Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 29


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 29



Dengan hati girang karena ternyata kakek ini mengenal keluarga Sumirah. Hok Yan segera menjawab.

   "Mohon kebaikan hatimu, paman. Di manakah mereka tinggal? Saya adalah seorang...... sahabat baik keluarga itu. Saya..... saya ingin sekali melihat mereka dalam keadaan selamat setelah adanya geger ini........, katakanlah, paman yang baik. Di mana mereka?"

   Melihat gairah orang muda itu menanyakan keadaan keluarga Ki Sardu, kakek itu merasa kasihan sekali. Dia menarik napas panjang beberapa kali, kemudian dengan pandang mata penuh iba dia berkata.

   "Mari kita bicara di bawah pohon itu. kisanak"

   Wajah Hok Yan berubah pucat dan hatinya seperti ditusuk. Dia merasa sesuatu yang amat tidak enak. Tanpa dapat mengeluarkan kata-kata diapun mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah pohon asam di tepi jalan.

   "Ada .... ada apakah, paman.......?"

   Akhirnya dia dapat bertanya dengan jantung berdebar tegang.

   Kakek itu menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Ketahuilah, kisanak. Dusun Klintren ini dilanda malapetaka ketika terjadi perang"

   "Apa yang terjadi. paman? Bagimana dengan Sumilah dan keluarganya?"

   Dia sudah tidak perduli lagi akan kepeloannya ketika menyebut nama kekasihnya. Suaranya bahkan gemetar penuh kekhawatiran.

   "Pada suatu malam, segerombolan perajurit Daha datang mengganas di dusun ini. Beberapa orang tewas di tangan gerombolan itu, termasuk....... Ki Sardu dan isterinya"

   "Ahhhh........"

   Sepasang mata yang sipit itu terbuka lebar.

   "Dan bagaimana dengan Sumilah?"

   Tanyanya hampir berteriak.

   "Sumirah........ ia dilarikan gerombolan, diculik dan dibawa pergi dari dusun ini......."

   Hok Yan meloncat berdiri, demikian cepatnya sehingga kakek itu terkejut.

   "Paman........ paman yang baik........ katakan, lalu bagaimana nasib Sumilah? Ah, katakanlah, paman......"

   Suara Hok Yan kini benar-benar menggigil karena dia sudah membayangkan hal yang amat buruk, malapetaka yang menimpa diri kekasihnya. Bahkan ayah ibu Sumirah telah tewas.

   Melihat kakek itu tidak mampu menjawab, Hok Yan menabahkan hatinya bertanya.

   "Paman, apakah la........ sudah....... mati pula?"

   Sikap Hok Yan itu mengusir semua keraguan di hati kakek petani itu. Kalau orang jahat, tidak mungkin bersikap seperti pemuda bermata sipit ini, pikirnya. Jelas bahwa pemuda ini kelihatan terkejut dan bersedih sekali mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Ki Sardu.

   "Ia tidak mati, orang muda. Tapi........ tapi ia......"

   Hok Yan memegang lengan kakek itu. Hampir saja dia lupa dan karena dia menatap wajah kakek itu, baru dia tahu bahwa kakek itu menyeringai kesakitan, maka dia melepaskan cengkeramannya.

   "Paman yang baik........ tapi mengapa? Di mana ia.......?"

   "Orang muda, kau lihatlah sendiri. Ia berada di tanah kuburan, di sebelah barat dusun ini, di luar dusun. Tengoklah ke sana..."

   Hok Yan sudah meloncat hendak pergi.

   "Nanti dulu, orang muda. Katakan dulu siapa kau"

   Orang tua itu berseru.

   "Nama saya Hok Yan, paman"

   Kata Hok Yan tanpa menengok lagi dan dia sudah berlari menuju ke luar dusun sebelah barat.

   Petani tua itu termangu-mangu.

   "Hok Yan.......? Hok........ wah, kalau begitu dia orang Cina Tartar?"

   Dan terbongkok-bongkok kakek ini bergegas pulang ke rumahnya.

   Sementara Itu, dengan hati yang tidak karuan rasanya, Hok Yan keluar dari dusun itu dan berlari ke arah barat, Mudah saja mencari tanah kuburan itu. Tanah kuburan di dekat tegal rumput dan ada sungai kecil mengalir di situ. Mudah dikenal karena banyaknya pohon kamboja tumbuh dan ditanam orang di tempat itu.

   Ketika dia tiba di luar tanah kuburan, dia melihat belasan ekor kerbau sedang makan rumput dan terdengar suara beberapa orang anak penggembala berteriak teriak dan tertawa-tawa, datangnya suara dari dalam pekarangan kuburan itu.

   "Kabiso. Kabiso. Hahaha, Kabiso"

   Terdengar suara kanak-kanak itu berteriak dan tertawa-tawa. Tiba-tiba terdengar suara wanita, melengking tinggi.

   "Hi hihi hik. Hahaha. Kabiso. Mampus kau, Kabiso, digantung dan disayat-sayat. Hahaha, puas hatiku, kamu mampus tersiksa, Kabiso. Hi hihihik"

   Menyeramkan sekali suara itu, bahkan Hok Yan sendiri yang berhati tabah merasa betapa bulu tengkuknya meremang mendengar teriakan diseling suara ketawa ini. Akan tetapi agaknya anak-anak penggembala kerbau itu sudah terbiasa dan mereka tidak merasa takut lagi. Kini anak-anak itu berteriak dan sekali ini Hok Yan menjadi pucat.

   "Hok yan Hok yan Hok yan ........ Di mana engkau, Hok yan........'"

   Anak-anak itu berteriak-teriak dan kembali terdengar suara wanita itu, kini tidak lagi melengking nyaring penuh kegembiraan, melainkan bercampur tangis.

   "Hok Yan........ uhuhu huuuuhbh....... aih, Hok Yan........ di mana kau, Hok Yan........ Uhuhuuuuuhh....... kembalilah, Hok Yan........ ayah dan ibu........ uhuhuuuuh, mereka sudah tewas....... Hok Yan........ Hok....... Yaaaaannn ........"

   Dan suara wanita ltupun menangis tersedu-sedu.

   Menggigil kedua kaki Hok Yan. Kini dia tidak ragu lagi.

   "Sumilah......"

   Bisiknya dan, diapun lari ke dalam pekarangan kuburan itu dan apa yang dilihatnya membuat dia seperti berubah menjadi arca, hanya terbelalak memandang ke depan.

   Seorang wanita, dengan rambut riap-riapan, pakaian lusuh, kotor dan kusut, compang camping seperti jembel terlantar, berlutut di depan dua gundukan tanah kuburan, menangis dan tersedu-sedu. Empat orang anak berusia kurung lebih tujuh tahun memperolok-oloknya. Agaknya anak-anak itu sudah terbiasa dengan pemandangan ini, maka mereka dapat menirukan ulah dan suara wanita itu dan memancing untuk menggodanya.

   Setelah dapat menenangkan hatinya yang mengalami guncangan hebat, Hok Yan lalu meloncat ke dekat anak-anak itu dan membentak.

   "Anak-anak nakal. Hayo kalian pergi kalau tidak tentu akan kupukul kalian"

   Empat orang anak-anak itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang tidak mereka kenal, dan mendengar bentakan itu, mereka lalu melarikan diri tunggang langgang dan cepat menggiring kerbau mereka meninggalkan tempat itu.

   Hok Yan melangkah menghampiri wanita yang masih berlutut sambil menangis itu. Dia masih meragu. Benarkah ini Sumirah? Gadis jelita kekasihnya itu? Tunangannya itu? Benarkah perempuan yang menjijikkan karena kotor dan gila ini calon isterinya?

   "Sum........ Sumilah........"

   Dia memanggil lirih, suaranya gemetar.

   Wanita itu tiba-tiba berhenti menangis, lalu mengangkat mukanya memandang laki-laki yang menghampirinya itu. Mereka saling pandang dan Hok Yan merasa jantungnya seperti disayat pedang beracun Wajah itu masih ada bekas kecantikannya, akan tetapi sekarang nampak kotor berlepotan lumpur, mulut itu menyeringai setengah tertawa setengah menangis, sepasang mata itu agak kemerahan, sebagian muka tertutup rambut yang kotor dan gimbal. Seluruh tubuh itu kotor dan pakaiannya menjijikkan. Agaknya wanita ini tak pernah berganti pakaian, tak pernah mandi dan tulang tulangnya menonjol di balik kulit yang kotor.

   "Sumilah ......."

   Hok Yan tidak ragu lagi sekarang.

   "Hok Yan.......? Hok....... Hok Yan,......?"

   Bibir itu komat kamit, lalu wanita itu menjerit "Hok Yan........!"

   "Sumilah. Aih, Sumilah...... kekasihku......"

   Hok Yan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu dan merangkulnya.

   "Hok Yan ......? Apakah mungkin........kau .......... kau benar Hok Yan ........? Kau....... kau benar datang.......?"

   Mata yang kemerahan itu penuh air mata berderai dan sejenak pandang mata itu waras.

   "Sumilah, ini benar aku. Hok Yan.......Ah, Sumilah, mengapa kau sampai begini.......?"

   Hok Yan mendekap dengan hati penuh haru dan iba.

   "Hok Yan. Kau benar Hok Yan........ ah, kau benar Hok Yan"

   Wanita itu kini memandang dengan wajah berseri, lalu iapun merangkul pemuda itu dan menangis, mengguguk di dada Hok Yan.

   Hok Yan merangkulnya dan mencium bau yang apak dan tidak enak. Keadaan kekasihnya itu seperti binatang saja, bahkan lebih kotor lagi .

   Tiba-tiba Sumirah tertawa.

   "Hahahihihik, Kabiso. Kau mampus tersiksa. Haha ......."

   "Sumilah, ingatlah........"

   Hok Yan menghiburnya.

   "Hok Yan? Hikhik, tahukah kau, Hok Yan? Kabiso disiksa, tubuhnya digantung jungkir balik, disayat sayat penuh darah ....... hi hik"

   Dan tiba-tiba gadis itupun menangis lagi.

   "Hok Yan, ayah dan ibu ....... mereka mati....... mati....... hu-hu-huuhh......"

   Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut. .

   "Itu dia. Tangkap Cina Tartar itu"

   "Lihat, dia meenangkap Sumirah"

   "Cegah dia. Bunuh dia "

   Hok Yan terkejut dan menengok. Ternyata ada puluhan orang penduduk dusun Klintren yang membawa senjata seadanya, linggis, cangkul, alu, keris dan sebagainya, berbondong memasuki pekarangan kuburan itu dan mengepungnya.

   Hok Yan maklum bahwa penjelasan tidak ada gunanya. Yang penting, Sumirah harus diselamatkan dan dibawa pergi dari tempat ini untuk diobati. Akan tetapi, dalam keadaan seperti gila itu, Sumirah dapat menjadi pengganggu, maka diapun cepat menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu.

   Sumirah mengeluh dan terkulai lemas, pingsan. Hok Yan cepat memanggul tubuh gadis yang sudah pingsan itu. Melihat ini, para penduduk dusun itu menjadi semakin marah, yakin bahwa Cina Tartar itu tentu seorang perajurit Mongol yang ganas dan jahat, dan jelas bendak menculik Sumirah yang gila. Mereka berteriak-teriak dan menerjang Hok Yan dengan serangan senjata mereka yang bermacam-macam itu. Hok Yan dikepung dan dikeroyok. Pemuda ini hanya khawatir kalau sampai tubuh kekasihnya terkena senjata tajam, maka diapun terpaksa menangkis dan merobohkan para pengeroyoknya dengan tendangan atau dorongan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memanggul tubuh Sumirah. Dia tahu bahwa orang-orang dusun ini salah sangka. Mereka bukan orang jahat, bahkan bermaksud menolong Sumirah yang mereka kira akan diculik. Oleh karena itu, Hok Yang membatasi tenaganya dan hanya merobohkan mereka untuk mencari jalan keluar, bukan bermaksud melukai mereka, apa lagi membunuh.

   Sementara itu, Nurseta dan Wulansari kebetulan tiba di dusun Klintren pada sore hari itu. Ketika mereka melihat orang-orang dusun berlarian sambil membawa alat senjata, mereka terkejut dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

   "Apakah ada perampok mengganggu dusun?"

   Tanya Nurseta.

   "Kalau demikian halnya, kami akan membantu kalian "

   "Bukan perampok. Lebih berbahaya lagi. Ada seorang Cina Tartar mengamuk dan hendak menculik seorang gadis"

   Kata seorang diantara mereka sambil berlari.

   Mendengar ini, Nurseta dan Wulansari tidak banyak bertanya lagi dan merekapun lari cepat menuju ke kuburan di sebelah barat luar dusun itu. Dan ketika mereka tiba di sana, benar saja, mereka melihat seorang laki-laki yang memanggul tubuh seorang gadis yang agaknya pingsan, dikepung dan dikeroyok oleh banyak orang dusun. Dan melihat gerakannya, jelas bahwa orang itu amat gesit dan kuat. Melihat ini, Wulansari menjadi marah.

   "Hemm, hanya seorang pengacau. Biar aku yang menangkapnya"

   Dan iapun meloncat ke medan perkelahian sambil berteriak.

   "Saudara sekalian mundurlah. Aku yang akan menangkapnya"

   Ia menyuruh para pengeroyok mundur, bukan hanya karena ia sungkan untuk mengeroyok orang, akan tetapi terutama sekali ia tidak ingin melihat penduduk ada yang terluka atau tewas, juga ia mengkhatirkan gadis yang dipanggul oleh pengacau itu, kalau-kalau terkena bacokan senjata tajam.

   Mendengar teriakan Wulansari, para pengeroyok yang memang sudah gentar melihat ketangguhan orang yang hendak menculik Sumirah itu, segera berloncatan mundur.

   "Lepaskan gadis itu"

   Bentak Wulansari dan tubuhnya menerjang ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hok Yan, tangan kanan hendak merampas tubuh Sumirah yang dipanggul pemuda itu.

   Melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, Hok Yan terkejut. Cepat dia mengelak ke belakang dan tangan kanannya digerakkan menangkis serangan ke arah kepalanya.

   "Dukkk"

   Keduanya terkejut dan melompat ke belakang ketika merasakan getaran hebat pada lengan mereka karena pertemuan tenaga sakti itu.

   "Nona Wulan....... Nona Wulansari ......."

   Hok Yan berseru girang bukan main sehingga lidahnya tidak keseleo ketika menyebut Wulansari, bukan Wulansali.

   "Lie Hok Yan. Kau.......? Tapi........ tapi kenapa kau hendak menculik.......?"

   "Nona Wulan, ini adalah Sumirah, tunanganku. Aku datang mengunjunginya, dan ia...... ia.......ah, sengsara sekali......."

   Nurseta juga melompat dekat. Melihat betapa Wulansari mengenal pemuda bermata sipit itu, diapun terheran.

   Kini Wulansari mendekat untuk melihat keadaan Sumirah.

   "Ini........ini........ Sumirah? Ihh. apa yang telah terjadi dengannya?"

   "Panjang ceritanya, nona Wulan. Mari kita pergi dari sini. Aku harus merawat Sumilah dulu......."

   Wulansari lalu berpaling kepada para penduduk dusun yang memandang dengan heran, lalu terdengar ia berkata lantang.

   "Saudara-saudara semua telah salah sangka. Pemuda ini bernama Lie Hok Yan, dan dia bukan penjahat. Dia adalah tunangan Sumirah, calon mantu paman Sardu. Di mana paman Sardu dan isterinya?"

   Seorang petani tua melangkah maju.

   "Aku pernah mendengar keterangan mendiang Ki Sardu tentang calon mantunya itu. Marilah, orang-orang muda perkasa, mari ke rumah kami dan kita rawat Sumirah di sana. Kasihan anak itu....."

   Dengan berterima kasih sekali Hok Yan lalu memondong tubuh Sumirah dan diikuti oleh Wulansari dan Nurseta, mereka beramai-ramai kembali ke dalam dusun dan kakek itu mengajak mereka ke rumahnya, Rumah yang cukup besar karena kakek ini adalah ayah dari lurah Klintren.

   Dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan Sumirah setelah membebaskan totokan pada tubuh tunangannya itu, Setelah ada Hok Yan, Sumirah kini menjadi jinak. Biasanya, ia tidak mau didekati siapapun, apa lagi dimandikan. Orang-orang dusun yang kasihan kepadanya tidak dapat berbuat apaapa kecuali mendiamkan gadis itu yang siang malam berada di kuburan, dan setiap hari saja dua kali mereka mengirim makanan untuk gadis itu.

   Wulansari menyerahkan beberapa potong pakaian untuk Sumirah. Tanpa ragu, tanpa jijik, bahkan dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan gadis itu seperti memandikan seorang anak kecil. Setelah Sumirah mengenakan pakaian bersih, dengan manja iapun duduk di atas pangkuan Hok Yan yang menyisiri rambutnya yang tadi dikeramasinya sampai bersih.

   Bahkan kini Sumirah mau makan malam bersama Hok Yan, Wulansari dan Nurseta dan mulailah ia nampak pandai membawa diri.

   "Setelah dibujuk oleh Hok Yan sehingga gadis itu mau minum obat yang dibuat oleh Nurseta, Sumirah mau tidur. Nurseta pernah mempelajari ilmu pengobatan dari mendiang Panembahan Sidik Danasura dan ternyata obatnya amat manjur. Sumirah dapat tidur pulas dan nampak tenang sekali. Setelah gadis itu tidur pulas, barulah Hok Yan keluar dari kamar dan bercakap-cakap dengan Wulansari dan Nurseta, mendengarkan cerita Bapak Kepala Dusun yang sudah datang berkunjung ke rumah ayahnya.

   Dengan panjang lebar kepala dusun itu bercerita tentang malapetaka yang menimpa keluarga Sumirah ketika segerombolan perajurit Daha menyerbu dusun itu. Ayah ibu Sumirah, yaitu Ki Sardu dan isterinya, tewas oleh gerombolan itu dan Sumirah diculik seorang penjahat.

   "Untung pada waktu itu kau datang membasmi gerombolan itu sehingga malapetaka tidak berlarut-larut"

   Lurah itu mengakhiri ceritanya sambil memandang Wulansari.

   "Akan tetapi, Ki Sardu dan isterinya sudah tewas, dan Sumirah dilarikan seorang penjahat yang berhasil lolos"

   "Penjahat itu tentu Kabiso"

   Kata Hok Yan.

   "dahulu pernah dia dengan nekat menyerangku karena cemburu. Dia mencinta Sumirah dan ingin memperisteri Sumirah"

   Lalu Hok Yan memandang kepada Wulansari.

   "Kenapa kau tidak mengejar dan menolong Sumirah, nona Wulan?"

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Wulansari tersenyum.

   "Sudah kulakukan itu. Akan tetapi terlambat. Penjahat itu sudah menghilang ke dalam hutan dan aku tidak berhasil menemukan jejaknya. Karena aku sedang mempunyai urusan yang penting sekali, yaitu mencari dia ini, tunanganku kakangmas Nurseta ini, maka terpaksa aku melanjutkan perjalananku dan tidak berhasil menolong Sumirah"

   Nurseta tersenyum saja melihat calon isterinya memperkenalkan dirinya. Diam-diam diapun kagum kepada Lie Hok Yan, juga terharu melihat betapa cinta kasih pemuda Cina ini amat tulus terhadap Sumirah. Gadis itu sudah dalam keadaan demikian menjijikkan, gila, kotor dan mendekatinya saja orang lain tentu jijik. Akan tetapi Lie Hok Yan ini jelas amat mengasihinya sehingga merawatnya seperti seorang anak kecil. Ketulusan cinta kasih itu mengharukan hatinya dan membuat dia merasa suka kepada Hok Yan.

   "Kemudian, bagaimana kelanjutan ceritanya setelah Sumirah lenyap dilarikan penjahat itu, Bapak Lurah?"

   Lie Hok Yan bertanya dengan hati ingin tahu sekali. Dari ocehan Sumirah tadi dia mendengar betapa Sumirah mentertawakan Kabiso yang dikatakannya digantung terbalik dan disayat-sayat tubuhnya, disiksa,. Siapa yang melakukan penyiksaan itu?

   "Ia lenyap sampai tiga hari lamanya. Kami? sudah putus asa. Akan tetapi tiba-tiba saja iai muncul. Ketika mendengar bahwa ayah ibunya tewas, gadis yang malang itu tiba-tiba telah menjadi berubah ingatannya. Kami mencoba, untuk menghiburnya atau mengobatinya, akan tetapi tidak mau didekati siapapun juga. Kami berusaha bertanya apa yang dialaminya selama ia diculik penjahat dan bagaimana ia dapat kembali ke dusun, namun ia hanya tertawa dan menangis, memaki-maki dan mentertawakan orang yang bernama Kabiso, menangisl kematian ayah ibunya dan memanggil-manggil nama,....... Hok Yan begitu"

   Hok Yan merasa terharu sekali. Dalam keadaan berubah ingatan seperti itu, Sumirah masih selalu ingat kepadanya. Sungguh besar cinta kasih gadis itu kepadanya dan dia harus bertanggung jawab. Dia harus melindungi kekasihnya itu, apapun yang telah terjadi atas diri tunangannya itu.

   "Sudahlah"

   Katanya lirih.

   "Apa yang sudah lewat, biarkan lewat. Sumirah tetap Sumirah yang dulu bagiku, tetap gadis satu-satunya di dunia ini yang kucinta. Ia tetap tunanganku dan aku akan segera menikahinya kalau ia sudah pulih kembali ingatan dan kesehatannva. Dan mulai saat ini, ia akan selalu berada dalam perlindunganku dan takkan pernah kutinggalkan lagi"

   Nurseta memandang tajam dan kagum. Namun, dia masih belum yakin kalau belum mendengar sendiri pendapat pemuda Cina yang berjiwa satria itu.

   "Saudara Lie Hok Yan, maafkan pertanyaanku, akan tetapi aku terus terang saja tertarik sekali dan ingin mendengar sendiri pendapat dan pengakuanmu. Bolehkah aku mengajukan pertanyaan dan tidak akan tersinggungkah hatimu?"

   Lie Hok Yan nenatap wajah Nurseta dan dia tersenyum.

   "Aku mengenal baik nona Wulansari sebagai seorang pendekar wanita yang berhati keras namun berbudi mulia dan bijaksana. Kalau kau ini calon suaminya aku yakin bahwa kau juga seorang yang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Tanyalah, sobat. Ajukan pertanyaanmu dan aku tidak akan merasa tersinggung"

   "Begini, Hok Yan. Karena kau kawan baik tunanganku, biar kusebut kau Hok Yan saja dan kaupun boleh menyebutku Nurseta"

   "Baik, dan terima kasih, Nurseta"

   "Kita semua tadi mendengar bahwa Sumirah telah diculik penjahat dan baru pulang selama tiga hari. Bagaimana keadaan apa yang dialaminya selama tiga hari itu tidak seorangpun tahu"

   "Tidak apa, Nurseta. Kalau ia sudah waras kembali tentu ia akan dapat menceritakan semua yang telah dialaminya itu"

   Kata Hok Yan tenang

   "Bukan itu maksudku, Hok Yan"

   Kata Nurseta dan dia memandang kekasihnya. Wulansari tersenyum, agaknya tahu akan isi hati kekasihnya dan iapun mengangguk, seolah-olah memberi tanda setuju kalau Nurseta melanjutkan pertanyaannya.

   "Aku ingin mengetahui perasaanmu dan tanggapanmu andaikata kemudian kau mendengar bahwa selama dalam tawanan gerombolan penjahat itu, ia telah.......diperkosa orang jahat. Andaikata demikian, lalu bagaimana tanggapanmu, Hok Yan? Apakah kau masih tetap ingin memperisteri Sumirah?"

   Wajah yang berkulit putih kuning itu seketika berubah merah sekali. Sepasang mata sipit itu mencorong ketika menyambar ke arah muka Nurseta, akan tetapi hanya sebentar karena muka itu menjadi biasa kembali, matanya juga bersinar lembut kembali.

   "Untung bahwa tadi kau telah berterus terang, dan juga untung bahwa aku telah mengenal siapa kau, Nurseta. Kalau orang lain yang mengeluarkan pertanyaan itu, tentu hatiku tersinggung sekali dan aku merasa dihina. Nurseta, ketahuilah bahwa apapun yang telah menimpa diri Sumirah, aku tetap mencintanya dan aku akan tetap menikahinya. Aku mencinta Sumirah, bukan hanya mencinta tubuhnya, juga mencinta hatinya, batinnya segalanya. Andalkata ia telah diperkosa orang, ia hanya kehilangan keperawanannya, dan aku bukan mencinta keperawanan, melainkan mencinta Sumirah. Pula, diperkosa berbeda dengan penyelewengan, Nurseta. Sungguh tidak adil dan dungu kalau menyalahkan seorang gadis yang diperkosa orang tanpa ia berdaya mempertahankan dirinya. Maafkan kalau aku bicara terus terang, nona Wulan"

   Akan tetapi Wulansari hanya tersenyum, dan Nurseta bangkit lalu mengulurkan tangan mengajak Hok Yan bersalaman.

   "Bagus. Kau sungguh seorang jantan sejati, Hok Yan, dan aku senang sekali menjadi sahabatmu"

   Mereka berjabat tangan dengan perasaan gembira dan akrab.

   "Ada satu hal lagi, Hok Yan. Akupun ingin bicara terus terang saja seperti yang dilakuan kakangmas Nurseta, kuharap saja kau tidak akan merasa canggung atau tersinggung"

   Hok Yan kini tertawa gembira.

   "Bagus sekali. Senang bukan main bergaul dengan kalian orang-orang yang jujur dan terbuka, yang dapat menghargai kegagahan. Akupun paling tidak suka dengan sikap orang yang plintat-plintut, yang tidak mau berterus terang, hanya berani membuka mulut demi keuntungan pihak sendiri. Bicaralah, nona Wulan, aku siap mendengarkan yang paling tidak sedap sekalipun"

   "Begini, Hok Yan. Terus terang saja, dalam perang antara Majapahit dan Kediri ini, kami berdua tidak ikut terlibat. Kami hanya melakukan perondaan untuk menentang terjadinya pengacauan yang dilakukan para penjahat. Untuk itu kami mempunyai alasan tersendiri. Akan tetapi, kami melihat sepak terjang bangsamu, para perajurit itu sungguh amat buas, ganas dan kejam"

   Hok Yan tersenyum.

   "Memang tidak salah penglihatanmu itu, nona. Memang mereka itu amat buas, ganas dan kejam. Akan tetapi keliru kalau kau mengatakan bahwa mereka itu bangsaku. Bahkan bangsaku sendiri, penduduk aseli di daratan Cina kini dijajah oleh bangsa itu, yaitu Bangsa Mongol. Kalau aku sampai ikut ke sini menjadi perwira pasukan Mongol adalah karena aku terbawa oleh kakak seperguruanku yang menjadi panglima dan karena aku ingin meluaskan pengalaman"

   "Ah, begitukah? Pantas kau amat berbeda dengan mereka, Hok Yan. Maksudku, berbeda sikap dan kelakuan. Kau pantas menjadi seorang pendekar dan satria, sedangkan para perajurit itu rata-rata buas dan kejam sekali. Nah, karena melihat gelagat yang tidak baik ini, andaikata nanti timbul perang antara pasukan Mongol dan Majapahit, sudah pasti aku dan kakangmas Nurseta akan membantu Majapahit. Dan kami kira kau sudah seharusnya, sebagai seorang perwira, membantu pasukan Mongol, Hok Yan"

   Kalau Nurseta dan Wulansari menduga bahwa Hok Yan akan merasa canggung mendengar kata-kata itu, mereka salah duga. Hok Yan tersenyum tenang saja.

   "Tidak, aku tidak akan membantu pasukan Mongol"

   Katanya.

   "Akan tetapi, itu adalah sikap yang sama sekali tidak baik, Hok Yan"

   Seru Nurseta penasaran.

   "Kau seorang perajurit, bahkan seorang perwira, bagaimana mungkin kau tidak membantu pasukanmu yang sedang berperang?"

   "Jangan salah mengerti, Nurseta. Sejab aku berkenalan dengan Sumirah, aku langsung menemui kakak seperguruanku dan menyatakan keluar dari ketentaraan dan ingin menikah dengan Sumirah. Akan tetapi kakak seperguruanku melarang dan mengatakan bahwa tugasku belum selesai. Terpaksa aku menangguhkan dan setelah perang selesai, kakak seperguruanku memberi ijin itu. Kini aku bukan lagi anggauta pasukan Mongol, Nurseta. Aku telah bebas, menjadi orang biasa sehingga tidak ada salahnya kalau aku tidak lagi mencampuri perang yang dilakukan pasukan Mongol terhadap siapapun juga"

   Nurseta dan Wulansari saling pandang dan mereka merasa kagum dan juga gembira sekali. Semalam itu mereka bercakap-cakap dengan akrab, dan pada keesokan harinya, Wulansari dan Nurseta berpamit. Mereka melanjutkan perjalanan melakukan perondaan untuk menentang kejahatan.

   Hok Yan maklum bahwa selama Sumirah masih tinggal di Klintren, ia akan selalu teringat akan malapetaka itu dan akan memperlambat jalannya kesembuhan. Maka diapun segera mengajak gadis itu meninggalkan Klintren. Dia mengajak gadis itu ke lereng Gunung Bromo, tinggal di sebuah dusun yang sunyi dan sederhana. Di situ dia merawat dan mengobati Sumirah dengan daun-daun obat seperti yang diberikan Nurseta, dan lambat laun pulih kembalilah ingatan Sumirah.

   Perlahan-lahan Sumirah mulai dapat menceritakan pengalamannya ketika ia diculik oleh Kabiso. Betapa nyaris ia diperkosa Kabiso, akan tetapi tertolong oleh Bandupati, kepala perampok yang menyeramkan itu. Betapa kemudian diapun dipaksa menjadi isteri muda Bandupati, akan tetapi kembali ia lolos dari ancaman perkosaan ketika muncul Suminten, isteri Bandupati yang galak dan ditakuti suaminya itu. Dan iapun selamat, kembali ke dusun, hanya untuk dipukul guncangan hebat dalam hatinya ketika mendengar bahwa ayah ibunya telah tewas oleh gerombolan orang Daha.

   Hok Yan merasa bahagia dan gembira bukan main mendengar itu. Bukan karena dia mendapatkan Sumirah dalam keadaan belum ternoda, sama sekali tidak. Melainkan dia gembira karena dengan demikian, Sumirah tidak akan merasa rendah diri, tidak akan merasa kotor ternoda. Dengan gembira mereka bergandeng tangan menyongsong sinar matahari pagi yang amat cerah dari kehidupan mereka. Kalau dua buah hati sudah saling mencinta, cinta yang tulus, bukan sekedar pengumbaran nafsu berahi, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan.

   Walaupun mereka percaya akan niat baik Raden Wijaya yang mengundang para pimpinan pasukan untuk berpesta di istana, namun tiga orang panglima perang itu hanya mengirimkan semua perwira saja sebagai utusan mereka untuk berpesta dan menjemput para puteri Kediri yang dijanjikan kepada mereka, untuk dipersembahkan kepada Kaisar Kubilai Khan. She Pai, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu menganggap diri mereka sebagai utusan-utusan kaisar, yang berarti mewakili kaisar sendiri. Oleh karena itu, sungguh tidak pada tempatnya kalau mereka harus menghadiri pesta dengan menanggalkan senjata. Bagi mereka, senjata pedang yang selalu mereka bawa adalah tanda kekuasaan mereka dan mereka memperolehnya dari kaisar. Kalau mereka menanggalkan pedang mereka sebelum memasuki istana, berarti mereka menanggalkan kekuasaan mereka. Akan tetapi untuk menolak begitu saja merekapun merasa tidak enak. Maka, tiga orang panglima itu mengambil jalan tengah. Mereka mengirim para perwira yang jumlahnya antara tiga ratus orang untuk mewakili mereka.

   Di benteng Ujung Galuh sendiri, para perajurit berpesta pora karena Arya Wiraraja atas nama Raden Wijaya telah mengirim banyak sekali, ayam, kambing dan lembu, juga minuman keras. Mereka makan minum sepuas hati mereka. Dan selagi para perajurit dalam benteng itu berpesta pora, Sang Prabu Jayakatwang yang sejak ditawan dalam benteng itu menderita sakit dan setiap hari hanya menulis atau menggubah kakawin yang diberi judul Wukir Polaman, meninggai dalam keadaan sengsara. Seorang raja besar yang berambisi besar pula meninggal cuma sebagai tawanan, tanpa diantar ratap tangis sanak keluarga, bahkan diantar sorak sorai dan tawa gembira dari mereka yang sedang berpesta dan yang suaranya sampai ke tempat tahanan itu dengan bisingnya.

   Sementara itu, tigaratus orang perwira utusan para panglima pasukan Mongol, diterima dengan penuh kehormatan dan keramahan di istana Kediri. Dengan hormat mereka dipersilakan menanggalkan dan menitipkan semua senjata mereka, sebagian besar pedang, di tempat penjagaan di luar istana, dan mereka memasuki istana tanpa membawa sepotongpun senjata. Dari jauh mereka sudah disambut suara gamelan dan nyanyian merdu.

   Ruangan pesta itupun dirias dengan indah. Jendela-jendela ruangan itu dibuka semua dan dari luar masuklah keharuman bunga semerbak, dan hidangan yang mengepulkan uap yang sedap menantang selera segera dihidangkan, bersama arak yang keras dan sedap. Pestapun dimulai dan para penari cantik itu sambil menari-nari bertugas pula untuk menjaga agar cawan arak di depan setiap orang tamu tidak pernah kosong. Dengan penuh kegembiraan karena pihak tuan rumah demikian ramahnya, para tamu yang terdiri dari perwira-perwira Mongol itu makan minum sepuasnya tanpa menaruh sedikitpun kecurigaan.

   Menjelang tengah malam, semua tamu itu telah berada dalam keadaan setengah mabuk, bahkan ada yang sudah mabuk benar. Tanpa mereka sadari, seorang demi seorang para penari dan penyanyi meninggalkan ruangan itu dan mendadak, dari luar jendela-jendela vang terbuka, meluncurlah anak panah yang menyerang bagaikan air hujan. Beberapa orang perwira Mongol terkena anak panah dan terjungkal.

   Teriakan-teriakan terdengar dan suasana menjadi panik. Para perwira itu berloncatan dan pada saat itu, dari pintu yang terbuka lebar menyerbulah para senopati dan perajurit Majapahit dengan keris terhunus.

   Terjadilah pembantaian. Para perwira Mongol itu adalah orang-orang yang tangguh dan sudah biasa bertempur. Akan tetapi, pada waktu itu, mereka sama sekali tidak mempunyai senjata, dalam keadaan mabuk atau setengah mabuk dan diserang secara mendadak pula. Tentu saja mereka kewalahan dan hanya beberapa orang diantara mereka yang berilmu tinggi saja dapat meloloskan diri, melarikan diri keluar dari istana dan menuju ke benteng mereka di Ujung Galuh.

   Akan tetapi apa yang mereka dapatkan dl benteng itu? Sebuah pertempuran hebat. Kiranya para perajurit dalam benteng itupun mengalami nasib yang sama. Menjelang tengah malam, ketika mereka semua sudah banyak minum arak dan mabuk-mabukan, tiba-tiba saja datang pasukan Majapahit dan Madura yang menyerbu. Terjadilah pertempuran hebat dan kacau, tentu saja kacau di pihak pasukan Mongol. Mereka melakukan perlawanan sedapatnya. Para perwira, yaitu sisa mereka yang dibantai di istana, menggabungkan diri dengan pasukan mereka. Mereka melakukan perlawanan sampai pagi. Akan tetapi, banyak berjatuhan korban diantara pasukan yang mabuk itu.

   Pasukan Mongol berada dalam keadaan yang payah. Mereka baru saja berhenti berperang melawan Daha di mana mereka kehilangan banyak perajurit yang gugur sehingga jumlah mereka berkurang. Belum lagi para perajurit yang tewas karena diserang penyakit setiba mereka di Pulau Jawa. Dan malam itu mereka yang masih kelelahan berada dalam keadaan mabuk, lalu diserang dengan tiba-tiba. Tentu saja mereka menjadi panik dan kacau.

   Perang yang terjadi selanjutnya antara pasukan Mongol dan gabungan pasukan Majapahit dan Madura itu tidak berlangsung lama. Rakyat yang membenci pasukan Mongol karena ulah mereka yang ganas dan kejam selama ini, bangkit dan membantu Majapahit. Setelah bertahan mati-matian selama beberapa hari, akhirnya pasukan Mongol terpaksa harus mengundurkan diri ke perahu-perahu mereka.

   Dengan membawa beberapa orang tawanan dari Kediri sebagai bukti hasil kemenangan mereka melawan Kediri, dan sisa pasukan yang sudah banyak berkurang, akhirnya para panglima Mongol itu membawa pasukan mereka berlayar untuk pulang ke negeri asal mereka jauh di utara.

   Setelah pasukan Mongol itu mengangkat jangkar dan berlayar meninggalkan pantai utara Pulau Jawa, padamlah api peperangan yang melanda Singosari dan Daha secara berturut-turut itu. Dan mulailah rakyat membangun kembali yang dirusakkan perang, sedikit demi sedikit karena membangun tidaklah semudah merusak. Sesuatu yang dibangun selama bertahun-tahun, dapat dirusakkan dalam waktu sehari saja.

   Bigaimana dengan Nurseta dan Wulansari? Mereka berdua ikut membantu ketika Majapahit menghalau pasukan Mongol. Setelah perang selesai, mereka melangsungkan pernikahan, dirayakan oleh Senopati Ki Medang Dangdi ayah Wulansari dengan meriah sekali, Akan tetapi Nurseta tetap tidak mau menerima pangkat dan dia bahkan mengajak isterinya untuk tinggal di lereng Gunung Anjasmoro, menjadi orang petani yang hidup tenteram dan penuh damai.

   Juga Lie Hok Yan hidup berbahagia dengan isterinya, Sumirah. Mereka memilih hidup di pantai utara dekat lautan, di mana Hok Yan dapat mempergunakan keahliannya sebagai seorang nelayan. Apa lagi di sekitar pantai utara terdapat banyak sudah orang Cina yang tinggal sebagai nelayan dan pedagang.

   Demikianlah, kisah "Sejengkal Tanah Sepercik Darah"

   Ini selesai sampai di sini dengan harapan pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembaca.

   TAMAT

   Lereng Lawu, medio September 1983.

   dino, http://indozone.net/literatures/literature/722

   10 Desember 2009 jam 1:07am

   496

   

   

   


Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini