kau usahakan agar ia menerimaku dengan suka rela, dari pada harus dipaksa"
Setelah berkata demikian, dengan wajah muram Sribaginda memberi isarat kepada Wulansari untuk pergi.
Wulansari kembali ke kamarnya dan beberapa kali ia mengepal tinju. Ingin rasanya tadi ia turun tangan membunuh Sang Prabu Jayakatwang ketika raja itu menyatakan keinginan hatinya hendak memaksa Gayatri untuk melayani raja itu malam nanti. Kini saat yang dikhawatirkan telah tiba. Dan ia memang sudah bersiap-siap untuk menghadapi ini. Maka, iapun cepat bersiap siaga dan malam itu, bagaikan bayangan setan, tanpa diketahui orang lain, ia menyelinap ke dalam kamar pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang masih bercengkerama di luar bersama para selirnya yang menghiburnya, dan ia mengambil tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Lalu ia menyelinap kembali ke dalam kamar Puteri Gayatri yang siang tadi sudah ia beritahu. Puteri itu pun sudah siap. Nampak tegang, namun tetap tenang. Malam inilah saatnya untuk menentukan mati hidupnya. la akan lolos dari istana Daha bersama Wulansari. Kalau ketahuan dan dikeroyok mungkin ia akan tewas. Lebih baik ia mati dari pada harus melayani Sang Prabu Jayakatwang secara paksa.
Setelah mengikatkan buntalan kain berisi pakaian dan perhiasan dari Puteri Gayatri, Wulansari yang berpakaian ringkas itu lalu menggandeng tangan sang puteri dan merekapun meninggalkan bagian keputren. Wulansari maklum betapa besar bahayanya pelarian ini. Kalau ia sendiri yang melarikan diri, hal itu dianggapnya amat mudah. Akan tetapi kini ia harus melarikan seorang puteri yang tidak pandai bergerak cepat, seperti dirinya, dan ia harus melindungi sang puteri, maka pelarian itu harus dilakukan dengan amat berhati-hati.
Baru tiba di pintu puri bagian puteri, dua orang pengawal istana sudah memalangkan tombak menghadang mereka. Akan tetapi, dua orang pengawal itu terkejut dan heran ketika melihat bahwa dua orang yang mereka hadang itu adalah kepala pengawal atau komandan mereka sendiri, yaitu Wulansari. Dan yang seorang lagi adalah Puteri Gayatri, puteri Singosari yang menjadi tawanan di istana.
"Ah, kiranya kau"
Kata seorang diantara dua penjaga itu sambil mengerutkan alisnya.
"Kenapa kau bersama puteri ini dan hendak dibawa ke manakah ia?"
Wulansari mengerutkan alisnya dan memandang marah.
"Berani kalian menyelidiki dan menghalangi aku? Aku melaksanakan tugas rahasia dari Sribaginda. Kalian tidak perlu ribut dan tidak boleh tahu. Lakukan saja penjagaan baik baik sebelum aku pulang. Mengerti?"
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo