Ceritasilat Novel Online

Sepasang Garuda Putih 14


Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Jadi engkau sekarang sedang dalam perjalanan merantau untuk meluaskan pengalaman hidupmu?"

   "Benar, adi Joko."

   "Wah, kalau begitu tentu banyak sekali yang kau alami dan apakah engkau tidak pernah bertemu dengan orang-orang jahat yang mencoba untuk mengganggumu?"

   "Banyak aku bertemu dengan orang-orang yang menjadi hamba nafsunya dan mereka berusaha untuk mencelakai aku, akan tetapi berkat perlindungan kekuasaan Hyang Widhi, selalu ada saja jalan keluar bagiku dan sehingga kini aku masih dalam keadaan sehat dan selamat. Yang memprihatinkan hatiku adanya banyak orang jahat yang hendak memaksa rakyat berganti agama sesat. Kalau hal ini dibiarkan, amat berbahaya sekali. Rakyat diajar untuk menjadi bodoh dan menjadi hamba nafsu daya rendah yang akan menyeret mereka ke jurang kegelapan."

   Joko Waras membelalakkan matanya.

   "Ah, engkau tahu juga akan hal itu? Apakah engkau tahu juga bahwa para pimpinan agama baru itu memimpin rakyat untuk membangun candi-candi Trimurti yang lama? Apakah engkau tahu juga apakah agama baru itu?"

   "Aku mengerti. Aku pernah bertemu dengan Wasi Karangwolo yang memimpin pembuatan candi yang menyembah Shiwa, Durga dan Kala. Aku pernah menegurnya karena dia memaksakan agama baru kepada rakyat pedusunan."

   Joko Waras tahu bahwa Wasi Karangwolo tentu seorang pemimpin agama baru yang sakti, maka tanyanya,

   "Dan apa yang diperbuat olehnya kepadamu, kakang Jaya?"

   "Dia berusaha membunuhku, lalu menawanku, akan tetapi akhirnya aku dapat lolos juga, berkat pertolongan seorang bibi yang sakti mandraguna."

   "Siapa nama bibi itu?"

   Tanya Joko Waras ingin sekali tahu.

   "Bibi itu adalah Endang Patibroto, isteri Ki Patih Tejolaksono dari Kerajaan Panjalu. Orangnya hebat sekali, cantik jelita, gagah perkasa dan sakti mandraguna. Akan tetapi sayang...

   "

   "Sayang? Kenapa, kakang?"

   Tanya Joko Waras dengan jantung berdebar. Orang sedang membicarakan ibu kandungnya!

   "Sayang bahwa dia terlalu ganas. Sepak terjangnya seperti seekor burung rajawali yang tidak mengenal ampun. Aku ngeri menyaksikan sepak terjangnya."

   "Bagi seorang ksatria, kalau bertemu dengan orang-orang jahat, dia tentu akan turun tangan membasminya, kakang. Itu bukan ganas namanya, melainkan adil."

   "Hemm, engkau boleh menganggap demikian, akan tetapi aku tidak, adi Joko. Betapa jahatpun seorang manusia, dia harus diberi kesempatan untuk bertaubat dan kembali menjadi orang baik-baik. Sekarang ganti engkau, adi Joko. Ceritakanlah keadaan dirimu kepadaku. Aku merasa amat kagum dan juga heran melihat engkau, adi Joko."

   "Mengapa heran? Apakah keadaan diriku mengherankan dan aneh, kakang? Bukankah aku seorang pemuda biasa seperti yang lain?"

   "Sama sekali tidak biasa! Engkau seorang pemuda remaja yang aneh sekali. Bayangkan saja. Usiamu masih begini muda, paling banyak tujuhbelas tahun."

   "Walah! Aku sudah dua puluh tahun, kakang!"

   "Benarkah? Akan tetapi engkau tampak jauh lebih muda dan semuda ini engkau telah memiliki aji kesaktian yang hebat. Nah, ceritakanlah riwayatmu, adi Joko. Riwayatmu tentu juga hebat sekali. Siapa orang tuamu? Siapa gurumu dari mana engkau berasal dan hendak pergi ke mana?"

   Joko Waras tersenyum. Diam-diam ia merasa heran sekali mengapa ia merasa begitu dekat dengan pemuda ini. Perasaan hatinya begitu senang dan aman berdekatan dengan Jayawijaya.

   "Sudah kukatakan, namaku Joko Waras dari pegunungan Kidul di barat sana. Kedua orang tuaku masih hidup dan yang menjadi guruku adalah mendiang Nini Bumigarbo yang tentu saja tidak kau kenal. Seperti juga engkau, aku pergi merantau untuk menambah pengalaman dan pengetahuan, akan tetapi aku tidak pergi seorang diri. Aku pergi berdua dengan seorang kakakku yang bernama Joko Slamet. Dalam perjalanan kami selalu memberantas kejahatan dan menegakkan kebenaran dan keadilan."

   Jayawijaya memandang tajam, dan bertanya,

   "Di mana sekarang kakakmu itu? Dia tentu seorang yang sakti mandraguna pula."

   "Dibandingkan dengan dia, maka kepandaianku tidak ada artinya, kakang. Kakakku itu selain sakti mandraguna, juga bijaksana dan aku tanggung kalau bertemu dan bercakap-cakap dengan dia, engkau tentu akan merasa akrab dan cocok sekali. Banyak kemiripan di antara kalian berdua, hanya bedanya dia memiliki kesaktian dan engkau tidak. Kami sengaja berpencar dan kami berdua memasuki kadipaten Blambangan dengan mengambil jalan masing-masing untuk bertemu kelak di Blambangan."

   Setelah berkata demikian, Joko Waras memandang Jayawijaya dan melihat betapa pemuda itu memejamkan kedua matanya seperti orang bersamadhi. Ia merasa heran, akan tetapi mendiamkan saja, dan akhirnya menjadi kesal dan menegur,

   "Kakang Jayawijaya, aku bercerita seperti burung berkicau tiada hentinya, dan engkau malah tertidur pulas!"

   Jayawijaya membuka matanya dan melihat Joko Waras marah-marah, dia tersenyum lalu berkata dengan sabar dan lembut,

   "Adi Waras, aku sama sekali tidak tidur nyenyak, aku mendengarkan semua ceritamu. Ceritamu mergingatkan aku kepada Bibi Endang Patibroto."

   "Ehh? Kenapa engkau tiba-tiba teringat kepadanya, kakang Jaya?"

   Joko Waras menatap tajam wajah pemuda itu, penuh selidik.

   "Bibi Endang Patibroto menceritakan kepadaku bahwa ia mencari kedua orang anaknya, seorang laki-laki bernama Bagus Seto dan anak perempuan bernama Retno Wilis. Menurut Bibi Endang Patibroto, kedua orang putera-puterinya itu memiliki kesaktian, oleh karena itu, bertemu dengan andika dan mendengar tentang kakak andika, aku teringat akan cerita Bibi Endang Patibroto itu. Alangkah cocoknya kalau andika dan kakak andika menjadi anak-anaknya. Akan tetapi, menurut ceritanya, kedua anaknya itu adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan andika dan kakak andika keduanya laki-laki."

   Joko Waras menelan ludahnya untuk menenteramkan hatinya yang sempat berdebar.

   "Akan tetapi engkau melihat sendiri bahwa aku dan kakakku keduanya adalah laki-laki, kakang Jaya."

   "Itulah yang membuat aku tadi seperti melamun karena menurut penilaianku, engkau dan kakakmu itu sungguh pantas menjadi putera-putera Bibi Endang Patibroto."

   "Sudahlah, jangan membayangkan yang bukan-bukan, kakang Jaya. Sekarang aku hendak bertanya, engkau hendak melanjutkan perjalanan ke mana, kakang?"

