Sejengkal Tanah Percik Darah 23
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 23
Dengan alis berkerut, Sang Prabu Jayakatwang mendengarkan laporan Adipati Satyanegara tentang belum berhasilnya adipati itu melacak jejak Wulansari dan Puteri Gayatri. Bagi Sribaginda, kedua orang gadis itu tidak terlalu banyak artinya. Yang terpenting, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus kembali ke tangannya.
"Harap paduka jangan khawatir. Hamba sudah menyebar banyak orang untuk menyelidiki di mana adanya Wulansari. Begitu hamba mengetahui di mana ia berada, biar di neraka sekalipun, tentu hamba akan mendatanginya dan kalau pusaka itu tidak dapat hamba minta dengan baik, biar ia pernah menjadi murid hamba, tentu ia akan hamba bunuh dan hamba rampas pusaka itu untuk paduka".
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk.
"Aku percaya kepadamu, akan tetapi ingat, Kau yang dahulu menjadi gurunya, maka, kau pula yang bertanggung jawab. Sekarang, kau kuutus untuk menemui Ki Buyut Pranamaya di Bukit Srindil. Ajaklah dia untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Selain itu, ajak dia untuk melakukan penyelidikkan terhadap Raden Wijaya yang kini membuka hutan baru di daerah Tarik. Ada kabar angin yang menyatakan bahwa banyak orang Madura berdatangan di tempat itu yang dinamakan Majapahit. Biarpun belum ada tanda-tanda mencurigakan, namun kami ingin sekali merasa yakin bahwa Raden Wijaya tetap setia kepada kami. Kalau dia dapat melaksanakan dua tugas itu dengan baik, barulah kami menerimanya dan akan memberi kedudukan yang sepadan dengan jasanya"
Bukan main girang rasa hati Ki Cucut Kalasekti. Memang itulah yang dia kehendaki. Dengan bantuan seorang datuk seperti Ki Buyut Pranamaya, akan lebih mudahlah baginya untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Dia tidak khawatir menghadapi Wulansari, bekas muridnya itu. Akan tetapi dia tahu bahwa Wulansari mencinta seorang pemuda yang amat tangguh, yaitu Nurseta dan di belakang Nurseta terdapat banyak tokoh yang pandai. Kalau dia dan Ki Buyut Pranamaya maju bersama, dia merasa yakin bahwa mereka berdua akan mampu menandingi siapapun juga. Biar mendiang Panembahan Sidik Danasura hidup lagi, dia tidak akan takut menandinginya kalau dibantu Ki Buyut Pranamaya.
Hari telah mulai gelap dan Nurseta terpaksa turun dari Bukit Srindil karena setelah menanti sejak tadi, yang ditunggu-tunggu, yaitu Gagak Wulung, tidak juga turun. Ketika dia membayangi Gagak Wulung dan Resi Mahapati yang tidak dikenalnya itu, dia melihat mereka mendaki Bukit Srindil. Karena bukit itu penuh dengan hutan, mudah baginya untuk membayangi mereka tanpa diketahui dan akhirnya, dari jauh dia melihat betapa mereka berdua itu berhenti di depan sebuah gubuk besar darurat. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang wanita cantik berada di depan gubuk itu. Ni Dedeh Sawitri.
Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar tegang, dan kedua lututnya mendadak menjadi lemas. Wanita itu, yang dikenalnya sebagai seorang iblis betina, adalah ibu kandungnya. Seorang wanita yang cantik dan anggun memang, biarpun usianya sudah limapuluh tahun lebih. Dia akan merasa bangga mempunyai seorang ibu yang demikian anggunnya. Akan tetapi wataknya. Sungguh mengerikan dan memalukan. Terkenal sebagai iblis betina yang amat kejam dan penuh racun. Dan wanita itu adalah lbunya, ibu kandung yang pernah mengandung dan melahirkan dirinya.
Pukulan batin ini lebih dikejutkan lagi ketika dari dalam gubuk itu muncul storang kakek tua renta yang. berpakaian hitam, pakaian petani. Ki Buyut Pranamaya atau yang pernah menyamar sebagai Wiku Bayunirada datuk sesat pertama yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan gara gara perbuatan datuk inilah maka tombak pusaka itu sampai terampas dari tangan mendiang Ki Baka, ayah angkatnya sehingga kini pusaka itu hilang dan kemungkinan besar berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Bahkan mungkin sekali lenyapnya tombak pusaka itu yang mendatangkan keruntuhan dan kejatuhan bagi Singosari. Dia mengenal kakek itu dan tahu akan kesaktiannya. Menghadapi kakek itu dia tidak takut, akan tetapi di sana ada Gagak Wulung, ada pula Ni Dedeh Sawitri yang belum tahu bahwa dia adalah anak kandungnya, dan ada pula penunggang kuda berpakaian pendeta itu. Selain itu masih nampak pula tiga orang pria dan tiga wanita. Kalau dia menyerang Gagak Wulung, tentu mereka semua akan membantu Gagak Wulung dan berbahayalah bagi dirinya kalau harus menghadapi pengeroyokan mereka. Maka, dia lalu bersembunyi dan menanti sampai Gagak Wulung meninggalkan tempat itu dan turun dari bukit. Akan tetapi, sampai sore dan cuaca mulai gelap, Gagak Wulung tidak nampak turun. Tahulah dia bahwa Gagak Wulung agaknya tinggal pula di sana. Dia harus bersabar dan menanti sampai besok.
Ketika dia menuruni bukit hendak mencari dusun di kaki bukit agar dia dapat mondok melewatkan malam itu, tiba-tiba dari kaki bukit itu nampak bayangan orang mendaki naik dengan cepat sekali. Dia menyelinap ke balik batang pohon besar dan ketika bayangan itu lewat, dia kaget bukan main mengenal orang itu sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kakek iblis ini berkunjung kepada Ki Buyut Pranamaya. Ada hubungan apakah antara kedua orang datuk besar golongan hitam itu? Kalau|mereka berdua itu bersekutu, alangkah berbahayanya dan kuatnya. Untung dia tadi mengambil keputusan untuk turun dari bukit. Kalau dia nekat menyerang Gagak Wulung di sana, kemudian dikeroyok dan datang pula Ki Cucut Kalasekti yang membantu mereka, sukar diharapkan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Di kaki Bukit Srindil sebelah selatan terdapat sebuah dusun yang nampak dari atas. Nurseta segera menuju ke dusun itu. Di dusun itu dia tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka yang tinggal di puncak bukit. Dusun itu kecil saja, hanya ditinggali tigapuluh keluarga lebih. Mereka adalah petani-petani yang hidup sederhana. Melihat sebuah rumah yang agak besar dan memiliki pekarangan yang luas, rumah yang kelihatan bersih dan terawat, juga dari dalam rumah itu nampak sinar pelita yang jauh lebih terang dari pada rumah-rumah lain, Narseta lalu menghampiri rumah itu. Dia percaya akan keramahan para petam dusun yang tentu akan menerimanya dengan baik untuk melewatkan malam itu di dalam rumah.
Akan tetapi, ketika dia sudah mendekati rumah itu, dia mendengar suara ribut ribut. Pertengkaran mulut antara suami isteri terdengar dari dalam rumah itu. Perang mulut antara suami dan isteri, atau lebih tepat lagi serangan bertubi-tubi lewat suara mulut dari seorang isteri yang marah-marah.
"Dasar kau memang seorang isteri yang cemburuan dan cerewet"
Suara pria yang diserang bertubi-tubi itu mencoba untuk membalas. Akan tetapi balasan yang sekalimat ini segera disambut oleh serangan yang semakin ganas.
"Apa kau bilang? Seorang isteri yang cemburuan dan cerewet? Huh, kaulah laki-laki yang mata keranjang, hidung belang. Kau bermuka-muka dan menjilat-jilat secara tak tahu malu kalau sudah melihat wanita lain tidak ingat bahwa wanita itu biarpun cantik sudah tua. Engkau laki-laki muka tebal, lupa bahwa keadaan sendiri tidak mampu, berlagak kaya dan royal kalau sudah bertemu wanita cantik.
Engkau sungguh memuakkan........ ahhhh........ benci aku.......benci.........benci"
Wanita
itupun menangis.
"Cukup. Kalau engkau tidak menutup mulutmu, terpaksa akan kuhajar"
Ucapan laki-laki ini agaknya bagaikan minyak bakar yang disiramkan pada api. Kemarahan wanita itu semakin berkobar.
"Apa kau biiang tadi? Kau mau menghajarku? Cobalah. Lakukanlah. Kaukira aku takut? Hayo hajar aku, lekas hajar. Kau mau apa, huh, laki-laki pengecut"
"Cukup, mbokne, sekali lagi kau bicara, akan kupukul mulutmu"
Suara laki laki itu membentak dan dari suaranya, dapat dirasakan betapa dia sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Nurseta sudah mengintai dari balik pintu yang masih terbuka dan dia melihat seorang laki-laki dan seorang wanita yang sedang perang mulut itu berdiri seperti dua ekor ayam aduan yang berlagak, siap akan bertarung. Usia mereka antara empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun.
"Apa? Mau pukul? Pukullah, hayo, Pukullah. Pukul aku sampai mati. Lebih baik mati dari pada mempunyai suami seperti kau.."
Pria itu melangkah maju dan tangannya menampar.
"Plakkk........I"
Wanita itu terpelanting dan menjerit, lalu menangis menjerit-jerit. Bibirnya pecah dan berdarah. Pria itu berdiri terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang telah terjadi. Belum pernah dia memukul isterinya semenjak mereka menjadi suami isteri.
Pada saat itu, Nurseta batuk batuk dan bwseru.
"Kulonuwun......."
Suami itu membalikkan tubuh menghadap ke pintu, sedangkan sang isteri menghentikan tangisnya, menengok dan melihat munculnya seorang tamu, iapun masuk ke dalam sambil terisak ditahan.
Pria itu menghampiri Nurseta yang berdiri di ambang pintu.
"Mari silakan masuk, kisanak"
Kata tuan rumah dan suaranya tidak marah lagi, melainkan ramah.
"Mari silakan dudik"
"Terima kasih, dan maafKan kalau aku mengganggu"
"Ah, tidak sama sekali. Silakan duduk"
Setelah tamunya duduk berhadapan dengannya terhalang meja, tuan rumah itu mengamati wajah yang tampan dari tamunya, lalu bertanya "Siapakah kisanak, dan ada keperluan apakah datang berkunjung ke gubuk yang buruk kami ini?"
"Maafkan aku, kisanak. Namaku Nurseta dan aku sedang melakukan perjalanan jauh, lalu kemalaman di sini. Oleh karena itu, apa bila sekiranya kalian tidak berkeberatan, aku ingin mondok satu malam saja di sini. Besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan. Akan tetapi kalau kalian merasa keberatan, tentu saja aku tidak berani memaksa dan.."
"Ah, tidak sama sekali, kisanak. Kami hanya tinggal berdua saja di rumah ini. Anak tunggal kami baru sudah setengah tahun ini tinggal bersama suammya ke dusun lain. Silakan tinggal di sini semalam. Ada sebuah bilik bekas tempat anak kami. Perkenalkan, namaku Ki Puter dan para penduduk di dusun kecil ini memilih aku sebagai kepala dusun"
Ki Puter menoleh kearah dalam.
"Mbokne....... Ada tamu, cepat sediakan makan dan minum"
"Ah, aku tidak ingin merepotkan, hanya ingin melewatkan malam. Harap kalian jangan repot-repot..."
"Tidak mengapa, kisanak. Memang kami belum makan malam dan makanan sudah sedia. Mbokneee......".
"Tungguuuu......., sedang kupersiapkan ......."
Terdengar jawaban dari dalam rumah.
Suara wanita tadi, pikir Nurseta, sudah tidak menangis lagi akan tetapi suaranya masih parau bekas tangis.
Sambil menanti dihidangkannya makan malam, Nurseta mulai memancing keterangan tuan rumah.
"Tadi aku sudah mendaki bukit ini dan sampai diatas, akan tetapi di sana tidak terdapat dusun, hanya hutan dan di puncak aku melihat sebuah gubuk besar dengan orang-orang yang aneh. Aku lalu turun kembali dan menuju ke dusun ini, melihat rumah kalian dan aku merasa tertarik"
Ki Puter mengangguk-angguk.
"Aku girang sekali bahwa kau telah memilih rumah kami, kisanak. Kulihat andika masih muda, lebih muda dariku, biarlah aku menyebutmu adi. Adi Nurseta, kukatakan tadi, aku girang kau datang karena kau telah menghentikan pertengkaran kami yang tentu telah kau dengar dari luar rumah tadi"
Nurseta tersenyum dan di dalam hatinya, dia mulai merasa kagum dan suka kepada orang ini.
"Bolehkah aku menyebutmu kakang?, akupun girang sekali tidak salah memilih tempat bermalam karena kau ternyata ramah sekali. Maafkan kalau aku mengganggu. Terus terang saja, ketika memasuki rumah ini, aku mendengar pertengkaran kalian, maka aku sengaja berseru agar pertengkaran itu berhenti"
Ki Puter tersenyum lebar.
"Ha ha, terima kasih. Kau baik sekali"
Dia menoleh ke dalam lalu berkata lirih.
"Ia memalukan saja, memang cerewetnya bukan main"
Nurseta tidak mau membicarakan keburukan isteri tuan rumah maka dia mengalihkan percakapan.
"Kakang Puter, siapakah orang-orang aneh di puncak bukit itu? Kulihat gubuk itu masih baru. Orang-orangnya kelihatan aneh"
Karena pertanyaan itu sambil lalu saja, Ki Puter tidak mencurigai sesuatu dan diapun mengangguk.
"Memang aneh. Mereka adalah orang-orang kota, berpakaian indah dan me-nunggang kuda yang tinggi besar, Anehnya, mengapa para prlyayi (bangsawan) itu membuat gubug di puncak itu dan tinggal di sana?"
"Siapakah mereka itu, kakang? Dan mau apa mereka tinggai di tempat sunyi penuh hutan itu?"
Ki lurah dusun kecil itu menggeleng kepala.
"Aku tidak tahu. Mereka datang sembilan orang. Beberapa hari yang lalu mereka datang dan berhenti di dusun ini. Seorang kakek tua renta yang menyeramkan, seorang wanita cantik pesolek dan seorang pria, mungkin suami isteri, dan enam orang yang agaknya menjadi pengikut, tiga pria tiga wanita yang nampak taat terhadap kakek tua renta. Mereka lalu naik ke bukit dan membuat gubuk di sana, Karena mereka tidak mengganggu kami sedusun, kamipun tidak melakukan sesuatu, bahkan tidak berani naik karena kakek tua renta itu menyeramkan. Dan wanita cantik itu ........ ialah yang tadi membuat kami bertengkar"
Wajah Ki Puter nampak kemerahan dan dia agak tersipu.
"Kalau boleh aku bertanya, kakang. Mengapa ia menjadi bahan pertengkaran? Apakah yang telah dilakukan wanita itu?"
Nurseta membayangkan wajah cantik Ni Dsdeh Sawitri, wajah ibu kandungnya.
Ki Puter menahan ketawanya.
"Ah, dasar isteriku yang cerewet bukan main. Kemarin dulu wanita itu datang ke sini dan ia ingin membeli dua ekor ayam dan beberapa butir. telur. Karena kulihat ia seorang priyayi dan sikapnya manis sekali, maka aku yang bukan pedagang merasa sungkan, lalu kuberikan saja kepadanya dua ekor ayam dan sepuluh butir telur. Nah, itulah yang membuat isteriku marah-marah sejak saat itu, penuh cemburu dan cerewet sekali"
Pada saat itu, isteri Ki Puter keluar membawa baki berisi makanan dan minuman. Wanita itu tidak menangis lagi walaupun matanya masih merah dan bibirnya agak menjendol, akan tetapi ia masih sempat tersenyum kepada Nurseta.
"Hanya hidangan sederhana saja"
Katanya lembut.
"Nasi dan sayur gori dan sambal. Minumnya juga hanya air teh. Silakan"
"Terima kasih, mbakayu, aku hanya merepotkan saja"
Kata Nurseta,
"Ah, sama sekali tidak, hanya hidangan seperti ini. Silakan"
Katanya pula dan iapun mundur lagi masuk ke dalam.
Merekapun makan. Karena jelas bahwa tuan rumah tidak tahu apa-apa tentang mereka yang tinggal di puncak Bukit Srindil, Nurseta juga tidak bertanya lagi.
"Kulihat isterimu ramah dan baik sekali, juga masakannya ini, walaupun hanya sayur gori dan sambal, enak sekali"
Nurseta memuji.
Tuan rumah itu tersenyum senang "Memang, ia pandai masak, rajin mengurus rumah dan pada umumnya baik. Hanya itu Iho....... cerewetnya tidak ketulungan lagi. Minta ampun aku sama cerewetnya. Kalau dia sedang marah, dia mengomel terus menerus panjang pendek dan bukan main kuatnya. Dia dapat bertahan mengomel dari pagi_sampai malam. Hanya satu itu saja yang kupinta darinya, yaitu jangan cerewet. Apa sih sukarnya menutup mulut dan menelan kembali semua kata-kata yang hendak menerocos keluar itu"
"Itulah sebabnya, kakang. Keinginanmu agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet"
Kata Nurseta.
"Wah? Apa maksudmu?"
Nurseta tidak menjawab karena pada saat itu, isteri Ki Puter keluar untuk menyingkirkan bekas makan dan membersihkan tikar. Setelah wanita ita masuk lagi, Ki Puter mendesak.
"Adi Nurseta, aku masih penasaran. Kau tadi mengatakan bahwa justeru keinginanku agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet. Bagaimana ini? Aku tidak mengerti"
"Kakang Puter, bukankah kau ingin merobah keadaan isterimu itu, ingin melihat ia yang kakang anggap cerewet menjadi tidak cerewet?"
"Tentu saja. Dan bukankah keinginan itu baik? Aku ingin melihat ia dari keadaan yang tidak baik menjadi baik "
Nurseta tersenyum. Teringat dia akan percakapan tentang keinginan merubah ini antara dia dan mendiang Panembahan Sidik Danasura dan mata hatinya terbuka oleh penjelasan mendiang gurunya itu, Keadaan Ki Puter sama seperti dia sebelum dia mendapatkan penjelasan dan menyadari akan kebenaran yang terbuka sihingga dia dapat dan mampu melihatnya.
"Baik untuk siapa, kakang? Bukankah yang kakang inginkan itu adalah satu keadaan dari isteri kakang yang baik untukmu? Menyenangkan untukmu? Kita selalu condong untuk mengatakan baik kalau seseorang menguntungkan kita, dan buruk kalau sebaliknya merugikan kita lahir batin. Keinginan melihat suatu keadaan seperti yang dikehendakinya, yang berlawanan dengan kenyataannya, nah, keinginan inilah yang menimbulkan sengketa dan pertentangan yang dimulai dari pertentangan jalan batin kita sendiri. Kita selalu menghendaki yang kita anggap baik dan menyenangkan kita, dan kita menuntut ini dari apa saja, dari benda sampai dari manusia lain. Kita ingin seluruh alam dan isinya ini semua menyenangkan kita belaka. Karena itu, timbullah pertentangan batin yang tiada hentinya. Kita tidak mampu menerima kenyataan apa adanya. Padahal, di sinilah letak rahasia apa yang dinamakan kebahagiaan hidup, yaitu dalam sikap dapat menerima kenyataan seperti apa adanya tanpa menilainya sebagai yang baik ataupun yang buruk, Kalau penerimaan akan kenyataan ini bebas dari penilaian, bebas dari kehendak siaku yang selalu ingin senang, tentu tidak akan timbul pertentangan"
(Lanjut ke Jilid 25)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 25
Biarpun dia diangkat menjadi lurah dusun kecil itu, apa yang dikatakan Nurseta terlalu sukar bagi Ki Puter untuk dapat menerimanya dan mengerti.
"Nanti dulu, adi Nurseta. Aku sungguh tidak mengerti dan menjadi bingung. Apa yang kau maksudkan dengan semua kata-katamu itu?"
Nurseta tersenyum. Dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang petani yang polos dan sederhana. Kata-kata hanya merupakan suatu keindahan yang muluk-muluk, tentu tidak dapat dimengerti oleh Ki Puter. Dia mencoba yang lain, dengan contoh yang sederhana.
"Kakang Puter, kalau kakang hendak mulai menanam padi lalu turun hujan, bagaimana perasaan kakang?"
"Tentu saja girang"
"Kalau padi mulai menua lalu turun hujan lebat? Bagaimana perasaanmu?"
"Wah, tentu susah karena padi itu terancam kerusakan"
"Akan tetapi, mungkinkah kau merubah turunnya hujan? Damikianlah, kakang Puter. Hujan itu suatu keadaan, tidak baik maupun buruk. Akan tetapi kita manusia ini selalu menghendaki agar hujan, seperti juga segala keadaan di dunia ini. terjadi sesuai dengan keinginan kita, yang menguntungkan kita. Kalau terjadi sebaliknya, maka kita merasa tidak senang dan menentangnya. Kita tidak mampu menerima segala sesuatu seperti apa adanya saat itu. Kalau kita memiliki seni menerima kenyataan, maka, kita tidak akan menentang dan akan timbul kebijaksanaan bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan itu. Mengertikah kakang?"
Ki Puter mengerutkan alisnya, akan tetapi mengangguk.
"Sedikit, adi. Mengerti sedikit. Kita menerima kenyataan tentang hujan, tanpa menentang dan kita menyesuaikan diri, menjadi bijaksana sehingga kita menanam padi menurut perhitungan agar mendapat air cukup dan tidak tertimpa hujan lebat. Kita atur musimnya menanam padi......"
"Benar kakang Pater"
"Tapi, apa hubungannya antara hujan dengan....... isteri cerewet?"
Nurseta tersenyum. Alangkah sederhana jalan pikiran Ki Puter, pikirnya, kagum karena sesungguhnya, pikiran sederhana itu tidak menimbulkan banyak persoalan hidup.
"Satu contoh lagi, kakang. Ada seekor anjing menggonggong dan menggereng-gereng seperti marah kalau kita lewat. Kita menjadi marah dan memakinya sebagai anjing yang kurang ajar dan sebagainya, kita mengambil batu dan menyambitnya. Anjing itu bahkan semakin marah dan gonggongannya semakin keras. Tidak benarkah begitu?"
Ki Puter mengangguk-angguk, makin tidak mengerti mengapa contohnya seekor anjing.
"Nah, pertentangan batin timbul karena kita ingin agar anjing itu tidak bersikap seperti itu. Kita ingin melihat anjing itu duduk diam baik-baik. Kita lalu menyebutnya anjing jahat, kurang ajar dan sebagainya. Kita ingin anjing itu berubah. Inilah yang tidak mungkin. Kita tidak mungkin merobah anjing itu, seperti juga tidak mungkin merobah turunnya hujan. Apa yang seyogianya kita lakukan? Kitalah yang harus berobah. Kitalah yang harus me-nyesuaikan diri. Kalau hujan turun, kita buatkan belokan dan saluran agar tanaman kita tidak kebanjiran, kita pergunakan payung agar tidak kehujanan dan sebagainya. Bagaimana kalau kita menghadapi anjing yang menyalak dan menggonggong marah? Kalau kita tidak menentangnya, tidak menganggapnya jahat, lalu timbul kebijaksanaan dan kita dapat mempergunakan akal budi. Kita bersikap ramah, kita beri sesuatu, tanpa ingin merobah anjing itu. Dan apa yang terjadi? Bukan mustahil bahwa kalau kita sudah merobah diri kita sendiri, anjing yang tadinya menyalak-nyalak itu berubah menjadi jinak dan lunak, mengikuti kita dengan ekornya bergoyang-goyang manja"
Sejenak Ki Puter melongo, kemudian meledaklah suara ketawanya. Dia merasa baru tergugah dari tidur nyenyak. Kini matanya terbuka dan dia dapat melihat kenyataan itu. Dia tertawa bergelak gelak dan melihat ini, Nurseta juga tertawa, dalam hatinya merasa girang karena melihat tuan rumah telah terbuka hatinya dan dapat melihat kenyataan itu.
Isteri Ki Puter keluar dari dalam, memandang kepada suaminya dengan heran.
"Eh, eh, apa yang terjadi? Kenapa engkau tertawatawa seperti itu, pakne? Apanya yang lucu?"
"Hahahaha........ engkau benar, mbokne. Baru sekarang aku tahu bahwa perbuatanku yang kemaren dulu itu tidak benar. Aku ingin ramah kepada seorang tamu, akan tetapi tamu itu wanita dan cantik pula. Tentu saja engkau menjadi cemburu dan marah. Bukan salahmu, akulah yang bodoh tidak melihat kenyataan. Biarlah, kalau ia datang lagi, aku akan beri harga kepada barang yang dibutuhkannya, dengan harga dua kali lipat"
Jelas nampak oleh Ki Puter dan Nurseta betapa wajah yang tadinya mengeras itu kini melunak, pandang mata yang keras itu kini melembut dan bibir yang masih menyendol bekas tamparan itu merekah dalam senyum.
"Akupun tahu engkau tidak mata keranjang, pakne. Hanya aku merasa panas. Biarlah, kalau ia datang lagi, aku yang akan urus. Akan kuberi dengan harga murah. Engkau benar, memang kita harus ramah dan murah hati terhadap tamu. Akan tetapi kalau tamunya wanita, biar aku yang menghadapi, kalau pria, bagianmulah itu. Engkau tidak bersalah, aku yang pencemburu......."
Wanita itu tersenyum lebar dan masuk kembali. Ki Puter dan Nurseta saling pandang dan Ki Puter tertawa lagi, tertawa dengan penuh kegembiraan.
Dia kini menemukan kunci rahasia yang amat sederhana namun yang merupakan kunci penghalau semua pertentangan batin. Segala sesuatu itu wajar, yang begitu sudah begitu, yang begini biarlah begini. Kita tidak berhak merobah yang berada di luar diri, akan tetapi wajib merobah diri sendiri. Dengan merobah diri sendiri, segalanya akan berjalan lancar. Anjing galak itu menjadi jinak.
"Hahahaha, harimau galak dapat menjadi jinak. Haha, terima kasih, adi Nurseta"
Malam itu Nurseta tidur di atas dipan bambu di kamarnya. Dia tersenyum senyum kalau ingat akan peristiwa tadi. Sikap suami isteri itu tadi nampak begitu mesra, saling mengalah. Dan pada keesokan harinya, ketika pagi pagi sekali dia bangun, suami isteri itu telah bangun dan mereka nampak rukun bukan main, rukun dan mesra sehingga diam diam Nurseta merasa geli akan tetapi juga girang.
"Terima kasih, kakang Puter dan mbakayu. Kalian baik sekali kepadaku. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali"
"Sepagi ini sudah hendak melanjutkan perjalanan, adi Nurseta? Wah, tahukah kau bahwa kau yang banya datang semalam ini, bagaikan karunia dewata saja bagiku? Akulah yang berterima kasih kepadamu, adi Nurseta"
Nurseta pergi dan tanpa dilihat siapapun, dia menyelinap di antara pohon pohon, lalu mendaki Bukit Srirdil karena dia hendak melanjutkan penyelidikannya. Kini tidak hanya untuk menemui Gigak Wulung dan menghukumnya, akan tetapi kalau mungkin dia ingin pula berjumpa berdua saja dengan Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya.
Tadinya Nurseta bermaksud untuk bersembunyi dan mengintai, mencari kesempatan baik menemui sendiri Gagak Wulung atau Ni Dedeh Sawitri karena dia tahu bahwa kalau dia langsung menjumpai mereka, tentu dua orang datuk sakti Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya tidak akan membiarkan dia lolos. Akan tetapi. ketika dia menyusup di antara pohon-pohon besar dan semak semak belukar dan tiba di dekat gubuk itu, dia mendengar teriakan-teriakan nyaring dan kasar dari seorang laki-laki.
"Gagak Wulung jahanam busuk, manusia berhati binatang dan pengecut besar, keluarlah engkau dan jangan bersembunyi"
Berulangkali suara ini menantang, Suara yang tidak asing bagi Nurseta. Dia cepat mendekat dan mengintai. Tak salah dugaannya. Suara Ki Jembros, kakek yang gagah perkasa itu. Dan di samping kakek ini berdiri seorang pemuda yang tampan dan bersikap tenang gagah. Celaka, pikir Nurseta. Ki Jembros adalah seorang pendekar yang besar dan gagah perkasa, namun terlalu berani sehingga sembrono sekali. Tempat itu merupakan sarang yang amat berbahaya. Dia hendak menegur dan memperingatkan Ki Jembros, namun terlambat karena pada saat itu, nampak beberapa orang telah keluar dari gubuk besar itu.
Ketika melihat orang-orang yang muncul itu, Ki Jembros terbelalak. Matanya yang lebar itu menjadi besar sekali karena dia melihat dua orang kakek tua renta yang sama sekali tak disangkanya berada di tempat itu.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ki Cucut Kalasekti dan........dan Ki Buyut Pranamaya.......?"
Katanya seperti tidak percaya.
Sementara itu, pemuda tampan yang berdiri di samping Ki Jembros, yang bukan lain adalah Pertiwi, begitu melihat bahwa seorang di antara mereka yang muncul itu adalah Gagak Wulung, tidak memperdulikan apapun lagi dan ia sudah mencabut kerisnya, langsung saja ia menyerang Gigak Wulung dengan ganas dan nekat.
Serangan itu cukup berbahaya, cepat dan kuat, maka Gagak Wulung yang tidak mengenal gadis yang menyamar pria itu terkejut, lalu melompat ke samping.
"Eh........, ohh......... Siapa kau dan mengapa menyerangku?"
Serunya, akan tetapi Pertiwi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan terus saja menyerang dengan dahsyat, dengan niat membunuh karena serangannya itu terdorong oleh hati yang amat sakit dan penuh dendam. Kembali Gagak Wulung mengelak dan meloncat ke belakang.
"Hem, bocah setan, agaknya engkau sudah bosan hidup"
Bentak Gagak Wulung sambil mencabut pedangnya. Dia tadi melihat betapa serangan pemuda tampan itu ganas sekali, maka dia mencabut pedang untuk membela diri dan membalas serangan. Terjadilah perkelahian yang seru antara mereka. Ternyata Pertiwi telah mewarisi ilmu kepandaian dari Ki Jembros, sehingga gadis itu kini mampu menandingi Gagak Wulung. Betapapun juga, ia masih kalah pengalaman, maka pedang di tangan Gagak Wulung mulai mendesaknya.
Melihat ini, tiba-tiba Ni Dedeh Sawitri yang sejak tadi memperhatikan Pertiwi dan kagum melihat pemuda yang demikian tampan dan manisnya, melompat ke depan.
"Gagak Wulung, jangan bunuh dulu pemuda ini"
Katanya dan iapun menyerang dengan cakaran tangannya. Tentu saja Pertiwi terkejut dan makin terdesak oleh dua orang yang selain tinggi ilmunya, juga memiliki pengalaman berkelahi yang luas itu, tidak seperti ia yang bagaikan burung baru belajar terbang.
Melihat muridnya dikeroyok dua dan terdesak, Ki Jembros tidak mungkin tinggal diam saja.
"Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, kalian memang manusia-manusia iblis"
Bentaknya dan diapun meloncat.ke depan, tangannya bergerak menyambar mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah Gagak Wulung. Itulah aji pukulan Hastobairowo yang ampuhnya bukan kepalang.
"Dukkk"
Pukulan dahsyat itu tertahan di udara oleh tangkisan sebuah tangan Iain. Tangan Ki Buyut Pranamaya dan tangkisan itu membuat tubuh Ki Jembros terhuyung ke belakang.
"Bagus, Ki Buyut Pranamaya melidungi iblis-iblis ini. Sudah sepatutnya, iblis tua membela iblis-iblis yang muda. Biarlah aku mengadu nyawa dengan kalian iblis-iblisj jahat"
Setelah berkata demikian, dengan nekat, untuk membela muridnya, Ki Jembros menerjang lagi, sekali ini dia menyerang Ki Buyut Pranamaya yang disambut oleh kakek tua renta yang amat tangguh itu.
Melihat betapa Ki Jembros dan pemuda itu terdesak hebat, tentu saja Nurseta tidak mung-kin berdiam diri saja. Dia tahu betapa lawan berjumlah banyak dan amat sakti, namun dia-pun tidak dapat membiarkan Ki Jembros terancam bahaya maut tanpa membantu. Dia lalu meloncat dan sekali meloncat dia sudah tiba di tempat pertempuran.
"Paman Jembros, jangan khawatir, saya membantu paman"
Serunya dan pada saat itu, Ki Jembros sedang terdesak hebat karena diancam tendangan Cakrabairawa yang bertubi-tubi datangnya. Kalau Nurseta tidak datang agaknya Ki Jembros akhirnya akan roboh tertendang.
"Desss"
Tangkisan lengan Nurseta mengenai kaki Ki Buyut Pranamaya dan kakek ini mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya sampai terputar. Memang Nurseta telah menerima gemblengan paling akhir dari Panembahan Sidik Danasura sehingga ilmu kepandaiannya kini mencapai tingkat yang tinggi, dengan tenaga sakti yang amat kuat. Ki Buyut Pranamaya sampai terkejut bukan main ketika tendangan kakinya yang tadi mengancam Ki Jembros tertangkis tangan pemuda itu sehingga tubuhnya sampai berputar.
"Haha, kiranya Nurseta yang datang mengantarkan nyawa"
Ki Cucut Kalasekti tertawa dan diapun maju menyerang Nurseta, dari mulutnya keluar suara mendesis seperti ular dan tangannya sudah menyambar-nyambar dahsyat karena kakek ini, yang sudah tahu akan ketangguhan Nurseta, begitu menyerang telah mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan satu di antara aji-aji kesaktiannya yang ampuh, yaitu aji pukulan Gelap Sewu,
Nurseta mengenal aji pukulan yang ampuh ini maka diapun mengerahkan tenaganya, menangkis dan membalas dengan pukulan yang tidak kalah ampuhnya, yaitu aji pukulan Jagad Pralaya yang kalau mengenai lawan tak mungkin dapat bertahan lagi. Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang untuk mengelak, kemudian membalas lagi dengan pukulan jarak jauh yang disertai tenaga sakti.
"Wuuuttt........
"
Angin pukulan dahsyat menyambar, ganas ke arah Nurseta dan terdengar suaranya seperti air mendidih, itulah aji pukulan Segoro Umub, pukulan yang mengandung tenaga panas. Nurseta mengelak dan dua orang itu mulai serang-menyerang dengan aji-aji pukulan dahsyat yang mendatangkan angin menyambar nyambar.
Ki Jembros boleh jadi digdaya, memiliki kekebalan dan juga memiliki kegagahan, Namun, berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya dia kalah jauh. Lawannya adalah seorang datuk besar yang memiliki aji kesaktian seperti iblis. Biarpun Ki Jembros mengamuk seperti Werkudara, tetap saja dia terdesak. Pada saat itu, Pertiwi juga didesak hebat oleh pengeroyokan Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Pertiwi juga berkelahi dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Tujuannya hanya satu, yaitu membunuh Gagak Wulung yang amat dibencinya.
Namun arena ia selalu menyerang dan memperhatikan Gagak Wulung, akhirnya, tamparan tangan Ni Dcdeh Sawitri tak dapat dihindarkan, mengenai tengkuknya dan Pertiwi roboh dengan tubuh lemas terkulai.
"Hihik, dia tidak boleh mati dulu, Gagak Wulung. Sayang begini muda dan tampan kalau dibunuh begitu saja"
Setelah berkata demikian, wanita iblis ini menjulurkan tangannya hendak mencengkeram baju Pertiwi dan akan dibawanya pergi. Akan tetapj begitu tangannya menyentuh dada yang padat, menyentuh payudara yang ranum, ia menjerit dan menarik tangannya. Lalu jari tangannya bergerak kearah baju di dada itu.
"Brettt......
"
Direnggutnya baju itu sehingga terobek dan nampaklah sepasang payudara Pertiwi.
"Hahaha, dia merupakan hadiah untukku, Ni Dedeh, bukan untukmu "
Kata Gagak Wulung dan sekali sambar, dia telah memondong tubuh Peitiwi dan dibawanya pergi dari tempat itu.
Melihat ini, Ki Jembros marah dan merasa khawatir bukan main.
"Jahanam Gagak Wulung, lepaskan muridku"
Dia meloncat dan meninggalkan Ki Buyut Pranamaya. Saat itu, Ki Buyut Pranamaya mengejar dan menyusulkan tendangan sakti Cakrabairawa.
"Dess. DssssI"
Ki Jembros tidak mampu menghindarkan diri lagi karena pada saat itu tubuhnya sedang meloncat untuk mengejar Gaguk Wulung. Kekebalan tubuhnya tidak cukup kuat untuk menahan tendangan sakti itu dan kakek yang gagab perkasa ini roboh pingsan.
Atas isarat Ki Buyut Pranamaya, enam orang muridnya, tiga pria dan tiga wanita, sudah cepat menubruk dan membelenggu kaki tangan Ki Jembros. Ki Buyut Pranamaya sendiri sudah terjun ke dalam. pertempuran, membantu Ki Cucur Kalasekti, mengeroyok Nurseta.
Tentu saja Nurseta menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang kakek tua renta yang sakti mandraguna itu. Baru melawan seorang diantara mereka saja, satu lawan satu, dia tidak akan dapat mengalahkahnya dengan mudah. Apa lagi dikeroyok dua. Memang, dasar ilmu kepandaiannya lebih murni dari pada kedua orang lawannya, akan tetapi jelas dia kalah pengalaman dan kalah matang. Masih untung bahwa kedua orang lawannya sudah tua renta sehingga tenaga mereka tidaklah sekuat dahulu, Akan tetapi, pada saat itu Ni Dedeh Sawitri juga meloncat dan ikut pula mengeroyoknya dengan sambaran kaku kuku jari tangan yang mengandung racun. Pedih perih rasa hati Nurseta melihat kenyataan ini.
Ibunya sendiri, ibu yang dahulu mengandung dan melahirkannya, kini berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Untuk meneriakkan kenyataan itu tentu saja dia merasa malu, maka diapun diam saja dan melawan mati-matian. Betapapun juga, karena dia sudah tahu bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya, betapapun sakit rasa hatinya, betapapun tidak ada sedikit juga terasa kasih sayang dalam hatinya terhadap wanita itu, tetap saja dia tidak tega untuk membalas dengan serangan maut terhadap wanita itu. Serangan balasannya hanya ditujukan kepada dua orang kakek tua renta. Dan semua serangan itu gagal, dan dia bahkan terdesak hebat, hanya mampu menangkis atau berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran dan hujan serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh.
Ketika Nurseta melihat robohnya Ki Jembrds, dia terkejut dan khawatir sekali. Keadaan ini tentu saja mengurangi kewaspadaannya dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh kedua orang lawannya yang selain tangguh juga berpengalaman luas. Sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan paha kiri Nurseta terkena sambaran ujung kaki yang amat kuat itu. Nurseta terhuyung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk menggerakkan tangannya dengan aji pukulan Gelap Sewu.
Tubuh Nurseta terjungkal. Dia hanya mampu mengeluh lirih dan |atuh pingsan. Ketika Ki Cucut Kalasekti hendak menyusulkan pukulan maut untuk membunuh pemuda itu, Ni Dedeh Sawitri cepat menghalangi dan berkata.
"Jangan dibunuh dulu"
Dan ia lalu mengangkat tubuh Nurseta, kemudian minta bantuan para murid Ki Buyut Pranamaya untuk membelenggu kaki tangan pemuda itu.
"Hemm, tidak dibunuh untuk apa? Dia berbahaya sekali "
Kata Ki Cucut Kalasekti.
Ki Buyut Pranamaya tertawa.
"Hahaha, seperti tidak mengenal kesukaan Ni Dedeh Sawitri saja, Ki Cucut. Biarkan ia bersenang-senang sejenak. Pula, kalau kita membunuh. Ki Jembros dan Nurseta, tidak ada gunanya bagi kita. Kalau membiarkan mereka ini hidup, mungkin besar manfaatnya"
"Eh? Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Semalam kau telah menerangkan tentang tugas yang diberikan oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk kita berdua. Untuk tugas menyelidiki ke Majapahit memang dua orang mi tidak ada gunanya. Akan tetapi untuk mencari Wulansari yang melarikan tombak pusaka, kurasa mereka ini merupakan umpan yang baik sekali"
Ki Cucut Kalasekti mengerutkan alisnya dan mulutnya yang meruncing seperti mulut ikan itu nampak semakin meruncing ketika dia mencurahkan pikirannya. Hemm, umpan? Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Dahulu, aku pernah menguasai tombak pusaka itu. Ketika Wulansari merampasnya dariku, kukejar ia dan tentu pusaka itu sudah dapat kurampas kalau saja tidak muncul Nurseta yang membantu Wulansari sehingga akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan gadis itu. Nah, dengan bukti itu jelas bahwa ada hubungan dekat antara Wulansari dan Nurseta. Maka, kalau kita menahan Nurseta dan Ki Jembros ini tentu saja dengan menjaga ketat, besar kemungkinan Wulansari akan muncul di sini. Dengan demikian, maka tidak perlu lagi kita bersusah payah mencarinya. Bagaimana pendapatmu?"
Tiba-tiba Ki Cucut Kalasekti tertawa dan suara ketawanya aneh, bercampur desis seperti desis ular.
"Kau sungguh cerdik. Dan memang benar, bekas muridku itu memang jatuh cinta kepada Nurseta. Kalau ia mengetahui bahwa Nurseta menjadi tawanan kita, pasti ia akan datang untuk berusaba menolongnya"
"Bagus kalau begitu"
Ki Buyut Pranamaya lalu memerintahkan enam orang muridnya untuk membawa Nurseta dan Ki Jembros yang sudah dlbelenggu kaki tangannya ilu ke dalam rumah dan memasukkan mereka berdua ke sebuah kamar dengan dirantai dan dijaga ketat.
"Ki Dedeh Sawitri, kau dan Gagak Wulung harus memperkuat penjagaan. Kalian berdua yang bertanggung jawab kalau sampai penjagaan kurang ketat sehingga mereka berdua dapat lolos"
"Jangan khawatir, aku akan menjaga Nurseta dengan ketat, demikian ketat kalau perlu aku akan memeluknya dan tidak akan melepaskannya lagi"
Jawab Ni Dedeh Sawitri genit dan tanpa malu-malu biarpun di situ terdapat enam orang murid Ki Buyut Pranamaya.
Kakek ini terkekeh dan Ni Dedeh Sawitri memondong tubuh Nurseta yang masih pingsan, dibawa masuk, diikuti enam orang mund Ki Buyut Pranamaya yang membawa Ki Jembros yang juga masih pingsan.
Ketika Gagak Wulung mengetahui bahwa pemuda tampan itu ternyata seorang gadis muda yang melihat ketampanannya dalam penyamaran tentulah cantik, melihat payudaranya ketika bajunya dirobek Ni Dedeh Sawitri, seketika diapun terpesona dan bangkitlah berahinya. Maka, tanpa memperdulikan yang lain, dia lalu memondong tubuh Pertiwi dan dibawanya gadis yang menyamar pria itu ke dalam hutan, ke sebuah tempat yang ditumbuhi rumput subur.
DENGAN lembut dia merebahkan Pertiwi di atas rumput tebal yang lunak, tersenyum senyum penuh kegembiraan karena kini dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang menyamar pria itu sungguh seorang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis sekali. Dia tertawa-tawa teringat kepada Ni Dedeh Sawitri yang tadinya mengira gadis ini seorang pemuda tampan. Kegembiraannya memuncak ketika dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang menawan dan bentuk tubuh yang padat indah sekali. Lalu dia memijit tengkuk gadis itu, berusaha menyadarkannya dari pingsan. Bagi Gagak Wulung, yang paling menyenangkan adalah kalau seorang wanita menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, yang jatuh oleh rayuannya, bukan karena pengaruh sihir, apa lagi bukan karena diperkosa. Maka, diapun menginginkan agar gadis ini menyerahkan diri dengan suka rela tanpa pengaruh sihir atau paksaan.
Pertiwi mengeluh lirih dan ia membuka matanya. Begitu ia membuka mata, ia melihat Gagak Wulung yang duduk di dekatnya. la cepat bangkit dan pada saat itu ia melihat bahwa ia sudah tidak berpakaian lagi, bahkan rambutnya yang hitam dan panjang sudah teturai lepas. Ia menahan jeritnya.
"Ahhh....... kau........'"
Tangannya memukul, akan tetapi lengannya ditangkap oleh Gagak Wulung, juga lengan kirinya ditangkap dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kini Gagak Wulung memandangnya dengan mata terbelalak heran. Setelah gadis itu siuman dan membuka matanya yang lebar dan bening jeli, baruluh dia teringat.
"Kau........ kau......... Pertiwi??"
Serunya kaget dan heran.
"Benar, kau Pertiwi, gadis dusun Sintren itu, gadis di lereng Ciunung Kelud, bukan?"
Pada saat itu, Pertiwi sudah menyadari keadaannya. Kembali ia terjatuh ke tangan Gagak Wulung. Tak berdaya. Akan sia sia saja kalau ia melawan. Ilmunya belum mampu menandingi Gagak Wulung, Ingin ia menjerit. Ingin ia meronta. Ingin ia mengutuk dan memaki. Namun, Pertiwi sekarang adalah seorang gadis yang penuh perhitungan, yang menjadi cerdik karena sakit hati. Ia tabu bahwa mempergunakan kekerasan, ia takkan berhasil, bahkan ia tentu akan diperkosa oleh pria iblis ini.
"Benar, aku........aku Pertiwi........ dan engkau....... engkau seorang pria yang kejam, yang tidak tahu akan kasih sayang wanita. Engkau bukan bertanggung jawab, bahkan meninggalkan aku begitu saja, meninggalkan aku merana dan merindukanmu. Ah, kakangmas Gagak Wulung, betapa kejam hatimu......"
Gagak Wulung terbelalak memandang gadis yang menangis itu. Dia melepaskan kedua tangan Pertiwi, tetap waspada kalau-kalau gadis itu akan menyerangnya. Akan tetapi Pertiwi menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih.
"Pertiwi, kau merindukan aku? Kau cinta kepadaku? Tapi, baru saja engkau berdaya upaya sekuatmu untuk membunuhku Engkau mempelajari ilmu dan hendak membunuhku"
"Tentu saja"
Kata Pertiwi dengan suara bercampur isak.
"Hati siapa yang takkan benci? Bertahun-tahun aku mencarimu, merindukanmu, rela menyamar sebagai pria dan mempelajari ilmu agar lebih mudah mencarimu. Setelah bertemu, engkau bergaul akrab dengan wanita lain, wanita cantik yang tadi membelamu mati-matian. Kakangmas Gagak Wulung, benarkah engkau tidak ingat betapa aku telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu ketika itu?"
"Ah, Pertiwi, benarkah itu? Benarkah engkau cinta padaku dan merindukan aku?"
Gagak Wulung tetap waspada, lalu menangkap lengan gadis itu, ditariknya dekat lain didekapnya.
"Coba, aku ingin membuktikan apakah engkau benar merindukan aku"
Gagak Wulung yang penuh pengalaman itu lalu membelai, menciumi gadis itu. Pertiwi menahan gejolak hatinya yang hendak meronta. Kebencian dan dendamnya terlampau besar sehingga membuat ia mampu melakukan apa saja. Ia membiarkan dirinya hanyut dibuai nafsu berahi dan kemesraan, ia membalas rangkulan dan ciuman pria itu dengan semangat menggebu-gebu, dengan penuh gairah yang panas seolah-olah ia benar seorang wanita yang kehausan, yang lama merindukan dekapan pria yang dicintanya. Ia bahkan menggumuli Gagak Wulung bagaikan mabuk, penuh nafsu membakar sehingga Gagak Wulung yang kini terseret dan pria inipun kehilangan kewaspadaannya.
Bagaimana dia dapat meragukan lagi kalau Pertiwi dapat mendekap seperti itu, menciuminya seperti itu? Diapun membiarkan dirinya tenggelam.
Dengan penuh perhitungan Pertiwi menanti kesempatan itu, Setelah tiba saatnya yang tepat, ia menggigit lidah Gagak Wulung yang bermain di dalam mulutnya, berbareng kedua tangannya mencengkeram ke bawah.
Gagak Wulung tersentak, kerongkongannya mengeluarkan gerengan aneh, tangannya menghantam dengan pengerahan tenaga seorang yang sekarat.
"Prakkk"
Tangan itu menghantam kepala Pertiwi, gadis itu terkulai, tewas seketika karena kepalanya pecah terkena hantaman Gagak Wulung. Sebaliknya, Gagak Wulung berkelojotan dalam sekarat. Mulutnya menyemburkan darah dari lidah yang putus, dan selangkangannya juga penuh darah dari alat kelaminnya yang remuk karena cengkeraman tangan Pertiwi yang dilakukan dengan sepenuh tenaga didorong kebencian yang amat mendalam
Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti bercakap-cakap di luar, mengatur siasat bagaimana agar mereka dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala seperti diperintahkan oleh Sang Prabu Jayakatwang, juga tentang tugas mereka menyelidiki keadaan di Majapahit. Mereka tidak memperdulikan lagi keadaan Nurseta, Ki Jembros atau gadis yang menyamar pemuda itu. Mereka maklum bahwa di tangan Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, tiga orang tawanau itu tidak akan mampu meloloskan diri, apa lagi dua orang pembantu yang boleh. diandalkan itu dibantu oleh enam orang murid atau pelayan Ki Buyut Pranamaya yang bukan merupakan orang-orang lemah lembut.
Sementara itu, Ni Dedeh Sawitri membawa Nurseia ke dalam kamarnya di belakang.
"Lempar kerbau itu ke sudut kamar, biar aku yang mengawasinya. Dia sudah dibelenggu dan pingsan. Kalau banyak tingkah, akan kuhabisi sekali kerbau tua itu"
Kata Ni Dedeh Sawitri kepada enam orang yang menggotong ubuk Ki Jembros yang masih pingsan,
"Setelah itu, kalian keluarlah dari kamar ini, biar aku yang menjaga mereka berdua"
Enam orang murid Ki Buyut Pranamaya itu tiga pria dan iiga wanita, saling pandang sambil tersenyum maklum, kemudian sambil tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya. Terangsang oleh sikap Ni Dedeh Sawitri yang jelas mempunyai niat cabul terhadap tawanan yang tampan itu, mereka bertiga lalu menggandeng pasangan inasing-masing dan meninggalkan tempat itu, tiga pasang orang muda yang menjadi murid-murid dan juga pelayan pelayan Ki Buyut Pranamaya ini setiap hari menyaksikan terjadinya kecabulan yang dilakukan guru mereka, juga tamu-tamu guru mereka. Juga mereka diharuskan melayani guru mereka dan para tamunya, maka dengan sendirinya merekapun bergelimang nafsu rendah.
Ki Jembros menggerakkan pelupuk matanya. Dia mulai siuman dari pingsannya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kenyerian yang menusuk pada dadanya. Rasa nyeri ini seketika menyadarkannya dan mengingatkannya akan apa yang terjadi. Dia berkelahi dan terkena tendangan ampuh yang dilakukan kaki Ki Buyut Pranamaya. Dia sudah pernah mendengar akan aji kesaktian kakek itu, dan pernah mendengar akan ilmu tendangan yang disebut Cakrabairawa. Din kini dia merasakannya. Tendangan maut yang amat hebat sehingga biarpun dia sudah mengerahkan kekebalannya, tetap saja ketika dadanya tertendang, dia merasa seperti disambar petir dan segalanya menjadi gelap. Dia pingsan. Dia hendak menggerakkan tangan untuk meraba dadanya, namun tangan itu tak dapat digerakkan. Ki Jembros maklum bahwa dia tertawan musuh, kaki tangannya dibelenggu. Dia tidak sudi memperlihatkan kelemahan, maka iapun sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia membuka matanya. Kiranya dia rebah terlentang di atas lantai sebuah kamar, karena kepalanya terasa agak pening ketika dia membuka mata, maka dipejamkannya kembali. Dia meraba-raba dada dengan perasaannya dan merasa lega bahwa dada itu hanya nyeri saja di bagian luarnya. Ternyata ilmu kekebalannya telah menyelamatkan nyawanya, menahan tendangan itu sehingga hanya kulit dadanya saja yang menderita nyeri, tidak menembus ke dalam.
"Ahhh, Nurseta, bocah bagus. Sejak dahulu aku sudah tergila-gila kepadamu. Betapa jantannya engkau, betapa tampan. Aku cinta padamu Nurseta"
Mendengar suara lembut ini yang disusul suara terkekeh genit, Ki Jembros membuka matanya kembali dan menggerakkan leher menoleh ke kiri. Dia melihat betapa Ni Dedeh Sawitri duduk di tepi sebuah pembaringan dan Nurseta rebah di atas pembaringan dengan tangan dan kaki terbelenggu pula. Wanita itu dengan tak tahu malu sedang merayu dan membelai Nurseta. Kedua tangan wanita itu membelai mesra, kadang kadang membungkuk untuk menciumi muka pemuda yang telentang dalam keadaan pingsan itu.
Ki Jembros melotot. Kalau saja kedua pasang kaki tangannya tidak dibelenggu, tentu dia sudah meloncat dan menerkam wanita jahat itu. Akan tetapi dia sendiri tidak berdaya.
"Nurseta, sekali ini engkau harus memenuhi hasratku, engkau harus melayaniku, mau tidak mau........, harus....... hihihi......... engkau pasti akan tunduk, sayangku. Akan tetapi engkau harus siuman dulu untuk dapat kuminumkan jamu ini......."
Wanita itu mengeluarkan bungkusan dan agaknya memang ia sudah mempersiapkan segalanya. Dimasukkan isi bungkusan yang merupakan rumuan jamu , bubuk itu ke dalam sebuah cangkir, ducampurnya dengan air teh yang berada di poci lalu diaduknya sampai rata. Setelah itu, ia meletakkan jamu dalam cangkir itu di atas meja dan kembali ia menciumi seluruh muka Nurseta sabelum berusaha membuat pemuda itu siuman.
Ki Jembros tak dapat menahan dan kemarahannya lagi.
"Ni Dedeh Sawitri, perempuan cabul, perempuan hina tak tahu malu"
Mendengar suara iri, Ni Dedeh Sawitri yang sedang merangkul dan menciumi Nurseta, menoleh dan tersenyum manis.
"Hik hik Ki Jembros, engkau kepingin? Ah, kalau ada Nurseta disini, aku tidak sudi berdekatan dengan laki-laki macam kau"
"Perempuan rendah, engkau melebihi binatang. Ketahuilah, siapa pemuda yang kau pangku itu? Siapakah Nurseta? Dia adalah anakmu. Dia anak kandungmu sendiri dan sekarang engkau hendak memaksa puteramu sendiri berzina denganmu? Huh, perempuan macam apa engkau ini. Seorang ibu hendak memaksa puteranya sendiri menggaulinya? Cuhh..! Ki Jembros meludah dan Ni Dedeh Sawtri terbelalak, mukanya pucat dan ia memandang kepada Ki Jembros, lalu kepada Nurseta.
"Bohong. kau bohong, kau iri dan kau hanya menggertak. Aku tidak percaya !"
Bentak Ni Dedeh Sawitri, akan tetapi tetap saja ia menurunkan kepala Nurseta yang tadi dipangku dan dibelainya.
"Ki Jembros, engkau pembohong besar. Engkau sengaja hendak menggertakku, agar aku kehilangan gairahku. Keparat jahanam kubunuh kau"
Wanita itu meloncat turun dari atas pembaringan dan menghampiri Ki Jembros dengan sikap mengancam, kini wajahnya yang tadi pucat berubah merah sekali karena amarah dan ia sudah mengerahkan Aji Sarpakenaka sehingga kuku-kuku jari tangannya yang panjang runcing itu kini dipenuhi hawa beracun dan sekali guratan kuku jari itu sudah cukup untuk membunuh orang.
"Ha ha ha, kau bunuhlah aku, Ni Dedeh Sawitri. Lebih baik aku mati dari pada hidup menyaksikan seorang ibu kandung memperkosa puteranya sendiri. Ibu kandung meniduri dan menggauli puteranya sendiri. Ih, iblis nerakapun tidak akan sekeji itu, Dedeh"
''Bohong. Kau bohong. Mana buktinya?"
"Buktinya? Engkau sungguh tidak tahu diri, Dedeh. Bercerminlah dan Iihat betapa mata dan mulutmu sama benar dengan mala dan mulut anakmu itu. Dan engkau tidak melihat bentuk tubuhnya? Tidak melihat dahinya dan hidungnya? Tidakkah serupa benar dengan bentuk tubuh, dahi dan hidung mendiang Pangeran Panji Hardoko?"
Kini wajah yang memerah itu pucat kembali, lebih pucat dari tadi. Ia menoleh dan mengamati wajah yang berada di atas pembaringan itu. Ia menjerit lirih.
"Tidak. Tidaaaakk.,....... Engkau bohong........"
"Hemm, engkau memang iblis betina yang tidak pernah mau bertaubat, tidak pernah mau menyadari kekotoran diri sendiri. Engkau tentu tahu siapa Nurseta? Murid dan putera angkat Ki Baka. Putera angkat. bukan anak kandung. Dari mana Ki Baka mendapatkan Nurseta? Dari kakaknya, mendiang Ki Bayaraja. Sebelum memberontak, Ki Bayaraja menyerahkan puteranya kepada Ki Baka agar dirawat.
Puteranya, putera angkat, bukan anak sendiri. Dan kau tahu dari siapa Ki Bayaraja menerima anak yang bernarna Nurseta itu? Dari Pangeran Panji Hardoko"
"Tidak........, tidaaaakk........."
Kini Ni Dedeh Sawitri menutupi muka dengan kedua tangannya, akan tetapi segera diturunkannya dua tangan, itu dan ia kembali mengamati wajah Nurseta.
"Hemm, engkau meninggalkan anakmu itu kepada Pangeran Panji Hardoko ketika Nurseta masih bayi. Dan Pangeran Panji Hardoko sudah meninggal dunia karena duka, karena ulahmu. Dan engkau kini bahkan hendak berbuat cabul dengan puteramu sendiri? Cuhh!"
Kembali Ki Jembros meludah.
"Tidak....... ah, tidak....ya Tuhan, tidak...."
Ni Dedeh Sawitri hendak menjerit, akan tetapi suaranya lemah dan lirih.
.
Pada saat itu, Nurseta membuka matanya Dia siuman dan seperti juga Ki Jembros, dia segera teringat akan keadaaanya dan tahulah dia bahwa dia terbelenggu dan berada di atas pembaringan, Ketika dia membuka mata, dia melihat Ni Dedeh Sawitri berdiri disitu, memandang kepadanya dengan mata terbelalak muka pucat sekali.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hahaha, Dedeh, perempuan hina. Lihat Nurseta sudah siuman, boleh kau tanya sendiri kepadanya"
Terdengar Ki Jembros berkata dengan nada suara mengejek.
Setelah mendengar suara itu, baru Nurseta menoleh dan melihat bahwa kakek itu menggeletak di atas lantai, di sudut kamar itu.
Kini Ni Dedeh Sawitri meloncat, mendekati pembaringan, lalu dengan kedua tangan menggigil dan dingin ia memegang pundak Nurseta, mengguncangnya dan suaranya gemetar ketika ia berkata.
"Nurseta, katakanlah, demi para dewata. katakan siapa ayah kandungmu dan siapa pula ibu kandungmu?"
Nurseta yang merasa betapa bajunya bagian masih terbuka dan hidungnya mencium bau harum, dapat menduga apa yang tadi terjadi dan dilakukan Ni Dedeh Sawitri terhadap dirinya. Dia dapat pula menduga bahwa tentu Ki Jembros yang mencegah terjadinya keributan itu lebih lanjut dengan membuka rahasia mengenai hubungan antara dia dan wanita ini. Dia tahu bahwa jawabannya akan merupakan tikaman yang lebih hebat dari pada serangan keris pusaka. maka dengan penuh geram diapun menjawab dengan mata yang tajam mencorong menatap wajah wanita itu.
"Dengailah baik-baik. Ayah Eandungku adalah Pangeran Panji Hardoko dari Kediri, dan ibu kandungku adalafh seorang wanita gagah perkasa dari Pasundan yang bernama. Ni Dedeh Sawitri"
"Nurseta....... Aku ....... aku........ kalau begitu, akulah ibumu.........."
Wanita itu menatap.
"Tidak. Bagaimana kau berani mengaku demikian? Ibuku adalah seorang wanita gagah perkasa yang berbudi luhur. Sedangkan kau. Kau ini seorang perempuan hina dan rendah, iblis betina yang kejam dan keji, tak tahu malu........ Aku akan malu sekali menjadi
anakmu. Tidak sudi aku mempunyai seorang ibu macam kau"
Ni Dedeh Sawitri mengeluarkan keluhan lirih dan iapun terkulai ke bawah pembaringan. Ia berlutut diatas lantai dan merataplah ia dengan suara merintih.
Pendekar Tongkat Liongsan Karya Kho Ping Hoo Nona Berbaju Hijau Karya Kho Ping Hoo Rajawali Lembah Huai Karya Kho Ping Hoo