Sejengkal Tanah Percik Darah 21
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Wulansari tersenyum mengejek.
"Kau tentu Ki Sardulo, jagoan dari Banyuwangi itu, bukan? Terhadap orang lain kau boleh menyombongkan diri, akan tetapi aku tidak takut kepadamu"
"Bocah sombong, kau mencari penyakit"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuhnya yang tinggi kurus membungkuk dan keluarlah dari mulutnya suara yang dahsyat, gerengan yang mengandung getaran kuat sekali seperti, gerengan seekor harimau.
Wulansari terkejut karena getaran suara itu langsung menyerangnya dan mengguncang jantungnya. Akan tetapi gadis ini adalah seorang gadis gemblengan yang bukan saja pernah menjadi murid yang diaku cucu tersayang dari Ki Cucut Kalasekti, akan tetapi sebelum itu juga sudah digembleng oleh Ki Jembros pendekar sakti itu, dan Panembahan Sidik Danasura sehingga ia tidak hanya memiliki banyak aji kesaktian yang ampuh akan tetapi juga memiliki kekuatan batin dan tenaga sakti yang kuat.
Dengan pengerahan tenaga saktinya, Wulansari dapat menolak getaran suara gerengan. yang amat kuat itu, sehingga ia tetap waspada ketika Ki Sardulo menyerangnya sebagai lanjutan dari serangan dengan suara gerengan itu. Nampak sinar hitam menyambar ganas dibarengi suara melengking nyaring.
Kembali Wulansari terkejut. Ia tidak tahu bahwa gerengan, tadi memang merupakan suatu aji kesaktian yang disebut Aji Gereng Sardulo (Geraman Harimau), sedangkan kakek itu menyerangnya dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang suling bambu hitam. Permainan suling itupun disebut Aji Suling Lesus, dan merupakan andalan Ki Sardulo.
Biarpun ia terkejut, Wulansari tidak menjadi gugup. Dengan keris kecil kuning mas di tangan, iapun menangkis ke arah sinar hitam itu dengan pengerahan tenaga saktinya.
"Trangtranggg......."
Dua kali sinar hitam bertemu dengan sinar kuning emas dan terdengar Ki Sardulo berseru kaget. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis yang menyamar pria itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya sehingga lengan kanan yang memegang suling itu sampai tergetar hebat ketika sulingya ditangkis dua kali oleh keris yang kecil melengkung itu. Dia menjadi penasaran dan marah, dan sulingnya kini melengking-lengking karena digerakkan dengan cepat dan dia mengirim serangan bertubi-tubi.
Namun, Ki Sardulo yang kini terkejut dan semakin penasaran karena semua serangan sulingnya yang biasanya ampuh itu dapat dielakkan atau ditangkis oleh gadis itu, bahkan Wulansari membalas dengan tak kalah dahsyatnya, bahkan kini mulai mendesak lawan dengan permainan kerisnya yang amat cepat.
Sinar hitam dari suling itu makin lama semakin menyempit, sedangkan sinar kuning emas dari keris di tangan Wulansari semakin melebar dan menyambar nyambar ganas.
Sementara itu, Hok Yan juga mengamuk dengan hebat, kini dia dikeroyok oleh dua orang senopati Daha, yaitu Baru Kuntul. dan si Bango Ijo dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian, Bango Ijo mempergunakan golok dan perisai, sedangkan Baru Kuntul mempergunakan sebuah penggada atau ruyung dibantu perisai pula. Namun kedua orang senopati itu sebentar saja bingung menghadapi lawan yang demikian cepat gerakannya, seperti seekor burung walet saja sehingga beberapa kali mereka kehilangan lawan yang tahu-tahu, membalas serangan mereka dari samping atau bahkan dari belakang. Dan setiap kali mereka menangkis pedang yang menyambar itu dengan perisai mereka, serasa betapa lengan mereka nyeri dan tergetar, tanda bahwa lawan memiliki tenaga yang dahsyat.
Karena merasa tidak akan mampu mengalahkan Wulansari tanpa bantuan, Ki Sardulo berteriak teriak memerintahkan para perajurit untuk membantunya. Demikian pula dua orang senopati itu. Setelah para pimpinan mereka berteriak minta bantuan, barulah para perajurit terjun ke dalam lapangan perkelahian dan kini Wulansari dan Hok Yan dikeroyok oleh puluhan orang lagi. Repotlah kini dua orang muda itu. bagaimanapun juga, tiga orang senopati Daha itu merupakan lawan yang cukup tangguh. Baru saja mereka berdua mulai mendesak lawan, belum sempat merobohkan mereka, puluhan orang perajurit telah maju mengeroyok, maka tentu saja kedua orang muda perkasa ini menjadi kewalahan dan terdesak hebat. bahkan terancam bahaya besar.
"Wulansari, engkau........ pergilah cepat. Biar aku yang menahan mereka ini"
Teriak Hok Yan beberapa kali karena dia merasa
khawatir kalau gadis perkasa itu akhirnya akan terluka dan roboh. Robohnya Wulansari tentu berarti tertawannya Dyah Gayatri, maka dia menyuruh Wulansari pergi, tentu saja dengan harapan untuk melarikan sang puteri.
Akan tetapi Wulansari adalah seorang wanita gagah perkasa yang menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Yang dimusuhi oleh para senopati Daha ini adalah dirinya. Pasukan Daha itu hendak menangkapnya dan juga menawan Dyah Gayatri.
Lie Hok Yan adalah orang asing yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertempuran ini walaupun dia seorang mata-mata pasukan asing. Orang-orang Daha ini tentu belum tahu bahwa dia seorang mata-mata, maka tidak sepatutnya kalau Hok Yan mengorbankan diri untuknya dan sang puteri.
"Tidak, Hok Yan. Engkaulah yang lari selagi masih ada kesempatan. Biar aku yang menghajar mereka. Dan kau selamatkan sang puteri"
"Ah, tidak, Wulansari. Engkau seorang wanita, sedangkan aku seorang pria. Akulah yang harus tinggal di sini"
Pada saat itu, ruyung di tangan Baru Kuntul menyambar ke arah kepalanya. Padahal, ketika itu Hok Yan sedang memutar pedang menangkis hujan tombak dari depan, kanan dan kiri. dan sebagian perhatiannya ditujukan kepada Wulansari yang sedang bicara dengannya. Sambaran ruyung itu cepat datangnya. Satu-satunya jalan untuk menghindar bagi Hok Yan hanyalah mengelak dan dia tidak dapat mengelak cukup cepat karena keadaannya yang terdesak, maka dia hanya miringkan tubuh dan kepalanya, terpaksa mengerahkan sinkang (tenaga sakti) ke arah pundak kiri.
''Dessss..."
Hantaman ruyung yang mengenai pundak kirinya itu meleset karena pundaknya dilindungi kekebalan, namun tetap saja mendatangkan rasa nyeri dan saking kerasnya pukulan, tubuh Hok Yan terpelanting. Ketika dia terjatuh itu, tombak dan pedang datang bagaikan hujan. Namun pemuda ini lihai sekali Dia menggelindingkan tubuhnya, bergulingan dan pedangnya diputar bagaikan payung melindungi tubuhnya sehingga semua senjata yang menyerangnya terpental.
Pada saat itu, Wulansari yang melihat bahaya mengancam Hok Yan, cepat ia meloncat dan kaki tangannya bergerak cepat. Beberapa orang pengeroyok terlempar dan roboh sehingga yang lain menjadi gentar. Kesempatan ini dipergunakan Oleh Hok Yan untuk meloncat bangun.
"Terima kasih"
Katanya.
"Mari kita saling melindungi"
Kata Wulansari dan kedua orang ini berdiri saling membelakangi Dengan demikian, keduanya hanya menghadapi pengeroyokan dari depan, kanan dan kiri. Tidak ada lagi lawan yang datang menyerang dari belakang dan keadaan ini lebih baik dari pada tadi, walaupun keduanya masih tetap terkepung dan hanya mampu melindungi diri saja, tidak sempat balas menyerang saking banyaknya pengeroyok. Keduanya maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya, bahkan kini tidak ada kesempatan lagi untuk melarikan diri karena kepungan demikian ketat dan kuatnya.
Mereka berdua terpaksa mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaga untuk membela diri. Wulansari, biarpun didesak hebat, masih sempat menyebar maut dengan pukulan-pukulan Gelap Sewu dan sambaran kerisnya, sedangkan Hok Yan juga mengamuk dengan pedang rampasannya yang kini menjadi pidang merah karena berlepotan darah lawan. Hok Yan dan Wulansari telah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang pengeroyok. Akan tetapi, jumlah pengeroyok masih amat banyak sisanya, dan mereka berdua sudah mulai lelah. Untuk dapat meloloskan diri agaknya tidak mungkin lagi, kecuali kalau seorang di antara mereka mau tinggal untuk melindungi yang lari atau untuk menghadang para pengejar. Tak seorang di antara mereka mau melakukan hal itu, yaitu meninggalkan kawan untuk menyelamatkan diri.
Celana yang menutup paha kiri Wulansari juga sudah robek berikut sedikit kulit dan daging pahanya sehingga terluka dan mengeluarkan darah, terbabat pedang yang untung hanya menyerempet saja dan pahanya masih terlindung tenaga sakti yang membuatnya kebal. Keadaan mereka berdua sungguh gawat dan agaknya takkan lama lama lagi para pengeroyok akan berhasil merobohkan mereka.
Para perajurit Daha sudah bersorak-sorak untuk menambah semangat kawan kawan mereka. Bagaimanapun juga, mereka juga marah kepada dua orang muda itu melihat betapa banyak sekali kawan mereka roboh, terluka hebat atau tewas oleh dua orang muda perkasa itu.
Tiba-tiba, ketika dia menangkis ruyung yang dibantamkan sekuat tenaga oleh Baru Kuntul, Hok Yan terpelanting karena sebuah tendangan dari samping yang dilakukan Bango Ijo mengenai pinggangnya. Dalam keadaan terhuyung ini, sebatang golok menyambar, yaitu goiok di tangan Bango Ijo yang mendesak lawan yang terhuyung itu.
"Tranggg"
Hok Yan berhasil menangkis, akan tetapi tusukan sebatang tombak tetap aja mengenai paha kanannya. Dia mengeluh dan berhasil menarik kakinya sehingga pahanya hanya terobek kulit dagingnya, cukup besar luka itu sehingga darah berencuran. Namun, sambil memutar pedangnya, Hok Yan masih mampu menghalau hujan senjata.
"Wulansari. larilah kau........"
Hok Yan berseru, suaranya membentak karena dia merasa khawatir sekali dan juga marah melilat betapa kawan baru itu sama sekali tidak mau melarikan diri.
Akan tetapi, Wulansari tidak menjawab dan siap melawan sampai titik darah terakhir. Kalau ia melarikan diri, bukan saja Hok Yan yang tewas, akan tetapi juga ia dalam keadaan luka, tak mungkin akan mampu melindungi Gayatri. Tidak ada lain jalau yang lebih baik dan terhormat kecuali melawan sampai mati. Ia menjadi nekat daa tiba-tiba ia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Para pengeroyoknya banya mencurahkan perhatian kepadanya, seperti juga para pengeroyok pemuda asing itu hanya memperhatikan pemuda itu. Kalau ia dan Hok Yan mampu merobohkan, tiga orang senopati ini, tentu para perajurit akan ketakutan dan tidak akan berani melanjutkan pengeroyokan.
Tiba-tiba ia membalik dan melihat betapa Baru KuntuI sedang mendesak Hok Yan dengan ruyungnya, ia meloncat cepat sekali kebelakang meninggalkan para pengeroyoknya dan dari belakang tubuh Hok Yan, ia menerjang ke depan dan secara tiba-tiba ia menyerang Baru Kuntul dari samping, langan kirinya menyambar dengan ganasnya.
Baru Kuntul sedang mendesak Hok Yan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dia akan diserang oleh Wulansari, maka dia terkejut bukan main dan tidak mungkin dapaf mengelak atau menangkis lagi.
"Desss ......."
Tamparan dengan Aji Gelap Sewu yang dilakukan dengan telapak tangan kiri Wulansari itu tepat mengenai pelipis kepala Baru Kuntul.
"Aughhh........"
Tubuh Baru Kuntul terpelanting dan diapun roboh tak dapat bergerak Jagi karena seketika tewas terkena pukulan yang dahsyat bukan main itu. Hal ini sudah tentu saja membuat semua pengeroyok terkejut, dan Hok Yan girang dan kagum bukan main. Dia mengerti akan siasat yang dipergunakan Wulansari itu, maka diapun membalik dan menerjang mereka yang tadi mengeroyok Wulansari. Mereka bertukar lawan.
Bangkitlah semangat dua orang muda itu, sebaliknya pihak para pengeroyok menjadi semakin marah dan penasaran, juga gentar. Kiranya dua orang muda yang sudah kelihatan terluka dan kewalahan itu, masih mampu melawan demikian hebat, bahkan berhasil menewaskan Baru Kuntul. Namun kini mereka menjadi lebih waspada dan agaknya tidak akan mudah bagi Wulansari atau Hok Yan untuk dapat membuat serangan membalik tiba-tiba seperti tadi dengan berhasil. Dan merekapun tidak bodoh untuk mengulang lagi akal tadi. Kembali mereka didesak dan dihimpit dan keduanya yang terlalu banyak mempergunakan tenaga untuk dapat bergerak cepat menghadapi hujan senjata, kini mulai lelah dan gerakan mereka mulai mengendur. Hal ini diketahui oleh para pengeroyok, maka mereka bersorak-sorak lagi dan mendesak penuh semangat.
Beberapa kali Hok Yan dan juga Wulansari terhuyung, bahkan beberapa kali mereka roboh, akan tetapi mereka bangkit kembali dan melawan mati-matian, Dalam keadaan yang amat berbahaya itu, tiba-tiba terjadi kekacauan di antara para pengeroyok dan muncuilah dua orang yang mengamuk dan menerjang para pengeroyok dari belakang.
Hok Yan melirik dengan heran melihat dua orang itu, dia tidak mengenai mereka. Akan tetapi ketika Wulansari melihat seorang diantara mereka berdua, ia memandang dengan wajah berseri dan semangatnya bangkit lagi.
"PAMAN Jembros........!"
Serunya dengan suara mengandung kegirangan luar biasa.
Kakek yang mengamuk itu bukan lain adalah Ki Jembros, seorang tokoh besar yang berjiwa satria. Dia adalah seorang pendekar gagah perkasa yang setia kepada Singosari, akan tetapi tidak pernah mau menjabat kedudukan. Dia lebih suka berkeliaran dengan bebas, menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas. Nama Ki Jembros amat terkenal, ditakuti lawan disegani kawan. Tentu saja Wulansari amat mengenal tokoh ini karena ketika ia masih kecil, berusia sepuluh tahun, ketika perahu yang ditumpanginya terbalik dan ia hanyut di laut selatan, Ki Jembroslah yang menyelamatkannya. Ki Jembros menolongnya, kemudian dalam keadaan hampir mati lemas dan bilang ingatan karena hanyut itu, Ki Jembros menyerahkannya kepada mendiang Panembaban Sidik Danasura.
Pada waktu ia masih kecil itu, hanya dua orang yang amat dipuja dan disayangnya, yaitu Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Sudah amat lama ia berpisah dari Ki Jembros dan baru sekarang bertemu. Berpisah sejak ia berusia limabelas tahun dan ia diculik dari tempat pertapaan sang Panembahan oleh Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakeknya, padahal Ki Cucut Kalasekti itu musuh besarnya. Sudah kurang lebih sepuluh tahun ia berpisah dari penolongnya itu dan kini tiba-tiba saja Ki Jembros muncul sebagai penolong pula.
"Paman Jembros.......!"
Untuk kedua kalinya, Wulansari berseru memanggil, suaranya mengandung isak karena ia benar benar merasa terharu.
Mendengar ini, Ki Jembros yang menggunakan kedua kakinya menendangi para pengeroyok itu tertawa.
"Hahaha, Wulan. Mari kita hajar anjing-anjing Daha yang curang ini, ha ha ha"
Sepak terjang kakek ini memang menggiriskan hati para pengeroyok itu. Dia seorang kakek yang usianya kurang lebih enampuluh tahun. Pakaiannya seperti petani, serba hitam, baju bagian dada terbuka sehingga nampak dada yang bidang berbulu. Mukanya brewok dan brewok itu masih hitam. Matanya lebar sekali, mencorong dan nampak liar, sikapnya kasar dan mulutnya selalu dihias senyum gembira. Sebetulnya, tubuhnya kurus karena tulang-tulangnya menonjol, akan tetapi karena dia memang bertulang besar, maka kelihatan tinggi besar. Akan tetapi perutnya gendut tanda bahwa dia seorang tukang makan yang gembul. Itulah Ki Jembros dan Ki Sardulo terbelalak. kaget. Juga Bango Ijo menjadi pucat melihat munculnya kakek itu.
Adapun orang kedua juga hebat. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih duapuluh satu tahun, berwajah tampan dan manis, dengan sepasang mata yang lebar. Pemuda ini memakai baju lengan panjang, rambutnya digelung keatas dan ditutup kain kepala ungu, celana sampai ke bawah lutut dan berselimut kain. Senjatanya amat sederhana, yaitu sebatang ranting sebesar lengannya, akan tetapi ranting ini sudah merobohkan empat orang sejak dia terjun ke dalam medan pertempuran itu dan dia mengamuk di samping Ki Jembros tanpa mengeluarkan kata apapun. Wulansari tidak mengenal pemuda itu, namun ia girang bukan main melihat munculnya Ki Jembros.
Bango Ijo yang berada paling dekat dengan Ki Jembros, dengan marah menerjang dan menyerang Ki Jembros yang bertangan kosong itu dengan goloknya. Golok jagoan Daha ini menyambar dan membacok ke arah dada yang bajunya terbuka. Cepat dan kuat sekali golok itu menyambar ke arah dada, akan tetapi Ki Jembros yang sedang menendangi para pengeroyok itu agaknya tidak melihat datangnya serangan kilat ini sehingga golok itu dengan tepat menghantam dadanya yang telanjang.
"Dukk"
Golok itu membalik dan sebelum Bango Ijo yang merasa amat terkejut itu sempat mengelak, pinggangnya telah ditangkap oleh sepasang tangan yang amat kuat dan tahu-tahu tubuhnya terangkat tinggi lalu dibanting.
"Bresss"
Bango Ijo tidak mampu berkutik lagi karena kepalanya terbanting ke atas batu sehingga retak dan beberapa buah tulang iganya patah-patah. Semua orang tentu saja semakin gentar melihat kehebatan Ki Jembros ini. Memang jago tua ini terkenal memiliki ilmu kekebalan yang disebut Aji Trenggiling Wesi, maka tadi ketika dadanya dibacok golok, dia sambut sambil tertawa saja.
"Hahaha, Sardulo. Hayo majulah ke sini, kita tua lawan tua, kita adalah musuh lama, hahaha"
Ki Jembros menantang. Akan tetapi Ki Sardulo ternyata seorang jagoan yang licik. Setelah melihat betapa di pihaknya menderita kerugian besar dan menjadi lemah setelah dua orang senopati itu tewas, diapun berteriak menyuruh semua perajurit maju mengepung, akan tetapi dia sendiri diam-diam menyelinap pergi dan melarikan diri.
Melihat ini, tentu saja para perajurit menjadi gentar dan merekapun melarikan diri, meninggalkan korban diantara mercka yang jumlahnya lebih dari separuh. Ada sedikitnya tigapuluh lima orang perajurit Daha tewas dalam perkelahian yang berat sebelah itu. Setelah semua lawan melarikan diri, Wulansari dan Hok Yan terguling roboh dan pingsan saking lelahnya dan nyeri dari luka yang merek derita sejak tadi.
Hok Yan mengeluh lirh, Yang pertama te rasa amat nyeri dan pedih adalah paha kanannya, luka yang paling parah di tubuhnya. Akan tetapi, dia merasa betapa ada benda yang dingin sejuk menutupi luka di pahanya, dan benda itu diraba-raba jari tangan yang lemah. Dia merasa heran dan membuka matanya. Dia merasa semakin heran. Dirinya telah rebah telentang di atas sebuah dipan dalam sebuah kamar. Dan di tepi dipan itu duduk seorang gadis yang wajahnya amat dikenalnya, wajah seorang gadis yang berkulit kuning langsat, wajah yang manis sekali. Wajah itu menunduk dan tangan gadis itulah yang menaruhkan obat, yaitu semacam daun yang dilembutkan dan basah, dibalurkan pada luka di pahanya dengan sentuhan sentuhan lembut sekali. Terasa begitu sejuk, nyaman dan menyenangkan, bukan hanya mengurangi rasa pedih dan panas, bahkan menimbulkan perasaan nyaman.
"Kau...,....?"
Dia berbisik agak lemah, Sumirah yang sejak tadi mencurahkan perhatiam kepada luka di paha itu, terkejut dan mengangkat muka memandang. Pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut, dan wajah gadis itu menjadi kemerahan.
"Bagaimana rasanya".?"
Hok Yan tersenyum dan mengangguk.
"Nyaman......"
Dia menggerakkan pundak hendak bangkit duduk.
"Auhhhh......"
Dia rebah kembali karena pundaknya terasa nyeri.
Dengan lembut Sumirah meraba pundaknya"Berbaringlah saja, jangan bangkit dahulu.
Pundakmu memar dan matang biru, juga lambung kirimu nampak biru. Engkau menderita banyak luka, akan tetapi yang paling parah yang di paha ini......"
Hok Yan rebah kembali, mengingat-ingat sambil memejamkan matanya. Kini dia teringat akan semua yang telah terjadi. Ada pasukan mengamuk di dusun itu. Dia menyelamatkan gadis ini yang telah ditelanjangi dan hampir diperkosa orang. Kemudian dia keluar meninggalkannya dan dia membantu Wulansari. Terjadi perkelahian mati-matian dan dia hampir saja roboh, juga Wulansari. Lalu muncul seorang kakek gagah dan seorang pemuda. Mereka mengamuk dan menyelamatkannya. Dia membuka matanya kembali dan gadis itu sedang mengamati wajahnya. Dan gadis itu tersenyum. Manisnya. Rasanya tidak kalah oleh Puteri Dyah Gayatri yang tadinya dianggap bidadari. Gadis ini, gadis dusun ini, manis bukan main. Apalagi saat itu ia tersenyum malu-malu.
"Kenapa kau senyumsenyum.......?"
Tanyanya lemah, karena memang tubuhnya masih terasa lemah sekali.
Wajah itu makin merah, akan tetapi senyumnya melebar sehingga nampak deretan puncak gigi yang putih rata. Manisnya.
"Habis engkau lucu sih"
Gadis itu menutupi mulut dengan tangan kiri, menahan tawa.
Hok Yan membelalakkan kedua matanya dan gadis itu kini tertawa lirih seolah-olah melihat sesuatu yang lebih lucu lagi.
"Apanya yang lucu?"
Hok Yan bertanya, heran mengapa dia dikatakan lucu.
"Apanya, ya? Entah, mungkin...... kedua matamu itu. Sinar matamu tajam sekali, akan tetapi selalu bersembunyi, kedua matamu hampir selalu kelihatan terpejam........ Ah. Aku....... aku tidak bermaksud mencela utau menghina, jangan kau marah, ya?"
Hok Yan tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa marah kepada gadis seperti ini?
"Engkau telah bersikap baik sekali kepadaku, engkau merawatku, bagaimana aku bisa marah kepadamu? Nona, kenapa engkau begini baik kepadaku?"
Sepasang mata yang diangga selalu bersembunyi itu kini memandang dengan penuh perhatia dan penuh selidik.
"Kenapa tidak? Engkau telah menyelamatkan aku, telah menolongku terbebas dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku hanya dapat membalas merawat lukamu, tidak dapat membalas menyelamatkan nyawamu. Aku...... aku berterima kasih sekali kepadamu"
"Tapi, nona. Kalau ayah ibumu mengetahui ........kita hanya berdua saja di kamar ini, engkau akan mendapat marah"
Gadis itu menggeleng kepalanya. Manis sekali"Tidak ada yang marah. Mereka bahkan menyuruh aku merawatmu. Pula, apa salahnya, aku merawatmu? Engkau orang baik-baik, dalam keadaan sehatpun aku tidak takut berada sekamar denganmu, apa lagi engkau sakit seperti ini, tidak berdaya. Apa yang dapat kau lakukan"
Gadis itu tertawa lirih lagi.
Seketika hati Hok Yan jatuh. belum pernah selama hidupnya dia merasakan dalam hatinya seperti ini terhadap seorang gadis. Bahkan terhadap Sang Puteri Dyah Gayatri juga tidak seperti ini. Dia hanya kagum melihat kecantikan Dyah Gayatri, dan kagum melihat kegagahan Wulansari, akan tetapi terhadap gadis ini. Entah apa yang terjadi dengan hatinya. Ada kemesraan yang terasa dalam lubuk hatinya, yang membuat dia ingin terus berdekatan seperti ini dengan gadis itu.
Tiba-tiba dia teringat akan orang-orang lain. Wulansari, Puteri Gayatri, dan dua orang gagah yang tadi datang menolong mereka. Juga orang tua gadis ini dan dimana mereka sekarang berada. Kalau masih di dusun itu, tentu berbahaya sekali karena pasukan Daha tentu tidak akan tinggal diam. Kalau mereka datang membawa bala bantuan. tentu mereka semua akan celaka.
"Di manakah kita sekarang berada? Apa masih di rumahmu, di dusun itu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya"Kita sudah berada jauh dari dusun Kalasan. Ini rumah pamanku, di balik bukit dan dusun ini sudah terlindung oleh pasukan Tubau yang belum tunduk kepada Daha"
Hok Yan menarik napas panjang, hatinya lega"Dan di mana adanya Wulansari? Dan Sang Puteri Dyah Gayatri? Dan dua orang penolong itu?"
Dihujani pertanyaan ini, Sumirah tersenyum.
"Mereka semua berada di dusun ini. Tenangkan hatimu. Kalau lukamu sudah sembuh, kalau badanmu sudah sehat kembali, engkau akan bertemu dengan mereka"
Mendengar ini, hati Hok Yan merasa lega dan senang sehingga dia memejamkan matanya dan tiba-tiba dia merasa mengantuk sekali. Ingin dia bertanya siapa nama gadis itu, akan tetapi kepulasan menghapus pertanyaannya.
Sementara itu, di sebuah rumah lain yang tidak berjauhan dari rumah di mana Hok Yan dirawat Sumirah, Wulansari juga rebah telentang di atas dipan dalam sebuah kamar dan, yang merawatnya bukan lain adalah Sang Puteri Dyah Gayatri. Ketika ia siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada diatas pembaringan, melihat sang puteri duduk di tepi pembaringan menjaganya, ia hendak bangkit duduk, akan tetapi puteri segera mencegahnva Wulansari meringis kesakitan. Seluruh tubuh rasanya sakit-sakit.
"Kenapa puteri yang merawat....."
"Ssttt, diamlah, mbakayu Wulan. Siapa lagi kalau bukan aku yang merawatmu? engkau membelaku mati-matian dan hampir saja mengorbankan nyawamu, masa aku tidak boleh membalasmu hanya dengan merawatmu selagi engkau sakit? Tenanglah dan mengasolah"
Wulansari teringat akan semua yang terjadi dan ia menengok ke kanan kiri. Kamar itu kosong, hanya ada mereka berdua "Kita berada di mana? Dan mana orang asing bernama Lie Hok Yan itu? Dia gagah bukan main dan dia membelaku mati-matian. Oh ya, di mana pula Paman Jembros dan pemuda yang sagah tadi?"
"Mereka semua berada di dusun ini, mbakayu Wulan. Lie Hok Yan itu berada di dalam rumah lain, dirawat oleh anak bapak lurak Kalasan itu. Akan tetapi, dua orang penolong itu berada di rumah ini pula. Apakah engkau ingin bertemu dengan mereka?"
"Mana Paman Jembros? Aku ingin bicara dengan dia"
Dyah Gayatri turun dari pembaringan dan keluar dari dalam kamar itu. Tak lama kemudian iapun masuk kembali, kini diikuti oleh dua orang. Wulansari tidak memperhatikan pemuda yang ikut masuk itu karena ia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Ki Jembros dan dengan wajah berseri iapun berseru.
"Paman Jembros........"
Pemuda itu dengan sikap sopan duduk di atas kursi agak jauh dari pembaringan, sedangkan Ki Jembros duduk di atas kursi dekat pembarinan dan Puteri Dyah Gayatri kembali naik ke atas pembaringan, berlutut dekat Wulansari.
Kakek itu tertawa, sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia memandang kepada gadis perkasa itu.
"Wulan, suaramu memanggil namaku dengan demikian manisnya itu sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan hatiku. Kiranya engkau masih belum lupa kepada Ki Jembros, hahaha"
"Aku melupakan paman?"
Wulansari berseru penasaran "Bagaimana mungkin aku melupakanmu, paman? Sampai matipun aku tidak mungkin akan dapat melupakan ketika paman menolongku dari gelombang lautan itu. Dan sekarang, kembali paman telah menyelamatkan aku pada, saat aku sudah hampir roboh oleh keroyokan para perajurit itu"
"Hemh, para perajurit Daha yang pengecut. Mengeroyok seorang wanita seperti itu. Tak tahu malu"
Kata kakek itu geram.
"Paman Jembros, aku tidak pernah melupakan paman. Kalau selama ini kita saling berpisah dan aku........aku bahkan menghambakan diri kepada istana Daha adalah karena....... karena aku terpaksa oleh keadaan"
Kakek itu tersenyum. dan mengangguk-angguk"
Dahulunya akupun merasa heran dan khawatir sekali mendengar bahwa engkau menjadi kepala pasukan pengawal di lstana Daha. Aku sudah mendengar semuanya dan mendiang Paman Panembahan Sidik Danasura......"
"Mendiang?"
Wulansari bertanya kaget"
Jadi Eyang Panembahan sudah........"
"Dia sudah kembali keasalnya, Wulan, sudah terbebas dari pada segala kekacauan yang terjadi di permukaan bumi"
"Ahh, eyang......"
Wulansari memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata, menuruni pipinya. Melihat ini, Ki Jembros mengangguk-angguk. Kecengengan seorang wanita bukan hanya menunjukkan kelemahan baginya, juga menunjukkan kepekaan perasaannya. Dahulu dia mendengar bahwa setelah dibawa pergi Cucut Kalasekti, terjadi perubahan besar pada diri Wulansari. Kabarnya ia menjadi seorang wanita yang dingin dan ganas, dan wanita yang digambarkan seperti itu pasti tidak pernah mencucurkan air mata. Akan tetapi kini, bertemu dengan dia, Wulansari menitikkan air mata, juga mendengar akan kematian Panembahan Sidik Danasura, ia menitikkan air mata pula. Itu tanda bahwa Wulansari kini telah kembali menjadi seorang wanita yang hangat dan berperasaan peka.
Pada saat itu, baru Wulansari menyadari bahwa di situ terdapat orang lain, yaitu pemuda tampan yang bersama Ki Jembros membantunya mengusir orangorang Daha, dan yang kini duduk pula dalam kamar itu, agak jauh. Ia tersipu ketika ingat bahwa ia telah mencucurkan air mata memperlihatkan kelemahannya, apa lagi ketika sang puteri merangkulnya dan berkata.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ihhh, sungguh luar biasa sekali. Sejak aku mengenalmu, baru sekarang ini aku melihat air mata keluar dari matamu, mbakayu Wulan. Luar biasa sekali. Tadinya aku mengira bahwa engkau seorang wanita berhati baja yang takkan pernah dapat mengeluarkan air mata"
Wulansari hanya balas merangkul, lalu ia tersenyum "Puteri tidak tahu. Kalau tidak ada Paman Jembros ini dan mendiang Eyang Panembahan, sejak berusia sepuluh tahun aku tentu sudah mati. Paman, siapakah sobat yang datang bersama paman itu?"
Sebelum Ki Jembros menjawab, pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri pembaringan itu dan dengan senyum penuh keramahan sehingga wajahnya menjadi semakin tampan, dia berkata.
"Selamat berjumpa, mbakyu Wulansari, gembira sekali hatiku dapat bertemu kembali denganmu"
Wulansari terbelalak dan memandang heran, ia memeras ingatannya akan tetapi walaupun sepasang mata yang lebar dan jeli itu rasanya tidak asing baginya, namun ia sama sekali tidak dapat ingat
(Lanjut ke Jilid 23)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 23
kembali kapan dan di mana ia pernah berjumpa dengan pemuda ini.
"Siapa........ siapakah engkau, sobat"
Tanyanya heran.
Ki Jembros tertawa bergelak "Hahaga, yang yang biasa menyamar sebagai pria, kini terkecoh oleh penyamaran seorang wanita lain, hahaha"
"Mbakayu Wulansari, maafkan aku. Aku adalah Pertiwi......"
"Oohhh........"
Wulansari terkejut bukan main dan matanya terbelalak menatap wajah "pemuda"
Itu, kemudian ia menarik napas panjang, hatinya terasa pedih seperti ditusuk, karena ia teringat akan segala yang pernah ia lakukan terhadap gadis dusun lereng Gunung Kelud ini "Yaaah........ aku ingat sekarang..... engkau.....engkau tunangan Nurseta. Ketahuilah, Nurseta masih hidup........ engkau tentu akan mencarinya......."
Akan tetapi Pertiwi tersenyum pahit dan dara ini lalu duduk di tepi pembaringan, memegang lengan Wulansari, dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, mbakayu Wulansari. Aku bukan tunangannya lagi. Perjodohan tak mungkin dapafi dipaksakan, dan ikatan jodoh antara kami sudah putus. Ingat, dia tidak mencintai aku. Diantara kami sudah tidak ada apa apa lagi, mbak ayu Wulansari"
Wulansari memandang kepada wajah Pertiwi yang menyamar pria itu, dan melihat sepasang mata yang lebar bening itu memandang penuh kejujuran, mengingat betapa Nurseta yang saling mencinta dengannya itu kini tidak lagi terikat perjodohan dengan gadis ini, ia merasa begitu terharu sehingga kembali kedua matanya menjadi basah dan iapun kini merangkul Pertiwi "Pertiwi, maafkan semua perbuatanku yang lalu......."
Pertiwi balas merangkul"
Tidak ada yang perlu dimaafkan, mbakayu. Kau tidak bersalah apapun kepadaku"
Wulansari segera dapat menguasai hatinya, lagi ketika mendengar Ki Jembros tertawa-tawa, mentertawakan dua orang wanita gagah yang menyamar pria itu kini berangkulan dan bertangisan. Ia bangkit duduk dan memandang kepada Ki Jembros, senyum membayang di bibirnya, senyum yang berbahagia dan penuh harapan, yang timbul setelah mendengar bahwa tidak ada hubungan dan pertalian apapun kini antara Pertiwi dan Nurseta.
"Paman Jembros, apa artinya ini? Bagaimana semua ini dapat terjadi? Tiba tiba saja Pertiwi datang bersama paman, menyamar pria dan ia telah menjadi seerang gadis yang perkasa"
"Hahaha, panjang ceritanya Wulan. Mengenai riwayat Pertiwi, biar ia sendiri nanti yang akan bercerita kepadamu. Aku pergi berkunjung ke puncak Kelud, bertemu dengan Nurseta dan Kakang Baka di tempat padepokan Paman Panembahan Sidik Danasura. Dari Kakang Baka aku mendengar tentang Pertiwi yang ketika itu sedang bertapa. Aku merasa kasihan kepadanya, menemuinya dan ia suka menjadi muridku. Selanjutnya, mendengar akan geger Singosari yang diserang Daha, kami turun gunung dan di sini kami kebetuian bertemu denganmu. Sekarang kau ceritakan, bagaimana engkau dapat bertemu dengan gusti puteri ini, dan siapa pula pemuda Cina yang bersamamu melawan pasukan Daha itu"
Dengan singkat Wulansari lalu menceritakan riwayatnya, betapa setelah Singosari jatuh oleh Daha, Dyah Gayatri tertawan dan menjadi tawanan di istana Daha. Kemudian betapa Sang Prabu Jayakatwang mempunyai niat jahat terhadap Dyah Gayatri sehingga ia terpaka membawa Dyah Gayatri lari keluar dari istana dan bersembunyi di dusun Kalasan sampai akhirnya muncul pasukan Daha yang megenalnya dan menyerang.
Memang saya sudah merencanakan untuk meninggalkan istana Daha, paman. Yaitu setelah saya terpaksa membunuh Pangeran Sinduboyo yang hendak memperkosa Puteri Dyah Gayatri. Adapun mengenai saudara Lie Hok Yan itu, kami bertemu dengan dia dalam hutan, memperebutkan kijang, kemudian ketika muncul pasukan Daha, tanpa diminta dia membantuku. Dia adalah seorang penyelidik yang dikirim oleh pasukan Cina yang kini berada di pesisir Tuban dan yang bermaksud untuk menyerang Singosari"
'Jagad Dewa Barbara ........"
Ki Jembros membelalakkan matanya yang sudah lebar itu. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa Singosari harus runtuh ......."
"Akan tetapi, Paman Jembros. Kita dapat mempergunukan pasukan dari Cina itu untuk membalas dendam kepada Daha, dan Lie Hok Yan sudah menyanggupi untuk menyampaikan usul itu kepada pemimpinnya"
Kata Puteri Dyah Gayatri penuh semangat.
Ki Jembros mengangguk-angguk, kagum kepada puteri yang kelihatan tabah walaupun mengalami banyak hal buruk itu.
"Aku perlu sekali bicara dengan Lie Hok Yan itu. Nah, Wulan dan Pertiwi, kalian bicaralah, aku hendak menemui pemuda Cina itu"
Ki Jembros lalu meninggalkan tiga orang gadis itu.
Pertiwi lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa ia sebagai seorang gadis dusus bertemu dengan Ki Baka yang menderita sakit. Ia merawat orang tua itu, kemudian ketika bertemu dengan murid Ki Baka, yaitu Nurseta, orang tua itu telah menjodohkan mereka. Na mun kemudian Nurseta dengan terus terang mengatakan kepadanya bahwa dia hanya menerima keputusan itu karena hendak mentaati gurunya yang juga menjadi ayah angkatnya, namun bahwa sebetulnya Nurseta tidak mencintainya.
"Dia mencintaimu, mbakayu Wulansari, Hanya engkau seorang yang dicintanya dan aku tidak menyalahkannya. Engkau gagah perkasa dan cantik, dan aku bahkan kagum kepadanya karena dia mau mengaku terus terang secara jantan"
Pertiwi melanjutkan ceritanya. Betapa dalam kedukaannya ditinggal Nurseta yang menyatakan terus terang bahwa pemuda itu tidak cinta kepadanya, ia tertimpa rnalapetaka yang sangat hebat. Muncullah seorang penjahat yang memperkosanya dengan penggunaan sihir sehingga ia menyerah dengan suka rela. Betapa kemudian penjahat itu hampir membunuh ayah ibunya, kalau saja tidak muncul Ki Baka yang menyelamatkan mereka.
"Akan tetapi, aku telah ternoda, mbakayu Wulansari. Kalau tidak ada nasihat-nasihat dari Paman Baka dan juga dari Eyang Panembahan Sidik Danasura, tentu aku telah membunuh diri, Aku diberi nasihat dan diberi lempung yang dapat melindungi aku dari gangguan pria. dan aku lalu bertapa. Engkau muncul dan"."
"Adikku Pertiwi, kau maafkan aku. Ketika aku mencarimu, memang aku bermaksud membunuhmu karena aku menganggap engkaulah yang menjadi penghalang bagi aku dan Nurseta untuk berjodoh. Akan tetapi, ketika itu aku mengira Nurseta telah tewas jatuh ke dalam jurang, dan melihat keadaanmu, aku tidak jadi membunuhmu. Siapakah jahanam yang menodaimu itu, Pertiwi. Aku lupa lagi apakah dahulu engkau pernah menyebutkan namanya kepadaku. Kalau aku bertemu dengannya, dia akan kubunuh untuk membalaskan dendammu"
Pertiwi tersenyum dan menggeleng kepalan "Tidak perlu, mbakayu, karena aku telah mempelajari ilmu dari Guru, aku sendirilah yang akan mencarinya dan membalasnya. Namanya adalah Gagak Wulung"
"Gagak Wulung? Si keparat jahanam itu. memang amat jahat"
Seru Wulansari "Sekarang baru aku merasa menyesal, Pertiwi. Aku melihat bahwa engkau tidak bersalah, engkau pantas menjadi isteri Nurseta, engkau dijodohkan oleh orang tua, sedangkan aku......."
"Cukup, mbakayu Wulansari. Jodoh tak dapat dipaksakan, cinta tak dapat dibuat. Dia dan engkau saling mencinta, Cinta yang bertepuk tangan sebelah hanya akan menciptakan perjodohan yang penuh penyesalan dan duka. Sudah kukatakan, tidak ada ikatan apapun juga antara kakangmas Nurseta dan aku, mbakayu. Aku merasa tidak berharga, dan aku tahu bahwa dia amat mencintamu"
Sementara itu, di rumah lain dalam dusun kecil itu, di mana Lie Hok Yan dirawat oleh Sumirah, terjadi percakapan lain antara pemuda itu dan Ki Jembros yang mengunjunginya. Ayah dan ibu Sumirah yang tidak begitu parah lukanya, menyambut Ki Jembros, kemudian kakek ini dipersilakan masuk ke dalam kamar Hok Yan. Sumirah diperbolehkan tinggal di kamar itu ketika mereka berdua bercakap-cakap. Hok Yan memaksa diri bangkit duduk untuk menghormati Ki Jembros yang dikaguminya karena dia telah melihat sepak terjang kakek perkasa ini, ketika menolong dia dan Wulansari dari kepungan para perajurit Daha.
"Aku sudah mendengar sedikit tentang dirimu dari Wulansari, saudara Lie Hok Yan. Engkau adalah seorang penyelidik yang diutus oleh pimpinan pasukan Cina yang dikirim oleh kaisarmu untuk menyerang Singosari. Akan, tetapi mengapa kaisarmu mengirim barisan besar untuk menyerang Singosari?"
Hok Yan duduk bersila di atas pembaringan. Luka di pahanya hanya nyeri, akan tetapi tidak berbahaya dan bobok param yang dibalurkan Sumirah pada lukanya lalu pahanya dibalut, membuat luka ita tidak terasa panas lagi. Dia menarik napas panjang. Sungguh amat tidak enak tugas yang diberikan kepada seorang perajurit untuk menyerang negara lain.
"Saya hanya seorang perwira muda yang melaksanakan tugas, paman. Akan tetapi sepanjang yang saya ketahui, pernah Raja Singosari menghina utusan kaisar kami dan hal itu dianggap sebagai tantangan. Kaisar kami lalu mengirim pasukan besar untuk menyerang Singosari dan saya diberi tugas untuk melakukan penyelidikan ke daerah Singosari"
"Hemm, begitukah? Dan hasil apa yang kau peroleh dari penyelidikanmu itu?"
Tanyai Ki Jembros sambil mengamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
"Saya mendapatkan keterangan bahwa Kerajaan Singosari baru saja diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Daha, bahwa Raja Singosari telah tewas dalam perang. Keadaan ini membuat saya menjadi bingung, paman, dan kebetulan saya bertemu dengan Wulansari dan Puteri Dyah Gayatri yang mengusulkan agar pasukan kami membantu saja perjuangan Raden Wijaya, pangeran dari Singosari untuk menyerang Kerajaan Daha. Hal itu tentu saja tergantung kepada pimpinan kami dan saya akan melaporkan usul itu kepada mereka"
Ki Jembros mengangguk-angguk "Sebuah usul yang amat baik"
Katanya "Ketahuilah dan sampaikan kepada para pimpinanmu, Hok Yan. Tidak dapat kusangkal bahwa menjelang kekalahan Singosari, mendiang Sang Prabu Kertanegara telah melakukan banyak kesalahan, diantaranya menentang dan menghina Kaisar Cina. Akan tetapi sekarang Kerajaan Singosari telah dikalahkan oleh Kerajaan Daha yang berkhianat. Satu satunya jalan terbaik bagi pasukan kalian adalah membantu Raden Wijaya yang akan membangun kembali Singosari dan hanya dengan cara itulah kiranya hubungan baik antara Cina dan Singosari dapat dijalin kembali"
Hok Yan mengangguk angguk "Memang saya akan melaporkan kepada pimpinan kami akan hal itu, paman"
"Ketahuilah bahwa kini Raden Wijaya sedang memupuk kekuatan di daerah baru yang dinamakan Mojopahit, dan Raden Wijaya didukung oleh Bupati Sumenep di Madura, yaitu Arya Wiraraja"
Lie Hok Yan mendengarkan dengan teliti semua keterangan tentang Raden Wijaya yang diperoleh dari Ki Jembros. Dia mendapatkan keterangan yang amat penting tentang Raden Wijaya. Setelah Ki Jembros meninggalkan pemuda itu, Sumirah yang sejak tadi hanya mendengarkan, lalu duduk di tepi pembaringan, minta kepada Hok Yan agar rebah kembali.
"Engkau perlu banyak beristirahat agar segera pulih kembali kesehatanmu"
"Terima kasih"
Hening sejenak dan mereka hanya saling pandang. Setiap kali bertemu pandang, Sumirah lalu menunduk.
"Aneh"
Katanya lirih.
"Apanya yang aneh, nona?"
"Engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka mengerikan, dan aku kini telah merawatmu, berarti kita sudah menjadi kenalan bahkan sahabat baik, bukan?"
"Tentu saja, akan tetapi mengapa aneh?"
"Aneh karena kita belum saling mengenal mama"
"Aih, aku lupa. Maafkan, namaku Lie Hok Yan"
"Lie........ Hok........ Yan .......?"
Sumirah mengulang-ulangi, seolah hendak menghafal nama yang terdengar asing bagi telinganya itu.
"Benar nona. Lie itu nama keluarga ayahku, dan Hok Yan itu artinya Taman Rejeki. Dan siapakah namamu, nona?"
"Namaku Sumirah"
"Sumilah........?"
"Bukan Sumilah, akan tetapi Sumirah"
"Ya, ya.......Sumilah"
Hok Yan mengulang, merasa sudah benar.
Sumirah mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak mendesak "Namamu Lie Hok Yan, lalu aku harus memanggilmu bagaimana?"
Ia berpikir alangkah akan lucunya kalau di depan nama itu ditambah kakang, apa lagi kakangmas.
Hok Yan tersenyum"Panggil saja aku Hok Yan, nona"
"Dan kau sudah tahu namaku, jangan sebut nona, Panggil saja aku Sumirah, atau Mirah begitu saja"
"Milah, nama bagus"
Sumirah mengerutkan alisnya. Keterlaluan orang ini, pikirnya, suka mengganti nama.
"Bukan Milah, akan tetapi Mirah"
"Ya, betul. Milah...... Milah....."
"Mirah. Pakai rrr, bukan pakai lll Coba kau bilang rrrr ......"
"Lllll ........"
"Wah, repot. Kau tidak bisa mengatakan rrr. Engkau pelo, lidahmu..... lidahmu terlalu pendek, hihik...."
Sumirah tertawa geli.
Hok Yan juga tertawa "Lidahku pendek? Tidak mungkin. Lihat"
Dan dia menjulurkan lidahnya keluar. Dan memang tidak pendek "Nah, tidak lebih pendek dari lidahmu kukira. Coba, Milah, apakah lidahmu luar biasa panjangnya?"
Sambil tertawa Sumirah juga menjulurkan lidahnya yang kecil dan merah jambon.
"Wah, lidahku masih lebih panjang"
Kata Hok Yan dan keduanya kini saling menjulurkan lidah, seperti dua orang anak kecil saling mengejek. Dan keduanya merasa demikian lucu sehingga mereka tertawa-tawa.
Ki Sardu dan isterinya masuk kamar itu. Mereka terheran-heran melihat betapa penolong puteri mereka itu tertawa-tawa geli bersama puteri mereka.
"Eh eh, ada apa ini kalian tertawa tawa seperti itu?"
Ki Sardu bertanya.
"Ayah, ibu, ini......... Hok Yan ini sungguh lucu sekali. Dia tidak dapat menyebut rrrr dan namaku dia robah menjadi Sumilah. Coba lagi, Hok Yan, coba sebut namaku, Sumirah"
"Sumilah"
Hok Yan sedapat mungkin berusaha agar pengucapannya benar.
"Mirah........"
"Milah"
"Nah, ayah dan ibu dengar, bukan? Namaku dirubahnya menjadi Sumilah atau Milah"
Kata Sumirah tertawa. Ayah dan ibunya juga tertawa.
"Mirah, jangan memperolok kekurangan orang"
Kata Ki Sardu.
"Ia tidak memperolok, paman. Memang di kampung saya, orang orang tidak pernah mempergunakan huruf yang berbunyi rrr itu, maka sukarlah bagi kami untuk mengucapkannya"
Hok Yan membela gadis itu.
Ki Sardu dan isterinya duduk di atas kursi, menghadapi pembaringan di mana Hok Yan sudah bangkit duduk kembali, tidak mentaati permintaan Sumirah agar dia rebah saja karena dia merasa tidak enak menyambut kunjungan Ki Sardu dan isterinya sambil rebahan.
"Hok Yan, aku ingin bicara dengan engkau, Engkau tentu hanya beberapa hari saja tinggal disini, oleh karena itu, kami ingin mengajak engkau bicara agar selama beberapa hari ini, sebelum engkau pergi, engkau sudah dapat mengambil keputusan"
Melihat sikap yang serius dari orang tua itu, Hok Yan merasa heran, dan dia merasa, lebih heran lagi ketika melihat wajah Sumirah, berubah kemerahan dan gadis itu lalu bangkit berdiri "Ayah, ibu, aku akan membantu bibi di dapur"
Tanpa menanti jawaban, dan tanpa pamit kepada Hok Yan, gadis itu lalu pergi setengah berlari meninggalkan kamar. Yang dimaksudkan dengan panggilan bibi oleh Sumirah adalah nyonya rumah karena mereka tinggal di rumah Ki Sarlan, adik dari Ki Sardu.
"Silakan, paman. Apakah yang hendak paman dan bibi bicarakan?"
Tanya Hok Yan sambil memandang wajah kedua orang itu dengam penuh perhatian.
"Sebelum kami membicarakan soal itu denganmu, lebih dulu kami ingin mengetahui. Hok Yan, apakah di negerimu sana engkau meninggalkan seorang isteri?"
"Saya belum beristeri, paman"
"Tunangan?"
"Juga tidak"
Suami isteri itu saling pandang dan bernapas lega. Bagus, itulah yang kami harapkan. Ketahuilah, Hok Yan. Mirah telah bicara dengan kami dan ia amat berterima kasih kepadamu, ia merasa hutang budi yang hanya dipat dibalas dengan nyawa, dan disamping hutang budi, juga ia merasa amat malu karena engkau telah melihat ia dalam keadaan yang baginya amat memalukan. Oleh karena itu, untuk menebus aib yang memalukan itu dan untuk membalas budimu, bagi Mirah hanya ada satu jalan, yaitu menjadi isterimu"
"Ah......."
Tersentak Hok Yan merasa keharuan menyesak dadanya.
"Kami juga merasa setuju, Hok Yan. Sekarang, kami telah kehilangan segalanya dan Mirah memerlukan seorang suami yang akan mampu melindunginya dari marabahaya. Nah, bagaimana pendapatmu Hok Yan? Ataukah kami harus menanti agar engkau dapat mempertimbangkan keinginan kami ini?"
"Paman........ bibi......"
Kata pemuda itu dengan suara gemetar karena keharuan "Sungguh saya merasa terharu dan berterima kasih sekali kepada paman dan bibi dan ...... Milah. Saya merasa terhormat sekali, bangga dan juga bahagia. Terus terang saja, semenjak perjumpaan pertama kali saya....... saya sudah meresa jatuh cinta kepada Milah. Tentu saja saya tidak berani mengharapkan yang muluk-muluk. Akan tetapi sekarang.......... paman dan bibi dan Milah justeru mengajukan usul yang memang amat saya harapkan. Tentu saja saya setuju sekali dan terima kasih sekali. Akan tetapi, hendaknya paman dan bibi dan juga Milah mengetahui bahwa saya adalah seorang perwira yang sedang bertugas. Tidak mungkin tugas diabaikan atau giitinggalkan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, saya akan menyelesaikan tugas ini dulu, paman. Setelah saya membuat laporan kepada atasan saya, setelah tugas dipastikan selesai, saya akan minta ijin kepada atasan saya agar ditinggal di sini dan saya berjanji akan datang berkunjung dan menerima uluran tangan keluarga paman dengan hati dan tangan terbuka"
Bukan main girang rasa hati Ki Sardu dan isterinya mendengar kesanggupan pemuda itu. Mereka setuju dengan syarat yang diajukan Hok Yan, dan mereka segera meninggalkan pemuda itu untuk mengabarkan kepada puteri mereka tentang keputusin Hok Yan yang menerina ikatan perjodohan itu. Tentu saja Sumirah merasa girang bukan main sehingga ia menangis seorang diri. Ia merasa tertarik dan kagum kepada Hok Yan, juga merasa berhutang budi, disamping ia akan selamanya merasa malu kalau mengingat betapa pemuda itu merupakan satu-satunya pria yang melihatnya dalam keadaan yang amat memalukan, bertelanjang bulat. Kalau ia dapat menjadi isteri Hok Yan, maka segalanya itu akan tertebus. Aib dan malu akan lenyap, hutang budi terbalas, apa lagi kalau mereka memang saling mencinta.
Malam itu, setelah gelap, baru Sumirah berani memasuki kamar Hok Yan. Yang mengirim makan malam dan menyalakan pelita dalam kamar pemuda itu adalah ibunya. Dengan berindap ia memasuki kamar, mengharapkan pemuda itu telah pulas agar ia tidak usah tersipu malu. Ia hanya ingin mengantarkan jamu secangkir, dan menggantikan bobok pada luka di paha itu. Melihat pemuda itu telentang, tak bergerak dan ia selalu sukar untuk mengambil keputusan apakah mata pemuda itu terpejam ataukah terbuka. Begitu sipit.
"Milah....."
Sumirah tersentak kaget mendengar panggilan lirih itu. Hampir saja cangkir jamu lepas dari tangannya. Pemuda itu tidak tidur. Dengan jantung berdebar dan muka terasa panas ia tinggal berdiri seperti patung.
Hok Yan maklum bahwa gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu tersipu malu. Diapun tidak ingin menggoda, lalu berkata dengan suara biasa saja.
"Milah, engkau mengantar jamu dan obat luka yang baru?"
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, Hok Yan ........."
"Taruh saja di atas meja. Nanti kuminum sendiri dan bobok itu akan kupakai sendiri. Sekarang aku sudah dapat duduk dan mengobati lukaku sendiri. Dan engkau duduklah disini, aku ingin bicara, Milah"
Kalau saja ucapan itu dikeluarkan tadi sebelum ayah lbunya bicara dengan Hok Yan, tentu Sumirah akan menolak dan marah-marah. Akan tetapi kini ia tidak membantah, menaruh cangkir jamu dan bungkusan bobok di atas meja, kemudian iapun duduk. Tidak di tepi pembaringan seperti biasa, melainkan di atas kursi yang berada di dekat pembaringan.
Hok Yan sendiri lalu bangkit duduk di tepi pembaringannya sehingga mereka duduk berhadapan, dekat.
Sumirah menundukkan mukanya, jantungnya berdebar demikian kerasnya sehingga ketika ia menunduk, ia melihat sendiri betapa dada yang tertutup baju itu berdetak-detak dan berguncang.
"Milah, apakah engkau sudah mendengar dari ayah dan ibumu tentang.... tentang kita?"
Sumirah tidak menjawab, melainkan menundukkan muka semakin rendah, lalu menggerakkan kepalanya, mengangguk. Memang ayah dan ibunya sudah memberi tahu kepadanya bahwa pemuda ini menerima ikatan jodoh dengan syarat bahwa dia akan menyelesaikan tugasnya lebih dulu.
"Milah, sungguh aku heran sekali"
Kata Hok Yan, biarpun suaranya dibuat keren dan tegas namun terdengar gemetar.
Dari muka yang menunduk itu, Sumirah melihat ke atas"Mengapa heran?"
"Aku heran kenapa seorang gadis seperti engkau ini suka untuk menjadi isteriku"
Kini Sumirah mengangkat mukanya. Mukanya merah akan tetapi tidak begitu kentara karena penerangan pelita di atas meja itu tidak terang benar, akan tetapi sepasang matanya berkilat-kilat.
"Dan engkau? Mengapa engkau sendiripun suka?"
"Tentu saja aku suka. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, berbudi mulia, halus tutur sapanya, ramah dan amat baik sekali, dan sejak pertemuan pertama aku memang sudah jatuh cinta kepadamu. Tapi kau......?"
"Aku kagum dan bersukur kepadamu"
"Juga........ cinta........?"
Sumirah menjadi gemas. Mengapa tanya-tanya tentang cinta segala? Ia hanya mengangguk tanpa menjawab.
"Itulah yang aneh"
Mengapa?"
"Hemm, lupakah engkau, Milah? Mataku"
"Kenapa matamu?"
"Bukankah kau bilang mataku selalu terpejam, tidak bisa melek?"
"Malah lucu"
"Dan lidahku"
"Lidahmu kenapa?"
"Katamu lidahku pendek?"
"Tentu saja, engkau seorang manusia, bukan seekor ular"
Jawab Sumirah sambil tersenyum geli.
Sejenak keduanya berdiam diri. Lidah rasanya kelu, tidak seperti biasanya. Sukar bagi mereka berdua untuk mengeluarkan kata-kata dan jantung mereka berdebar aneh. Bagi mereka berdua, baru sekali ini selama bidup mereka mengalami jatuh cinta.
Cinta memang sungguh ajaib. Kalau seseorang sudah jatuh cinta, maka apapun yang ada. pada orang yang dicinta itu nampak mudah, nampak baik dan sempurna. Kalaupun ada cacat pada diri orang yang dicinta, maka cacat itu bahkan menjadi pemanis, bahkan menimbulkan rasa iba. Tidak ada manusia di dunia ini yang lebih baik dari pada orang yang dicinta, tidak ada yang lebih tampan atau lebih cantik. Cinta tidak mengenal usia, tidak mengenal harta, tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal golongan, suku ataupun bangsa. Cinta adalah jerasaan yang paling halus dari seorang manusia terhadap seorang manusia lain. Dan kalau sudah disebut manusia, maka segala embel-embel seperti harta kedudukan, bangsa atau bahkan agama tidak ada artinya lagi.
Demikian pula halnya dengan dua orang manusia itu, Hok Yan dan Sumirah. Gidis itu menyadari bahwa Hok Yan seorang pemuda yang kulitnya terlalu putih kuning, matanya terlalu sipit, logat bicaranya aneh dan asing bahkan tidak mampu menyebut suara "r"
Atau yang dinamakan pelo. Dia bahkan tidak tahu lagi apanya yang menarik hatinya dari diri pemuda Cina itu. Bahkan mungkin sipitnya warna kulitnya, dan pelonya itulah. Namun yang jelas, ia merasa kagum, merasa suka dan ingin selalu hidup berdampingan dengan pemuda Cina yang pernah menyelamatkannya dari aib dan bencana itu. Apakah cinta yang terkandung dalam hati Sumirah itu tumbuh karena perasaan hutang budi? Sebagian mungkin. Banyak segi yang menyuburkan pertumbuhan cinta, akan tetapi benih cinta itu sendiri tumbuh dalam perasaan hati yang merupakan rahasia bagi akal pikiran, seolah-olah perasaan cinta itu datang karena tuntunan yang penuh rahasia.
Hok Yan sendiripun tidak mengerti mengapa dia jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Sumirah. Gadis itu amat berbeda dengan gadis-gadis yang ada di negerinya. Memang kulit gadis ini juga putih dan mulus, akan tetapi cara ia menggelung rambutnya. bentuk matanya, pakaiannya, gerak geriknya, bicaranya, suaranya, semua itu sungguh berbeda dengan gadis-gadis di negerinya. Bahkan sukar biginya menentukan dimana letak kecantikan Sumirah, karena dia sudah terbiasa dengan kecantikan yang ditentukan umum di negerinya, Kecantikan Sumirah kelihatan aneh dan asing. Mungkin justeru keanehan ini yang menairik hatinya. Dia takkan pernah melupakan betapa gadis itu telah ditelanjangi dan hampir diperkosa penjahat itu, betapa sepasang mata itu terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang sudah diterkam srigala. Dan sinar mata gadis itu kalau memandang kepadanya, begitu penuh kelembutan, begitu penuh kemesraan, mengelus perasaannya dan membuat dia tidak mampu lagi melupakan Sumirah. Dia bersedia untuk mengorbankan apa saja asal. dapat hidup berdampingan dengan gadis itu untuk selama hidupnya. Dia siap untuk meninggalkan negerinya, bangsanya. Tentu saja, dia harus menyelesaikan dulu tugasnya, karena sebagai seorang pendekar, sebagai seorang petugas, dia harus melaksanakan tugas Itu sampai selesai. Setelah dia membuat laporan kepada atasannya, dia akan berterus terang, akan keluar dari pekerjaannya sebagai seorang petugas minta perkenan dari suhengnya, yaitu Panglima Kau Seng, untuk meninggalkan pasukan dan hidup bebas, tidak lagi pulang ke negerinya.
Pendekar Gila Dari Shantung Karya Kho Ping Hoo Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Antara Dendam Dan Asmara Karya Kho Ping Hoo