Ceritasilat Novel Online

Sejengkal Tanah Percik Darah 4


Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 4



"Eyang, apa yang telah terjadi?"

   Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi Ki Jembros dengan suara penasaran menjawab, Iblis itu telah melarikan Wulansari melalui lauutan, dan Paman Panembahan membiarkan saja!"

   Di dalam suaranya masih terkandung perasaan marah dan penasaran.

   "Ya Tuhan......!"

   Nurseta berseru kaget sekali dan penuh kekhawatiran, Ia memandang pada pertapa itu.

   "Tapi, eyang, kenapa dibiarkan saja kakek jahat itu melarikan adik Wulansari?"

   "Sudahlah, mari kita kembali ke pondok dan bicara. Munculnya orang itu sungguh menandakan bahwa memang keadaan di kerajaan sudah mengalami perubahan besar dan agaknya cahaya keagungan Sribaginda telah mulai suram,"

   Kata Panembahan Sidik Danasura dan mereka bertiga lalu berjalan menuju ke padepokan, dengan sikap lemas dan gelisah, tanpa Wulansari.

   Nurseta menyalakaa api penerangan dan mereka lalu duduk bersila di atas tikar. Wajah Ki Jembros masih nampak berkerut penuh rasa penasaran, matanya jelalatan kadang memandang ke arah pintu keluar seolah mengharapkan munculnya Wulansari setiap saat. Nurseta bersila dan menundukkan muka menghadapi kakek pertapa itu.

   "Paman, sekarang jelaskanlah agar hati tidak menjadi panas dan penuh dengan penasaran-penasaran seperti ini. Siapakah iblis tadi dan mengapa pula dia menculik Wula sari dan agaknya paman tidak berusaha untuk mencegahnya?"

   "Dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dari Blambangan, kaki. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, memiliki bermacam ilmu kesaktian dan diantaranya dia dapat berma di dalam air lautan seperti seekor ikan. Karena dia mengambil jalan air, bagaimana aku dapat mencegah dia melarikan Wulansari? Namanya adalah Cucut Kalasekti......."

   "Wah! Sudah pernah kudengar nama itu.......!"

   Kata Ki Jembros dengan kaget.

   "Nah, dia itulah orangnya. Selama belasan tahun, dia tidak pernah mencampuri urusan dunia, oleh karena itu kalau kini dia muncul seperti para tokoh sesat lainnya sampai keluar dari tempat persembunyian bahkan melakukan hal yang menghebohkan, seperti mereka yang telah menawan Kaki Baka dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, maka hal itu hanya mempunyai satu arti, bahwa keadaan kerajaan akan mengalami banyak gangguan. Seorang seperti Cucut Kalasekti itu, tidak mungkin melakukan sesuatu hanya untuk lseng belaka, sudah tentu mempunyai maksud yang lebih besar"

   Akan tetapi, kenapa dia datang ke sini dan menculik Wulansari?"

   Ki Jembros mendesak.

   "Apa artinya seorang gadis remaja seperti Wulansari bagi seorang seperti dia, jangan disamakan dengan Ki Baka dan tombak pusaka Tejanirmala, paman!"

   'Tentu saja engkau benar, akan tetapi ketahuilah, bahwa hal-hal yang belum kita mengerti kadang-kadang mendatangkan perasaan bingung dan penasaran. Ingatlah andika, kaki, ketika pertama kali andika menyelamatkan Wulansari. Ketika pertama kali Wulansari dapat bicara dan hanya dapat mengingat namanya saja, melupakan segala masa lalunya, cara ia bicara, lupakah andika? Dari cara bicaranyapun kita pat menduga dari mana datangnya Wulansari"

   "Jagad Dewa Bathara.......!"

   Ki Jembros menepuk dahinya.

   "Benar sekali. Ia bicara seperti orang Blambangan! Sekarang, setelah tinggal di sini selama lima tahun, logatnya berubah. Akan tetapi dahulu, ingat benar aku sekarang, ia tentulah seorang anak dari timur. Akan tetapi, aku masih bingung artinya itu........?"

   "Tidak sukar diduga, kaki. Ingat, Kalasekti adalah seorang datuk Blambangan pula. Sudah pasti sekali dia tahu akan rahasia mengenai nini Wulansari, maka dia mengatakan bahwa dia datang mengambil cucunya sendiri! Agaknya sudah lama dia mencari menyuruh orang menyelidiki dan mendengar bahwa nini Wulansari masih hidup dan ada di sini. Mungkin dia mendengar bahwa Wulansari hidup bersamaku di sini, maka ia sendirilah yang datang mengambil, dan melarikan anak itu melalui laut, ia maklum hanya itulah jalan satu-satunya untuk melarikan Wulansari dariku. Kiranya ada rahasia yang lebih besar di balik semua peristiwa ini, kaki."

   Ki Jembros masih kelihatan penasaran, dia mengepal tinju.

   "Bagaimanapun juga, aku tidak akan membiarkan Wulansari terjatuh tangan iblis itu ! Aku akan pergi mencari dan merampasnya kembali!"

   "Saddhu.......... saddhu........ saddhu..."

   Panembahan Sidik Danasura merangkap tangan di depan dada.

   "Kaki Jembros, tenangkanlah batinmu dan dengarlah. Segala sesuatu yang dikehendaki oleh Hyang Widhipun terjadilah dan tak seorangpun manusia di dunia ini akan mampu merobahnya."

   "Benar, akan tetapi kita harus berikhtiar!"

   "Itu wajar, kalau memang andika tahu betel bahwa usahamu menentang itu berada di jalan yang benar. Akan tetapi, tahukah andika siapa Wulansari? Tahukah pula andika mengapa orang Blambangan itu bersusah payah membawanya pergi? Masih banyak hal yang lebih penting lagi untuk kita perhatikan, kaki. Terutama andika yang selama ini selalu mencurahkan perhatian dan tenaga untuk melaksanakan darma seorang ksatria utama. Mengenai hal Wulansari, Sang Hyang Widhi sudah menentukan garisnya sendiri,"

   "Aku maklum, paman. Akan tetapi hati ini tidak dapat merelakan, karena aku yang dahulu menyelamatkannya dari gelombang lautan

   "Nah, nah, di situlah letak kuncinya. Ketika andika menyelamatkannya, apakah ada pamrih di dalam batin andika? Kalau berpamrih, maka perbuatan itu tidak ada artinya."

   Ki Jembros nampak terkejut, lalu menggosok kedua telapak tangannya dan mengusap muka dengan kedua telapak tangannya, diapun nampak tenang sekarang.

   "Terima kasih, paman. Baru saja paman telah menggugahku dari mimpi buruk."

   Kini sepasang matanya tidak lagi mencorong liar, melainkan membayangkan kewaspadaan dan kecerdasan "Mohon petunjuk paman tentang keadaan karang ini. Apa hubungannya kemunculan tokoh-tokoh sesat yang menyerang Ki Baka dengan kemunculan datuk Blambangan itu, apa pula kaitannya dengan keadaan kota raja.

   Sejak tadi, Nurseta hanya mendengar saja, namun pemuda ini mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian sehingga tidak ada yang terlewat dari pendengarannya.

   "Segala yang dikehendaki Hyang Widhi terjadilah! Andika tentu sudah mendengar semua peristiwa yang terjadi berturut-turut selama beberapa tahun ini, bahkan sejak lima tahun yang lalu ketika andika menyelamat nini Wulansari. Ingatkah andika apa yang telah terjadi di kota raja, yang mendatangkan banyak pertentangan diantara para kawula dan pamong praja?"

   Ki Jembros mengangguk-angguk mengelus jenggot dan kumisnya yang brewok.

   "Aku ingat benar, paman. Sang Prabu telah mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan para senopati dan pejabat tinggi, dan banyak hal terjadi di luar perhitungan dan bahkan diam-diam mendatangkan keprihatinan dan kekhawatiran besar. Ki Patih Riganata telah dibebaskan dari jabatannya sebagai patih, dan menjadi Adhyaksa di Tumapel, pada hal Ki Patih Raganata itu memiliki kebijaksanaan yang amat dibutuhkan oleh kerajaan. Kemudian Tumenggung Wirakreti juga dilorot pangkatnya menjadi menteri angabaya. Juga Pujangga Santasrmeti lebih baik meninggalkan pura dan menjadi pertapa dari pada menerima penurunan kedudukannya. Lebih parah lagi, Adipati Wirareja dipindahkan ke Sumenep untuk menjadi bupati di pulau yang baru ditaklukkan itu. Semua ini merupakao peristiwa yang menggemparkan, paman. Akan tetapi, bukankah Sang Prabu melakukan hal itu demi perbaikan keadaan? Bukankah Ki Patih Raganata memang sudah sepuh dan kini diganti degan tenaga-tenaga muda seperti Ki Patih Mahesa Anengah dan dibantu oleh Apanji Angragani? Apa salahnya dengan semua perubahan yang diadakan oleh Sang Maha-Prabu itu?"

   Panembahan itu menarik napas panjang "Bukan menjadi hak kita untuk menilai benar atau salahnya tindakan yang diambil oleh Sang Prabu, kaki. Sang Prabu memiliki cita-cita yang luhur, yaitu untuk memperkembangkan Singosari dan menaklukkan seluruh daerah sampai ke Pamalayu. Akan tetapi, dalam hal ini agaknya Sang Prabu tergesa-gesa dan hal itulah yang agaknya tidak disetujui oleh para pamong praja yang kemudian dipindahkan pangkatnya itu. Para pamong itu adalah pejabat-pejabat lama yang sudah berpengalaman dan setia, mereka melihat betapa di dalam kerajaan sendiri masih terdapat ancaman-ancaman perpecahan. Sebelum memperkuat diri dari dalam, bagaimana dapat meluaskan daerah di luar? Akan tetapi sekali lagi, semua itu, adalah urusan kerajaan dan kita tidak berwenang mencampuri. Hanya aku merasa prihatin melihat munculnya para tokoh dan datuk sesat, karena ini merupakan tanda bahwa kewibawaan kerajaan mulai menyuram sehingga mungkin saja sewaktu-waktu timbul pemberontakan dan kekalutan lagi, kaki. Oleh karena itu, dari pada engkau merisaukan keadaan nini Wulansari yang agaknya diambil kembali oleh orang-orang Blambangan, tidakkah lebih bijaksana kalau engkau mempersiapkan diri dan melihat-lihat keadaan di kerajaan? Siapa tahu tenagamu dibutuhkan untuk negara dan bangsa, kaki."

   Ki Jembros mengangguk-angguk.

   "Semua yang dikatakan paman memang tepat. Pada saat seperti ini, memang bukan waktunya kita mementingkan urusan pribadi dan meributkan hati sendiri yang digerakkan karena adanya ikatan. Baiklah, paman. Saya akan melihat-lihat keadaan dan siap mempertaruhkan diri yang tidak berharga ini untuk membela negara kalau memang keadaan menuntutnya."

   Kakek itu mengangguk dan tersenyum bangga.

   "Sejak dahulu aku tahu siapa andika, Kaki Jembros. Andika ksatria lahir batin dan beruntunglah negara memiliki putera-putera seperti andika."

   Mereka masih bercakap-cakap, membicarakan keadaan Kerajaan Singosari sampai hampir semalam suntuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi Ki Jembros sudah meninggalka padepokan.

   Penilaian Sang Panembahan Sidik Danasura mengenai keadaan Kerajaan Singosari memang banyak benarnya. Sang Prabu Kertanegara (1268-1292) memang memiliki cita-cita yang besar, yaitu dia ingin mempersatukan Nusantara menjadi kesatuan yang bulat di bawah pimpinan Singosari ! Bukan saja dia menundukkan daerah daerah di Pulau Jawa, bahkan dia menundukkan daerah di luar Pulau Jawa, dan dia melakukan usaha pula untuk membina hubungan baik dengan negara tetangga seperti Melayu, Champa, Sokadana Kalimantan Barat dan dengan Pahang di pantai timur Semenanjung Malayu.

   Untuk mengikat hubungan persahabatan dia mengirimkan seorang puteri Singosari untuk menjadi isteri Raja Champa, dan banyak pula dia mengirim benda-benda berharga sebagai tanda persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Semua ini dilakukan untuk memperkuat diri karena ia maklum bahwa ada bahaya besar mengancam dari utara, yaitu balatentara Kaisar Kubilai Khan, raja Mongol yang telah berhasil menguasai bukan saja seluruh daratan Cina, bahkan balatentaranya terus menyerbu jauh ke barat dan jauh ke selatan, sampai ke Champa dan hal ini merupakan ancaman bagi Singosari sehingga Sang Prabu Kertanegara mengambil kebijaksanaan untuk memperkuat diri.

   Semua usahanya itu mendapat banyak tantangan, terutama dari Ki Patih Raganata para pejabat tua lainnya, yang melihat bahwa gerakan yang dilakukan oleh raja mereka itu mengandung bahaya besar. Pasukan dikirim untuk menundukkan daerah-daeran di luar Singosari, padahal di Singosari sendiri masih banyak terdapat perpecahan dan ancaman di dalam tubuh sendiri. Tentangan-tentangan inilah yang membuat Sang Prabu Kertanegara melakukan perubahan yang cukup menghebohkan di dalam Ketata-negaraannya, yaitu dengan menggantikan tenaga-tenaga tua dengan tenaga tenaga muda. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa justeru hal ini menambah jumlah seteru di dalam selimut, menambah jumlah mereka yang tidak puas dengan pimpinannya.

   Untuk memberi sedikit gambaran kepada para pembaca yang belum mengetahui, Sang Prabu Kertanegara adalah keturunan dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Tunggnl Ametung adalah Raja Singosari yang dijatuhkan oleh ken Arok dan kemudian Ken Arok mengambil Ken Dedes sebagai isteri, dan Ken Arok lah yang berkusa, menguasai Singosari, bahkan menguasai pula Kediri.

   Dari suami pertama, yaitu Tunggul Ametung, Ken Dedes mempunyai seorang purera yang bernama Anusapati. Anusapati mempunyai putera bernama Ranggawuni atau kemudian menjadi Sang Prabu Wishnuwardhana, dan Sang Prabu Kertanegara sekarang ini adalah putera Sang Prabu Wishnuwardhana. Sementara itu, dari suaminya yang ke dua, Ken Arok, Ken Dedes melahirkan Mahesa Wongateleng, yang berputera Mahesa Champaka, kemudian Lembu Tal yang kemudian mempunyai putera yang dikenal sebagai Pangeran Wijaya. Ken Arok masih mempunyai seorang isteri lagi yaitu Ken Umang yang kemudian melahirkan seorang putera bernama Tohjaya. Catatan ini hanya ambil para puteranya saja yang menjadi tokoh-tokoh di Kerajaan Singosari yang dahulu disebut Tumapel.

   Bagaimanapun juga, haruslah diakui bahw Sang Prabu Kertanegara telah melaksana cita-citanya untuk mempersatukan nusantara, bahkan juga berusaha untuk memperkuat keadaan Singosari sendiri. Seperti telah dibuktikan betapa untuk memelihara kedamaian antara tokoh-tokoh di dalam mencari sendiri, dia tidak membasmi keturunan Raja Kediri yaitu Raja Kertajaya yang pada tahun 1222 mengalahkan oleh Ken Arok. Bahkan dia tidak merampas Kerajaan Kediri. Kerajaan ini, walaupun tentu saja tunduk kepada Kerajaan Singosari, masih dipertahankan, bahkan mangkatnya Jayakatwang, keturunan Raja Kertajaya, menjadi Raja di Kediri! Masih lagi melanjutan langkah ini yang tentu saja dilakukan dalam usahanya memperkuat persatuan itu, yakni Sang Prabu Kertanegara bahkan berkenan mengambil putera Raja Jayakatwang bersama Ardharaja menjadi mantu. kemudian mengangkatnya menjadi seorang senopati atau panglima yang penting, memimpin pasukan besar untuk menjaga keamanan Singosari.

   Selain mengambil putera Jayakatwang sebagai mantu, juga Sang Prabu Kertanagara mengangkat Raden Wijaya, keturunan Mahesa champaka, atau keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, menjadi mantunya pula, sekaligus di kawinkan dengan dua orang puterinya! Semua itu tentu saja hanya mempunyai satu tujuan yaitu Sang Prabu Kertanagara hendak mengumpulkan tulang-tulang yang berserakan, atau hendak mempersatukan keturunan dari raja-raja yang tadinya saling bermusuhan, keturunan Tumapel, Dhaha atau Kediri, dan Singosari sendiri, menjadi satu keluarga untuk memperkuat kedudukan Singosari! Demikianlah sedikit gambaran tentang kebijaksanaan yang telah diambil oleh Sang Prabu Kertanagara.

   Akan tetapi, sudahlah lama di dunia ini, suatu kebijaksanaan seseorang tidak mungkin memuaskan semua pihak. Ada saja yang menentangnya. Hal inipun tidaklah heran, karena suatu perbuatan itu dianggap bijaksana dan baik, ataupun dianggap lalim dan buruk, oleh mereka yang menilainya. Dan setiap penilaian datangnya dari perhitungan untung rugi pribadi.

   Si penilai sudah pasti berdasarkan penilaiannya itu dari suka tidak suka, dari untung atau rugi. Kalau diuntungkan, dia suka dan tentu saja perbuatan itu dianggapnya bijaksana dan baik. Sebaliknya, kalau perbuatan itu mendatangkan kerugian bagi seseorang, sudah pasti perbuatan itu dianggapnya lalim dan buruk!

   Demikian pu dengan "kebijaksanaan"

   Yang diambil oleh Sang Prabu Kertanegara. Bagi mereka yang merasa diuntungkan dengan kebijaksanaan itu su pasti mendukungnya dengan setia, karena yang didukungnya itu sesungguhnya bukan Sang Prabu Kertanagara, melainkan keuntungan yang didatangkan oleh kebijaksanaan itu. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa dirugikan dengan kebijaksanaan itu, sudah pasti menentangnya mati-matian karena yang ditentangnya adalah kerugian bagi diri sendiri itulah.

   Memang tepat seperti yang diterangkan oleh Panembahan Sidik Danasura kepada Ki Jembros, pada waktu itu Kerajaan Singosari ditinggalkan sebagian besar bala tentaranya. Lima tahun yang lalu, pasakan Singosari berhasil menumpas pemberontakan, kemudian pasukan menyeberang selat Madura dan menundukkan Madura. Kemudian Arya Wiraraja yang juga dikenal sebagai Banyak Wide diangkat menjadi bupati di Sumenep untuk mengatur pulau yang baru ditaklukkan itu, angkatan ini bahkan tidak memuaskan Arya Wiraraja karena pada hakekatnya jauhkan dia dari Singosari dan memberinya dengan tugas berat, maka diam-diam diapun merasa tidak puas, bahkan menganggap hal itu sebagai usaha Sang Prabu Kertanagera untuk menjauhkan diri dan mengurangi kuasaannya di Singosari.

   Dan kini, pasukan yang sangat besar sekali dikirim ke Pamalayu, dengan harapan agar tanpa banyak mempergunakan kekerasan, Raja Malayu (Sumatera) akan dapat ditundukkan dan mengakui kekuasaan Singosari. Pengiriman pasukan besar inilah yang menjadi perdebatan di dalam istana, karena begitu mendengar akan niat Sang Prabu Kertanagara, maka semua hulubalang dan senopati berkumpul dan menghadap.

   Terutama sekali Empu Raganata yang telah lama menjadi patih yang amat bijaksana menyatakan keberatannya.

   "Hamba mengerti akan pentingnya menarik Malayu sebagai sekutu untuk menghadapi ancaman Tartar dari utara, Kanjeng Sinuwun. Akan tetapi, hamba kira sekarang belum saatnya untuk mengosongkan kerajaan dari penjagaan yang kuat. Baru saja pemberontakan Baya dapat dipadamkan, dan hamba khawatir kalau-kalau masih akan ada lagi pemberontakan lain. Kalau sampai terjadi pemberontakan besar-besar di dalam negeri, sedangkan balatentara sebagian besar berangkat ke tempat sejauh Malayu, lalu bagaimana kita harus membela diri?"

   Demikian antara lain Empu Raganata memberi nasihat kepada raja yang juga didukung oleh banyak senopati yang hadir.

   Akan tetapi Sang Prabu Kertanagara tersenyum melihat bekas patih tua itu.

   "Siapakah kiranya yang akan berani melakukan pemberontakan, paman Empu? Kami sudah berlaku seadil-adilnya dan kami kira semua pamong praja mendukung kami, bagaimana paman dapat membayangkan hal yang bukan-bukan, Bahwa dikhawatirkan akan ada pemberontakan dalam kerajaan?"

   "Ampun beribu ampun, Kanjeng Sinuwun. Dalamnya bengawan dapat diukur, akan tetapi dalamnya hati manusia siapa mampu mengukurnya? Seyogianya paduka ingat bahwa bagaimanapun juga, dendam keluarga turun temurun masih terdapat di Singosari. Bukankah Singosari mempunyai hutang dendam terhadap kerajaan Kediri? Hamba sendiri melihat betapa sudah terlalu lama Sang Adipati Jayakatwang tidak pernah datang menghadap paduka. Hal seperti inilah yang perlu dijaga, juga kaum sesat dari golongan hitam yang menaruh dendam karena pernah mereka itu dibasmi dihadapi dengan kekerasan, kalau melihat betapa kekuatan pasukan kerajaan menjadi lemah dan lengah, kemungkinan besar mereka akan bangkit."

   Mendengar ucapan ini, banyak di antara para senopati saling pandang. Hal yang disinggung oleh bekas patih tua itu cukup gawat dan peka, karena jelas menyatakan kesangsian kecurigaan terhadap Adipati Jayakatwang dari Kediri.

   Patih Mahesa Anengah, yang baru diangkat menjadi patih menggantikan Empu Raga ketika mendengar ucapan itu, mengerut alisnya dan diapun cepat menghaturkan bah kepada Sribaginda.

   "Ampunkan hamba kalau hamba berani lancang menanggapi pendapat Paman Empu. Raganata, Kanjeng Sinuwun. Hamba kira tidak mungkin kalau di dalam batin Raja Jayakatwang terkandung sesuatu yang tidak selayaknya terhadap paduka. Agaknya Paman Empu Raganata lupa siapakah Raja Jayakatwang itu. Bukankah beliau kini menjadi orang yang hidup mulia di istana Kediri hany karena kemurahan hati Kanjeng Sinuwun yang bijaksana? Apa lagi kalau diingat bahw putera beliau juga diambil mantu oleh Kanjeng Sinuwun, berarti bahwa Raja Jayakatwang merupakan besan yang berhutang budi banyak sekali. Kalau beberapa lama beliau tidak datang menghadap, tentu sedang berhalangan dan jangan sekali-kali hal itu dianggap sikap permusuhan. Kanjeng Sinuwun sendiri: mengambil langkah perssatuan yang amat bijaksana, bagaimana mungkin kini kita harus menganjurkan perpecahan?"

   Mendengar ucapan patihnya yang baru ini, Sang Prabu Kertanagara sangat menyetujui dan diapun menolak nasebat Empu Raganata tadi. dan diantara para senopati dan hulubalang, diam-diam terjadi pula perpecahan, ada yang diam-diam menyetujui pendapat Empu Raganata, ada pula sebagian yang menentangnya namun, di depan Sang Prabu Kertanagara, mereka tidak memperlihatkan isi hati mereka.

   Demikianlah, akhirnya pasukan besar dikirim juga ke Melayu. Pasukan besar itu dipimpin oleh Senopati Kebo Anabrang, dan diantarkan oleh sekalian senopati, bahkan juga Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani sampai ke pantai laut Tuban. Setelah pasukan itu berangkat berlayar, para senopati kembali ke Singosari dan Sang Prabu Kerta-gara merasa gembira dan puas. Dia merasa telah berhasil melaksanakan suatu gerakan besar yang akan memperkuat kedudukan Singosari. Malayu dapat menjadi perisai dan garis terdepan untuk menahan gelombang ancaman pasukan Tartar yang sedang merajalela di utara dan barat.

   Akan tetapi, apa yang dikhawatirkan bekas patih tua itu, Empu Raganata, ternyata terbukti dengan amat cepatnya. Melihat betapa keadaan kota raja Singosari kini lemah karena ditinggalkan sebagian besar dari pasukannya, maka bergeraklah dunia hitam. Golongan sesat mulai berani keluar dari tempat persembunyian mereka. Maling dan perampokan mulai sering terjadi dan hukum rimba mulai menguasai daerah pinggiran di mana pasukan keamanan kota raja tidak dapat bertugas Iangsung menangani keamanan.

   Tentu saja yang menderita adalah rakyat, karena apa yang selalu didambakan oleh rakyat di dunia manapun juga, yaitu tata-tenteram-kerta-raharja mulai terganggu. Diantara peristiwa-peristiwa yang menjadi akibat dari ulah para tokoh sesat itu, terjadilah hal yang menimpa diri Ki Baka, dan juga apa yang terjadi di Teluk Prigi Segoro Wedi di pantai Segara Kidul, di mana Wulansari diculik oleh seorang kakek sakti yang bernama Cucut Kalasekti.

   Masih untunglah bagi Singosari bahwa biarpun sebagian besar pasukan kerajaan itu meninggalkan Pulau Jawa untuk melawat ke Melayu, biarpun yang tinggal di Kerajaan Singosari hanya tinggal sebagian kecil saja, namun Kerajaan Singosari memiliki banyak senopati yang gagah perkasa dan setia kepada kerajaa Selain Raden Wijaya, pangeran yang masih amat muda akan tetapi telah memiliki kegagahan dan amat disegani dan dihormati para senopati. Raden Wijaya sebagai keturunan Narasinga, nama lain dari Mahesa Campaka, amat dicintai oleh para senopati karena memang pemuda ini selain gagah perkasa, pandai pula membawa diri dan berjiwa patriot, setia terhadap negara, kerajaan dan bangsa.

   Diantara para senopati muda yang setia dan menjadi banteng-banteng Kerajaan Singosari tercatat nama-nama yang terkenal di dalam sejarah seperti Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wiragati, Ronggo Lawe dan masih banyak lagi. Sederetan nama inilah yang masih amat disegani oleh para tokoh sesat karena mereka itu adalah senopati-senopati yang memiliki aji kesaktian dan merupakan pendekar-pendekar yang selalu siap mempertahankan negara dan bangsa dengan taruhan nyawa, setiap jengkal tanah mereka pertahankan dengan sepercik darah.

   Ki Buyut Pranamaya tinggal di dalam padepokan itu bersama seorang muridnya, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan gagah perkasa sikapnya, matanya jeli dan hitam mengeluarkan sinar berapi, leher dan lengannya yang besar itu dilingkari otot-otot. Usianya hampir empatpuluh tahun melihat sinar mata dan tarikan dagunya, juga nampak bahwa dia seorang yang memiliki watak yang keras, pemberani dan biasa mengandal kekuatan dan kekerasan.

   Murid Ki Buyut Pranamaya ini bernama Mahesa Rangkah. Kira-kira tiga tahun dia menjadi murid Ki Buyut Pranamaya, sehingga dalam hal kesaktian, dia masih jauh sekali kalau dibandingkan dengan gurunya.

   Nama besar Ki Buyut Pranamaya banyak dikenal oleh para datuk, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, karena memang Ki Buyut Pranamaya terkenal sebagai seorang ahli tapa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna. Akan tetapi, tidak seorangpun mengetahui bahwa selama tiga tahun terakhir ini dia melakukan penggemblen atas diri Mahesa Rangkah. Hal ini sesungguhnya bukan karena kakek itu suka akan bakat yang dimiliki Mahesa Rangkah yang sudah tidak muda lagi, melainkan karena dia melihat bahwa Mahesa Rangkah mempunyai cita-cita yaitu memberontak terhadap Kerajaan Singosari !

   Inilah satu-satunya sebab mengapa Ki Buyut Pranamaya mau menurunkan sebagian ilmunya kepada Mahesa Rangkah, apa lagi melihat bahwa Mahesa Rangkah memiliki hubungan yang amat luas di dunia kaum sesat, dan dia percaya bahwa Mahesa Rangkah akan mampu menghimpun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Sang Prabu Kertanagara. Akan tetapi Ki Buyut Pranamaya tidak ingin terlibat langsung, maka diapun hanya membantu dengan pemberian sebagian ilmunya dan juga ya memberi nasihat dari belakang layar saja.

   Siapa Mahesa Rangkah dan mengapa pula merencanakan pemberontakan? Untuk mengtahui hal ini, mari kita ikuti pertemuan aneh yang terjadi di pagi hari itu di Bukit Gandamayit yang terkenal angker itu. Di depan pondok kayu itu mereka nampak duduk berkumpul, duduk begitu saja malang melintang di atas batu-batu, akar kayu atau di atas rumput, seenaknya membuat lingkaran besar. mereka terdiri dari kurang lebih tigapuluh orang, dan masih ada puluhan orang lain yang ada agak jauh karena mereka itu hanyalah anak buah yang tidak berhak duduk di dalam perundingan yang sedang dilakukan oleh para pemimpin mereka.

   Mahesa Rangkah sendiri duduk di atas batu bundar yang biasa dipakai duduk di depan pintu pondok yang nampak terbuka. Tidak nampak Ki Buyut Pranamaya di situ walau semua orang yang berdatangan itu tahu bahwa kini Mahesa Rangkah telah menjadi murid pertapa sakti mandraguna itu. Justru kabar inilah yang membuat mereka itu mau merendahkan diri memenuhi panggilan Mahesa Rangkah bahkan siap mengangkat Mahesa Rangkah menjadi pimpinan mereka dalam usaha mereka untuk memberontak, sebagian besar membalas dendam terhadap Kerajaan Singosari sebagian pula tentu saja untuk mencari keuntungan dalam gerakan itu. Siapa tahu kalau gerakan itu berhasil, dari seorang tokoh sesat mereka akan kebagian kursi dan kemulia atau setidaknya, mereka akan dapat memperoleh oleh hasil barang-barang berharga yang dapat mereka rampas, atau juga puteri cantik di istana raja dan para priyayi agung!

   Diantara kurang lebih tigapuluh orang itu, nampak pula mereka yang dulu pernah mengeroyok Ki Baka. Ada Ki Sardulo, datuk sesat dari Banyuwangi. Ada pula Gagak Wulung yang agaknya masib bersahabat baik dengan Ni Dedeh Sawitri karena dia duduk dekat dengan wanita cantik itu, dan sepasang mata Gagak Wulung selalu menyambar ganas apa bila ada tokoh lain yang berani bersikap terlalu akrab terhadap wanita cantik dari Pasundan itu.

   Ada pula tiga orang pemimpin kumpulan Clurit Lemah Abang dari Madura, itu tiga kakak beradik yang bernama Soradipo, Sorawani dan Sorakayun. Diantara mereka tampak pula orang-orang yang dianggap jago dari Dhaha atau Kediri, Diantaranya ada Bango Dolog, Ki Prutung, Pencok Sahang dan Ki Kampinis. Orang-orang ini sesungguhnya adalah orang-orang percayaan dari Raja Jayakatwang yang sudan mendengar akan gerakan yang akan dipimpin oleh Mahesa Rangkah, dan mereka itu secara diam-diam menyamar sebagai para jagoan untuk menjajagi keadaan dan kalau perlu membantu gerakan itu untuk melemahkan Singosari.

   Tentu saja hanya Gagak Wulung yang tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang yang terpercaya oleh Sang Prabu Adipati Jayakatwang. Akan tetapi karena Gagak Wulung sendiri adalah seorang datuk Kediri, maka diapun pura-pura tidak tahu saja. Sebagai seorang jagoan Kediri, Gagak Wulung sendiripun tidak sungguh-sungguh mau menjadi anak buah Mahesa Rangkah, seorang pemberontak biasa hanya memberontak karena urusan pribadi dan dia merasa lebih tinggi martabatnya kareena Gagak Wulung menganggap dirinya sebagai seorang pendekar patriot yang setia terhadap Kerajaan Kediri ! Namun, sebagian besar dari mereka yang hadir, masing-masing ingin bergabung dan mengambil keuntungan dari gerakan itu, tentu saja.

   Kini nampak Mahesa Rangkah bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh kekar itu memang mendatangkan wibawa. berdiri di atas batu itu, matanya yang bersih tajam jelalatan memandang ke kanan kiri kepada semua orang yang hadir dan duduk seenaknya membuat lingkaran di depan pondoknya. Lalu dia mengangkat tangan kanan kiri ke atas sebagai salam.

   "Selamat datang, kawan-kawan semua terima kasih bahwa andika telah mau memenuhi undangan kami, datang di Bukit Gandamayit dan berani memasuki hutan angker Cempiring. Sudah sepantasnya kalau sebelum kita bicara, kita makan minum dulu karena andika tentu telah lapar dan kehausan setelah melakukan perjalanan jauh dan sukar. Untuk itu, kami telah siap dengan sepuluh ekor kerbau yang siap untuk disembelih dan dipanggang dagingnya, juga kami sudah menyediakan tuak, arak yang cukup banyak. Akan tetapi sebelum kita mulai berpesta lalu bicara, ingin kami mendengar lebih dahulu apakah andika sekalian ini tahu akan maksud sebenarnya mengapa kita berkumpul di sini pada hari ini"

   Semua orang memandang kepada Mahesa Rangkah dan orang-orang mulai tertawa. Suara tertawa mereka macam-macam, ada yang terbahak, ada yang terkekeh, ada yang meringkik. dan ada yang hanya senyum-senyum. Kalau mendengarkan dari jauh, sungguh membuat orang biasa akan menggigil ketakutan dan mengira bahwa para iblis penghuni tempat angker itu sedang tertawa-tawa.

   "Huah-ha-ha-ha, adi Mahesa Rangkah. Perlukah dipertanyakan lagi? Tentu ada hubungannya dengan lemahnya Singosari dan terbukanya kesempatan baik bagi kita untuk bergerak menyerang Kerajaan Singosari. Bukankah begitu, kalau tidak begitu, habis untuk apa lagi?"

   Terdengar suara seorang Iaki-laki yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, kepalanya botak dan punggungnya berpunuk. Biarpun rupa dan bentuk tubuhnya seperti itu, namun orang ini bukan orang sembarangan karena nama Ki Kalakatung dari Blitar ini cukup terkenal. Suaranya nyaring dan semua orangpun mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.

   "Hancurkan Singosari"

   "Mampuskan Kertanagara !"

   "Rampas seluruh harta kekayaannya!"

   "Bagi-bagi puteri-puteri dan para dayangnya !"

   Ramailah mereka itu berteriak-teriak dan kembali Mahesa Rangkah mengangkat kedua tangan ke atas minta agar mereka tenang. Dia tersenyum gembira sekali karena dari sikap mereka ini, orang-orang ini memang boleh diharapkan untuk memperkuat pasukannya.

   "Akan tetapi, kita harus ingat akan kenyataan bahwa para senopati yang berada di Singosari sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dan pasukan merekapun masih ada"

   "Tidak berapa banyak!"

   Kata Bango Dolong yang sengaja memancing dan membesarkan semangat Mahesa Rangkah.

   "Biarpun demikian, kitapun perlu menghimpun pasukan yang cukup kuat. Aku sendiri sudah siap dengan limaratus orang pilihan kata Mahesa Rangkah sambil memandang mereka.

   "Dan berapa orangkah anak buah kalian masing-masing?"

   Mereka menjawab dengan kacau, ada yang mengatakan ratusan, puluhan, akan tetapi agaknya tak seorangpun Diantara mereka yang tidak mempunyai anak buah dan hal ini makin menggembirakan hati Mahesa Rangkah

   "Nanti dulu, aku ingin mengajukan pertanyaan yang harap dijawab oleh Ki Mahesa Rangkah dengan jujur"

   Tiba-tiba terdengar suara orang. Suaranya kecil seperti suara wanita, namun yang bicara itu ternyata seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, wajahnya cukup tampan akan tetapi tubuhnya kurus kecil dan sikapnya agak genit seperti wanita ketika ia berdiri dan bicara.

   "Ajukanlah pertanyaanmu, Raden Galinggangjati!"

   Jawab Mahesa Rangkah dan semua orang yang belum mengenal orang laki-laki yang genit ini terkejut. Kiranya inilah yang dikenal dengan sebutan Raden Galinggangjati, yang terkenal sebagai iblis yang menguasai pegunungan Gajahmungkur itu.

   "Kami semua jelas membenci Sang Prabu Kartanegara di Singosari karena berbagai alasan, akan tetapi andika sendiri, Ki Mahesa Rangkah. Apa yang menyebabkan andika hari ini mengumpulkan kami semua dan mengajak kami untuk melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Singosari?"

   Mahesa Rangkah mengangguk-angguk.

   "Benar, sekali, andika semua harus tahu dengan jelas. Nah, dengarlah baik-baik. Dendam yang bersemi di dalam hatiku ini dimulai ketika ayah Sang Prabu Kertanegara masih menjadi raja. Sang Prabu Wishnuwardhana yang menyerang Mahibit dan membunuh ayahku. Nah, selama itu aku selalu mencari sempatan untuk membalas dendam, namun selalu gagal dan sekaranglah tiba saatnya yang amat baik. Bukan hanya sekarang Singosari sedang lemah, pasukannya yang terbesar melakukan pelayaran ke Malayu, akan tetapi kawan-kawan semua mengandung dendam sama sehingga kita dapat bekerja sama. Selain itu, di belakangku mendapat dukungan dari Eyang Buyut Pranamaya yang mendatangkan keyakinan akan kemenangan kita. Apa lagi karena menurut Eyang Buyut Pranamaya kita diberkahi oleh tombak pusaka Ki Ajeng Tejanirmala!"

   "Ahh........! Mana mungkin? Aku tidak percaya begitu saja, Mahesa Rangkah!"

   Kata Ni Dedeh Sawitri dengan suaranya yang melengking.

   Mahesa Rangkah mengerutkan alisnya "Dedeh Sawitri! Andika tidak percaya kepadaku masih tidak mengapa, akan tetapi beranikah andika tidak mempercayai janji Eyang Buyut Pranamaya?"

   Mendengar nama orang tua itu, Ni Dedeh Sawitri agak gentar, akan tetapi ia membantah "Begini, Mahesa Rangkah. Ketidakpercayaanku bukan ngawur saja, melainkan berdasarkan. Ketika itu, beberapa orang Diantarara kami menyerbu tempat kediaman Ki Baka untuk merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Akan tetapi, ada seorang kakek aneh yang menyelamatkannya dan kami tidak berhasil mendapatkan Tejanirmala. Bagaimana kini tahu-tahu andika mengatakan bahwa gerakan akan diberkahi tombak pusaka itu? Dan aku melihat sendiri bahwa bukan Eyang Buyut Pranamaya yang menyelamatkan Ki 'Baka"

   Mahesa Rangkah tertawa.

   "Apapun dapat dilakukan oleh Eyang Buyut. Tidak ada yang tidak mungkin bagi beliau. Siapa tahu beliau telah merampasnya dari Ki Baka kakek penolongnya itu. Yang jelas, aku telah melihat dengan mata kepala sendiri tombak pusaka itu di tangan Eyang Buyut Pranamaya, oleh karena itulah maka aku merasa yakin bahwa gerakan kita ini sudah pasti akan hasil"

   Mendengar ini, semua orang bersorak gembira dan Mahesa Rangkah berkata.

   "Sekarang, marilah kita berpesta dulu, mengisi perut, baru kita nanti bicara untuk menentukan waktu dan mengatur siasat yang harus direncanakan sebaiknya!"

   Dia memberi isarat dan datanglah anak buahnya menuntun sepuluh ekor kerbau beberapa puluh ekor ayam.

   Lalu terjadilah penyembelihan kerbau-kerbau itu, dilakukan dengan hiruk pikuk dan terjadilah pesta yang khas pestanya orang-orang kasar seperti mereka. Seperti berebut saja mereka memotongi daging kerbau atau ayam, memberinya bumbu dan memanggang di tempat pemanggangan yang dibuat di banyak tempat oleh anak buah Mahesa Rangkah.

   Tuak dan arakpun hidangkan dan mulailah mereka makan minum secara yang amat tidak teratur, seperti sekawanan gerombolan binatang buas, seolah-olah saling berebutan atau berlumba, makan dengan amat gembulnya. Ada pula yang makan daging dalam keadaan setengah matang atau bahkan masih mentah. Semua itu diselingi suara tertawa dan obrolan-obrolan.

   Sementara itu, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri sudah pula memegang setusuk daging besar yang sudah mereka panggang dan mereka berdua kini duduk agak menjauh dari orang lain. Sambil makan daging itu minum tuak, mereka bicara lirih-lirih.

   "Kakang Gagak Wulung, aku masih penasaran sekali. Bagaimana mungkin Tejanirmala kini berada di tangan Mahesa Rangkah?"

   Bisik wanita itu dan giginya yang putih kuat itu menggigit daging bakar yang kemerahan lalu mengunyahnya dengan nikmat.

   "MEMANG aneh. Akan tetapi seperti yang dikatakan Mahesa Rangkah tadi, bukan tidak mungkin Ki Buyut Pranamaya merampasnya dari tangan Ki Baka dan kakek penolongnya itu. Kita sudah mendengar akan kehebatan Ki Buyut yang sakti mandraguna"

   Jawab Gagak Wulung sambil menggigit daging kerbau diujung tusukan daging dari bambu.

   "Akan tetapi, sebelum melihatnya sendiri, bagaimana aku dapat percaya?. Ingat, kakang, bukankah kita berdua sampai ke sini dengan niat untuk kepentingan pribadi kita sendiri, bukan semata-mata ingin menghambakan diri lepada Mahesa Rangkah?"

   "Ssttt........ hati-hati kau bicara, Ni Dedeh. Lihat, banyak orang sedang memandang kesini. Kalau katamu didengar orang, kita bisa celaka......"

   (Lanjut ke Jilid 05)

   Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05

   
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Ni Dedeh Sawitri tersenyum mengejek, akan tetapi senyumnya berubah manis sekali ketika seorang laki-laki yang ganteng berperawakan tinggi besar berotot datang mendekati tempat mereka. Laki-laki itu adalah Ki Prutung, seorang jagoan dari Kediri. Usianya kurang lebih tigapuluh tahun, biarpun tidak setampan Gigak Wulung, namun jelas dia lebih gagah dan lebih muda, dan sepasang matanya yang memandang kearah Dedeh Sawitri jelas membayangkan kekaguman.

   "Bukankah dia seorang jagoan dari Kediri pula, kakang Gagak Wulung? Kulihat ada banyak orang Kediri di sini. Hemm......."

   Kata wanita itu sambil melepas kerling dan senyumnya yang khas kearah KI Prutung.

   Mendengar kata-kata ini, Gagak Wulung cepat berbisik kembali.

   "Tidak ada hubungan antara mereka dengan aku"

   "Tentu saja"

   Jawab Ni Dedeh.

   "kalau kau menjadi alat Kerajaan Kediri, akupun tidak mau bekerja sama. Kau tahu aku tidak akan mau diperalat oleh kerajaan manapun. Kembali tentang pusaka itu, hatiku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri.......?"

   Tiba-tiba Ni Dedeh menghentikan katanya, ia tidak lagi memandang kearah Ki Prutung, melainkan menoleh kearah seorang laki-laki yang berjalan santai mendekati tempat mereka. Gagak Wulung ikut pula menoleh dan alisnya berkerut.

   "Huh... kiranya dia ikut datang pula"

   Jelas suaranya mengandung perasaan tidak senang.

   "Siapakah dia? Wah, tampan sekali dia, kakang Gagak Wulung"

   Makin dalam kerut diantara sepasang alis Gagak Wulung.

   "Siapa lagi kalau bukan si hidung belang itu? Dia Raden Bangokuning, masih keturunan priyayi Kediri, seorang sombong tapi kosong......"

   "Wah, perkenalkan aku padanya, kakang"

   Kata Ni Dedeh pula dengan gembira sambil melepas kerling dan senyum kepada orang itu. memang harus diakui bahwa pria yang bernama Raden Bangokuning itu tampan, lebih menarik dari pada Gagak Wulung sendiri. Usianya juga kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan, pakaiannya pesolek dan agaknya tidak pantas dia berada diantara orang-orang kasar itu.

   Ki Prutung yang sejak tadi main mata dengan Ni Dedeh, Kini mengerutkan alisnya melihat betapa wanita itu kini mengalihkan perhatiannya kepada Raden Bangokuning yang juga sudah dikenalnya karena mereka sama-sama datang dari Kediri.

   Sementara itu, Raden Bangokuning sudah mendekati Gagak Wulung.

   "Wah, kiranya Paman Gagak Wulung juga berada di sini. Dan siapakah temanmu yang cantik jelita bagaikan bidadari kahyangan ini, paman"

   Orang muda itu mendekat dan dengan sepasang matanya dia mengamati wajah dan tubuh Ni Dedeh Sawitri yang merasa seolah-olah pria itu dengan pandang matanya sedang meraba-rabanya dengan mesra.

   Iapun tersenyum dan dengan gerak bibir manja dan menarik ia menggigit daging merah itu, mempermainkan daging itu dengan bibir dan giginya sehingga Raden Bangokuning menjadi semakin terpesona dan gemas.

   Mendongkol juga prasaan hati Gagak Wulung. Si bedebah ini sengaja menyebut "paman"

   Seolah-olah hendak menonjolkan diri barwa dia jauh lebih muda dari pada Gagak Wulung di depan Ni Dedeh Sawitri.

   Sementara itu. Ni Dedeh yang dapat melihat betapa kekasihnya itu dilanda cemburu, sengaja terkekeh genit lalu maju menyambut Raden Bangokuning sambil berkata.

   "Perlukah ini saling diperkenalkan? Kita sudah cukup dewasa untuk berkenalan sendiri, bukan? bukankah andika ini yang bernama Raden Bagus Bangokuning?"

   Raden Bangokuning tersenyum, senang manva ditambah dengan sebutan "Bagus"

   "Tobat-tobat, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang puteri yang selain cantik jelita, manis, ayu luwes dan gandes, juga amat cerdik, sehingga sudah dapat menduga siapakah namaku sebenarnya. Akan tetapi akupun tidak mau kalah. Biarkah aku menduga-duga siapa adanya andika ini"

   Ni Dedeh tersenyum dan membuang sisa daging yang ada di tusuk bambunya. lalu meminum tuak, menjilati sepasang bibirnya dengan ujung lidahnya dengan gaya erotis dan gerakan ini tentu saja mengundang debar jantung di dalam dada Raden Bangokuning.

   Meremang rasa tengkuknya oleh gairah yang dibangkitkan oleh gerakan lidah dan bibir wanita itu.

   "Coba kau perlihatkan kemampuanmu orang bagus"

   Raden Bangokuning bukaniah seorang bodoh. Tentu saja dan kawan-kawannya para tokoh Kediri, dia tadi sudah bertanya-tanya, siapa adanya wanita ayu yang bersama Gagak Wulung itu.

   Kini dia berlagak mengerahkan pikirannya.

   "Heran, kau wanita yang cantik seperti bidadari, dengan rambut yang agak keriting, kecantikanmu dan cara kau berpakaian berbeda dengan daerah ini, dan suaramu, logat bicaramu, jelas menunjukkan bahwa andika adalah seorang yang datang jauh dari barat dari Pasundan. Akan tetapi andika pandai sekali bicara seperti orang menggunakan bahasa halus dari Dhaha. Hemm, siapa lagi wanita cantik dan Pasundan yang pernah tinggal di Dhaha, siapa lagi kalau bukan Dyah Ayu Ni Dedeh Sawitri?"

   "Bukan main. Andika memang hebat, hebat dari yang kuduga. Ah, ingin aku tahu apakah dalam hal-hal lain kau juga sehebat ini"

   Dan kini pandangan wanita itu kini yang menjelajahi seluruh pria itu, dari kepala sampai ke kaki, seakan-akan hendak membelai seluruh tubuh itu dengan pandangan matanya.

   "Ha-ha, Ni Dedeh Sawitri, hal seperti tentu saja harus dibuktikan lebih dahulu"

   Kata Raden Bangokuning.

   Sementara itu, kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, ingin Gagak Wulung membentak atau memukul orang muda dari Kediri itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan hal itu. Antara dia dan Ni Dedeh Sawitri memang sudah terdapat pengertian bahwa yang satu tidak boleh mengikat yang lain dalam hal mencari hiburan. Setiap saat, boleh saja Gagak Wulung bergaul dengan wanita lain atau Ni Dedeh bergaul dengan pria lain, asalkan hal itu bukan secara terang-terangan, bukan sembunyi-bunyi, bahkan kemudian mereka akan menceritakan pengalaman masing-masing membandingkan kemampuan kenalan baru dengan diri masing-masing? Akan tetapi, Raden Bangokuning terlalu menyolok dan Gagak Wulung merasa muak, karena sikap Raden Bangokuning itu hanya menunjukkan kementahannya terbadap wanita.

   Pada saat itu, terdengarlah suara lantang Mahesa Rangkah yang mengatasi semua kegaduhan yang terjadi di situ karena kini hampir semua orang sudah selesai makan dan dalam keadaan setengah mabuk oleh tuak dan arak.

   "Kawan-kawan sekalian. Baru saja kami mendapat isarat dari Eyang Buyut Pranamaya, harap andika sekalian suka mendengarkan baik-baik dan melihat ke sini"

   Semua orang menengok kearah pondok. Mahesa Rangkah masih diduk di depan pondok dan kini nampak api unggun menyala besar di depannya. Bahkan Ni Dedeh Sawitri juga tertarik dan dipegangnya tangan Raden Bangokuning yang tadi menyentuh lengannya dengan lembut.

   "Hentikan, belum waktunya kita bermain-main, mari kita lihat dan dengar apa yang akan terjadi di sana"

   Bisiknya. Juga Gagak Wulung kini menengok dan memandang penuh perhatian.

   Terdengar lagi suara Mahesa Rangkah.

   "Eyang Buyut Pranamaya memberi isarat bahwa tanpa memperlihatkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada andika semua, akan timbul keraguan. Oleh karena itu, kami dapat isarat bahwa Eyang Buyut sendiri akan memperiihatkannya dan membuktikan bahwa pusaka keramat itu benar berada beliau dan akan menyinari gerakan kita sampai berhasil"

   Mahesa Rangkah melemparkan sekepal menyan ke dalam api dan nampaklah asap bergulung-guiung naik sampai tinggi dan semua orang mencium bau harum kemenyan yang khas. Dan semua mata terbelalak ketika melihat betapa di atas api itu, diantara asap yang bergulung naik, mulailah asap itu membentuk sosok seorang kakek yang berumur tujuh puluh tahun, tubuhnya sedang dan berdiri tegak, mukanya dihias kumis dan jenggot yang keputihan, pakaiannya serba hitam. Akan tetapi bukan kakek itu menjadi pusat perhatian semua orang, melainkan sebatang tombak yang diangkatnya tingi-tinggi oleh kakek itu, Sebatang tombak yang gagangnya terbuat dari bambu kuning, tombak itu sendiri berwarna putih, mengkilap seperti perak. Tak salah lagi, itulah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, karena ,walaupun jarang diantara mereka pernah melihatnya, namun sudah mendengar keterangan ciri-ciri tombak itu. Dan bayangan asap itu siapa lagi kalau bukan Ki Buyut Pranama yang terkenal sakti mandraguna.

   Asap itu perlahan-lahan membuyar dan bayangan kakek yang mengangkat tinggi sebatang tombak itupun lenyap. Semua orang yang tadi memandang kagum, kini merasa gembira dan mereka percaya sepenuhnya bahwa itulah Ki Buyut Pranamaya, guru dari Mahesa Rangkah yang sakti mandraguna, sudah memperlihatkan bukti bahwa memang benar tombak pusaka Tejanirmala telah berada di pihak mereka dan sudah pasti akan menerangi dan memenangkan gerakan mereka untuk menghancurkan Singosari. Maka, terdengarlah sorak sorai sebagai luapan kegembiraan mereka.

   Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya Mahesa Rangkah dan para tamunya duduk kembali membuat lingkaran dan merekapun mulai mengadakan perundingan, mengatur siasat yang harus direncanakan sebaik mungkin untuk memulai gerakan mereka.

   "Kita harus mengumpulkan anak buah kita untuk digabung menjadi satu di hutan Cempiring ini. Tak akan ada yang menduganya bahwa kita menyusun kekuatan di sini, juga pihak Singosa takkan menduganya. Di Bukit Gandamayit ini anak buah kita itu dijadikan satu dan dilatih sebagai satu pasukan. Sedikitnya akan memakan waktu selama tiga bulan untuk membuat mereka menjadi pasukan yang tangguh dan sementara kita terus mencari dan mengumpulkan teman-teman sehaluan. Dan untuk itu, kami harap andika sekalian suka lebih dulu menerima aku sebagai pimpinan pergerakan ini. Di belakang kami terdapat Ki Buyut Pranamaya sebagai guru kami dan juga tombak pusaka Tejanirmala"

   Semua orang mengangguk-angguk dan tanpa ragu lagi mereka lalu menerima Mahesa Rangkah sebagai pimpinan. Mahesa Rangkah menjadi girang dan diapun berkata.

   "Singosari kini sedang lemah. Raja Kertanagara hanya bersenang-senang saja. Kalau keadaan kita sudah kuat, kita mengambil kesempatan selagi Raja Kertanagara berburu di hutan, kita melakukan penyergapan, sebagian menyergapnya di hutan, sebagian lagi menyerbu ke kota raja dan menduduki istana. Kalau sudah terjadi hal demikian, tentu rakyat akan mendukung kita"

   Ramailah keadaan di tempat itu ketika masing-masing mengajukan usul-usul dan siasat. ada yang mengusulkan untuk membuat pertahanan Singosari semakin lemah dengan cara melakukan gangguan keamanan di luar kota raja. menciptakan kekacauan sehingga kehidupan rakyat jelata menjadi semakin kacau, dan hal ini tentu menggelisahkan pamong praja, memecah belah kekuatan mereka. Ada yang mengusulkan untuk secara rahasia membuat para senopati dan pera pembesar yang setia kepada Singosari. Pendeknya, mereka semua berusaha untuk mencari jalan bagaimana caranya ia membuat Kerajaan Singosari menjadi semakin lemah.

   Baru setelah malam tiba, perundingan dihentikan dan kembali mereka berpesta lagi dengan menyembelih kerbau-kerbau lagi. reka tidak perlu meninggalkan hutan itu, kecuali mereka yang masih harus mempersiapkan anak buahnya yang belum diajak ke tempat itu. Pondok-pondok dirurat didirikan anan-anak buah yang sudah berada di situ, Ada juga yang lebih dahulu meninggalkan Bukit Gandamayit untuk kembali ke tempat tinggal mereka dan mengumpulkan anak buah untuk dibawa ke tempat itu.

   Diam-diam Ni Dedeh Sawitri bergaindengan tangan dengan Raden Bangokuning, meninggalkan orang banyak dan menyusup ke tempat gelap di dalam hutan, mencari petak rumput yang sunyi dan nyaman di mana mereka akan memadu asmara mencurahkan semua nafsu dan gairah mereka yang sudah terbangkitkan sejak tadi.

   Sudah menjadi kebiasaan bagi Ni Dedeh Sawitri, bahwa setiap kali ia memilih seorang pria untuk melayani permuasan nafsunya, kemudian ia mendapat kenyataan bahwa pria itu tidak memuaskannya, tanpa banyak cakap lagi pada keesokan harinya, pria itu tentu dibunuhnya begitu saja. Atau kalau sebaliknya, ia akan mempertahankan pria itu sampai ia bosan, baru setelah itu dibunuhnya juga. Hal ini ia lakukan agar ia terbebas dari pria itu, juga agar orang itu tidak membicarakan dirinya diluaran, dan agar rahasianya tidak diketahui orang lain. Tentu saja terhadap Gagak Wulung tidak dapat berbuat seperti itu karena Gagak Wulung merupakan seorang rekan setingkat dengan dirinya yang dapat dipercaya dan masing-masing dapat menyimpan rahasia.

   Pada pagi hari itu, Setelah membereskan pakaian dan rambutnya, Ni Dedeh yang sudah bangkit lalu melihat kearah Raden Bangokuning yang juga sudah membereskan pakaiannya pula. Dari lirikan wanita itu, jelas bahwa ia merasa kecewa. Ternyata orang muda itu tidak dapat memenuhi nafsunya. Akan tetapi biarpun demikian, ia telah memperoleh keterangan yang amat penting baginya, tentang orang-orang Kediri yang hadir di dalam hutan itu, juga tentang Gagak Wulung.

   "Ni Dedeh, kau sungguh seorang wanita yang amat hebat"

   Kata Raden Bangokuning sambil melangkah maju hendak merangkul"

   "Sebaliknya, kau menjemukan"

   Kata wanita itu dan tiba-tiba saja tangan kanannya menampar kearah leher Raden Bangokuning.

   Orang muda itu terkejut bukan kepalang. Ia bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang sudah banyak mempelajari llmu beladiri dan pencak silat di Kediri sehingga diserang, diapun maklum akan datangnya serangan yang amat dahsyat itu, karena di rasa ada angin yang kuat sekali menyambar dari tangan wanita itu kearah lehernya. Maklum akan hal itu dan iapun tidak sempat lagi mengelak, Raden Bangokuning lalu mengangkat kanannya untuk menangkis.

   "Plakk"

   Dan akibatnya, tubuh pria itu terbanting keras ke atas rumput di mana ia tadi saling menumpahkan semua gairah nafsunya bersama wanita itu. Dan dia betapa lengannya seperti patah dan sakitnya bukan main.

   "Huh, terimalah kematianmu"

   Kata Ni Dedeh Sawitri sambil menubruk untuk mengirim pukulan Sarpakenaka yang mematikan.

   "Desss.. .."

   Pukulannya tertangkis oleh Gagak Wulung dan keduanya terdorong mundur.

   "Dedeh, kau tidak boleh sembarangan bertindak terhadap seorang tokoh Kediri. Jangan sembarangan membunuh"

   Akan tetapi, Ni Dedeh Sawitri kini juga memandang marah kepada kekasihnya ini, kemudian telunjuk kanannya menuding kearah laki-laki yang selama ini tak pernah terpisah dari sisinya.

   "Gagak Wulung, kau ternyata utusan kediri yang hendak memperalatku, keparat. Kaupun harus mampus."

   Setelah berkata begitu, wanita itu menyerang dengan hebatnya.

   Gagak Wulung tentu saja cepat mengelak dan balas menyerang sambil menegur Raden bangokuning yang sudah bangkit berdiri.

   "Bocah tolol. Kau membocorkan semua rahasia kepadanya? Tahukah kau siapa wanita ini? la bukan lagi orang Kediri, melainkan mata-mata dari Pasundan, tolol."

   Raden Bangokuning memandang pucat. Semalam dalam dekapan wanita itu, dia tak berdaya dan menceritakan semua keadaan para senopati Kediri yang hadir di dalam pertemuan itu, tentang tugas mereka untuk mendorong agar Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, untuk melemahkan Singosari dan mereka dari Kediri itu tidak akan memperlihatkan diri terlibat dalam pemberontakan itu.

   Dalam hal ini, Gagak Wulung telah dibuka rahasianya sebagai utusan istimewa dari Raja Kediri, Adipati Jayakatwang.

   Karena maklum bahwa ilmu kepandaian masih jauh kalah dibandingkan dengan Gagak Wulung dan dia bahkan terancam bahaya maut, kalau berani membantu menghadapi Ni Sawitri. Raden Bangokuning cepat menyelinap untuk mengundang teman yang lebih tangguh.

   Tak lama kemudian, diapun muncul bersama Bango Dolog dan Ki Prutung, dua diantara para senopati yang semalam hadir. Melihat Gagak Wulung sedang berkelahi melawai Dedeh Sawitri dan mendengar dari Raden Bangokuning bahwa Ni Dedeh Sawitri adalah mata-mata Pasundan yang mengetahui rahasia mereka, dua orang senopati itu menjadi marah. Hampir saja Ki Prutung menampar muka Raden Bangokuning yang selain dianggap lancang buka rahasia, juga semalam telah merebut hati Ni Dedeh Sawitri yang tadinya sudah melirik-lirik kearahnya. Kini, dua orang senopati dari Kediri itu tanpa banyak cakap lagi menerjang maju mengeroyok Ni Dedeh Sawitri yang berkelahi melawan Gagak Wulung.

   Biarpun dua orang jagoan Kediri itu tidak setangguh Gagak Wulung dan tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Ni Dedeh Sawitri, namun karena di situ ada Gagak Wulung, maka dikeroyok tiga orang, Ni Dedeh menjadi terdesak hebat dan lengan kirinya sudah tergores keris dari tangan Bango Dolog, sehingga berdarah.

   Ia marah sekali dan mempercepat gerakannya sehingga Bango Dolog dan Ki Prutung menjadi gentar juga. Mereka sudah mendengar akan kehebatan Aji Sarpakenaka yang amat beracun itu, dan wanita itu memiliki gerakan silat yang amat cepat dan indah. Mereka mengepung dari jarak aman dan mengandalkan keris mereka yang kadang-kadang menghunjam dengan cepat selagi wanita itu sibuk menahan desakan Gagak Wulung.

   

Sepasang Pendekar Kembar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Remaja Karya Kho Ping Hoo Sakit Hati Seorang Wanita Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini