Sejengkal Tanah Percik Darah 28
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 28
"Trang......."
Tombak di tangan Segoro Winotan menyeleweng dan tiba-tiba tombak Ronggo Lawe sudah membalik lagi dan mata tombaknya, tanpa dapat dihindarkan lagi, menusuk dada Segoro Winotan.
"Ceppp......."
Ronggo Lawe sudah mencabut kembuli tombaknya sambil menendang. Tubuh Segoro Winotan terpelanting, darah mengucur dari dadanya. Tombaknya terlepas dan kedua. tangannya mendekap dada yang terluka. Ronggo Lawe tidak memberi kesempatan lagi kepada lawan. Dia sudah mencabut pedangnya dan sekali dia mengayun pedang, leher Segoro Winotan terbabat putus.
Melihat ini, seorang perwira Majapahit lalu menggunakan tombaknya menusuk kepala itu pada lehernya, dan mengangkat kepala itu tinggi-tinggi sambil bersorak. Para perajurit Majapahit yang melihat ini, ikut pula bersorak. Senopati Ronggo Janur, pembantu Segoro Winotan, marah sekali dan dengan keris terhunus dia menyerang Ronggo Lawe. Namun, Ronggo Lawe kembali menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa gebrakan saja, Senopati Ronggo Janur juga terpelanting dan tewas dengan dada robek.
Robohnya para senopati Daha membuat para perajurit Kediri merasa semakin panik. Mereka memang sudah terdesak oleh pasukan gabungan Majapahit dan Mongol, Terutama sekali sepak terjang para perajurit Mongol itu amat menggiriskan. Pasukan dari Mongol itu memang merupakan pasukan yang sudah berpengalaman, dan mereka terkenal buas, Bahkan pasukan Mongol sampai menggegerkan negara-negara di barat karena keberanian dan kebuasan mereka. Dengan badan terlindung pakaian perang, pedang di tangan digerakkan dengan amat cepat dan kuat, dengan kebuasan binatang liar, pasukan Mongol ini menggiriskan hati para perajurit Kediri.
Robohnya Segoro Winotan dan Ronggo Janur membuat para perajurit Kediri menjadi gentar dan akhirnya merekapun mundur meninggalkan banyak korban, bahkan diantara mereka ada yang melarikan diri atau takluk. Celakanya, mereka yang takluk itu kalau berhadapan dengan pasukan Mongol, sama sekali tidak memperoleh ampun. Pasukan Mongol biasa membasmi pihak musuh yang kalah, bahkan membunuhi musuh yang sudah menyerah dan menyerah. Mereka yang kebetulan berhadapan dengan tentara Majapahit, dapat diterima sebagai taklukan dan tidak dibunuh.
Bukan hanya di bagian timur ini saja pasukan Kediri mengalami kekalahan besar, juga di bagian selatan, pertahanan yang dipimpin sendiri oleh Ki Patih Kebo Mundarang dan Senopati Pangelet, mengalami kekalahan. Ketika sorak-sorai pasukan Majapahit menyambut kemenangan di bagian timur itu, di bagian selatan sedang terjadi perang yang juga amat seru dan mati-matian.
Pasukan Majapahit yang menyerbu dari selatan dipimpin oleh Senopati Lembu Sora yang gagah perkasa. Yang dipimpinnya adalah gabungan pasukan Majapahit dan Madura, karena pasukan Mongol hanya menyerbu dan bergabung dengan pasukan yang menyerang dari utara dan timur saja. Namun, pasukan gabungan pimpinan Lembu Sora ini cukup tangguh, karena di sampingnya terdapat senopati-senopati yang gagah perkasa seperti Pamandana, Wirota Wiragati, dan Mahesa Wagal.
Ki Patih Kebo Mundarang tadinya mengadakan perlawanan mati-matian dan dia sendiri mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Namun, dia mendengar berita kekalahan pasukan Kediri di bagian timur, bakkan banyak perajurit Kediri yang melarikan diri ke selatan. Hal ini membuat dia merasa panik, juga anak buahnya menjadi panik. Sebaliknya. ketika para perajurit Majapahit dan Madura mendengar akan kemenangan kawan-kawan mereka di bagian timur, mereka bersorak sorai dan semangat merekapun berkobar-kobar. Maka, tak tertahankan lagi oleh pasukan Kediri. Mereka terdesak mundur dan akhirnya Ki Patih Kebo Mundarang tidak lagi dapat menguasai anak buahnya yang kacau balau. Bahkan banyak pula yang sudah melarikan dari gelanggang.
Ternyata Ki Patih Kebo Mundarang, patih yang dipercaya oleh Sang Prabu Jayakatwang itu, bukanlah seorang senopati yang berjiwa pahlawan. Ketika dia melihat betapa Senopati Pangelet roboh tewas, diapun segera melarikan diri bersama pasukan pengawalnya yang terdiri dari belasan orang saja. Dia membiarkan sisa pasukannva melakukan perlawanan dan diam-diam diapun melarikan diri tanpa pamit kepada anak buahnya.
Melihat ini, Senopati Lembu Sora merasa penasaran dan segera melakukan pengejaran dengan membawa dua puluh orang pasukan. Baginya, kemenangan pertempuran tanpa dapat menawan pimpinan pasukan lawan, baik mati atau hidup. tidaklah sempurna. Dia barus dapat membawa kepala Ki Patih Kebo Mundarang sebagai tanda kemenangan pasukan yang dipimpinnya. Maka pengejaranpun dilakukan dengan cepat.
Ki Patih Kebo Mundarang berhasil melarikan diri ke sebuah dusun, dan bersembunyi di rumah Ki Lurah Trini Panti. Ki Lurah tentu saja menyambut orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi darinya itu dengan segala kehormatan. Di dapur, isterinya sibuk mempersiapkan masakan, ayam dan domba disembelih seketika dan rombongan Ki Patih Kebo Mundarang dijamu dengan makanan yang royal.
Akan tetapi, setelah mereka selesai makan dan matahari mulai condong ke barat, tiba-tiba terdengar suara ribut ribur di luar rumah. Kiranya, Senopati Lembu Sora dan para pengikutnya telah tiba di rumah Ki Lurah Trini Panti dan para pengawal Ki Patih Kebo Mundaran tidak melakukan perlawanan mati-matian. Namun, belasan orang yang sudah kelelahan dan kehilangan semangat karena kalah perang itu, dengan mudah dihabisi oleh dua puluh orang lebih pasukan Lembu Sora.
Ki Patih Mundarang sendiri yang mengintai dari dalam rumah, dengan muka pucat dan tubuh menggigil lalu melarikan diri melalui pintu belakang, tidak memperdulikan lagi kepada para pengawalnya yang sedang mati-matian melakukan perlawanan.
Dia di kebun rumah Ki Lurah Trini Panti. Hatinya lega melihat bahwa kebun itu sunyi dan tidak ada seorangpun perajurit Majapahit yang menghadangnya. Dia berlari terus. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kebun dan tiba di bawah rumpun bambu, dia dikejutkan oleh seorang yang telah berdiri menghadang di depannya, Lembu Sora!
Gemetar kedua kaki Ki Patih Kebo Mundarang ketika dia melihat senopati yang gagah perkasa itu.
"Hahaha, Ki Patih Kebo Mundarang, hendak melarikan diri ke mana? Pengecut, hayo hadapi aku Lembu Sora seperti seorang perajurit sejati, bukan seperti anjing yang melarikan diri sambil mengepit ekornya. Hahaha"
Wajah Ki Patih Kebo Mundarang sebeetar pucat sebentar merah. Dia merasa gentar terhadap senopati yang sudag diketahuinya amat digdaya ini, akan tetapi diapun merasa amat malu. Dia bukan seorang yang lemah. Sama sekali tidak. Belum tentu dia kalah oleh Lembu Sora. Akan tetapi, semangatnya bertempur sudah lenyap, dan dia yang jauh lebih tua dari Lembu Sora, merasa putus asa.
"Lembu Sora, biarkan aku pergi. Pasukanku sudah kalah, apakah kau masih belum puas? Ingat, kita pernah menjadi sahabat ketika kau sebagai pengikut Raden Wijaya dan tinggal di Kediri"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Kita adalah dua orang perajurit yang saling bermusuhan, kita berdiri di sini sebagai musuh dan lawan. Tidak perlu membicarakan masa lalu. Kau adalah wakil Kediri, sedangkan aku adalah prajurit Majapahit. Hayo kita selesaikan urusan kita sebagai laki-laki jantan yang berjiwa satria"
Ki Patih Kebo Mundarang tetap tidak bersemangat.
"Lembu Sora, sekali lagi aku minta. Kasihanilah aku yang sudah tua. Aku tidak ingin berkelahi lagi, aku sudah mengaku kalah"
"Keparat pengecut. Apa kau ingin mati konyol begitu saja, dan ingin aku memanggil seorang perajuritku untuk membunuhmu?"
Bangkitiah kemarahan Ki Patih Kebo Mundarang. Biarpun dia merasa gentar, kalau dia tersudut dan tidak melihat jalan keluar, dia menjadi marah dan nekat. Dia kini membusungkan dadanya.
"Keparat kau Lembu Sora. Aku sudah merendahkan diri dan minta belas kasihan, kau bahkan menghinaku. Hemm. Kau kira aku tidak akan sanggup menandingimu? Keparat kau"
Dan tiba-tiba saja Ki Patih Kebo Mundarang sudah mencabut kerisnya dan menyerang dengan tusukan ganas kearah dada Lembu Sora. Namun, Senopati Lembu Sora, bekas senopati Singosari yang kini menjadi senopati Majapahit itu sudah waspada sejak tadi. Dia mengenal kelicikan Ki Patih Kebo Mundarang, maka begitu lawan bergerak menyerang, dia sudah meloncat ke belakang sambil mencabut kerisnya.
"Nah, demikian baru bagus, Ki Patih Kebo Mundarang. Aku sengaja menghinamu agar bangkit kejantananmu. Kita adalah perajurit, maka mati di ujung keris merupakan mati yang terhormat, matinya seekor harimau jantan, bukan matinya seekor domba yang mengembik-embik minta belas kasihan"
"Babo babo, rasakan ampuhnya pusakaku"
Bentak Ki Kebo Mundarang lagi dan kini dia menyerang bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan kuat.
Lembu Sora menggerakkan kerisnya menangkis dan terjadilah serang menyerang yang seru dan mati-matian.
Ki Patih Kebo Mundarang memang bukan orang yang lemah. Bahkan dibandingkan Lembu Sora, dia memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal bertempur. Akan tetapi, dia kalah tenaga, dan terutama sekali dalam hal semangat. Apa lagi dia sedang putus asa melihat kehancuran pasukan yang dipimpinnya, bahkan melihat kehancuran Kediri sudah di depan mata. Inilah yang membuat tenaganya makin berkurang dan gerakannya kadang-kadang kacau. Mereka saling tusuk, saling elak atau tangkis. Setiap kali kedua batang keris itu bertemu dengan hebatnya tubuh Ki Patih Kebo Mundarang terhayung, tanda bahwa dia kalah tenaga.
"Mampus kau"
Bentaknya ketika kerisnya meluncur ke arah leher Lembu Sora.
Senopati Majapahit ini menggerakkan kerisnya dari bawah ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tranggg...."
Pertemuan antara dua batang keris itu sekali ini teramat kuatnya dan keris patih itu terlepas dari tangan, jatuh ke atas tanah. Sebuah tendangan kaki Lembu Sora mengenai lututnya dan patih itupun terpelanting.
"Hemm, Ki Patih Kebo Mundarang. Kau belum terluka parah. Ambillah kerismu dan mari kita lanjutkan pertandingan ini"
Kata Lembu Sora yang tidak suka menyerang lawan yang sudah tak berdaya.
Ki Patih Kebo Mundarang memandang kerisnya yang jatuhnya tepat di depan kakinya, tinggal meraih saja. Akan tetapi, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, akhirnya dia yang akan roboh dan tewas menjadi korban keris di tangan lawannya yang amat perkasa itu. Dia sudah merasa lelah dan lemah lahir batin, sedangkan Lembu Sora masih nampak demikian gagah dan penuh semangat. Teringatlah dia betapa ketika masih tinggal di Kediri, Lembu Sora pernah mengantarkan Raden Wijaya yang berkunjung ke rumahnya dan ketika Lembu Sora berjumpa dengan puterinya, Mayawati, sepasang mata senopati ini bercahaya, wajahnya berseri. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, diapun tabu bahwa seperti para pria lain, Lembu Sora juga terpesona melihat kecantikan puterinya, Ingatan ini mendatangkan akal baginya.
"Lembu Sora, anak mas Lembu Sora. kau ampunkanlah aku, bebaskanlah aku dan jika tak akan melupakan budi kebaikan kau selamanya. Aku akan menyerahkan puteriku, Si Mayawati yang denok ayu, kepadamu. Nikahilah ia Lembu Sora, akan tetapi bebaskan aku. Bukankah kau suka kepada puteriku itu? Ingat, ia seorang perawan yang denok ayu, tiada bandingannya di seluruh Kediri......"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Tutup mulutmu. Tidak malukah kau menawarkan puteri sendiri seperti barang dagangan, hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tiada berharga? Kau hendak menukar nyawa dengan kehormatan keluargamu? Betapa rendah dan hinanya"
Melihat sikap ini, tahulah Ki Patih Kebo Mundarang bahwa segala bujuk rayunya takkan termakan oleh Lembu Sora. Habislah harapannya dan timbul kembali kelicikannya dalam usahanya menyelamatkan diri. Tiba-tiba sekali dia menyambar keris di depan kakinya dan tanpa peringatan lebih dahulu. Diapapun meloncat dan menubruk, menyerang perut Lembu Sora dengan tusukan kerisnya. Gerakan ini Tiba-tiba datangnya dan cepat sekali, gerakan orang yang sudah nekat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah berpengalaman pula, dan sejak tadipun dia sudah bersikap waspada karena dia sudah mengenal orang macam apa adanya lawannya itu.
Maka, begitu lawan menubruk dengan serangan kerisnya, dia sudah cepat mengelak dengan menggeser kaki ke samping, kemudian dari samping, keris di tangannya menghunjam, tepat memasuki dada lawan dari arah kiri.
Ki Patih Kebo Mundarang terpekik, terbelalak, kerisnya terlepas, kemudian ketika Lembu Sora mencabut kerisnya, tubuhnya terkulai lemas dan tewaslah patih Kediri itu.
Kalau pertahanan di timur dan selatan mengalami kehancuran, di utarapun pasukan Kediri mengalami nasib yang tidak jauh beda. Induk pasukan Kediri dikerahkan untuk membendung serbuan lawan yang datang dari utara dan balatentara Kediri yang berjaga di utara ini paling besar dan paling kuat, merupakan induk pasukan. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri maju memimpin pasukannya.
Akan tetapi, balatentara Kediri di bagian utara ini bertemu dengan pasukan yang dipimpin Raden Wijaya, yaitu orang-orang Majapahit yang bergabung dengan pasukan Madura, yang dipimpin oleh Arya Wiraraja atau Banyak Wide Bupati Sumenep, bahkan bergabung dengan pasukan induk dari balatentara Mongol yang amat kuat.
Perang campuh yang hebat terjadi di daerah utara ini, di sekitar pantai dan muara Sungai Brantas sampai ke Canggu. Diantara anak buah pasukan Mongol terdapat pula Lie Hok Yan. Pemuda ini memang baru saja menjadi perwira di dalam pasukan Mongol, berkat bantuan suhengnya, yaitu Kau Seng. Niatnya memasuki tentara hanya untuk meluaskan pengalaman, apa lagi ketika mendengar bahwa pasukan itu akan dikirim jauh ke negara lain di seberang lautan selatan. Dia belum berpangalaman dalam pertempuran besar dalam perang. Baru sekali ini dia mengalami pertempuran dan pemuda ini harus mengakui kehebatan para perajurit Mongol. Mereka itu adalah para perajurit yang berpengalaman, penuh keberanian dan di dalam perang, mereka itu sungguh buas dan ganas. Akan tetapi, segera Hok Yan merasa tak senang dan harus seringkali mengerutkan alisnya. menyaksikan kekejaman orang-orang Mongol itu Meraka itu tidak merasa puas kalau melihat musuh roboh sebelum membunuhnya dengan kejam.
Kemudian dia melihat kekejaman yang lebih mengerikan lagi, yaitu setiap kali pasukan Mongol mengalahkan musuh dan memasuki sebuah dusun, maka terjadilah kekejaman yang tiada taranya. Mereka itu membunuhi setiap orang dalam dusun itu, tua muda laki perempuan, setelah lebih dahulu memperkosa wanita-wanita mudanya. merampoki barang-barangnya. Semua ini mereka lakukan secara kejam seperti binatang buas. Tahulah dia mengapa Bangsa Mongol dapat mengalahkan seluruh daratan Cina, bahkan sampai berhasil memperluas kekuasaan jauh ke barat.
Kiranya semua hasil baik itu bukan hanya berdasarkan siasat perang yang ampuh, melainkan terutama sekali karena semangat mereka yang bernyala-nyala, kekejaman yang haus darah, dan ketrampilan mereka, membuat mereka itu masing-masing merupakan iblis berujud manusia yang amat mengerikan. Dia sendiri merasa muak dan tidak mampu berbuat apa-apa, karena biarpun dia seorang perwira, namun hanya perwira rendah saja. Kekuasaannya tidak besar. Apa lagi dia seorang Han, bukan orang Mongol sehingga kalau sampai dia menyinggung perasaan orang Monggol, seorang perajuri biasapun kalau dia seorang Mongol tentu akan berani melawannya.
Selagi Sang Prabu Jayakatwang dan pasukannya melakukan perlawanan mati-matian di bagian utara, di luar kota raja Kediri, di dalam istana terjadi hal yang hebat pula. Semua senopati Kediri diberangkatkan untuk menyambut musuh, maka kota raja kosong dan hanya dijaga oleh puluhan orang perajurit pengawal saja.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Mahapati, yaitu Jaka Pati murid Pranamaya yang berhasil menjadi pendeta di Kerajaan Kediri. Sebagai seorang pendeta aliran penyembah Syiwa, Resi Mahapati memperoleh kepercayaan dari Sang Prabu Jayakatwang, dan sedikit demi sedikit dia mulai memupuk kekuasaan di Kediri. Ketika melihat betapa Kediri terancam bahaya, dia sama sekali tidak ikut berperang. Hal ini mudah saja baginya karena sebagai seorang pendeta, tentu saja bukan kewajibannya untuk maju berperang seperti perajurit. Diam-diam dia memperhatikan perkembangan perang itu dan mengatur siasat.
Ketika dia mendengar bahwa pertahan di timur sudah jebol, juga di selatan pasukan Kediri mengalami kekalahan besar, Resi Mahapati cepat mengumpulkan para pendeta kerajaan. Ada tiga belas orang kepala pendeta berbagai aliran di Kediri, dan Resi Mahapati yang telah berhasil menarik kepercayaan Prabu Jayakatwang, merupakan seorang diantara para kepala yang berkuasa.
"Sudah jelas bahwa Kediri akan kalah. Musuh akan menyerbu ke sini, dan kalau kita tidak cepat mengambil tindakan, tentu kita semua akan dibasmi musuh, kita semua akan tewas"
Katanya setelah mereka semua berkumpul.
"Memang kita harus mengambil tindakan"
Kata seorang diantara mereka. Semua orang menengok dan dia adalah Resi Mahaprana, seorang pendeta keturunan India yang tubuhnya tinggi dan kulitnya hitam. Sebetulnya. dia adalah pendeta tertua. Juga paling ahli dalam soal keagamaan sehingga para pendeta yang lain menganggap dia sebagai guru dalam soal keagamaan. Selain itu, juga dia yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu dikenal sebagai seorang yang digdaya.
"Kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus cepat keluar dari sini dan membantu pasukan yang di pimpin Sribaginda untuk menghalau musuh"
Resi Mahapati tersenyum memandang kepada pendeta tua itu, Dia tahu bahwa satu-satunya orang yang akan menentangnya dengan keras tentu pendeta ini karena diantara mereka memang sudah ada perasaan bersaing dan tidak suka, saling bermusuhan secara diam-diam.
"Hemm, Sang Bhagawan Mahaprana. Kita adalah pendeta, bagaimana kita harus bertempur seperti perajurit? Pula, apa artinya bantuan kita dengan anak buah kita yang hanya ratusan orang jumlahnya, dan rata-rata mereka hanya pandai berdoa saja akan tetapi tidak pernah latihan bertempur? Tidak, kurasa tidak benar sama sekali kalau kita keluar membantu pasukan Kediri untuk melawan musuh"
Para pendeta yang lain menyambut dengan bisik-bisik, dan jelas bahwa hanya ada tiga orang yang menyetujui keinginan Bhagawan Mahaprana, sedangkan yang lain menyetujui pendapat Resi Mahapati. Mereka yang berpihak kepada Bhagawan Mahaprana adalah terdorong oleh kesetiaan mereka terhadap Sribaginda. Akan tetapi sebagian besar dari mereka memang tidak pernah bertempur, maka membayangkan pertempuran saling bunuh itu saja sudah membuat mereka merasa ngeri.
Mendengar ucapan Resi Mahapati itu, Sang Bhagawan Mahaprana yang memang tidak suka kepada Resi Mahapati yang amat dicurigainya sebagai seorang yang tidak patut menjadi pemuka agama, tersenyum pahit.
"Resi Mahapati, kalau membantu pasukan Kediri menghalau musuh kau katakan tidak benar, lalu bagaimana yang benar? Apa yang harus kita lakukan menurut pendapatmu?"
Resi Mahapati tersenyum.
"Kita adalah orang-orang bijaksana yang suka akan suasana damai, bukan perang. Kita harus pula cerdik dan melihat suasana yang menguntungkan bagi agama kita. Jelas bahwa Kediri akan jatuh. Kalau kita mati-matian membela Kediri, itu berarti kita akan mati konyol. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita membuat persiapan menyambut Raden Wijaya yang kuyakin pasti ukan memperoleh kemenangan"
Wajah Bhagawan Mahaprana berubah kemerahan, namun dia masih menahan kemarahannya ketika bertanya.
"Persiapan yang bagaimana kau maksudkan, Resi Mahapati?"
"Kita harus menguasai istana Kediri dan mengatur agar istana dibuka dan menyerah, tidak ada perlawanan apa bila Raden Wijaya memasukinya, dan kita sambut Raden Wijaya sebagai seorang raja baru yang menjadi junjungan kita dan....."
"Cukup."
Sang Bhagawan Mahaprana membentak dengan suara lantang penuh kemarahan. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Resi Mahapati dengan mata melotot, tongkat di tangan kirinya gemetar, lalu telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka Resi Mahapati.
"Mahapati, kau seorang pengkhianat jahanam. Kau ular kepala dua yang harus dibasmi dan dilenyapkan dari permukaan bumi""
Resi Mahapati tertawa.
"Haha, Bhagawan Mahaprana, kau hanyalah seorang pendeta tua yang lemah dan mau mati. Kau dapat berbuat apa terhadap diriku? Aku bertindak demi keselamatan semua anggauta, agar kita dapat beribadat dengan baik dan tenteram, bukan melibatkan diri dengan pertempuran dan pertumpahan darah"
"Pengkhianat. Pemberontak. Saudara-saudara para pendeta, siapa diantara kau yang setuju dengan aku untuk membasmi pengkhianat Mahapati ini?"
Bhagawan Mahaprana menengok ke arah para pendeta yang hadir di situ. Para pendeta itu saling pandang dengan bingung, dan akbirnya hanya ada tiga orang pendeta tua yang bangkit dan menghampiri Sang Bhagawan Mahaprana, dan berdiri di belakangnya. Para pendeta lain tetap duduk dan menundukkan muka karena mereka lebih condong menyetujui Resi Mahapati yang lebih menguntungkan.
"Resi Mahapati, kami berempat harus menangkapmu karena jelas bahwa kau seorang pengkhianat dan pemberontak"
Kata Bhagawan Mahaprana sambil melangkah maju.
Akan tetapi Resi Mahapati tersenyum dan dia bahkan melangkah maju pula.
"Bhagawan Mahaprana, aku memberi jalan kehidupan yang baik kau malah memilih jalan kematian yang gelap. Nah kalau aku tidak mau ditangkap, kalian berempat mau apa?"
Dia menantang akan tetapi diam-diam dia sudah siap siaga. Resi Mahapati adalah murid tersayang dari Ki Buyut Pranamaya, tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hal itu tidak begitu diketahui oleh para pendeta lainnya, karena memang Resi Mahapati pandai menyembunyikan kedigdayaannya, hanya menonjolkan pengetahuan agamanya.
"Resi Mahapati, karena kau jelas berkhianat dan memberontak, kami atas nama Sribaginda, menangkapmu. Kalau kau tidak mau menyerah, terpaksa kami menggunakan kekerasan"
Kata Sang Bhagawan Mahaprana yang menoleh kepada tiga orang rekannya.
"Mari kita tangkap dia"
Tiga orang pendeta itu melangkah maju dan mereka menjulurkan tangan untuk menangkap Resi Mahapati yang mereka anggap sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak itu. Melihat ini, Resi Mahapati diam-diam mengerahkan tenaga saktinya lalu. dia bergerak dengan teriakan lantang melengking.
"Haayyyytttt.........."
Terdengar pekik tiga kali dan tiga orang pendeta tua itupun roboh terpelanting dan tewas seketika dengan mulut mengeluarkan darah dan mata terbelalak. Mereka telah menjadi korban pukulan ampuh, yaitu aji pukulan Margaparastra. Sekali saja terkena pukulan ini pada dada mereka, tiga orang pendeta itu roboh dan tewas. Dan pukulan bertubi itu datang amat cepatnya.
"Kau........ kau berani membunuh mereka........?"
Sang Bhagawan Mahaprana terbelalak, membentak marah lalu tongkatnya bergerak menyerang Mahapati dengan dahsyat. Namun, Resi Mahapati memang sudah siap siaga. Dia mengelak dengan loncatan ke samping. Ketika tongkat itu menyambar lagi, dia menangkap ujung tongkat itu, kakinya melayang dan tepat mengenai lengan kanan lawan. Bhagawan Mahaprana terkejut, terpaksa melepaskan tongkatnya dan kini tongkat itu berbalik menyambar ke arah kepalanya Sang Bhagawan bukan seorang lemah, namun dibandingkan Resi Mahapati, dia masih kalah jauh. Dia pernah mempelajari aji kesaktian, akan tetapi tidak pernah melatih diri karena dia tidak membutuhkan kepandaian itu, maka, diapun termasuk lemah kalau dibandingkan Resi Mahapati yang selain menguasai aji-aji yang sakti juga tekun berlatih diri.
Menghadapi ancaman tongkatnya sendiri, Bhagawan Mahaprana mengerahkan tenaganya dan menangkis karena tidak mungkin mengelak dari sambaran tongkat yang amat cepat itu.
"Krakkk"
Tongkat itu patah-patah ketika bertemu lengan Sang Bhagawan, akan tetapi pendeta tua itupun terhuyung ke belakang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Resi Mahapati. Diapun menubruk ke depan, tangannya bergerak menyambar dengan pukulan Aji Margaparastra. Bhagawan Mahaprana mencoba untuk melindungi diri dengan menangkis, namun ketika lengannya bertemu dengan tangan Resi Mahapati, dia menyeringai dan tangan lawan itu tidak dapat ditahannya, terus menyambar dan menampar kepalanya.
"Prokk"
Tubuh Sang Bhagawan Mahaprana terjengkang dan diapun roboh tewas seketika karena kepalanya retak-retak terkena hantaman tangan ampuh Resi Mahapati.
Para pendeta lainnya menjadi panik melihat pembunuhan atas diri empat orang rekan mereka itu. Akan tetapi dengan sikap tenang Resi Mahapati berkata.
"Harap kau tidak menjadi bingung. Mereka memang sepantasnya dilenyapkan. Kau melihat sendiri bahwa merekalah yang menyerang lebih dulu tadi, dan kalau mereka tidak dilenyapkan, maka tentu kita semua kelak menjadi mati konyol di tangan Raden Wijaya dan para pengikutnya. Sekarang, sebaiknya kalau dengan diam-diam kita menyingkirkan mayat-mayat ini, kemudian kalian ikut dengan aku untuk menguasai istana sehingga kelak kita dapat menyambut penguasa baru dengan baik dan tentu kita akan membuat jasa besar dan menerima anugerah"
Karena istana memang sudah kosong, hanya para puteri, para dayang, selir dan sedikit pengawal saja yang tinggal, dengan mudah Resi Mahapati menguasainya, dibantu oleh para pendeta lain dan juga anak buah para penganut agama penyembah Syiwa.
Perang yang dilakukan di sebelah utara kota raja, yaitu perlawanan dari pasukan induk yang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Jayakatwang dan para senopatinya yang pilihan, merupakan usaha mati-matian dari raja itu untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, kekuatan lawan terlampau besar. Orang-orang Majapahit merupakan pejuang-pejuang yang hendak membangun kembali Singosari yang telah dikhianati Kediri, dalam hati mereka terkandung keinginan membalas kekalahan mereka, maka merekapun menganggap perang itu sebagai perjuangan menuntut hak mereka dan merekapun bertempur dengan penuh semangat.
Orang-orang Madura memang pemberani dan gagah perkasa dalam pertempuran, terbiasa dengan kehidupan yang keras baik di daratan yang tidak subur atau di laut yang setiap saat diancam gelombang dan badai. Adapun pasukan Mongol memang merupakan orang orang ahli bertempur. Sejak kecil mereka sudah bertempur, maka tentu saja mereka itu liar, buas dan ganas, menggiriskan hati musuh.
Betapapun Prabu Jayakatwang mencoba untuk membendung penyerbuan musuh, tetap saja dia kewalahan. Apa lagi setelah benteng di timur dan di selatan jebol, Banyak pula yang ditawan, menyerah dan sisanya melarikan diri cerai berai. Prabu Jayakatwang sendiri akhirnya ditawan oleh panglima pasukan Mongol, yaitu Ji Kau Mosu. Raja ini ditawan dan dipenjarakan di benteng pertahanan pasukan Mongol, yaitu di muara Sungai Brantas yang disebut Ujung Galuh. Dia dijaga ketat akan tetapi diperlakukan dengan baik karena oleh para pimpinan pasukan Mongol, Prabu Jayakatwang, hendak diserahkan kepada sekutu yang pertama kali menghubungi mereka, yaitu Arya Wiraraja Bupati Sumenep, yang menjanjikan banyak kepada mereka kalau Kediri sudah jatuh.
Antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja? sudah terdapat kesepakatan yang mereka direncanakan jauh hari sebelum perang dimulai dan sebelum mereka bergabung dengan pasukan Mongol. Maka, sesuai dengan rencana itu, begitu pertahanan Kediri jebol, Raden Wijaya yang mendahului semua pibak, rnembawa pasukan pilihan dan dibantu para pengikutnya yang setia cepat memasuki kota raja Kediri. Menurut rencana mereka berdua, istana Kerajaan Kediri harus lebih dulu mereka kuasai untuk mencegah kerusakan yang tentu akan terjadi kalau pasukan Mongol lebih dulu memasukinya.
Dan harapan Raden Wijaya ternyata terpenuhl dengan amat mudahnya. Tanpa disangka sebelumnya, ketika dia dan pasukannya hendak menguasai istana Kerajaan Kediri, muncuilah Sang Resi Mahapati dan para pengikutnya, menyambut dengan hormat dan mempersilakan pangeran itu menguasai istana dengan tenang dan damai, tanpa perlawanan apapun karena sebelumnya, istana itu memang sudah lebih dulu "diamankan"
Oleh Resi Mahapati dan kawan-kawannya.
Tentu saja Raden Wijaya menjadi girang sekali, menganggap bahwa Resi Mahapati telah berjasa besar dan ini yang menjadi sebab mengapa kelak setelah Raden Wijaya menjadi Raja di Majapahit, dia menerima Resi Mahapati menjadi seorang diantara para ponggawanya, mengangkatnya sebagai pendeta kepala atau pendeta istana bagi agama penyembah Syiwa di Majapahit.
Dan sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, istana Kediri dapat diselamatkan dari perampokan yang tentu dilakukan pasukan Mongol yang buas dan ganas itu, dan para puterinya juga dapat diselamatkan dari penghinaan dan perkosaan. Namun, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja terpaksa harus menutup mata dan membiarkan pasukan Mongol melampiaskan nafsu angkara murka mereka yang mabuk kemenangan itu atas diri para penduduk kota raja Kediri.
Mereka itu seperti biasa yang mereka lakukan kalau pasukan memperoleh kemenangan di manapun, berpesta pora dengan kekejaman yang mengerikan. Merampok, membunuh, memperkosa.
Melihat semua akibat ini, sakit rasa hati Pangeran Raden Wijaya dan cepat dia mengadakan pertemuan rahasia dengan Arya Wiraraja. Bupati Sumenep ini mendapatkan sang pangeran duduk termangu dengan wajah duka, dan tentu saja Arya Wiraraja terkejut dan terheran. Mereka baru caja mendapatkan kemenangan yang gemilang, akan tetapi kenapa Raden Wijaya tidak merasa gembira bahkan berduka?
Setelah mempersilakan Bupati Sumenep itu duduk, Raden Wijaya lalu mengeluh.
"Aduh, Paman Arya Wiraraja, apa yang harus kita lakukan sekarang? Lihat saja sepak terjang para perajurit Tartar itu. Mereka seperti bukan manusia lagi, begitu buas, ganas dan kejamnya. Melihat mereka mengganas terhadap para penduduk Kediri, ahh....."
Arya Wiraraja meraba-raba kumisnya.
"Pangeran, sudah jamak kalau mereka yang kalah, menderita dan menjadi budak dari mereka yang menang. Ketika orang-orang Kediri mengalahkan Singosari, bukankah terjadi pula jarah-rayah yang tidak jauh bedanya terhadap orang-orang di Singosari? Anggap saja bahwa hal itu adalah hukum karma"
Hiburan ini tidak meredakan kedukaan hatl Raden Wijaya.
"Akan tetapi, paman. Melihat orang-orang Kediri yang juga sebangsa dengan kita, bahkan ada pertalian kekeluargaan antara Singosari dan Kediri. kini disiksa dan dihina oleh orang-orang Tartar, bagaimana hati ini tidak menjadi sakit?"
"Masih baik bahwa rencana kita berjalan dengan baik, Pangeran, Istana Kediri seisinya darat kita selamitkan dari tangan mereka"
"Akan tetapi, bagimana kalau mereka menuntut janji paman kepada mereka? Bukankah paman berjanji akan menyerahkan puteri-puteri Kediri untuk mereka bawa dan mereka persembahkan kepada raja mereka? Dan kalau dibiarkan mereka itu tinggal lebih lama di sini, tentu rakyat akan mergalami penderitaan hebat. Mereka itu puluhan ribu orang banyaknya, kesemuanya laki-laki yang buas dan ganas, penuh nafsu. Mereka membutuhkan wanita. Ah, paman, ngeri saya membayangkan apa akan jadinya kalau mereka itu menuntut janji, menuntut agar para puteri Kediri diserahkan kepada mereka, dan kalau sampai mereka mengganas dan menculiki para wanita dari rakyat kita"
Arya Wiraraja menarik napas panjang. Dia adalah seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia, sudah banyak mengalami psristiwa dalam kehidupan ini. Dia tahu pula apa akibat perang. Nyawa rakyat menjadi murah. Wanita diperhina dan harta benda dirampok. Apa yang ditakutkan Pangeran itu memang dapat terjadi.
"Pangeran, dalam keadaan seperti ini, mengapa pangeran melupakan para pembantu yang setia? Hamba usulkan agar pangeran memanggil semua pembantu pangeran dan kita menjadakan rapat kilat mengatur siasat bagaimana baiknya menghadapi pasukan Tartar itu"
Berseri wajah Raden Wijaya mendengar ini. Dia seperti baru teringat. Tentu saja para pembantunya yang gagah perkasa itu akan dapat menemukan akal untuk mengatasi hal ini. Makin banyak kepala makin banyak pula akal yang dapat dihasilkan. Cepat Raden Wijaya memanggil semua pembantunya dan tak lama kemudian, di ruangan yang paling dalam dari istana Kediri, mereka telah mengadakan rapat. Raden Wijaya dan Arya Wiraraja yang memimpin, dihadap oleh para senopati yang setia.
Setelah Arya Wiraraja menceritakan kepada para senopati itu apa yang membuat Sang Pangeran gelisah dan berduka, mereka segera tenggelam ke dalam pemikiran yang mendalam.
Ken Sora dan beberapa orang senopati lain, sebagai orang-orang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan dan kejujuran, tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi janji Arya Wiraraja kepada para pimpinan pasukan Mongol itu.
"Paman Arya Wiraraja"
Kata Ken Sora dengan sikap tenang.
"paman telah berjanji bahwa kalau sampai mendapat kemenangan, maka kita akan menyerahkan para puteri Kediri untuk dihadiahkan kepada raja orang-orang Mongol dan membiarkan mereka membawa puteri-puteri itu ke negara mereka. Bagaimana mungkin kita melanggar janji?"
"Akan tetapi, bukan hanya nasib para puteri itu yang menggelisahkan hatiku"
Kata Raden Wijaya.
"Bagaimanapun juga, mereka tentu akan diperlakukan dengan hormat sebagai hadiah dari kami kepada raja mereka, dan di sanapun mereka tentu akan diperisteri oleh raja dan orang-orang berkedudukan tinggi sehingga nasib mereka terjamin. Yang merisaukan hati kami sesungguhnya adalah sepak terjang pasukan Mongol itu. Mereka begitu buas dan ganas, kalau dibiarkan terlalu lama di sini tentu akan terjadi kerusakan besar dan kesengsaraan yang berlarut-larut pada rakyat jelata. Mereka begitu mudah membunuh, merampok dan menculik wanita. Bagaimana sebaiknya kita harus bertindak terhadap semua itu?"
Para senopati itu terdiam. Merekapun sudah tahu akan hal itu dan mereka tidak mampu berbuat apapun. Bukankah pasukan Mongol itu telah berjasa besar? Dan bukankah yang diganggu mereka adalah orang-orang Kediri, yaitu pihak musuh yang kalah?
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba-tiba Ronggo Lawe bangkit berdiri. Senopati muda ini terkenal gagah perkasa, berani, dan amat keras hati. Diapun sudah merasa tidak senang dengan sepak terjang orang-orang Mongol itu, maka kini, mendengar akan isi hati junjungannya, diapun mendapat kesempatan untuk menyatakan ketidak senangan hatinya itu.
"Harap paduka jangan khawatir dan jangan bersikap lemah, Gusti Pangeran"
Suaranya Lantang dan semua mendengarkan penuh perhatian "Memang kalau dibiarkan, bisa rusak Kediri oleh pasukan setan itu. Bahkan siapa tahu mereka belum puas dan akan mengalahkan paduka pula. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan, kita harus bertindak. Kita sergap dan kita hancurkan mereka"
"Hemm, mudah saja kau bicara"
Arya Wiraraja mencela.
"Mereka itu merupakan kekuatan yang tangguh, tidak mudah dikalahkan begitu saja. Apa lagi, kau semua sudah melihat sendiri betapa para perwira mereka pandai memainkan senjata pedang sehingga mereka akan merupakan lawan yang sukar dikalahkan"
"Hamba tidak takut. Pangeran, kalau tidak ada senopati yang berani menentang mereka, biarlah hamba vang maju dan hamba akan basmi mereka itu"
"Hemm, kakang Ronggo Lawe, bagaimana caranya kau akan membasmi orang-orang Mongol itu?"
Tanya Raden Wijaya sambil menahan senyum, kagum melihat keberanian senopati itu, akan tetapi juga tidak mau sembarangan saja menuruti kemauannya, karena senopati ini hanya mengandalkan kekerasan dan keberanian saja sehingga kadang kurang perhitungan.
"Hamba akan memimpin pasukan dan menyeibu benteng mereka, membunuh mereka semua"
Kata Ronggo Lawe.
"Dan kau akan mati konyol"
Kata Arya Wiraraja mencela. Puteranya itu terlalu berani akan tetapi kurang perhitungan.
"Apa artinya mati dalam perjuangan? Aku rela mati, aku tidak takut mati untuk membasmi musuh"
Kata Ronggo Lawe dengan marah.
Raden Wijaya mengangkat tangan dan Ronggo Lawe menunduk, duduk kembali.
"Kakang Ronggo Lawe, kita semua memang tidak takut mati, akan tetapi kalau kau nekat menyerbu lalu mati di tangan mereka, lalu apa artinya kau mengorbankan nyawa begitu saja? Apa hasilnya dan apa pula keuntungannya bagi kita?"
Ditanya demikian, Ronggo Lawe bengong dan barulah dia sadar akan kekeliruannya. Memang dia terlalu terburu napsu. Kalau dia nekat dan gagal, bukan saja dia mati koryol, juga pasukannya mati konyol dan Raden Wijaya akan menderita kerugian hebat. Bahkan mungkin pasukan Mongol akan menyerang dan menghancurkan orang orang Majapahit. Dan kalau semua itu terjadi, maka dialah yang bersalah.
"Pangeran, kalau begitu, sebaiknya menggunakan siasat, menggunakan tipu muslihat agar para pimpinan mereka dapat kita hancurkan"
Katanya pula.
"Hemm, nanti dulu, Ronggo Lawe"
Kata Lembu Sora, yaitu paman Ronggo Lawe. Lembu Sora yang tinggi besar dan gagah perkasa itu adalah adik Arya Wiraraja.
"Kita adalah orang-orang gagah yang menjunjung kebenaran dan keadilan, bagaimana dapat mempergunakan muslihat dan akal busuk?"
Ronggo Lawe memandang pamannya dan matanya bersinar-sinar.
"Paman Lembu Sora. Di dalam perjuangan, tidak selamanya harus menggunakan kuatnya tulang otot dan tebalnya kulit belaka. Bukankah selama inipun kita telah menggunakan siasat? Kita menghambakan diri ke Daha, bukankah itu siasat. Kita menarik pasukan Mongol untuk bersekutu, bukankah itu juga musllhat? Untuk mencapai kemenangan, apa salahnya menggunakan siasat dan akal muslihat. Nah, karena dengan menggunakan okol ( kekuatan badan) agaknya kita tidak akan mampu mengatasi orang-orang Mongol, maka jalan satu-satunya hanyalah akal"
Semua orang mengangguk-angguk menyetujui pendapat ini. Bahkan Lembu Sora tertawa "Ha ha ha, kau memang pandai, Ronggo Lawe. Akan tetapi siasat yang bagaimanakah dapat kita pergunakan untuk mengusir orang-orang Mongol itu?"
"Benar sekali pertanyaan itu, kakang Ronggo Lawe. Muslihat apakah yang dapat kita pergunakan?"
Tanya Raden Wijaya.
Mendengar pertanyaan Raden Wijaya ini, Ronggo Lawe termenung, lalu memandang ke kanan kiri, kepada semua senopati yang hadir, kemudian dia menjawab.
"Wah, mohon pangeran sudi mengampuni hamba. Hamba adalah orang yang biasa mempergunakan okol, bukan akal. Oleh karena itu, mengenai siasat, hamba serahkan saja kepada para pinisepuh ( orang-orang tua) dan saudara-saudara tua yang hadir di sin"
Ramailah mereka berbincang-bincang mencari akal yang baik untuk dapat mengusir orang-orang Mongol. Akhirnya Arya Wiraraja jugalah, sang ahli siasat itu, yang mengemukakan siasatnya dan yang diterima oleh semua orang. Dengan penuh rahasia mereka lalu mengatur siasat dan membagi tugas untuk melaksanaan siasat itu.
Siasat direncanakan dan setelah matang, beberapa hari kemudian Raden Wijaya mengirim utusan ke benteng pasukan Mongol yang sedang bersenang-senang karena memperoleh kemenangan. Utusan itu menyampaikan undangan Raden Wijaya bagi semua pimpinan pasukan, dari para panglimanya sampai semua perwiranya. Mereka diundang ke istana Kediri, untuk menerima jamuan makan merayakan kemenangan, dan untuk menerima puteri-puteri yang dijanjikan oleh Arya Wiraraja kepada para panglima pasukan Mongol.
"Banyaknya para undangan memasuki ruangan pesta tanpa membawa senjata"
Demikian pesan Raden Wijaya kepada utusannya.
"Karena para puteri itu selalu merasa ketakutan kalau melihat senjata. Semua senjata agar dititipkan pada para penjaga di luar ruangan pesta. Dengan demikian, barulah pesta akan berlangsung dengan meriah. dan para puteri tidak akan merasa ngeri dan ketakutan, bahkan akan merasa gembira karena mereka akan diserahkan kepada orang-orang yang lemah lembut dan tidak suka menggunakan senjata yang menggiriskan hati.
Selain undangan itu, juga akan disediakan jamuan makan minum untuk para perajurit Mongol di
(Lanjut ke Jilid 31 - Tamat)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31 (Tamat)
dalam benteng Ujung Galuh dan di sepanjang muara Kali Brantas. Daging dan tuak (arak) berlimpahan, dihibur pula oleh nyanyian dan tarian yang menggairahkan dan menggembirakan oleh ratusan orang ledek yang dikerahkan untuk perayaan kemenangan itu.
Tiga orang panglima pasukan Mongol, yaitu She Pei, Kau Seng, dan Ji Kau Mosu tidak mempunyai dugaan buruk, tidak pernah bercuriga dan menerima baik undangan itu. Dan sebelum tiba hari undangan itu, Lie Hok Yan menghadap suhengnya di kamarnya.
"Suheng, aku telah melaksanakan tugas sampai akhir, tepat seperti yang kujanjikan kepadamu. Oleh karena itu, sekarang aku mohon perkenan suheng untuk mencari tunanganku itu. Aku akan menikah dengan tunanganku itu, dan kalau ia mau kuajak pulang ke Cina, sukurlah"
"Bagaimana kalau ia tidak mau ikut denganmu ke utara?"
Tanya Panglima Kau Seng.
"Kalau demikian. terpaksa aku yang tinggal di sini, suheng. Aku terlalu mencintanya dan aku mau berkorban apa saja. Kalau ia tidak mau, aku akan tinggal selamanya disini"
Kau Seng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. Akar tetapi. sebagai seorang yang sudah berpengalaman, dia tahu apa artinya orang muda yarg sedang jatuh cinta. Bagaimanapun juga.
"Hok Yan telah memperlihatkan diri sebagai seorang perajurit yang baik, sudah memenuhi tugasnya. Kini hanya tinggal pulang ke utara saja, maka tidak ada keberatan apapun untuk memberi ijin.
"Baiklah, sute (adik seperguruan). Akan tetapi jangan tergesa-gesa, sebaiknya tunggu kalau sudah selesai kita menghadiri perjamuan yang diadakan oleh Pangeran Raden Wijaya"
"Tidak, suheng (kakak seperguruan). Aku tidak ingin berpesta. Aku khawatir akan keselamatan Sumirah. Entah bagaimana keadaannya ketika terjadi perang. Aku harus segera mencarinya, suheng. Maafkan kalau aku tidak dapat ikut nadir dalam pesta itu"
"Akan tetapi, kaupun berjasa, dan kau berhak memperoleh hadiah yang tentu akan dibagi-bagikan oleh Raden Wijaya"
Lie Hok Yan menggeleng kepala.
"Aku tidak menginginkan hadiah apapun, suheng. Sumirah merupakan hadiah yang tak ternilai harganya bagiku"
Panglima Kau Seng hanya bisa menggeleng-geleng kepala saja, dan dia membekali sutenya itu dengan sekantung kecil emas dan perak. Hok Yan meninggalkan kota raja Kediri dengan hati yang lapang dan kaki yang ringan. Pergi ke tempat tinggal Sumirah. Betapa akan bahagianya pertemuannya dengan kekasihnya itu. Dan dia tahu bahwa Sumirah telah mengungsi ke dusun Klintren, di sebelah selatan Singosari.
"Tolooonggg........ ah, tolooongg ........"
Terdengar jeritan di malam hari itu. Penduduk dusun itu menjadi panik, yang berada di luar rumah cepat berlarian masuk ke dalam. Pintu-pintu rumah dan jendela-jendela rumah ditutup rapat, dian-dian dimatikan dan seluruh penghuni dusun itu bersembunyi di dalam rumah, ketakutan.
Perasaan ketakutan mencekam hampir semua dusun semenjak terjadi perang antara Majapahit dan Kediri. Penjahat-penjahat merajalela, para perampok bermunculan bahkan bertambah banyak. Belum lagi ulah para perajurit yang memperoleh kemenangan, terutama sekali para perajurit asing, orang-orang Mongol yang buas dan ganas mengerikan itu. Apa saja yang merintangi mereka, dibabat. Kanak-kanak orang tua, siapa saja, dibunuh sambil tertawa-tawa. Wanita muda, apa lagi yang bersih, diperkosa dengan ganas. Rumah-rumah dibakar, harta kekayaan dirampok.
Malam hari itu, ada belasan orang memasuki dusun dan merekapun melakukan perampokan dengan bebas tanpa ada yang berani menghalangi mereka. Jerit dan lolong terdengar dari wanita-wanita yang hendak diperkosa, tangis anak-anak yang ketakutan dan teriakan orang-orang yang disiksa karena mempertahankan harta kekayaan mereka yang dirampok.
"Tolooonggg........ lepaskan aku, ahhhh, tolooontgg ......."
Akan tetapi, siapakah diantara penghuni dusun yang berani menolong wanita yang menjerit-jerit dari sebuah rumah itu? Setiap orang sudah ketakutan, setiap keluarga mengkhawatirkan keselamatan sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba nampak dua sosokan bayangan berkelebat memasuki dusun itu. Mereka adalah Nurseta dan Wulansari.
"Aku menolong wanita itu, kakangmasl"
Kata Wulansari yang berkelebat cepat menuju ke rumah dari mana terdengar jeritan wanita itu. Nurseta juga berlari ke arah rumah terdekat dari mana terdengar teriakan orang yang agaknya dipukuli diantara tangis kanakkanak.
Sekali dorong, daun pintu rumah itu jebol dan Wulansari memasuki kamar yang diterangi lampu tempel itu. Wajahnya seketika berubah merah sekali ketika ia melihat seorang laki-laki tinggi besar sedang bersitegang menggumuli seorang gadis yang berusaha mempertahankan diri agar tidak ditelanjangi oleh laki-laki yang terkekeh-kekeh dan menggeram seperti seekor binatang buas itu.
"Keparat jahanam"
Bentak Wulansari.
Laki-laki itu terkejut dan melepaskan gadis itu, membalik dan matanya terbelalak, lalu dia menyeringai.
"Wah, ada yang lebih cantik"
Katanya seperti kepada diri sendiri dan bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah Wulansari. Akan tetapi, gadis perkasa ini menyambutnya dengan tendangan kaki kiri ke arah dada.
"Ngukkkl"
Laki-laki itu terjengkang, matanya terbelalak, mulutnya memuntahkan darah segar dan diapun terbanting keras lalu berkelojotan sekarat. Wulansari tidak memperdulikannya lagi, lalu berkelebat keluar.
Wulansari dan Nurseta mengamuk dan belasan orang penjahat yang ternyata adalah perampok-perampok yang mempergunakan kesempatan lelagi perang berkobar lalu merajalela dl dusun itu, roboh bergelimpangan. Delapan orang perampok roboh dan tewas, sisanya melarikan diri di kegelapan malam. Setelah para penduduk dusun tahu dan mendengar bahwa ada dua orang muda perkasa yang membasmi belasan orang penjahat itu, timbal keberanian mereka. Obor dipasang dan merekapun berdatangan dan berkumpul.
Wulansari dan Nurseta menghadapi mereka. Semua orang kagum bukan main melihat bahwa seorang diantara dua orang muda itu adalah seorang gadis yang cantik jelita. Apa lagi mendengar dari gadis yang hampir diperkosa tadi bahwa gadis cantik itulah yang menyelamatkannya dan membunuh penjahat yang hampir memperkosanya.
"Kalian sekalian begitu banyak jumlahnya. Yang pria saja tidak kurang dari tigapuluh orang, belum yang tua-tua dan yang wanita. Kalau kalian bersatu, kami kira tidak mungkin belasan orang jahat itu berani mengganggu penduduk sekalian"
Nurseta berkata dengan suara mengandung teguran.
Kepala dusun yang juga hadir tersipu........
"Kami...... kami tidak berdaya, kerajaan sedang mengalami perang dan kami......"
"Kau kepala dusun di sini?"
Wulansari bertanya dan ketika yang ditanya mengangguk, Wulansari berkata.
"Kenapa kau begini lemah dan penakut? Kalau negara sedang aman, boleh kau mengandalkan penjaga keamanan dari pemerintah. Akan tetapi dalam keadaan perang, kalain haruslah pandai menjaga diri sendiri dari serbuan orang jahat. Kalau kalian bersatu menghadapi penjahat untuk melindungi keluarga sendiri, tentu kekuatan kalian cukup besar dan tidak mudah para perampok itu datang mengganggu"
Setelah dua orang muda perkasa itu memberi banyak nasihat, barulah para penghuni dusun itu menyadari kelemahan mereka. Bangkit semangat mereka dan mulai malam hari itu juga, mereka bersatu padu dan bertekad untuk menjaga dan menyelamatkan dusun mereka sendiri.
Demikianlah pekerjaan yang dilakukan Nurseta dan Wulansari setiap harinya. Mereka menjelajahi dusun-dusun, membasmi penjahat dan menuntun para penduduk dusun untuk membentuk pasukan keamanan sendiri, untuk bersatu padu dan membela dusun sendiri dari gangguan penjahat.
Ada pula mereka mendapatkan beberapa buah dusun yang memang sudah memiliki pertahanan yang kuat terhadap gangguan gerombolan sehingga selama perang berlangsung, dusun-dusun ini selamat dari gangguan. Tentu saja hanya dusun yang tidak dilanda atau dilewati pasukan yang berperang sajalah yang selamat.
Dusun-dusun yang dilewati pasukan, apa lagi pasukan Mongol, mengalami kerusakan hebat. Banyak sekali dusun, yang termasuk wilayah Kediri dan dilewati pasukan Mongol, diamuk oleh pasukan yang buas itu di mana terjadi pembunuhan, perampokan dan perkosaan.
Memang pasukan Mongol terkenal sekali sebagai pasukan yang berani mati dan kuat, juga amat buas, ganas dan kejam sekali. Agaknya keistimewaan inilah ciri khas pasukan Mongol dan mungkin justeru karena itu pasukan Mongol berhasil menyerbu ke mana-mana dan menaklukkan banyak negara. Sejak kebangktan mereka yang pertama, di bawah pimpinan Jenghis Khan yang dahulu ketika mudanya bernama Temucin, pasukan Mongol menjadi besar dan jaya, dan karena sepak terjangnya itu, maka ditakuti dan banyak negara di barat menyerah sebelum diserbu.
Nurseta dan Wulansari menjadi marah sekali mendengar akan keganasan pasukan Mongol, apa lagi melihat bekas kekejaman mereka pada beberapa dusun yang mereka lalui. Bahkan, sempat pula mereka berdua menghajar beberapa orang perajurit Mongol yang berkeliaran dan mengganas di dusun-dusun. Setiap kali bertemu dengan perajurit Mongol yang sedang mengganas di dusun-dusun, tentu dua orang muda perkasa ini tidak tinggal diam dan tidak mau memberi ampun lagi.
Ketika mereka memasuki daerah Singosari untuk melakukan perondaan di sana, Wulansari teringat akan Sumirah. Ia mengajak Nurseta untuk berkunjung ke dusun Klintren, selain untuk meronda di sana, juga untuk menengok keadaan Sumirah dan orang tuanya, yaitu Lurah Kalasan yang mengungsi di dusun Klintren. Nurseta menyetujui dan pergilah mereka menuju dusun itu.
Lie Hok Yan mendengar akan keganasan pasukan Mongol, bahkan melihat sendiri akibat keganasan itu di beberapa buah dusun yang dilewati pasukan itu ketika dia melakukan perjalanan mencari Sumirah. Diam-diam dia merasa penasaran dan berduka, dan teringat dia akan keadaan dinegerinya sendiri. Banyak sudah dia mendengar dan orang-orang tua di negerinya betapa ketika pasukan Mongol dahulu menyerbu ke selatan, rakyat di negerinya juga menderita hebat karena keganasan orang Mongol. Tadinya, cerita itu hanya seperti dongeng saja baginya. Akan tetapi kini dia menyaksikannya sendiri dan hatinya memberontak. Diam-diam dia menyesal mengapa dia ikut membantu pasukan itu karena terbujuk suhengya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa kini dia telah keluar dari pasukan, telah bebas dari ikatannya dengan pasukan Mongol, hatinya girang sekali. Apa lagi membayangkan Sumirah yang akan menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kasih sayang.
Dengan penuh semangat Hok Yan melanjutkan perjalanannya mencari kekasihnya. Dia maklum bahwa kalau dia mengenakan pakaian sebagai perwira Mongol, keadaannya berbahaya sekali. Pula, dia merasa malu memakai pakaian perwira Mongol. Kini dia bukan perwira Mongol, melainkan seorang yang bebas. Untuk mempermudah perjalanannya, diapun mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang laki-laki pribumi yang umum. Tidak banyak perbedaan antara dia dan pemuda pribumi, kecuali matanya yang sipit. Akan tetapi pakaian itu membuat perbedaan pada matanya itu tidak terlalu menyolok. Biarpun lidahnya masih amat sukar untuk menyebut suara "r", selalu diucapkan, namun dia sudah menguasai Bahasa Jawa cukup baik sehingga dia dapat bertanya-tanya kepada orang di jalan di mana adanya dusun Klintren.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah hampir dapat dikata siang malam karena terdorong kerinduan hatinya untuk dapat cepat bertemu dengan kekasihnya, pada suatu siang dia tiba di dusun Klintren. Matahari telah mulai condong ke barat, tengahari sudah lama lewat dan sinar matahari tidak begitu menyengat lagi, walaupun panas masih memanggang bumi.
Dengan jantung berdebar tegang, hati dipenuhi barapan, Hok Yan memasuki dusun yang nampak sunyi itu. Dia melihat seorang laki-laki tua berjalan terbongkok-bongkok dari depan. Hatinya girang dan dengan berdebar tegang dia menghampiri kakek itu.
"Paman, selamat sore, paman"
Kata Hok Yan denpaa sikap hormat.
Kakek itu berhenti melangkah, mengangkat muka memandang dan sinar matanya penuh keheranan dan selidik. Kalau saja pada saat itu Hok Yan mengenakan pakaian perwira Mongol, tentu kakek itu tanpa ragu-ragu lagi akan menggigil ketakutan atau lari terbirit-birit. Akan tetapi pakaian dan sikap Hok Yan membuat dia bingung dan heran, juga ragu-ragu.
"Selamat sore, siapakah kau dan ada apakah.......?"
Unyanya dengan mata tetap memandang penuh selidik dan dahi berkerut.
"Maafkan kalau saya mengganggu, paman. Saya hanya ingin bertanya di mana rumah Sumilah......."
Kakek itu semakin tertarik. Pemuda tinggi tegap ini bicara dengan sikap sopan sekali, akan tetapi suaranya pelo.
"Sumilah......?"
Hok Yan maklum akan ketidak-jelasan lidahnya menyebutkan nama kekasihnya itu. Betapa seringnya dia melamunkan hal itu, teringat ketika Sumirah mentertawakannya karena dia keliru menyebutkan nama gadis itu. Maka diapun berusaha keras, seperti yang sering dilatihnya seorang diri kalau teringat akan kepeloannya, dan menyebutkan nama gads itu, memberi tekanan kepada suara "
R "
Agar orang tua itu menjadi jelas.
"Sumi........ rah, paman"
Bukan main sukarnya meeggetarkan ujung lidah untuk mengeluarkan bunyi "r"
Itu walaupun untuk itu dia sudah seringkali berlatih.
"Ooo, Sumirah? Nanti dulu....... Sumirah ......?"
Petani tua itu mengingat-ingat.
"Anu, paman, puterinya Ki Saldu....... eh ...... Sardu....... du"
Kini kakek itu terbelalak.
"Ah, kiranya Sumirah puteri Ki Sardu itu yang kau tanyakan? Kisanak, siapakah kau dan apa hubunganmu dengan keluarga itu?"
Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bayangan Bidadari Karya Kho Ping Hoo