Sejengkal Tanah Percik Darah 27
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 27
Bayangan tubuh kedua orang ini berkelebatan dan keduanya berusaha keras untuk saling menekan mengandalkan kecepatan dan kekuatan.
Sementara itu, pertempuran antara seratus orang perajurit pengawal Daha dengan kurang lebih dua ratus orang itu terjadi dengan ramainya. Memang seperti telah diduga dan diharapkan Nurseta, Wulansari telah mengatur siasat yang direncanakan dengan matang sebelum dara ini menghadap Sang Piabu Jayakatwang.
Setelah ia menyelidiki keadaan Nurseta yang ditawan di dalam penjara bawah tanah, ia tidak melihat cara lain untuk menolong kekasihnya itu. Maka, satu-satunya jalan hanyalah menukarkan tombak pusaka Tejanirmala dengan keselamatan Nurseta.
Ia tahu pula akan kelicikan dua orang kakek itu, maka diam-diam ia meninggalkan kota raja itu lagi untuk mengatur persiapan. Perlu diketahui bahwa ketika Singosari jatuh ke tangan pasukan Daha, banyak perajurit Singosari yang terpaksa melarikan diri dan menyusup ke gunung-gunung dan ke dusun-dusun, menjadi petani-petani biasa. Hal ini diketahui benar oleh Wulansari. Sebagai seorang pendekar wanita yang selalu turun tangan membasmi kejahatan, namanya terkenal dan dikagumi. Maka, ketika ia membutuhkan tenaga bantuan, tidak sukar bagi Wulansari untuk menghubungi para bekas perajurit Singosari dan merekapun segera mengumpulkan kawan kawan untuk membantu Wulansari ketika gadis itu mengatakan bahwa dia perlu bantuan untuk menghadapi pasukan Daha. Dalam waktu dua hari saja ia sudah berhasil mengumpulkan lebih dari duaratus orang laki laki yang siap untuk membantunya karena mereka adalah orang-orang yang membenci pasukan Daha. Ia lalu mengatur siasat, menyuruh duaratus orang lebih itu menjadi semacam barisan pendam, bersembunyi di dalam goa dan di balik batu-batu di puncak, dan sebagian besar lagi menanti di kaki Bukit Menur, agar mereka bersembunyi dan siap menunggu saat ia memberi isarat untuk menyerang.
Demikianlah, setelah saatnya tiba, Wulansari menarik Nurseta memasuki goa dan ternyata di dalam goa itu terdapat atap goa yang terbuka dan dari lubang itu Wulansari melepas sebatang anak panah ke udara. Anak panah ini membawa ronce-ronce merah sehingga ketika melayang ke udara, nampak jelas oleh mereka yang bersembunyi dan itulah isaratnya. Mereka lalu menyerbu dan berloncatan keluar dari tempat persembunyian mereka, mengejutkan pasukan pengawal Daha yang seratus orang banyaknya itu.
Pertempuran itu terjadi berat sebelab. Bukan saja pasukan Daha kalah banyak jumlahnya, akan tetapi juga semangat mereka kalah besar. Pasukan Daha itu terkejut dan sama sekali tidak mengira akan diserang oleh orang demikian banyaknya. Juga kedudukan mereka terjepit sekali. Kuda tunggangan mereka tidak dapat bergerak luasa dan ketika mereka berloncatan turun, kuda mereka itu lari cerai-berai. Karena tidak terpimpin dengan baik, keadaan kacau balau, hal ini sudah membuat nyali mereka menjadi kecil dan semangat mereka pudar. Sebaliknya, orang-orang yang menyerbu memang sudah merencanakan sebelumnya, kedudukan mereka lebih baik, jumlah mereka lebih besar dan ditambah pula dendam yang membara di hati mereka, maka tentu saja semangat merekapun jauh lebih besar.
Para perajurit Daha roboh bergelimpangan. Ada yang lari dan terjerumus ke dalam jurang, ada pula yang nekat menuruni bukit melalui jalan lain dan merekapun ikut longsor terbawa batu-batu yang menggelundung turun. Pekik dan jerit kesakitan terdengar dan disambut sorak-sorai para pembantu Wulansari. Lebih dari setengah jumlah perajurit Daha roboh dan sebagian lagi ada yang terjerumus ke dalam jurang atau jatuh bergulingan ke bawah bukit. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil lolos dari maut.
Perkelahian tingkat tinggi antara Nurseta melawan Ki Buyut Pranamaya dan Wulansari melawan Ki Cucut Kalasekti masih berlangsung dengan hebatnya.
"Ahhhh........
"
Ki Buyut Pranamaya menubruk bagaikan seekor beruang marah, lengan kanannya yang panjang itu meluncur dan telapak tangan terbuka yang mengandung tenaga sakti yang berbahaya itu memukul kearah dada Nurseta.
Pemuda ini miringkan tubuh, menangkis dengan lengan kanan pula, dan ketika kakinya bergeser, tangan kirinya membalas dengan pukulan kearah muka lawan. Ki Buyut Pranamaya menekuk lengan kanan yang tadi gagal memukul, memutarnya dan menangkis pukulan tangan kiri Nurseta, lalu kaki kirinya maju dan dengan kiri ditekuk, sikunya disodokkan ke arah dada Nurseta. Pemuda ini melangkah mundur mengelak, akan tetapi siku yang ditekuk itu dilonjorkan dan tangan kiri itu mencengkeram ke arah bawah pusar. ini merupakan serangan yang amat curang dan berbahaya sekali.
Namun, Nurseta tidak menjadi gugup. Lengannya mengibas ke bawah dan menangkis. Akan tetapi, kiranya cengkeraman ke arah bawah pusar itupun hanya pancingan saja karena tiba-tiba, dalam keadaan yang dekat itu, Ki Buyut Pranamaya menekuk lututnya dan lutut itu sudah menghantam ke arah perut Nurseta. Hal ini sungguh tidak tersangka sama sekali dan Nurseta tidak mampu mengelak atau menangkis lagi, hanya mengerahkan kekebalan kearah perutnya.
"Desss.........."
Perut itu ditumbuk lulut seperti dihantam palu godam dan biarpun kekebalannya membuat isi perut tidak terguncang, namun tetap saja saking kerasnya tumbukan lutut itu, tubuh Nurseta terjengkang, Dia malah sengaja melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan. Untung dia melakukan ini, karena kalau tidak, tentu dia sudah celaka oleh lawannya yang sudah mengejar dan kini kedua kaki Ki Buyut Pranamaya berusaha untuk menendang kepala atau dada pemuda itu. Nurseta yang bergulingan mampu menghindar dan diapun meloncat bangun lagi.
"Hahaha, hancur isi perutmu"
Bentak Ki Buyut Pranamaya dan diapun menyerang dengan tendangan tendangannya yang hebat. Dengan sigap, Nurseta mengelak terus. Akan tetapi dia mulai terdesak. Dia terus mundur kearah Wulansari yang juga nampak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti.
Sebetulnya, Nurseta tidak terdesak, hanya dia memang sengaja terus mundur untuk mendekati Wuiansari yang sudah terdesak sampai ke dekat jurang oleh lawannya.
Wulansari memang terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti yang mempunyai banyak sekali jurus-jurus pukulan yang curang. Bahkan kaki kini gadis itu pernah tersabet tendangan Ki Cucut Kalasekti, sehingga terasa nyeri dan membuat gadis itu agak terpincang. Namun, Wulansari tidak pernah mengeluh dan terus mempertahankan dirinya. Kini ia memegang kerisnya yang kecil bersinar kuning emas itu, sedangkan Ki Cucut Kalasekti juga memegang sebatang keris panjang yang hitam dan bentuknva seperti ular.
Wulansari maklum bahwa keris di tangan bekas gurunya itu adalah sebatang keris yang beracun. Akan tetapi keris di tangannya juga beracun dan kini perkelahian diantara mereka sudah merupakan perkelahian mati-matian.
Wulansari memang kalah pengalaman dan kalah matang gerakannya, namun ia menang ulet dan menang napas. Ki Cucut Kalasekti, seperti halnya Ki Buyut Pranamaya, sadah mulai berkeringat dan napas mereka sudah mulai terengah-engah. Perkelahian itu terlalu lama dan terlalu banyak memeras tenaga mereka yang sudah tua.
Melihat keadaan kekasihnya, Nurseta merasa khawatir juga. Dia harus dapat cepat merobohkan Ki Buyut Pranamaya agar dia dapat membantu Wulansari. Para pembantu Wulansari yang sudah menang dalam pertempuran itu, kini hanya berani menonton dari jauh saja, karena mereka semua maklum bahwa kalau mereka membantu, mereka seperti mengantar nyawa dan akan mati konyol saja.
Nurseta mulai memperhatikan keadaannya. Ki Buyut Pranamaya terus melancarkan serangan berhati-hati, pukulan dan cengkeraman susul menyusul, diselingi tendangan Cakrabairawa. Agaknya kakek yang sudah terengah-engah itu bendak mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk mencapai kemenangan karena dia sudah mulai mendesak lawan sehingga lawan itu mundur terus.
Nurseta bergerak sampai dia dekat dengan sebuah jurang yang amat curam, dan ketika lawannya menendang lagi, dia mengerahkan tenaganya meloncat ke atas melampaui atas kepala lawan.
Ki Buyut Pranamaya terkejut dan cepat membalikkan tubuh dan pada saat itu, Nurseta sudah mengerahkan seluruh tenaga saktinya melalui kedua lengannya, kemudian, dengan Aji Jagad Pralaya yang dahsyat dia menyerang dengan kedua telapak tangan mendorong.
"Hyaaaatttt........"
Bukan main hebatnya serangan ini. Setiap kali menghadapi serangan jurus dari Aji Jagad Pralaya, selalu Ki Buyut Pranamaya tidak berani menangkis, dan selalu menghindarkan diri mengelak. Akan tetapi sekali ini dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak ke kiri atau ke kanan, sedangkan untuk meloncat mundur berarti membunuh diri karena di belakangnya terdapat jurang yang menganga seperti mulut Sang Batara Kala yang siap menelannya bulat-bulat. Terpaksa sekali diapun mengerahkan tenaga terakhir dan menyambut serangan Aji Jigad Pralaya itu dengan Aji Marca Parastra (Ular Maut).
"Dessss........'"
Hebat bukan main pertemuan dua pasang telapak tangan itu, dan akibatnya, Nurseta terhuyung ke belakang akan tetapi tubuh Ki Buyut Pranamaya terjengkang dan langsung saja dia terjatuh ke dalam jurang yang teramat curam itu.
Terdengar pekik melengking mengerikan keluar dari mului tubuh kakek yang melayang ke dalam jurang itu, betapapun saktinya, terjatuh seperti itu ke dalam jurang yang tak nampak dasarnya dari atas, agaknya akan sulit baginya untuk menyelamatkan dirinya.
Nurseta tidak memperdulikan lagi lawannya yang sudah lenyap, juga tidak merasakan dadanya yang sesak. Dia terlalu mengkhawatirkan Wulansari yang terdesak oleh hujan tusukan keris hitam di tangan Ki Cucut Kalasekti. Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti juga terkejut dan tertegun mendengar pekik dari rekannya. Dia menjadi gugup, maka ketika Nurseta meloncat dan menyerangnya dengan pukulan Jagad Pralaya, dia menggulingkan tubuh ke bawah.
Saat itu dipergunakan oleh Wulansari untuk menendangkan tanah dan batu kerikil ke arah muka kakek itu. Ada sepotong batu yang mengenai mata kiri Ki Cucut Kalasekti, sehingga dia menggereng dan melompat berdiri. Akan tetapi, Wulansari sudah menyambitkan kerisnya. Keris kecil itu meluncur seperti anak panah.
"Ceppp"
Keris kecil melengkung milik Wulansari yang dulunya pemberian Ki Cucut Kalasekti sendiri itu dengan tepatnya menghunjarn dada Ki Cucut Kalasekti sampai ke gagangnya.
Kakek itu tersentak kaget dan dia masih dapat melemparkan keris hitamnya yang meluncur ke arah Wulansari, dengan ilmu melempar keris yang sama.
Namun, Wulansari dapat mengelak dan keris itu meluncur terus dan lenyap.
Dengan nekat, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kini Nurseta terhuyung, segera menarik pemuda yang berada di tepi jurang itu.
Nurseta memang terhuyung. Kiranya tadi ketika dia menyerang Ki Buyut Pranamaya dan ditangkis pertemuan tenaga yang membuat Ki Buyut Pranamaya itu terlempar ke dalam jurang membuat Nurseta menderita luka di dadanya. Ketika dia kembali mengerahkan tenaga menggunakan Aji Jagad Pralaya menyerang Ki Cucut Kalasekti untuk membantu Wulansari dan dapat dielakkan oleh kakek itu.
Nurseta merasa betapa dadanya nyeri sekali dan dia terhuyung.
Tubrukan Ki Cucut Kalasekti tidak tersangka-sangka datangnya dan Nurseta sedang terhuyung, maka tak dapat dihindarkan lagi, pemuda itu kena ditubruk dengan keras dan keduanya terjungkal ke dalam jurang.
"Kakangmas Nurseta... ah, kakangmas...."
Wulansari terbelalak pucat, lalu menangis sambil lari menghampiri tebing jurang itu. Dunia bagaikan gelap baginya dan hampir saja ia jatuh pingsan, dan kalau hal itu terjadi, tentu ia akan terguling pula ke dalam jurang. Untung pada saat itu, dari bawah terdengar suara Nurseta.
"Diajeng Wulan......."
Hampir Wulansari tidak percaya akan pendengarannya sendiri, akan tetapi suara kekasihnya itu menghidupkan lagi secercah harapan dan mencegah ia jatuh pingsan. Ia menjenguk ke bawah jurang dan harus memejamkan lagi matanya saking ngerinya. Kiranya kekasihnya itu tersangkut pada sebatang pohon semak yang tumbuh di bawah tebing itu, hanya kurang lebih tiga meter dari atas.
Dan bukan hanya Nurseta yang menggunakan tangan kirinya menggantung pada dahan pohon, juga Ki Cucut Kalasekti bergayut di pohon itu dalam jarak hanya dua meter dari Nurseta. Pohon yang tumbuh miring itu tidak terlalu besar maka kini digantungi tubuh dua orang dewasa, sudah bergoyang-goyang dan seperti akan patah. Kalau sampai patah, habislab. sudah riwayat dua orang itu.
Yang hebat adalah Ki Cucut Kalasekti, karena biarpun dia sudah terluka parah, keris kuning kecil itu masih menancap di dadanya namun dia masih berusaha untuk menendang-nendang ke arah Nurseta sambil tertawa seperti orang gila.
"Heh heh ha ha ha, Nurseta. Sekali ini kita akan mati bersama. Tidak, kau harus mampus lebih dulu. Hahaha, aku ingin melihat kau jatuh lebih dulu ke dalam jurang, ingin mendengar pekik kematianmu, hahaha"
Dan dia menendang-nendang sehingga pohon kecil itu semakin bergoyang-goyang.
Nurseta sudah merasa lemah sekali. Ketika terjatuh tadi, lengan kanannya menjadi salah urat ketika dia menangkap dahan pohon, dam kini lengan kanan itu tergantung lemas dan nyeri. Dia hanya menggunakan tangan kiri saja untuk bergantung, sedangkan dadanya semakin sesak rasanva karena luka dalam yang dideritanya.
Tendangan kaki kakek itu hanya kurang belasan senti saja nyaris mengenainya dan kalau sampai dia terkena tendangan, tak mungkin tangannya kuat bertahan. Dan pobon kecil itupun sudah bergoyang-goyang, akarnya mengeluarkan bunyi berkeretakan.
"Kakangmas, pertahankan...... kakangmas, tangkap ujung kembenku ini"
Tiba-tiba Wulansari berseru sambil menahan napas sakin tegangnya. Biarpun ia memakai pakaian pria, namun kemben itu tak pernah lepas dari pinggangnya yang ramping dan tadi, begitu melihat keadaan kekasihnya, ia cepat melolos kembennya dengan membuka bajunya, tidak perduli akan banyak orang yang melihat dari jauh. Sebagian perut dan punggungnya nampak telanjang tak diperdulikannya dan kini ia sudah menelungkup dengan kepala dan pundak di tepi jurang, menjulurkan kemben itu ke bawah.
Akan tetapi, lengan kanan Nurseta tak dapat dipergunakan lagi dan tangan kirinya memegang dahan pohon erat-erat. Tangan kiri itulah yang menjadi penahan nyawanya, sekaii lepas diapun akan tewas. Akan tetapi dia tidak mau menggelisahkan hati kekasihnya diatas. Ketika ujung kemben itu menyentuh lehernya, cepat dia membuka mulut dan menggigit ujung kemben, setelah menggigitnya dengan kuat, baru dia berani melepas tangan kiri dari dahan dari cepat menangkap ujung kemben itu dengan tangan kirinya.
Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kemben itu sudah menyumpah-nyumpah dan berusaha sekuat tenaga untuk menendang tubuh Nurseta.
"Wuuut"
Plakk...... kreekkkkk......."
Tendangan itu mengenai pinggul Nurseta sehingga tubuh Nurseta bergoyang goyang di ujung kemben dan Wulansari yang memegang ujung lain kemben itu sambil menelungkup harus mengerahkan seluruh tenaga agar kemben itu tidak sampai terlepas dari pegangannya.
Akan tetapi karena Ki Cucut Kalasekti bergerak terlampau kuat ketika memaksakan tendangan tadi, pohon kecil yang sudah hampir jebol itu tidak kuat menahan lagi. Dahan yang dipegang Ki Cucut Kalasekti patah dan tubuhnya meluncur ke bawah menyusul rekannya.
Bedanya, kalau tadi Ki Buyut Pranamaya mengeluarkan pekik mengerikan ketika terjatuh, kini terdengar suara gelak tawa yang aneh dari Ki Cucut Kalasekti.
Dengan seluruh tenaganya, hati-hati sekali dan hampir tak bernapas karena ketenangan hatinya, takut kalau kalau kembennya tidak kuat menahan berat tubuh kekasihnya, Wulansari menarik tubuh Nurseta melalui kemben itu perlahan-lahan ke atas.
Akhirnya, disaksikan oleh puluhan pasang mata yang ikut merasa tegang dan menahan nafas, Nurseta dapat ditarik ke atas tebing.
"Kakangmas Nurseta.........
"
"Diajeng Wulan........"
Mereka berangkulan.
Wulansari merangkul pemuda itu dan menciumi mukanya dengan penuh kasih sayang, penuh keharuan dan rasa bahagia sehingga air matanya bercucuran. Sampai lama mereka berlutut sambil saling berangkulan. Akhirnya Wulansari menyusupkan mukanya ke dada kekasihnya.
Nurseta juga merasa berbahagia sekali. Nyaris nyawanya melayang dan kekasihnya ini yang menyelamatkannya. Nyeri pada lengan kanannya tak dirasakannya lagi, bahkan sesak pada dadanya juga tidak dirasakan.
"Kakangmas........ akhirnya kita dapat bertemu kembali......"
Bisik Wulansari.
Nurseta seperti ditarik kembali ke dunia setelah tadi tenggelam ke dalam alam sorga penuh kebahagiaan dan diapun teringat akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Dia menarik napas panjang, penuh penyesalan.
Wulansari merasa benar tarikan napas panjang itu karena telinganya menempel di dada kekasihnya. la mengangkat mukanya dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Kau"
Kenapakah, kakangmas? Kenapa menarik napas panjang?"
"Ki Tejanirmala......."
Nurseta mengeluh.
Wulansari tersenyum.
"Kakangmas, masihkah kau belum percaya kepada calon isterimu yang bodoh ini? Apakah kau kira aku begitu bodoh untuk menyerahkan tombak pusaka itu kepada mereka?
"Tapi.... tapi.... sudah kau berikan, diajeng..."
Senyum itu melebar sehingga nampak kilatan gigi putih berderet rapi.
"Itu yang palsu, kakangmas. Yang aseli masih kusimpan, dan hanya akan kuserahkan kepadamu seorang, kakangmas"
"Diajeng........."
Kini Nurseta yang merangkul dan saking girangnya. dia mencium mulut yang mengeluarkan kata-kata yang amat menyenangkan hatinya itu sampai Wulansari gelagapan dan meronta lemah.
Ketika Nurseta melepaskan ciumannya yang berapi-api itu, Wulansari berbisik.
"ihh, kakangmas, apakah tidak malu? Lihat, puluhan, bahkan seratus lebih orang memandang kita........"
Nurseta terkejut, menoleh dan wajahnya berubah kemerahan. Benar saja, banyak sekali orang-orang yang tadi membantu Wulansari berdiri memandang dari jauh dan tentu saja miereka semua melihat ketika dia dan kekasihnya berangkulan dan berciuman tadi. Dia lalu menarik bangun kekasihnya dan pada saat itu, orang-orang itu bersorak gembira dan mereka mendaki ke puncak sambil tertawa-tawa.
Sambil bergandeng tangan dengan Nurseta, Wulansari menyambut mereka dengan senyum "Kita telah menang"
Katanya "Sekarang, kalian cepat kumpulkan kuda merea dan kumpulkan pula semua senjata yang ada. Mulai sekarang, kalian haras menghambakan diri kepada Majapahit. Kami berdua akan membawa kalian ke sana"
Kembali orang-orang itu bersorak dan merekapun berlarian turun untuk menangkap kuda yang bercerai-berai tadi, mengumpulkan pula senjata-senjata lawan, merawat teman yang terluka.
Nurseta mengeluh. Baru sekarang terasa nyeri lengan kanannya dan dadanya.
Wulansari merangkui "Kau kenapa, kakangmas?"
"Hemm, lengan kananku rerkilir rupanya.
"Mari kuperiksa, kakangmas"
Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Wulansari memeriksa lengan kanan kekasihnya setelah mernbuka bajunya. Diam-diam gairahnya timbul melihat lengan yang kokoh berotot dan berkulit halus bersih itu. Ditahannya gairah dan iapun memeriksa. Memang terkilir lengan itu, dipangkal lengan agak membengkak.
"Tahankan, kakangmas, akan kutarik"
Kata Wulansari dan iapun menggunakan sediki tenaga untuk membetot lengan itu. Terdengar bunyi dan lengan itu sudah pulih kembali.
Nurseta menggerak-gerakkan lengan kanannya dan Wulansari memandang penuh perhatian.
"Bagaimana, kakangmas?"
"Kau hebat, sudah sembuh, tapi........"
Dia menggit bibir karena dadanya terasa nyeri dan sesak. Dia meraba dadanya.
"Kenapa dadamu, kakangmas?"
"Tadi ketika beradu tenaga dengan Ki Buyut Pranamaya, biarpun dia terlempar ke alam jurang, aku sendiri agaknya menderita guncagan hebat sehingga terluka dalam. Aku harus cepat memulihkannya, diajeng"
"Kau memang hebat, kakangmas. Mari aku bantu kau"
Mereka duduk bersila dan Nurseta memejamkan matanya, mengatur pernapasan untuk memulihkan keadaan dalam dadanya yang terguncang.
Wulansari bersila di depannya, menjulurkan kedua lengan ke depan, telapak kedua tangannya menempel di dada kekasihnya yang telanjang. Mereka berdua harus memejamkan mata karena kalau membuka mata, tidlak mungkin mereka akan dapat memusatkan perhatian dan tenaga.
Begitu dekat, bersila berhadapan seperti itu, tentu akan membangkitkan gairah dan kemesraan. Mereka itu bagaikan dua orang yang kehausan akan kasih sayang dan kini setelah saling menemukan kembali, mereka bagaikan dua orang kehausan melihat air sejuk segar.
Hal ini tidaklah mengherankan. Keduanya sudah saling mencinta sejak mereka masih remaja. Namun, kasih sayang itu selalu terpendam dan selalu terhalang. Kini, Nurseta telah berusia tigapuluh tiga tahun dan Wulansari tigapuluh dua tahun. Bagaikar kembang sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah matang pohon.
SETELAH lewat kurang lebih satu jam Nurseta merasa betapa dadanya sudah pulih kembali. Dia mampu cepat memulihkan kesehatan dalam dadanya berkat bantuan Wulansari. Dua telapak tangan gadis itu terasa hangat dan menyalurkan tenaga getaran yang hangat dan lembut.
"Cukuplah, diajeng"
Katanya dan diapun memegang kedua tangan yang kecil itu. Wulansari membuka kedua matanya dan mereka saling pandang. Muka dan leher mereka berkeringat dan mereka saling pandang dengan senyum penuh kasih sayang. Jari-jari tangan mereka saling genggam dan terasa getaran mesra sampai ke lubuk hati masing-masing.
"Terima kasih, diajeng"
Bisik pula Nurseta. Sekarang kita dapat berangkat"
"Berangkat?"
Tanya Wulansari seperti mimpi indah.
"Tentu saja. Ke Majapahit, bukan?"
"Ya, menyerahkan tombak pusaka itu kepada Pangeran Raden Wijaya. Akan tetapi kakangmas yang menyerahkannya"
"Kenapa, diajeng? Bukankah pusaka itu berada padamu?"
"Mari kita ambil, kakangmas. Akan kuserahkan kepadamu"
Ia bangkit berdiri sambil menenarik tangan Nurseta, kemudian menggandeng tangan pemuda itu memasuki goa di tengah tadi.
Kiranya pusaka itu disimpan di dalam goa ini oleh Wulansari. Terbungkus kain putih bersih. Dengan sikap yang sungguh-sungguh dan penuh hormat gadis itu memegang tombak pusaka itu dengan kedua tangan, lalu membungkuk dan menyerahkannya kepada Nurseta.
"Kakangmas Nurseta, terimalah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini dari tanganku. Dahulu aku merampasnya darimu, dan maafkanlah semua kesalahanku, kakangmas. Aku menyerahkan pusaka ini sebagai bukti cintakasih dan baktiku kepadamu, calon suamiku yang kupuja dan kuhormati"
Sepasang mata Nurseta menjadi basah. Dia merasa terharu sekali, terharu dan berbahagia.
"Duhai diajeng Wulansari yang kukasihi melebihi segala apapun di dunia ini. Terima kasih, diajeng. Kau tidak bersalah apapun, tidak perlu meminta maaf. Marilah kita lupakan segala hal yang telah lewat, diajeng, dan mulai detik ini, kita bersama membangun suatu kehidupan baru yang bersih dan penuh dengan kasih sayang. Semoga para dewata memberkahi kita berdua, diajeng"
Kata Nurseta sambil menerima pusaka itu dengan kedua tangan pula Kedua tangannya memegang kedua tangan Wulansari yang menyangga pusaka itu dan sejenak mereka saling berpandangan di dalam ruangan goa yang remang remang itu. Sinar matahari masuk dari lubang di atas, amat indahnya seperti seberkas cahaya putih, jatuh menimpa pusaka yarg berada di tengah-tengah antara mereka.
"Semoga para dewata memberkahi kita, kakangmas"
Mereka lalu melangkah keluar sambil bergandeng tangan dan pusaka itu sudah berada di tangan Nurseta. dia tidak membuka lagi kain putih pembungkus pusaka, karena dia tidak ragu lagi, dia sudah percaya kepada calon isterinya dan merasa yakin sepenuhnya bahwa pusaka itu tentulah yang aseli.
Orang-orang yang tadi mengumpulkan kuda dan senjata, telah siap pula. Mereka menyerahkan dua ekor kuda kepada Nurseta dan Wulansari, setelah dua orang muda ini menuruni puncak. Berangkatlah rombongan ini menuju ke Majapahit.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sepasang orang muda perkasa itu menunggang kuda di depan, Rombongan hampir dua ratus orang itu mengikuti dari belakang, ada yang berkuda, ada yang berjalan kaki. Mereka bergantian menunggangi kuda yang terkumpul kurang dari seratus ekor itu. Kadang-kadang Nurseta dan Wulansari saling menceritakan pengalaman masing-masing ketika mereka melakukan perjalanan seenaknya ini. Kuda-kuda itu tidak dapat dilarikan karena banyak diantara rombongan yang berjalan kaki.
"Kakangmas, aku sudah berjanji kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa aku tidak akan ikut berperang melawan Kediri, tidak akan membantu pihak manapun dalam perang yang timbul"
Tiba-tiba Wulansari berkata lirih.
Nurseta menoleh dan memandang gadis yang menunggang kuda di sebelahnya itu. Alisnya berkerut dan hati kecilnya merasa tidak setuju dengan janji yang diceritakan kekasihnya itu.
"Hemmm, kenapa begitu, diajeng? Bukankah baru saja kau dengan para pembantumu ini telah menyerbu dan membasmi sepasukan perajurit Kediri?"
"Ah, hal itu lain lagi, kakangmas, Apa yarg baru saja terjadi di Bukit Menur itu bukan merupakan perang antara dua kerajaan, melainkan pertempuran yang kulakukan untuk menentang yang jahat dan untuk menyelamatkan kau. Akan tetapi kalau terjadi perang, aku tidak mau terlibat, kakangmas. Aku tidak mau berperang memusuhi Kediri"
"Kenapa begitu, diajeng? Kau adalah puteri Paman Senopati Medang Dangdi, seorang senopati Singosari yang setia. Dan kau pernah digembleng oleh mendiang Eyang Panembahan Sidik Danasura sendiri, dan juga ditolong oleh Paman Jembros yang juga seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Sudah sepantasnya kalau kau juga kini membela Sineosari sebagai tanah air dan bangsamu"
Wulansari tersenyum "Kalau kau bicara tentang tanah air dan bangsa, aku menjadi semakin bingung, kakangmas. Bukankah Kediri juga setanah air dan sebangsa dengan kita? Ingat, keluarga Kerajaan Kediri bahkan masih keluarga Kerajaan Singosari pula. Memang, sudah sepatutnya kalau aku membela dan membantu Singosari, akan tetapi tidak kalau memusuhi Kediri, kakangmas. Bayangkan saja Aku pernah menjadi seorang bayangkara di Kediri, menjadi seorang panglima pengawal pribadi Prabu Jayakatwang dan ketika itu aku dipercaya, dihargai dan dihormati. Hanya karena urusan pribadi aku meninggalkan Kediri Bagaimana mungkin sekarang aku harus memusuhi kerajaan itu, padahal seluruh keluarga Prabu Jayakatwang di istana pernah bersikap baik sekaii kepadaku? Tidak, kakangmas, aku bukan seorang yang tidak mengenal budi seperti itu"
Nurseta mengangguk-angguk. Dia merasa betapa alasan yang dikemukakan Wulansari memang masuk diakal dan kuat pula. Bahkan diam-diam dia merasa kagum dan senang bahwa calon isterinya ini ternyata memiliki dasar watak yang baik dan lembut, juga mengenal budi dan tidak mudah merobah pendirian demi keuntungan pribadi.
"Aku dapat memaklumi dan menerima pendapatmu itu, diajeng. Apa lagi kalau kita mengingat akan semua petuah mendiang Eyang Panembahan Sidik Danusura, perang merupakan peluasan dari pada nafsu-nafsu angkara murka manusia yang menimbulkan kekejaman-kekejaman dan dendam kebencian"
"Dan bagaimana dengan kau sendiri, kakangmas Nurseta? Maafkan kalau aku berterus terang. Aku tahu bahwa kau adalah putera Pangeran Panji Hardoko seorang pangeran Kediri. Tanah tumpah darahmu adalah Kediri. Bagaimana kalau sampai terjadi perang antara Kediri dan keturunan Singosari yang kini berada di Majapahit?"
Nurseta mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tersenyum. Bukan main kekasihnya ini. Lembut, setia, gagah perkasa, adil, akan tetapi juga jujur bukan main sehingga tidak ragu lagi untuk bertanya kepadanya tentang hal yang sebetulnya amat peka itu. Diapun terpaksa harus berterus terang mengemukakan pendapatnya karena menghadapi seorang yang berwatak terbuka seperti itu, tidak perlu menyembunyikan sesuatu
"Pertanyaanmu itu tepat dan baik sekali, diajeng. Juga amat jujur, maka akupun akan menjawab sejujurnya pula. Kurasa, amat tidak bijaksana bagi setiap orang manusia untuk mengikatkan diri secara berlebihan dan kaku terhadap keturunannya . Biarpun aku keturunan Kediri, akan tetapi sejak kecil aku hidup di bumi Singosari, diasuh oleh pendekar Singosari, yaitu mendiang Ayah Baka. Sejak kecil aku hidup di bumi Singosari, bergaul dengan kawula Singosari, mengalami suka duka di Singosari. Biarpun kemudian kenyataannya aku keturunan seorang pangeran Kerajaan Kediri, namun apa artinya keturunan kalau hidupku selama ini di bumi Singosari? Tentu saja seluruh perasaan hatiku condong membela Singosari. Kediri seperti kerajaan asing bagiku, Aku sudah mengalami banyak senang dan susah bersama Singosari. Apa lagi mendiang Ayah Baka selalu mengajarkan bahwa seorang gagah harus selalu dapat mempertahankan tanah airnya. Sejengkal tanah sepercik darah. Demikian kata Ayah Baka selalu. Jelaslah, diajeng, kalau terjadi perang dengan Kediri atau dengan siapapun juga, hatiku condong untuk membela Singosari"
Gadis itu mengangguk-angguk dan tersenyum manis sekali, sepasang mata bintang itu bersinar-sinar.
"Aduh gagahnya calon suamiku. Aku kelak ingin mempunyai seorang anak laki-laki yang seperti ayahnya ini"
Nurseta tersipu. Calon isterinya ini sungguh terbuka dan jujur. Ini tentu pengaruh didikan Ki Cucut Kalasekti yang diharapkannya kini sudah tewas benar-benar.
"Ihh, diajeng, kau terlalu memuji, membuat aku malu saja"
Katanya dan kekasihnya itu menutupi mulut, tertawa geli melihat kecanggungan Nurseta.
"Kalau begitu, jika nanti timbul perang antara Majapahit dan Kediri, kau akan maju perang, kakangmas"
Dalam pertanyaan ini terkandung kekhawatlran dan Nurseta dapat merasakan ini. Dia merasa tidak tega untuk mendatangkan kekecewaan dan kedukaan di dalam hati kekasihnya yang sudah demikian lamanya terbenam di dalam kedukaan dan keputus-asaan. Kini mereka telah bertemu dan bersatu, tidak ada apapun di dunia ini yang lebih penting dari pada itu, tidak ada apapun yang akan mampu memisahkan mereka lagi.
"Bagaimana baiknya kalau menurut pendapatmu, diajeng Wulan?"
Dalam jawaban inipun Nurseta sudah menjelaskan bahwa dia akan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, bahkan kalau perlu mentaati nasihat dan pendapat calon isterinya. Wulansari dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik kata-kata kekasihnya, maka iapun merasa berbahagia sekali dan juga bersukur. Ia yakin benar akan besarnya kasih sayang Nurseta kepadanya dan dalam percakapan itu saja sudah nampak jelas rasa cinta kasih calon suaminya itu. Maka iapun tidak ingin dianggap mau menang sendiri, tidak ingin memaksakan kehendak atau mementingkan diri sendiri.
"Begini, kakangmas Nurseta Semua pendirianmu tadi kuhormati dan kubenarkan Sejengkal tanah sepercik darah, memang demikianlah sepatutnya pendirian seorang satria sejati. Akan tetapi, kakangmas. Masih kurangkah jasamu terhadap Pangeran Raden Wijaya? Kalau kakangmas sudah menyerahkan tombak pusaka Ki AgengTejanirmala, bukankah itu merupakan jasa yang jauh lebih besar dibandingkan andaikata kakangmas berhasil membunuh seribu orang musuh? Karena itu, kakangmas, kalau setelah kita menyerahkan pusaka itu kepada Raden Wijaya, lalu kakang mas mengundurkan diri dan tidak mencampuri perang, aku yakin tidak ada seorangpun yang akan mencelamu. Ingatlah, sudah lama sekali kita saling terpisah oleh keadaan. Apakah kakangmas tega untuk sekali lagi meninggalkan aku, menempuh bahaya dalam perang sehingga hidupku akan selalu was-was dan gelisah? Aku tidak memaksamu, kakangmas Nurseta, hanya mengharapkan keadilan dan pertimbanganmu"
Nurseta menoleh dan memandang kekasihnya. Terkejutlah dia melihat betapa sepasang mata yang jeli dan jernih itu berlinang air mata. Tahulah dia bahwa kekasihnya itu benar-benar amat merindukan hidup dalam damai dan bahagia di sampingnya, tidak terpisahkan apapun juga dan Wulansari memang berhak mengingat betapa sejak kecil ia hidup selalu diliputi kekerasan dan kedukaan. Kalau gadis itu tidak memiliki dasar watak yang baik, watak satria seperti dimiliki ayah ibunya, kemungkinan besar ia telah menjadi seorang wanita, yang menyeleweng dari pada jalan kebenaran, mengingat betapa ia hidup dalam asuhan seorang datuk iblis seperti Ki Cucut Kalasekti. Sudah sepatutnya kalau dia mengalah dan menyenangkan bati calon isterinya itu. Pula, apa yang dikatakan kekasihnya tadi memang mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Bagaimunapun juga, Kediri adalah sedarah dan sebangsa dengan Singosari. Perang yang terjadi antar saudara atau antara keluarga kerajaan itu pada hakekatnya. adalah urutan dendam mendendam antara mereka. Dendam turun menurun sejak Ken Arok. Para senopati dan perajurit hanyalah terbawa-bawa, terseret arus perang yang ditimbulkan karena urusan pribadi atau dendam keluarga kerajaan. Dia sendiripun bukan seorang senopati, bukan ponggawa kerajaan. Bahkan lebih dari itu, dia masih keturunan seorang pangeran Kediri, ayah kandungnya adik tiri Sang Prabu Jayakatwang sendiri.
"Baiklah, diajeng. Aku berjanji tidak akan ikut berperang"
Wulansari mendekatkan kudanya, menjulurkan tangan kanannya dan memegang lengan kiri kekasihnya.
"Terima kasih kakangmas. Aku semakin kagum dan semakln cinta padamu. Percayalah, aku hanya tidak ingin kita terlibat dalam perang saudara itu, akan tetapi tentu saja kalau kita menghadapi kejahatan, baik kejahatan itu dilakukan orang-orang Kediri ataupun orang-orang Singosari, tentu kita harus turun tangan menentang mereka dan menolong rakyat tak berdosa yang tertindas oleh kejahatan mereka"
Pandang mata wanita itu lebih jelas lagi membayangkan rasa haru dan terima kasihnya kepada Nurseta. Pemuda itupun memandang kepadanya dengan senyum.
"Diajeng, kalau aku mau menuruti kehendakmu, bukan berarti bahwa aku mengalah, hanya karena aku melihat bahwa alasanmu tadi memang benar dan tepat. Tentu saja aku mengerti bahwa pada dasarnya, kau berjiwa pendekar. Lihat di sana, agaknya pasukan Majapahit sudah mulai bergerak, diajeng"
Wulansari memandang dan mereka menahan kuda dan memberi isarat dengan tangan agar pasukan rakyat itu berhenti. Semua orang berhenti dan memandang kearah pasukan besar yang bergerak dari depan itu dengan hati gembira.
Segera kehadiran mereka dilihat oleh para senopati Majapahit yang mulai bergerak. Dua orang penunggang kuda yang gagah memacu kuda mereka dari pasukan Majapahit itu dan menghampiri mereka.
"Kanjeng rama......."
Wulansari berseru girang.
"Ah, kau kiranya, Wulansari"
Seru pula segtopati Ki Medarg Dangdi, ayah gadis perkasa itu "Dan bersama kau pula, anakmas Nurseta"
Kini Ki Medang Dangdi girang bukan main melihat puterinya telah dapat bertemu dan pulang bersama calon mantunya itu dalam keadaan sehat.
"Dan bagaimana dengan tugas kalian? Berhasilkah?"
Segera dia teringat akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala
"Berkat bimbingan Gusti Yang Maha Kuasa dan doa restu ayah, kami berhasil dan pusaka itu telah kami bawa untuk dihaturkan kepada Pangeran Raden Wijaya"
Mendengar ucapan puterinya ini, Ki Medang Dangdi memandang dengan wajah berseri.
"Bugus sekali, Wulansari. Aku bangga sekali menjadi ayahmu. Akan tetapi, siapakah pasukan kecil di belakangmu itu?"
"Apalah kanjeng rama tidak mengenal mereka? Harap ayah lihat baik-baik, tentu ada diantara mereka yang ayah kenal karena mereka adalah orang orang Singosari, bahkan ada yang bekas perajurit Singosari"
Sementara itu, ketika melihat kedua orang senopati, Ki Medang Dangdi dan Ki Mahesa Wagal, diantara pasukan rakyat yang mengenal mereka segera berseru.
"Hidup senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal. Hidup Singosari"
Dua orang senopati itu tersenyum, lalu Ki Medang Dangdi berseru kepada mereka.
"Apakah kalian sudah siap semua untuk menyerbu Kediri dan membaias kekalahan Singosari?"
"Siaaaaapp"
Teriak mereka serempak.
"Bagus, kalau begitu kalian boleh bergabung dengan pasukan kami"
Beberapa orang perwira Majapahit segera menerima dan menampung mereka bergabung dengan pasukan besar.
"Wulansari. lebih baik kau dan anakmas Nurseta segera menghadap Raden Wijaya dan menghaturkan pusaka itu, kemudian kalian cepat menyusul kami dan membantu kami menyerbu Kediri"
Kata pula Ki Medang Dangdi kepada puterinya.
"Ayah, kami berdua sudah bersepakat untuk menghaturkan pusaka kepada Raden Wijaya, setelah itu kami tidak akan lkut bertrmpur dalam perang, melainkan kami akan melakukan perondaan dan penjagaan keamanan dalam kehidupan rakyat agar jangan sampai mereka, seperti biasanya, kalau terjadi perang, menjadi korban kejahatan yang timbul di mana-mana. Yang akan kami musuhi dan hadapi adalah penjahat-penjahat pengganggu keamanan kehidupan rakyat jelata, dari manapun datangnya"
Ki Medang Dangdi mengangguk-angguk dan tidak membantah kehendak puterinya. Sebagai seorang senopati kawakan yang sudah sering melakukan perang, dia tahu apa yang dimaksudkan oleh puterinya itu. Sudah banyak dia melihat dan mendengar mengalami sendiri akan timbulnya kejahatan setiap kali terjadi peperangan. Penjahat-penjahat mendapat kesempatan untuk mengumbar nafsu angkara murka mereka tanpa ada alat pemerintah yang dapat menen tang karena alat pemerintah sibuk dalam perang. Bahkan tidak jarang nggauta pasukan yang mabuk kemenangan, atau putus asa karena kekalahan, menumpahkan segala gejolak nafsu mereka kepada rakyat jelata yang tidak mampu melawan.
Mereka lalu berpisah. Nurseta dan Wulansari berdua saja melanjutkan perjalan mereka, membalapkan kuda memasuki wilayah Majapahit. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan pasukan induk Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya sendiri. Tentu saja mereka diterima oleh Raden Wijaya dengan ramah dan gembira. Apa lagi setelah Nurseta mempersembahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada pangeran itu.
Sang Pangeran Wijaya membuka bungkusan tombak pusaka itu dan melihat sinar mencorong penuh wibawa dari tombak pusaka itu, Raden Wijaya mengangkatnya tinggi di atas kepalanya.
"jagad Dewa Bathara....... Akhirnya, berkat kemurahan para dewata, pusaka ini sampai juga ke tanganku. Agaknya Sang Hyang Widhi memang sudah memberi restu agar aku membangun kembali Singosari yang runtuh dan mendirikan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar. Nurseta, dan kau juga, Wulansari. Kalian telah berjasa besar kepada Majapahit. Kami masih ingat akan janji kami, Nurseta. Kami pernah berjanji kepadamu bahwa kalau tombak pusaka ini dapat kau serahkan kepada kami sampai Majapahit berhasil berdiri dengan jaya, maka apapun yang kau minta akan kami penuhi. Sekarang, tombak pusaka sudah kau serahkan kepada kami. Bantulah kami untuk mengalahkan Kediri, agar kejayaan Singosari dapat bangkit kembali dalam kerajaan yang baru, yaitu Majapahit yang akan mempersatukan bukan saja Singosari dan Kediri, akan tetapi juga seluruh kerajaan dan kadipaten di Nusantara. Setelah itu, baru kami akan bertanya, balas jasa apa, anugerah apa yang kau minta, dan kami pasti akan memenuhinya"
Nurseta cepat menghaturkan sembah "Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas segala kemurahan hati paduka, Gusti Pangeran. Akan tetapi, hamba tidak mengharapkan balas jasa karena penyerahan pusaka ini selain merupakan pesan terakhir dari mendiang ayah Baka, juga merupakan tugas kewajiban hamba terhadap Singosari, terhadap paduka yang melanjutkan perjuangan Singosari. Yang hamba harapkan hanya satu, gusti. Yaitu hamba dan diajeng Wulansari mohon perkenan paduka untuk tidak ikut dalam perang ini"
Raden Wijaya terbelalak dan mengerutkan alisnya.
"Tidak kelirukah pendengaranku, Nurseta? Coba ulangi lagi permintaanmu tadi"
Nurseta menyembah.
"Hamba berdua diajeng Wulansari mohon perkenan paduka untuk tidak ikut dalam perang ini, Gusti Pangeran"
"Sungguh aneh sekali, Nurseta. Kau dan Wulansari adalah dua orang muda perkasa yang berjiwa satria, dan yang sudah membuat jasa besar dengan mendapatkan tombak pusaka untuk kami. Akan tetapi kalian tidak mau membantu kami berperang melawan Kediri. Sungguh kami tidak dapat mengerti mengapa kau berdua mengambil sikap seperti ini"
Melihat kekasihnya tersudut, Wulansari cepat menghaturkan sembah dan berkata dengan suara lantang.
"Mohon paduka ampunkan kalau hamba yang mewakili kakangmas Nurseta menjawab pertanyaan paduka itu, gusti pangeran. Menurut pendapat hamba, untuk mengabdi negara dalam perjuangan, bukan hanya dengan
jalan melibatkan diri dalam perang saja. Masih banyak jalan untuk mengabdi kepada negara dan bangsa, gusti. Dan hamba berdua mengambil keputusan untuk mengabdi dengan cara lain. Selagi paduka dan semua pasukan mengadakan perang melawan Kediri, maka keamanan hidup rakyat jelata tidak akan terjamin, kejahatan muncul di mana-mana. Hamba berdua akan mengadakan perondaan dan akan menanggulangi kekacauan yang timbul, menghadapi orang-orang jahat yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan mengail di air keruh. Terutama sekali di daerah yang telah dikuasai pasukan paduka. Dengan demikian, rakyat akan menyambut kemenangan paduka dengan gembira, dan dengan pengabdian seperti itu, hamba berdua sudah menjaga kewibawaan dan nama baik paduka"
Raden Wijaya mengangguk-angguk, Diapun maklum bahwa setiap kali terjadi perang, ketika Singosari dahulu menundukkan pemberontak, ketika Daha menyerbu Singosari, selalu timbul kekacauan karena para penjahat tentu akan keluar merajaiela. Maka, apa yang dikemukakan Wulansari itu memang benar. Disamping itu, calon raja yang bijaksana ini dapat pula menduga bahwa tentu ada alasan lain yang sifatnya pribadi, namun dia cukup bijaksana untuk tidak mendesak. Bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa jasa kedua orang itu sungguh sudah teramat besar dengan diserahkannya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ke tangannya. Dahulu, ketika Prabu Jayakatwang menguasai tombak pusaka itu, Kerajaan Singosari jatuh oleh Daha. Kini, tombak pusaka itu berada di tangannya, maka dia merasa yakin bahwa tentu dia akan mampu menaklukkan Daha. Dia tidak akan mendirikan kembali Singosari, yang telah jatuh. Dia cukup cerdik. Kalau dia mendirikan lagi Singosari, maka tentu akan terus menerus terjadi pemberontakan, karena Kerajaan Singosari merupakan kerajaan turunan yang diperebutkan oleh keturunan Ken Arok, keturunan Tunggul Ametung, dan keturunan Kerajaan Kediri. Akan tetapi dia akan membangun sebuah kerajaan baru, Kerajaan Mijapahit. Dengan demikian, tidak akan terjadi keributan dan perebutan kekuasaan.
Karena kesanggupan dua orang muda perkasa itu untuk menjaga keamanan juga merupakan suatu perjuangan yang tidak kecil artinya, maka Raden Wijaya segera memberikan persetujuannya. Menghadapi para penjahat bukan tidak berbahaya bahkan lebih berbahaya dari pada kalau bertempur dalam perang di mana terdapat banyak kawan dalam satu pasukan. Mereka bahkan akan menentang orang-orang jahat yang berbahaya, dan banyak diantara para datuk sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Raden Wijaya lalu menyerahkan tanda kekuasaan berupa dua helai kain yang ditulisnya sendiri kepada dua orang muda itu.
"Dengan tanda kekuasaan ini, kau berdua dapat bergerak dengan bebas dan semua ponggawa Majapahit akan tunduk dan mentaati keinginan kalian berdua sebagai wakil kami"
Demikian pesannya sebelum pasukan itu melanjutkan gerakan, dipimpin sendiri oleh pangeran
(Lanjut ke Jilid 30)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
itu.
Wulansari dan Nurseta menghaturkan terima kasih dan mereka berduapun melanjutkan perjalanan memasuki daerah baru Majapahit untuk bertemu dengan Warsiyem, isteri Ki Medang Dandi dan ibu kandung Wulansari.
Tentu saja ibu yang pernah menderita siksaan ketika menjadi tawanan Ki Cucut Kalasekti ini gembira dan terharu bukan main dapat bertemu kembali dengan puterinya, apa lagi bersama Nurseta, calon mantunya yang sudah banyak berjasa ketika mereka berdua berada di dalam goa di dalam jurang akibat perbuatan Ki Cucut Kalasekti. Iapun merasa girang dan puas mendengar bahwa Ki Cucut Kalasekti, musuh besar yang amat jahat itu telah terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam dan besar kemungkinan tewas, bersama Ki Buyut Pranamaya. Ia memuji puteri dan mantunya ketika mendengar bahwa mereka telah menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada Raden Wijaya.
"Ah, betapa bahagia hatiku mendengar itu semua, Wulansari dan Nurseta Ayahmu pernah bercerita bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu bukan saja memilikl khasiat tolak bala, akan tetapi juga dapat dianggap sebagai wahyu keraton. Agaknya sudar menjadi kehendak Sang Hyang Widhi bahwa Gusti Pangeran Raden Wijaya yang akan membangun kembali Singosari dan menjadi seorang raja yang adil dan bijaksana, maka pusaka itu dapat kalian serahkan kepadanya"
"Saya yakin akan hal itu, kanjeng ibu. Buktinya, ketika Sang Prabu Jayakatwang menguasai tombak pusaka itu, dia berhasil menalukkan Singosari. Kini pusaka berada di tangan Gusti Pangeran Raden Wijaya, maka tentu Majapahit yang akan menang"
Kata Wulansari.
"Akan tetapi, anak-anakku, ketika kalian bertemu dengan pasukan Majapahit yang dipimpin gusti pangeran di mana terdapat pula ayahmu, kenapa kalian tidak ikut menggabung dan membantu gerakan pasukan yang hendak menyerbu Kediri itu?"
"Tidak, ibu. Kami memang sudah bersepakat untuk tidak ikut dalam perang dan hal itu sudah kami jelaskan kepada Raden Wijaya. Kami hanya akan menjaga keamanan, saja, memberantas semua penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi terjadi peperangan untuk mengacau kota dan dusun yang tidak terjaga. Dan kanjeng pangeran sudah memberi ijin, bahkan telah memberikan tanda kuasa kepada kami"
Kata Wulansari.
Warsiyem mengangguk-angguk. Tanpa bicarapun ia dapat mengerti akan isi hati puterinya dan mantunya. Ia tahu bahwa puterinya pernah menjadi pengawal pribadi Raja Kediri dan calon mantunya itu bahkan putera seorang pangeran Kediri. Tentu saja mereka merasa rikuh untuk ikut menyerbu Kediri.
"Kalau begitu, kurasa sebaiknya kalau kalian melangsungkan pernikahan sekarang juga. Biarpun secara sederhana, disaksikan oleh para ibu, aku dapat mengatur peresmian pernikahan kalian, Wulansari dan Nurseta"
Wajah Wulansari berubah kemerahan.
"Tidak ibu, Kami tidak akan meresmikan pernikahan kami sekarang"
Nurseta juga mengangguk membenarkan ucapan calon isterinya, karena memang urusan pernikahan itu telah mereka bicarakan sebelumnya.
"Akan tetapi mengapa, anak-anakku? Kalian berdua sudah cukup lama saling mencinta, cukup lama terpisah dan menanti, dan usia kalian juga sudah lebih dari cukup? Menunggu apa lagi?"
"Ibu, hal inipun sudah kami sepakati bersama. Biarpun kami berdua tidak ikut bertempur dalam perang, namun kami ikut berprihatin dan kami sudah mengambil keputusan untuk menikah setelah perang ini selesai dan pangeran sudah berhasil dan menang"
"Kalian memang anak-anak yang tabah dart tahan uji. Semoga perang ini cepat selesai, kalian menikah dan menerima anugerah kedudukan tinggi dari Gusti Pangeran"
"Tidak demikian, ibu. Cita-cita kami, kalau perang sulah selesai dan keadaan negara kembali aman, kami akan mecnikah, kemudian kami akan mengundarkan diri, menjadi petani-petani di pegunungan, hidup bersih, tentram dan damai, jauh dari keramaian dan kekerasan. Kami sudah muak karena sejak kecil bergelimang dengan kekerasan, dengan perkelahian dan permusuhan, ibu"
Warsiyem menarik napas panjang.
"Alangkah akan bahagia dan tenteramnya hidup seperti itu, anak-anakku. Akupun merindukan kehidupan yang penuh damai dan ketenteraman, akan tetapi ayahmu adalah seorang senopati....... mana mungkin....."
"Ayah sudah telalu banyak jasanya terhadap kerajaan, Ibu. Setelah perang selesai, bisa aja ayah dan ibu mengundurkan diri dan hidup tenteram di pegunungan"
Warsiyem diam saja, akan tetapi di dalam batinnya, ia tahu bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi, ia mengenal baik watak suaminya, seorang senopati yang setia kepada kerajaan yang tidak akan mau mundur selama tenaganya masih dibutuhkan.
Nurseta dan Wulansari hanya beberapa hari saja tinggal bersama ibu gadis itu. Mereka lalu berangkat untuk melakukan perondaan, terutama di daerah yang sudah dikuasai pasukan Majapahit, untuk menjaga keamanam Melindungi rakyat dan menentang segala bentuk kejahatan yang timbul akibat perang.
Setelah Prabu Jayakatwang menerima tombak pasaka dari tangan seorang perwiranya yang diutus oleh Ki Cucut Kalasekti untuk menyerahkan pusaka itu ke istana Kediri, hatinya menjadi besar. Sama seekali ia tidak menduga bahwa pusaka itu adalah tombak pusaka yang palsu, karena demikian miripnya pembuatan benda tiruan itu. Maka, Prabu Jayakatwang lalu mengratur barisannya untuk menghajar pasukan Majapahit yang dibantu oleh pasukan Madura dan bergabung dengan pasukan Tartar itu.
Prabu Jayakatwang maklun akan ancaman bahaya besar setelah menerima laporan bahwa pihak musuh telah menguasai daerah utara, dari Tuban sampai mendekati daerah kediri. Cepat diperintahkannya untuk membuat persiapan. Belatentara Kediri dibagi dalam tiga barisan pertahanan yang kuat. Pertahanan di bagian utara dipimpin oleh Mahesa Antaka dan Ki Bowong, dan karena pertahanan ini merupakan pasukan induk, Prabu Jayakatwang sendiri juga ikut memimpin pertahanan utara ini. Pertahanan di bagian timur dipimpin oleh Senopati Segoro Winotan dibantu oleh Senopati Ronggo Janur. Pertahanan di selatan dipimpin oleh Ki Patih Kebo Mundarang dan Senopati Pangelet.
Terjadilah pertempuran hebat di mana-mana. Kekuatan pasukan gabungan dari Majapahit. Madura, dan Tartar itu amat kuatnya. Sehingga di mana-mana balatentara Kediri mengaiami kekalahan dan kehancuran.
Pertahanan di bagian timur yang dipimpin oleh Segoro Winotan, mengalami serbuan hebat dari tentara Majapahit yang dipimpin oleh Ronggo Lawe. Dua orang musuh yang saling membenci itu bertempur di medan laga.
Tak dapat dicegah lagi, bertemulah dua orang senopati yang saling membenci itu di dalam medan yuda. Ronggo Lawe dengan gagahnya menunggang kudanya yang diberi nama Andawesi, sedanykan Segoro Winotan sebagai pimpinan pasukan kerajaan, mengendarai sebuah kereta perang. Namun, begitu keduanya bertemu, keduanya segera berlompatan turun dan kini berdiri saling berhadapan dengan sikap beringas.
"Heh keparat Ronggo Lawe, orang kasar dusun tak tahu aturan. Sudah kuduga, ternyata kau hanyalah antek dari si pemberontak Wijaya. Menyerahlah saja, kau akan aku bawa sebagai tawanan, dari pada harus kupenggal batang lehermu dan kugantung kepalamu di pohon waru menjadi setan penasaran"
Kata Segoro Winotan yang marah teringat akan dirinya yang tertipu oleh Raden Wijaya dan Rongge Lawe ketika dia diutus rajanya menyelidiki Majapahit.
Ronggo Lawe yang kerwatak keras itu menjadi merah mukanya, akan tetapi walaupun suaranya lantang, sikapnya masih tenang, sikap seorang satria yang tidak dikacau oleh amarah.
"Hemm, Segoro Winotan. Sudah jamak kalau ada maling berteriak maling, seperti yang kau lakukan. Kau mengatakan bahwa Gusti Pangeran Raden Wijaya adalah pemberontak. Bercerminlah. Siapa sesungguhnya pemberontak? Kau orang-orang Kediri, bukan kami. Bukankah Kediri yang selalu. diperlakukan dengan baik oleh Singosari, membalas kebaikan dengan kepalsuan, dengan pemberontakan. Kediri yang memberontak terhadap Singosari, sedangkan Gusti Pangeran Raden Wijaya hanyalah pejuang yang hendak menghajar dan membasmi pemberontak Kediri"
"Babo babo si keparat RonggqLawe, sungguh lancang ucapanmu. Sekali lagi, kau tidak mau menyerah?"
"Sebelum pecah dadaku atau putus leherku, Ronggo Lawe tidak mengenal menyerah"
"Kalau begitu, akan pecah dadamu dan putus lehermu"
Segoro Winotan membentak dan menerjang dengan dahsyatnya. Serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Ronggo Lawe yang membalas dengan tak kalah dahsyatnya. Kedua orang senopati ini segera bertanding, keduanya mempergunakan tombak. Melihat pimpinan mereka sudah bertanding, pasukan kedua pihak segera bersorak dan terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Kediri melawan pasukan Majapahit yang dibantu oleh pasukan Mongol.
Seru dan mati-matian pertandingan antara Segoro Winotan dan Ronggo Lawe. Keduanya merupakan senopati yang bertenaga besar dan memiliki pengalaman dalam pertandingan, juga keduanya telah mempelajari aji kedigdayaan. Namun, Ronggo Lawe lebih muda dan juga Ronggo Lawe adalah murid Empu Supamandrangi pertapa di Gunung Bromo. Sepak terjangnya trengginas, dan setiap serangannya membuat tombak di tangannya seperti kilat menyambar, penuh tenaga yang amat kuat dan cepat sekali.
Segoro Winotan susah mengimbangi kecepatan dan kekuatan Ronggo Lawe dan sebelum lewat limapuluh jurus, tubuhnya sudah basah oleh keringat. Apa lagi dia melihat betapa pasukannya mulai terdesak dan terhimpit maka hatinya merasa risau dan hal ini membuat pertahanannya kurang kokoh. Karena kelengahan ini, kaki kiri Ronggo Lawe yang menyambar dalam sebuah tendangan, berhasil mengenai pinggangnya dan Segoro Winotan terhuyung dan hampir roboh. Dia menjadi marah bukan main.
"Aaaaagggghhhh......."
Dengan gerengan seperti seekor beruang marah, Segoro Winotan menubruk dan tombaknya meluncur cepat ke arah perut Ronggo Lawe.
"Terburai ususmul"
Bentaknya menyambung gerengannya.
Ronggo Lawe sudah siap siaga dengan tenang. Ketenangannya membuatnya waspada, sebaliknya dari lawannya yang menjadi lengah, karena amarah yang berkobar. Ketika tombak Segoro Winotan meluncur ke arah perutnya. Ronggo Lawe membalikkan tombaknya, menangkis dengan gagang tombak dari samping sambil mengerahkan tenaganya.
Jodoh Si Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Si Bangau Merah Karya Kho Ping Hoo Pendekar Sadis Karya Kho Ping Hoo