Sejengkal Tanah Percik Darah 19
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Dibentak seperti itu, kedua orang penjaga ini menjadi terkejut dan nyali mereka menguncup.
"Kami siap"
Mereka menjawab dengan sigap.
Wulansari tersenyum dan menggandeng tangan Puteri Gayatri, diajaknya terus menyusup-nyusup keluar dan dalam iingkungan istana. Sementara itu Sang Prabu Jayakatwang merasa yakin bahwa malam itu dia akan berhasil menguasai diri Puteri Gayatri yang selama beberapa malam ini menjadi kembang impian dalam tidurnya. Dia bersuka ria di ruangan dalam, dihibur oleh para selir dan dayang, makan dan minum sambil mendengarkan mereka bertembang, melihat mereka menari. Akhirnya, setelah kenyang, dalam keadaan setengah mabok diapun melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Biasanya, kalau dia menentukan pilihannya diantara para selir atau dayang untuk menemaninya pada malam tertentu, dia hanya menanti di dalam kamarnya dan wanita yang dipilihnya itulah yang datang ke kamarnya. Akan tetapi sekali ini dia tidak tega membiarkan Puteri Gayatri menderita malu, harus dilihat para selir dan dayang ketika memasuki kamarnya. Selain itu, diapun merasa agak sungkan dan malu kepada permaisuri dan para selir, karena bagaimanapun juga, Puteri Gayatri adalah adik dari seorang mantunya.
Dengan langkah gontai dan mulut tersenyum Sang Prabu Jayakatwang melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Kadang kadang dia menjilat bibir sendiri seperti seorang kehausan membayangkan minuman segar, dan dia merasa seperti seekor kumbang yang terbang menuja ke sekuntum bunga yang sedang mekar mengharum, penuh dengan madu yang sebentar lagi akan dihisapnya.
Setibanya di depan pintu kamar Puteri Gayatri, pria yang sudah dibuai nafsu berahinya sendiri itu menanti sambil mengetuk pintu, jantungnya berdebar tegang.
"Tok tok tok. Dyah Gayatri, bukalah daun pintu kamarmu. Aku datang menjengukmu, sayang...."
Akan tetapi, bcberapa kali sudah dia mengetuk dan memanggil, tidak ada jawaban dari dalam, apa lagi dibukakan pintunya. Dia mulai tidak sabar. Dengan mengetuk pintu dan memanggil, dia sudah merendahkan martabatnya sebagai seorang raja besar yang biasanya mengeluarkan perintah satu kali dan selalu ditaati orang. Maka, diapun lalu mendorong daun pintu itu. Ternyata mudah sekali terbuka.
"Gayatri......."
Dia berseru memanggil dan jantung berdebar sambil melangkah masuk. Akan tetapi, dia segera terbelalak heran. Kamar itu kosong. Tidak nampak perawan manis yang dirindukannya. Dia merasa seperti seekor kucing memandangi sangkar burung yang kosong. Burungnya telah terbang pergi. Prabu Jayakatwang merasa adanya sesuatu yang janggal. Dia lalu berteriak memanggil.
"Wulansari......
"
Berulang kali dia
berteriak memanggil, akan tetapi gadis perkasa yang menjadi pengawal pribadinya dan yang pada akhir-akhir ini ditugaskan menjaga dan menemani Gayatri tidak menjawab, juga tidak muncul. Akibat teriakan-teriakannya, yang bermunculan adalah para perajurii pengawal, penjaga, para selir dan para dayang. Tidak nampak diantara mereka itu Gayatri maupun Wulansari.
"Kalian cari sampai dapat Gayatri dan Wulansari. Hayo cepat. Cari mereka sampai dapat"
Sang Prabu Jayakatwang berseru marah dan dengan bersungut-sungut diapun kembali ke kamarnya sendiri.
Laporan para dayang dan selir membuat dia semakin narah. Ternyata dua orang wanita itu benar-benar lenyap dari istana bagian puteri. Bahkan ketika para pengawal melapor, dia mendengar bahwa mereka berdua itu tidak terdapat pula di bagian lain dari istana. Mereka telah lolos dari istana .
"Panggil kepala pengawal istana yang di luar"
Teriak Sang Prabu Jayakatwang. Ketika perwira yang masih kumal karena baru bangun tidur itu datang, Sribaginda memerintahkan untuk mengerahkan seluruh pasukan dan melakukan pengejaran terhadap dua orang wanita yang lolos dari istana itu. Namun, tentu saja mereka itu gagal. Wulansari terlampau cerdik dan pandai bagi mereka. Selagi semua orang mencari-cari dengan bingung, Wulansari telah membawa Puteri Gayatri keluar dari tembok kota raja dan menggendong sang puteri berlari cepat naik turun bukit menuju ke selatan.
Biarpun hatinya masih merasa kecewa dan juga marah karena lolosnya Gayatri dan Wulansari dari dalam istana, namun wajah Sang Prabu Jayakatwang tidak memperlihatkan sesuatu ketika dia berada diantara para senopati dan menterinya, karena mereka semua sedang merayakan pesta Galungan. Dan tepat ketika Kerajaan Daha sedang merayakan pesta Galungan inilah, utusan Raden Wijaya datang menghadap untuk memberitakan tentang kedatangan Raden Wijaya dari Sumenep.
Prabu Jayakatwang mengutus dua orang senopatinya menyambut dan tak lama kemudian, muncullah Raden Wijaya dengan sikapnya yang anggun dan tenang, disambut sendiri dengan rangkulan oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Sama sekali Raden Wijaya tidak tahu bahwa tunangannya, Dyah Gayatri, baru tiga hari yang lalu, lolos dari istana yang berarti juga lolos dari cengkeraman Sang Prabu Jayakatwang yang hendak memaksanya menyerahkan diri dan menjadi selirnya.
Sang Prabu Jayakatwang sendiri juga bermain sandiwara. Ada suatu hal yang amat membingungkan hatinya. Bukan karena larinya Gayatri, gadis yang dirindukan, karena dia akan mampu memperoleh puluhan, bahkan ratusan orang gadis lain sebagai pengganti Gayatri, juga bukan karena kepergian Wulansari karena dia masih mempunyai banyak jagoan yang dapat melindungi dirinya. Akan tetapi yang membuat dia merasa bingung dan berduka sekali adalah hilangnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu yang dianggap sebagai pusaka yang mendatangkan wahyu kerajaan, bahkan dia tadinya merasa yakin bahwa akibat adanya tombak pusaka itu di tangannya, maka Daha berhasil menghancurkan Singosari.
Dan kini tombak itu hilang. Dia merasa yakin bahwa tentu Wulansari yang mencurinya. Hanya dia dan Wulansari yang mengetahui di mana disimpannya tombak pusaka itu. Permaisuri dan para selirnyapun tidak ada yang mengetahui. Dan diapun tahu bahwa pusaka itu memang tadinya didapatkan oleh Wulansari, yang kemudian diberikan kepada Ki Cucut Kalasekti yang menyerahkan pusaka itu kepadanya. Siapa lagi kalau bukan Wulansari, si pengkhianat itu yang mencurinya? Namun lenyapnya pusaka itu disimpan dan dirahasiakan sandiri. Tidak baik kalau sampai ketahuan para ponggawa dan senopati, karena hal itu dapat menjatuhkan semangat mereka.
Namun, malam kemarin diam-diam dia mengirim utusan kepada Ki Cucut Kalasekti atau yang kini telah menjadi seorang adipati di Bendowinangun bernama Adipati Satyanegara. Kakek yang memiliki kesaktian seperti iblis itu menghadap dan diajak bicara empat mata oleh Sang Prabu Jayakatwang, dan kepada kakek inilah Sribaginda bercerita bahwa Wulansari telah lolos dari istana dan membawa lari Ki Ageng Tejanirmala. Sribaginda menugaskan Adipati Satyanegara untuk mencari dan merampas kembali pusaka itu, dan dia diperbolehkan memilih pembantu diantara para senopati di Daha. Tentu saja Sribaginda menjanjikan hadiah yang amat besar kalau berhasil, dan ancaman hukuman kalau tidak berhasil.
"Ingat, yang memasukkan Wulansari ke istana adalah kau, paman"
Demikian ancaman Sribaginda kepada Adipati Satyanegara.
Raden Wijaya dan para pengikutnya menjadi pusat perhatian para senopati dan ponggawa Daha ketika mereka memasuki tempat pesta Galungan yang diadakan di alun-alun depan istana itu. Sang Prabu Jayakatwang yang menyambut pangeran muda itu dengan rangkulan, lalu mengajaknya duduk di tempat yang paling terhormat, yaitu di samping tempat duduk sang raja. Hidangan berlimpah ruah dan serba mewah. Akan tetapi, Raden Wijaya hanya melihat saja dan hanya kalau ditawari oleh Sribaginda, dia mau mengambil makanan yang serba sedikit. Pemuda ini ketika meninggalkan Sumenep, bersumpah bahwa dia akan berprihatin, tidak mau makan enak dan minum tuak sebelum cita-citanya bertemu kembali dengan Dyah Gayatri tercapai. Dan dia tidak melihat tunangannya itu diantara para puteri dan selir Sribaginda.
Hati Raden Wijaya mulai terasa gelisah. Kemana perginya Dyah Gayatri, pikirnya. Jangan-jangan ia telah menjadi korban perang? Sudah........ sudah tewas? Hatinya semakin gelisah.
Pesta Galungan itu ramai sekali dan seperti biasa, diadakan pula perlombaan dan ketangkasan bermacam macam. Diadakan pula adu kesaktian yang disaksikan oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri. Diantara para jagoan yang memasuki medan laga, nampak seorang laki-laki berkulit kasar seperti kulit buaya, wajahnya persegi empat dengan sepasang mata besar melotot, yang memiliki kemampuan jauh melebihi para lawannya. Satu demi satu lawannya dilemparkan keluar panggung dan kehebatannya ini disambut sorak sorai tepuk dan tangan para penonton, sedangkan para penabuh gamelan juga memukul gamelan mereka dengan gencar hingga sunsana menjadi meriah dan ramai sekali. Sang Prabu Jayakatwang dan para ponggawanya tertawa tawa gembira dan mereka merasa bangga dan kagum akan kehebatan jagoan yang bernama Klabang Gunung itu.
Klabang Gunung adalah seorang yang kasar. Melihat betapa semua orang memujinya, bah-kan rajanya juga mengaguminya, timbul kecongkakannya. Dia tahu pula bahwa di tempat itu terdapat serombongan tamu dari Singosari. Dan karena baru saja Singosari jatuh dan dikalahkan oleh Daha, maka diapun memandang rendah dan dalam kesempatan itu dia ingin meninggikan Daha dan meremehkan Singosari, agar makin menyenangkan hati Sang Prabu Jayakatwang dan para senopatinya. Setelah tidak ada seorangpun lawan tersisa di atas panggung, diapun mengangkat tangan memberi isarat kepada para penabuh gamelan untuk menghentikan tabuhan itu agar suasana menjadi hening karena dia hendak bicara. Gamelan berhenti dan kini Klabang Gunung memberi hormat sembah ke arah Sang Prabu Jayakatwang, lalu dia bangkit lagi memandang ke arah para tamu dari Singosari yang duduk berkelompok di sebelah kiri panggung.
"Saudara-saudara sekalian. Kalian sekalian mengetahui bahwa di Daha terdapat banyak sekali orang orang gemblengan, sakti mandraguna dan digdaya. Saya hanyalah seorang diantara mereka dan agaknya para saudara yang memiliki kesaktian, merasa sungkan untuk menandingi saya dalam lomba kedigdayaan ini. Dahulu, yang menandingi saya adalah jagoan-jagoan dari Singosari, akan tetapi saya tidak pernah kalah oleh mereka. Sayang sekali, sekarang Singosari telah kehabisan jago. Kalau saja di sini terdapat orang Singosari yang digdaya dan jantan, alangkah senangnya kalau saya dipat bertanding dengan dia"
Jelas bahwa ucapannya itu merupakan tantangan bagi orang-orang Singosari.
Para senopati, pengikut Raden Wijaya. adalah orang-orang yang gagan perkasa, Mendengar bualan Klabang Gunung itu, tentu saja wajah mereka menjadi merah. Terutarna sekali Ki Lembu Sora yang berwatak keras dan pemberani. Dia melotot, kemudian dia menoleh ke arah Ridera Wijaya yang duduk di dekat Sang Prabu Jayakatwang. Raden Wijaya sendiripun malah mendengar kesombangan Klabang Gunung, akan tetapi diapun berhati-hati dan tidak membiarkan perasaannya terpancing tantangan dan menjadi marah. Kalau saja senopati lain yang melontarkan pandang mata kepadanya seperti yang dilakukan Lembu Sora, tentu dia akan menggeleng kepala karena dia tidak ingin membikin ribut, juga tidak ingin melihat seorang pengikutnya dilempar keluar gelanggang oleh Klabang Gunung yang sombong itu. Akan tetapi ketika dia melihat Lembu Sora menoleh dan memandang kepadanya, Raden Wijaya segera mengangguk lirih. Dia cukup mengenal senopatinya yang seorang ini. Selain sakti mandraguna dan digdaya, juga Lembu Sora bukan seorang yang hanya mengandalkan keberanian dan kedigdayaan saja. Dia seorang yang panjang akal dan waspada, tidak sembrono, maka kalau Lembu Sora yang maju, Raden Wijaya percaya sepenuhnya bahwa pengikutnya ini pasti sudah memiliki perhitungan dan tidak mau sembarangan membikin ribut pesta Galungan Kerajaan Daha itu. Maka diapun cepat menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang sambil berkata dengan sikap hormat.
"Harap paduka suka memaafkan kalau hamba menyuruh seorang pengikut hamba turut meramaikan pesta ini, Kanjeng Paman Prabu. Kalau paduka memperkenankan, hamba ingin mengajukan seorang ksatria pengikut hamba untuk menandingi Klabang Gunung agar suasana pesta bertambah meriah"
Sang Prabu Jayakatwang yang sudah terlalu banyak minum arak itu tertawa.
"Hahaha, tidak ada orang vang mampu menandingi kekuatan Klabang Gunung. Akan tetapi kalau kau hendak mengajukan seorang jagoan, silahkan. Biar suasana pesta bertambah menggembirakan"
Raden Wijaya memberi isarat kepada Lembu Sora untuk maju. Pria yang bertubuh tegap dan bersikap tenang ini lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu dia meloncat ke atas pang-gung. Melihat bahwa yang meloncat ke atas panggung adalah seorang dari Singosari, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya, suasana menjadi tegeng dan tiba-tiba saja semua suara terhenti sehingga keadaan amat hening. Lembu Sora lalu berlutut menyembah ke arah tempat duduk Sang Prabu Jayakatwang dan Raden Wijaya sehingga dia yang menyembah ke arah Raden Wijaya itu nampaknya seperti juga menyembah ke arah Raja Daha.
"Hamba mohon diberi ijin untuk menandingi kedigdayaan Klabang Gunung"
Kata Ki Lembu Sora.
Tentu saja ucapan dan sembahnya itu ditujukan kepada Raden Wijaya, dan pangeran ini mengangguk tanpa menjawab. Akan tetapi, Sang Prabu Jayakatwang menjawab dengan lantang.
"Baiklah, engkau boleh main menandingi Klabang Gunung. Jangan khawatir, kalau kau menang, akan kami beri hadiah, kalau kalah, akan kami beri bobok param untuk mengurangi rasa nyeri"
Ucapan Sribaginda ini disambut dengan tawa oleh para senopati Daha yang mengenal siapa pria yang hendak menandingi Klabang Gunung itu.
Sementara itu, karena pertunjukan diadakan di alun-alun, maka rakyat jelata banyak yang menonton, walaupun dari jarak yang sudah dibatasi. Gelanggang adu kedigdayaan itu berada di atas panggung, maka cukup jelas dapat ditonton oleh rakyat yang berada di luar batas.
Lembu Sora kembali menyembah, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Klabang Gunung yang memandang kepadanya sambil menyeringai sombong. Kini mereka saling berhadapan. Biarpun Lembu Sora termasuk seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berotot, namun setelah berhadapan dengan Klabang Gunung, dia nampak kecil. Klabang Gunung mirip raksasa, apa lagi karena tubuh atasnya yang telanjang itu memperlihatkan kulit yang keras dan kasar seperti bersisik, Tadi Lembu Sora sudah melihat betapa semua pukulan dan tendangan para lawan Klabang Gunung, sedikitpun tidak pernah mampu melukai kulit yang keras itu. Dan tadi dia sudah melihat betapa besarnya tenaga tubuh raksasa ini yang mampu melemparkan para lawan satu demi satu keluar panggung.
Klabang Gunung menyambut Lembu Sora dengan mulut tersenyum lebar, menyeringai sombong. Dia tidak mengenal Lembu Sora, maka diapun dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan seorang diantara para tamu dari Singosari.
"Apakah kau seorang dari Singosari?"
Tanyanya langsung saja, Memang watak Klabang Gunung ini kasar dan tidak pernah memperdulikan tata sopan santun. Apa lagi dia memang amat menyombongkan kedigdayaan dirinya.
"Siapa namamu?"
"Aku memang dari Singosari, namaku Lembu Sora"
Jawab Ki Lembu Sora dengan tenang.
"Aha. Bukankah Lembu Sora itu seorang senopati Singosari? Bagus, masih ada senopati Singosari tercecer? Lembu Sora, kau seorang tamu, maka harus disambut secara istimewa pula. Kalau tadi, para lawanku hanya kulemparkan ke bawah panggung, untuk andika akan kupatah-patahkan kedua kaki dan lenganmu, baru kulempar ke bawah panggung"
Gamelan sudah dipukul gencar sehingga ucapan Klabang Gunung itu hanya dapat terdengar oleh Lembu Sora saja. Lembu Sora tersenyum, tidak mau dipancing kemarahannya oleh kata kata yang merendahkan itu, lalu menjawab tenang.
"Klabang Gunung, coba hendak kulihat apakah kau mampu membuktikan omonganmu itu, ataukah kau hanya tukang membual belaka"
"Jaga seranganku"
Bentak Klabang Gunung dan dia sudah mengambil sikap atau kuda-kuda yang dinamakan "Biruang Mengamuk". Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar, siap untuk menerkam. Matanya melotot merah, mulutnya menyeringai dan napasnya mendengus-dengus seperti seekor kuda. Baru sikapnya saja sudah dapat membuat lawan menjadi gentar. Namun Lembu Sora bersikap tenang saja. Dia berdiri dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, lutut agak ditekuk, tangan kanan menempel di pinggang kanan dengan jari terbuka dan telapak tangan telentang, sedangkan tangan kiri berada. di depan, menempel di dada dengan jari-jari tangan lurus ke atas, sepasang matanya tajam menatap lawan, pecuh kewaspadaan.
"Grrrrr........"
Dari mulut Klabang Gunung keluar gerengan seperti seekor binatang buas dan diapun sudah menubruk ke depan, kedua tangannya menerkam dari atas untuk mencengkeram kepala dan pundak lawan. Gerakannya itu selain amat kuat, juga cepat bukan main.
"Namun, Lembu Sora lebih cepat lagi mengelak sehingga terkaman itu hanya mengenai tempat kosong saja. Lembu Sora tidak segera membalas, banya tenang menanti sampai lawan membalik dan kini tangan kanan raksasa itu menyambar dari atas samping mengarah kepalanya, sedangkan tangan kirinya, pada detik berikutnya, menyambar dari bawah seolah-olah kedua tangan itu hendak menggencet dari atas bawah. Serangan ini berbahaya bukan main. Namun, Lembu Sora kembali memperlihatkan kelincahan gerakan tubuhnya dan dia sudah menghindarkan diri dengan melangkah mundur sehingga kedua tangan yang menyerang itu kembali mengenai tempat kosong.
"Tarrr"
Kedua telapak tangan Klabang Gunung bertemu di udara dan mengeluarkan suara seperti ledakan, Diam-diam Lembu Sora terkejut, Tak disangkanya sedemikian hebatnya tenaga lawan itu.
"Heiiiitttt......."
Kembali Klabang Gunung menyerang, kini tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan Lembu Sora, dan tangan anannya yang dikepal, menyusul dengan tonjokan maut ke arah dada.
"Wut....... wuuuttt"
Dan serangan kedua tangan itu menyambar.
"Wirrr......., luput lagi, Klabang Gunung"
Lembu Sora mempermainkan lawan dengan kelincahannya mengelak.
"Pengecut, jangan lari. Kalau memang jantan, terimalah seranganku"
Bentak Klabang Gunung yang semakin penasaran dan marah karena berulang kali serangannya hanya me-ngenai angin kosong belaka. Dia lalu tiba-tiba melakukan tendangan. Kaki kanan yang panjang dan berat itu menyambar ke arah dada lawan.
"Ambrol dadamul"
Bentaknya. Kembali Lembu Sora mengelak dengan cekatan.
"Luput, Klabang Gunung"
"Pengecut, balaslah menyerang, jangan lari saja"
Klabang Gunung membentak Lawannya terlalu cekatan, dan dia merasa seperti bertanding melawan seekor burung walet saja, sukar sekali serangannya mengenai sasaran.
"Baik, kau terima seranganku ini"
Lembu Sora kini menghantamkan kepalan kanannya Ke arah dada lawan, Klabang Gunung maklum bahwa lawannya ini bukan orang lemah, maka diapun mempergunakan tangan kanan yang berjari panjang dan besar itu untuk menangkis dari tengah, langsung tangannya diputar dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan Lembu Sora.
Senopati Singosari ini terkejut. Tak disangkanya bahwa si raksasa Daha ini memiliki banyak macam ilmu, diantaranya ilmu tangkapan secepat itu. Begitu pergelangan tangannya ditangkap, Lembu Sora mengeluarkan teriakan nyaring, menarik tangan yang dicengkeram lawan, Klabang Gunung mengerahkan tenaga mempertahankan dan pada saat tubuhnya condong ke depan itu. Lembu Sora tiba-tiba menarik lengan kanan. yang pergelangannya dicengkeram, kakinya maju ke depan dan tubuhnya condong ke depan dengan siku kanan menghantam ke arah dada lawan.
"Dukkk"
Siku kanan Lembu Sora dengan kerasnya menghantam dada Klabang Gunung dan pada saat itu, Lembu Sora merenggut lengannya yang dicengkeram itu lepas melalui. ibu jari dan telunjuk tangan yang. mencengkeram. Lengannya terlepas dan hebatnya, Klabang Gunung yang terkena hantaman siku pada dadanya tadi hanya mundur dua langkah saja. Ternyata tubuhnya memang kebal sehingga hantaman siku yang keras tadi tidak membuatnya merasa nyeri. Hanya membuat dia marah bukan main dan sambil mengeluarkan gerengan seperti srigala, diapun menerjang ke depan.
Kini, kedua tangannya yang dikepal melakukan pukulan bertubi tubi dari depan, atas
dan bawah. Namun, Lembu Sora juga mengelak dan menangkis sehingga semua pukulan lawan dapat dihindarkan. Bahkan diapun mulai membalas dengan tamparan dan pukulan yang jugar dapat ditangkis dengan baik oleh Klabang Gunung. Pertandingan itu semakin lama menjadi semakin seru. Pukul memukul, tendang menendang, tampar menampar, kadang-kadang mereka mengadu tenaga dengan kedua tangan saling tangkap, beradu dada, mengerahkan tenaga sehingga panggung itu kadang-kadang tergetar hebat.
Penonton bersorak sorai. Belum pernah mereka menyaksikan pertarungan sehebat itu.
Lembu Sora juga merasa penasaran sekali. Lawannya ternyata lebih digdaya dari pada yang dia bayangkan. Ketika lawan memukul dan dia mengelak kekiri, lalu melihat kesempatan baik selagi tubuh lawan condong membungkuk, diapun cepat mengirim tendangan dengan kaki kanan secepat kilat ke arah dada lawan.
"Wuuuuttt......."
Tendangan dahsyat itu menyambar. Akan tetapi ternyata Klabang Gunung bukan seorang yang bodoh. Dia cepat menarik tubuhnya ke belakang dan begitu kaki lawan menyambar, tangan kirinya sudah berhasil menangkap belakang kaki dekat tumit dan dengan pengerahan tenaga, dia mendorong kaki itu ke atas dan membuat gerakan tenaga melemparl. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh Lembu Sora terlempar ke atas ka-rena tenaga tendangannya tadi ditambah tenaga dorongan Klabang Gunung. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga dan keseimbangan tubuhnya, dapat berjungkir balik beberapa kali di udara sehingga dia dapat turun lagi ke atas panggung dengan baik.
Penonton menyambut dengan tepuk dan sorak untuk keduanya. Mereka saling serang lagi dan Lembu Sora tidak mau kalah. Ketika dia melihat kesempatan selagi lawannya menendang, diapun mengelak dan cepat dia menangkap tumit kaki kiri lawan yang menendangnya itu dan diapun meminjam tenaga tendangan ditambah temganya sendiri untuk mendorong. Akan tetapi tidak seperti Klabang Gunung tadi yang mendorong ke atas sehingga tubuhnya terlempar ke atas, kini Lembu Sora mendorong ke depan sehingga tubuh lawan yang tinggi besar itu melayang ke belakang. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuhnya keluar dari panggung dan jatuh berdebak ke atas tanah dibawah panggung.
Akan tetapi dia tidak mengaku kalah. Memang sedikitpun dia tidak terluka, dan begitu terjatuh, dia sudah meloncat lagi ke atas panggung dan menghantamkan kepalan tangan kananya ke arah dada Lembu Sora. Lembu Sora mengukur kekuatan itu, dan dia menerima pukulan pada dadanya itu sambil mengerahkan tenaga dalam yang membuat dadanya kebal.
"Bukkk"
Kepalan itu mengenai dada, dan membalik seolah-olah memukul sebuah benda dari karet yang keras saja.
Klabang Gunung menjadi penasaran.
"Babo babo, kau pamer kekebalan? Hayo boleh kau pukul tubuhku, kita mengadu kekebalan, siapa lebih kuat"
Bentaknya sambil membusungkan perut dan dadanya yang amat kokoh.
Lembu Sora mengerahkan tenaganya dan memukul ke arah dada. Lawannya tidak mengelak.
"Desss......."
Pukulannya juga membalik.
Tepuk tangan dan sorak sorai mengiringi kedua orang jagoan yang saling pukul dan memperlihatkan kekebalan mereka itu. Dalam hal kekebalan, keduanya memang setanding. Akan tetapi, Klabang Gunung berlaku curang dan dalam gilirannya, dia memukul ke arah muka. Lembu Sora kembali mengelak dan membalas dengan tusukan jari-jari tangan yang diluruskan ke arah leher lawan yang juga ditangkis oleh Klabang Gunung.
Mereka sudah berkelahi lagi, saling serang dan karena mereka mengarahkan seiangan pada daerah atau bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, keduanya tidak berani mengandalkan kekebalan untuk melindungi bagian yang diserang.
Para penonton menjadi semakin gembira dan banyak terjadi pertaruhan diantara mereka, seperti orang-orang menonton adu ayam saja. Para puteri yang juga berada di situ, banyak yang sudah menutupi muka karena merasa tegang dan ngeri. Raden Wijaya tenang saja karena dia percaya sepenuhnya kepada Lembu Sora. Sementara itu. Sang Prabu Jayakatwang juga menjadi gembira bukan main menyaksikan dua jagoan yang setanding itu.
"Hebat jagomu, anak mas Wijaya. Kalau jagomu menang, kami akan menghadiahi dia dan juga kau berhak mendapatkan hadiah. Akan tetapi, belum tentu dia akan menang, heh-heh"
"Saya merasa yakin bahwa Paman Lembu Sora akan mampu mengalahkan Klabang Gunung, Kanjeng Paman Prabu"
Jawab Raden Wijaya dengan sikap tenang dan suara penuh keyakinan.
Agaknya memang Lembu Sora kalah tenaga sedikit dibandingkan musuhnya. Beberapa kali nampak dia terhuyung dan hampir terpelanting kalau mereka mengadu tenaga dan Klabang Gunung sudah mentertawakannya karena raksasa ini yakin bahwa akhirnya dia yang akan keluar sebagai pemenang.
Pada suatu saat, keduanya saling berpegang lengan. Keringat sudah membuat seluruh tubuh mereka basah dan licin, pernapasan mereka sudah agak terengah dan keduanya sudah lelah sekali. Tiba-tiba Klabang Gunung membuat gerakan menyelinap dari bawah lengan lawan dan tahu tahu dia sudah tiba di belakang tubuh Lembu Sora dan kedua lengannya yang panjang dan besar itu menyusup ke bawah kedua lengan lawan, lalu jari jari tangannya saling bertemu di tengkuk Lembu Sora. Dia sudah berhasil memiting lawan dengan kunci pitingan yang amat kuat. Sepuluh jari dari kedua tangan itu sudah saling melekat di belakang tengkuk Lembu Sora dan agaknya sudah tidak ada jalan bagi Lembu Sora untuk melepaskan diri dari kuncian yang amat kuat ini.
"Hahaha, engkau berlututlah dan menyatakan diri kalah. Kalau tidak, akan kupatahkan tulang punggungmu"
Kata Klabang Gunung. Gamelan dipukul bertalu-talu dan mereka yang berpihak kepada Lembu Sora dalam taruban sudah merasa cemas. Bahkan Raden Wijaya sendiri memandang tajam, dan para pengikutnya sudah nampak gelisah pula.
Lemba Sora juga terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya memiliki ilmu gulat yang membuat tubuhnya licin bagaikan belut dan tadi diapun terkecoh sehingga lawan kini dapat menguasainya dengan kunci pitingan yang demikian kuat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah banyak pengalaman dan diapun seorang ydng tabah dan tenang, tak pernah kehilangan akal.
Jari-jari tangan lawan yang besar itu menekan tengkuknya dengan amat kuat, membuat tubuhnya membungkuk dan agaknya dia sudah tidak berdaya lagi. Dia semakin membungkukkan tubuhnya, membuat perhitungan dengan sikap tenang. Perhitungannya harus tepat, kalau tidak, dia gagal dan akan kalah, bukan saja dia yang akan mengalami derita kesakitan dan malu, bahkan junjungannya, Raden Wijaya, juga akan menderita malu dan terhina.
"Hahaha, anak mas Wijaya, jagomu kini kalah. Lihat, dia sudah tidak mampu berkutik lagi"
Sang Prabu Jayakatwang berseru gembira sambil tertawa.
"Harap paduka bersabar, Kanjeng Paman. Pertandingan itu saya kira belum berakhir"
Kata Raden Wijaya, masih tenang karena dia melihat sinar mata Lembu Sura mencorong penuh ketajaman, tanda bahwa jagonya itu belum putus asa dan sedang mencari akal.
"Kalau aku belum mengaku kalah, apa yang akan kau lakukan?"
Lembu Sora bertanya, membuat napasnya terengah-engah. Mendengar suara yang napasnya sudah memburu itu, Klabang Gunung tertawa.
"Hahaha, punggungmu akan kupatahkan kupatahkan"
Tiba-tiba saja dia menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, Lembu Sora menghantamkan kepalanya ke belakang.
"Dessss.."
Bagian belakang kepala Lembu Sora yang keras itu menghantam mulut dan hidung Klabang Gunung, Serangan kepala ini demikian tiba-tiba datangnya sehingga Klabang Gunung tidak sempat menghindar dan bukit hidungnya remuk, darah mengucur keluar, Pada saat itu, dengan perhitungan yang amat tepat, kedua tangan Lembu Sora sudah bergerak naik ke tengkuknya dan dia berhasil memegang kedua ibu jari lawan yang mengunci tengkuknya. Di lain saat, kaki kirinya menyepak ke belakang seperti gerakan kaki kuda, dan tepat mengarah selakangan lawan.
"Desss........ Aughhhhh.......
"
Hanya mereka yang pernah ditendang atau disepak anggauta rahasianya di bawah pusar saja yang akan mampu membayangkan betapa nyeri rasanya. ketika tumit kaki Lembu Sora memasuki selangkangan dan menghantam alat kelamin lawan. Kiut miut rasanya, nyeri menusuk-nusuk ke jantung dan perut seketika mulas, mata berkunang. Pada saat itu, Lembu Sora menarik ibu jari kedua tangan lawan, mengerahkan seluruh tenaga menekuk kedua ibu jari itu ke belakang. Pada saat itu, Klabang Gunung se-dang mengalami siksaan yang amat hebat. Bukan saja hidungnya remuk berdarah, akan tetapi alat kelaminnya kena disepak tumit sehingga tentu saja dia kurang dapat memusatkan tenaganya melindungi kedua ibu jari yang ditekuk ke belakang.
"Krekk. Krekkl"
Kedua ibu jari yang ditekuk itu akhirnya patah, atau lebih tepat lagi, terlepas sambungan buku-buku jarinya dan rasa nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke seluruh isi dada. Pada saat itu, kedua tangan Lembu Sora melepaskan ibu jari, mencengkeram rambut kepala lawan dan tubuhnya membuat gerakan membungkuk dengan tiba tiba, pinggulnya diangkat ke atas dan kedua tangannya menarik rambut sekuatnya lalu membuat gerakan melempar.
"Wuuuuttttt........I"
Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh tinggi besar yang sedang menderita seribu satu macam perasaan nyeri dan tidak mampu lagi mengerahkan tenaga itu, terlempar jauh ke luar panggung dan terbanting keras ke atas tanah. Di situ dia tidak mampu bangkit lagi, melainkan merintih dan mengaduh, kedua tangannya membuat gerakangerakan aneh, kadang-kadang ke hidung, lalu ke bawah pusar, lalu ke ibu jari masing-masing, dan raksasa itu menangis saking nyerinya.
Suasana hening sejenak karena peristiwa itu sungguh di luar dugaan semua orang. Akan tetapi kemudian mereka yang dalam taruhan berpihak kepada Lembu Sora, bersorak sorai.
Sorakan itu terhenti ketika di atas panggung sudah muncul seorang senopati yang wajahnya bengis. Dia mengangkat tangan memberi isarat kepada mereka yang bersorak ajar tenang. Semua orang mengenai Senopati Segara Winotan yang galak, maka kini tidak ada seorangpun berani bersorak walaupun mereka menang, apa lagi kini mereka teringat bahwa yang menang adalah orang Singosari.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Senopati Daha itu memandang tajam kepada Lembu Sora, sinar matanya seperti hendak membakar. Dia marah bukan main karena Klabang Gunung adalah anak buahnya. Kekalahan Klabang Gunung dirasakannya seperti menampar mukanya. Kalau Klabang Gunung kalah oleh seorang jagoan lain dari Daha, hal itu tentu saja tidak mengapa, Akan tetapi sekali ini lain. Klabang Gunung dikalahkan oleh seorang jago dari Singosari yang dia tahu adalah seorang senopati Singosari, kerajaan yang telah kalah perang melawan Daha.
''Lembu Sora, aku tahu engkau seorang senopati Singosari. Tidak mengherankan kalau engkau mampu mengalahkan Klabang Gunung dengan akal curang. Hayo, cabutlah kerismu, lawanmu adalah aku"
Berkata demikian, Senopati Segara Wirotan sudah mencabut sebatang kerisnya dan berdiri dengan sikap menantang.
Lembu Sora mengerutkan alisnya. Semua orang tahu bahwa bukan dia yang tadi berbuat curang, melainkan Klabang Gunung sendiri Kalau saja dia bukan pengikut Raden Wiiaya? yang kini hendak menghambakan diri ke Daha tentu sudah disambutnya tantangan itu. Namun dia ragu-ragu dan bingung, tidak menjawab melainkan dia menoleh kearah Raden Wijaya seperti hendak minta keputusan dan junjungannya itu.
Raden Wijaya mengenai watak Lembu Sora Kalau dibiarkan, tentu senopati itu akan menerima tantangan siapapun juga dan kalau sampai terjadi keributan, berarti gagallah semua usahanya untuk membangun kembali Kerajaan Singosari yang sudah runtuh dengan jalan menghambakan diri ke Kerajaan Daha. Maka diapun cepat bangkit, memberi hormat kepada Prabu Jayakatwang.
"Hamba melerai pertikaian itu"
Tanpa menjawab, Raden Wijaya sudah melangkah lalu meloncat naik ke atas punggung.
"Kakang Lembu Sora, turunlah"
Katanya halus.
Lembu Sora menyembah, lalu tanpa menoleh kepada Segara Winotan dia meloncat turun dari panggung, kembali ke tempat du duknya semula, disambut dengan gembira oleh teman-temannya.
Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah Raden Wijaya yang dia kenal sebagai seorang pangeran di Singosari, Segara Winotan menjadi bingung dan kikuk. Akan tetapi, dia teringat bahwa bagaimanapun juga pangeran di depannya ini hanyalah se-orang pangeran dari kerajaan yang dikalahkan, maka dengan sikap hormat pura pura, yang menyembunyikan kecongkakannya, dia memberi hormat lalu berkata.
"Hamba ingin mengadu kepandaian melawan Senopati Lembu Sora, mengapa paduka melerai? Apakah paduka ingin maju sendiri untuk mencoba kemampuan saya?"
Senopati itu tersenyum, menyura mengejek.
"Paman Segara Winotan, kiranya kau juga mengetahui bahwa dua orang senopati hanya saling bertanding di dalam suatu peperangan kakang Lembu Sora naik ke panggung ini, bukan sebagai senopati, melainkan sebagai pengiringku dan kini menjadi tamu di Daha, bukan musuh. Kalau kau menantangnya, berarti sama dengan menantang aku"
Berkata demikian Raden Wijaya memandang tajam dan sinar matanya mencorong, membuat Segara Winotan menjadi gentar juga. Dia menyarungkan kerisnya dan berkata sambil menunduk.
"Hamba tidak ingin melawan seorang bangsawan tinggi seperti paduka yang menjadi tamu junjungan hamba. Maafkan hamba........"
Pada saat itu, Sang Prabu Jayakatwang sudah berteriak.
"Sudah cukup. Tidak perlu ada pertandingan lagi. Ke sinilah, anak mas Wijaya. kita bercakap cakap"
Raden Wijaya meninggalkan panggung dan menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang.
"Harap paduka sudi mengampuni kakang Lembu Sora dan kami semua kalau kami dianggap membikin ribut di sini"
Raja itu tertawa.
"Ah, sama sekali tidak. Kalian bahkan sudah ikut meramaikan suasana. Lembu Sora memang hebat, dan ternyata jagomu yang menang, anak mas Wijaya. Katakan hadiah apa yang kau inginkan?"
Entah apa yang menyebabkannnya, pada saa itu Raden Wijaya teringat kepada tunangannya yang belum ditemukan, yaitu Sang Dyah Gayatri, maka dengan penuh harap dia lalu mempergunakan kesempatan itu dengan jawaban yang halus.
"Kanjeng Paman Prabu, kalau sekiranya paduka mengijinkan, hamba mohon agar diajeng Gayatri dapat diberikan kepada hamba. Ia adalah tunangan hamba......"
Mendengar disebutnya nama puteri ini, seketika wajah Sribaginda menjadi keruh dan alisnya berkerut. Baru beberapa hari Gayatri lenyap bersama Wulansari dan hal itu masih membuat dia marah dan penasaran, sekarang disebutnya nama itu seperti mengingatkan dia kembali bahwa bersama mereka berdua, lolos pula tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Karena hatinya tidak senang, dengan alls masih berkerut diapun menjawab kaku.
"Ah, kalau yang itu tidak bisa. la adalah seorang tawanan, dan belum waktunya dibebaskan dari tawanan"
Raden Wijaya bungkam dan tidak berani lagi mengulang nama itu. Namun, maklum akan kedudukannya, dia tidak berani memperlihatkan penyesalan walaupun di sudut hatinya, dia merasa gelisah sekali. Melihat sikap Sang Prabu Jayakatwang, agaknya Sribaginda ini hendak menahan Gayatri dan hal itu hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sribaginda sendiri agaknya ingin memiliki puteri yang jelita itu. Namun, Raden Wijaya tidak merasa putus harapan dan diapun mulai memperlihatkan sikap yang amat baik sehingga Sang Prabu Jayakatwang maka percaya kepadanya dan tidak pernah meragukannya niat hatinya untuk menghambakan diri kepadanya. Para pengikut Raden Wijaya yang amat setiapun menahan hati mereka dan bersikap sebagai orang-orang yang beriar benar takluk sehingga timbullah kesan pada seluruh ponggawa Kerajaan Doha bahwa Kerajaan Singosari telah musnah, dan tidak ada lagi keturunan Ken Arok yang akan bangkit lagi.
Pantai Laut Selatan mempunyai banyak tebing yang curam. Bukit Seribu di sepanjang pantai selatan memiliki banyak sekali bukit yang mencapai pantai, bukit bukit karang yang tandus, seolah-olah menjadi semacam tanggul untuk membendung air laut yang bergelombang dahsyat dan Laut Selatan agar jangan sampai menelan Pulau Jawa.
Banyak terdapat goa-goa di perbukitan selatan itu, goa-goa di bukit karang dan kapur. Di lereng sebuah bukit terdapat sebuah goa yang aneh bentuknya. Sebuah goa yang menghadap ke arah lautan dan bentuknya seperti tengkorak manusia. Tidak mudah mencapai goa ini karena berada di lereng
(Lanjut ke Jilid 21)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 21
bukit yang penuh dengan semak berduri dan batu-batu karang malang melintang. Tempat ini tak pernah dikunjungi orang.
Namun ternyata goa yang aneh itu dihuni orang. Itulah Goa Siluman yang berada di bukit Garing dan yang menjadi penghuni tetapnva adalah seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih. Dia dilayani enam orang anak remaja, tiga pria dan tiga wanita, yang melayani segala keperluan hidup sang kakek.
Memang luar biasa sekali. Di tempat sesunyi dan segersang itu, tinggal seorang iakek dengan enam orang pelayan. Apa lagi kalau orang dapat tiba di goa itu dan memasukinya, dia akan terheran-heran. Goa yang bentuknya seperti tengkorak manusia itu besar sekali. Ruangan depan saja lebarnya ada dua puluh meter dan dalamnya tidak kurang dari sepuluh meter dan karena lebarnya maka ruangan goa itu memperoleh sinar matahari yang cukup, dan di sebelah dalamnya terdapat lorong-lorong bahkan ada ruangan ruangan yang dipakai sebagai kamar-kamar tidur. Ada tiga kamar di sebelah dalam, sebuah kamar untuk sang kakek dan yang dua kamar lagi masing-masing dipakai oleh tiga orang pelayan perempuan dan tiga orang pelayan laki-laki.
Kakek tua renta itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, apa lagi ketika dua belas tahun yang lalu dia menbantu pemberontakan muridnya. Dia adalah Ki Buyut Pranamaya yang dulu tingga| sebagai pertapa di Bukit Gandamayit di hutan Cempiring. Ketika muridnya Mahesa Rangkah memberontak, dia mambantu sepenuhnya. Akan tetapi pemberontakan Mahesa Rangkah itu gagal, bahkan Mahesa Rangkah sendiri tewas dalam pertempuran, Ki Buyut Pranamaya sendiri juga melarikan diri, apa lagi setelah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirnala yang tadinya berada di tangannya itu telah terampas oleh Wulansari.
Semenjak itu, Ki Buyut Pranamaya lalu bertapa di dalam Goa Siluman itu. Dia mendengar bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kini terjatuh ke dalam tangan Kerajaan Daha. Dia merasa menyesal sekali. Kalau saja pusaka itu tidak terampas dari tangannya, tentu pemberontakan Mahesa Rangkah dahulu itu berhasil dan muridnya itu telah menjadi raja, dan dia menjadi penasihat raja. Dia tidak merasa heran mendengar betapa Doha mampu mengalahkan Singosari. Tentu berkat tompak pusaka itu, pikirnya.
Manusia pada umumnya, kalau usianya sudah mulai tua, teringat akan keadaan dirinya lalu berpaling kepada Tuhan, ingat akan dosa yang telah banyak ditumpuknya di waktu muda, dan selagi masih ada kesempatan, berusaha membersihkan diri lahir batin, mendekatkan diri dengan Tuhan dan menjauhi bujukan iblis dan setan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Ki Buyut Pranamaya. Dalam usianya yang sudah amat tua itu, ia masib menjadi hamba nafsu nafsunya. Tiga orang pemuda remaja dan tiga orang gadis remaja itu, selalu menjadi para pembantunya, juga dilatih ilmu kedigdayaan dan juga mereka itu dia jadikan alat nafsu berahinya. Dia menculik anak-anak itu sejak mereka berusia lima enam tahun, dan mendidik mereka sehingga mereka menjadi anak-anak patuh kepadanya.
Selain enam orang anak yang menjadi pelayannya, muridnya, dan juga kekasihnya itu, Ki Buyut Pranamaya juga nempunyai seorang murid yang dianggapnya amat baik. Sejak muridnya, Mahesa Rangkah, tewas dalam pemberontakannya, dia lalu bertemu dengan seorang pemuda gemblengan bernama Jaka Pati yang berusia tigapuluh tahun lebih Pemuda ini tekun bertapa dan menumpuk ilmu dengan cita-cita mencari wahyu kraton, atau setidak-tidaknya agar dia dapat menduduki pangkat yang tinggi dan mendapatkan kemuliaan. Ilmu-ilmu dari Agama Syiwa dipelajarinya dengan tekun.
Bertemu dengan Jaka Pati, Ki Buyut Pranamaya merasa suka sekali, maka dia yang telah kehilangan murid lalu mengambil Jaka Pati sebaga muridnya, mengajarkan banyak macam ilmu kesaktian, bahkan lalu memberi petunjuk kepada murid itu untuk bertapa di tempat-tempat yang angker.
Pada waktu itu, Ki Buyut menyuruh Jaka Pati yang usianya kini sudah empat puluh tahun lebih untuk bertapa di sebuah goa kecil tak jauh dari Goa Siluman.
Pagi hari itu, Ki Buyut Pranamaya telah keluar dari kamarnya dan berada di ruangan depan Matahari telah menyorotkan sinarnya sampai ke dalam ruangan goa, dan lautan di depan goa nampak tenang, putih keperakan tertimpa sinar matahari pagi.
Seorang pelayan wanita menuruni batu karang curam di sebelah kiri goa, lalu menghadap Ki Buyut Pranamaya sambil berkata.
"Aki Buyut, Paman Gagak Wulung dan Bibi Ni Dedeh Sawitri datang berkunjung"
Wajah kakek tua renta itu tersenyum dan dia mengangguk-angguk. Bagus, memang sudah lama mereka kunanti-nanti"
Tak lama kemudian, dua orang menuruni batu karang dengan cekatan dan mereka itu ternyata adalah dua orang tokoh yang telah erkenal sekali, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri.
Gagak Wulung adalah seorang datuk dari Kediri, berusia hampir enampuluh tahun, namun masih nampak muda. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap, pakaiannya juga mewah dan pesolek, seperti seorang bangsawan saja.
Dahulu pernah dia membantu Kerajaan Daha secara diam-diam, bukan sebagai ponggawa karena dia seorang petualang yang hanya membutuhkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Ketika Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, diapun ikut membantu. Setelah pemberontakan itu gagal, dia melarikan diri, kemudian berhubungan dengan Ki Buyut Pranamaya dan sering berkunjung untuk minta petunjuk karena dia menganggap kakek itu sebagai orang yang jauh lebih sakti dan patut dihormati. Bahkan dia siap membantu kalau kakek itu mempunyai suatu rencana yang menguntungkan.
Adapun wanita itu adalah Ni Dedeh Sawitri, juga seorang datuk dari Pasundan, namun di waktu mudanya, ia sudah banyak dijumpai orang di daerah Daha dan Singosari. Wanita ini usianya hampir limapuluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik, menggairahkan, dan genit. Iapun pesolek dan berpakaiau indah, sungguh merupakan pasangan yang cocok dengan Gagak Wulung. Dan seperti juga Gagak Wulung, ia memiliki kedigdayaan, bahkan ia terkenal dengan pukulan-pukulan beracun yang amat berbahaya.
Memang, sudah lama sekali, sejak belasan tahun yang lalu, Ni Dedeh Sawitri menjadi sababat baik Gagak Wulung, bahkan iapun dahulu membawtu pemberontakan Mahesa Rangkah yang kemudian gagal.
Setelah gagal, Ni Dedeh juga melarikan diri dan untuk beberapa waktu lamanya, kembali ke Pasundan. Baru kurang lebih setahun ia kembali ke timur dan bertemu dengan dagak Wulung yang membawanya menghadap Ki Buyut Pranamaya, kemudiau mereka berdua. oleh kakek itu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan ke Singosari dan Daha yang kabarnya sedang berperang.
Demikianlah keadaan dua orang pasangan yang serasi itu. Sama-sama tampan dan cantik. Sama-sama pesolek dan cabul, dan sama-sama berbahaya dan pandai. Karena kecocokan ini maka mereka melakukan perjalanan sebagai dua orang kekasih saja, kecocokan membuat mereka saling menyukai. Akan tetapi, walaupun mereka saling mencinta, masing-masing tidak mengekang. Dalam melakukan perjalanan bersama, masing-masing bebas untuk mencari pasangan masing-masing, bahkan kalau perlu mereka saling membantu untuk mendapatkan pasangan masing-masing, apa bila menemui halangan. Memang pasangan ini istimewa sekali, dan bagi mereka tidak ada hal yang dipantang untuk mencapai kepuasan hati dan kesenangan. Keduanya merupakan hamba-hamba nafsu yang sudah tidak ketulungan lagi.
Melihat dua orang itu menghadap padanya, duduk di atas lantai bertilam jerami kering, Ki Buyut Pranamaya tertawa senang, memperlihatkan mulut yang sudah tidak ada giginya lagi.
"He he he he, bagus........ bagus........ Kalian sudah datang? Memang amat kunanti-nanti. Wah, Dedeh, setelah pergi selama tiga bulan kau nampak semakin cantik manis saja, he he he"
Gagak Wulung tertawa.
"Paman Buyut Pranamaya, tentu saja ia nampak segar karena selama tiga bulan ini ia telah mendapatkan jamu dari belasan orang perjaka muda belia, hahaha"
Kata-kata Ga:ak Wulung yang disertai tawa ini membuat Ni Dedeh Sawitri cemberut, namun cemberut buatan agar nampak lebih mamis dan manja.
"Hemm, dan engkau sendiri? Sedikitnya duapuluh orang perawan kau hisap"
Mendengar ini, Ki Buyut Pranamaya tertawa. Dia sudah tahu betapa dua orang pembantunya ini memang mempunyai watak yang sama kerasnya dan hampir setiap kaii mereka bercekcok. Akan tetapi percekcokan itu akan berakhir dengan kemesraan di dalam kamar karena sesungguhnya mereka itu saling mencinta. Sungguh merupakan dua orang pembantu yang amat baik baginya.
"Sudahlah, kalian memang sama saja. Sekarang ceritakan bagaimana keadaan di Daha. bukankah Daha telah berhasil menaklukkan Singosari?"
"Benar sekali, paman"
Kata Ni Dedeh Sawitri.
"Habislah sudah keluarga Kerajaan Singosari. Bahkan pangeran yang diharapkan akan dapat mempertahankan Singosari, yaitu Raden Wijaya, telah melarikan diri ke Madura"
"Kabar terakhir ini katanya bahwa Raden Wijaya bahkan telah menghambakan diri ke Ke-rajaan Daha"
Sambung Gagak Wulung.
"Jagad Dewa Batara........"
Kata Ki Buyut Pranamaya.
"Kalau begitu, habis sudah harapan bagi Singosari untuk bangkit lagi. Agaknya hanva sampai di sini saja riwayat keturunan Ken Arok. Semua ini gara gara tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Hemm, keparat gadis baju hijau bernama Wulansari itu, dan si keparat Nurseta. Mereka berdualah yang telah merampas ki Ageng Tejanirmala dan akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasekti dan jahanam itu menukarkan pusaka dengan kedudukan sebagai Adipati Bendowmangun. Demikianlah, pusaka terjatuh ke tangan Raja Kediri, maka tidak mengherankan kalau sekarang Kediri telah menjatuhkan Singosari"
Kakek itu menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan, paman?"
Tanya Gigak Wulung.
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa pusaka itu. Setelah pusaka itu kembali ke tanganku, barulah kita bicara apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Dan untuk mendapatkan kembali pusaka itu, kita harus mendekati Daha. Kita semua pindah dan sini mencari tempat tinggal yang baik dan cocok di Daha"
Mendengar ini, dua orang datuk sesat itu menjadi girang sekali. Merekapun tidak suka tinggal terlalu lama di goa ini. tempat yang amat sunyi. Memang di situ terdapat tiga orang pemuda remaja yang tampan dan tiga orang gadis remaja yang manis, akan tetapi enam orang anak itu adalah milik Ki Buyut Pranamaya dan mereka berdua sama sekali tidak boleh mengganggu mereka.
Pada saat itu, seorang pemuda remaja datang menghadap gurunya dan berkata lantang "Aki Buyut, Paman Pati datang hendak merghadap"
Wajah kakek itu berseri dan tak lama kemudian muncullah seorang laki laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya cukup ganteng dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi. Ketika melihat Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, dia tersenyum, terutama sekali kepada Ni Dedeh, dia tersenyum ramah sekali.
"Kiranya kalian berdua sudah berada disini, Selamat bertemu, Kakang Gakak Wulung dan mbakayu Dedeh Sawitri "
Katanya, kemudian dia menghadap gurunya dan memberi hormat.
"Bagus, memang kau kuharapkan datang dan kalau tidak datang tentu akan kusuruh panggil, Pati"
Kata kakek itu sambil terkekeh girang.
"Akan tetapi....... aku melihat perubahan padamu. Nanti dulu....... apa gerangan yang berubah? Ah, benar. Pakaianmu kau mengenakan jubah, pakaianmu seperti pakaian seorang resi (pendeta)"
Pria itu kembali menghormat "Memang benar sekali ucapan Guru. Para resi yang memiliki kuil di Daha bertemu dengan saya. Setelah menjadi kenalan dan seringkali kami bertukar pikiran tentang Agarna Syiwa, juga setelah mereka mengenai kemampuan saya, mereka lalu mengusulkan agar saya suka mengikuti mereka dan menjadi seorang resi. Melihat betapa baiknya kedudukan mereka, juga mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar di kalangan rakyat, maka saya mengambil keputusan untuk mengikuti mereka dan saya datang untuk mohon diri dari guru dan mohon doa restu"
Ki Buyut Pranamaya mengangguk-angguk.
"Baik sekali, muridku Memang orang mengejar kemuliaan dapat melalui jalan apa saja Dan kau memang berbakat menjadi seorang resi. Aku hanya ikut memuji semoga akan tercapai apa yang kau citakan dan kalau sudah mendapatkan kedudukan yang mulia, jangan kau lupakan gurumu yang sudah tua ini"
"Saya akan selalu mengingat semua petuah dari guru. Dan para resi juga sudah memberi sebuah nama kepada saya, yaitu Resi Mahapati"
"RESI MAHAPATI?"
Ki Buyut Pranamaya berkata sambil tersenyum.
"Wah, bagus sekali nama itu. Dan Jaka Pati menjadi Resi Mahapati. Baiklah Resi Mahapati, doa restuku menyertaimu. Ketahuilah bahwa kamipun akan pindah ke Daha, mencari suatu tempat yang tepat di sana. Kita akan saling bertemu di sana dan mudah-mudahan kita akan dapat saling bantu"
Resi Mahapati girang mendengar bahwa gurunya juga akan pindah ke Daha, akan tetapi, karena para resi sudah menantinya di dataran pantai, diapun berpamit dan meninggalkan goa itu, diikuti pandang mata Ki Buyut Pranamaya.
Setelah Resi Mahapati pergi, kakek itu. mengangguk-angguk dun berkata kepada dua orang datuk itu.
"Kalian lihat saja, muridku itu kelak akan dapat melangkah jauh dan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dia amat cerdik, dan ilma kepandaiannya juga mendalam"
Beberapa hari kemudian, Ki Buyut Pranamaya dengan enam orang pelayannya, diikuti oleh Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, juga meninggalkan Goa Siluman, menuju ke Daha. Mereka itu bagaikan bayangan siluman-siluman yang berangkat untuk menyebar malapetaka di antara manusia. Goa Siluman itu menjadi semakin sunyi dan semakin angker setelah kini tidak lagi berpenghuni.
Pemuda itu tampan bukan main. Usianya sekitar tiga puluh tahun atau bahkan jauh lebih muda. Kulitnya kuning bersih dan sepasang matanya bersinar seperti bintang kejora, kadang-kadang sepasang mata itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap. Tubuhnya tidak berapa besar, bahkan tergolong kecil ramping, namun dalam langkahnya terkandung kegagahan. Pakaiannya sederhana, seperti pakaian seorang pemuda dusun, namun melihat wajah dan sikapnya, orang akan menduga bahwa tentu dia bukan seorang pemuda sembarangan. Juga sepasang mata itu bukanlah mata seorang pemuda dusun yang sederhana.
Akan tetapi, gadis remaja yang berjalan di sisinya juga luar biasa cantiknya. Kulitnya Agak gelap, akan tetapi hitam manis, dengan dagu meruncing dan matanya jeli bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulut yang bibirnya merah basah itu selalu tersenyum, la seorang gadis yang lincah, jenaka dan penuh gairah, Pakaiannya juga seperti seorang gadis petani, akan tetapi, gadis berusia tujuhbelas tahun ini juga tidak patut menjadi seorang gadis dusun. Seolah-olah tingkah dan wibawanya tidak seperti seorang gadis yang bodoh dan sederhana.
Mereka berdua berjalan perlahan di dalam hutan itu. Tiba-tiba pemuda itu memegang legan si gadis, mulutnya diruncingkan.
"Sshhhh........"
Dia memberi isarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara. Gadis itupun menutup mulutnya dengan tangan, lalu ikut melirik ke kanan karena ia melihat pemuda itu menoleh ke kanan. Benar saja, ada seekor kijang muda berjalan tak jauh dari situ, di antara semak-semak.
Saking gembiranya, gadis itu menunjuk dengan jari tangannya dan berbisik........
"itu di sana ......."
Sedikit suara ini sudah cukup bagi sang kijang yang memiliki pendengaran amat peka. Tadi binatang itu tidak mengetahui kedatangan mereka karena arah angin datang dari depan, akan tetapi begitu gadis remaja itu berbisik, binatang itu mendengarnya dan sekali bergerak, tubuhnya yang ramping itu telah meloncat dengan cepat bukan main.
Akan tetapi, pemuda tampan itu menggerakkan tangannya dan nampak sinar terang menyambar. Kijang itu yang sedang melompat dan masih berada di udara, lalu terpelanting dan terbanting roboh, berkelojotan sebentar lalu diam Pemuda itu menggandeng tangan sang gadis remaja. Mereka berlari mengbampiri dan ternyata kijang itu telah mati dengan dada ditembusi sebatang bambu runcing yang tadi dia lontarkan. Akan tetapi ketika pemuda itu menjulurkan tangan hendak meraba, dia berseru.
"Ihh"
Dan menarikkembali tangannya.
Melihat pemuda itu terkejut, gadis yang lincah tadi memandang heran dan bertanya "Ada apakah, mbakayu Wulan?"
"Pemuda itu sebenarnya adalab Wulansari yang menyamar sebagai pria, sedangkan gadis lincah itu adalah Puteri Gayatri. Seperti kita ketahui, Wulansari terpaksa mengajak Gayatri minggat dari istana Daha ketika Sang Prabu Jayakatwang memaksa agar Gayatri malam itu melayaninya, baik dengan sukarela maupun dipaksa. Karena tidak melihat lain jalan untuk menyelamatkan sang puteri, terpaksa Wulansari mengajaknya minggat. Ia juga merasa tidak suka kepada raja yang kini seolah mabuk kemenangan dan mengandalkan kekuasaan itu, maka sambil mengajak Dyah Gayatri melarikan diri, iapun membawa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala bersamanya.
Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo