Sejengkal Tanah Percik Darah 8
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 8
Ki Baka menarik nafas panjang, lalu ia berkata lagi kepada Nurseta "Anakku, aku akan membuka rahasia besar tentang dirimu"
Ki Baka berhenti lagi dan kembali menarik nafas panjang, panjang sekali.
Nurseta menatap wajah ayahnya dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan biarpun pada lahirnya ia nampak tenang, namun jantungnya berdebar-debar tegang karena melihat sikap ayahnya yang demikian sungguh-sungguh. Rahasia apa gerangan yang hendak diceritaka ayahnya kepadanya? Akan tetapi dengan sikap tenang iapun bertanya "Ayah, rahasia apakah itu? Dan apa sangkut pautnya dengan diriku?"
"Nurseta anakku, coba kau mengingat-ingat lagi, masihkah kau ingat kepada ibamu?"
Nurseta terbelalak dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak pernah dapat membayangkan bagaimana wajah ibunya, walaupun samar-samar seperti dalam dongeng saja yang pernah didengarnya, ia seperti dapat melihat seorang wanita berpakaian indah sekali, entah bagaimana rupa wajahnya, wanita itu sedang menggendongnya.
"Ayah, bukankah sejak dahulu aku seringkali mengatakan bahwa aku tidak dapat mengingat wajah ibu? Bukankah menurut cerita ayah, ibu telah meninggal dunia sejak aku masih kecil? Ayah, siapakah nama ibu dan bagaimana rupa ibu? Dan kapankah ia meninggal dunia?"
Ki Baka menggeleng kepala dan tersenyum pahit.
"Aku belum pernah menikah, anakku. Dengarlah dan janganlah terkejut, Kau bukanlah anak kandungku, kulup Nurseta"
Biarpun Nurseta nampak tenang, namun wajahnya agak pucat dan terjadi guncangan yang cukup hebat dalam dadanya.
"Ayah, harap suka jelaskan"
Katanya.
Ki Baka kembali memandang kagum pemuda yang memang hebat, ia dapat mengendalikan perasaan dan menguasai batinnya.
"Aku hanya menerimamu sebagai titipan dari mendiang kakakku, yaitu Ki Baya atau yang kemudian ia menamakan dirinya Bayaraja. Ketika itu, kau berusia delapan tahun. Engkau tentu masih ingat kepada Ki Baya"
Nurseta mengangguk.
"Aku masih ingat, ayah. Sejak kecil aku bersama Ayah Baya, kemudian aku diserahkan kepadamu. Ayah sendiri dan ayah Baya mengatakan bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung ayah. Mengapa baru sekarang ayah mengatakan bahwa aku bukanlah anak kandung ayah. Dan apakah dengan begitu Ayah Baya itu adalah ayah kandungku?"
Ki Baka menggeleng-gelengkan kepalanya, katanya "Juga bukan anakku. Baiklah akan aku ceritakan dari awal semua kejadian tentang dirimu. Kerajaan Daha, Kediri, terdapat seorang pangeran yang bernama Pangeran Panji Hardoko. Nah, pangeran itulah yang pada suatu hari datang kepada Ki Baya, memondong seorang bayi yang baru berusia tiga bulan. Pangeran Panji Hardoko memberikan bayi itu kepada Ki Baya bersama harta yang banyak sebagai hadiah. Ia mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya, namanya Nurseta dan ia memberikan anak bersama harta yang cukup banyak itu kepada Ki Baya dengan permintaan agar Ki Baya mengaku sebagai ayah kandung anak itu. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya, anakku"
Tentu saja keterangan tentang dirinya itu amat mengguncang perasaan Nurseta, sesaat ia termenung. Ternyata ia bukan anak kandung Ki Baka, bukan pula anak kandung Ki Baya, melainkan anak seorang pangerab dari Daha. Dia seorang putera pangeran, orang berdarah bangsawan. Teringatlah Nurseta, betapa beberapa orang menyebutnya Raden agaknya hatinya tidak menolak, walaupun tadinya merasa geli dan canggung menerima sebutan itu. Dan ternyata ia benar-benar seorang Raden. Akan tetapi, benarkah semua cerita itu. Sunggug sukar baginya untuk menerima kenyataan, karena selama ini, ia menganggap Ki Baka sebagai ayah kandungnya, dan ia merasa gembira ketika Ki Baya menyerahkan dia ke Ki Baka dan mereka berdua itu menyatakan bahwa ia sesungguhnya anak kandung Ki Baka. Bagaimanapun juga, ia masih ingat akan watak Ki Baya yang keras dan kasar, jauh berbeda dengan watak Ki Baka, maka ia amat senang dan bangga menjadi anak angkat Ki Baka.
"Tetapi, ayah. Mengapa Ki Baya menyerahkan aku kepadamu?"
"Ki Baya memiliki cita-cita yang tinggi dan ia pemimpin gerakan pemberontakan terhadap kerajaan Singosari. Tentu saja aku tidak sudi membantunya. Aku bukan pemberontak. Ia lalu menyerahkan kau kepadaku karena ia merasa tidak sempat lagi menyediakan waktu bagimu di dalam kesibukannya menjadi seorang pemimpin pemberontak. Sewaktu aku melihatmu, aku langsung suka kepadamu, aku mau menerimamu dengan syarat, bahwa ia tidak boleh memintamu kembali, dan untuk itu kami membohongimu, dengan mengatakan bahwa akulah ayah kandungmu, bukan Ki Baya. Tentu saja hal ini merupakan rahasia yang akan aku simpan sampai kau menjadi dewasa. Dan sekarang aku lihat kau sudah dewasa dan cukup matang, maka aku buka semua rahasia ini. Maafkanlah bahwa selama bertahun-tahun ini aku telah membohongimu, Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar sebutan itu. Orang yang selama ini amat dihormatinya, amat dicintainya, yang dianggapnya sebagai ayah kandungnya, kini menyebutnya Raden.
"Ayah. Janganlah menyebut seperti itu kepadaku. Aku tetap anakmu Nurseta"
Kemudian Nurseta memeluk ayahnya.
Akan tetapi Ki Baka yang juga balas merangkul, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku adalah seorang yang tahu akan aturan Raden Nurseta. Selama ini, karena kita hidup pedusunan sebagai petani, maka terpaksa aku perlakukan kau sebagai anak petani. Kau menyebut ayah kepadaku dan aku menyebut kulup atau angger, jarang menyebut namamu, karena namamu bukanlah nama rakyat biasa. Nah, marilah kita menghadapi kenyataan dengan tabah, Raden. Hatiku terasa lapang, karena sudah membuka rahasia ini padamu"
Nurseta menenangkan hatinya dan ia berhasil mencegah turunnya air mata dari kedua matanya. Ia merasa terharu sekali, akan tetapa sama sekali tidak merasa girang atau bangga akan kenyataan bahwa dia putera seorang pangeran. Bahkan ia merasa penasaran bukan main mendengar, bahwa oleh ayah kandungnya yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu, telah menyerahkan ia kepada orang lain, yaitu kepada Ki Baya, seorang pemberontak.
"Akan tetapi ayah, aku sungguh merasa penasaran sekali. Kalau aku ini adalah anak seorang pangeran, kenapa pangeran itu menyerahkan aku kepada Ayah Baya? Dan siapa ibu kandungku dan dimana ia berada? Juga dimana adanya pangeran itu sekarang?"
Berkata demikian, Nurseta teringat pernah melihat dalam bayangan samar-samar seorang wanita berpakaian indah, seorang wanita bangsawan. Sayang ia tidak pernah dapat membayangkan wajah ibunya itu.
Ki Baka menggelengkan kepalanya.
"Hal itupun aku tidak tahu, Raden. Mendiang kakang Baya tidak pernah menceritakan mengapa pangeran itu menyerahkan kau kepadanya. Ki Bayapun tidak tahu siapa ibu kandungmu. Kini ia telah tiadam sehingga kita tidak dapat bertanva kepadanya. Aku kira, seandainya ia masih hidup sekalipun, ia tidak akan dapat menjawabnya"
"Akan tetapi masih ada Pangeran Panji Hardoko itu! Aku akan mencarinya di Daha, dan akan kutanya kepadanya mengapa dia menyerahkan aku kepada Ayah Baya, kalau memang aku ini putera kandungnya. Dan akan mencari di mana ibu kandungku berada"
Nurseta berkata dengan penuh semangat karena ia merasa penasaran kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu, yang telah menyerahkan da kepada orang lain.
Akan tetapi kembali Ki Baka menggelengkan kepalanya dan memandang dengan sedih kepada pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu.
"Satu lagi yang kau harus ketahui Raden, menurut Kakang Baya bahwa, Pangeran Panji Hardoko itu sudah meninggal dunia, tidak lama setelah menyerahkan kau kepadanya"
Nurseta merasa terpukul. Baru saja ia menemukan ayah kandungnya yang sebenarnya, ternyata ayah kandungnya telah meninggal dunia.
"Sudahlah, Raden Nurseta. Selain ayahmu sudah meninggal, juga kenyataan bahwa sejak bayi kau telah diserahkan kepada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa mereka sebagai orang tuamu itu, tidak menghendaki dirimu. Untuk itu, kau tidak perlu bersusah payah hendak mencari mereka, karena merekalah yang tidak menghendaki dirimu. Sekarang, yang penting bagimu adalah mencari tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Aku sebagai seorang yang menganggapmu sebagai anak sendiri, meminta bahkan aku memohon kepadamu agar kau suka mewakili aku mencari pusaka itu. Anggaplah saja hal itu sebagai balasan kepadaku yang sudah memeliharamu sejak kau kecil"
"Ah, ayah, tidak perlu begitu. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencari tombak pusaka itu, akan tetapi, ke manakah aku harus mencarinya? Aku tidak mengenal siapa kakek yang bernama Wiku Bayunirada itu, dan tidak tahu mana dia berada"
Aku rasa namanya itupun nama palsu, Raden. Aku sudah mengenal banyak tokoh besar dunia ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar nama Wiku Bayunirada. Akan tetapi, biarlah kau ketahui bahwa, dia seorang kakek yang usianya sekarang mendekati delapan puluh tahun, pada waktu empat tahun yang lalu, rambut, jenggot dan kumisnya sudah hampir putih semua. Pakaian dan ikat kepalanya serba putih, dan mukanya pucat seperti muka mayat dan keriput. Bicaranya halus. Akan tetapi, kalau ia bicara dan ketawa, bibirnya tidak ikut bergerak. Bentuk tubuhnya sedang-sedang saja dan ada suatu ciri yang tak dapat ia sembunyikan, yaitu kedua kakinya hanya berjari empat. Tidak terdapat ibu jari di masing-masing kaki itu"
Nurseta mencatat semua itu dalam ingatannya.
"Aku memperhatikan semua yang ayah katakan itu, dan akan aku cari dia, kalau bertemu, akan aku minta kembali tombak pusaka itu"
"Aku girang sekali, Raden Nurseta. Berhati-hatilah terhadap kakek itu yang berwatak palsu dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Tombak pusaka itu harus dapat kau rampas kembali, karena amat berbahaya kalau terjatuh ke tangan orang yang bermaksud jahat"
"Baik, ayah. Akan aku usahakan sampai aku berhasil merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Ada satu hal lagi, Raden. Aku minta kau suka memperhatikan benar-benar. Kini kau sudah tahu bahwa, kau berdarah bangsawan. Ayah kandungmu bahkan seorang pangeran di Kerajaan Daha. Akan tetapi kau harus selalu ingat bahwa, kesetiaan seseorang terhadap negara, bukan ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oleh tempat di mana ia tinggal dan hidup. Sejak kecil kau tinggal di daerah Singosari, menghirup udara Singosari, meminum air Singosari dan makan dari hasil tanah Singosari. Lebih dari, hendaknya kau selalu ingat, Raden, bahwa aku sebagai pengganti orang tua dan juga pengasuhmu, Aku adalah seorang laki-laki sejati yang akan membela tanah air Singosari, siap mempertahankan setiap jengkal tanah dengan sepercik darah. Selain aku, juga aku sudah mendengar bahwa Sang Panembahan Sidik Danasura juga seorang yang sakti mandraguna dan seorang yang setia pula kepada Keraja Singosari"
Nurseta mengangguk-angguk.
"Tidak keliru, ayah. Aku pernah mendengarkan persiapan antara Eyang Panembahan dan Paman Jembros, dan mereka berdua itu adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Singosari"
"Ki Jembros. Ah, aku mengenalnya, karena itulah, Raden. Maka sudah sepatutnya kalau kau juga berjiwa patriot terhadap Kerajaan Singosari. Sudah menjadi tugas kewajibanmu sebagai seorang ksatria untuk bersama para ksatria lainnya, menentang gerakan pemberontak seperti yang sedang dipimpin oleh Mahesa Rangkah. Kalau kau bertemu dengan para ksatria itu, maka, akan lebih mudah bagimu untuk meneliti dan menyelidiki di mana adanya Wiku Bayunirada yang melarikan tombak
(Lanjut ke Jilid 09)
Sejengkal Tanah Sepercik Darah (Serial Sejengkal Tanah Sepercik Darah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 09
pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Baik, ayah. Harap jangan khawatir. Aku kan melaksanakan semua perintahmu, yaitu mencari sampai dapat tombak pusaka itu, dan membantu Kerajaan Singosari menentang pemberontakan Mahesa Rangkah. Akan tetapi sebelumnya, biar ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan agar penyakit ayah dapat disembuhkan"
"Tidak, Raden. Jangan membuang banyak waktu, aku dapat pergi sendiri menghadap kesana. Akupun ingin sekali cepat sembuh agar aku dapat membantu penumpasan gerombolan pemberontak itu"
Tiba-tiba terdengar langkah lembut di luar gubuk. Nurseta segera mendengarnya sebelum Ki Baka mendengar langkah itu.
"Ada orang di luar"
Bisik Nurseta.
Akan tetapi, Ki Baka tersenyum.
"Kebetulan sekali ia datang. Ah, aku ingin memperkenalkan kau kepada seorang dewi yang menjelma dalam tubuh seorang dara yang sederhana, Raden"
Terdengar daun pintu gubuk itu diketuk dari luar dan terdengar pula suara yang lembut "Paman Baka, ini aku Pertiwi yang datang. Bolehkah aku masuk?"
Suara itu lembut dan merdu, juga mengandung kesopanan.
"Pertiwi. Masuklah masuklah, lihatlah siapa yang berada di sini bersamaku"
Kata Ki Baka dengan suara gembira sekali.
"Ooh. Ada tamu......."
Gadis itu berbisik lirih.
Sejenak suasana menjadi sunyi, agaknya gadis itu merasa ragu untuk membuka daun pintu, setelah mendengar bahwa Ki Baya kedatangan tamu.
"Jangan takut. Masuklah, di sini ada orang yang sudah lama kau kenal"
Kata pula Ki Baka.
Daun pintu gubuk bambu itu berderit ketika dibuka dari luar dan seorang dara yang bertubuh ramping melangkah masuk dengan ragu-ragu. Nurseta memandang kearah gadis itu. Ia membenarkan perkataan Ki Baka. Gadis dusun yang berpakaian sangat sederhana, juga gelung rambutnya. Akan tetapi gadis ini memiliki aura yang mengesankan. Ada aura keagungan pada wajah yang tidak dirias itu, terutama sekali sepasang matanya terang dan lembut. Kembennya yang sudah tidak baru lagi, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang ramping dan padat. Langkahnya satu-satu, ketika ia memasuki pondok itu, matanya yang lebar memandang ke arah Nurseta. Akan tetapi, ketika ia merasa tidak mengenal wajah tampan pemuda itu, tiba-tiba kedua pipinya menjadi kemerahan, iapun menundukkan wajahnya.
"Ternyata Paman Baka sedang bergurau"
Pikirnya.
"Ia tidak pernah mengenal pemuda itu. Tentulah ia pemuda priyayi, mudah dikenal dari sikap dan wajahnya, walaupun pakaian pemuda itu juga sederhana seperti pakaian pemuda petani biasa.
Ki Baka tertawa melihat keragu-raguan atas gadis itu untuk mendekat.
"Ha-ha, Pertiwi, majulah mendekat dan jangan malu-malu. Ia sudah lama kau kenal, karena ia adalah Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar orang yang selama ini dianggap ayahnya itu memperkenalkan dirinya sebagai Raden Nurseta.
Ketika Pertiwi mendengar nama itu disebutkan oleh Ki Baya, gadis itu mengangkat wajahnya, ia memandang kepada Nurseta dengan penuh perhatian.
"Ah, Paman Baka, kiranya ia ini adalah putera angkat paman itu. Raden Nurseta. Sudah lama aku mendengar Paman Baka menceritakan tentang dirimu, Raden"
Berkata Pertiwi dengan malu-malu.
Sikap Pertiwi sungguh membuat hati Nurseta terkagum-kagum, karena gadis itu sangat ramah dan sama sekali tidak pemalu Seperti kebanyakan perawan gunung.
"Raden, ini adalah Pertiwi. Ia dan ayahnya merupakan keluarga yang amat baik dan mereka adalah sahabat sahabatku. Mereka yang selama ini bersikap ramah dan selalu memberikan pertolongan kepadaku dan aku berhutang budi yang besar sekali kepada nini Pertiwi dan orang tuanya"
"Ah, harap jangan mempercayai pujian Paman Baka yang berlebihan itu, Raden Nurseta"
Pertiwi, gadis yang usianya baru enam belas tahun itu tersenyum. Nampak deretan giginya yang putih bersih, sepasang bibir itu merekah merah.
"Kami hanya bersikap ramah, karena kami merasa iba melihat Paman Baka hidup menyendiri dan kadang-kadang kelihatan lemah. Akan tetapi, kalau bicara tentang pertolongan, kamilah yang berhutang budi kepadanya, karena Paman Baka pernah menyelamatkan dusun kami dari serbuan kaum penjahat"
Nurseta memandang kepada ayahnya dengan heran. Orang tua itu jelas dalam keadaan tak berdaya, lemah dan tidak mampu mengerahkan tenaga saktinya. Bagaimana mungkin mampu menyelamatkan dusun dari serbuan kawanan penjahat.
Agaknya Ki Baka dapat mengerti keheranan pemuda itu, maka iapun tertawa. Katanya "Tidak aneh, Raden. Pemimpin perampok itu mengenalku, oleh karena itu, ketika ia melihat aku berada di dusun ini, ia lalu mengajak anak buahnya melarikan diri ketakutan, tanpa aku menggerakkan sebuah jari tanganpun"
Gadis itu kini mendekati Ki Baka. Ketika ia datang, tangan kanannya membawa sebuah ikul dan tangan kirinya membawa sebuah kendi hitam. Dengan hati-hati, diletakkannya bakul dan kendi itu di atas tikar di depan Ki Baka.
"Hari ini aku hanya membuat lauk botok manding dan tempe bakar. Maaf paman, karena kami tidak tahu, bahwa putera angkat paman berada di sini, maka nasi dan lauknya kurang. Biarlah untuk sore nanti akan kembali lagi dan membawa yang lebih banyak"
"Tidak usah, Pertiwi. Ini saja sudah cukup. Lihat, Raden. Beginilah setiap hari, ia selalu mengirim makanan untukku. Sudah aku larang agar mereka menghentikan kerepotan ini, akan tetapi Pertiwi tidak mau mendengar laranganku. Setiap hari ia selalu datang kembali"
Ia berhenti sebentar lalu "Bagaimana menurutmu Raden?, bukankah ia baik dan manis sekali?"
Kembali gadis itu menundukkan wajahnya yang berubah kemerahan, yang membuat ia semakin manis. Mulutnya tersenyum malu-malu, kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar.
"Ah, Paman Baka, jangan memuji-muji terus. Akukan jadi malu"
"Tidak, nini, aku tidak memuji kosong. Bahkan, aku akan merasa berbahagia sekali kalau Raden Nurseta, anak angkatku ini, suka mengambilmu sebagai isterinya. Di bawah kolong langit ini sukar ditemukan keduanya perawan seperti engkau, nini Pertiwi"
Ki Baja berhenti sejenak,lalu "Bagaimana, nini? maukah kau menjadi isteri Raden Nurseta ini?"
Nurseta sendiri terkejut mendengar ucapan Ki Baka itu. Dia mengenal Ki Baka sebagai ayahnya, sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, jantan dan pantang mundur, terbuka dan jujur. Sungguhpun tidak mengherankan melihat sikapnya demikian bebas terbuka membicarakan tentang perjodohan di depan gadis itu begitu saja, namun keputusan ayah angkatnya itu sungguh mengejutkan hatinya, karena sama sekali tidak disangka-sangkanya. Memang Ki Baka, biarpun pernah menjadi seorang senopati, menjadi seorang pendekar di sepanjang Lembah Brantas, namun ia tetap sederhana dan terbuka, sehingga anak angkatnya sendiripun disuruhnya memanggil ayah kepadanya, seperti keluarga petani dusun biasa.
Sementara itu, wajah Pertiwi yang kemerahan kini menjadi merah sekali, sepasang mata dara itu terbelalak memandang kepada Ki Baka, seperti seekor kelinci ketakutan dan juga malu-malu, ia lalu berlari keluar dari gubuk itu sambil berteriak kecil.
"Aih, paman membikin aku menjadi malu sekali.......!"
Tanpa pamit lagi, Pertiwi lari diiringi dengan suara ketawa Ki Baka.
Setelah gadis dusun itu pergi jauh, Ki Baka bertanya kepada Nurseta.
"Bagaimana pendapatmu tentang nini Pertiwi itu? Bukankah ia seorang dara yang ayu dan manis merak-ati. Ia juga seorang yang lemah lembut dan berhati emas?"
Nurseta harus mengakui bahwa Pertiwi walaupun ia seorang perawan gunung, namun ia memang cantik sekali, ia memiliki daya tarik yang luar biasa, maka iapun mengangguk membenarkan dengan jujur.
"Ya, Pertiwi adalah seorang gadis yang sangat cantik, ayah"
"Sejujurnya, aku seringkali membayangkan ketika mengingatmu, setiap kali nini Pertiwi datang, aku membayangkan, betapa akan bahagia rasa hatiku kalau melihat ia bersanding denganmu, sebagai isterimu. Kalau kau tidak berkeberatan dan ingin menyenangkan hatiku, maka, aku akan segera menemui orang tuanya untuk mengajukan pinangan. Percayalah, biarpun aku belum pernah menikah, namun mataku cukup awas untuk dapat mengenal seorang gadis yang baik, seorang calon isteri pilihan dan sukar dicari keduanya"
Nurseta termenung. Mendengar ucapan itu, tanpa disengaja, segera terbayanglah di depan matanya wajah seorang gadis lain. Seorang gadis yang berkulit kuning berwajah manis, dengan sepasang, mata seperti bintang, hidung kecil mancung dan bibir merah basah, ada lesung pipit di sebelah kiri pipinya dan tahi lalat kecil di pipi kanannya, dengan senyum menghias wajahnya. Sepasang matanya bagaikan bintang, kadang-kadang redup, dan dapat pula menyala dengan aneh. Seorang gadis sederhana yang kini muncul sebagai seorang wanita sakti yang aneh berpakaian serba hijau. Wulansari.
"Bagaimana? Apakah kau sudah memikirkannya?"
"Maaf, ayah. Aku belum memikirkannya, karena menganggap bahwa aku belum memikirkan tentang jodoh. Bukankah di depan masih terdapat tugas-tugas penting menanti? Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus aku dapatkan, dan keamanan negara terancam oleh pemberontakan Mahesa Rangkah. Nanti sajalah, ayah, kalau semua tugas telah selesai dengan baik, baru kita bicara lagi tentang perjodohan"
"Ya, ya, kau benar, kulup. Beginilah kalau seorang tua ingin sekali menimang cucu. Kau benar Nurseta, memang tugas itu lebih penting dari pada urusan pribadi. Kedua tugas itu memang teramat penting dan berbahaya"
Ia berhenti sejenak, lalu "
Nurseta. Kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada itu, mempunyai kesaktiannya seperti iblis. Terhadapnya, kau harus berhati-hati. Adapun si pemberontak Mahesa Rangkah itupun bukan orang sembarangan. Ia adalah putera pemberontak yang bernama Linggapati. Ayahnya seorang pemberontak besar yang sakti, tentu puteranya juga tidak boleh dipandang ringan. Ketika ayahnya memberontak, aku masih membantu Sang Prabu Wisnuwardhana sebagai seorang diantara para senopati dan aku ikut membasmi gerombolannya di Mahibit. Sekarang, anaknya juga memberontak dan betapa gembira hatiku kalau kau sebagai anak angkatku, maju membantu pemerintah dan ikut membasmi gerombolan Mahesa Rangkah"
Ia berhenti lagi, lalu "Kau benar, setelah semua tugas selesai, barulah seorang laki-laki boleh beristirahat dan memikirkan kesenangan pribadinya"
Nurseta bermalam di gubuk ayah angkatnya malam itu dan pada keesokan harinya, mereka saling berpisah lagi setelah semalam suntuk mereka hampir tidak tidur, karena waktu dihabiskan untuk melepas kerinduan dan bercakap-cakap panjang lebar menceritakan semua pengalaman masing-masing selama lebih dari empat tahun mereka saling berpisah.
Pada keesokan harinya, seperti telah mereka rundingkan semalam, Ki Baka pergi menuju ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi di pantai Laut Kidui. Sedangkan Nurseta memulai dengan perjalanannya untuk menyelidiki tentang gerakan gerombolan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah, sekalian menyelidiki kakek bernama Wiku Bayunirada yang merampas dan melarikan tombak pusaka Tejanirmala.
Sementara itu, Mahesa Rangkah sudah siap untuk melakukan penyerbuan ke Singosari. Ia sudah menghimpun pasukan yang dianggapnya cukup kuat karena memperoleh dukungan secara diam-diam oleh Kerajaan Kediri. Tentu saja Sang Prabu Jayakatwang tidak berani secara terang-terangan mendukung pemberontakan Mahesa Rangkah, karena pada lahirnya dia merupakan raja taklukan, juga menjadi besan dari Sang Prabu Kertanagara. Hanya di dalam batinnya sajalah Sang Prabu Jayakatwang membenci dan mendendam kepada Sang Prabu Kertanagara karena dia merasa dirinya lebih patut menjadi raja di raja, menguasai Singosari dan Kediri.
Untuk memulai pemberontakannya, Mahesa Rangkah menyebar para pembantunya, dengan membawa pasukan kecil, untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun besar atau kecil yang berada di sekitar daerah pinggiran Singosari. Gerakan ini dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan, juga mengacaukan keamanan Singosari, dan terutama untuk menarik perhatian pasukan Singosari agar meninggalkan kota raja dan berpencaran untuk menanggulangi pengacauan yang dilakukan serentak di daerah pinggiran.
Malam bulan bersinar terang, hampir bulat penuh. Dusun Tarutug yang terletak di perbatasan antara daerah Kediri dan Singosari, nampak tenang. Para penduduk dusun itu banyak yang tinggal di luar rumah, menikmati sinar bulan yang sejuk. Akan tetapi, semakin malam, hawa menjadi semakin dingin sehingga mereka merasa lebih enak untuk tinggal di dalam rumah. Belum juga tiba tengah malam, suasana sudah sunyi sekali di dusun Tarutug yang bermandi sinar bulan dan diselimuti hawa yang dingin itu.
Suasana malam terang bulan yang dingin dan sunyi itu menjadi semakin indah dan hening ketika sayup-sayup sampai terdengar suara suling melengking naik turun dengan halus dan merdu sekali. Suling merupakan alat musik, yang seperti alat musik tiup lainnya, amat peka terhadap getaran perasaan peniupnya. mencurahkan isi batin melalui tiupan suling akan amat terasa, melengking dan menggetar menurut keadaan batin peniupnya.
Suara suling yang mengalun dan menyusup-nyusup di malam terang bulan itu datang dari sebuah bukit dekat dusun Tarutug itu. Bukit gundul yang sunyi. Bukit yang hanya ditumbuhi rumput dan alang-alang, tempat yang amat menyenangkan bagi para anak penggembala lembu dan domba, karena tempat itu selain dipenuhi rumput yang subur, juga di sebelah barat lereng bukit itu mengeluarkan air jernih dari sebuah sumber yang tak pernah kering sepanjang musim, baik musim kemarau apa lagi di musim hujan. Para penggembala di waktu pagi dan sore, membiarkan ternak mereka makan rumput dengan santai, dan minum dari genangan air dari sumber itu. Akan tetapi di waktu malam, keadaan di situ sunyi bukan main, tak nampak seorangpun manusia. Dan dari puncak bukit sunyi itulah datangnya suara suling malam itu.
Penyuling itu seorang pria muda yang duduk di atas sebuah batu di puncak bukit itu, menghadap ke barat. Usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan berbentuk bulat telur, tubuhnya sedang namun kokoh kuat. Suling yang ditiupnya itu sebatang suling yang berwarna hitam, tidak jelas terbuat dari apa, kayu ataukah bambu. Tiba-tiba, dari kaki bukit itu sebelah barat, terdengar suara suitan melengking tiga kali. Mendengar ini, peniup suling itu menurunkan nada suara sulingnya, makin merendah sampai akhirnya berhenti dan diapun bangkit berdiri, memandang ke arah sesosok bayangan yang berlari naik ke atas bukit dengan cepat dari arah barat.
Kini orang yang berlari naik itu tiba di depan si pemegang suling yang segera menyambutnya dengan pertanyaan.
"Adi Pragalbo, bagaimana? Berhasilkah kau bertemu dengan para senopati Singosari?"
"Aku sudah berjumpa dengan para senopati, kakang Padasgunung, bahkan Kanjeng Senopati Ronggolawe sendiri yang menerima laporanku. Mereka sudah mempersiapkan pasukan. Dan bagaimana dengan persiapan kita, kakang? Apakah para pemuda dusun sudah siap pula untuk sewaktu-waktu Kita gerakkan menggempur para pemberontak?"
Padasgunung si penyuling tadi, mengangguk.
"Mereka sudah siap dan suara sulingku yang akan menjadi tanda bagi mereka untuk berkumpul di sini. Dari tiga buah dusun di sekitar bukit ini telah berhasil aku kumpulkan dua ratus prang. Dan mereka sudah siap bertempur membela tanah air dengan senjata seadanya namun dengan tekad membaja. Mereka tahu apa artinya perjuangan membasmi para pemberontak. Pengalaman yang lalu ketika Bayaraja memberontak membuat mereka tidak sudi mendiamkan saja para pemberontak itu menyerbu dusun mereka. Mereka maklum bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan. Kalau para pemberontak itu menduduki dusun, tentu semua milik mereka lenyap, bahkan nyawa merekapun tidak terjamin, sedangkan para wanitanya tentu akan dirusak"
"Bagus sekali kalau begitu, kakang Padasgunung"
Kata Pragalbo, satria muda gagah perkasa yang berkulit hitam namun berwajah persegi, dengan watak jenaka itu.
"Karena sekarang juga mereka itu kita perlukan"
"Eh, apa maksudmu, Adi Pragalbo?"
"Begini, kakang. Ketika aku pulang menuju ke bukit ini, aku melihat betapa banyak sudah dusun-dusun yang dilanda bencana dengan penyerbuan pasukan pemberontak. Mereka itu agaknya bergerak serentak di dusun-dusun sekitar perbatasan, dengan kelompok-kelompok kecil, Tentu saja para penduduk dusun itu tidak berdaya menghadapi para pemberontak yang menjadi perampok itu, Banyak yang lari mengungsi. Dan yang terpenting, siang tadi aku melihat gerombolan pemberontak yang jumlahnya lebih dari seratus orang menuju ke timur dan aku rasa, selambatnya besuk pagi, gerombolan itu sudah sampai di sini. Karena itu, aku cepat-cepat lari mendahului untuk memberiiahukan kepadamu, kakang"
Padasgunung mengepal tinju kiri dan mengacungkan suling di tangan kanannya sambil memandang marah ke arah barat.
"Biarkan mereka datang adi Pragalbo. Dan malam ini juga kita harus mengumpulkan mereka itu dan mengatur siasat untuk menyambut musuh. Kalau sampai terjadi pertempuran, kau pimpin pasukan menurut siasat barisan yang aku atur dengan suara sulingku. Para penduduk sudah aku latih selama beberapa hari ini dan mereka tahu cara merubah barisan berdasarkan petunjuk suara sulingku, Aku akan menonton dari tempat tinggi di sini agar lebih mudah mengamati keadaan dan merubah barisan sesuai dengan perkembangan pertempuran"
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pragalbo sudah maklum akan keunggulan kakak seperguruan itu dalam hal ilmu perang, maka iapun mengangguk. Tak lama kemudian, terdengar pula lengking suling itu ditiup Padasgunung. Akan tetapi kini suara suling itu terdengar lain, penuh semangat dan suara melengking tinggi itu menembus keheningan malam menyusup ke dalam tiga buah dusun yang berada di kaki bukit. Segera terdengar suara kentungan bertalu-talu menyambut suara suling ini dan mulai nampaklah bayangan banyak orang berlarian naik ke atas bukit. Itulah para lelaki muda dari tiga buah dusun yang segera mendaki bukit setelah mendengar isarat berkumpul melalui lengking suling yang ditiup Padasgunung tadi.
Melihat ini, Pragalbo merasa kagum kepada kakak seperguruannya. Dalam waktu kurang dari setengah jam, di puncak bukit itu telah berkumpul kurang lebih duaratus orang. Mereka semua memegang bermacam senjata yang biasa dipergunakan para petani. Linggis, arit, cangkul, ada pula yang membawa tombak, golok atau semacam parang, dan keris.
Setelah semua orang berkumpul, membentuk lingkaran mengelilingi batu besar di mana Padasgunung dan Pragalbo berdiri, Padasgunung lalu berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa.
"Saudara-saudara, baru saja kami mendengar bahwa gerombolan pemberontak sudah mulai melakukan serbuan kedusun-dusun di barat. Ada segerombolan penjahat yang sedang menuju ke sini dan agaknya pada hari esok pagi-pagi mereka sudah tiba di kaki bukit ini. Dusun-dusun kita di sekitar ini terancam. Oleh karena itu, saudara-saudara kami kumpulkan, Kita harus segera membentuk pasukan pendam untuk menanti mereka dan sebelum mereka sempat menyerbu dusun, kita serbu mereka lebih dahulu dari semua jurusan. Ingat, kalau terjadi pertempuran, kalian akan dipimpin langsung oleh Adi Pragalbo, dan bentuklah pasukan-pasukan dengan perubahan menurut suara sulingku seperti yang pernah andika sekalian pelajari"
Para anggota pasukan rakyat itu mengangguk dan mereka tidak merasa gentar karena sebelumnya, Padasgunung telah menanam pengertian dalam hati mereka bahwa mereka semua berjuang demi keselamatan keluarga mereka, dan mereka hendak mempertahankan setiap jengkal tanah dengan percikan darah mereka. Bahkan kalau perlu mereka siap mengorbankan nyawa demi membela tanah air dan keluarga.
Selama beberapa jam, mereka sibuk melaksanakan siasat yang diatur oleh Padasgunung dan Pragalbo, mempersiapkan barisan pendam, bersembunyi di lubang-lubang yang mereka gali, di belakang alang-alang dan pohon-pohon dikaki bukit. Ada pula yang bersembunyi di dalam pohon, diantara daun-daun pohon yang lebat. Sementara itu, di dusun-dusun mereka terjadi pula kesibukan. Sesuai dengan siasat yang sudah mereka pelajari sebelumnya, mereka itu, para wanita, juga siap menanak nasi dan lauk pauk sekedarnya, semacam "dapur umum"
Untuk memberi ransum kepada anak atau suami mereka yang sedang bertugas jaga untuk mempertahankan dusun mereka dari serbuan para pemberontak jahat.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Laskar rakyat yang dipimpin oleh Padasgunung dan Pragalbo itu tidur dalam tempat persembunyian mereka, dan penjagaan diadakan secara bergilir. Ini perintah Padasgunung yang tidak menghendaki pasukannya menjadi mengantuk dan lemah pada hari esok. Suasana di bukit itu sunyi dan yang terdengar hanya suara suling Padasgunung yang dimainkan perlahan-lahan, sayup sampai dengan lagu-lagu yang terdengar sedih. Semenjak kegagalannya menikah dengan Sriyati, memang pemuda ini lebih sering memainkan lagu sedih dalam tiupan sulingnya sehingga Pragalbo kadang-kadang merasa kasihan kepnda kakak seperguruannya itu.
Pada keesokan harinya, ketika mendengar bunyi kokok ayam jantan, tanda bahwa fajar mulai menyingsing, Padasgunung meniup sulingnya. dengan lagu isyarat agar semua pasukannya bangun dan bersiap siaga karena lima orang yang semalam diutusnya untuk, menjadii penyelidik dan melihat gerak gerik musuh di barat, telah datang kembali dan melaporkam bahwa pihak musuh sudah mulai bergerak ke timur pada lewat tengah malam tadi. Agaknya pihak musuh memperhitungkan bahwa mereka akan tiba di dusun-dusun yang berada dii kaki bukit itu pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi.
Tak lama kemudian, setelah matahari pagi mulai menyinarkan cahayanya di permukaam bumi, terdengarlah bunyi derap kaki dan ke bisingan suara pasukan musuh yang sudah mendekati bukit. Di dalam dada setiap anggota pasukan rakyat itu terjadi ketegangan dan jantung mereka berdetak keras. Biarpum mereka sudah bertekad mempertahankan kampung halaman mereka dengan taruhan nyawa, namun mereka adalah para petani yang sama sekali tidak pernah mengalami menjadi perajurit. Hanya mengingat akan keselamatan keluarga mereka dan kampung halaman mereka sajalah yang membuat mereka mengambil keputusan nekat untuk bertempur mati-matian dalam usaha mereka mempertahankan semua yang mereka cinta itu.
Padasgunung sudah berdiri di lereng bukit, sedangkan Pragalbo dengan gagahnya, dengan keris di tangan, sudah siap memimpin pasukannya untuk menyergap pasukan musuh dengan tiba-tiba begitu ada aba-aba dari suara suling kakak seperguruannya.
Kini nampak debu tipis mengepul di bagian barat dan tepat seperti yang diperhitungkan oleh Padasgunung dan Pragalbo, pasukan pemberontak itu melewati jalan di kaki bukit menuju ke dusun terdekat. Mereka nampak gembira, kasar dan kuat, memegang tombaki yang sama bentuknya, dan sebatang golok atau parang tergantung di pinggang. Seperti biasa, mereka yang terdiri dari orang-orang kasar dan anak buah tokoh-tokoh sesat ini, merasa gembira apa bila pasukan sudah dekat dengan dusun karena memasuki dusun bagi mereka berarti pesta pora, membunuh dan merampok sesuka hati tanpa mendapat perlawanan berarti, dan terutama sekali mereka dapat mempermainkan dan memperkosa wanita dusun yang mana saja, dari yang masih remaja dan kanak-kanak sampai yang paling tua. Ada pula yang bergembira membayangkan bahwa dia akan menemukan harta yang dirampas dan menjadi miliknya, dan ada pula yang membayangkan akan segera dapat menyembelih ayam atau domba rampasan dan makan sepuasnya.
Setelah pasukan pemberontak itu tiba tepat di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara suling memecah kesunyian pagi hari yang cerah itu, Kiranya Padasgunung yang mengintai dari lereng bukit, diam-diam membenarkan perhitungan Pragalbo. JumJah musuh kurang lebih seratus orang, dipimpin oleh beberapa orang yang menunggang kuda dan tidak dapat dikenal karena wajah mereka tidak jelas dilihat dari atas itu. Jumlah anak buahnya kurang lebih dua kali lebih banyak dari lawan, maka tenanglah rasa hati Padasgunung. Dia maklum bahwa anak buah pemberontak itu tentu merupakan orang-orang yang sudah terlatih dalam pertempuran, merupakan lawan berat dibandingkan dengan anak buahnya yang terdiri dari para petani yang tidak terlatih, walaupun para petani itu tentu saja memiliki tenaga kuat karena setiap hari biasa bekerja berat. Namun pihaknya mempunyai dua hal yang boleh diandalkan. Pertama sekali adalah semangat. Laskar rakyat tidak mempunyai pamrih untuk mencari kesenangan pribadi, tidak berpamrih mencari kemenangan agar memperoleh pahala, tidak mempunyai pamrih lain kecuali ingin melindungi keluarga mereka, membela tanah air mereka dan menyelamatkan kampung halaman mereka. Dan kedua adalah karena jumlah para petani itu lebih besar, hampir dua kali jumlah perusuh.
Padasgunung menanti sampai pasukan musuh itu tiba di kaki bukit, tepat dalam keadaan terkepung oleh anak buahnya yang sudah bersembunyi mengepung jalan itu. Setelah itu iapun segera mengeluarkan sulingnya dan meniupkan isarat penyerangan.
Suara suling ini dapat ditangkap dengan jelas oleh semua laskar petani yang memang sejak iadi menunggu dan memperhatikan, akan tetapi agaknya sama seknli tidak menarik perhatian pasukan pomberontak. Mereka ini membayangkan hasil perampokan mereka, maka ketika ada suara suling, mereka menganggap bahwa itu tentu permainan seorang bocah penggembala saja. Oleh karena itu, betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan bermunculanlah para petani muda dari semua jurusan dan mereka itu langsung menyerang pasukan pemberontak dengan senjata-senjata mereka yang sederhana.
Biarpun dapat dilihat dengan mudah bahwa mereka itu hanyalah petani-petani muda, dapat dikenal dari pakaian mereka dan keadaan senjata mereka yang sebagian besar terdiri dari cangkul, linggis, kapak dan arit, namun mereka menyerbu sambil berteriak-teriak dan sikap mereka penuh keberanian dan kemarahan. Apa lagi diantara para petani itu terdapat seorang pemuda yang bersenjata keris yang agaknya memimpin laskar petani itu. Sepak terjang pemuda ini hebat bukan main. Setiap kali kakinya menendang atau tangan kirinya menampar atau kerisnya menyambar, sudah pasti ada seorang anak buah pemberontak yang roboh dan tak mampu bangkit kembali. Hal ini membuat para pemberontak itu panik.
Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dari dua orang berkuda yang menjadi pemimpin pemberontak. Teriakan dan bentakan mereka ini membangkitkan semangat para anak buahnya. Terjadilah pertempuran mati-matian yang seru karena biarpun jumlah para pemberontak itu hanya setengahnya. namun mereka adalah orang-orang kasar dan kuat yang biasa berkelahi, sehingga mereka dapat mengimbangi para petani yang jumlahnya dua kali lebih banyak mereka.
Sementara itu, dua orang pimpinan pemberontak yang menunggang kuda, begitu melihat sepak terjang Pragalbo yang dahsyat, mereka cepat berloncatan turun dari atas kuda mereka dan menghadang Pragalbo yang tadinya mengamuk dengan keris di tangan.
'"Babo-babo, kiranya si PragaIbo yang memimpin pasukan petani ini"
Bentak seorang diantara mereka yang kepalanya botak dan pungungnya berpunuk. Pragalbo segera memandang dua orang itu dan mengenal mereka. Yang menegurnya itu bukan lain adalah seorang jagoan dari Blitar, termasuk seorang yang condong berkelompok dengan golongan hitam dan tidak mengherankan kalau orang ini menjadi seorang diantara para pemberontak.
"Hemm, aku tidak heran melihat kau menjadi pemimpin serombolan pemberontak dan perampok ini, Ki Kalakatung. Memang orang-orang macam akau ini sudah biasa menjadi pengkhianat dan penjahat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan untuk menyenangkan diri sendiri"
"Heh-heh, keparat Pragalbo. Besar sekali suaramu, tidak sesuai dengan sikapmu yang sederhana dan seperti orang gagah. Kau sudah gila barangkali, mengerahkan para petani hanya untuk menjadi korban pembantaian pasukan kami. Apakah perbuatan itu tidak lebih jahat, menjerumuskan para petani dusun? Ha-ha-ha"
Melihat orang tinggi kurus berwajah tampan ini, yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada Ki Kalakatung, Pragalbo tersenyum mengejek, hatinya merasa muak karena diapun sudah mengenal orang ini. Si tinggi kurus berwajah tampan ini adalah seorang yang dikenal sebagai Iblis Gunung Gajahmungkur, masih berdarah bangsawan dan namanya Raden Galinggangjati. Sakti mandraguna, akan tetapi juga terkenal mempunyai kesukaan bermain cinta dengan pemuda-pemuda tampan. Tokoh sesat ini tidak suka mendekati wanita, akan tetapi suka sekali menculik orang-orang muda yang tampan untuk dipaksa menjadi kekasihnya.
"Heh, Raden Galinggangjati, kejahatanmu sudah sampai ke ubun-ubunmu, sudah berapa banyak pemuda yang menjadi korbanmu, aku dengar mereka banyak yang sudah menjadi gila, selebihnya mati di tanganmu. Tanganmu sudah berlumur darah orang-orang tidak berdosa dan kini kau ingin melengkapi dosa-dosamu dengan bersekutu dalam pemberontakan. Kalian berdua orang-orang jahat, hari ini takkan terlepas diri tanganku"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat melompati puncak Gunung Semeru, Pragalbo. Akan aku hancurkan kepalamu dengan senjataku Rujakpolo ini"
Bentak Ki Kalakatung yang sudah menyerang dengan senjatanya yang menggiriskan. Senjata di tangan Ki Kalakatung ini berupa sebuah penggada yang panjangnya sedepa, besar dan berat, berwarna hitam dan terbuat dari galih-asem yang sudah tua dan keras bukan main. Agaknya dia menamakan penggada ini Rujakpolo, meniru nama penggada yang biasa dipergunakan oleh Sang Bima, tokoh pewayangan, orang ke dua dari Pandawa Lima.
"Wuuuuuttt........!"
Penggada itu menyambar mengeluarkan angin keras saking berat dan cepatnya sambaran itu. Tenaga yang terkandung dalam serangan itu amat kuat, dan memang senjata Ki Kalakatung ini menggiriskan, sekali pukul saja dia mampu menghancurkan batu gunung yang besar. Apa lagi kalau mengenai kepala lawan, sungguh amat mengenaskan, kalau dibayangkan penggada itu memukul kepala, kepala itu pasti akan lumat.
Pragalbo maklum akan kedahsyatan penggada Rujakpolo ini, maka iapun tidak mau mencoba-coba membiarkan kepalanya dihajar, cepat dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, menyuruk di bawah sambaran penggada yang lewat di atas kepalanya. Sementara itu, Pragalbopun tidak tinggal diam, sambil mengelak ke kiri, keris di tangannya meluncur dan menghunjam ke arah dada lawan.
"Heh!"
Ki Kalakatung meloncat ke belakang dengan cekatan, dan tusukan keris itupun dapat dihindarkan. Di lain detik, penggada galih asem hitam itu sudah menyambar lagi dari kiri ke kanan. Melihat betapa senjata berat itu, setelah tadi menghantam dari kanan ke kiri dengan dahsyatnya, kini dapat membalik cepat. Menunjukkan betapa si botak berpunuk ini memang memiliki tenaga kuda yang kuat.
Namun Pragalbo tidak kalah gesit. Ia dapat mengelak dan membalas dengan serangan kerisnya, secara bertubi. Terjadilah perkelahian yang seru. Akan tetapi Pragalbo yang memegang sebatang keris sebagai senjata, tentu saja dapat bergerak lebih gesit karena senjatanya jauh lebih ringan. Kecepatan inilah yang membuat Ki Kalakatung kewalahan sehingga ia terdesak. Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang ini seimbang, hanya karena senjata Kalakatung jauh lebih berat, maka gerakannya kalah gesit, kalah cepat walaupun serangan-serangannya dengan penggada itu jauh lebih berbahaya.
Sementara itu, Raden Galinggangjati dengan mudah merobohkan dua orang petani yang terdekat, kemudian melihat betapa kawannya terdesak oleh keris Pragalbo yang menyambar-nyambar ganas, dia lain meloncat ke dalam medan perkelahian itu, menggerakkan senjata di tangannya, yaitu sebatang pedang melengkung yang gagangnya terbuat dari emas. Sinar kehijauan menyambar bergulung-gulung ketika dia menggerakkan pedangnya menyerang Pragalbo. Orang gagah ini terkejut sekali karena sambaran pedang itu amat dahsyat dan berbahaya, selain cepat sekali luncurannya, juga mengeluarkan suara berdengung dan amat kuat.
"Tringgg........!"
Kerisnya menangkis dan kedua orang itu merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata masing-masmg tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi pada saat itu, penggada di tangan Ki Kalakatung sudah menyambar lagi dari samping, mengancam kepala Pragalbo. Ketika Pragalbo mengelak dan merendahkan tubuhnya, sebuah tendangan kaki Raden Galinggangjati menyambar ke arah perutnya dari samping. Pragalbo miringkan tubuh untuk mengelak, akan tetapi tetap saja paha kirinya terkena serempetan tumit kaki lawannya itu.
"Dukkk....... !!"
Tidak terlalu keras kenanya karena Pragalbo sudah miringkan tubuh, hanya terserempet saja, namun karena tendangan itu mengandung tenaga kuat, tidak urung tubuh. Pragalbo terhuyung juga. Kesempatan ini dipergunakan oleh Raden Galinggangjati yang dapat bergerak lebih cepat dari kawannya, karena senjata pedangnya jauh lebih ringan, untuk mengejar, dan pedangnya terayun ke arah tubuh yang sedang terhuyung itu.
"Cringgg......"
Bunga api berpijar ketika pedang itu bertemu dengan sebuah suling hitam yang menangkisnya.
Raden Galinggangjati mengangkat muka memandang. Wajah yang tampan itu menyeringai dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Babo babo, kiranya Padasgununglah yang memimpin para petani itu? Engkau pula yang tadi meniup sulingmu? Pantas, para petani tolol itu berani karena ada orang-orang macam kau dan Pragalbo. Mampuslah"
Pedangnya menyambar ganas ke arah leher Padasgunung yang cepat menangkis dengan sulingnya lalu membalas. Segera terjadi perkelahian seru antara Raden Galinggangjati dan Padasgunung. Melihat munculnya kakak seperguruannya, besarlah hati Pragalbo dan iapun cepat menerjang Ki Kalakatung dengan kerisnya. Si botak berpunuk ini cepat mengelak dan mengayun penggadanya untuk membaias.
Di sekitar pertempuran mereka, terjadi pula pertempuran antara laskar rakyat petani melawan para pemberontak.
Karena memang tingkat kepandaian Padasgunung dan Pragalbo setingkat dibandingkan dua orang lawannya, maka perkelahian itu bukan main serunya dan sukar diduga siapa diantara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Pedang di tangan Raden Galinggangjati dapat mengimbangi gerakan suling di tangan Padasgunung, sehingga yang nampak diantara mereka hanya dua gulungan sinar hitam dan kehijauan yang saling belit dan saling sambar seperti dua ekor naga bermain di angkasa.
Tidak ada diantara laskar petani dan anggota pasukan pemberontak yang berani mendekati empat orang yang seding berkelahi ini, setelah ada beberapi orang diantara mereka terjungkal dan tidak mampu bangkit kembali ketika mencoba untuk membantu pemimpin-pemimpin mereka. Empat orang ini terlalu kuat bagi anggota pasukan biasa. Karena itu, para anggota laskar petani dan para anggota pemberoutak menjauhkan diri dari mereka dan bertempur kacau balau tanpa komando lagi.
Pada saat empat orang pimpinan kedua pihak itu saling serang dengan serunya, tiba-tiba terdengar bunyi cambuk meledak-ledak di atas kepala Padasgunung dan Pragalbo. Kedua orang gagah ini terkejut bukan main. Mereka sedang saling serang dengan dua orang pimpinan pemberontak, maka tidak sempat menangkis dan hanya meloncat ke belakang, namun ujung cambuk itu sempat menggigit pundak kiri Padasgunung dan merontokkan ujung gumpalan rambut Pragalbo.
Ketika mereka melihat, ternyata yang muncul menyerang mereka itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot rapi, tampak gagah, sepasang matanya tajam dan liar, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang yang suka mengolah kebatinan, ahli tapa dan jubahnya jubah pendeta. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pecut panjang, pecut sapi yang tadi dilecutkan ke arah kepala Padasgunung dan Pragalbo, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas bambu yang bentuknya bundar. Ia tersenyum-senyum mengejek melihat betapa Padasgunung dan Pragalbo tadi terkejut karena serangannya yang hebat.
Akan tetapi sebaliknya, Kalakatung dan Raden Galinggangjati merasa gembira sekali dengan munculnya orang ini. Apalagi melihat betapa lecutan tadi membuat Padasgunung dan Pragalbo terkejut. Mereka segera maju lagi menyerang dan ketika dua orang pemimpin laskar rakyat petani itu menangkis, laki-laki berjubah pendeta itupun menggerakkan cambuknya yang panjang untuk membantu.
Padasgunung dan Pragalbo melawan mati-matian, namun mereka kewalahan dan repot menghadapi desakan tiga orang itu. Terutama sekali si pemegang pecut itu sungguh tangguh sekali, dan memiliki tingkat kepandaian yang masih lebih tinggi dari mereka. Maka, terdesaklah Padasgunung dan Pragalbo, dan mereka hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan tiga orang lawan mereka.
"Hemm, para pemberontak keparat"
Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh lima tahun, tinggi kurus, akan tetapi tulang-tulangnya besar dan kokoh kuat, perutnya gendut. Pakaiannya sederhana serba hitam seperti pakaian petani, bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang berbulu, mukanya brewok, matanya lebar mencorong dan wajahnya membayangkan kekasaran namun juga keramahan dan kegembiraan.
"Heh, keparat Ki Jembros. Jangan mencampuri urusan kami"
Laki-laki berpakaiam pendeta tadi berseru ketika melihat munculnya Ki Jembros.
"Ha-ha-ha, kiranya Resi Harimurti yang membantu para pemberontak. Aku membela kerajaan, itu sudah sewajarnya, akan tetapi kalau seorang resi, seorang pendeta dan pertapa macam kau ini membantu pemberontak, sungguh sukar dimengerti."
Jawab Ki Jembros. Ia mengenal Resi Harimurti itu adalah seorang pertapa atau pendeta yang suka berkelana, namun di samping terkenal karena kesaktiannya, ia juga terkenal sekali karena kelemahannya terhadap wanita cantik, ia seorang pendeta cabul, dan hal ini mudah diketahui dari sinar matanya yang tajam itu.
"Keparat, tak perlu banyak cakap"
Bentak Ki Kalakatung yang sudah mengangkat galih asemnya dan menimpakannya dengan kuat ke arah kepala Ki Jembros. Melihat ini, Ki Jembros mengangkat lengan kirinya menangkis.
"Dukkk !"
Lengan itu menangkis galih asem yang besar dan berat, akan tetapi akibatnya, Ki Kalakatung sendiri yang menyeringai kesakitan dan hampir saja penggada itu terlepas dari tangannya. Raden Gilinggangjati meloncat dengan keris di tangan, menusukkan kerisnya ke arah dada Ki Jembros yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak sehingga keris itu tepat menghunjam dadanya.
"Tukk !"
Keris itu seperti menusuk baja dan Ki Jembros tertawa bergelak, sementara itu Raden Galinggangjati meloncat mundur dengan muka pucat. Kerisnya tidak mampu melukai dada Ki Jembros. Hal ini tidaklah aneh, karena Ki Jembros telah mengerahkan sebuah diantara ilmunya yang hebat, yaitu aji kesaktian Trenggiling Wesi, suatu aji kekebalan. Tentu saja aji kekebalan ini hanya mampu menahan serangan orang yang lebih rendah ilmunya, yang kekuatannya jauh di bawah tingkat Ki Jembros sendiri. Buktinya, ketika Resi Harimurti menggerakkan pecutnya, menghantam ke arah kepala Ki Jembros, orang kokoh kuat ini tidak berani menerimanya seperti ketika dia diserang oleh keris tadi. Ia miringkan tubuhnya dan ketika pecut itu lewat di pinggir telinganya. Ki Jembros membalikkan tubuhnya dan menghantam dengan tangan terbuka, dengan jari-jari tangan yang menjadi tegang dan keras bagaikan baja, ke arah dada lawannya.
"Plak.........!"
Tangan terbuka itu tertangkis oleh seoatang kipas bambu yang terlipat, sebatang kipas yang bukan hanya menangkis, akan tetapi juga dipergunakan ujung gagangnya yang runcing untuk menusuk ke arah urat nadi tangan itu. Resi Harimurti memang seorang tokoh yang terkenal dengan sepasang senjatanya, yaitu sebatang pecut dan sebuh kipas bambu. Ki Jembros cukup mengenal ketangguhan lawan ini, maka ketika tangannya tertangkis, diapun memutar pergelangan lengannya sehingga terbebas dari tusukan ujung gagang kipas lawan. Kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah selangkang Resi Harimurti yang juga dapat cepat mengelak dengan loncatan ke belakang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang yang sama-sama memiliki aji kesaktian yang hebat itu. Pecut di tangan kanan Resi Harimurti meledak-ledak sedangkan kipasnya meniupkan angin yang menyambar-nyambar, akan tetapi terjangan Resi Harimurti yang dahsyat itu dapat diimbangi oleh Ki Jembros yang mengerahkan aji kesaktian Hastobairowo yang lebih dahsyat lagi. Dengan aji pukulan Hastobairowo, ditambah aji kekebalan Trenggiling Wesi, maka Resi Harimurti mulai terdesak terus.
Sementara itu, Kalakatung sudah bertanding lagi melawan Pragalbo, sedangkan Raden Galinggangjati melawan Padasgunung. Pertandingan antara mereka ini tidak kalah serunya, akan tetapi seperti juga dengan keadaan Resi Harimurti, dua orang tokoh pembantu Mahesa Rangkah inipun mulai terdesak oleh dua orang satria itu.
Melihat betapa tiga orang pemimpin mereka terdesak, pasukan pemberontak menjadi panik dan kacau. Tadinya, biarpun jumlah mereka hanya setengah jumlah laskar rakyat, namun para pemberontak itu tidak merasa gentar karena mereka adalah orang orang dari dunia sesat yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, sudah biasa berkelahi, sebaliknya lawan mereka adalah para petani yang. belum mempunyai pengalaman pertempuran. Akan tetapi, setelah melihat betapa tiga orang pemimpin mereka terdesak, khawatirlah hati mereka dan karenanya, laskar rakyat petani yang lebih banyak jumlahnya dan yang bersemangat besar melihat sepak terjang pimpinan mereka yang gagah perkasa, dapat mendesak para pemberontak dengan pekik semangat menuju kemenangan.
Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Maling Budiman Pedang Perak Karya Kho Ping Hoo Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo