Ceritasilat Novel Online

Sepasang Garuda Putih 15


Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo Bagian 15



Sungguh mengherankan. Entah mengapa, setelah mendengar ucapan-ucapan yang dikeluarkan dengan suara yang demikian tenang dan sabar, penuh iman, hati Retno Wilis juga menjadi tenang. Sampai lama mereka berdua berdiam diri, hanya duduk bersila di atas lantai yang dingin. Sejak tadi Retno Wilis memperhatikan pemuda itu. Tiada habis rasa heran di dalam hatinya. Pemuda itu demikian tenang, demikian sabar, bahkan melebihi ketenangan dan kesabaran kakaknya sendiri. Berada dalam tawanan musuh, pemuda itu sedikitpun tidak tampak bersedih atau cemas, duduk bersila memejamkan mata dengan tenangnya seperti berada di dalam kamarnya sendiri!

   "Kakang Jayawijaya..."

   Panggilnya. Pemuda itu membuka kedua matanya, memandangnya dan tersenyum.

   "Ada apakah, diajeng?"

   "Pernahkah andika merasa berduka atau bersuka?"

   Jayawijaya tersenyum sebelum menjawab.

   "Tentu saja, diajeng. Aku juga seorang manusia biasa yang kadang dipermainkan perasaan hati sendiri. Dapat diombangambingkan di antara suka dan duka. Merasa suka atau duka adalah manusiawi. Selama pikiran dan gagasan menguasai kita, sudah pasti kita akan diseret di antara dua perasaan yang berlawanan itu. Akan tetapi, apabila kita menghadapi setiap peristiwa yang kita hadapi sebagai sesuatu yang wajar dan sebagai pelaksanaan dari kehendak Hyang Widhi, maka kita akan dapat memulihkan ketenteraman hati dan tidak terseret antara suka dan duka. Kita mengenal duka karena kita mengenal suka dan demikian sebaliknya. Bagaimana mungkin kita dapat mengenal rasa manis kalau kita tidak mengenal rasa pahit, masam, asin, getir dan sebagainya sebagai lawan rasa? Bagaimana kita dapat mengenal malam kalau kita tidak mengenal siang? Seluruh alam mayapada digerakkan dan diputar oleh dua keadaan yang saling berlawanan ini, diajeng. Saling berlawanan, saling menunjang, saling menolak dan karenanya terjadi perputaran dan terjadi kehidupan."

   "Terjadinya kehidupan, kakang?"

   Tanya Retno Wilis heran, menjadi bingung oleh keterangan yang baginya terlalu rumit itu.

   "Ya, terjadinya kehidupan inipun dikarenakan bertemunya dua keadaan yang berlawanan itu, diajeng. Ingat, kelahiran manusia dan semua mahluk hidup dapat terjadi karena adanya sifat jantan dan betina yang saling berlawanan. Bahkan dalam kehidupan nabati sekalipun terdapat dua sifat yang bertentangan sebagai sifat jantan dan sifat betina yang mendatangkan benih."

   "Apakah andika tidak pernah merasa takut, kakang?"

   Kembali Jayawijaya tersenyum.

   "Kalau engkau setiap detik dengan penuh kepasrahan menyerahkan diri ke dalam kekuasaan Tuhan, engkau tidak akan mengenal rasa takut, diajeng. Apakah rasa takut itu? Rasa takut timbul kalau gagasan membayangkan masa datang, membayangkan apa yang belum terjadi, khawatir kalau sampai terjadi ini atau itu yang menimpa dirinya. Contohnya. Kalau ada wabah mengamuk, orang yang belum sakit takut kalau ketularan penyakit itu. Kalau dia sudah ketularan, maka rasa takut akan penyakit itu lenyap, terganti rasa takut kalau sampai dia mati, dan selanjutnya. Rasa takut timbul kalau pikiran membayangkan masa depan, hal yang belum terjadi. Seperti keadaan kita sekarang ini. Tentu saja rasa takut akan timbul kalau kita membayangkan apa yang akan dapat terjadi terhadap diri kita."

   "Lalu, apakah kita harus tidak mengacuhkan apa yang boleh terjadi kepada kita dan tidak perduli?"

   Retno Wilis mengejar.

   "Bukan tidak acuh atau tidak perduli,melainkan tidak membayangkan apa yang akan datang. Hal itu bukan berarti bahwa kita tidak melakukan usaha untuk menolong diri sendiri. Akan tetapi seluruh hati akal pikiran ditujukan kepada masa kini, saat ini dan kalau kita mencurahkan kepada saat ini, maka mungkin akan terbuka mata kita untuk melihat kemungkinan-kemungkinan kita dapat menolong diri sendiri, dengan landasan penyerahan kepada kekuasaan Hyang Widhi. Bagiku, setiap detik, setiap saat kita harus selalu ingat dan waspada, diajeng."

   "Ingat kepada siapa dan waspada terhadap apa,kakang?"

   "Ingat kepada Sang Hyang Widhi yang berarti penyerahan diri secara mutlak ke Tangan Hyang Widhi, dan waspada akan diri sendiri, apa yang kita pikirkan, ucapkan atau lakukan."

   Suasana hening meliputi hati Retno Wilis. Seperti terbuka mata hatinya dan sadarlah ia bahwa suka duka datang silih berganti dalam kehidupan manusia dan justeru itulah romantika kehidupan. Hidup merupakan tantangan dan kita harus berani menghadapi setiap tantangan dengan mata terbuka, tidak melarikan diri dari keadaan yang bagaimanapun juga. Menghadapi dan mengatasi setiap tantangan, itulah seninya hidup! Akan tetapi, kalau hidup hanya untuk diombang-ambingkan antara suka dan duka, lalu apa artinya hidup ini? Apa tujuan kehidupan ini? Hatinya merasa penasaran dan ia langsung mengajukan pertanyaan yang timbul dalam hatinya itu kepada Jayawijaya.

   "Kakang, kalau begitu, lalu apa artinya hidup ini? Apa tujuan dari pada kehidupan ini? Apa maksudnya kita dihidupkan sebagai manusia di dunia ini?"

   Jayawijaya tersenyum lebar mendengar pertanyaan ini dan memandang kepada Retno Wilis dengan mata bersinar lembut dan penuh ketenangan dan kesabaran.

   "Diajeng Retno Wilis, sudah seringkali aku mendengar pertanyaan ini diajukan orang. Sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan apa tujuan dari pada kehidupan ini, mari kita mengamati keadaan diri kita sebagai manusia yang dilahirkan di dunia melalui ayah-bunda kita. Ingat, kita ini dilahirkan, di luar kehendak kita. Tidak ada manusia di dunia ini yang minta dilahirkan. Jadi kelahiran kita ini bukan kehendak kita, melainkan kehendak Sang Hyang Widhi! Karena kita dilahirkan di luar kehendak kita, maka tentu saja bagi kita tidak ada tujuan apapun dalam kehidupan ini. Kita dilahirkan atas kehendak Yang Maha Kuasa, maka Dialah yang berkehendak dan bertujuan! Bukan kita. Kita hanya tinggal hidup saja, tidak menguasai apapun. Bahkan kita tidak menguasai rambut kita sendiri. Tidak ada selembarpun rambut di tubuh kita yang kita kuasai sehingga kita tidak dapat mengatur pertumbuhannya. Kita tidak memiliki apa-apa, bahkan yang menempel di tubuh kita-pun bukan milik kita. Seluruh diri kita ini ada yang Memiliki, ada yang Menguasai. Berhentinya kehidupan kita terserah kepada Yang Memiliki dan Yang Menguasai itulah. Hanya, ketika kita dilahirkan, diciptakan di dunia ini sebagai manusia hidup, kita disertai tanggung jawab, disertai kewajiban-kewajiban untuk menghadapi segala kenyataan dan mengatasinya, seperti yang telah kukatakan tadi. Kita harus menghadapi segala tantangan dan mengatasinya, itulah kenyataan hidup. Perut kita lapar dan kalau tidak diisi kita akan mati kelaparan, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk mengisinya, dan untuk dapat mengisinya sudah menjadi kewajiban kita untuk mencari makanan pengisi perut itu. Demikian pula dengan hal-hal lain. Dan Gusti Yang Maha Kasih telah menciptakan kita secara sempurna. Untuk dapat memenuhi kewajiban itu kita telah disertai segala macam alat. Setiap anggauta tubuh kita ini bermanfaat, berguna untuk mempertahankan hidup. Demikianlah kehendak Hyang Widhi. Kita tidak dapat menentang kehendakNya. Karena itu, satusatunya cara hidup yang baik adalah menyerah kepada kekuasaanNya, menyerah kepada kehendakNya. Apapun yang terjadi kepada kita, kita harus mengucap syukur karena berkahNya berlimpah-limpah setiap saat tanpa henti, walaupun berkah itu terkadang terselubung dan bersembunyi di balik peristiwa yang bagi hati akal pikiran kita terasa tidak enak atau tidak menguntungkan. Segala kehendak Hyang Widhi atas-diri kita adalah baik dan benar dan kita tidak dapat menilainya melalui pertimbangan hati akal pikiran kita, karena semua penilaian hati akal pikiran bersifat mementingkan diri sendiri, mementingkan kesenangan dan keuntungan diri sendiri. Mengertikah engkau mengapa aku setiap saat menyerah kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi, diajeng?"

   Retno Wilis mengangguk, kehabisan bahan untuk bicara. Ia merasa bahwa segala sesuatu tentang hidup sudah tercakup dalam kata-kata Jayawijaya tadi, dan ia sudah tidak perlu mengetahui hal yang lain lagi tentang kehidupan. Sekarang mulailah ia mengerti mengapa Jayawijaya tidak pernah merasa takut menghadapi apapun juga. Mengapa Jayawijaya tidak pernah menggunakan kekerasan, namun tidak takut menghadapi kekerasan itu sendiri. Cara penyerahan diri kepada Yang Maha Kuasa secara mutlak lahir dan batin. Akan tetapi ia sangsi apakah ia mampu bersikap seperti Jayawijaya! Agaknya tidak mungkin dapat. Gairah hidupnya masih penuh semangat, bergelora dan ia tidak mungkin dapat mengalah terhadap kekerasan yang dilakukan orang lain terhadap dirinya. Pasti akan dilawannya sekuat tenaga!

   "Kakang, untuk dapat bersikap seperti engkau ini, dibutuhkan kekuatan yang luar biasa, melebihi tenaga sakti yang manapun. Engkau telah membuat dirimu lebih kuat daripada segala cipta, rasa dan karsamu sendiri, engkau telah mengalahkan segala nafsu-nafsumu! Hal itu tidak mungkin dapat tercapai oleh aku yang lemah ini."

   Jayawijaya tertawa dan suara tawanya membuat Retno Wilis menyadari bahwa yang berada di depannya bukanlah dewa, melainkan manusia biasa.

   "Diajeng, akupun tidak dapat melepaskan diri dari nafsu nafsuku. Kalau aku melepaskan diri dari nafsu, aku tidak akan dapat bertahan hidup di dunia ini. Nafsu adalah keduniawian. Nafsu adalah alat-alat yang kita pergunakan untuk dapat hidup dan untuk menikmati kehidupan itu sendiri. Akan tetapaku selalu memohon kekuatan dari Hyang Widhi agar nafsu tidak sampai memperbudak aku, agar nafsu-nafsuku tetap menjadi peserta, menjadi alat yang baik dan berguna, bukan menjadi majikan atas diriku, bukan menjadi kuda-kuda binal yang akan menyeret kereta berikut kusirnya ke dalam jurang."

   "Kuda-kuda binal, kakang? Apa pula maksudnya itu?"

   "Diajeng Retno Wilis yang bijaksana. Nafsu dapat diibaratkan api yang kalau kita kuasai akan menjadi alat yang amat berguna dan mutlak bagi kehidupan akan tetapi kalau menjadi liar akan membakar dan melahap segala yang berada di depannya. Nafsu-nafsu juga dapat diibaratkan kuda-kuda penarik kereta, di mana terdapat sang kusir,kereta adalah badan jasmani kita sedangkan kusirnya adalah rohani kita. Kalau kuda-kuda penarik itu dapat dijinakkan, maka mereka akan dapat menarik kereta sehingga maju ke arah yang semestinya. Akan tetapikalau kuda-kuda itu menjadi liar sehingga sang kusir tidak lagi mampu mengendalikannya, kuda-kuda itu akan kabur dan mungkin akan menyeret kereta berikut kusirnya masuk ke dalam jurang."

   "Ah, begitukah? Jadi kuda-kuda itu amat penting untuk menarik maju sang kereta, akan tetapi juga amat berbahaya kalau sampai menjadi liar? Begitukah nafsu-nafsu kita itu, kakang? Lalu bagaimana upaya kita agar nafsu-nafsu kita tidak menjadi liar dan tetap menjadi peserta yang baik? Bagaimana cara kita untuk dapat menundukkan nafsu-nafsu kita sendiri?"

   "Kita tidak dapat menundukkan nafsu-nafsu kita sendiri karena kita memang bergantung kepada mereka. Akan tetapi nafsu-nafsu itu diikut-sertakan kepada kita sejak kita lahir, merupakan anugerah pemberian Hyang Widhi sebagai penciptanya. Karena itu, satu-satunya jalan untuk dapat menempatkan nafsu-nafsu di kedudukannya semula, yaitu sebagai peserta dan pelayan, hanya lah menyerah kepada kekuasaan Hyang Widhi. Hanya kekuasaan Hyang Widhi yang mampu menundukkan nafsu-nafsu yang suka meliar itu, diajeng."

   Kembali hening mengikuti percakapan, ini. Retno Wilis termenung dan semakin merasa bahwa ia akan selalu berada dalam keadaan damai dan tenteram kalau berdekatan dengan pemuda ini. Ia merasa terharu sekali, merasa bahwa selama hidupnya baru kini ia bertemu dengan seorang yang benar benar dikaguminya lahir batin, ia melihat seorang laki-laki yang benar-benar gagah perkasa, yang berani menentang bahaya bahkan maut dengan dada terbuka, sedikitpun tidak ada rasa takut, dengan hati bersih tidak terkandung perasaan bermusuhan apa lagi benci! Dan setelah ia termenung dan tenggelam dalam renungannya, Retno Wilis melihat bahwa ia telah jatuh cinta kepada pria itu! Rasa kagum bercampur dengan rasa iba dan sayang, membuatnya timbul keinginan untuk dapat membahagiakan pria yang dikaguminya itu.

   Malam tiba. Dari sela-sela jeruji, penjaga memasukkan makanan yang terbungkus daun pisang dengan minuman. Retno Wilis membiarkannya saja. Akan tetapi Jayawijaya lalu mengambil bungkusan nasi dan lauk pauknya itu, membawanya ke dekat Retno Wilis. Sinar lampu menyorot dari luar, memberi penerangan yang cukup ke dalam kamar tahanan itu.

   "Diajeng Retno Wilis, silakan makan dan minum hidangan antaran mereka ini,"

   Kata Jayawijaya lirih.

   "Hemm, aku tidak suka dengan makanan pemberian mereka, kakang,"

   Jawab Retno Wilis dengan alis berkerut. Ia tahu bahwa penolakannya itu bukan hanya karena perasaan tidak senang kepada musuh-musuhnya, melainkan juga karena rasa khawatir kalau-kalau makanan itu diberi racun.

   "Orang tidak tahu apa saja yang dapat dilakukan orang-orang licik dan curang seperti itu! Dan kurasa sebaiknya kalau engkau juga jangan makan suguhan mereka ini, kakang Jaya."

   "Akan tetapi mengapa, diajeng? Sudah sejak pagi kita tidak makan dan perut kita menuntut isi. Kalau tidak makan malam ini, besok kita akan merasa lemah padahal dalam keadaan seperti ini kita perlu menjaga kesehatan dan tenaga. Makanlah, diajeng, biarpun hanya sedikit,"

   Jayawijaya membujuk.

   "Terus terang saja, kakang. Aku sangsi akan kebersihan makanan dan minuman ini. Ingat, mereka adalah orang-orang sesat. Bisa saja mereka mencampuri makanan ini dengan racun untuk membunuh kita."

   Jayawijaya tersenyum.

   "Percayalah akan kekuasaan Hyang Widhi, diajeng. Kekuasaan itu tidak akan membiarkan kita diracuni orang. Mulut kita tidak akan mau menelan kalau makanan atau minuman ini mengandung racun. Marilah, biar aku dulu yang mulai makan dan minum untuk membuktikan bahwa tidak ada racun dalam hidangan ini."

   Jayawijaya lalu menuangkan air teh dari poci itu ke dalam cangkir yang disediakan, kemudian menempelkan bibir cangkir pada bibirnya. Diminumnya sedikit demi sedikit air teh itu dan ditelannya. Tidak terjadi sesuatu. Kemudian diambilnya sebungkus nasi dan dimakannya. Juga tidak terjadi sesuatu.

   "Nah, jelas bahwa dalam hidangan makanan dan minuman ini tidak ada racunnya, diajeng. Mari silakan makan dan minum."

   Retno Wilis merasa tidak enak untuk menolak terus. Juga kekhawatirannya hilang. Kalau tidak ada Jayawijaya di situ, biar bagaimanapun juga ia tidak akan mau menyentuh makanan dan minuman itu. Mulailah ia minum dan makan untuk menenangkan perutnya yang memang lapar dan tenggorokannya yang memang haus. Setelah selesai makan dan minum, Jayawijaya membawa sisa makanan dan bekas hidangan itu ke pintu dan mengeluarkannya lewat sela-sela jeruji. Kemudian kembali dia duduk bersila di depan Retno Wilis seperti tadi.

   "Mengaso dan tidurlah kalau engkau lelah dan mengantuk, diajeng."

   "Aku tidak akan dapat tidur, akan tetapi aku sudah terbiasa beristirahat dengan duduk bersila dan bersamadhi, kakang."

   "Bagus kalau begitu. Mari kita mengaso, diajeng."

   Mereka tetap duduk bersila. Malam semakin larut dan Retno Wilis sudah membuat perhitungan bagaimana kalau ia berusaha meloloskan diri bersama Jayawijaya.

   Pintu jeruji besi itu bukan apa-apa baginya. Dengan aji kesaktiannya dan kekuatan yang timbul dari hawa sakti, ia tentu akan mampu menjebol pintu itu. Pedang pusaka Sapudenta juga tentu akan mampu mematahkan jeruji-jeruji besi itu. Dan belasan orang perajurit penjaga di luar pintu kamar tahanan, dapat dengan mudah ia robohkan. Akan tetapi bagaimana kalau Wasi Shiwamurti dan kawan-kawannya datang? Mereka terlalu kuat baginya. Dan juga Jayawijaya belum tentu mau, bahkan ia hampir yakin bahwa pemuda itu tentu akan menolaknya untuk melarikan diri dengan menggunakan kekerasan. Ah, biarlah. Ia akan melihat apa yang hendak dilakukan pemuda luar biasa itu dan ia hanya akan menurut saja apa kehendaknya. Iapun mulai belajar pasrah dan menyerah kepada kekuasaan Yang Maha Kuasa!

   Menjelang fajar. Suasana semakin hening. Para penjaga tidak terdengar lagi bicara, bahkan ada suara mendengkur. Agaknya mereka telah tertidur! Hawa udara yang dingin memasuki ruangan kamar tahanan itu, begitu dinginnya sehingga Retno Wilis dan Jayawijaya sadar dari Samadhi mereka. Tiba-tiba terdengar suara di pintu besi dan tampak sesosok bayangan orang ditimpa sinar lampu dari luar. Sesosok bayangan seorang wanita! Agaknya wanita itu sedang membuka kunci pintu penjara dan tak lama kemudian pintu itu terbuka. Bau harum menerpa hidung kedua orang tahanan itu. Retno Wilis segera mengenal wanita itu yang bukan lain adalah puteri Sang Adipati Menak Sampar yang cantik jelita itu. Gadis itu memang Dyah Ayu Kerti, puteri sang adipati! Retno Wilis segera bangkit berdiri dan bertanya kepada puteri adipati itu.

   "Siapa andika dan mau apa andika memasuki kamar tahanan ini?"

   Akan tetapi Dyah Ayu Kerti tidak memperdulikan pertanyaan Retno Wilis. Ia menghampiri Jayawijaya yang masih duduk bersila dan berkata dengan bisikan lembut.

   "Kakangmas Jayawijaya, aku Dyah Ayu Kerti datang untuk membebaskanmu, kakangmas. Andika berdua boleh pergi dan melarikan diri sekarang juga."

   Jayawijaya bangkit berdiri dan memandang gadis jelita itu dengan heran.

   "Bukankah andika ini puteri Sang Adipati Menak Sampar? Bagaimana andika dapat masuk ke sini? Para penjaga itu...

   "

   "Ssssssttt... kakangmas Jayawijaya, jangan keras-keras andika bicara. Mereka sudah tertidur semua, terkena aji penyirepanku,"

   Kata Dyah Ayu Kerti lirih sambil meletakkan telunjuknya di depan sepasang bibirnya yang merah merekah.

   "Akan tetapi ramamu? Para wasi itu?"

   Tanya pula Jayawijaya dengan heran.

   "Mereka sedang berpesta mabuk-mabukan semalam suntuk untuk merayakan kemenangan mereka atas tertawannya andika berdua."

   "Akan tetapi... mengapakah andika membebaskan kami?"

   Tanya pula Jayawijaya.

   "Karena aku merasa kasihan kepada andika, aku... aku..."

   Retno Wilis kehilangan kesabarannya, ia menyambar tangan Jayawijaya dan menariknya sambil berkata,

   "Marilah, kakang. Kesempatan terbuka bagi kita untuk melarikan diri. Jangan disia-siakan kesempatan ini!"

   Ia menarik Jayawijaya keluar dari kamar tahanan itu dan lari melalui lorong di mana para penjaga malang melintang dalam keadaan pulas. Mereka berdua melangkahi tubuh para penjaga itu. Retno Wilis tetap menggandeng tangan Jayawijaya yang agaknya tidak tampak tergesa-gesa, seperti orang hendak pergi berjalan-jalan saja, bukan melarikan diri!

   "Kakangmas Jayawijaya...!"

   Mereka berhenti mendengar seruan ini dan melihat Dyah Ayu Kerti berlari-lari menghampiri mereka. Setelah dekat, Dyah Ayu Kerti memegang tangan Jayawijaya yang sebelah lagi dengan erat dan ia berkata, wajahnya berubah kemerahan.

   "Kakangmas, bawalah aku. Aku ikut, kakangmas Jayawijaya...

   "

   "Ehhhh?? Ikut bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu."

   "Ikut ke mana saja andika pergi. Aku... aku... ingin menemanimu, selamanya...!"

   Panas rasa perut Retno Wilis, diamuk cemburu! Ia cepat menepiskan tangan gadis puteri adipati itu yang memegangi tangan Jayawijaya sehingga terlepas dan ia menghardik,

   "Perempuan tak tahu malu! Hayo, kakang Jayawijaya, kita lari dan jangan perdulikan gadis gila ini!"

   Dan diapun menarik lagi pemuda itu, lari keluar dari bangunan itu. Dyah Ayu Kerti yang masih berdiri di lorong itu tidak mengejar lagi, akan tetapi ia menangis sesenggukan dengan hati duka.

   Ia telah jatuh kasmaran (cinta) kepada pemuda yang luar biasa itu, tergila-gila dan ingin sekali hidup bersama pemuda itu untuk selamanya. Akan tetapi di sana ada Retno Wilis yang agaknya merebut pemuda itu dan ia merasa tidak mampu untuk menandingi wanita perkasa itu. Ia sendiri memiliki aji penyeripan dan beberapa macam ilmu kadigdayaan, akan tetapi apa artinya kalau dibandingkan dengan Retno Wilis yang demikian sakti? Tiba-tiba muncul Sang Adipati Menak Sampar, Wasi Shiwamurti, Wasi Karangwolo Ni Dewi Durgomala, Ki Shiwananda dan dua orang senopati Blambangan, yaitu senopati Rajah Beling dan Senopati Kurdolangit, diikuti belasan orang perajurit pengawal. Melihat puterinya berada di luar tempat tahanan sambil menangis, sang adipati menghampiri dan bertanya heran,

   "Dyah Ayu Kerti! Apa yang kau lakukan di sini? Mengapa pula engkau menangis?"

   Sang adipati melihat para perajurit penjaga yang malang melintang dalam keadaan tidur. Sambil mengerutkan alisnya karena puterinya tidak menjawab pertanyaannya, dia lalu memerintahkan dua orang senopatinya.

   "Periksa ke dalam kamar tahanan!"

   Dua orang senopati itu berlari cepat, berloncatan melangkahi para perajurit penjaga yang tertidur lalu masuk ke dalam. Tak lama kemudian keduanya keluar lagi dan wajah mereka berubah pucat.

   "Celaka, kanjeng gusti! Dua orang tawanan telah lolos!"

   Kata Senopati Kurdolangit.

   "Wah, celaka! Dyah Ayu Kerti, apa yang telah terjadi?"

   Bentak sang adipati kepada puterinya. Sambil menangis sesenggukan akhirnya gadis itu menjawab,

   "Aku... aku... telah membebaskan mereka, kanjeng rama..."

   Sang adipati marah sekali. Matanya melotot memandang kepada puterinya tersayang itu dan dia menggeram.

   "Akan tetapi mengapa?"

   "Aku... aku kasihan... kepada... kakangmas Jayawijaya...

   "

   "Celaka!"

   Seru sang adipati.

   "Mari kita kejar. Mereka tentu belum berlari jauh,"

   Kata Wasi Shiwamurti kepada kawan-kawannya dan dia melompat keluar, diikuti oleh rekan-rekannya, juga oleh dua orang senopati dan belasan perajuritnya yang dibentak oleh sang adipati untuk ikut pula melakukan pengejaran. Sementara itu, Adipati Menak Sampar dengan marah sekali akan tetapi dia terlalu sayang kepada puteri tunggalnya untuk memarahinya terus, menarik tangan puterinya dan diajak kembali ke gedungnya.

   "Perlahan dulu, diajeng Retno! Kenapa engkau menyeretku seperti ini?"

   Keluh Jayawijaya yang terpaksa ikut berlari karena tangannya ditarik dengan kuat oleh Retno Wilis. Retno Wilis berhenti dan memandang kepadanya dengan wajah cemberut. Mereka telah berlari agak jauh juga karena sekarang fajar telah menyingsing, sinar matahari mulai mengusir kegelapan malam yang meninggalkan kabut.

   "Agaknya andika tidak ingin sekali untul melarikan diri, ya kakang Jaya?"

   "Eh, kenapa engkau bertanya demikian? Tentu saja aku ingin terlepas dari kurungan mereka,"

   Kata Jayawijaya sambil menghapus keringatnya, berlari-lari sejak tadi melelahkannya dan membuatnya berkeringat.

   "Ah, mengakulah saja terus terang. Andika tentu ingin sekali tinggal di sana agar dapat bersama-sama dengan gadis cantik jelita puteri Sang Adipati tadi!"

   "Lho! Kenapa engkau berkata demikian?"

   "Apakah engkau tidak tahu ataukah pura-pura tidak tahu, kakang? Dyah Ayu Kerti yang cantik jelita itu tergila-gila kepadamu! Ia telah jatuh cinta kepadamu, kakang, maka ia berani mati membebaskanmu. Kenapa engkau tadi tidak menerimanya ketika ia hendak ikut dan ingin menemanimu selama hidupnya?"

   Dengan wajah cemberut Retno Wilis lalu melangkah lagi, kini tidak mengandeng tangan Jayawijaya seolah hendak meninggalkan pemuda itu. Jayawijaya mengikutinya dari belakang.

   "Begitukah perkiraanmu? Aku sendiri tidak mengira...

   "

   "Hemm, jelas sekali bahwa ia mencintamu. Kalau tidak, mengapa ia membebaskanmu?"

   "Aku hanya menganggapnya sebagai uluran Kekuasaan Tuhan yang hendak menolong kita melalui tangan puteri itu, diajeng."

   "Hemm, apapun anggapanmu, jelas bahwa puteri itu jatuh cinta kepadamu."

   "Andaikata benar demikian, apakah hal itu karena kesalahanku, diajeng? Aku tidak sengaja..."

   Retno Wilis berhenti melangkah dan menatap tajam wajah pemuda itu.

   "Kakang Jayawijaya, apakah engkau tidak tertarik? Ingat, ia seorang gadis yang amat cantik jelita dan ia puteri seorang adipati yang berkuasa pula, gadis bangsawan, kaya raya dan cantik jelita. Kalau engkau menjadi suaminya, engkau tentu akan menjadi mantu adipati dan memperoleh derajat dan pangkat tinggi, menjadi orang yang mulia, terhormat dan disegani orang sekadipaten Blambangan!"

   Jayawijaya tersenyum geli ketika dia memandang kepada gadis yang diam-diam menjadi pujaan hatinya itu.

   "Diajeng, aku tidak mengerti mengapa engkau berkata seperti itu kepadaku. Pernikahan hanya mempunyai satu saja syarat, yaitu cinta kasih. Dan cinta kasih ini tidak memandang kecantikan, derajat pangkat atau harta, bukan pula keturunan. Dyah Ayu Kerti hendak ikut denganku, bagaimana mungkin aku dapat menerimanya? Ia seorang puteri adipati, dan aku seorang kelana. Juga tidak mungkin menemaniku selama hidupnya karena hal itu berarti bahwa aku harus menjadi suaminya, padahal tidak ada cinta kasih dalam hatiku terhadap dirinya."

   Retno Wilis menunduk dan senyum berkembang di bibirnya. Wajahnya yang jelita itu berseri, semringah.

   "Aku... aku girang mendengar pertanyaanmu itu, kakang Jayawijaya."

   Jayawijaya menatap tajam wajah gadis itu.

   "Diajeng, aku heran sekali mengapa engkau tadi seperti orang marahmarah."

   Retno Wilis masih menundukkan mukanya dan matanya mengerling ke arah pemuda itu. Lalu katanya lirih,

   "Aku tidak senang karena gadis itu mencintamu...

   "

   "Dan engkau mengira bahwa aku juga membalas cintanya?"

   Dengan suara masih lirih Retno Wilis menjawab,

   "Aku... khawatir begitu."

   "Kalau begitu, ah, benarkah dugaanku ini bahwa engkau... cemburu, diajeng?"

   Wajah Retno Wilis menjadi merah sekali, kepala semakin menunduk dan suaranya semakin lirih.

   
Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Aku... aku malu, kakang...

   "

   (Lanjut ke Jilid 14)

   Sepasang Garuda Putih (seri ke 05 - Serial Keris Pusaka Sang Megatantra)

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14

   "Kenapa, diajeng? Karena cemburu? Kita ini manusia biasa, diajeng, dan adalah wajar kalau kita masih dipermainkan perasaan yang terdorong oleh nafsu-nafsu kita. Masih baik kalau kita tidak menjadi buta oleh nafsu, melainkan dapat mempergunakan nafsu secara wajar. Kalau engkau cemburu, hal itu adalah manusiawi, diajeng. Tidak perlu membuatmu malu. Aku sendiri, aku-pun seorang manusia biasa yang sadar akan kelemahanku. Karena merasa diri lemah inilah maka aku selalu bersandar kepada Kekuasaan Hyang Widhi, selalu menyerah. Engkau tidak ingin melihat seorang wanita lain mencintaku, hal itu berarti bahwa engkau cinta kepadaku, bukan?"

   Kini Retno Wilis menundukkan mukanya sampai dagunya mepet dengan bawah lehernya, jantungnya berguncang keras dan napasnya tersendat. Jayawijaya memegang kedua tangan gadis itu, mengangkat kedua tangan itu mendekatkan kepada mukanya dan mencium jari-jari tangan itu.

   "Jangan rikuh atau malu, di-ajeng karena keadaan hati kita sama. Aku-pun mencintamu sejak pertama kali kita berjumpa. Hatiku melekat kepadamu. Semoga Sang Hyang Widhi memperkenankan dan memberkahi hati kita yang saling mencinta."

   "Kakang...!"

   Retno Wilis mendesah dan selama hidupnya belum pernah ia merasakan kebahagiaan seperti saat itu. Tubuhnya menjadi lemas dan seolah ia tidak kuat menyangga kepalanya dan menyandarkan kepalanya didada Jayawijaya yang segera mendekapnya. Dalam dekapan kedua lengan pemuda itu, Retno Wilis merasa seperti seorang bayi dalam gendongan ibunya, begitu aman tenteram dan bahagia! Ia memejamkan kedua matanya dan merasa seperti diayun-ayun. Sesungguhnyalah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada dua hati yang saling mencinta bertemu. Demikian asyik dan masyuk. Gamelan di Lokananta bagaikan berbunyi merdu selaras dengan nyanyian hati mereka. Desah angin di antara daun-daun pohon seperti berbisik-bisik merdu merayu.

   Gemercik air di anak sungai seperti sekumpulan bidadari menyanyikan lagu puji-pujian. Sinar matahari tampak lebih cerah dan indah dari pada biasanya. Awan-awan yang berarak di angkasa membentuk lukisan-lukisan yang indah menakjubkan. Andaikata dunia kiamat di saat itu, mereka berdua tidak akan merasakannya dan mati terselubung kebahagiaan yang terasa sampai di tulang sumsum itu. Mereka tenggelam dalam lautan asmara, telinga mereka penuh dengan sajak-sajak dan nyanyian cinta yang serba indah, tidak mendengarkan apa-apa yang lain lagi. Cinta asmara memang rremiliki kekuasaan yang amat dahsyat. Jayawijaya yang biasanya selalu waspada itu, sekali inipun terlena. Mendekap kepala Retno Wilis baginya seolah dia telah mendekap alam semesta, telah mendapatkan segala-galanya. Dia sampai lupa diri dan memejamkan mata, hanyut terbawa nyanyian asmara yang mengayun kalbunya.

   "Ha-ha-ha-ha-ha! Kiranya kalian berdua saling mencinta! Bagus sekali! Kami akan menyempurnakan kebahagiaan kalian dengan keduanya mati bersama!"

   Tiba-tiba terdengar seruan itu yang bagaikan geledek telah menarik kedua orang muda keluar dari alam kahyangan Sang Hyang Komajaya dan Komaratih!

   Mereka kembali ke dunia yang banyak halangan dan cobaan, dan menghadapi Wasi Shiwamurti yang muncul lengkap dengan Wasi Karangwolo, Ni Dewi Durgomala, Ki Shiwananda, kedua senopati Rajah Beling dan Kurdolangit bersama belasan orang anak buah mereka! Seketika maklumlah Retno Wilis bahwa keadaan mereka dalam bahaya maut. Gertakan Wasi Shiwamurti bukan gertakan kosong belaka. Kalau mereka semua itu menyerang, ia tidak akan mampu melindungi Jayawijaya atau bahkan dirinya sendiri. Ia dan kekasihnya akan mati bersama! Pikiran ini menenangkan hatinya. Mati bersama! Alangkah membahagiakan itu. Maka sedikitpun ia tidak menjadi jerih.

   "Wasi Shiwamurti, kenapa kalian masih saja mengejar-ngejar kami? mengapa kalian memusuhi kami, padahal kami tidak memusuhi kalian? hentikanlah pengejaran ini dan biarkan kami pergi dengan aman,"

   Kata Jayawijaya, sementara itu Retno Wilis sudah bersiap-siaga untuk mempertahankan diri dan melindungi Jayawijaya dengan sekuat tenaga sampai saat terakhir.

   "Jayawijaya, sekarang juga andika boleh pergi, kami tidak akan mengganggu, kami tidak mempunyai urusan apapun denganmu. Akan tetapi, kami tidak akan membebaskan Retno Wilis. Kami harus menangkapnya, hidup atau mati!"

   Mendengar ini, Retno Wilis yang sudah nekat lalu melangkah maju menghadapi Wasi Shiwamurti dan berkata dengan lantang.

   "Wasi Shiwamurti, beginikah sikap seorang wasi yang mengaku sebagai kepala agama baru dan menjadi utusan negara Cola? Engkau maju bersama banyak kawan hendak mengeroyok aku? Majulah, keroyoklah, aku lidak takut mati. Lebih baik mati dengan gagah dari pada hidup sebagai manusia curang dan licik macam engkau yang hanya berani melakukan pengeroyokan terhadap seorang wanita muda!"

   Ucapan Retno Wilis ini tajam sekali dan menusuk perasaan dan harga diri Wasi Shiwamurti yang menjadi merah mukanya saking marah dan malunya.

   "Babo-babo, Retno Wilis!"

   Bentak Wasi Shiwamurti dengan suara menggeledek.

   "Sumbarmu seperti menyambarnya halilintar dimusim hujan! kau kira kami takut kepadamu untuk bertanding satu lawan satu? Hayo majulah, aku tidak akan mengeroyokmu, aku akan maju seorang diri untuk melawanmu satu lawan satu!"

   Pada saat itu, tampak dua bayangan orang berkelebat dan terdengar suara lantang,

   "Diajeng Retno Wilis, jangan takut aku datang membantumu!"

   Retno Wilis cepat menengok dan melihat seorang pemuda yang tampan bertubuh tegap dan bersikap gagah, ia girang karena mengenal bahwa pemuda itu adalah Harjadenta, pemuda perkasa dari Gunung Raung itu. Akan tetapi lebih girang lagi hatinya melihat Bagus Seto bersama pemuda itu. Kalau hanya Harjadenta yang datang membantu, ia masih meragukan apakah ia dan Harjadenta mampu menghadapi banyak lawan itu. Akan tetapi dengan munculnya Bagus Seto, ia merasa tenang.

   "Kakangmas Harjadenta! Kakang Bagus Seto! Bagaimana kalian dapat datang bersama?"

   "Kami saling berjumpa dalam perjalanan lalu bersama-sama menuju ke Blambangan,"

   Kata Harjadenta dengan girang. Dia tidak mengenal orang-orang tua berpakaian pendeta itu, maka dia memandang rendah. Dengan adanya Retno Wilis dan Bagus Seto di situ, dia tidak merasa takut menghadapi siapa juga. Akan tetapi ketika melihat Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda, dia lalu teringat akan mereka yang memimpin agama baru yang menyesatkan itu. Dia mengerutkan alisnya, maklum bahwa dia berhadapan dengan musuh-musuh yang sakti. Sementara itu, Bagus Seto yang mengamati Wasi Shiwamurti, dapat melihat bahwa Kakek itu memiliki wibawa yang teramat kuat. Dia khawatir kalau adiknya tidak akan mampu menandingi wasi itu, maka dia lalu menghampiri adiknya dan berkata,

   "Retno, apa yang sedang terjadi di sini?"

   Dia juga menoleh kepada Jayawijaya yang berdiri di samping Retno dan terkejutlah Bagus Seto melihat sinar mata yang terang dan jernih dari pemuda yang sikapnya amat tenang itu. Dia kaget karena dapat menduga bahwa pemuda ini tentu memiliki kekuatan yang dahsyat di balik kelembutannya.

   "Kakang Bagus Seto, ini adalah Wasi Shiwamurti, pendiri dari agama baru yang dibantu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda yang sudah kakang kenal. Yang lain-lain itu adalah para senopati Blambangan dan anak buahnya. Mereka itu hendak menangkap aku dan kakang Jayawijaya ini. Oya, perkenalkan, kakang. Ini adalah kakang Jayawijaya yang melakukan perjalanan bersamaku. Kakang Jaya, ini kakakku bernama Bagus Seto dan yang itu adalah kakangmas Harjadenta dari Gunung Raung."

   Melihat sikap dan pandang mata adiknya terhadap pemuda yang lembut itu, dan melihat cara pemuda itu memandang adiknya, Bagus Seto segera tahu bahwa ada hubungan batin yang istimewa di antara keduanya. Sejenak dia bertukar pandang dengan Jayawijaya dan dalam waktu beberapa detik itu seolah keduanya saling dapat menyelami isi hati masing-masing dan kembali Bagus Seto merasa terkejut dan kagum. Dia tahu bahwa pemuda ini bukan seorang pemuda biasa saja, sebaliknya Jayawijaya juga merasa betapa kuatnya pancaran sinar mata Bagus Seto.

   "Akan tetapi kenapa mereka itu hendak menangkap kalian, Retno?"

   "Mereka itu hendak menawan aku dengan tuduhan menjadi telik sandi, kakang dan hendak membebaskan kakang Jayawijaya. Akan tetapi kakang Jayawijaya tidak mau dibebaskan seorang diri saja dan menuntut agar aku dibebaskan pula. Mereka hendak memaksa aku menyerah dan aku menentang untuk bertanding satu lawan satu kalau mereka itu bukan pengecut yang curang dan suka main keroyokan."

   Melihat Retno Wilis bercakap-cakap dengan pemuda berpakaian serba putih yang baru muncul bersama seorang pemuda lain, bicara dan mengobrol tanpa memperdulikan dia dan kawan-kawannya, Wasi Shiwamurti menjadi marah.

   "Retno Wilis, siapa hendak mengeroyokmu? Aku terima tantanganmu untuk bertanding satu lawan satu! Hayo majulah, siapa hendak melawanku?"

   Wasi Shiwamurti menantang. Tiba-tiba Retno Wilis mendapat sebuah pikiran yang dianggap baik dan menguntungkan.

   "Begini saja, Wasi Shiwamurti. Sekarang telah datang kakang Bagus Seto dan kakangmas Harjadenta, jadi kami ada bertiga. Nah, kalian boleh mengajukan tiga orang jagoan kalian untuk dipertandingkan dengan kami bertiga, maju satu demi satu. Kalau pihakku menang dua, berarti aku menang dan engkau harus membebaskan kami. Sebaliknya kalau pihak kalian yang menang dua, kalian boleh menawanku. Bagaimana, beranikah engkau menerima tantanganku ini?"

   Wasi Shiwamurti tertawa mengejek. Dia mengandalkan dua orang pembantu utamanya, yaitu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwa nanda.

   "Ha-ha-ha, bagus! Coba sekarang kau ajukan jagomu untuk melawan jago kami. Ki Shiwananda, majulah! Nah, siapa yang akan maju melawan Ki Shiwananda?."

   Pada saat itu terdengar bentakan nyaring suara wanita.

   "Siapa berani menggangu anak-anakku?"

   Dua sosok bayangan berkelebat dan di situ telah berdiri Endang Patibroto dan seorang pemuda gagah yang bukan lain adalah Jarot. Putera Adipati Kertajaya dari Pasisiran ini melakukan perjalanan merantau dan memang dia ingin sekali menyusul Endang Patibroto yang pernah menolongnya dari tangan kedua orang kakaknya, Lembu Alun dan Lembu Tirta, yang bermaksud membunuhnya dengan bantuan guru mereka, yaitu Wasi Surengpati.

   Karena Adipati Kertajaya adalah seorang Adipati yang setia terhadap Jenggala dan Panjalu, maka dia merasa khawatir terhadap keselamatan Endang Patibroto yang hendak menyelidiki keadaan Nusabarung dan Blambangan. Maka dia tidak mencegah, bahkan menyetujui ketika puteranya, Jarot menyatakan keinginannya untuk merantau dan menyusul Endang Patibroto ke kedua kadipaten itu, dan kalau perlu membantunya. Demikianlah, ketika tiba di luar perbatasan Blambangan, Jarot bertemu dengan Endang Patibroto dan mereka melanjutkan perjalanan bersama memasuki daerah Blambangan. Kebetulan sekaii mereka melihat Retno Wilis, Bagus Seto, Jayawijaya dan Harjadenta sedang berhadapan dengan banyak orang yang sikapnya mengancam, maka Endang Patibroto lalu membentak marah.

   "Retno, apa yang terjadi di sini? Siapa orang-orang menjemukan ini?"

   Bentak Endang Patibroto galak kepada puterinya.

   "Kanjeng ibu, mereka adalah Wasi Shiwamurti, pendiri agama baru dan kawan-kawannya. Dia hendak menawanku, dan aku mengajukan usul untuk bertanding satu lawan satu."

   "Babo-babo! Siapa hendak menandingi puteriku, akulah lawannya! Engkaukah, pendeta palsu, yang hendak maju? Nah, akulah lawanmu!"

   Kata Endang Patibroto sambil menghadapi Wasi Shiwamurti. Sang wasi dan kawan-kawannya terkejut dan gentar menghadapi wanita setengah tua yang gagah perkasa dan galak bukan main itu. Wasi Shiwamurti sudah mendengar banyak tentang Endang Patibroto, wanita yang sakti itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak takut karena banyak kawan dan anak buahnya.

   "Bagus, kiranya engkau-sendiri yang datang, Endang Patibroto. Sudah lama karni mendengar akan namamu dan kebetulan sekali sekarang engkau datang mengantarkan nyawa!"

   "Wasi Shiwamurti, keadaan sekarang berubah. Ibuku telah datang, maka dipihak kami bertambah seorang lagi, menjadi empat orang yang akan maju sebagai jago kami!"

   "Bukan empat, melainkan lima!"

   Endang Patibroto berseru dan ia menuding ke arah Jarot.

   "Pemuda inipun dapat menjadi jago kita, Retno. Kenalkan, dia bernama Jarot, putera Adipati di Pasisiran."

   Jarot mengangguk kepada Retno Wilis, Bagus Seto, Harjadenta dan Jayawijaya. Retno segera memperkenalkan dua orang pemuda yang sejak tadi diam saja itu kepada ibunya.

   "Ibu, ini adalah kakangmas Harjadenta yang juga menjadi jago kita. Dan yang ini adalah kakang Jayawijaya yang bersama aku dijadikan tawanan oleh orang-orang Blambangan."

   Endang Patibroto tersenyum kepada puterinya.

   "Aku sudah mengenal anakmas Jayawijaya, Retno. Anakmas Jayawijaya, bagaimana andika dapat bersama anakku menjadi tawanan orang-orang Blambangngan?"

   Jayawijaya memberi hormat kepada Endang Patibroto.

   "Bibi, kebetulan sekali saya bertemu dengan diajeng Retno Wilis dan melakukan perjalanan bersama."

   Diam-diam Endang Patibroto merasa girang sekali. Ia sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan Retno Wilis dengan pemuda yang aneh luar biasa ini, dan tahu-tahu mereka sudah bertemu bahkan melakukan perjalanan bersama.

   "Ah, begitukah? Retno, mari kita berlima maju dan membasmi orang-orang jahat ini!"

   Retno Wilis menghadapi Wasi Shiwamurti.

   "Wasi Shiwamurti, di pihak kami ada lima orang jago. Mari kita bertanding satu lawan satu!"

   "Paman Wasi, biar aku yang maju sebagai jago pertama!"

   Terdengar bentakan keras dan seorang laki-laki tinggi besar melompat keluar. Usianya kurang lebih lima puluh tahun dan tubuhnya gagah dan tampak kokoh kuat.

   "Aku adalah, senopati Blambangan bernama Rajah Beling. Siapa berani melawan aku?"

   Katanya sambil membusungkan dadanya yang lebar dan tebal.

   "Diajeng Retno Wilis, biar aku yang menandinginya!"

   Kata Harjadenta dan Retno Wilis yang maklum akan kepandaian pemuda dari Gunung Raung ini mengangguk. Ia belum tahu. bagaimana tingkat kepandaian Jarot, pemuda yang dating bersama ibunya, maka tentu saja ia tidak berani mengajukan pemuda itu. Dengan gagah Harjadenta melangkah maju menghadapi Senopati Rajah Beling yang memandang kepadanya dengan matanya yang tebar itu terbelalak menyeramkan. Harjadenta tersenyum, sikapnya tenang saja.

   "Orang muda, sebutkanlah namamu agar engkau tidak mati tanpa nama!"

   Bentak Senopati Rajah Beling dengan suara menggelegar.

   "Aku Harjadenta dari Gunung Raung. Guruku adalah Eyang Empu Gandawijaya kalau engkau ingin tahu,"

   Jawab harjadenta dengan sikap tenang. Dia adalah seorang yang jujur, maka tanpa ditanya dia sudah memperkenalkan gurunya.

   "Hemm, murid Empu Gandawijaya? Orang muda, karena kami sudah mengenal Empu Gandawijaya dan pernah memesan keris buatannya, maka kunasihatkan agar engkau pulang ke Gunung Raung dan jangan mencampuri urusan ini. Aku memberi kesempatan kepadamu untuk hidup demi gurumu."

   "Senopati Rajah Beling, kita telah memilih pihak masing-masing dan kita berhadapan sebagai musuh. Tidak perlu engkau menyinggung-nyinggung nama guruku. Kita telah menjadi jago dari masing-masing pihak. Majulah, aku siap menandingimu!"

   "Orang muda keras kepala, tidak tahu di sayang orang. Sekarang engkau akan mati!"

   Berkata demikian, senopati yang tinggi besar itu sudah menerjang maju dengan tangan kanan dikepal sebesar kepala orang dan menyambar ke arah kepala Harjadenta, sedangkan tangan kirinya membentuk cakar mencengkeram ke arah dada pemuda itu.

   Gerakannya mendatangkan angin, pertanda bahwa gerakan itu mengandung tenaga yang besar, juga datangnya amat cepatnya. Namun Harjadenta adalah seorang pemuda yang tangkas dan gesit. Menghadapi serangan itu dia tidak menjadi gugup, cepat miringkan tubuhnya dan menarik kepalanya ke belakang sehingga pukulan dan cengkraman lawan itu hanya mengenai angin kosong belaka. Rajah Beling menjadi penasaran dan cepat kakinya menyusul dengan tendangan yang mencuat secepat ular mematuk. Kaki yang besar dan panjang itu menyambar ke arah dada Harjadenta. Namun pemuda ini sudah siap-siaga.

   "Wuuuuuuuuttt... dukkkk!!"

   Lengan kanan Harjadenta sudah menangkis kaki kiri lawan yang menyambar dengan tendangan itu dan ternyata tenaga pemuda ini tidak kalah oleh tenaga tendangan lawan. Buktinya kaki yang tertangkis itu terpental dan membuat tubuh Rajah Beling menjadi doyong. Kesempatan ini dipergunakan oleh Harjadenta untuk membalas. Selagi tubuh lawannya condong ke kanan, dia memapakinya dengan tamparan tangan kiri dengan jari-jari terbuka yang ditujukan ke arah leher lawan.

   "Syuuuuuttt...!"

   Tamparan yang kuat ke itu juga tidak mengenai sasaran karena biarpun tubuhnya condong ke kanan, senopati yang banyak pengalaman bertanding itu sudah menjatuhkan tubuhnya ke belakang, lalu menggelinding dan meloncat bangun kembali. Mereka sudah berhadapan lagi seperti dua ekor ayam jago sedang berlaga. Keduanya memasang kuda-kuda. Rajah Beling memasang kuda-kuda atau pasangan yang disebut Mahesa Mungkur, yaitu tubuhnya membelakangi lawan, akan tetapi lehernya menoleh ke belakang dan matanya memandang penuh kewaspadaan, kedua kakinya siap untuk membalik dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka terpasang di depan dada, seolah-olah seekor harimau yang sedang marah dan siap untuk menerkam musuhnya.

   "Haiiiit...!"

   Rajah Beling tiba-tiba memutar kedua kakinya dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri, membuat gerakan menggunting ke arah tubuh Harjadenta..

   "Yaaaaahhhh...!"

   Harjadenta juga mengeluarkan pekik dan kedua tangan yang membentuk cakar itu berkembang ke kanan kiri menangkis dua pukulan yang menggunting dari lawan, kemudian kaki kanannya menyambar ke arah perut Rajah Beling.

   "Wuuuttt... desss..."

   Rajah Beling tidak sempat mengelak, maka diapun menggerakkan kaki kirinya menyambut tendangan itu sehingga kedua tulang kering kaki mereka bertemu dengan kerasnya. Keduanya terpelanting dan terhuyung ke belakang. Jebol kuda-kuda mereka ketika kedua kaki mereka saling bertemu itu dan ternyata tenaga mereka seimbang sehingga keduanya terpelanting dan hampir roboh!

   "Babo-baba, keparat! Ada juga isinya bocah ini!"

   Kata Rajah Beling marah.

   "Senopati Rajah Beling, keluarkan semua kedigdayaan dan aji kesaktianmu!"

   Tantang Harjadenta.

   "Keparat! Sambutlah pusakaku ini kalau engkau mampu!"

   Rajah Beling mencabut sebatang pedang dari pinggangnya.

   "Hemm, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, engkau sudah mengeluarkan pusaka! Apa engkau kira hanya engkau yang memiliki pusaka? Akupun memiliki sebatang pusaka ampuh yang akan menandingi pusakamu!"

   Berkata demikian, Harjadenta mencabut kerisnya, yaitu Ki Mengeng, sebatang keris buatan Empu Gandawijaya.

   "Maju dan sambutlah pusakaku ini yang akan mengantarmu ke alam baka!"

   Bentak Rajah Beling dengan suara garang, dan dia sudah menerjang ke depan, pedangnya melayang dan membacok ke arah kepala harjadenta.

   Pemuda itu maklum akan datangnya serangan yang berbahaya. Dia cepat menggeser kakinya dan mengelak ke samping kiri. Ketika pedang yang berkilauan saking tajamnya itu meluncur lewat, cepat diapun memasukkan kerisnya menusuk ke arah lambung lawan. Rajah Beling cukup gesit dan melihat dirinya terancam maut di ujung keris lawan, diapun melompat ke belakang dan luput dari serangan itu. kemudian dia menerjang lagi, memutar pedangnya sehingga tampak gulungan sinar pedang yang seolah berubah menjadi banyak itu. Dari gulungan sinar itu mencuat sinar pedang menusuk ke arah dada Harjadenta. Pemuda ini cepat memutar pergelangan tangan kanannya yang memegang keris, kerisnya berputar menangkis pedang lawan. Karena maklufn bahwa lawannya memiliki tenaga besar, ketika menangkis Harjadenta mengerahkan tenaganya.

   "Cring... tranggg...!!"

   Dua kali pedang bertemu keris dan tampaklah bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua batang senjata itu bertemu di udara dengan kuatnya.

   Keduanya lalu melangkah ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing. Setelah mendapat kenyataan bahwa senjata mereka tidak rusak, keduanya maju lagi dan saling serang dengan hebatnya. Ternyata tingkat kepandaian kedua orang ini berimbang sehingga pertandingan itu berlangsung seru dan sukar untuk diramalkan siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Sebetulnya Harjadenta masih menang sedikit dalam hal kecepatan, sedangkan tenaga mereka seimbang. Akan tetapi Rajah Beling menutup kekalahannya itu dengan kemenangan dalam pengalaman bertanding. Gerakkannya lebih matang dibandingkan Harjadenta, jurus-jurus silatnya dapat dikembangkan dengan berbagai gerakan yang cepat tidak terduga, sehingga kadang-kadang Harjadenta dibuat kaget.

   Ada seperempat jam mereka bertanding dan keadaannya masih seimbang sehingga para penonton kedua pihak merasa tegang sekali. Jayawijaya yang ikut juga menjadi penonton, mengerutkan alisnya. Dalam hatinya dia sama sekali tidak senang menyaksikan pertandingan ini karena maklum bahwa seorang di antara mereka yang bertanding tentu akan tewas atau setidaknya terluka. Dia menganggap bahwa pertandingan itu bukan merupakan cara penyelesaian yang baik dan sehat. Akan tetapi diapun tahu bahwa dia tidak dapat mencegah karena kedua pihak sudah setuju untuk menyelesaikan persoalan dengan adu kepandaian silat. Tentu saja dia berpihakkepada rombongan Retno Wilis kareni pihak gadis itulah yang benar sedangkan pihak Blambangan salah akan tetapi dia tidak menghendaki cara kekerasan seperti itu.

   "Hauuuppppp...!"

   Kembali Rajah Beling mengeluarkan bentakan nyaring dan dia sudah merendahkan tubuh sampai berjongkok dan pedangnya menyerampang ke arah kedua kaki Harjadenta. Pemuda ini melompat ke atas belakang, akan tetapi baru saja kedua kakinya menginjak tanah, Rajah Beling sudah melompat ke atas dan menyerang dari atas dengan pedangnya, gerakannya seperti seekor burung garuda menyambar mangsanya. Harjadenta terkejut bukan main. Serangan lawannya itu sedemikian cepatnya dan tahu-tahu pedang itu telah menyambar ke arah lehernya dari atas!

   Dia mencoba untuk mengelak dengan miringkan tubuh atasnya, akan tetapi pedang itu masih saja dapat menyerempet pundak kirinya. Baju di bagian pundak kirinya robek berikut kulit pundaknya, terluka dan mengeluarkan darah. Akan tetapi Harjadenta cepat menusukkan kerisnya ke arah tubuh yang masih melayang di atas itu. Rajah Beling menarik kakinya, akan tetapi tetap saja keris itu masih melukai pahanya sehingga mengucurkan darah. Keduanya berlompatan ke belakang, Harjadenta berdarah pada pundak kirinya dan Rajah beling berdarah pula paha kanannya. Kawan-kawan dari kedua pihak cepat maju menolong teman masing-masing. Retno Wilis merasa lega setelah melihat bahwa luka di pundak Harjadenta tidak parah walaupun tentu saja kurang baik kalau pemuda itu melanjutkan pertandingan karena lukanya itu akan membuat gerakannya menjadi kurang leluasa dan lambat.

   "Retno Wilis, jagomu telah terlukai"

   Kata Wasi Shiwamurti lantang. Retno Wilis bertolak pinggang menghadapi sang wasi itu.

   "Akan tetapi jagomu juga terluka lebih parah pada pahanya! Jagoku tidak dapat dikatakan kalah?"

   Wasi Shiwamurti melihat betapa luka di paha Rajah Beling tidak memungkinkan bagi senopati Blambangan itu untuk melanjutkan perkelahian, maka diapun segera berkata lantang,

   "Retno Wilis! Karena jago kita masing-masing sudah terluka, maka keadaan mereka berimbang, tidak ada yang menang atau kalah. Pertandingan pertama ini kita anggap seri tanpa ada yang menang. Mari kita lanjutkan dengan pertandingan ke dua!"

   "Kakang Wasi Shiwamurti, biarkan aku yang maju sekarang!"

   Terdengar teriakan dan Wasi Karangwolo sudah melangkah maju, menghadapi pihak Retno Wilis sambil berkata.

   "Hayo siapa akan berani menandingi Wasi Karangwolo, penasihat Sang Adipati di Blambangan!"

   Retno Wilis yang sudah tahu akan kehebatan ilmu kanuragan maupun ilmu sihir yang dimiliki Wasi Karangwolo, menjadi ragu. Kalau ia sendiri yang maju, bagaimana nanti kalau menandingi Wasi Shiwamurti dan kedua pembantunya yang sakti, yaitu Ni Dewi Durgomala dan Ki Shiwananda? Mereka bertiga itu akan ia hadapi bertiga bersama ibunya dan kakaknya. Satu-satunya jago yang ada padanya hanya pemuda yang bernama Jarot itu, akan tetapi karena ia belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda itu, ia tidak berani menyuruhnya maju.

   Kalau tingkatnya hanya setingkat kepandaian Harjadenta, tentu akan kalah menandingi Wasi Karangwolo. Ia hanya memandang ke arah pemuda itu dan kepada ibunya. la melihat ibunya mengangguk, dan Jarot agaknya maklum bahwa dia diharapkan untuk mewakili pihak Retno Wilis. Sejak tadi Jarot memperhatikan Retno Wilis dan dia menjadi kagum bukan main, bahkan terpesona. Selama hidupnya baru sekali ini dia bertemu dengan seorang dara yang bukan saja cantik jelita, namun juga pemberani dan gagah perkasa. Seperti dara inilah kiranya tokoh Maha Bharata yang bernama Srikandi itu! Akan tetapi karena baru saja dia diperkenalkan dengan Retno Wilis dan dia merasa rikuh untuk bicara kepada dara itu, maka dia berkata yang ditujukan kepada Endang Patibroto.

   "Kanjeng Bibi Endang Patibroto! Perkenankan saya maju sebagai jago nomor dua pihak kanjeng bibi!"

   Endang Patibroto tersenyum dan mengangguk.

   "Akan tetapi berhati-hatilah, anak-mas Jarot. Aku pernah bertanding dengan wasi busuk ini, dia cukup tangguh dan memiliki ilmu sihir, banyak akalnya yang licik!"

   Jarot tersenyum.

   "Saya akan berhati-hati, kanjeng bibi."

   Dia lalu melangkah maju menghadapi Wasi Karangwolo dan berkata.

   "Sang Wasi, akulah tandingmu dan majulah, aku sudah siap!"

   Sepasang Garuda Putih Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wasi Karangwolo marah mendengar ucapan Endang Patibroto tadi. Dia dikatakan sebagai seorang wasi busuk yang licik! Dengan muka berubah merah saking marahnya dia sudah mencabut sebatang keris panjang dari pinggangnya, mengamangkan kerisnya kepada Jarot dan membentak,

   "Orang muda, siapakah andika yang berani menghadapi Wasi Karangwolo?"

   "Namaku Jarot, aku putera Adipati Kertajaya dari Pasisiran, dan aku adalah murid Sang Bhagawan Dewondaru dari Gunung Semeru,"

   Kata jarot dan melihat lawannya memegang sebatang keris panjang, diapun mencabut keris yang terselip di pinggangnya, sebatang keris berluk tujuh yang berwarna hitam. Itulah keris Nogo Ireng pemberian gurunya, sebatang keris pusaka yang ampuh. Mendengar bahwa pemuda itu murid Sang Bhagawan Dewondaru yang telah dia kenal namanya sebagai seorang bhagawan yang sakti, Wasi Karangwolo tidak berani memandang rendah lawannya yang masih muda.

   "Jarot, engkau bocah kemarin sore yang masih amat muda berani menandingi aku yang pantas untuk menjadi kakekmu? Hayo berlutut dan mengaku kalah, agar engkau tidak perlu mampus di tanganku. Berlututlah kau !"

   

Kisah Tiga Naga Sakti Karya Kho Ping Hoo Dewi Maut Karya Kho Ping Hoo Pembakaran Kuil Thian Loksi Karya Kho Ping Hoo

Cari Blog Ini