   "Ke mana saja hati dan kakiku membawanya, Adi Waras. Aku tertarik sekali mendengar ceritamu tadi. Engkau dan kakakmu berpencar memasuki Blambangan. Kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak kalian lakukan di Blambangan?"

   "Kami berdua hendak menyelidiki keadaan di Blambangan, kakang. Kami mendengar bahwa Blambangan dan Nusabarung sedang menghimpun kekuatan untuk memusuhi Jenggala dan Panjalu, dan juga kami telah melihat ada usaha untuk meracuni rakyat Jenggala dengan pemujaan agama baru. Sebagai seorang kawula Panjalu, tentu saja kami tidak rela melihat hal ini. Kami akan melakukan penyelidikan di Blambangan untuk kemudian kami laporkan kepada Kerajaan Panjalu."

   "Wah, kalau begitu andika adalah seorang telik sandi (mata-mata) yang dikirim Panjalu untuk menyelidiki keadaan di Nusabarung dan Blambangan?"

   "Bukan telik sandi yang dikirimkan pemerintah. Kami kakak beradik tadinya hanya hendak merantau dan meluaskan pengalaman menambah pengetahuan. Setelah tiba di sini kami melihat kenyataan-kenyataan yang membahayakan Panjalu dan Jenggala. Maka, secara suka rela kami melakukan penyelidikan, bukan sebagai utusan Panjalu atau Jenggala."

   Jayawijaya mengangguk-angguk.

   "Aku mengerti dan hal itu sungguh menarik hati sekali. Tujuan andika berdua amat baik dan sekiranya andika tidak berkeberatan, aku-pun suka untuk memasuki Blambangan dan ikut pula mencegah agar para pemuja Shiwa Durgo-Kala itu tidak menyesatkan orang-orang dengan agama baru mereka."

   "Akan tetapi perjalanan ini berbahaya sekali, kakang Jaya. Para pemimpin agama baru itu merupakan orang-orang sakti yang tentu akan membunuhmu kalau mereka mengetahui bahwa engkau menentang niat mereka."

   Jayawijaya tersenyum.

   "Sudah kukatakan berkali-kali bahwa aku berlindung di dalam Kekuasaan Hyang Widhi, aku tidak takut ancaman yang bagaimanapun juga. Kalau Gusti Yang Maha Kuasa telah menentukan bahwa aku harus mati, akupun tidak akan berkeberatan atau menyesal. Sebaliknya, kalau Yang Maha Kuasa belum menghendaki aku mati, ancaman dari manapun juga datangnya tidak akan mampu membunuhku."

   "Begitu tebalkah keyakinanmu, kakang?"

   "Setebal bumi, Adi Waras."

   "Baiklah kalau begitu, Kakang Jaya. Semoga keyakinan dan imanmu akan benar-benar mendatangkan perlindungan bagi dirimu dari Hyang Widhi, kalau-kalau aku tidak mampu melindungimu. Mari kita lanjutkan perjalanan kita. Kita harus berhati-hati karena ini sudah dekat dengan tapal batas Kadipaten Blambangan."

   Matahari telah naik tinggi, tengah hari telah lewat ketika mereka tiba di perbatasan Kadipaten Blambangan. Dari sebuah lereng bukit mereka melihat bahwa di depan terdapat sebuah dusun, masih agak jauh hanya tampak gentengnya saja. Karena mereka merasa haus, maka melihat dusun ini mendatangkan semangat kepada mereka sehingga mereka berjalan lebih cepat agar segera tiba di dusun itu untuk mencari minuman pelepas haus. Tiba-tiba saja muncul seorang kakek di depan mereka, menghadang jalan. Joko Waras menahan langkahnya, diturut oleh Jayawijaya dan mereka memandang kakek itu penuh perhatian.

   Dia seorang kakek yang usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, akan tetapi tubuhnya yang sedang besarnya itu tampak masih tegak dan kokoh. Walaupun gerak geriknya lembut, namun di balik kelembutan itu bersembunyi kekuatan yang dahsyat. Dia memakai jubah sederhana berwarna kuning seperti yang biasa dipakai para pendeta. Rambutnya sudah berwarna dua, namun jenggot dan kumisnya sudah putih semua. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat berkepala naga yang panjangnya sama dengan tinggi badannya. Melihat dua orang muda itu, kakek itu tersenyum lebar dan mengangkat tangan kanannya ke atas kepala seperti orang melambai.

   "Dua orang muda, perlahan dulu! Siapakah andika berdua dan hendak memasuki wilayah Blambangan ada keperluan apakah?"

   Pertanyaan itu dilakukan dengan suara halus. Akan tetapi Joko Waras yang melihat pendeta itu dapat menduga bahwa dia bukanlah seorang pendeta yang hidup suci, dapat ia lihat dari sinar matanya yang mengandung kekejaman. Maka, sebelum Jayawijaya menjawab, dia mendahului,

   "Kakek, minggirlah dan beri kami jalan. Kami adalah orang-orang muda yang sedang mengembara, tidak mempunyai urusan denganmu. Minggirlah!"

   Akan tetapi mendadak tampak sesosok bayangan berkelebat dan di dekat kakek itu berdiri seorang kakek lain. Kakek ini usianya kurang lebih enam puluh dua tahun, pakaiannya mewah dan dia pesolek sekali, rambutnya tersisir licin dan berminyak, sikapnya kewanitaan. Dia melirik ke arah Jayawijaya lalu berkata kepada kakek pertama,

   "Kakang Wasi, pemuda yang lebih tinggi itulah yang pernah kutemui bersama dengan Endang Patibroto. Mereka berdua itu tentu telik sandi yang akan menyelidiki Blambangan!"

   Melihat kakek ke dua ini, teringatlah Jayawijaya akan peristiwa yang dialaminya beberapa pekan yang lalu. Kakek itu adalah Wasi Karangwolo yang dilihatnya membujuk penduduk dusun untuk beralih agama baru di sertai ancaman. Bahkan dia telah diserang oleh kakek itu dan kemudian muncul Endang Patibroto yang mengalahkan kakek itu. Mendengar ucapan Wasi Karangwolo, Jayawijaya lalu berkata dengan lembut, namun dengan suara mengandung penuh teguran.

   "Mengapa andika selalu mencari permusuhan dan ke ributan? Dulu aku melihat andika membujuk dan memaksa rakyat untuk berganti agama, sekarang andika menghadang perjalanan kami. Siapakah andika berdua dan ada maksud apakah menghadang perjalanan kami?"

   Ketika mendengar keterangan Wasi Karangwolo bahwa pemuda itu pernah bersama Endang Patibroto, Wasi Shiwamurti, yaitu kakek pertama tadi, mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.

   "Bagus, kiranya dia pernah bersama Endang Patibroto? Hei, orang muda. Ketahuilah bahwa aku adalah Wasi Shiwamurti dan ini adalah adik seperguruanku bernama Wasi Karangwolo yang menjadi penasihat Adipati Menak Sampar di Blambangan. Kalau engkau menyayang nyawamu sendiri, mari ikut dengan kami dan tunjukkan di mana adanya Endang Patibroto sekarang."

   Joko Waras yang sejak tadi hanya menonton dan mendengarkan saja, ketika melihat Wasi Karangwolo segera mengenal kakek itu. Wasi Karangwolo itu bersama Wasi Surengpati pernah mempergunakan sihir dan menawannya, setelah penyamarannya sebagai Joko Wilis diketahui Dyah Candramanik puteri Adipati Nusabarung dan oleh puteri itu dilaporkan kepada ayahnya. Untung kakaknya Bagus Seto membebaskannya dari tempat tahanan dan ia mengamuk dan menyandera Adipati Martimpang, yaitu Adipati Nusabarung sehingga dia dapat lolos dari kepungan para perajurit dan senopati Nusabarung. Hatinya sudah menjadi marah sekali melihat Wasi Karangwolo yang tidak mengenalnya sebagai Retno Wilis. Dia lalu melangkah maju dan dengan suara lantang menegur dua orang kakek itu dengan berani.

   "Kalian ini dua orang kakek tua bangka, lagi kalian adalah pendeta, seharusnya mencari jalan terang untuk bekal kematian kalian. Akan tetapi kalian bahkan berbuat jahat dan hendak memaksa orang. Pendeta macam apa kalian!"

   Wasi Shiwamurti sampai terbelalak saking kaget, heran dan marahnya. Dia, seorang wasi yang disanjung-sanjung banyak orang, dipuja-puji seperti seorang dewa titisan Bathara Shiwa, kini dimaki-maki oleh seorang bocah! Saking marahnya dia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata sampai beberapa lamanya. Dia merasa serba salah. Kalau meladeni seorang bocah yang tampaknya belum dewasa, berpakaian seperti bocah petani itu, sungguh merendahkan martabatnya. Akan tetapi kalau tidak dilayani dan dihajar, bocah ini sungguh menghina sekali.

   "Keparat, engkau bocah masih ingusan berani mengeluarkan kata-kata seperti itu kepadaku?"

   "Mengapa tidak berani? Kalian memang pendeta-pendeta yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Sepantasnya kalian ini menjadi maling atau perampok!"

   Kata Joko Waras. Wasi Shiwamurti menahan kemarahannya dan membentak,

   "Jangan kalian mati tanpa nama! Katakan siapa nama kalian?"

   Jeko Waras mengacungkan jempolnya menunjuk ke arah dada sendiri, lalu menunjuk dengan jempolnya ke arah Jayawijaya sambil berkata,

   "Aku bernama Joko Waras dan kakang ini bernama Jayawijaya. Agaknya kalian ini biang keladinya penyebaran agama baru yang menyesatkan rakyat. Benarkah itu?"

   Wasi Shiwamurti mengeluarkan suara menggereng seperti seekor biruang terluka. Suara gerengannya menggetar-getar dengan amat kuatnya dan terdengarlah suaranya yang lantang dan mengandung wibawa kuat sekali. Ternyata dia telah mengerahkan kekuatan sihirnya.

   "Joko Waras dan Jayawijaya, berlututlah kalian!"

   Joko Waras terkejut bukan main karena ada dorongan yang luar biasa kuatnya memaksanya untuk menekuk kedua lututnya, ia tahu bahwa itu adalah gerengan ilmu sihir yang amat kuat. Ia mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk melawan, namun ia kalah kuat dan tak dapat tertahankan lagi kedua lututnya tertekuk dan ia sudah jatuh berlutut di depan kakek itu. Akan tetapi Jayawijaya sama sekali tidak terpengaruh. Bentakan dan perintah itu lewat begitu saja seperti angin dan tidak mempengaruhinya, bahkan dia lalu mengangkat bangun Joko Waras sambil berkata.

   "Adi Waras, tidak perlu berlutut di depan mereka. Bangunlah."

   Dan seketika Joko Waras terlepas dari pengaruh yang memaksanya berlutut itu. Ia tidak sempat terheran-heran mengapa Jayawijaya sama sekali tidak terpengaruh oleh sihir itu bahkan dapat menyadarkan dan membebaskannya dari pengaruh sihir. Ia marah sekali kepada kakek yang menamakan dirinya Wasi Shiwamurti itu. Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang wasi yang maha sakti, Joko Waras lalu membungkuk dan mencengkeram tanah berpasir itu dan ketika ia mengerahkan tenaga saktinya, segenggam tanah berpasir itu telah menjadi pasir sakti Pancaroba dan ia mengeluarkan bentakan sambil melontarkan pasir itu ke arah muka Wasi Shiwamurti.

   Sang Wasi terkejut juga melihat serangan dahsyat ini. Namun dengan tenang ia mengebutkan lengan jubahnya yang lebar dan pasir yang berbahaya dan mematikan itu runtuh semua ke atas tanah. Joko Waras tidak mau berhenti sampai di situ saja. Walau pun serangannya gagal, ia menerjang maju dan menyerang dengan Aji Wisolangking, pukulan yang mengandung racun berbahaya, yang dahulu merupakan ilmu andalan dari gurunya, yaitu Nini Bumigarbo! Wasi Shiwamurti semakin terkejut melihat betapa "bocah ingusan"

   Itu dapat menyerangnya dengan ilmu pukulan sedahsyat itu. Dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis.

   "Wuuuttt... desss...!"

   Dan wasi itu terdorong mundur sampai tiga langkah! Hal ini terjadi karena dia masih memandang rendah sehingga ketika menangkis tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi akibat benturan dua tenaga sakti itu membuat dia mundur tiga langkah dan hal ini sungguh amat mengejutkan! Wasi Shiwamurti menjadi marah bukan main. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, lalu dia melontarkan tongkatnya ke atas.

   "Wuss...!"

   Tampak asap mengepul dan keluarlah dari angkasa seekor naga hitam yang menggiriskan. Melihat ini Joko Waras terbelalak dan perasaan ngeri mencekamnya. Akan tetapi Jayawijaya mendorongkan kedua tangannya ke arah naga hitam itu sambil berkata lembut,

   "Hong... air boyo sedyo rahayu...!"

   Seketika naga hitam itu jatuh ke atas tanah dan berubah lagi menjadi tongkat berkepala naga milik Wasi Shiwamurti. Dapat dibayangkan betapa kagetnya sang wasi melihat ini. Ilmu sihirnya yang paling diandalkan itu begitu saja dipunahkan oleh pemuda itu! Joko Waras juga merasa heran dan girang sekali melihat ini, maka iapun menyerang lagi dengan Aji Wisolangking, mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah sang wasi itu. Melihat ini, sekarang Wasi Shiwamurti tidak berani memandang rendah dan dia mengerahkan seluruh tenaga, menggunakan tangan kanan menangkis pukulan itu dan tangan kirinya menyambar ke depan, tepat mengenai bawah pundak kanan bagian depan dari Joko Waras.

   "Desss...!"

   Joko Waras terpelanting dan sampai bergulingan saking hebatnya pukulan itu. Ia merasa betapa dada bagian atas di bawah pundak kanan itu nyeri bukan main.

   "Jangan pukul Adi Waras!"

   Teriak Jayawijaya ketika melihat Joko Waras dihantam sampai terguling-guling dan dia maju menghampiri Wasi Shiwamurti untuk mencegahnya menyerang lagi kepada Joko Waras.

   Wasi Shiwamurti yang tadi melihat betapa ilmu sihirnya dipunahkan oleh Jayawijaya, menyangka bahwa pemuda itu tentu memiliki kesaktian yang tinggi. Maka melihat pemuda itu menghampirinya, dia lalu memapaki dengan pukulan yang menggunakan kedua tangannya didorongkan ke arah dada pemuda itu. Pukulan ini hebat sekali, lebih hebat dari pada pukulan tangan kiri yang merobohkan Joko Waras tadi. Kalau terkena pukulan dahsyat ini, tentu Jayawijaya akan remuk dadanya dan tewas seketika! Akan tetapi terjadi keanehan yang luar biasa. Ketika kedua tangan Wasi Shiwamurti dengan tenaga sepenuhnya mendorong ke depan,

   Tiba-tiba wasi itu merasakan betapa kedua tangannya bertemu dengan hawa yang maha dahsyat dan demikian kuatnya hawa itu sehingga tubuhnya terjengkang roboh dan terbanting keras seolah-olah dia yang terkena pukulannya itu! Sebetulnya peristiwa ini adalah sederhana saja dan sama sekali tidak aneh atau mengherankan. Harus diketahui bahwa Jayawijaya adalah seorang pemuda yang sejak kecil sekali sudah diajarkan dan ditanamkan iman dan penyerahan yang total dan ikhlas kepada kekuasaan Tuhan sehingga kalau ada bahaya mengancamnya, seolah-olah dia selalu terlindungi oleh Kekuasaan yang maha kuat dan tidak tampak. Pukulan Wasi Shiwamurti memang hebat, terbentuk dari latihan dan penggunaan aji kesaktian, akan tetapi apa artinya semua ilmu kedigdayaan dan kesaktian yang dapat dipelajari manusia kalau dibandingkan dengan kekuasaan Tuhan??

   Joko Waras yang terkena pukulan hebat itu, walaupun menderita nyeri yang hebat namun ia masih sadar. Melihat Wasi Shiwamurti terjengkang, ia khawatir sekali kalau sampai sang wasi menyerang lagi dan membunuh Jayawijaya. Maka ia lalu melompat, menyambar tangan Jayawijaya dan ditariknya pemuda itu melarikan diri dari tempat berbahaya itu. Baru Wasi Shiwamurti saja sudah merupakan lawan yang terlalu tangguh, apa lagi kalau dibandingkan Wasi Karangmolo! Dengan pikiran ini, Joko Waras menahan rasa nyerinya dan terus mengajak lari Jayawijaya yang ditariknya itu memasuki sebuah hutan yang terdapat di lereng bukit itu.

   (Lanjut ke Jilid 13)

   Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 13

   Kedua tangannya siap untuk memukul, dan ia berkata dengan suara terputus-putus saking marahnya.

   "Engkau... kau ..."

   Akan tetapi ia menahan diri dan melanjutkan.

   "Kakang Jaya apa yang engkau lakukan ini?"

   Sikap Jayawijaya tenang sekali akan tetapi kini pandang matanya terhadap Joko Waras menjadi lain, penuh kekaguman dan terheran-heran setelah mengetahui bahwa "pemuda"

   Yang sakti ini ternyata adalah seorang gadis!

   "Dan ketika kau jatuh pingsan dan agaknya terluka pukulan di bawah pundak, maka aku berusaha untuk mengurut-urut bagian yang ada bekas pukulan itu dengan harapan mudah-mudahan bekas luka pukulan itu dapat disembuhkan. Kemudian karena itu aku telah melihat bagian""

   Maka disambungnya dengan wajah yang kemerahan.

   "Maafkan aku sama sekali tidak pernah menduga bahwa andika adalah seorang wanita."

   Joko Waras yang memang telah diketahui bahwa ia sebenarnya seorang gadis, meraba bagian dada yang terpukul dan menekannya.

   Tidak lagi terasa nyeri! Lalu diperiksanya. Warna kehitaman di dadanya yang tadi sudah dilihatnya ketika ia melarikan diri, kinipun telah lenyap! Lukanya yang mengandung racun telah disembuhkan! Hawa beracun yang terkandung di dalamnya sudah bersih. Ia merasa takjub dan semakin tidak mengerti akan keadaan Jayawijaya. Tadi ketika ia berlutut karena pengaruh sihir, Jayawijaya sama sekali tidak terpengaruh! Bahkan kemudian ketika Wasi Shiwamurti yang amat sakti itu mengirim pukulan jarak jauhnya kepada Jayawijaya, sama sekali tidak bergeming, ia malah terjengkang sendiri. Dan lukanya hanya dengan urutan jari tangan pemuda itu telah menyembuhkan lukanya yang mengandung hawa beracun. Pemuda macam apakah ini? Ketika diajak untuk melarikan diri, terseret di belakangnya ternyata ia tidak dapat berlari cepat.

   "Aku tahu dan bukan itu saja, aku bahkan dapat menebak bahwa andika adalah puteri Kanjeng Bibi Endang Patibroto yang bernama Retno Wilis!"

   Dalam hatinya, Jayawijaya merasa agak rikuh ketika teringat akan ucapan Endang Patibroto yang hendak menjodohkan dia dengan Retno Wilis! Akan tetapi tentu saja hal ini tidak akan dikatakannya kepada gadis itu.

   "Akan tetapi apakah sebelum ini andika tidak menduga bahwa aku seorang wanita?"

   Jayawijaya menggeleng kepalanya.

   "Siapa yang dapat menduga? Selain penyamaranmu sempurna, juga siapa yang mengira bahwa orang muda yang sakti mandraguna itu seorang gadis? Aku sendiri sukar untuk dapat mempercaya, akan tetapi ketika aku teringat bahwa andika adalah puteri Kanjeng Bibi Endang Patibroto yang sakti mandraguna, aku menjadi tidak merasa heran lagi."

   Retno Wilis kembali meraba dadanya dan menggosok-gosok bagian yang tadi terkena pukulan Wasi Shiwamurti.

   "Kakang Jaya, aku merasa heran sekali. Andika tidak berkepandaian, akan tetapi bagaimana dapat menyembuhkan luka pukulan ini demikian cepatnya?"

   Ia memandang dengan penuh selidik.

   "Andika menggunakan ilmu apakah untuk menyembuhkan ini?"

   Jayawijaya menggeleng kepalanya.

   "Aku tidak mempergunakan ilmu apapun juga. Aku hanya mengurut-urut dan berdoa semoga Yang Maha Kasih akan menyembuhkanmu. Akan tetapi sudahlah, adi... eh, diajeng Retno. Kurasa sebaiknya andika tidak lagi menyamar sebagai seorang pemuda. Kalau engkau seorang wanita, tentu orang-orang itu tidak akan bersikap kejam kepadamu."

   "Kau pikir begitukah, kakang? Agaknya engkau belum mengenal benar watak orang-orang jahat itu. Akan tetapi kalau engkau menghendaki, baiklah, aku akan berganti pakaian."

   Retno Wilis membawa buntalannya pergi ke balik semak belukar dan di situ ia berganti pakaian, yaitu pakaiannya yang seperti biasa ia pakai, pakaian serba putih yang sederhana namun membuat ia tampak cantik jelita dan agung. Ketika ia muncul dari balik semak belukar, ternyata Jayawijaya berdiri membelakangi semak belukar itu. Retno Wilis tersenyum. Benar-benar seorang pemuda yang sopan dan luar biasa sekali. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang yang aneh seperti Jayawijaya ini yang sekaligus telah menarik hatinya dan menimbulkan kekagumannya. Bayangkan saja, seorang pemuda yang sama sekali tidak memiliki ilmu kanuragan, namun berani menentang para datuk besar, bahkan berani menentang seorang sakti mandraguna seperti Wasi Shiwamurti dan kawan-kawannya!

   "Kakang Jaya...!"

   Retno Wilis memanggil.

   Jayawijaya memutar tubuhnya menghadapi Retno Wilis dan dia memandang dengan mata tidak berkedip, terpesona oleh apa yang dilihatnya! Dia melihat seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh tahun, rambutnya hitam agak berombak dan panjang sampai ke pinggang, berpakaian putih bersih dan walaupun sederhana pakaian itu tidak menyembunyikan bentuk tubuhnya dengan pinggang ramping dan padat berlekuk-lengkung sempurna. Sinom (anak rambut) melingkar-lingkar di dahinya dan depan telinganya, alisnya melengkung hitam matanya seperti sepasang kejora, mulutnya manis menggairahkan dengan bibir yang merah basah, dihias lesung pipit di kiri mulutnya, dagunya runcing dan lehernya panjang, hidungnya kecil mancung. Apa lagi ketika itu Retno Wilis memandangnya dengan senyum simpul dan kedua tangannya sedang berusaha untuk menggelung rambutnya yang panjang.

   "Kaukah itu...? Benarkah engkau... Adi Waras... eh, diajeng Retno Wilis?"

   Tanya Jayawijaya agak tersendat-sendat karena apa yang dilihatnya benar-benar melebihi semua bayangannya tentang gadis itu. Begitu pandainya gadis itu menyamar sehingga tadi wajahnya agak kecoklatan, tidak seperti sekarang begitu putih kekuningan. Bahkan kedua matanya juga berbeda, kini demikian indahnya dan bersinar-sinar cemerlang dan bening.

   "Aih, kakang Jaya, apakah engkau pangling? Aku Retno Wilis atau Joko Waras yang tadi."

   "Engkau cantik jelita seperti seorang bidadari dari kahyangan, diajeng."

   
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pujian itu demikian jujur dan polos, tidak mengandung rayuan. Mendengar ini, Retno Wilis tidak menjadi marah, bahkan mukanya yang putih mulus kulitnya itu kini menjadi kemerahan dan matanya mengerling tajam. Biasanya, pujian akan kecantikannya yang keluar dari mulut laki-laki mengandung rayuan, akan tetapi sekali ini sama sekali lain. Jayawijaya mengucapkannya dengan setulus hati penuh kejujuran dan tidak disembunyikan, terbuka dan polos.

   "Terima kasih atas pujianmu, kakang Jayawijaya, akan tetapi... ah, kukira ada orang-orang berdatangan!"

   Kata Retno Wilis yang pendengarannya amat tajam terlatih. Baru saja ia berkata demikian, tampak bayangan empat orang dan di situ telah berdiri Wasi Shiwamurti, Wasi Karangwolo, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda! Kiranya Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda juga berada bersama kedua orang Wasi tadi, hanya tadi belum memperlihatkan diri dan ketika mereka mengadakan pengejaran terhadap Jayawijaya dan Retno Wilis, kedua orang itupun ikut mengejar. Wasi Shiwamurti tidak mengenal Retno Wilis, akan tetapi tiga orang yang lain segera mengenalnya. Wasi Karangwolo pernah bertanding melawan Retno Wilis, juga Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda pernah bentrok dengan gadis perkasa itu.

   "Kakang Wasi Shiwamurti, inilah gadis puteri Endang Patibroto dan Ki Patih Tejolaksono dari Panjalu!"

   Kata Wasi Karangwolo kepada kakak seperguruannya.

   "Ia bersama kakaknya yang bernama Bagus Seto yang telah menentang penyebaran agama kita, Kakangmas Wasi!"

   Kata pula Ni Dewi Durgomala. Melihat sikap mereka, Jayawijaya sudah melangkah maju dan melindungi Retno Wilis. Dia membusungkan dada, dengan penuh keberanian menentang pandang mata mereka dan berkata dengan suara nyaring.

   "Kalian adalah orang-orang beragama, apakah tidak malu untuk mengganggu seorang gadis? Sepatutnya kalian bicara baik-baik, bukan menggunakan kekerasan seperti orang yang tidak mengenal sopan santun!"

   Wasi Shiwamurti mengangkat tangan kirinya mencegah kawan-kawannya yang sudah siap untuk bergerak menyerang itu.

   Dia memandang Jayawijaya penuh selidik, juga agak gentar. Tadi dia sudah mengalami sendiri betapa hebatnya pemuda ini. Mampu menolak semua sihirnya, bahkan ketika dia menyerang dengan pukulan sakti jarak jauh, pemuda itu sama sekali tidak bergeming apa lagi roboh. Sebaliknya malah dia sendiri terjengkang karena tenaga dan hawa sakti pukulannya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri. Kini melihat sikap pemuda seperti menasihati itu, dia menjadi semakin terheran-heran. Siapakah sesungguhnya pemuda yang memakai nama Jayawijaya ini? Dari perguruan mana? Tampaknya demikian lemah lembut dan tidak memiliki kedigdayaan, akan tetapi mengapa semua serangannya gagal? Dia tidak berani sembrono lagi dan mencegah kawan-kawannya untuk turun tangan.

   "Heh, Jayawijaya. Kami melakukan kekerasan karena gadis ini berulang kali menentang kami. Demikian juga ibunya, Endang Patibroto selalu menentang dan memusuhi kami!"

   "Tidak mungkin diajeng Retno Wilis memusuhi kalian kalau kalian tidak melakukan kesalahan dan kejahatan. Kalian memaksa penduduk untuk memeluk agama baru, tentu saja ia menentang kalian! Kalian yang memulai, bukan diajeng Retno Wilis!"

   "Akan tetapi kami menyebarkan agama kami sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan kalian!"

   Bantah Wasi Shiwamurti.

   "Penyebaran agama secara wajar tentu tidak akan menimbulkan pertentangan. Akan tetapi kalian menggunakan kekerasan, itulah persoalannya,"

   Kata pula Jayawijaya dan Retno Wilis mendengarkannya dengan heran. Pemuda ini mengajak orang-orang tersesat itu untuk bercakap-cakap dan agaknya Wasi Shiwamurti melayaninya, seolah mereka itu berbantahan dan tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka. Padahal baru saja kakek itu berusaha keras untuk membunuh ia dan Jayawijaya.

   "Hemm, kalau begitu, mari kita bicarakan hal ini dan menghadap Sang Adipati di Blambangan. Kita bicarakan dengan baik-baik seperti yang kau kehendaki,"

   Kata Wasi Shiwamurti dan teman-temannya juga memandang kepada Wasi itu dengan heran. Kenapa Wasi Shiwamurti bersikap seperti sahabat terhadap pemuda itu? Tentu saja dalam hatinya Retno Wilis tidak sudi diundang menghadap Adipati Blambangan karena ia tahu bahwa hal itu sama saja dengan memasuki guha penuh dengan srigala yang buas. Akan tetapi Jayawijaya menyambut undangan itu dengan suara gembira!

   "Begitulah seharusnya! Kalau kami diundang secara terhormat, tentu kami mau datang, akan tetapi kalau kalian menggunakan kekerasan, kami bahkan menolak. Kebetulan karena akupun ingin bicara dengan sang adipati, menasihatinya agar dia tidak menggunakan cara kekerasan dalam penyebaran agama, melainkan dengan halus dan kalau ada yang memasuki agama baru itu, dengan suka rela bukan dengan paksaan."

   Retno Wilis terbelalak keheranan. Jayawijaya menerima undangan itu? Gila! Sama saja dengan memasuki perangkap! Akan tetapi ia tahu bahwa pada saat seperti itu, melawanpun tidak akan ada gunanya. Kedigdayaannya masih kalah jauh untuk melawan mereka.

   Baru melawan Wasi Shiwamurti seorang saja, ia sudah kalah. Apalagi kalau Wasi Karangwolo, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda ikut maju mengeroyok. Ia tentu akan tertawan juga. Dan kalau dipikir dan diperhitungkan, ikut sebagai tamu yang diundang dengan hormat jauh lebih baik dari pada ikut sebagai tawanan! Dan anehnya, hatinya tidak merasa khawatir. Entah mengapa, ia merasa aman bersama Jayawijaya, merasa tenang dan sama sekali tidak takut, bahkan yakin bahwa pemuda aneh itu tentu akan mampu melindunginya. Dekat dengan Jayawijaya ia merasa seperti kalau ia dekat dengan kakaknya, Bagus Seto. Teringat akan Bagus Seto, hatinya menjadi lebih besar lagi. Kakaknya tentu sudah memasuki Blambangan dan kalau terjadi sesuatu dengan dirinya, tentu kakaknya akan mengetahuinya dan akan menolongnya.

   "Kalau begitu, kami undang kalian berdua untuk mengikuti kami, menghadap Sang Adipati Menak Sampar di Blambangan,"

   Kata Wasi Shiwamurti dan suaranya terdengar ramah dan halus!

   "Kakang Jaya...!"

   Retno Wilis hendak memrotes, akan tetapi Jayawijaya menggerakkan tangannya menenangkan gadis itu sambil berkata lembut dan tenang.

   "Tidak mengapa, diajeng. Kita mendapat undangan dengan hormat dan karena kita tidak bersalah, Sang Hyang Widhi akan selalu melindungi kita."

   "Kakang Wasi...!"

   Wasi Karangwolo menegur kakak seperguruannya karena telah bersikap sehalus itu terhadap kedua orang muda yang dimusuhi itu. Akan tetapi Wasi Shiwamurti juga mengangkat tangan memberi isarat agar kawan-kawannya diam dan tidak membantah. Demikianlah, Jayawijaya dan Retno Wilis dikawal oleh empat orang tokoh itu memasuki pintu gerbang kota kadipaten Blambangan. Para perajurit yang berjaga di situ juga terbelalak melihat betapa dua orang itu dikawal masuk dalam keadaan tenang dan sama sekali bukan sebagai tawanan. Wasi Shiwamurti segera menyuruh seorang perwira untuk melapor kepada Sang Adipati Menak Sampar bahwa mereka mohon menghadap.

   Adipati Menak Sampar sendiri terkejut mendengar bahwa Wasi Shiwamurti membawa dua orang muda, terutama Retno Wilis yang namanya menggiriskan itu, datang menghadapnya, bukan sebagai tawanan melainkan sebagai tamu! Dia merasa heran dan cepat bersiap-siaga untuk menyambut mereka di Balai Agung. Karena Wasi Karangwolo berkedudukan sebagai penasihat Sang Adipati, dan tiga orang tokoh agama Shiwa-Durgo-Kala itu merupakan tamu-tamu terhormat, maka ketika menghadap Adipati Menak Sampar mereka tidak duduk di atas lantai, melainkan duduk di atas kursi yang telah disediakan. Juga disediakan dua kursi untuk Jayawijaya dan Retno Wilis sehingga mereka benar-benar dianggap sebagai tamu! Setelah diadakan tegur sapa resmi dan memberi penghormatan kepada sang adipati, Wasi Shiwamurti lalu melapor dengan suara lembut.

   "Sang Adipati, kami datang membawa serta dua orang tamu ini. Mereka ini adalah Retno Wilis, puteri dari Kipatih Tejolaksono dari Panjalu, dan yang seorang lagi bernama Jayawijaya. Mereka datang untuk memperbincangkan tentang penyebaran agama baru di wilayah Blambangan."

   Sang Adipati mengangguk dan memandang kepada dua orang muda itu dengan sinar mata penuh selidik. Ketika memandang kepada Retno Wilis, dia terpesona oleh kecantikan gadis itu, akan tetapi mendengar akan sepak terjang Retno Wilis, hatinya diliputi kengerian dan juga hamper tidak dapat percaya bahwa gadis cantik jelita seperti itu dapat menjadi seorang ganas dan sakti menakutkan.

   "Hemm, Retno Wilis dan Jayawijaya, apakah yang andika berdua hendak sampaikan kepada kami mengenai penyebaran agama itu?"

   Tanya Adipati Menak Sampar kepada dua orang muda itu dengam suara yang dibuat sewibawa mungkin. Akan tetapi suara itu sama sekali tidak menggetarkan atau menimbulkan rasa hormat kepada dua orang muda itu. Retno Wilis hanya memandang dengan dingin dan tidak hendak menjawab karena ia ikut menjadi tamu itu sebetulnya hanya untuk mengikuti kehendak Jayawijaya saja. Ia membiarkan pemuda itu yang menjawabnya dan hal ini agaknya juga dimengerti oleh Jayawijaya. Dia menatap wajah sang Adipati dan dia lalu berkata.

   "Sang adipati, sebetulnya bukan keinginan kami untuk datang ke sini, akan tetapi kami diundang oleh Wasi Shiwamurti untuk menghadap andika dan untuk bicara tentang penyebaran agama baru itu. Kami sungguh tidak setuju dengan cara penyebaran agama baru yang menggunakan paksaan dan kekerasan. Kami menentang itu karena hal itu sebetulnya menyalahi prikemanusiaan. Siapa saja boleh berganti agama sesuka hatinya asalkan agama yang baru itu tidak memaksakan kehendak para penyebarnya dengan ancaman. Karena kami sudah diundang ke sini, maka kebetulan sekali kami hendak menegur andika dengan cara penyebaran agama itu."

   Ucapan itu tegas, tenang, tidak menjilat akan tetapi juga dengan cukup sopan. Muka sang adipati sudah mulai merah. Pemuda yang kelihatan seperti pemuda dusun walau pun wajahnya amat tampan itu menyebutnya dengan "andika"

   Begitu saja. Padahal seluruh kawula Blambangan menyebutnya "paduka". Dia melirik ke arah puterinya yang hadir di situ. Puterinya itu adalah anak tunggalnya yang terkasih, bernama Dyah Ayu Kerti. Ibunya seorang puteri Bali dan Dyah Ayu Kerti yang berusia kurang lebih tujuh-belas tahun itu adalah seorang gadis yang teramat cantik jelita. Sejak tadi, Dyah Ayu Kerti memandang kepada dua orang tamu itu, terutama kepada Jayawijaya. Pandang matanya melekat kepada pemuda itu.

   Entah mengapa, ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menarik hatinya dan membuatnya terpesona. Apalagi ketika pemuda itu sudah bicara, suaranya seperti menembus ke hatinya dan kata-katanya demikian menarik, membuat Dyah Ayu Kerti memandang tanpa berkedip. Pada saat itu, Jayawijaya sudah selesai bicara dan Adipati Menak Sampar melirik kepada puterinya. Melihat puterinya memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak dan mulut sedikit ternganga, Adipati Menak Sampar mengerutkan alisnya. Tidak sepantasnya kalau puterinya mendengarkan semua percakapan itu. Pula, nanti mungkin akan terjadi kekerasan di situ kalau dia memerintahkan agar para senopatinya menangkap dua orang muda itu. Dia tidak mau puterinya terlibat dalam kekerasan dan berada dalam bahaya. Maka diapun segera berkata kepada puterinya.

   "Anakku Dyah Ayu Kerti, engkau sebaiknya masuk ke dalam dan menemani ibumu. Urusan ini tidak ada sangkut pautnya dengan keluargaku. Masuklah, nini."

   Dyah Ayu Kerti memandang kepada ayahnya, lalu menengok dan memandang lagi kepada Jayawijaya. Akan tetapi biarpun ia tidak ingin meninggalkan tempat itu, ia tidak mau membantah perintah ayahnya. Ia Ialu menyembah dan mengundurkan diri, sebelum memasuki pintu tembusan, kembali ia mengerling ke arah Jayawijaya. Setelah puterinya masuk ke dalam, Adipati Menak Sampar lalu menjawab ucapan Jayawijaya tadi.

   "Orang muda, sebetulnya semua ucapanmu tadi salah alamat. Ketahuilah bahwa Kadipaten Blambangan sama sekali tidak menyebar agama baru, akan tetapi yang menyebar adalah para pendeta dari Negeri Cola di dunia barat, yang dipimpin oleh Sang Wasi Shiwamurti. Bagaimana cara mereka menyebar agama adalah hak mereka, dan andika sama sekali tidak mempunyai hak untuk mencampuri. Apalagi kalau terjadi di daerah Blambangan, kami tidak ingin orang luar mencampurinya tanpa seijin kami!"

   "Sang Adipati, kalau peristiwa itu terjadi di daerah Blambangan, tentu saja hal itu dapat dimengerti dan kamipun tidak akan mencampurinya. Akan tetapi banyak peristiwa pemaksaan memeluk agama baru itu terjadi di luar daerah Blambangan dan Nusabarung, bahkan menjalar ke daerah Panjalu dan Jenggala. Karena itu kami terpaksa menentangnya. Dan kami menegur kepada andika sama sekali bukan salah alamat, karena para penyebar agama itu menjadi tamu kadipaten Blambangan maka kadipaten Blambangan pula yang harus bertanggung-jawab!"

   Retno Wilis merasa heran sekali akan kepandaian Jayawijaya untuk berdebat. Juga ia merasa lucu. Biasanya, menghadapi orang-orang seperti para wasi sesat ini, ia tidak perlu banyak cakap, melainkan tangan kaki yang bicara mengadu kesaktian. Akan tetapi Jayawijaya berdebat dengan mulut dan pemuda itu sedikitpun tidak merasa gentar! Diamdiam Retno Wilis bersikap waspada. Ia tidak dapat percaya terhadap kejujuran orang-orang seperti Wasi Shiwamurti dan Wasi Karangwolo.

   Orang-orang seperti itu biasanya berhati palsu, tidak pantang melakukan kecurangan dan kekerasan dalam bentuk apapun juga. Ia merasa bahwa mereka berada di dalam sarang harimau yang penuh binatang buas dan keadaan mereka berbahaya sekali. Bagaimana kalau sang adipati itu memerintahkan para punggawanya untuk menangkap mereka berdua? Kalau Wasi Shiwamurti, Wasi Karangwolo, Nini Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda turun tangan terhadap mereka, apa yang dapat ia lakukan? Melawan mereka pasti ia akan kalah dan Jayawijaya biarpun memiliki pengaruh mujijat, belum dapat diandalkan untuk menundukkan mereka karena pemuda itu tidak dapat dan tidak mau berkelahi! Ia teringat akan pengalamannya di Nusabarung ketika ia dikeroyok banyak punggawa Nusabarung dan keadaannya berada dalam bahaya.

   Ia mampu meloloskan diri dengan menangkap Adipati Martimpang dan menjadikannya sebagai sandera. Ingatan ini yang menimbulkan pikiranya untuk berbuat yang sama di kadipaten Blambangan itu. Kalau terjadi sesuatu yang mengancam keselamatan ia dan Jayawijaya, ia akan menawan Adipati Menak Sampar dan menyanderanya agar ia dan Jayawijaya dapat lolos dari tempat itu! Diam-diam Retno Wilis sudah siap sedia, seluruh urat syarafnya menegang, siap untuk bergerak.

   "Dengan sekali loncatan saja ia akan dapat tiba di dekat adipati itu dan menyanderanya,"

   Demikian pikirnya. Ketika Adipati Menak Sampar mendengar bantahan Jayawijaya, wajahnya yang biasanya sudah merah itu menjadi semakin merah. Tubuhnya yang tinggi besar bergerak gelisah di atas kursinya dan kumisnya yang melintang itu seperti menjadi semakin kaku.

   "Jayawijaya, berani engkau bicara seperti itu di depan kami! Ingat, andika sekarang berada di tempat kami dan sekali kami menggerakkan tangan memberi isyarat, orang-orangku akan menangkap kalian, bahkan dengan mudah kami dapat membunuh kalian!"

   Inilah yang dinanti-nanti oleh Retno Wilis. Begitu mendengar ucapan adipati itu, terutama kalimat terakhir yang nadanya mengancam, secepat kilat ia sudah meloncat ke depan dan sebelum ada orang dapat mencegahnya, bahkan sebelum Adipati Menak Sampar dapat berkutik, tangannya sudah mencabut pedang pusaka Sapudenta dan ditempelkannya pedang itu ke leher Adipati Menak Sampar sambil menghardik dengan suara yang nyaring.

   "Siapa berani mengganggu kakang Jayawijaya, pedangku akan memenggal leher Adipati Menak Sampar!"

   "Diajeng Retno Wilis! Jangan, jangan bunuh orang...!"

   Jayawijaya berseru kepada Retno Wilis. Dia khawatir kalau-kalau Retno Wilis benar-benar akan memenggal leher sang adipati! Wasi Shiwamurti adalah seorang yang berpengalaman. Sekali pandang dan dengar saja, tahulah dia bahwa pemuda itu tidak akan membiarkan Retno Wilis membunuh sang adipati, maka cepat sekali tangannya menyambar dan dia sudah menangkap kedua lengan Jayawijaya dan dipuntirnya ke belakang. Di detik lain Jayawijaya telah ditelikungnya dan pemuda itu tidak mampu bergerak.

   "Retno Wilis! Kalau engkau mengganggu Sang Adipati, pemuda ini akan kuhancurkan kepalanya!"

   Bentak Wasi Shiwamurti dan diam-diam dia merasa heran dan juga girang sekali. Ternyata pemuda yang ditakutinya itu sama sekali tidak memiliki tenaga untuk melepaskan diri, bahkan mencobapun tidak! Sama sekali tidak disangkanya bahwa sedemikian mudahnya dia menangkap pemuda yang disangkanya maha sakti itu.

   "Diajeng Retno! Lepaskanlah Sang Adipati. Bukan karena aku takut mati, akan tetapi karena tidak baik kalau engkau sampai membunuh orang demi aku. Aku tidak akan rela!"

   Retno Wilis menjadi serba salah. Ancamannya dengan menyandera Sang Adipati ternyata gagal dan tidak ada gunanya. Selain Wasi Shiwamurti tidak mau melepaskan Jayawijaya, juga ia tidak dapat membunuh sang adipati karena Jayawijaya menentang keras! Dengan perasaan menyesal dan gemas karena Jayawijaya tidak mendukung siasatnya menyandera sang adipati, terpaksa Retno Wilis melepaskan adipati itu. Akan tetapi sebelum ia melepaskan pedangnya dari leher Adipati Menak Sampar, ia berkata dengan suara penuh wibawa kepada Wasi Shiwamurti.

   "Aku hanya mau membebaskan Adipati Menak Sampar kalau kalian mau berjanji bahwa kalian tidak akan membunuh Kakang Jayawijaya!"

   Tidak ada yang memberi jawaban atas ucapan Retno Wilis itu. Para wasi dan kawan-kawannya berdiam diri, dan Wasi Shiwamurti masih saja menelikung kedua lengan Jayawijaya ke belakang tubuhnya. Retno Wilis menggigit bibirnya dengan marah sekali dan ia berkata kepada Adipati Menak Sampar,

   "Adipati Menak Sampar, berjanjilah bahwa engkau tidak akan memperkenankan mereka membunuh kakang Jayawijaya, atau kalau engkau tidak mau berjanji, demi pari dewa, aku akan membunuhmu sekarang juga kemudian mengamuk, kalau perlu mengorbankan nyawaku di sini. Akan tetapi engkaulah yang akan mati lebih dulu!!"

   Setelah berkata demikian, ia menekan pedangnya ke leher adipati itu. Wasi Shiwamurti menggertak dan berseru keras,

   "Retno Wilis! Kalau engkau tidak cepat melepaskan Sang Adipati, aku akan membunuh Jayawijaya!"

   Retno Wilis membalas dengan kata-kata lantang,

   "Wasi Shiwamurti! Begitu engkau membunuh kakang Jayawijaya, kepala Adipati Menak Sampar akan menggelinding dari lehernya, kemudian aku akan mengamuk dan percayalah, sebelum aku mati kalian keroyok, aku pasti telah membunuh banyak di antara kalian! Tidak ada gunanya engkau menggertak!"

   Merasa betapa pedang itu ditekankan di kulit lehernya dan tahu bahwa gadis perkasa itu bukan hanya menggertak kosong belaka, Adipati Menak Sampar menjadi ketakutan sekali.

   "Paman Wasi Shiwamurti, jangan bunuh Jayawijaya!"

   Teriaknya dengan mata terbelalak ketakutan.

   "Retno Wilis, aku berjanji bahwa aku tidak akan memperkenankan mereka membunuh Jayawijaya!"

   "Engkau berani bersumpah?"

   Desak Retno Wilis.

   "Aku, Adipati Menak Sampar, bersumpah tidak akan membunuhnya!"

   "Aku ingin engkau berjanji dan bersumpah sebagai Adipati Blambangan, bukan pribadi Menak Sampar yang tidak kupercaya!"

   Kata pula Retno Wilis.

   "Baiklah, sebagai Adipati Blambangan, aku bersumpah tidak akan membunuh atau menyuruh bunuh Jayawijaya. Paman Wasi bebaskan pemuda itu!"

   Mendengar ini, dengan apa boleh buat Wasi Shiwamurti melepaskan kedua lengan Jayawijaya yang tadinya dia telikung ke belakang tubuhnya. Begitu terlepas dari cengkeraman wasi itu, Jayawijaya mendekati Retno Wilis dan berkata kepada gadis itu,

   "Diajeng Retno Wilis, harap engkau suka melepaskan Sang Adipati."

   Sebelum menarik kembali pedang pusakanya, Retno Wilis yang teringat akan sesuatu berkata lagi,

   "Adipati Menak Sampar, katakan sekali lagi bahwa engkau akan membebaskan kakang Jayawijaya!"

   "Baik, kami membebaskan Jayawijaya, Sekarang juga dia boleh meninggalkan tempat ini dan kami tidak akan mengganggunya sama sekali."

   Setelah sang adipati berjanji akan membebaskan Jayawijaya, barulah lega rasa hati Retno Wilis dan iapun melepaskan ancamannya, mundur dan tangannya masih memegang pedang pusakanya. Melihat ini, Wasi Shiwamurti, Wasi Karangwolo, Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda lalu bergerak mendekati sang adipati untuk memberi perlindungan. Adipati Menak Sampar kini menjadi marah sekali. Mukanya yang tadinya pucat berubah merah dan dia berkata dengan mata melotot kepada Retno Wilis.

   "Retno Wilis, berani sekali engkau telah menghina kami. Kami terpaksa harus menawanmu! Terserah engkau hendak menyerah menjadi tawanan atau kami akan menggunakan kekerasan terhadap dirimu!"

   Dengan tangannya sang adipati memberi isyarat dan dua orang senopatinya, yaitu Senopati Rajah Beling yang tinggi besar dan Senopati Kurdolangit yang tinggi kurus, telah memimpin belasan orang perajurit pengawal untuk mengepung dara perkasa itu. Melihat ini, Jayawijaya berseru dengan penasaran.

   "Sang Adipati Menak Sampar! Andika adalah seorang adipati yang disembah oleh orang-orang sedaerah Blambangan, apakah engkau tidak malu untuk menjilat ludah sendiri yang telah dikeluarkan? Engkau sudah berjanji untuk membebaskan kami. Mengapa sekarang engkau hendak menawan diajeng Retno Wilis?"

   "Ha-ha-ha!"

   Sang Adipati Blambangan itu tertawa bergelak penuh ejekan.

   "Siapa yang melanggar janji? Kami memang berjanji untuk membebaskan Jayawijaya, dan sekarangpun engkau boleh pergi, kami tidak akan mencegahmu. Akan tetapi kami tidak pernah berjanji untuk membebaskan Retno Wilis! Karena itu ia harus menjadi tawanan kami!"

   Retno Wilis teringat akan hal ini dan ia gemas sekali. Dalam keadaan tegang ingin menyelamatkan Jayawijaya ia sampai lupa kepada dirinya sendiri.

   "Sang Adipati Menak Sampar, andika seorang adipati yang besar dan tentu tidak akan bertindak sewenang-wenang dan tanpa alasan. Alasan apa yang andika pakai untuk menawan diajeng Retno Wilis?"

   "Hemm, ia seorang telik sandi dari Kerajaan Panjalu! Itu alasan pertama. Dan alasan kedua, ia telah berani menawan dan menghina kami sebagai sandera. Dan alasan itu sudah cukup untuk menawannya! Retno Wilis, menyerahlah atau kami akan menggunakan kekerasan!"

   Bentak Sang Adipati. Retno Wilis mempererat pegangannya pada gagang pedangnya, siap untuk melawan dan mengamuk. Akan tetapi pada saat itu Jayawijaya melangkah maju menghampirinya dan berkata kepadanya dengan lembut.

   "Sarungkan pedangmu, diajeng. Sang Adipati Menak Sampar, kalau engkau tidak membebaskan diajeng Retno Wilis dan hendak menawannya, maka akupun ingin menyertainya menjadi tawanan."

   "Ha-ha-ha, ini adalah kemauanmu sendiri, Jayawijaya, jangan katakan bahwa kami yang melanggar janji. Retno Wilis, serahkan pedangmu dan menyerahlah."

   Retno Wilis menyarungkan pedangnya menuruti permintaan Jayawijaya dan menjawab dengan suara dingin.

   "Senjata merupakan nyawa kedua bagi seorang pendekar. Aku tidak akan menyerahkan pedangku selama nyawaku belum meninggalkan badan! Tawanlah kami, aku tidak akan melawan."

   Sang Adipati Menak Sampar maklum akan kehebatan wanita yang sudah amat terkenal ini. Dia tidak ingin mengorbankan orang-orangnya yang tentu banyak yang akan tewas kalau wanita itu mengamuk.

   "Bawa mereka dan masukkan ke dalam penjara!"

   Teriaknya dengan marah.

   Dua orang senopati dan belasan orang perajuritnya segera mengawal Retno Wilis dan Jayawijaya menuju ke penjara yang terdapat dibelakang kadipaten, diantarkan pula oleh Wasi Shiwamurti dan kawan-kawannya yang khawatir kalau-kalau dua orang muda itu akan memberontak dan meloloskan diri. Biarpun hatinya mendongkol dan alisnya berkerut, namun Retno Wilis yang melihat Jayawijaya menyerah dengan sabar dan tenang, terpaksa mengikuti pemuda itu dan diam saja ketika diarak menuju ke penjara. Mereka disuruh memasuki sebuah kamar penjara yang cukup besar, pintunya terbuat dari baja dan berterali yang kokoh kuat lalu dikunci dari sebelah luar. Melalui pintu berterali itu Retno Wilis dapat melihat belasan orang yang memegang tombak atau golok berjaga disitu. Setelah mereka ditinggalkan berdua saja, barulah Retno Wijis menegur kepada Jayawijaya.

   "Kakang Jaya, engkau ini bagaimanakah? Kenapa menyerah saja ketika ditawan? Kalau sudah begini, kita tidak berdaya dan berada di dalam kekuasaan Adipati Blambangan dan para wasi yang jahat itu. Bagaimana kita akan dapat lolos dari tempat ini, kakang?"

   "Jangan salah mengerti, diajeng Retno Wilis. Aku menyarankan agar kita menyerah karena tidak ada jalan lain. Kalau kubiarkan engkau mengamuk, biarpun engkau akan dapat membunuh banyak orang, akhirnya engkau akan roboh juga karena keadaan mereka terlalu kuat bagimu. Engkau akan tewas dan membawa banyak dosa karena membunuh banyak orang. Dan jangan sekali-kali mengira bahwa kita berada dalam kekuasaan Adipati Blambangan atau para wasi. Tidak, kita tetap berada dalam kekuasaan Hyang Widhi, diajeng. Dan aku yakin kita akan dapat terbebas dari bahaya kalau Hyang Widhi menghendaki. Aku yakin sepenuhnya bahwa Sang Hyang Widhi berada bersama kita dan betapa mudahnya bagi kekuasaan Hyang Widhi untuk membebaskan kita."

   "Akan tetapi kita telah berada dalam kurungan dan tidak berdaya! Bagaimana mungkin kita akan dapat membebaskan diri tanpa daya upaya dan hanya mengandalkan kekuasaan Hyang Widhi?"

   Retno Wilis membantah.

   "Daya upaya merupakan kewajiban kita. Tentu saja kita harus berdaya upaya karena bimbingan Hyang Widhi mungkin tersalur lewat daya upaya kita. Akan tetapi tidak selamanya daya upaya kita mendatangkan hasil dan pada akhirnya kita harus mendasari semua itu dengan penyerahan, dengan kepasrahan ke Tangan Hyang Widhi."

   

Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo Petualang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini